Tugas Meningioma
-
Upload
annisafadhilah24 -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
description
Transcript of Tugas Meningioma
TINJAUAN PUSTAKA
TUMOR OTAK
1.1 Pendahuluan
Tumor otak atau tumor intracranial adalah neoplasma atau proses desak ruang (Space
Occupying Lesion (SOL) atau space taking lesion) yang timbul dalam rongga tengkorak baik
di dalam kompartemen supratentorial maupun infratentorial.
Tumor otak merupakan suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun
ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di
sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya
dapat berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan
otak itu sendiri, disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase)
seperti kanker paru, payudara, prostat, ginjal dan lain-lain, disebut tumor otak sekunder.
Proses neoplasma di susunan saraf mencakup dua tipe, yaitu:
a. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung
berkembang ditempat-tempat tertentu. Tumor primer bisa timbul dari jaringan otak,
meningen, hipofisis dan selaput myelin. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat
dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme
kebanyakan ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan
spongioblastoma di korpus kalosum atau pons.
b. Tumor sekunder, suatu metastasis yang tumor primernya berada di luar susunan saraf
pusat, bisa berasal dari paru-paru, mamma, prostat, ginjal, tiroid atau digestivus. Yang
paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada pria serta
karsinoma mammae pada wanita. Tumor ganas itu dapat pula masuk ke ruang tengkorak
secara perkontinuitatum, yaitu dengan melalui foramina basis kranii, seperti misalnya
pada infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring tumor yang berasal dari metastasis
karsinoma yang berasal dari bagian tubuh lain.
1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data statistik, angka insidensi tahunan tumor intrakranial di Amerika
adalah 16,5 per 100.000 populasi per tahun, dimana separuhnya (17.030) adalah kasus tumor
primer yang baru dan separuh sisanya (17.380) merupakan lesi-lesi metastasis. Di Indonesia
dijumpai frekuensi tumor otak sebanyak 200-220 kasus/tahun dimana 10% darinya adalah
lesi metastasis. Insidensi tumor otak primer bervariasi sehubungan dengan kelompok umur
penderita. Angka insidens ini mulai cenderung meningkat sejak kelompok usia dekade
pertama yaitu dari 2/100.000 populasi/tahun pada kelompok umur 10 tahun menjadi
8/100.000 populasi/tahun pada kelompok usia 40 tahun dan kemudian meningkat tajam
menjadi 20/100.000 populasi/tahun pada kelompok usia 70 tahun untuk selanjutnya menurun
lagi.
2.1 Etiologi Tumor Otak
Penyebab tumor otak hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun
telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau sebagai
penyebab tumor otak, sebagai berikut:
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas.
Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk
memikirkan adanya faktor-faktor herediter yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan
merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu
glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu
radiasi.Selain itu pada pasien-pasien penderita tinea kapitis yang medapat radiasi
kepala jangka panjang
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi
virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
2
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-
ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
1.3 Gejala Klinis
Perubahan pada parenkhim intrakranial baik difus maupun regional akan
menampilkan gejala dan tanda gangguan neurologis sehubungan dengan gangguan pada
nukleus spesifik tertentu atau serabut traktus pada tingkat neurofisiologi dan neuroanatomi
tertentu seperti gejala-gejala: kelumpuhan, gangguan mental, gangguan endokrin, dan
sebagainya. Persentasi klinis sering kali dapat mengarahkan perkiraan kemungkinan lokasi
tumor otak. Secara umum persentasi klinis pada kebanyakan kasus tumor otak merupakan
manifestasi dari peninggian tekanan intrakranial; namun sebaliknya gejala neurologis yang
bersifat progresif, walaupun tidak jelas ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, perlu
dicurigai adanya tumor otak.
Tekanan Tinggi Intrakranial
Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri kepala,
muntah proyekil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini cenderung bersifat
intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama di pagi hari karena selama
tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral
Blood Flow) dan dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak
seperti karena batuk, mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri dirasa
berlokasi di sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah yang
“menyemprot” (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena tekanan
Intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat PCO2 serebral meningkat.
Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor serebrospinal sering kali
ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang progresif dan ubun-ubun besar yang
menonjol; sedangkan pada anak-anak yang lebih besar di mana suturanya relative sudah
merapat, biasanya gejala papiledema terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada
tekanan intrakranial yang meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor
secara langsung.
Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang berwarna
merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya. Gejala kejang pada tumor otak
3
khususnya di daerah supratentorial dapat berupa kejang umum, psikomotor ataupun kejang
fokal. Kejang dapat merupakan gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan
menetap untuk beberapa lama sampai gejala lainnya timbul.
Perdarahan Intrakranial
Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan perdarahan
intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral.
Gejala Disfungsi Umum
Abnormalitas umum dari fungsi serebrum bervariasi mulai dari gangguan fungsi
intelektual yang tak begitu hebat sampai dengan koma. Penyebab umum dari disfungsi
serebral ini adalah tekanan intrakranial yang meninggi dan pergeseran otak akibat gumpalan
tumor dan edema perifokal di sekitarnya atau hidrosefalus sekunder yang terjadi.
Gejala Neurologis Fokal
Perubahan personalitas atau gangguan mental biasanya menyertai tumor-tumor yang
terletak di daerah frontal, temporal, dan hipotalamus, sehingga sering kali penderiita-
penderita tersebut diduga sebagai penyakit nonorganik atau fungsionil. Gejala afasia agak
jarang dijumpai, terutama pada tumor yang berada di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor
daerah supraselar, nervus optikus dan hpotalamus dapat mengganggu akuitas visus.
Kelumpuhan saraf okulomotorius merupakan tampilan khas dari tumor-tumor
paraselar, dan dengan adanya tekanan intracranial yang meninggi kerap disertai dengan
kelumpuhan saraf abdusens.
Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior; sedangkan tumor-tumor
supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali) menyebabkan gejalapatognomonik berupa
nistagmus ‘gergaji’ (seesaw nystagmus); gerakan mata diskonjugat, ventrikal dan rotasional
di mana masing-masing mata geraknya saling berlawanan.
Kelemahan wajah dan hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan sensorik serta
kadang ada efek visual merupakan refleksi kerusakan yang melibatkan kapsula interna atau
korteks yang terkait.
Ataksia trukal adalah pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di garis
tengah. Gangguan endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise.
4
Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Signs)
Lesi pada salah satu kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran dan kompresi
di bagian otak yang jauh dari lesi primer. Tumor otak yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dapat menghasilkan false localizing signs atau gejala lokal yang
menyesatkan. Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai
dengan fungsi area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah:
1) Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau tertekan.
Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak. Saraf yang sering terkena tidak
langsung adalah saraf III, IV, dan VI.
2) Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor yang
terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
3) Gangguan mental, dapat timbul pada setiap penderita dengan tumor intracranial yang
berlokasi dimanapun
4) Gangguan endokrin dapat juga timbul proses desak ruang di daerah hipofisis
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan sken magnet (MRI) dan sken tomografi computer merupakan pemeriksaan
terpilih untuk mendeteksi adanya tumor-tumor intracranial. Dalam hal ini dapat diketahui
secara terperinci letak lokasi tumor dan pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya, bahkan
pada kasus-kasus tertentu dapat pula diduga jenisnya dengan akurasi yang hampir tepat.
Tumor otak dapat pula dideteksi dengan CT-scan. Pilihannya tergantung ketersediaan
fasilitas pada masing-masing rumah sakit. CT-scan lebih murah dibanding MRI, umumnya
tersedia di rumah sakit dan bila menggunakan kontras dapat mendeteksi mayoritas tumor
otak. MRI lebih khusus untuk mendeteksi tumor dengan ukuran kecil, tumor di dasar tulang
tengkorak dan di fossa posterior. Selain itu MRI juga dapat membantu ahli bedah untuk
merencanakan pembedahan karena memperlihatkan tumor pada sejumlah bidang.
1.5 Penatalaksanaan
Pemilihan tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada penderita tumor otak
tergantung dari beberapa faktor, antara lain : Kondisi umum penderita , Tersedianya alat yang
lengkap, Pengertian penderita dan keluarga dan Luasnya metastasis
Adapun terapi dan modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup tindakan-
tindakan:
A. Terapi Kortikosteroid
5
Biasanya deksametason diberikan 4 – 20 mg intravena setiap 6 jam untuk
mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan TTIK. Peranan nya
masih kontroversial dalam terapi TTIK. Beberapa efek samping yang dapat timbul
adalah berkaitan dengan penggunaan steroid lama seperti: penurunan kekebalan,
supresi adrenal, hiperglikemia, hipokalemia, alkalosis metabolik, retensi cairan,
penyembuhan luka yang terlambat, psikosis, miopatia, ulserasi lambung, dan
hipertensi.
B. Terapi operatif
Tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan dekompresi internal,
mengingat bahwa obat-obatan antiedema otak tidak dapat diberikan secara terus-
menerus. Persiapan prabedah, penanganan pembiusan, teknik operasi dan penanganan
pascabedah sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan penanganan
operatif terhadap tumor otak.
C. Terapi konservatif
1) Radioterapi
Tindakan ini untuk tumor-tumor susunan saraf pusat kebanyakan
menggunakan sinar X dan sinar Gamma, disamping juga radiasi lainnya
seperti: proton, partikel alfa, neutron, dan pimeson. Keberhasilan terapi radiasi
pada tumor ganas otak diperankan oleh beberapa faktor:
Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis lainnya
Sensitivitas sel tumor dengan sel normal
Tipe sel yang disinar
Metastasis yang ada
Kemampuan sel normal untuk repopulasi
Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval antarfraksi radiasi.
2) Kemoterapi
Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih belum
mempunyai nilai keberhasilan yang bermakna sekali. Saat ini yang menjadi
titik pusat perhatian modalitas terapi ini adalah tumor-tumor otak jenis
astrositoma (Grade III dan IV) glioblastoma dan astrositoma anaplastik beserta
variannya. Ada beberapa obat kemoterapi untuk tumor ganas otak yang saat
ini beredar di kalangan medis yaitu: HU (hidroksiurea), 5-FU (5-Fluorourasil),
PCV (prokarbazin, CCNU, Vincristine), Nitrous Urea (PCNU,
6
BCNU/Karmustin, CCNU/lomustin, MTX (metotrksat), DAG
(dianhidrogalaktitol) dan sebagainya. Potensi kemoterapi pada susunan saraf
di samping didasarkan oleh farmakologi sendiri juga perlu dipertimbangkan
aspek farmakokinetiknya (transportasi obat mencapai target) mengingat
adanya sawar darah otak. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan melalui
intra-arterial (infuse, perfusi), melalui intratekal/intraventrikuler (punksi
lumbal, punksi sisterna, via pudentz/omyama reservoir); atau intra tumoral.
3) Immunoterapi
Dasar modalitas terapi ini adalah anggapan bahwa tumbuhnya suatu
tumor disebabkan oleh adanya gangguan fungsi immunologi tubuh sehingga
diharapkan dengan melakukan restorasi sistem imun dapat menekan dapat
menekan pertumbuhan tumor.
1.6 Prognosis
Prognosis tergantung jenis tumor spesifik. Untuk glioblastoma multiforme yang cepat
membesar “rata-rata survival time” tanpa pengobatan adalah 12 minggu; dengan terapi
pembedahan yang optimal dan radiasi, 32 minggu. Beberapa astrositoma yang tumbuh
mungkin menyebabkan gejala-gejala minimal atau hanya serangan kejang-kejang selama 20
tahun atau lebih. Berdasarkan data di negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga
penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan
hidup 5 tahun berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40%.
II. MENINGIOMA
2.1 Definisi
Meningioma adalah tumor pada meningen, yang merupakan selaput pelindung yang
melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di
bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi umumnya terjadi di hemisphere otak di semua
lobusnya. Meningioma intrakranial sering mempunyai predileksi lokasi terbanyak di
parasagital, disamping lokasi-lokasi lainnya seperti: sfenoid, konveksitas dan fossa posterior.
2.2 Epidemiologi
Meningioma intrakranial merupakan 34% dari semua tumor primer di regio ini.
Biasanya terjadi pada orang dewasa dengan usia 40- 60 tahun atau lebih, dan jarang diderita
oleh anak-anak. Dengan sifatnya yang khas yakni dengan sifatnya yang khas yakni tumbuh
7
lambat dan mempunyai kecenderungan meningkatya vaskularisasi tulang yang berdeketan,
hiperostosis tengkorak serta menekan jaringan otak sekitarnya.
Meningioma juga bisa timbul di sepanjang kanalis spinalis, dan frekuensinya relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan tumor lain yang tumbuh di regio ini. Di rongga kepala,
meningioma banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (2 :1).
2.3 Etiologi
40 – 80% diakibatkan oleh kelainan kromosom 22. Penyebab kelainan kromosom ini
masih belum diketahui kenapa. Radiasi pada kepala sebelumnya, riwayat memiliki kanker
pada payudara, dan neurofibromatosis tipe 2 mungkin menjadi faktor resiko dalam
berkembangnya meningioma. Meningioma multiple terjadi pada 5-15 % pasien yang dimana
tejadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2.
Beberapa penemuan mengindikasikan adanya hubungan antara hormon-hormon dan resiko
meningioma antara lain peningkatan insidensi penyakit pada wanita dibandingkan pria (2:1),
ditemukannya reseptor esterogen dan progesteron pada beberapa meningioma, potensi
hubungan kanker payudara dengan meningioma, serta laporan kemungkinan perubuhan
ukuran meningioma pada siklus menstruasi, masa kehamilan dan status menopous.
2.4 Patofisiologi dan Faktor Risiko
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori
telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan
timbulnya meningioma. Selain itu Meningioma memiliki reseptor yang berhubungan dengan
hormone estrogen, progesterone, dan androgen, yang juga dihubungkan dengan kaknker
payudara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan ukuran tumor pada fase lutheal siklus
haid dan kehamilan. Ekspresi progesteron reseptor dilihat paling sering pada jinak
meningiomas, baik pada pria dan wanita. Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami,
dan demikian, sering kali menantang bagi dokter untuk menasihati pasien perempuan mereka
tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki sejarah suatu meningioma. Meskipun
peran tepat hormon dalam pertumbuhan meningioma belum ditentukan, peneliti telah
mengamati bahwa kadang-kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat
kehamilan.
Selain peningkatan usia, faktor lain yang dinilai konsisten berhubungan dengan risiko
terjadinya meningioma yaitu sinar radiasi pengion; factor lingkungan berupa gaya hidup dan
genetik telah dipelajari namunnya perannya masih dipertanyakan. Faktor lain yang telah
8
diteliti yaitu penggunaan hormone endogen dan eksogen, penggunaan telepon genggam, dan
variasi genetik atau polimorfisme. Faktor lain yang dinilai berperan adalah keadaan penyakit
yang sudah ada seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan epilepsi; pajanan timbale, pemakaian
pewarna rambut; pajanan gelombang micro atau medan magnet, merokok; trauma kepala; dan
alergi.
2.5 Klasifikasi
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah diketahui,
termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat pada hasil biopsi
yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya.
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat. Tumor tidak menimbulkan gejala, mungkin
pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodik. Jika tumor
semakin berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian
penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi
dengan tindakan bedah dan observasi secara berterusan .
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi juga.
Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya
membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan .
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignant
atau meningioma anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh
kejadian meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III
diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.
2.6 Diagnosis
Tumor ini tumbuhnya lambat sehingga sering gejala klinisnya tidak begitu menonjol.
Meningioma tumbuh menjadi ukuran besar sebelum menimbulkan gejala. Tumor ini biasanya
ditemukan pada parasagital (dekat bagian teratas otak) dan konveksitas (diluar curve/garis)
otak. Bisa juga berada pada sphenoid ridge di otak bagian bawah (dasar tengkorak)
Selama pertumbuhannya, tumor ini dapat menggangu fungsi normal pada otak. Gejala
tergantung dari lokasi tumor tersebut. Gejala awal yang muncul biasanya adalah peningkatan
9
tekanan intrakranial oleh karena pertumbuhan tumor. Sakit kepala dan kelemahan pada
tangan atau kaki yang paling sering terjadi, meskipun kejang, perubahan kepribadian atau
masalah visual dapat terjadi. Nyeri dan hilangnya sensasi atau kelemahan pada tangan dan
kaki adalah gejala yang sering terjadi pada meningioma tulang belakang.
2.7 Manifestasi klinik
Gejala umum yang terjadi disebabkan karena gangguan fungsi serebral akibat edema
otak dan tekanan intrakranial yang meningkat. Gejala spesifik terjadi akibat destruksi dan
kompresi jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
gangguan mental, gangguan visual dan sebagainya. Edema papil dan defisit neurologis lain
biasanya ditemukan pada stadium yang lebih lanjut. Gejala umumnya seperti:
a. Sakit kepala
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh. Biasanya muncul pada
pagi hari setelah bangun tidur dan berlangsung beberapa waktu, datang pergi (rekuren)
dengan interval tak teratur beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan semakin lama
semakin sering dengan interval semakin pendek. Nyeri kepala ini bertambah hebat pada
waktu penderita batuk, bersin atau mengejan (misalnya waktu buang air besar atau koitus).
Nyeri kepala juga bertambah berat waktu posisi berbaring, dan berkurang bila duduk.
Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan (traksi) pada pain sensitive structure
seperti dura, pembuluh darah atau serabut saraf.
b. Kejang
Ini terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta merangsang korteks motorik.
Kejang yang sifatnya lokal sukar dibedakan dengan kejang akibat lesi otak lainnya, sedang
kejang yang sifatnya umum/general sukar dibedakan dengan kejang karena epilepsi. Tapi bila
kejang terjadi pertama kali pada usia dekade III dari kehidupan harus diwaspadai
kemungkinan adanya tumor otak.
c. Mual muntah
Lebih jarang dibanding dengan nyeri kepala. Muntah biasanya proyektil
(menyemprot) tanpa didahului rasa mual, dan jarang terjadi tanpa disertai nyeri kepala.
d. Edema Papil
Keadaan ini bisa terlihat dengan pemeriksaan funduskopi menggunakan oftalmoskop.
Gambarannya berupa kaburnya batas papil, warna papil berubah menjadi lebih kemerahan
dan pucat, pembuluh darah melebar atau kadang-kadang tampak terputus-putus. Untuk
mengetahui gambaran edema papil seharusnya kita sudah mengetahui gambaran papil normal
10
terlebih dahulu. Penyebab edema papil ini masih diperdebatkan, tapi diduga akibat penekanan
terhadap vena sentralis retinae.
Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor:
a. Meningioma falx dan parasagital
- Falx berisi dua pembuluh darah besar yakni sinus sagitalis superir dan inferir, karena
ditakutkan akan menciderai sinus, pengangkatan tumor di daerah falx atau parasagital
mungkin akan susah
- Perubahan perilaku, nyeri kepala, masalah visual, kelemahan tangan dan kaki.
b. Meningioma Convexitas
- Biasanya tidak didapatkan gejala hingga tumor mencapai ukuran besar
- kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal, perubahan status mental
c. Meningioma Sphenoid
- kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang, kebutaan, dan penglihatan
ganda
d. Meningioma Olfaktorius
- kurangnya kepekaan penciuman karena pertumbuhan disepanjang nervus olfaktorius.
- Tumor bisa juga menekan nervus optikus pada mata, yang menyebabkan masalah
visual seperti kehilangan daerah tertentu dalam bidang visus atau bahkan kebutaan
e. Meningioma fossa posterior
- Menekan nervus cranialis yang menyebabkan gejala pada wajah atau kehilangan
pendengaran.
- nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otot-otot wajah, berkurangnya
pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan.
f. Meningioma suprasellar
- pembengkakan diskus optikus, masalah visus
g. Spinal meningioma
- nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
h. Meningioma Intraorbital
- penurunan visus, penonjolan bola mata
i. Meningioma Intraventrikular
- Memblok aliran cerebrospinal fluid yang akan menyebabkan hidrosefalus sehingga
akan terdapat keluhan nyeri kepala dan pusing
2.8 Pemeriksaan Penunjang
11
Dalam mendiagnosis suatu tumor otak, selain klinis, peranan radiologi sangat besar.
Dahulu angiografi, kemudian CT Scan dan terakhir MRI; terutama untuk tumor-tumor di
daerah fossa posterior, karena CT Scan sukar mendiagnosis tumor otak akibat banyaknya
artefak, sekalipun dengan kontras. Dengan MRI suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi
melalui di potongan 3 dimensi, sehingga memudahkan ahli bedah saraf untuk dapat
menentukan teknik operasi atau menentukan tumor tersebut tidak dapat dioperasi mengingat
risiko/komplikasi yang akan timbul.
1. Foto polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma pada foto polos. Di
indikasikan untuk tumor pada meningen. Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus
sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah
mening menggambarkan dilatasi arteri meningea yang mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi
terdapat pada 20-25% kasus dapat bersifat fokal maupun difus. Pada foto x-ray dapat
ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi dan kalsifikasi.
2. CT scan
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi tidak cukup spesifik apabila
diagnosis tanpa dilengkapi pemeriksaan angiografi dan eksplorasi bedah. Angiografi penting
untuk menentukan suplai pembuluh darah ke meningiomanya dan untuk menilai efek di
sekitar struktur arteri dan venanya.
CT tanpa kontras
Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens yang homogen atau
berbintik-bintik, bentuknya reguler dan berbatas tegas. Bagian yang hiperdens dapat
memperlihatkan gambaran psammomatous calcifications. Kadang-kadang meningioma
memperlihatkan komponen hipodens yang prominen apabila disertai dengan komponen
kistik, nekrosis, degenerasi lipomatous atau rongga-rongga.
Sepertiga dari meningioma memperlihatkan gambaran isodens yang biasanya dapat
dilihat berbeda dari jaringan parenkim di sekitarnya dan, hampir semua lesi-lesi isodens ini
menyebabkan efek masa yang bermakna.
CT dengan kontras
CT-scan dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras
dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral
dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan kepala adalah
adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada tulang
12
Semua meningioma memperlihatkan enhancement kontras yang nyata kecuali lesi-
lesi dengan perkapuran. Pola enhancement biasanya homogen tajam (intense) dan berbatas
tegas. Duramater yang berlanjut ke lesinya biasanya tebal, tanda yang relatif spesifik karena
bisa tampak juga pada glioma dan metastasis.
Di sekitar lesi yang menunjukkan enhancement, bisa disertai gambaran hypodense
semilunar collar atau berbentuk cincin. Meningioma sering menunjukkan enhancement
heterogen yang kompleks.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik tertentu pada
gambar Tl dan T2 maupun proton density. Intensitas jaringan tersebut biasanya berbeda pada
gambar Tl dan T2, kecuali lemak, darah segar, kalsifikasi, maupun peredaran darah yang
cepat. Dengan melihat gambar Tl maupun T2 dapat ditentukan karakteristik suatu tumor
apakah tumor tersebut padat, kistik, ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis maupun lemak dan
lain-lain. Intensitas jaringan tersebut mulai dari hipo, iso dan hiper intensitas terlihat jelas
pada T1 dan T2.
Selain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan endrokrinologi seperti TSH, FSH dan LH
penting karena salah satu faktor predisposisi meningioma adalah ketiga hormon diatas. Jika
pada pasien terdapat ketiga kelainan diatas maka diperlukan penangan khusus untuk patologis
yang menyertainya.
2.2.7. Terapi
Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu sendiri.
Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa
faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran
dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi,
riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan
tujuannya berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi
tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang
untuk menurunkan kejadian rekurensi.
Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade I :
1. Pembedahan adalah pengobatan utama untuk pasien yang bukan kandidat untuk elektif.
Reseksi tumor lengkap dikaitkan dengan tingginya tingkat harapan hidup bebas penyakit.
13
2. Radioterapi dapat dipertimbangkan dalam kasus lokasi tumor tidak mungkin untuk
dioperasi (seperti sinus cavernous meningioma), tumor yang tidak dapat direseksi, gejala
penyakit sisa, atau tumor berulang. Diagnosis radiologi mungkin cukup dalam kasus ini.
Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade II dan III :
3. Pengobatan standar operasi ditambah radioterapi. Radioterapi biasanya diberikan dengan
dosis 54-60 Gy, dalam 1,8-2,0 Gy per fraksi.
4. Pasien dengan tumor selektif mungkin menjadi kandidat untuk radiosurgery stereotactic.
5. Terapi sistemik lainnya dapat dipertimbangkan untuk tumor yang tidak dapat direseksi
atau berulang dalam sebuah uji klinis.
Rencana Preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat
segera diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa
hari sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai
profilaksis pada semua pasien untuk organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin
generasi III yang memiliki aktifitas terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian
metronidazol (untuk organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan
pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid.
2.2.8 Prognosis
Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang
sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Angka kematian (mortalitas)
meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman
operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka
kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah
8,5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu perdarahan dan
edema otak.
Lokasi tumor merupakan faktor yang terpenting untuk menentukan outcome.
Meningioma terkadang dapat kambuh atau dapat terjadi lagi setelah dilakukan pembedahan
atau radiasi. Follow up MRI atau CT scan (setiap satu sampai 3 tahun) pening sebagai
perhatian jangka panjang bagi siapapun yang didagnosis dengan meningioma.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Adamo PF et al, 2004. Meningiomas: Diagnosis, Treatment, and Prognosis.
Compendium, 2004; 4:951-966.
2. John Tew et al., 2013. Meningiomas. At Mayfieldclinic.com accessed September 20,
2015.
3. Mardjono M, Sidharta P, 2003. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia.
4. Osborn et al,. 2004. Diagnostic Imaging Brain. Utah: Amirsys Inc.
5. Price SAdan Wilson MW, 1995. Buku patofisiologi edisi ke IV. Jakarta : EGC
6. Santosh K et al,. 2012. Meningioma. American Brain Tumor Association.
7. Satyanegara, Djoko L. 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed 3. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
8. Stephen,Huff. Brain neoplasms.Access on www.emedicine.com. (diakses 9 maret
2015)
15