Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

49
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis pada awal abad ke-20 telah membuka jalan bagi kalangan pribumi untuk menempuh pendidika berbahasa Belanda. Dari kebijakan pemerintah colonial tersebut telah menghasilkan sejumlah kelas menengah terdidik pribumi dalam jumlah yang banyak, meski fasilitas pendidikan tinggi di negeri jajahan masih bersifat terbatas, namun kebijakan yang terbatas tersebut membuka ruang bagi penguatan kelompok intelektual pribumi di negeri Belanda meningkat tajam bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peningkatan jumlah kalangan terdidik memiliki implikasi politis bagi penguatan kasadaran social, politik dan budaya masyarakat pribumi. Umumnya mereka yang menempuh pendidikan tinggi di Belanda para aktor pergerakan yang memiliki pengaruh pada kelompok dan komunitasnya, begitu mereka berada di negeri, mereka terlibat dalam berbagai kegiatan politik untuk membangun jaringan pergerakan di Indonesia dan bergabung dengan organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Kesadaran nasional mulai tumbuh ketika itu, pada 1908 telah berdiri Indische Vereeniging yang menjadi wadah penyalur aspirasi para kalangan mahasiswa yang dikembangkan dari pusat kegiatan social dan kebudayaan para mahasiswa Indonesia dapat melewatkan waktu 1

description

 

Transcript of Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Page 1: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis pada awal abad ke-20 telah

membuka jalan bagi kalangan pribumi untuk menempuh pendidika berbahasa Belanda. Dari

kebijakan pemerintah colonial tersebut telah menghasilkan sejumlah kelas menengah terdidik

pribumi dalam jumlah yang banyak, meski fasilitas pendidikan tinggi di negeri jajahan masih

bersifat terbatas, namun kebijakan yang terbatas tersebut membuka ruang bagi penguatan

kelompok intelektual pribumi di negeri Belanda meningkat tajam bila dibandingkan dengan

periode sebelumnya.

Peningkatan jumlah kalangan terdidik memiliki implikasi politis bagi penguatan kasadaran

social, politik dan budaya masyarakat pribumi. Umumnya mereka yang menempuh

pendidikan tinggi di Belanda para aktor pergerakan yang memiliki pengaruh pada kelompok

dan komunitasnya, begitu mereka berada di negeri, mereka terlibat dalam berbagai kegiatan

politik untuk membangun jaringan pergerakan di Indonesia dan bergabung dengan organisasi

mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Kesadaran nasional mulai tumbuh ketika itu, pada

1908 telah berdiri Indische Vereeniging yang menjadi wadah penyalur aspirasi para kalangan

mahasiswa yang dikembangkan dari pusat kegiatan social dan kebudayaan para mahasiswa

Indonesia dapat melewatkan waktu senggang mereka dan bertukar pikiran mengenai keadaan

Indonesia.1

Dari peningkatan jumlah kelangan pelajar tersebut, tumbuh dan berkembang berbagai

pergerakan nasional yang lahir sejak awal abad ke-20, bersamaan dengan diterapkan

kebijakan politik etis Belanda. Kekuatan-kekuatan social politik Indonesia muncul,

berkembang, kemudian mengalami gelombang pasang dan gelombang surut, mengalami

perlunya ada wadah untuk memperjuangkan tegaknya amar ma’ruf nahi mungkar, Islam

sangat memetingkannya, sebagaiman dinyatakan dalam firman Allah SWT yang aritnya

berikut ini:

1 John Ingelson, Jalan ke Pengasingan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983)

1

Page 2: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu

bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa

jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah

berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya demikianlah

Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunujuk. Dan

hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan menyuruh

kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang

beruntung (Q.S. Ali-Imran/3: 103-104).

Dalam ayat lain, Allah berfirman mengenai pentingnya memperteguh kekuatan dan

mempererat silaturrahmi yang artinya sebagai berikut;

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah

satang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat

siksa yang berat” (Q.S. Ali-Imran/3: 105).

Juga penting kiranya ayat berikut ini melandasi pembentukan kekuatan politik di Indonesia

yang artinya sebagai berikut;

“Hai orang-orang yang beriman, jka dating kepadamu orang fasik membawa suau berita,

maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum

tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu” (Q.S.

Al-Hujurat/49: 6).

Ayat diatas menjadi dasar bagi proses pembentukan sejumlah kekuatan sosio politik di

berbagai Negara dan bangsa, termasuk dasar yang dirujuk oleh elite-elite Islam ketika

mendirikan kekuatan politik Indonesia. Meski demikian, perdebatan mengenai isu dan klaim

politik berlangsung dalam tempo yang sangat penting, misalnya klaim kekuatan politik yang

mengaku memperjuangkan “bahasa” Tuhan, ada partai yang memperjuangkan nilai-nilai sosialis,

dan adapula partai yang mencoba menerjemahkan pesan-pesan Tuhan untuk kepentingan

kemanusiaan.

2

Page 3: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

Bagaimana pembetukan kekuatan politik Islam di Indonesia

Bagaimana pembentukan kekuatan nasionalis kebangsaan di Indonesia

3

Page 4: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Kekuatan Politik Islam

Kekuatan politik Islam telah muncul pada awal 1900-an bahkan menurut beberapa

dokumen jauh lebih dahulu dari kemunculan kekeuatan-kekuatan nasionalis. Pada tahun 1905,

pengorganisasian kekuatan Islam dilakukan oleh sejumlah saudagar Islam dengan mendirikan

Sarekat Dagang Islam (SDI) dapar dipandang sebagai embrio bagi kemunculan kekuatan-

kekuatan Islam setelahnya, bahkan kemunculan SDI telah menginspirasi kalangan kebangsaan

untuk mendirikan perkumpulan dikalangan mereka sebagai menifestasi dari panggilan untuk

terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat pribumi.

Kajian mengenai kekuatan Islam politik pada periode pra kemerdekaan telah dilakukan

oleh sarjana, khususnya sarjana Indonesia sendiri seperti yang dilakukan oleh Deliar Noer2

dan Aqib Suminto,3 keduanya telah menganalisis pertumbuhan dan perkembangan kekuatan-

kekuatan Islam pada masa itu. Dalam konteks yang hampir sama, yang dilakukan Alfian4

dengan member tekanan pada gerakan Muhammadiyah telah menjadi sumber yang penting

untuk memahami kemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan Islam, baik yang

bersifat politik maupun social keagamaan.

Aktor-aktor gerakan Islam yang mengorganisir diri pada masa itu memiliki spirit

perjuangan yang kuat, mereka menghadapi kekuatan kolonial yang ingin tetap berkuasa di

Hindia Belanda, namun pemerintah kolonial mengalami kesulitan menentang kuatnya

desakan kalangan Islam untuk terlibat dalam kegiatan pencerahan umat. Dalam konteks ini,

pemerintah mengembangkan dua model kebijakan dalam menghadapi kekuatan Islam yakni

bersikap netral terhadap ibadah agama, disamping juga bertindak tergas terhadap

kemungkinan perlawanan orang-orang Islam, Artinya ada unsure toleransi dan kewaspadaan.5

Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk menjaga keamanan dan ketentraman warga,

sebagai implikasi dari penerimaan terhadap arus pekembangan kesadaran umat Islam.

2 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996).3 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandshe Zaken (Jakarta: LP3ES, 1985)4 Alfian, Muhammadiyah The Political Behavioral of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989)5 Lihat Aqib Suminto, op. cit., hlm. 199.

4

Page 5: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Selain kekuatan Islam yang muncul pada awal abad ke-20, juga berkembang berbagai

ideologi politik lain seperti nasionalisme, komunisme, dan ideologi kebangsaan lainnya yang

ikut serta memperkuat barisan perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi yang

merdeka, terbebas dari penjajahan.

Pada sub bagian ini akan difokuskan dalam memotret kekuatan politik Islam yang berdiri

pada masa pra kemerdekaan. Penjelasan ini penting untuk memperoleh gambaran yang

memadai mengenai kemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik Islam.

Kemunculan kekuatan Islam tersebut member indikasi kuat bagi praktek politik Islam periode

berikutnya termasuk apa yang dipraktekkan politik Indonesia dewasa ini.

1. Kebangkitan Islam Politik: Kasus Sarekat Islam

Sarekat Islam (SI) adalah sebuah organisasi politik yang didirikan di Solo pada 11

November 1912. SI dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kelanjutan dari Sarekat Dagang

Islam (SDI) yang didirikan pada 16 Oktober 1905 yang dipelopori oleh Tamat Djaja dan

Samanhoedi. Si didukung oleh kalangan pelajar seperti HOS Tjoromianoto, Agus Salim,

Moeis, termasuk Suwardi Surjaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan Ki Hajar

Dewantara pernah bergabung dengan SI. Tokoh-tokoh SI dengan keras mengkritik pemerintah

kolonial Belanda yang dipandangnya sebagai pihak yang hanya mengambil hasil bumi

Indonsia, tidak hanya kekayaan alam Indonesia yang dikuras, tetapi juga melakukan

penindasan secara social, politik dan budaya.

Lahirnya SI merupakan respons lansung kalangan Islam terhadap praktik politik

pemerintah kolonial Belanda yang juga menyebarkan agama resmi pemerintah mereka. Elite-

elite SI memandang bahwa pemerintah Belanda telah memperlakukan penduduk pribumi

sebagai sapi perahannya, Tjokroaminoto misalnya mengatakan bahwa “Tidaklah wajar untuk

melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh

susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat dimana

orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat

dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai

hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya

sendiri…tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan

untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita”.6

6 Di kutip dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996)

5

Page 6: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Visi untuk memperjuangkan tegaknya suatu bangsa yang berdaulat menjadi visi besar

yang diusung oleh SI, itulah yang kemudian dirumuskan dengan judul “Keterangan Pokok”

pada 1917, keterangan pokok ini berisi sejumlah gagasan penting tentang perjuangan umat

Isalam dan rakyat Indonesia menuju terbebasnya dari berkuasanya rakyat Negara lain atas

rakyat ISIegara lain atas rakyat Indonesia, meningkatnya pengaruh golongan pribumi dalam

masyarakat menjadi tumpuan harapan akan memperoleh kekuasaan sendiri dengan diperintah

golongan sendiri. Beberapa tuntutan SI kepada pemerintah kolonial Belanda adalah berdirinya

dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad (Dewan Rakyat) dengan tujuan

mentransformasikannya menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk

keperluan legislatif. Selain itu, SI juga menuntut dihapuskan segala macam undang-undang

dan peraturan yang menghambat tersebamya Islam, pembayaran gaji bagi kiyai dan penghulu,

pemisahan antara lembaga yudikatif dan eksekutif, kemudahan bagi rakyat miskin untuk

memperoleh bantuan bukum, perbaikan di bidang agraria dan pertanian dengan

menghapuskan milik tuan tanah, perbaikan irigasi. Tuntutan lain dari SI kepada pemerintah

adalah agar industri-industri yang sangat penting dinasionalisasi yaitu industri-industri yang

mempunyai sifat monopoli dan yang memenuhi pelayanan dan barang-barang yang bersifat

pokok bagi rakyat banyak.7

Fokus perhatian pada isu-isu poiitik telah memposisikan SI sebagai satu gerakan poiitik

Indonesia pertama yang secara terbuka menuntut pemerintah untuk memperhatikan

kepentingan penduduk pribumi, pemilik tanah air. Karena sumber pembiayaan pemerintah

berasal dari pajak yang dipungut — baik sukarela maupun paksa dari penduduk Indonesia,

maka partai SI menuntut agar pemerintah memberikan bantuan pembiayaan kepada

perkumpulan pribumi, khususnya koperasi. Sebelum munculnya kekuatan-kekuatan nasionalis

kebangsaan dalam aktivitas poiitik, kalangan Islam melalui SI telah rnelakukan berbagai

langkah penting sejak SI berdiri, khususnya pada 1917 rnelakukan kritik terbuka kepada

pemerintah dan menuntut dilakukan perbaikan atas nasib rakyat.

7 Ibid. hlm. 127-130.

6

Page 7: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Dengan memahami sejumlah visi, program dan tuntutan SI kepada pemerintah tersebut,

maka dengan sangat jelas, orientasinya pada poiitik kekuasaan dengan meletakkan partisipasi

rakyat. Karena itu, SI berbeda dengan Muhammadiyah yang berdiri pada akhir 1912, Persis

(Persatuan Islam) didirikan tahun 1923 dan NU (Nahdatul Ulama) didirikan pada 1926 yang

membawa misi sosial keagamaan. SI membangun hubungan yang baik dengan kelompok

sosial Islam termasuk dengan gerakan-gerakan Islam atau ormas Islam, bahkan SI

membangun hubungan bersifat simbiosis mutualisme dengan sejumlah ormas Islam. Secara

umum, ormas Islam berkiprah pada wilayah keagamaan atau berorientasi kultural, sedangkan

Sarekat Islam yang berkiprah pada wilayah poiitik atau berorientasi struktural.8 Hubungan

ormas Islam dengan Sarekat Tslam bersifat fungsional dan saling membutuhkan, Sarekat

Tslam membutuhkan dukungan ormas-ormas Islam untuk meningkatkan pengaruh politiknya,

sedangkan ormas-ormas Islam membutuhkan Sarekat Islam untuk menyalurkan aspirasi

politiknya.9

Masa kejayaan SI terjadi ketika dukungan kuat kalangan Islam terhadap kekuaran politik

Islam itu. Kejayaan itu berlangsung sejak awal berdirinya SI hingga pertengahan tahun 1920-

an. Setelah tahun 1925, SI mulai mengalami problem aktual (baik internal maupun eksternal),

khususnya ketika diselenggarakan Kongres Al-Islam di Mekkah. Kongres ini memicu protes

sebagian kalangan pembaru atas tingkah laku pemimpin SI yang hadir pada Kongres itu,

wakil kalangan pembaru dan Indonesia adalah Tjolaroaminoto dan KH. Mas Mansur,

ditambah kalangan tradisional. Tapi kehadiran mereka menimbulkan persoalan di kemudian

hari setelah beberapa elite Muhammadiyah (pusat dan daerah) menunaikan ibadah haji tahun

1926, mereka menemukan kekurangan dalam diri Tjokjroarninoto.10 Persoalan bertambah

rumit setelah jama'ah haji yang berasal dari Muhammadiyah kembali ke tanah air, mereka

menyebarkan berbagai selebaran pamflet, dan brosur yang menceritakan kekurangan

Tjokroaminoto, sekalipun upaya memperluas selebaran dihentikan oleh ketua cabang yang

akhirnya minta maaf atas tingkah warganya.11

8 Syarifuddin Jurdi, Elite Muhammadiyah, hlm. 70.9 MT. Arifin, Muhammadiyah Potret yang Berubah, hlm. 102-10310 Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, Hlm. 255-256.11 Ibid.

7

Page 8: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Dengan keadaan itu, hubungan SI dengan kekuatan sosial Islam tidak harmonis lagi dan

segera disusul dengan berbagai kebijakan SI atas beberapa kelompok dan individu yang

berafiliasi dengannya, kebijakan ditempuh sejak keadaan tidak membaik (1926-1927) dengan

melakukan politik penertiban para anggotanya yang merangkap sebagai anggota

Muhammadiyah dan Persis.12 Kebijakan tersebut menimbulkan perpecahan di kalangan umat

Islam. Dalam Kongres SI dipersoalkan hubungan antara Sarekat Islam dengan organisasi

sosial Islam terutama Muhammadiyah, dalam kongres disebutkan bahwa "segala kekurangan

Muhammadiyah dalam rangka hubungan ini akan dilaporkan kepada pimpinan Sarekat Islam

yang akan meminta perhatian pimpinan pusat Muhammadiyah tentang masalah ini.13

Menyangkut hubungan Sarekat Islam dengan ormas Islam yang mulai mengalami

keretakan, mulanya dipicu oleh perkawinan Tjokroaminoto dengan penari Solo, langkah itu

"mencoreng" SI, sebagian kelompok sosial Islam tidak senang dengan langkah petinggi SI

tersebut, tapi sejak itulah SI mengalami pemudaran pengaruh di kalangan pergerakan

kebangsaan. Sementara itu kelompok sosial Islam mulai mengalami perkembangan yang

cukup baik, pihak SI segera menuduh bahwa perkembangan gerakan sosial Islam tersebut

disebabkan oleh politik kooperasi yang dilakukannya oleh sebagian mereka dengan menerima

subsidi dari pemerintah untuk sekolah-sekolah terutama yang dilakukan oleh

Muhammadiyah.14 Sikap politik Sarekat Islam bersifat non-kooperatif, partai ini juga

menjalankan pohtik hijrah, Sarekat Islam menentang dan menolak untuk menerima subsidi

yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, SI menganggap menerima subsidi dari

pemerintah, merupakan sikap yang a-nasionalis atau bahkan anti-nasionalis.

Sarekat Islam dalam kongresnya 1927 membolehkan cabang-cabangnya untuk melakukan

penertiban atas gerakan Islam yang menerima subsidi seperti Muhammadiyah, serta melarang

pimpinan partai untuk menghadiri kongres Muhammadiyah yang chlaksanakan pada tahun itu

juga, sedangkan Salim yang menjadi penasihat Muhammadiyah meletakkan jabatan ini "atas

kemauan sendiri".... dan tahun 1929 SI mengambil langkah disiplin terhadap Muhammadiyah

secara umum yang berarti bahwa anggota Muhammadiyah harus berhenti dari SI, atau bila

12 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 255-260.13 Ibid. hlm. 255-256. Masalah hubungan antara Muhammadiyah dan SI akan dibahas kembali dalam kongres SI yang berlangsung tahun 1927 di Pekalongan.14 Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah: Dari K.H.A. Dahlan sampai dengan K.H. Mas Mansur (Yogyakarta: Persatuan, tt.), 32-35

8

Page 9: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

mereka meinilih tinggal dalam partai, mereka harus meniggalkan Muhammadiyah.15 Setelah

pohtik penertiban atas Muhammadiyah dan Persis dilakukan Sarekat Islam, pada tahun 1933

(berubah menjadi PSII [Partai Sarekat Islam Indonesia]) memecat Sukiman tanpa diberi

kesempatan untuk membela diri.16

Meskipun kondisi internal yang dihadapi SI begitu dinamis, namun perhatian dan sikap

kritisnya terhadap pemerintah tidak pernah pudar. Penting kiranya disebutkan bahwa SI

memperoleh dukungan dari berbagai aliran dan kekuatan, termasuk keterlibatan SI dalam

serikat kerja atau buruh dan kemudian mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh Hindia

(PPKB) pada 15 Desember 1919, pimpinan PPKB masuk dalam struktur kepemimpinan SI

sebagai Wakil Presiden, termasuk beberapa tokoh yang beraliran komunis. Pada dekade

1920-an, SI mengalami dinamika internal yang cukup penting bagi masa depannya,

mengingat SI telah disusupi oleh ideologi kiri termasuk konflik internal antara kubu komunis

Darsono dengan Tjokroaminoto terkait dengan masalah keuangan.

Kiprah politik Sarekat Islam yang mulai pudar pada dekade 1930-an dan kemudian

mengalami "Pemunahan" ketika gerakan kebangsaan mulai mengalami penguatan, tentu

merupakan suatu kenyataan sejarah )-ang kurang baik bagi kalangan Islam. Pada dekade

1940-an, SI juga membuat berbagai sikap politik yang kurang mencerminkan nilai-nilai

kebersamaan di antara sesama pergerakan Islam, seperti sikapnya untuk keluar dari federasi

politik umat Islam pada tahun 1947. Keluarnya SI dari federasi politik umat Islam Masyurni

tidak terlepas dari posisi dan status SI yang merupakan "raksasa" kekuatan politik Islam pada

dekade awal kemunculan kekuatan Islam, jelas yang muncul adalah motif kekuasaan, untuk

kepentingan kalangan SI sendiri.

Terlepas dari dinamika internal SI, kekuatan politik Islam ini memiliki pandangan

mengenai politik yang integralistik yakni bahwa "agama, politik dan peri kehidupan

(ekonomi) itu sudah serangkai,17 sikap politik seperti ini, umum dipakai oleh para aktivis

gerakan Islam dan partai politik Islam yang melihat bahwa Islam merupakan agama yang

komprehensif, lengkap dan sempurna mengatur kehidupan umat manusia. Ketika keinginan

menerapkan ideologi Islam secara totalistik tersebut, dalam struktur SI masuk dan

berkembang ideologi kiri, ideologi komunis. Para aktor yang terlibat dalam menyusupkan

15 Ibid.16 Abdul Azis Thaba, op. Cit., hlm. 143.17 Neratja, 5 Maret 1918 dikutip dalam Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm, 144.

9

Page 10: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

ideologi kiri tersebut tidak memiliki alternatif pergerakan lain, kecuali mempergunakan SI

sebagai alat politik yang sudah tersedia.

Itulah sebabnya ketika dalam SI muncul dasar-dasar yang bukan Islam yang kemudian

melemahkannya, kekuatan ideologisnya melakukan upaya-upaya "pembersihan" agar Islam

tetap menjadi faktor utama dalam menggerakkan partai. Bagi kalangan SI, ideologi diluar

Islam tidak diperlukan, karena dalam Islam telah lengkap mengatur segala dimensi

kehidupan,, tidak perlu lagi umat Islam mencari berbagai paham atau isme-isme yang lain

yang dapat mengobati pergerakan mereka. Dalam Islam telah ada dasar perjuangan yang

kekal. Bahwa segala kebajikan yang ada dalam suatu isme, ada dalam azas islamisme itu.18

Agus Salim salah seorang pemimpin SI mengemukakan bahwa tujuan SI adalah untuk

mendirikan suatu "aturan dunia yang membawa persamaan dan kebahagiaan bagi segala

manusia",...hal itu hanya akan dicapai apabila susunan dunia sekarang di ubah.19 Prinsip

persamaan merupakan penekanan untuk membangun masyarakat baru yang berkemajuan,

terbebas dari kolonialisme dan imperialisme. Dalam pemahaman Islam, bahwa kemerdekaan

yang hakiki adalah terbebasnya manusia dari segala penghambaan atau ketergantungan

kepada selain Allah, satu-satunya tempat untuk meminta pelindung hanya kepada Allah SWT,

inilah pandangan dasar politik SI.

Sikap politik SI berbeda dengan sikap umum kelompok Islam lainnya, SI lebih

menekankan pada politik progresif-radikal ketika berhadapan dengan pemerintah Hindia

Belanda yang melancarkan gerakan kristenisasi. Apa yang dilakukan SI merupakan sesuatu

yang wajar dan rasional, hanya kurang mengkalkulasi secara matang sikap politik tersebut

untuk kepentingan jangka panjang Islam, misalnya dalam salah satu sikapnya mengenai hal

ini, SI menyatakan bahwa SI didirikan sebagai reaksi umat Islam terhadap kerteningspolitik

(politik pengkristenan) pemerintah Belanda dan aktivitet zending....".20

18 Ibid, hlm. 139.19 Ibid.20 Ibid.

10

Page 11: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Pendirian kekuatan sosial keagamaan untuk memperkuat basis gerakannya dengan cara

mencerdaskan mereka merupakan rangkaian sikap yang sama yang diterapkan oleh SI, bahkan

SI menyerukan beberapa hal kepada penduduk pribumi;21

a. kemerdekaan yang berazaskan ke-Islaman..., yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat

daripada perhambaan macam apapun juga.

b. hampir segenap rakyat Hindia sebagai kaum buruh, termasuk yang terpelajar yang hanya

berharga sebagai perkakas pihak penarik kekayaan itu.

c. menekankan perlunya persatuan dari para petani dan pekerja yang diharapkan akan berjuang

untuk rnenghapus segala "kejahatan dari perbudakan politik dan ekonomi". Hak-hak politik

dianggap sebagai kemestian bagi penghapusan ini.

d. menurut Islam pemerintah itu haruslah sebuah "pemerintahan rakyat, yang berhak

mengadakan dan memecat punggawanya untuk keperluan bersama".

Pendirian politik yang keras dan progresif seperti SI menyebabkan kekuatan tersebut

mengalami persoalan tersendiri, karena menghadapi pihak lain, khususnya Negara yang

memiliki posisi yang kuat. Sikap politik tidak diteruskan oleh sejumlah kekuatan politik yang

berdiri pasca SI mengalami kemunduran pengaruh di kalangan umat Islam. Beberapa

organisasi politik yang muncul pada dekade 1930-an adalah munculnya Majelis A'la Islam

Hindia Syarqiyah (MATHS),22 partai ini termasuk didukung oleh Muhammadiyah. Setelah itu

berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Partai ini menyalurkan aspirasi dari banyak anggota

organisasi pendidikan dan sosial Islam yang dahulunya disalurkan melalui Sarekat Islam.23

PII merupakan partai yang menonjolkan bila dibandingkan dengan partai yang lain selain SI.

Partai ini dicetuskan oleh beberapa ceadekiawan Islam seperti Sukiman yang merasa tidak lagi

mendapat tempat dalam Sarekat Islam. Organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah

bergabung dengan PII dan menjadikan partai ini sebagai saluran aspirasi warganya, begitu juga

dengan organisasi-organisasi Islam lain yang tidak lagi terakomodasi dalam Sarekat Islam.

Kehadiran PII sebagai bentuk protes kelompok Islam yang terhadap Sarekat Islam. Selain itu,

muncul dan berkembang federasi politik umat Islam yakni Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)

yang dideklarasikan pada 1938, didukung Muhammadiyah, SI, dan NU.

21 Ibid. hlm. 146.22 Lihat Bendera Islam, 26 Februari 1925, 3/7 September 1925 seperti yang dikutip oleh Deliar Noer, op. cit., hlm. 153.23 Lihat Deliar Noer, op. cit., hlm. 154.

11

Page 12: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

2. Pergulatan Kekuatan Islam: Kasus MIAI dan PII

Politik penertiban dan pemecatan yang dilakukan oleh SI terhadap sejumlah organisasi

sosial Islam yang menjadi jejaringnya serta perseorangan pada akhir 1920-an dan sikap yang

hampir sama dilakukan SI pada awal dekade 1930-an telah mendorong kalangan Islam lainnya

untuk membangun persatuan politik alternatif selain SI. Dalam kongres Nahdatul Ulama di

Banjarmasin KH. Hasyim Asy'ari menyampaikan agar seluruh ulama peserta kongres untuk

mengesampingkan semua pertikaian, membuang perasaan ta'assub (fanatik) dalam berpendapat,

melupakan segala cacian dan celaan terhadap sesama serta menegakkan persatuan.24 Kyai

Hasyim juga menyerukan kepada seluruh umat Islam (kalangan tradisi dan pembaru) untuk

bersatu, menghindari perpecahan; "Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat

bercerai-berai, berpecah belah, bertengkar-tengkar dan bermusuh-musuh... Atau akan kita

lanjutkan jugakah perpecahan ini; hina-menghinakan, pecah-memecah, munafik ... Padahal

agama kita hanya satu belaka: Islam! Mazhab kita hanya satu belaka: Syafi'i! Daerah kita satu

belaka: J awa!’’25

Pernyataan KH Hasyim Asyari di atas sebagai respons atas kondisi umat Islam yang sulit

bersatu dalam menegakkan Islam, setidaknya mempersiapkan "Islam" sebagai faktor utama

dalam pembentukan oegara-bangsa. Menurutnya, umat Islam telah masuk dalam

pertentangan-pertentangan dan bermusuh-musuhan. Dengan sangat baik dituniukkan tentang

pertentangan kalangan Islam, khususnya dalam soal pohtik. Akibat pertentangan tersebut,

kekuatan Islam mengalami kemerosotan, kim peran baru segera lahir untuk mengganti posisi

sentral yang selama ini dimainkan oleh SI.

Dalam rangka menyatukan kekuatan umat, Muhammadiyah diwakih oleh KH. Mas

Mansur, NU diwakili oleh KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah dan SI oleh

Wondoamisono, mendirikan federasi pohtik umat Islam yang diberi nama Majelis Islam A'la

Indonesia (MIAI) dengan tujuan utama untuk mempererat persatuan kaum mushmin di dunia,

dan khususnya Indonesia.26 MIAI didirikan di Surabaya pada 21 September 1937.27 Dalam

24 Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 261.25 Jawa saja pada masa itu dalam penjelasan Delier Noer merupakan istilah yang mudah untuk menyebut Indonesia sebagaimana orang-orang Arab di Mekah dahulu untuk menyebut Indonesia, lihat dalam Ibid.26 Ibid., hlm. 262-267.27 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.), Mas Mansur: Pemikiran Tentang Islam dan Muhammadiyah (Yogyakarta: Hanindita, 1986), hlm. 113-116; lihat juga ibid., hlm. 262.

12

Page 13: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

laporan Syafii Maarif dinyatakan berdirinya MIAI didasarkan pada alasan;28 Pertama, usaha-

usaha pohtik Islam pada waktu itu masih belum mantap, karena itu diperlukan persatuan umat

diperlukan dalam menghadapi kolonial. Sukiman menyebut persatuan di kalangan Islam

supaya kedudukan (posisi) Islam di Indonesia sedemikian hingga boleh disebut sepadan dengan

penlingtiya A.gama dan besarnyajnmlab Umat Islam disini.29 Kedua, untuk menggalang

persatuan di antara kekuatan-kekuatan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang

semakin kritis.

Para elite Islam yang memprakarsai terbentuknya MIAI telah memberikan pola baru bagi

hubungan organisasi keagamaan dengan pohtik. Mas Mansur misalnya menjelaskan tentang

maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh MIAI, bahwa tujuan adalah "Uttasawwur,

artinya untuk tempat bermusyawarah. Tempat bermusyawarah inilah Majlis namanya. Di

situlah dikumpulkan beberapa orang ulama dan pemimpin Islam, guna berunding dan

bermusyawarah. Pada setiap waktu yang ditentukan, mengadakan persidangan, untuk

kepentingan umat dan agaroa Islam. Bilamana ada sesuatu keputusan, maka keputusan itulah

dibawa dan dilakukan kepada anggota setiap perkumpulan dan kaum, yang masuk menjadi

anggota MIAI atau yang ddak pun diharapkannya, agar supaya persatuan dalam sesuatu

upacara dan hukum dapat bersatu".30

Federasi ini sebagai tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdin dari

wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar

agama Islam di seluruh Indonesia.31 Tujuan MIAI sendiri adalah sebagai berikut;

"Untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi

kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya harus dipegang teguh dan

dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpiman-perhimpunan yang menjadi

anggotanya". Statuta yang disetujui 14-15 September 1940 rnemperluas "mengadakan

perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang

telah tergabung di dalam MIAI, maupun yang belum".32

Langkah mendirikan wadah baru ini sebagai klimaks dari persoalan yang dihadapi

kalangan Islam, khususnya SI. Kalangan Islam mengambil haluan baru dalam kegiatan politik

mereka, dengan mendirikan wadah baru dan bukan membesarkan SI, mereka mendasarkan

28 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 17-20.29 Ibid., hlm. 17.30 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.), op. cit., hlm. 115.

13

Page 14: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

persatuan itu pada argumen bahwa persatuan untuk memperoleh kemajuan, kemerdekaan dan

kebaikan bersama diperlukan adanya kesatuan. Pada sisi lain, kekuatan Islam muncul hampir

bersamaan dengan lahir MIAI yakm Partai Islam Indonesia (PII) yang dipimpin oleh Sukiman

berdiri pada 1937, beberapa gerakan Islam pun mendukung partai ini seperd datang dari

Muhammadiyah, Persis, Thawalib, dan bekas anggota Permi di Sumatera. Beberapa tokoh PII

yang cukup tenar namanj'a adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Mohammad Natsir, dan Abdul

Kahar Muzakkir. Konsul PII di Jawa Timur adalah KH. Mas Mansur dan konsul-konsul PII

pada beberapa daerah lainnya dimotori kaum modernis.

Sementara MIAI yang merupakan federasi Islam, pada dasarnya bergerak pada kawasan

agama, tetapi dalam perkembangannya terutama menjelang jatuhnya Hindia Belanda ke

tangan Jepang, kiprahnya meluas ke bidang politik. Beberapa tokohnya menghadapi situasi

yang sulit. Banyak elite Islam masa itu yang memiliki keteguhan sikap dan pendirian, mereka

menghadapi berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Selain persoalan politik

kenegaraan (kolonial Belanda), di kalangan umat Islam pun terjadi pertentangan dan

pertikaian antara sesama ulama, Mas Mansur salah seorang dari kalangan ulama rnenyatakan

tentang hal tersebut;

"... kita gemar berbantah-bantahan, bermusuh-musuiian di antara kita umat Islam,

malahan perbantahan dan permusuhan itu di antara ulama dengan ulama. Sedang yang

dibuat perbantahan itu perkara hukum kecil-kecil saja. Adapun timbulnya permusuhan

itu, karena kebanyakan kita berpegang kuat pada hukum yang dihukumkan manusia.

Sehingga suatu perkara di utara rnenyatakan sunnat, di selatan rnenyatakan makruh, di

barat rnenyatakan wajib, di timur rnenyatakan haram, begitulah seterusnya sehingga umat

Islam yang awam dibuat bal-balan oleh ulama kita. Sana benci kepada sini, sini benci

kepada sana".33

Persoalan khilafiyah dalam pandangan Mas Mansur ddak perlu dibesar-besarkan menjadi

pertentangan dan bahkan menjadi permusuhan sesama muslim. MIAI telah dinisbahkan untuk

menyatukan perbedaan, menghindari konflik dan pertentangan antara sesama Islam, dan

bersatu untuk membangun kesadaran agama umat. Semua komponen yang mengintegrasikan

dirinya dengan MIAI mengharapkan akan adanya suatu usaha bersama untuk menyembuhkan

31 Delier Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 262.32 Ibid., hlm. 262-263.33 Amir Hamzah Wirjosukarto (ed.). op. cit., hlm. 111.

14

Page 15: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

penyakit perpecahan. Sekalipun dalam kenyataan bahwa MIAI bertujuan untuk menyatukan

perbedaan antara golongan Islam, menurut Prawoto Mangkusasmito terdapat tujuan politik

yang tersembunyi dari gerakan MIAI. Tujuan yang dimaksud mempersatukan gerakan Islam

untuk melawan kolonialisme Belanda.34

Dalam bagian tertentu, MIAI menjadi wadah untuk rnemperluas segmentasi pengaruh

para organisasi yang bernaung terutama untuk kegiatan-kegiatan kepemudaan dan

kehartabendaan, seperri partisipasi Muhammadiyah dalam mengirim pemuda-pemuda

Muhammadiyah dalam kegiatan Majelis Pemoeda dan Majelis kepoetrian MIAI dan

mengikuti kursus-kursus majelis tersebut.35 Pemuda-pemuda Muhammadiyah mengikuti

kursus agama Islam yang dilaksanakan selama tiga bulan, dan sebelumnya dilaksanakan

kursus administrasi kebendaharawanan, yang masing-masing dilaksanakan di kota Jakarta

dan Bandung.36

Setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, federasi MIAI mengembangkan kerja

sosial yang mencakup pembinaan kepada umat Islam. MIAI menekankan pada persatuan anak

negeri, juga mengembangkan program yang bersifat sosial, kemanusiaan dan nasionalisme,

program yang terdiri dari;37

a. menjaga dan mempertahankan martabat dan kemajuan agama Islam dan penganut-

penganutnya;

b. mempropagandakan "masyarakat baru" di kalangan orang Islam;

c. memperbaiki semua masalah yang sangat penting kepentingan umat, meliputi:

perkawinan, pergantian, dan warisan, masjid, wakaf zakat fitrah, pengajaran dan

kependidikan, publikasi dan propaganda, bantuan terhadap fakir miskin dan masalah haji;

d. membantu pemerintah Dai Nippon dan bekerja bagi Asia Raya.

Sikap keras kalangan Islam atas kebijakan Nipponisasi — setidaknya telah merubah

keinginan Jepang untuk mengadakan Seikeirei bagi umat Islam. Sikap menentang kebijakan

Dai Nippon merupakan manifestasi dan pemahaman akan nilai-nilai agama. Kendatipun

dalam hal tertentu, MIAI dan PII dapat bersikap tegas dan keras kepada pihak-pihak lain,

tetapi sebenarnya keberadaannya tidak memiliki aturan organisasi yang ketat, melainkan

34 Syafii Maarif, Islam dan Politik., hlm. 20.35 MT. Arifin, op. cit., hlm. 178.36 Ibid.37 MT. Arifin, op. cit., hlm. 175.

15

Page 16: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

bersifat sukarela dan bukan kesatuan politik yang memiliki disiplin kuat. Melalui MIAI

seluruh potensi umat Islam terakomodasi secara wajar. Ada dua alasan kuat dari pembentukan

MIAI yakni;38

1) usaha-usaha politik Islam pada waktu itu masih belum mantap sebagaimana diharapkan,

padahal persatuan di antara mereka sangat penting untuk menghadapi kaum kolonial dan

nasionalis sekuler.

2) adanya contoh yang kompetitif dari golongan nasional sekuler yang juga mempersatukan

organisasinya.

Sementara itu Ahmad Syafii Ma'arif menyebut MIAI sebagai wadah persatuan umat dan

munculnya MIAI didorong oleh dua kenyataan;39

a) usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada waktu itu masih berserakan dan karena

itu persatuan amat diperlukan dalam kerangka perjuangan melawan Belanda. Adanya

friksi-friksi dalam bidang pohtik dan perbedaan-perbedaan paham dalam soal khilafiyah di

kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.

b) adanya corak yang kompetitif di kalangan nasionaHs sekuler yang merapatkan barisan

mereka.

Belum sampai lima tahun umur MIAI pasukan Jepang mendarat di Indonesia dan dengan

mudah mengusir Belanda. Kondisi politik yang kacau-balau, membuat MIAI tidak bisa

bertahap "hidup" lebih lama lagi, walaupun awalnya Jepang membiarkan MIAI untuk eksis

tetapi hanya bersifat sementara. Karena federasi ini membuat kegiatan-kegiatan yang selalu

menentang setiap Kolonialisme dan secara tegas sebagai wadah untuk menentang

kolonialisme, dengan menyadari hal tersebut, pemerintah baru pimpinan Jepang

membubarkan MIAI, dan riwayar hidup MIAI berakhir tahun 1942, dan proses

pembubarannya sangat berdimensi politis karena dipaksa oleh keadaan.

Setelah gagal mempertahankan eksistensi MIAI, elite Islam sekitar tahun 1942 kembali

membuat partai politik baru yaitu MajeHs Syura Muslim Indonesia (Masjoimi) yang sering di

sebut Masyumi buatan Jepang sebagai ganti MIAI. Partai baru ini mendapat kesempatan

untuk bisa berbuat sesuatu bagi umat Islam, tetapi aktivitasnya dikontrol oleh pemerintah

Jepang secara ketat. Menurut Benda, terbentuknya Masyumi merupakan "kemenangan politik

38 Lihat Azis Thaba, op. cit., hlm. 143-144.39 Lihat Ahmad Syafii M’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 96.

16

Page 17: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Jepang terhadap Islam"40 dan pembentukan Masyumi untuk mendukung pemerintahan Jepang.

Namun para pemimpin Islam membelokkan tujuan dari Masyumi dan perjuangan tersebut

dianggap berhasil.

Usaha Jepang untuk merangkul pemimpin-pemimpin Islam selalu gagal, karena sentimen

anti Jepang sangat kuat dan Kahin dalam penelitiannya menyimpulkan;

"Walaupun melalui pertubuhan ini Jepang memang nampaknya telah menaikkan semangat

nasionalisme rakyat jelata, tetapi nampaknya mereka tidak banyak berjaya dalam menaikkan

sentimen anti pihak Berikat, berbanding dengan anti Jepun. Hampir semua kiaji tidak mahu

menjadikan diri mereka sebagai alat kepada cita-cita Jepun.-perasaan marah terhadap Jepun

telah menyebabkan mereka berpaling ke arah kemerdekaan Indonesia lebih daripada segala-

galanya dan ini selalu diikuti oleh nada anti-Jepun daripada anti pihak barat".41

3. Islam, Nasionalisme dan Politik Jepang

Mempertahankan MIAI setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia hanyalah bersifat

sementara, kendati di awal Jepang berkuasa, wilayah kekuasaan MIAI diperluas dengan izin

dari pemerintah, pendirian berbagai sarana pergerakan sampai ke daerah-daerah menjadi

sesuatu yang penting bagi penguatan basis gerakan umat Islam, bahkan pada masa itu berhasil

mendirikan baitul ??jaal di 35 kabupaten.42 Keberhasilan tersebut berkat dukungan yang

diberikan oleh kelompok pemuda dan pada tahun 1943 di bentuklah konsul-konsul yang

diharapkan dapat mewakili MIAI. Umat Islam mengembangkan kerjasama dengan pihak

Jepang. Secara lahir kelihatan bahwa MIAI membangun kerjasama dengan Jepang, tapi Harry

J. Benda menyebut bahwa dalam kenyataan terdapat kombinasi antara ketakutan dan

kekaguman; hal itu dipengaruhi pula oleh faktor lain, sebagian besar pernimpin Islam kurang

sofistikasi dan kurang pengalaman politik, sehingga secara keseluruhan tidak siap

menghadapi perubahan pemerintahan kolonial secara mendadak. Tapi secara umum dapar

dianggap, bahwa orang Indonesia dimana kebanyakan anggota-anggota elite politik,

administrasi, dan Islam mengambil bagian, meskipun dengan pelbagai tingkat entuasiasme

yang berbeda.43

40 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 185.41 George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pengajaran Malaysia, 1980), hlm. 138-139, dikutip dari Abdul Azis Thaba, op. cit., hlm. 150-151.42 Ibid., hlm. 178.43 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).

17

Page 18: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Sekalipun yang tampak bahwa umat Islam mengambil peranan yang kooperatif dengan

Jepang, tapi kecurigaan Jepang terhadap MIAI sulit dihindari. Mereka yakin, bahwa tujuan

MIAI mengandung suatu proses politik yang berada di luar "mejifikasi", dan karena itu

peranan MIAI tidak diabaikan oleh penguasa milker, meskipun diizinkan memiliki beberapa

fasilitas, seperti penerbitan dua mingguan, ataupun peralatan lainnya.44 Perizinan itu tidak

berlangsung lama, karena sikap kecurigaan Dai Nippon terhadap pergerakan MIAI semakin

kuat setelah beberapa kenyataan bahwa MIAI mengandung misi atau maksud-maksud politik.

Kondisi demikianlah yang membuat posisi MIAI makin suHt, kesulitan yang utamanya

adalah Jepang tidak melihat MIAI sebagai suatu federasi bagi umat Islam yang minus-politik,

tetapi motif-motif politiknya jauh lebih menonjol. Implikasi dari kecurigaan itu melahirkan

suatu kebijakan dari pemerintah Dai Nippon yang membubarkan MIAI. pembubaran MIAI

tidak serta merta membawa implikasi yang sama bagi ormas yang bergabung di dalamnya.

Untuk memastikan status organisasi Muhammadiyah dan NU, pada 10 September 1943

pemerintah Dai Nippon mengumumkan status hukum kedua organisasi tersebut, sebab ada.

desas-desus organisasi yang berafiliasi dengan MIAI ada kemungkinan akan memperoleh

perlakuan yang sama seperti MIAI yang dibubarkan pemerintah, tapi keputusan pemerintah

bagaikan "rahmat tersembunyi" bagi kedua organisasi.45 Muhammadiyah dan NU diizinkan

untuk melakukan kegiatan dan MIAI sejak Oktober telah dilarang keberadaannya oleh

pemerintah tanpa alasan yang jelas.

Untuk memperoleh status hukum dari pemerintahan Dai Nippon, beberapa ormas Islam

seperti Muhammadiyah mengajukan permohonan pendirian perkumpulan agama. Pada 6 April

1943 melalui Ketuanya Ki Bagus Hachkusumo, Muhammadiyah memohon izin dengan

merubah tujuan Muhammadiyah agar sesuai dengan harapan Dai Nippon, sekalipun ddak

terdapat perbedaan yang serius dengan tujuan sebelumnya. Sesuai dengan kepercayaan untuk

mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan

memang diperintahkan oleh Allah, maka Muhammadiyah merumuskan tujuannya sebagai

berikut;

a. Hendak mengajarkan Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan

tuntunannya.

b. Hendak melakukan pekerjaan perbaikan umum.

44 MT Arifin, op. cit., hlm. 176.45 Ibid., hlm. 180.

18

Page 19: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

c. Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada

anggota-anggotanya.46

Permohonan Ki Bagus tersebut memperoleh tanggapan dari Gunseika dengan

memberikan izin atas berdirinya Muhammadiyah. Dalam surat jawabannya Gunseika

menyampaikan beberapa catatan, diantaranya;

1) Kalau hendak merobah apa jang terseboet dalam soerat permohonan pokok, haroes idzin

kepada Gunseika

2) Saban tahoen, selambat-lambatnja 2 boelan sehabis teotoep boekoe, haroes

memberitahoekan kepada Gunseika dari pekerdjaan dalam tahoen jang laloe: a) Keterangan

oemoem dari pekerdjaan dalam tahoen jang laloe. b). Banjaknja masjid, langgar, tempat-

tempat sebahjang dan menjiarkan agama jang lain, sekolah-sekolah agama, pendirian-

pendirian oentok kebaikan oemoem (diterangkan matjamnja masing-masing di achir tahoen).

c). Banjaknja goeroe agama (kijahi dll.), anggauta-anggauta dan penganoet di achir tahoen. d).

Perhitoengan pemasoekan dan pengeloearan orang dalam tahoen jang lalu.

3) Djika diadakan tetapkan atau perobahan atoeran perkoempoelan haroes dengan selekas

moengkin diberi tahoekan kepada Gunseikan.

4) Perkoempoelan tidak dibolehkan mendirikan pergerakan perempoean seroepa Fujinkai,

pergerakan pemoeda seroepa Seinen dan atau pergerakan anak-anak seroepa Sjaendan.47

Setelah memperoleh status hukum baru dari pemerintalian Dai Nippon, ormas Islam

seperti Muhammadiyah, dapat menyelenggarakan kegiatan, membangun kembali komunikasi

dengan cabang-cabang yang telah terhenri selama dua tahun. Langkah yang penting segera

dilakukan konsolidasi dan penataan kembali organisasi yang sudah rusak. Ormas Islam yang

kala itu, kembali memperoleh "gizi" dari pemerintah berbenah untuk menyongsong "fajar"

kemerdekaan dalam menyebarkan ajaran agamanya, meski masih dalam wilayah kendali Dai

Nippon.

Program sosial keagamaan menjadi penting untuk bisa memperoleh ijin bagi pergerakan

sosial Islam, bahkan beberapa elite Islam rnemberikan dukungan bagi Dai Nippon, meski

dukungan itu bersifat simbolik belaka, sebab dalam kenyataannya banyak kalangan Islam

yang tidak bisa menerima upacara untuk memberi hormat seperti orang n/ku' sebagaimana

46 PP Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 1912-1985 (Yogyakarta: Sekretariat PP Muhammadiyah, 1998), hlm. 13. Di kumpulkan oleh Mh. Djaldan Badawi.

19

Page 20: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

yang dipraktekkan masyarakat Jepang, bagi umat Islam sikap seperti im sebagai suatu tingkah

laku yang menyimpang dari ajaran Islam. Ketua PB Muhammadiyah KH. Mas Mansur

rnemberikan dukungan kepada Dai Nippon dengan syarat "... bahwa kita bisa bekerjasama

(dengan tentara Dai Nippon), akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak

menghina agama. Namun kalau sekiranya agama dihinakan, maka haruslah disadari bahwa

orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, apa pun yang terjadi. Dan hal ini

dipahami oleh mereka semua.48 Penghormatan diberikan kepada pimpinan (raja) yang menjadi

tradisi masyarakat Jepang dalam pandangan Islam sesuatu yang bertentangan dengan ajaran

Islam, penghormatan seperti rnkn' hanya untuk Allah.

Untuk merespons kasus serupa Abdul Kahar Muzakkir memperingatkan Dai Nippon

dalam soal ini, menurutnya "....cukup banyak orang Nippon yang telah mempelajari prinsip-

prinsip Islam... karena im mereka harus tahu bahwa Islam itu bukan saja agama akan tetapi

seluruh way of life meresapi seluruh masyarakat... Perjuangan melawan imperialis Barat

sudah lama kami kenal, sehingga kami menerima tujuan Nippon untuk melawannya.49

Pandangan Muzakkir sebagai respons atas keinginan Jepang untuk menggalang kerjasama

yang luas, umat Islam menyambut dengan baik asalkan tidak kerjasama dalam soal agama.

Menurut Muzakkir, perbedaan diantara semua kepercayaan kita tidak perlu menghalangi

kerjasama kita untuk mengusir Sekum dari Asia, yang adalah rumah bagi semua agama.50

B. Pembentukan Kekuatan Nasionalisme Kabangsaan

Peningkatan jumlah kalangan terdidik yang berlangsung sejak awal abad ke-20 hingga dekade

1920-an, pergerakan nasional kebangsaan tumbuh yang diawali dengan pengorganisasian kalangan

mahasiswa di negeri Belanda yang berlangsung pada tahun 1908 melalui Indische Vereeniging. pada

47 Ibid., hlm. 15. 48 Harry J. Benda, op. cit., hlm. 15749 Ibid.50 Ibid.

20

Page 21: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

tahun yang sama di tanah air muncul pergerakan Budi Utomo, suam pergerakan nasional yang

diprakarsai oleh kalangan priyayi Jawa. Kekuatan politik kalangan nasionalis kebangsaan muncul dan

berkembang secara massif pada dekade 1920-an yang ditandai dengan berdirinya kekuatan komunis

(Partai Komunis Indonesia [PKJ]) pada tahun 1920, anggotanya dibiarkan memiliki keanggotaan

ganda yakni menjadi anggota PKI dan sekaligus anggota SI dengan tujuan untuk mengubah SI dari

dalam melalui penyusupan.

Kekuatan nasionalis muncul pada tahun-tahun berikutnya dengan dukungan kalangan terpelajar,

baik mereka yang menempuh pendidikan tinggi di negeri Belanda maupun kalangan terpelajar

pribumi. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai kemunculan dan perkembangan kekuatan-

kekuatan politik nasionalis kebangsaan serta memotret peran aktor-aktor yang terlibat dalam

pergerakan tersebut.

1. Kabangkitan Politik Nasional: Kasus Budi Utomo

B(oe)udi U(Oe)tomo (disingkat BO) merupakan gerakan nasional pertama yang

memperjuangkan nasib kaum pribumi, kelahirannya juga dijadikan sebagai kebangkitan

nasional Indonesia. BO sebenarnya merupakan perkumpulan kaum elite atau golongan

terdidik, karena sifatnya yang elitis tersebut, BO tidak mencakup semua lapisan sosial,

kendatipun dalam perkembangannya, BO tidak membatasi keanggotaannya

pada kalangan priyayi abangan semata, melainkan juga kalangan warga secara umum,

termasuk kalangan muslim. Dalam berbagai dokumen dinyatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan

sebelum mendirikan Muhammadiyah telah menjadi anggota BO. Hubungan Ahmad Dahlan

dengan BO bersifat mutualisme simbiosis, meski sebagiarl rang lain justru menyebutkan

bahwa Kyai Dahlan-lah yang paling membutuhkan BO, selain memiliki "misi tersendiri"

untuk mendirikan suatu pergerakan di kalangan Islam, Kyai Dahlan juga memperoleh

kesempatan untuk memberikan pelajaran agama kepada murid-murid sekolah BO yang

terletak di Jetis.

Budi Utomo didirikan pada tahun 1908, empat tahun sebelum Sarekat Islam dan

Muhammadiyah didirikan (1912). Tapi banyak pihak terutama kalangan Sarekat Islam

menentang klaim bahwa BO-lah organisasi pribumi pertama, karena Samanhudi dkk telah

mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO berdiri,

bahkan kalangan Sarekat Islam pada tahun 1950-an telah menunrut pada pemerintah agar SDI

yang menjadi pelopor gerakan nasional Indonesia. Gerakan nasional mana yang lebih dulu

dari lain, bukanlah soal yang perlu dibahas di sini, apakah BO atau Sarekat Dagang Islam?

21

Page 22: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Kelahiran BO telah disepakati sebagai hari kebangkitan nasional, itu menunjukkan bahwa

BO menjadi simbol dari gerakan kebangkitan nasional, terlepas apakah BO yang lebih dahulu

lahir atau SDI. Dalam struktur kelembagaan BO dikuasai oleh kalangan priyayi abangan

terdidik yang telah menempuh pendidikan pada sekolah-sekolah umum dibawah kontrol

pemerintah kolonial Belanda, meskipun hampir seluruh pengurusnya merupakan pada priyayi

abangan, tapi di kalangan elite BO tidak membenci Islam, bahkan mereka ingin sekali

mempelajari Islam. Pada 1909, setahun setelah BO berdiri, pergerakan ini mulai kontak

dengan elite-elite Islam di Yogyakarta, khususnya dengan KH. Ahmad Dahlan yang

dihubungkan oleh salah seorang pengurus BO yang bernama Joyosumarto dan sangat dekat

dengan dr. Wahidin Sudirohusodo salah seorang pimpinan BO vang tinggal diketandang

Yogyakarta.

Setelah kontak itu, kebangkitan BO kemudian menginspirasi kalangan Islam untuk

mengikuti jejak BO, KHA Dahlan setelah bertemu dan berdialog dengan para petinggi BO

kemudian diajak untuk duduk dalam anggota pengurus BO, menurut Sjoedja, Dahlan

mendapat pelajaran mengenai cara membentuk persyarikatan, menyusun anggota-anggota

pengurus, dan Iain-lain yang bersangkutan dengannya... Beliau dapat pula memberikan

penerangan Islam dengan cara akliyah-ilmiyah dan nakliyah dengan bahasa Jawa, di waktu

sehabis rapat pengurus BO ditutup. Jadi, sifatoya ramah-tamah dan tidak sebagai pelajaran.51

Sikap inkluasif BO telah membuka jalan bagi transrnisi semangat pembaruan kalangan

Islam. Beberapa pengurus BO seperti R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo (guru di kweekshool

Jetis) disebut-sebut menyukai agama Islam. Para siswa sekolah BO di Jetis memperoleh

penerangan agama dari kalangan pembaru Islam, meski dilakukan diluar jam resmi sekolah,

tetapi kesediaan untuk menerima materi agama itu menjadi penting bagi proses integrasi kelas

intelegensia baru. Persetujuan Kepala Sekolah atas keinginan untuk memberi bekal

pendidikan agama kepada kader-kader BO tidak saja membuka kontak antara kalangan

kebangsaan dengan Islam, menurut beberapa sumber bahwa pendidikan Islam diisi pada

setiap Sabtu sore, atas inisiatif para siswa, pertemuan itu dilanjutkan pada Ahad pagi di rumah

Ahmad Dahlan.52

51 H.M. Sjoedja, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1989), hlm. 52 dan PP, hlm. 8.52 Sjoedja, op. cit., hlm. 67-68.

22

Page 23: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Untuk menyebarkan spirit kebangkitan nasional, BO mempergunakan lembaga

pendidikan {Kweekshool Jetis) sebagai sarana pencerahan, juga disebut sebagai

"laboratorium" bagi calon inetelegensia, melalui sekolah ini juga, terjadi pertukaran guru

antara kalangan nasionalis dengan kalangan Islam untuk mengajar ilmu-ilmu yang mereka

kuasai kepada sekolah-sekolah Islam dan pelajaran Islam pada sekolah-sekolah umum.

Kemunculan intelegensia yang menjadi kekuatan pergerakan nasional pasca BO, lahirnya

SI dan Muhammadiyah pada 1912 merupakan rangkaian proses kebangkitan nasional yang

diinspirasi oleh BO. Bahkan kelahiran Muhammadiyah berkat dukungan BO. Banyak

kalangan muslim puritan dan muslim tradisional yang kurang meminati kegiatan politik

seperti yang dilakukan oleh BO. KHA Dahlan misalnya mulai aktif dalam BO pada tahun

1909, setahun setelah gerakan itu berdiri dan menjadi komisaris untuk residen Yogyakarta.

Keanggotaannya dalam BO ini bermula dari perbincangan dengan Joyosumarto dan

diteruskan dengan menjalin hubungan baik dengan Dr. Wahidin dan Dr. Sutomo-keduanya

merupakan pemirnpin BO terkemuka. Seperti telah dijelaskan dalam bagian awal tadi,

hubungan Muhammadiyah dengan BO lebih banyak dipersonifikasi oleh pribadi Dahlan,

kendatipun menjelang berdirinya Muhammadiyah beberapa orang dari Kampung Kauman

dimobilisasi untuk menjadi anggota BO sebagai salah satu syarat berdirinya perkumpulan

Muharnmadiyah.

Kegiatan BO lebih banyak pada proses pencerahan anak bangsa melalui pendidikan dan

kegiatan-kegiatan lainnya. Afiliasi BO dengan gerakan-gerakan Islam berlangsung hingga

tahun 1920-an, menjelang masa dimana pamor BO mulai mengalami penurunan dan

digantikan oleh gerakan-gerakan nasional baru seperti PNI.

BO menjadi gerakan nasional pertama yang bersifat inklusif, tidak rnembatasi diri pada

kalangan priyayi abangan, meski pada mulanya digerakkan priyayi abangan, gerakan ini

menerima anggota dari kalangan muslim. Sebagian anggota Muhammadiyah misalnya

23

Page 24: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

menjadi anggota BO yang dimotivasi oleh pidato Hoofdbestuur BO yang melaksanakan rapat

anggota di Gedung Masonnik di Jalan Malioboro, demikian pula ketika mereka dilibatkan

dalam persiapan dan mendengarkan pidato pada rapat anggota BO yang diselenggarakan di

Sekolah Muhammadiyah Kauman pada suatu malam ahad di pertengahan bulan Maret 1917,

dengan melihat itu mereka sangat tertarik untuk bisa berpidato.53

2. Pergulatan Kekuatan Ideologi Nasionalis: Kasus PNI

Partai Nasional Indonesia (PNI) lahir bersamaan dengan meningkatnya jumlah kalangan

terdidik pribumi, baik peningkatan jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di negeri

Belanda maupun luasnya akses kalangan pribumi untuk menempuh pendidikan pada sekolah-

sekolah Belanda. Kebijakan politik etis membuka ruang artikulasi politik kalangan pribumi.

Peningkatan jumlah intelegensia pada dekade 1920-an merupakan "sinyal" bagi

berkembangnya gerakan sosial yang mendorong pemenuhan hak-hak rakyat.

Semangat kaum muda untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merupakan

rangkaian proses yang telah diletakkan Belanda melalui politik etisnya, disertai pula dengan

akses pada berbagai sumber bacaan, khususnya dalam llmu-ilmu sosial. PKI yang

berkembang pada awal 1920-an merupakan partai yang berhaluan kiri yang memperoleh

"amunisi" ideologis dari gerakan-gerakan komunis atau ideologi yang dirintis oleh Karl Marx.

Pemberontakan yang dirancang PKI pada 1927 untuk melakukan perlawanan terhadap

Belanda sebagai manifestasi dari berbagai persoalan sosial politik yang dihadapi bangsa

ketika itu.

Polemik antar tokoh dalam melihat bagaimana seharusnya memperjuangkan

kemerdekaan berlangsung secara cerdas, antara Soekarno (nasionalis, PNI) dengan Semaun

(Komunis, PKI), antara Soekarno dengan kalangan muslim yang berasal dari berbagai aliran

politik, antara Tan Malaka dengan tokoh-tokoh nasionalis dan muslim serta polemik-polemik

mengenai strategi memperjuangkan kemerdekaan berlangsung dalam tempo yang padat.

Namun pengaruh komunis

mengalami kemunduran akibat percobaan perlawanan yang gagal, sernentara kalangan

nasionalis yang baru tumbuh pada tahun 1927 memperoleh respons yang tinggi dari berbagai

kalangan terdidik, meski pNI yang didirikan pada masa itu tidak merencanakan tindakan

maker, flamun sikap politiknya sangat kritis kepada pemerintah.

53 PP Muhammadiyah, Sejarah, hlm. 8.

24

Page 25: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Lahirnya PNI sebagai suatu kebutuhan akan adanya gerakan nasional baru, lebih

dilatarbelakangi oleh kegagalan pemberontakan atau re^olusi yang direncanakan oleh PKI,

menurut Ingleson akibat yang ditimbulkannya;54

a. Kelihatan bahwa pemberontakan dengan kekerasan semacam itu (yang dilakukan PKI,

pen.) tak ada gunanya, karena dengan mudah dapat ditekan oleh kekuatan Belanda yang lebih

unggul;

b. Pembubaran PKI dan pembuangan sejumlah besar pemimpin- pemimpin dan pendukung-

pendukungnya yang dicurigai ke Boven Digul, menyingkirkan kaum komunis dari arena

politik sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda;

c. Setelah kegagalan PKI untuk menyusun suatu revolusi yang meluas dan berhasil, kaum

nasionalis menjadi sadar akan kelemahan- kelemahan organisatoris tidak hanya dari PKI,

tetapi juga dari semua organisasi nasionalis dan juga akan perlunya menciptakan

suatu organisasi yang rapi dan berdisiplin.

d. Dengan tersingkirinya PKI timbul suatu kekosongan dalam gerakan nasionalis; gerakan

ini memerlukan pengarahan dan pimpinan baik dari sisa-sisa organisasi-organisasi politik

yang ada maupun dari pembentukan partai-partai yang baru.

Atas keadaan itu, timbul keinginan dari kalangan pergerakan kebangsaan mendirikan

suatu pergerakan baru atau partai yang tidak didasarkan pada Islam ataupun komunis. Hatta

dengan sejumlah anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang didirikan pada Februari 1925

menggalang kekuatan di kalangan intelektual yang bermukim di Indonesia, sernentara Hatta

sendiri masih berada di negeri Belanda untuk tujuan pendidikan. Dengan jaringan PI, Hatta

optimis akan memunculkan partai baru yang akan digerakkan oleh anggota PI sebagai sarana

mengartikulaslkan kepentingan rakyat Indonesia.

PNI lahir dalam proses penguatan gerakan kebangsaan, kemunculan PNI atas dukungan

kuat dari PI yang dipimpin Hatta. Pada awal tahun 1927 berdiri Sarekat Rakyat National

Indonesia (SRNI) yang juga ikut menjadi bagian dari kekuatan nasionalis. Partai baru yang

dikehendaki merupakan partai yang akan berperan pada upaya pencerdasan bangsa. Perhatian

partai baru itu menurut Hatta harus diarahkan pada bidang pendidikan, dan melalui

54 Lihat John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 31.

25

Page 26: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

pendidikan menyiapkan rakyat untuk merdeka. Apa yang dilakukan oleh Hatta tidak

seluruhnya berjalan mulus, tampak jelas kekuatan-kekuatan kebangsaan yang mulai bersaing

untuk Indonesia merdeka.

Pada 4 Juli 1927 melalui suatu pertemuan yang diadakan di Bandung, dalam pertemuan

itu diputuskan bahwa partai baru itu akan diumumkan secara terbuka dengan nama

Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) Pimpinan PNI terdiri dari Soekarno sebagai ketua,

Iskaq sebagai sekretaris sekaligus merangkap bendahara dan Dr. Samsi sebagai komisioner.55

Setelah adanya PNI, SRNI yang semula dirancang untuk suatu kekuatan politik baru tidak

terdengar lagi suaranya. PNI sebagai partai baru tidak begitu kuat ke dalam, karena masing-

masing pihak memiliki agenda yang tidak sama dalam membawa PNI.

Kendati PNI memiliki masalah-masalah internal dengan munculnya faksi-faksi politik

yang memiliki agenda masing-masing yang hendak mereka perjuangkan, namun dalam

perkembangannya, PNI memainkan peran yang besar dalam pergerakan nasional, dan peran

yang dilakukan oleh PNI sejalan dengan sejumlah agenda-agenda )7ang secara umum

dikehendaki oleh masing-masing kekuatan nasionalis, termasuk faksi-faksi yang beragam

dalam PNI sendiri. Pada awal tahun 1930-an, PNI bubar sebagai akibat dari persoalan internal

yang sulit diselesaikan, khususnya faksi-faksi yang bersaing yakni faksi kooperatif dan faksi

yang non-kooperatif.

Kendati persaingan antar faksi dalam struktur pergerakan PNI sangat tajam, namun

respons kalangan intelegensia lulusan sekolah Barat sangat tinggi, termasuk Hatta yang sejak

awal menghendaki adanya pergerakan nasional yang kritis, meskipun tidak seluruh harapan

Hatta dilaksanakan oleh PNI seperti dalam soal gaya dan taktik pergerakan. Dalam soal

tuntutan, PNI memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi tuntutan SI yang telah disuarakan

sejak awal tahun 1920-an, misalnya tuntutan PNI mengenai keanggotaan Volksraad yang

harus seluruhnya merupakan warga Indonesia serta tuntutan kemandirian bangas Indonesia,

sikap seperti ini juga dikembangkan oleh SI. Untuk mendukung berbagai program penguatan

pergerakan nasional, PNI membangun jaringari ke berbagai daerah seperti Bandung, Batavia,

Surabaya, Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.

Untuk memperluas pengaruhnya, pergerakan kebangsaan ini mendirikan berbagai

perkumpulan kepemudaan seperti berdirinya Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Putri

55 John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, hlm. 35.

26

Page 27: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Indonesia dan majalah. Juga infiltrasi pNl ke dalam organisasi-organisasi lain seperti

organisasi buruh, pendidikan dan pers. Dengan basis dukungan yang meluas dan sikap-sikap

politiknya yang kritis terhadap pemerintah Belanda, PNI dalam kongresnya di Surabaya

membicarakan mengenai kecurangan-kecurangan kolonialisme di Indonesia dalam bidang

politik, sosial dan ekonomi. Untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, PNI rnerumuskan

program yang pen ting diantaranya;56

1) Bidang politik meliputi;

a) Memperkuat perasaan kebangsaan dan persatuan Indonesia;

b) Menyiarkan pengetahuan tentang tambo-tambo nasional dan memperhatikan dan

memperbaiki hukum nasional;

c) Mengekalkan pertalian di antara bangsa-bangsa Asia;

d) Menghapuskan halangan-halangan yang merintangi kemerdekaan din, kemerdekaan

bergerak, kemerdekaan drukpers, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul;

2) Bidang ekonomi meliputi;

a) Memajukan kehidupan mardika;

b) Memajukan perusahaan perdagangan-perdagangan bumiputra;

c) Mendirikan perserikatan-perserikatan kooperasi nasional;

d) Melawan riba'

3) Bidang Sosial dan Pendidikan

a) Mendirikan sekolah-sekolah nasional, dan memerangi analfabetisme;

b) Memperbaiki derajatnya kaum perempuan;

c) Memajukan inter-Indonesische emigratie;

d) Memajukan vakbond-vakbond dan perserikatan tani;

e) Mendirikan badan perantaraan bagi orang-orang yang tidak bepekerjaan;

f) Memperhatikan soal kesehatan rakyat;

g) Memarangi madat dan minuman keras;

h) Memerangi perkawinan anak-anak, memajukan perkawinan istri satu.

56 Di Kutip dalam John Ingleso, Jalan Ke Pengasingan, hlm. 61.

27

Page 28: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Rumusan program tersebut tidak membuat pemerintah kolonial merasa terancam dengan

keberadaan PNI, karena program diatas menunjukkan sikap moderat PNI bila dibandingkan

dengan PKI yang sudah menjadi organisasi terlarang akibat upaya PKI dalam melakukan

pemberontakan yang gagal tahun 1927. Untuk memperlancar programnya, PNI membangun

jaringan organisasi hingga ke tingkat bawah, dengan mengikuti struktur pemerintahan

Belanda hingga Kabupaten, kecamatan dan desa. Segala aktivitas politik PNI berada dalam

ruang yang diijinkan oleh pemerintah, meski PNI menganggap diri mereka revolusioner dan

Belanda pun menganggap hal yang sama, narnun para pemimpin PNI merupakan tokoh

konservatif dalam bidang sosial dan ekonorni, karena itu, program PNI sangat jauh dari

program PKJ yang radikal.

Segala gerak langkah PNI selalu dalam pengawasan pemerintah Hindia Belanda, namun

watak moderat PNI tetap menonjol daripada watak radikalnya, barangkali PNI banyak

didukung oleh intelektual yang telah memperoleh pendidikan Barat. Banyaknya kaum

terpelajar dan kecenderungan akademis mereka tinggi, berasal dari latar belakang sosial dan

keagamaan yang juga beragam, implikasi dari keragaman itu mengakibatkan PNI dapat

merumuskan suatu strategi pergerakan yang kemudian dikhawatirkan oleh pemerintah Hindia

Belanda bahwa propaganda PNI akan memberikan efek yang dalam bagi perlawanan kaurn

terpelajar terhadap pemerintah.

Tokoh sentral PNI sejak kemunculannya yakni Soekarno dan Hatta (keduanya kelak

ketika Indonesia merdeka menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI), Hatta sendiri pada 1932

mendirikan PNI Bara sebagai ekspresi ketidakpuasannya terhadap gerakan kebangsaan

termasuk gabungan kekuatan nasionalis dan Islam yang berdiri pada 17 Desember 1927 yakni

Permufakatan Perhimpunan Partij-partij Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dinilai

Hatta belum menjadi badan yang kuat dan terorganisir dengan baik.

Selain belum maksimalnya peran yang diartikulasikan oleh kekuatan-kekuatan politik,

namun PNI sendiri sebagai wadah aktualisasi diri para aktor gerakan nasionalis kebangsaan

justru mulai kehilangan orientasi, misalnya Hatta sendiri mulai mempertanyakan ke arah

mana PNI akan dibawa oleh Soekarno. Bagi Hatta, PNI telah menjadi sarana bagi pemenuhan

kepentingan politik tertentu para aktornya, menurut Hatta, kalau Soekarno selalu bersikap

keras dan tidak memperlunak penampilannya di depan publik, maka pasti akan ada tekanan

28

Page 29: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

pemerintah, sementara PNI sendiri belum cukup berkembang untuk dapat menghadapinya.

Selain itu, Soekarno lebih mengedepankan persoalan politik daripada persoalan sosial dan

ekonorni, menurut sebagian pimpinannya hal itu menarnbah persoalan.

Perdebatan internal PNI mengenai isu apa yang harus direspons oleh PNI menjadi fokus

yang selalu aktual berkembang dalam struktur partai, bagi sebagian menganggap bahwa

persoalan yang dihadapi bangsa bukanlah persoalan politik yang elitis, sementara Soekarno

telah mendahulukan isu-isu politik daripada memperjuangkan persoalan sosial dan ekonorni

yang menjadi kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Keinginan agar PNI memberi perhatian pada

usaha memperbaikl kehidupan ekonorni negara dan memperkuat ekonorni rakyat Indonesia

sebagai salah satu syarat pertama yang perlu bagi kemerdekaan ekonorni. Dinamika internal

ini menandai adanya orientasi kebijakan partai yang tidak solid, antara mereka yang mewakili

kubu moderat menghendaki agar PNI mengambil sikap yang lebih kooperatif terhadap

pemerintah dengan kubu revolusioner yang menghendaki adanya upaya ke arah Indonesia

merdeka dengan berkonfrontasi dengan pemerintah.

Karena sikap-sikap kritis PNI yang ditransmisikan ke berbagai daerah, aparat pemerintah

di tingkat dengan kecerdasan yang terbatas memberikan laporan-laporan rutin mengenai

aktivitas PNI di daerah, akibatnya muncul usulan agar PNI diberlakukan sama dengan PKI

yakni dibubarkan, namun usulan ini ditolak oleh jaksa agung. Bersamaan dengan

perkembangan politik tersebut, para pejabat daerah meningkatkan permusuhan dan

memperkuat kewaspadaan mereka terhadap PNI. Menurut Ingelson bahwa semakin rendah

tingkat seorang pejabat semakin keras ia akan menentang PNI dan semua kegiatan politik

orang Indonesia. Antagonisme ini mewamai laporan-laporan mereka ten tang kegiatan politik

di daerah.57

Akibat sikap kritis serta seringnya pergerakan ini melaksanakan rapat-rapat umum yang

melibatkan banyak warga telah menimbulkan kemarahan di kalangan bangsa Eropa, Soekarno

kemudian ditangkap dan diasingkan dari berbagai aktivitas politiknya. Pasca penangkapan

tokoh PNI, Hatta kemudian menunjukkan sikap frustrasinya terhadap sepak terjang PNI yang

menurutnya telah keluar dari garis perjuangan golongan kebangsaan. Hatta juga mengkritik

PPPKI yang menurutnya berada dalam krisis ganda yakni krisis ideologi dan krisis impotensi.

57 John Ingleson. Jalan Ke Pengasingan, hlm. 106.

29

Page 30: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

Krisis ideologi terjadi karena konsepsi yang salah tentang arti persatuan dalam gerakan

nasionalis. PPPKI menurut pandangannya tidak pernah dimaksudkan untuk menekan kritik,

kecuali terhadap kritik yang tidak pada tempatnya atau tidak masuk akal.58

Pergerakan kaum nasionalis kebangsaan pasca penangkapan Soekarno menimbulkan

keheranan Hatta, tindakan pemerintah terhadap partai yang tidak kooperatif seharusnya

menjadi catatan penting bagi kekuatan moderat. Berdasarkan keputusan pemerintah, PNI

dibubarkan. Implikasi lebih lanjutnya adalah pecahnya kekuatan kaum nasionalis kebangsaan,

Sartono dan kawan-kawan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) pada 1 Mei 1931, oleh

sementara kalangan Partindo dianggap sebagai PNI dengan nama lain. Kemudian berdiri

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru yang diprakrsai Hatta dengan memfokuskan

perhatian pada pendidikan para pemimpin untuk gerakan nasionalis. Antara Partindo dan PNI

Baru memiliki visi yang berbeda, PNI Baru menghendaki kebangsaan rakyat dan kedaulatan

rakyat, Partindo tetap meneruskan pola pergerakan sebagaimana dalam PNI dan memberi

ruang bagi Soekarno untuk melakukan propaganda dan gitasi dalam kegiatan politiknya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemunculan kekuatan-kekuatan politik telah ada sejak awal abad ke-20, dimulai dengan

berdirinya berbagai organisasi sosial keagamaan. Dalam hal ini, kekuatan politik Islam jauh

lebih dahulu lahir daripada kekuatan politik nasionalis kebangsaan. Pada tahun 1905,

58 Ibid, hlm. 150.

30

Page 31: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

pengorgamsasian kekuatan Islam dilakukan oleh sejumlah saudagar Islam dengan mendirikan

Sarekat Dagang Islam (SDI) dapat dipandang sebagai embrio bagi kemunculan kekuatan-

kekuatan Islam setelahnya, bahkan kemunculan SDI telah menginspirasi kalangan kebangsaan

untuk mendirikan perkumpulan di kalangan mereka sebagai manifestasi dari panggilan untuk

terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat pribumi. Kemudian disusul

dengan lahirnya Boedi Oetomo 1908 dan Sarekat Islam 1912, Muhammadryah 1912

dan sebagainya.

B. Saran-saran

Sebagai seorang mahasiswa jurusan ilmu politik kita harus lebih mengetahui sampai

diman letak sejarah-sejarah Indonesia yang telah digores oleh para pejuang kita baik dari

paham Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme, baik itu dari pra sejarah maupun pasca

sejarah karena ini sangat penting sebagai titip acuan pengetahuan kita di masa yang akan

datang.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Syarifuddin Jurdi, Kekuatan Politik Indonesia, (Makassar: Alauddin Univesity Press, 2012)

John Ingelson, Jalan ke Pengasingan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1983)

31

Page 32: Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Di Indonesia

H.M. Sjoedja, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis

Pustaka, 1989)

32