jenis kekuatan politik
-
Upload
suratmanalimuddin -
Category
Documents
-
view
909 -
download
47
Transcript of jenis kekuatan politik
1
A. Latar Belakang
Kekuatan politik merupakan aktor-aktor politik maupun lembaga-lembaga yang memainkan peranan dalam kehidupan politik yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.
Kekuatan-kekuatan politik berperan sebagai penopang sistem politik melalui
pengaruh terhadap pemerintahan. Kekuatan-kekuatan politik suatu negara berbeda
dengan kekuatan politik negara lain, tergantung corak sistem politik yang
digunakan.
Secara lugas dapat dikatakan bahwa kekuatan politik tersentral di fungsi input
oleh infrastruktur, maka kekuatan politik ini dapat berupa kekuatan formal dan
non formal.
Kekuatan politik Indonesia merupakan suatu daya yang dimiliki oleh lembaga-
lembaga di Indonesia dalam bidang politik. Kekuatan politik di Indonesia telah
memberikan kontribusi dalam membangun dan memberikan corak pada sistem
politik Indonesia.
Dalam perkembangan sistem politik Indonesia, telah banyak bermunculan aktor
maupun lembaga-lembaga yang menjadi kekuatan politik Indonesia. Aktor
maupun lembaga yang telah menjelma menjadi kekuatan politik tidak lain
merupakan tonggak perjuangan bagi pembangunan politik di Indonesia.
Jika dirincikan, maka jenis-jenis kekuatan politik ada tujuh, yakni: partai politik,
kelompok kepentingan, kelompok penekan, aktor politik, media massa, organisasi
keagamaan, serta birokrasi sipil dan militer.
Kesemua jenis kekuatan politik tersebut sudah pernah mengisi sistem politik di
Indonesia. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dibahas “Jenis – Jenis
Kekuatan Politik” secara mendetail.
2
B. Jenis-Jenis Kekuatan Politik
1. Partai Politik
Partai politik menjadi salah satu kekuatan politik karena merupakan sarana bagi
warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan
negara.1
Walaupun kehadiran partai politik dalam wacana ilmu politik masih relatif muda,
baru diperkenalkan pada abad 19 di negara-negara Eropa (Inggris, Perancis),
namun kehadiran partai politik itu penting sebgai bagian dari struktur politik.2
Struktur politik pada umumnya terkait erat dengan sistem politik. Dalam konteks
ini, partai politik masuk dalam sistem politik yakni dalam proses input sebagai
infrastruktur politik dan sekaligus merupakan kekuatan politik.
Menurut undang-undang, partai politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh
WNRI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan
kepentingan anggotanya, bangsa dan negara melalui pemilu.3
Adapun fungsi-fungsi partai politik adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai
kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang
masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan
kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan
public. Bentuk artikulasi paling umum disemua sistem politik adalah
pengajuan, permohonan, secara individual kepada anggota dewan
(legislatif),atau Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya.
1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2009, hlm. 3972 P. Anthonius Sitepu, Transformasi Kekuatan-Kekuatan Politik (Suatu Studi Teori Kelompok dalam Konfogurasi Politik Sistem Politik Indonesia), Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, hlm. 1633 UU No.2 / 1999 pasal 1(1)
3
2. Fungsi Agregasi Kepentingan
Merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-
alternatif pembuatan kebijakan publik.
3. Fungsi Sosialisasi Politik
Sosialisasi Politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai
politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau dianut oleh suatu
Negara. Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk membentuk suatu
sikap keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui proses
yang berlangsung tanpa henti.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melalui
masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-
nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
sosialisasi politik merupakan factor penting dalam terbentuknya budaya
politik (political culture) suatu bangsa.4
4. Fungsi Rekrutmen Politik
Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-
anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan
administrative maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau
prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai
disesuaikan dengan sistem politik yang dianut.
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih
luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang
berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi
4 Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 407
4
partai yang mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
mengembangkan diri dan berpeluang untuk mengajukan calon untuk
masuk ke bursa kepemimpinan nasional.5
5. Fungsi Komunikasi Politik
Merupakan salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan
segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan
gagasan politik. Media-media massa banyak berperan sebagai alat
komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai
perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas).
Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah
bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi masyarakat sebagai
“pengeras suara”.6
Dalam konteks ke-Indonesia-an, partai politik merupakan salah satu kekuatan
politik yang besar. Bahkan, jatuh bangunnya perkembangan yang dialami bangsa
Indonesia sejak proklamasi sampai reformasi sekarang ini, tidak dapat dilepas dari
peran partai politik.
Dalam perkembangan Indonesia, partai politik telah menjadi kekuatan politik
modern pertama dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, ketika
Budi Utomo saat itu berkembang menjadi partai politik yang didukung kaum
terpelajar dan massa buruh tani.
Dan dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan partai politik di Indonesia
semakin besar dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat Indonesia untuk
membentuk partai politik. Inilah masa menjamurnya partai politik sebagai
kekuatan politik pada masa itu.
5 Ibid. hlm. 4086 Ibid.hlm. 406
5
Secara keseluruhan peranan partai politik di Indonesia sangatlah besar. Dimulai
dari peran revolusi, pembangunan demokrasi, hingga reformasi dan selanjutnya
peningkatan demokrasi di Indonesia.
2. Kelompok Kepentingan
Secara sederhana, kelompok kepentingan dapat diartikan sebagai organisasi yang
mempunyai kepentingan dan keinginan yang sama guna mempengaruhi kebijakan
pemerintah demi tercapainya tujuan.
Selanjutnya Miriam Budiardjo mengatakan bahwa karena beragamnya kelompok-
kelompok kepentingan, Gabriel A.Almond dan Bingham G.Powell membagi
kelompok kepentingan dalam empat kategori, yaitu:7
1. Kelompok Anomi
Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai organisasi, tetapi individu-
individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan
ketidakpuasan yang sama.8
Kelompok kepentingan ini melakukan kegiatan-kegiatan secara spontan
dan hanya berlangsung seketika. Adapun Cara mengartikulasi kepentingan
berupa :
a. Demonstrasi
b. Kerusuhan
c. Memasang plakat
d. Coret-coretan
2. Kelompok Asosiasional
Organisasi-organisasi ini dibentuk dengan suatu tujuan yang eksplisit,
mempunyai organisasi yang baik dengan staf yang bekerja penuh waktu.9
7 Ibid. hlm. 3878 Ibid.9 Ibid. hlm. 388
6
Kelompok kepentingan ini memiliki struktur organisasi yang formal. Di
Indonesia terdapat ikatan-ikatan semacam ini yang anggota-anggotanya
terdiri dari orang-orang yang menjalankan profesi yang sama, seperi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI).
3. Kelompok Nonasosiasional
Kelompok kepentingan ini dapat dikatakan kurang terorganisir secara
rapih dan kegiatannya masih bersifat kadang-kadang saja. Keanggotannya
berdasarkan atas kepentingan-kepentingan hal serupa dan persamaan
dalam hal tertentu. Contoh di Indonesia sebagai berikut : persamaan dalam
hal:
a. Keturunan = trah-trah kadilangu, paguyuban
b. Kedaerahan = IKSS, (tiap daerah)
4. Kelompok Institusional
Kelompok kepentingan ini dibentuk berpangkal pada satu lembaga tertentu
dan bersifat formal, terorganisir secara rapi dan teratur.
Di Indonesia terdapat ikatan-ikatan atau perkumpulan-perkumpulan orang-
orang yang sama-sama bekerja pada satu lembaga. Contoh :
a. Dharma Wanita
b. Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)
Peranan Kelompok Kepentingan
1) Dalam sistem politik demokrasi
Secara teoritis dalam sistem politik demokrasi peranan kelompok
kepentingan sangat besar jika dilihat dari hubungan kelompok
kepentingan-Parpol.
Dalam hubungan ini terdapat pula dua model:
7
a) Kelompok kepentingan yang berafiliasi dengan salah satu parpol.
Dalam hubungan afiliasi ini kelompok kepentingan tidak kehilangan
sifat independensi.
b) Kelompok kepentingan yang model kedua ini sudah jelas bahwa
independensinya mutlak dalam arti hubungan dengan Parpol.
2) Dalam sistem demokrasi politik non demokrasi
Dalam sistem politik ini parpol mendominasi kehidupan dan peranan
kelompok kepentingan. Karena itu peranan kelompok kepentingan jika
dilihat dari sudut partai dapat dikatakan kurang penting.
Kelompok kepentingan hanya dijadikan alat oleh Parpol untuk :
a) Mendukung program Parpol
b) Dijadikan power politik
c) Penyaluran keinginan Parpol
3) Kelompok kepentingan dalam sistem politik Indonesia
a) 1950 – 1959 : pada masa ini hubungan Parpol dan kelompok
kepentingan bersifat afiliasi, tetapi independensi kelompok
kepentingan dapat dikatakan hilang.
b) 1959 – 1965 : hubungan lebih bersifat kekeluargaan (independensi
hilang).
c) 1965 – 1973 : peranan kelompok kepentingan sangat lemah. Afiliasi
kelompok kepentingan dengan Parpol tapi menjaga keutuhan Parpol
(Independensi hilang).
d) 1973 – 1985 : peranan kelompok kepentingan dapat dikatakan tinggi
khusus (hubungan PPPS PDI dengan kelompok kepentingan). Pada
masa ini dapat dikatakan afiliasi antara kelompok kepentingan dan
Parpol. Tapi independensi kelompok kepentingan tidak hilang.
Untuk Golkar, dalam hubungan afiliasi dengan kelompok
kepentingan. Tapi independensi kelompok kepentingan hilang.
e) 1985 – 1998 (UU No.3 No.6.185) secara formal tidak ada lagi
hubungan afiliasi antara 3 Orpol – kelompok kepentingan.
8
Ini berarti pada masa ini independensi kelompok kepentingan mutlak.
f) 1998 – sekarang – independensi kelompok kepentingan.
Awal 1998 kelompok kepentingan secara tegas dan independen
menolak Soeharto sebagai presiden ke 7 kali.
3. Kelompok Penekan
Kelompok penekan merupakan salah satu institusi politik yang dapat
dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan
sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan
pemerintah. Kelompok penekan dapat terhimpun dalambeberapa asosiasi yang
mempunyai kepentingan sama, antara lain :
a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b. Organisasi-organisasi sosial keagamaan
c. Organisasikepemudaan
d. Organisasi Lingkungan Kehidupan
e. Organisasi pembela Hukum dan HAM
f. Yayasan atau Badan hukum lainnya,
Mereka pada umumnya dapat menjadi kelompok penekan dengan cara mengatur
orientasi tujuan-tujuannya yang secara operasional (melakukan negosiasi)
sehingga dapat mempengaruhi kebijaksanaan umum.
Dalam realitas kehidupan politik, kita mengenal berbagai kelompok penekan baik
yang sifatnya sektoral maupun regional. Tujuan dan target mereka biasanya
bagaimana agar keputusan politik berupa undang-undang atau kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah lebih menguntungkan kelompoknya (sekurang-
kurangnya tidak merugikan).
Kelompok penekan, kadang-kadang muncul lebih dominan dibanding dengan
partai politik, manakala partai politik peranannya tidak bisa lagi diharapkan untuk
9
mengangkat isu sentral yang mereka perjuangkan. Kondisi inilah yang mendorong
kelompok penekan tampil ke depan sebagai alternative terkemuka.
Proses demokratisasi di Indonesia sendiri sangat jelas didorong oleh kelompok-
kelompok penekan yang berasal dari beragam kalangan di masyarakat, beberapa
di antaranya adalah, lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga-lembaga
penelitian swadaya masyarakat, media massa, organisasi-organisasi
kemahasiswaan di lingkungan internal dan eksternal kampus, organisasi-
organisasi kepemudaan, lembaga-lembaga serikat buruh, partai-partai politik, dan
lain sebagainya.
Jumlah kelompok penekan yang beragam ini dapat bertambah banyak manakala
setiap kelompok di masyarakat menyuarakan dan memperjuangkan aspirasinya
melalui asosiasi atau kelompok yang begitu bebas didirikan dan begitu bebas
bersuara.
Fenomena ini tampak sekali pada tahun-tahun akhir pemerintahan Soeharto,
dengan ditandai oleh banyaknya bermunculan organisasi-organisasi
kecendekiawanan yang berafiliasi pada agama, pembentukan kelompok-kelompok
diskusi dan aksi oleh mahasiswa di intra-kampus dan ekstra kampus, dan
organisasi-organisasi massa lainnya di masyarakat, yang semuanya
mempejuangkan kebebasan dalam berpendapat dan mengkritik tanpa rasa takut.
4. Aktor Politik
Aktor politik adalah seseorang yang berkecimpung baik langsung maupun tidak
langsung dalam politik praktis. Aktor politik bisa saja dari partai politik maupun
dari lembaga kenegaraan.
Bagi aktor-aktor politik itu sendiri, pengangkatan diri mereka selalu melalui
proses, yaitu :
a. Transformasi dari peranan-peranan non-politis kepada suatu situasi di
mana mereka menjadi cukup berbobot memainkan peranan-peranan politik
yang bersifat khusus.
10
b. Pengangkatan dan penugasan untuk menjalankan tugas-tugas politik yang
selama ini belum pernah mereka kerjakan, walaupun mereka telah cukup
mampu untuk mengemban tugas seperti itu. Proses pengangkatan itu
melibatkan baik persyaratan status maupun penyerahan posisi khusus pada
mereka.
Pada umumnya pengangkatan tokoh-tokoh politik akan memberikan angin segar
dalam memaparkan beberapa komponen perubahan dalam segala bentuk dan
menifestasinya.
Pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berakibat terjadinya pergeseran di sektor
infrastruktur politik, organisasi, asosiasi-asosiasi, kelompok-kelompok
kepentingan serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat.
5. Media Massa
Media massa memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam kehidupan politik.
Informasi yang diberikan oleh pers kepada pembaca, pemirsa, dan pendengar
tidak hanya berisikan sesuatu yang masuk dan berlalu begitu saja. Informasi itu
dapat berpengaruh terhadap perilaku politik seseorang, termasuk para pembuat
kebijakan-kebijakan publik. Secara langsung, media massa dapat memberikan
kontrol atau penekanan-penekanan kepada pemerintah berkaitan dengan isu-isu
tertentu yang diberitakannya.10
Dewasa ini media massa sangat berpengaruh dalam politik. Peran yang dimainkan
pun juga sangatlah penting. Hal ini terbuktikan dengan frekuensi dan aktifitas
media massa yang melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberikan
dampak yang sangat signifikan dalam dunia politik. Media massa juga sebagi
pemicu dan terkadang menjadi patron yang sangat berarti dalam kehidupan
bermasyarakat, dan terkadang dapat menjadi salah satu indikator terjadinya
perubahan politik.
10 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 281
11
Sebenarnya terdapat dua fungsi media terkait dengan komunikasi politi di dalam
masyarakat:
a. Media merupakan saluran komunikasi antara para elite, baik yang duduk
di dalam pemerintahan maupun elite yang tidak duduk di dalam
pemerintahan, dengan warga negara atau para pemilih.
b. Media memiliki kepentingan sendiri di dalam alur komunikasi politik itu.
Disini, media tidak hanya berfungsi sebagai instrumen, melainkan sebagai
salah satu aktor di dalam proses komunikasi itu dan memiliki kepentingan
yang bisa saja berbeda kepentingan aktor-aktor lainnya.11
Sebagai dampak empiris di Indonesia, telah di mulai dari tahun 1998. Media
massa sangatlah memegang peranan yang sangat luas,; daya jangkau masyarakat
terhadap media dan sebagai konsumsi sehari-hari membuat masyarakat dapat
melakukan perubahan politik yang sangat fundamental. Hingga sekarang inipun
secara implisit media massa dapat berlaku sebagai oposisi dan pengawasan dari
pemerintah. Namun hal tersebut tidaklah sebagai indikator bahwa media massa
selalu independen dan netral.
Sebenarnya, efektifitas media untuk perubahan politik memerlukan suatu situasi
politik yang kondusif, yang popoler disebut dengan keterbukaan politik. Dengan
adanya kebebasan pers, maka hal tersebut juga membuktikan bahwa adanya
kebebasan dalam berpolitik. Dari silogisme itu, maka dapat digeneralisasikan
bahwa media massa atau pers adalah suatu kekuatan dalam politik.
Dalam seluk-beluk negara demokrasi, media massa yang memiliki kebebasan pers
mulai menunjukan sebagai kekuatan politik pula. Hal tersebut dapat terjadi
apabila media massa memiliki media tandingan dan berita yang berimbang,
sehingga dapat melakukan propaganda yang tidak sepihak kepada masyarakat.
Peran politik media massa di dalam negara demokratis, bisa dilihat dari dua
peristiwa:
a. Pada proses seleksi kepemimpinan politik
11 Ibid. hlm. 285
12
Di dalam Pemilu, media massa dapat mempublikasikan berbagai isu,
termasuk program-program yang ditawarkan oleh calon atau partai. Media
massa juga bisa mengkritisi isu-isu tersebut. Sehingga media massa bisa
menguntungkan atau bahkan merugikan calon dan partai tertentu atas
publikasinya.
b. Pasca pemilu
Hal ini berkaitan dengan perjalanan pemerintahan sehari-hari. Di bidang
politik, selain menyiarkan berbagai kegiatan aktor-aktor politik yang
dipandang memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat berikut
interaksi para aktor itu antara yang satu dengan yang lain, media juga
menyiarkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite. Di sini, posisi
media massa akan terlihat: memberi dukungan, bersikap netral saja, atau
melakukan perlawanan.12
Kecenderungan seperti itu memungkinkan media massa memiliki paradox dalam
dirinya. Di satu sisi media massa harus merefleksikan berbagai suara yang
terdapat di dalam masyarakat, juga sebagai aktor untuk menjaga keberlangsungan
demokrasi. Di sisi yang lain, media massa sering kali memihak kepada kelompok-
kelompok tertentu, baik pemilik modal yang secara langsung mengendalikan
dirinya, maupun pemilik modal yang mampu memasang iklan untuk
keberlangsungannya.
6. Organisasi Keagamaan
Munculnya kekuatan politik berbasis agama, atau menguatnya pengaruh agama di
dalam proses-proses politik, memang bukan khas yang terjadi di Indonesia. Di
negara-negara yang sebelumnya sangat sekuler seperti di Amerika Serikat dan
negara-negara eropa Barat, kecenderungan adanya interaksi yang lebih besar
antara agama dan negara juga terjadi.13
12 Ibid. hlm. 295 dan hlm. 29713 Ibid. hlm. 324
13
Kecenderungan tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa agama masih memiliki
pengaruh yang cukup kuat di dalam kehidupan masyarakat, tidak menghilang
sebagaimana dikatakan oleh penganut teori sekulerisasi.
Di dalam situasi seperti ini, terdapat politisi yang berusaha mengartikulasikan dan
mengagregasikan kepentingan-kepentingan para penganut agama itu melalui
proses-proses politik. Atau, paling tidak, para politisi itu berusaha untuk
menggunakan simbol-simbol keagamaan yang masih dianut oleh anggota
masyarakat untuk memperoleh dukungan politik.
Di Indonesia, munculnya politik aliran itu tidak saja terefleksi dari munculnya
partai-partai politik yang didasarkan atas agama tertentu. Pasca-pemerintahan
Soeharto juga mencatat semakin menguatnya kelompok-kelompok yang
memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Kemunculan partai dan organisasi berbasis agama yang berseiring dengan proses
demokratisasi itu merupakan permasalahan tersendiri bagi perkembangan
demokrasi ke depan. Kemunculannya merupakan pertanda telah dibukanya keran
demokrasi. Tetapi, pada saat yang sama kemunculannya juga mengkhawatirkan
perkembangan demokrasi di Indonesia yang berkembang ke arah demokrasi
liberal dan berseiring dengan proses sekularisasi.
7. Birokrasi Sipil dan Militer
Birokrasi sebagai kekuatan politik di indonesia adalah merupakan bagian dari
upaya untuk melangengkan hubungan antara pimpinan dengan birokrat itu sendiri.
Paradigma ini yang sering di temukan dalam pemerintahan dalam suatu negara.
Kemudian budaya politik yang ada di indonesia adalah budaya paternalistik
sehingga ketika pemimpin dari salah satu kelompok atau golongan maka sudah
otomatis secara struktural dan secara kultural penempatan orang dalam birokrasi
akan terlaksana seperti sistem kesukuan yang ada dalam kepemimpina tersebut.
14
a. Birokrasi sebagai kekuatan politik di era orde lama14
Pada masa awal kemerdekaan, negara ini mengalami perubahan bentuk
negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur negara atau
birokrasi.
Kinerja birokrasi saat itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang
berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar
berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak
kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa
kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh
dalam suatu departemen.
Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai
instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem
pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja
yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional
dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat
melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi
pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap
pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari
pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan
dan penempatan pegawai tidak berdasarkan, merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
b. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Baru
Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni
oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan
politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya, hegemonic party
system diistilahkan oleh Afan Gaffar15. Sedangkan menurut William
14 Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.15 Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 – 41.
15
Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari ;1). Kantor kepresidenan yang
kuat, 2). Militer yang aktif berpolitik, dan 3). Birokrasi sebagai pusat
pengambilan kebijakan.16
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap
birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto
pada saat itu.
c. Birokrasi sebagai kekuatan politik di era reformasi
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,
tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa
reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi
pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik
terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran
pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan
salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku
masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Militer sebagai Kekuatan Politik
Munculnya militer di panggung politik, sosial, dan ekonomi negara-negara
berkembang, berpangkal pada lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan
kesemua unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang dengan relative
cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan suatu sistem politik
16 Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
16
yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisisr masyarakat yang
relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba
model-model yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan
masyarakatnya sendiri. Begitu lepas dari penjajahan, negara-negara berkembang
mengalami fase percobaan untuk merealisisr demokrasi.17
Sebagaimana terjadi di negara-negara lain, derajat keterlibatan militer di dalam
politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak sistem politik yang
berkembang. Ketika terjadi arus otoritarianisme, mulai 1957 sampai jatuhnya
pemerintahan Soeharto, keterlibatan militer di dalam politik sangat kental.
Kekentalan itu lebih terlihat lagi pada masa pemerintahan Soeharto karena secara
kelembagaan, militer merupakan bagian terpenting di dalam bangunan
pemerintahan orde Baru. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tiga kekuatan
politik besar pada masa itu, yakni ABRI, Birokrasi, GOLKAR (ABG).
Seperti yang disebutkan oleh P. Anthonius Sitepu bahwa menurut Yahya A.
Muhaimin, ada tiga alasan militer secara aktif masuk ke arena politik dan
berkembangnya peran militer dalam politik18, yakni:
a. Rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakstabilan sistem politik.
Keadaan seperti itu akan menyebabkan terbukanyakesempatan serta
peluang yang cukup besar untuk menggunakan kekerasan di dalam sistem
politik
b. Rangkaian sebab yang bertalian dengan kemampuan golongan militer
untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik dan bahkan untuk
memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan
c. Rangkaian sebab yang berhubungan dengan “political perspectives”
kelompok militer yang menonjol di antara perspektif mereka adalah yang
berkaitan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat dan juga
berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan sipil serta
sistem politik secara keseluruhan.
17 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia (Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 4918 P. Anthonius Sitepu, op.cit, hlm. 164
17
C. Kesimpulan
Kekuatan politik merupakan aktor-aktor politik maupun lembaga-lembaga yang memainkan peranan dalam kehidupan politik yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.
Dalam perannya sebagai penopang sistem politik, kekuatan-kekuatan politik terdiri dari:
1. Partai Politik
Partai politik menjadi salah satu kekuatan politik karena merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, partai politik merupakan salah satu kekuatan
politik yang besar. Bahkan, jatuh bangunnya perkembangan yang dialami bangsa
Indonesia sejak proklamasi sampai reformasi sekarang ini, tidak dapat dilepas dari
peran partai politik.
Dalam perkembangan Indonesia, partai politik telah menjadi kekuatan politik
modern pertama dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, ketika
Budi Utomo saat itu berkembang menjadi partai politik yang didukung kaum
terpelajar dan massa buruh tani.
2. Kelompok Kepentingan
a. 1950 – 1959 : pada masa ini hubungan Parpol dan kelompok
kepentingan bersifat afiliasi, tetapi independensi kelompok
kepentingan dapat dikatakan hilang.
b. 1959 – 1965 : hubungan lebih bersifat kekeluargaan (independensi
hilang).
c. 1965 – 1973 : peranan kelompok kepentingan sangat lemah. Afiliasi
kelompok kepentingan dengan Parpol tapi menjaga keutuhan Parpol
(Independensi hilang).
d. 1973 – 1985 : peranan kelompok kepentingan dapat dikatakan tinggi
khusus (hubungan PPPS PDI dengan kelompok kepentingan). Pada
18
masa ini dapat dikatakan afiliasi antara kelompok kepentingan dan
Parpol. Tapi independensi kelompok kepentingan tidak hilang.
Untuk Golkar, dalam hubungan afiliasi dengan kelompok
kepentingan. Tapi independensi kelompok kepentingan hilang.
e. 1985 – 1998 (UU No.3 No.6.185) secara formal tidak ada lagi
hubungan afiliasi antara 3 Orpol – kelompok kepentingan.
Ini berarti pada masa ini independensi kelompok kepentingan mutlak.
f. 1998 – sekarang – independensi kelompok kepentingan.
Awal 1998 kelompok kepentingan secara tegas dan independen
menolak Soeharto sebagai presiden ke 7 kali.
3. Kelompok Penekan
Kelompok penekan merupakan salah satu institusi politik yang dapat
dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan
sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan
pemerintah.
4. Aktor Politik
Aktor politik adalah seseorang yang berkecimpung baik langsung maupun tidak
langsung dalam politik praktis. Aktor politik bisa saja dari partai politik maupun
dari lembaga kenegaraan.
5. Media Massa
Media massa memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam kehidupan politik. Informasi yang diberikan oleh pers kepada pembaca, pemirsa, dan pendengar tidak hanya berisikan sesuatu yang masuk dan berlalu begitu saja. Informasi itu dapat berpengaruh terhadap perilaku politik seseorang, termasuk para pembuat kebijakan-kebijakan publik. Secara langsung, media massa dapat memberikan kontrol atau penekanan-penekanan kepada pemerintah berkaitan dengan isu-isu tertentu yang diberitakannya.
19
6. Organisasi Keagamaan
Kemunculan partai dan organisasi berbasis agama yang berseiring dengan proses
demokratisasi itu merupakan permasalahan tersendiri bagi perkembangan
demokrasi ke depan. Kemunculannya merupakan pertanda telah dibukanya keran
demokrasi. Tetapi, pada saat yang sama kemunculannya juga mengkhawatirkan
perkembangan demokrasi di Indonesia yang berkembang ke arah demokrasi
liberal dan berseiring dengan proses sekularisasi.
7. Birokrasi Sipil dan Militer
Birokrasi sebagai kekuatan politik di indonesia adalah merupakan bagian dari
upaya untuk melangengkan hubungan antara pimpinan dengan birokrat itu sendiri.
Munculnya militer di panggung politik, sosial, dan ekonomi negara-negara
berkembang, berpangkal pada lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan
kesemua unsur-unsur kehidupan masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Gaffar, Afar. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ismani. 2001. “Etika Birokrasi”. Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II. No. 1. September 2001 : 31 – 41.
Maliki, Zainuddin. 2000. Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara
Transisi. Yogyakarta: Galang Press.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca-
Orde Baru). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sanit, Arbi. 2011. Sistem Politik Indonesia (Kestabilan, Peta Kekuatan Politik,
dan Pembangunan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sitepu, P. Anthonius. 2004. Transformasi Kekuatan-Kekuatan Politik (Suatu Studi
teori Kelompok dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia).
Jurnal Pemberdayaan Komunitas. Volume 3. Nomor 3.