Tugas Makalah Manajemen Pembelajaran Sains 4
-
Upload
ika-gharasky-ciantury -
Category
Documents
-
view
180 -
download
15
description
Transcript of Tugas Makalah Manajemen Pembelajaran Sains 4
vTugas Makalah Manajemen Pembelajaran Sains
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK : III (Tiga)
NAMA / NIM : ANDRIAN SINULINGGA 409321005
ATIKA FEBRINA SIANTURI 409321011
HERMANTO 409321026
IRDES HIDAYANA SIREGAR 409321030
JURUSAN : PENDIDIKAN FISIKA EKSTENSI 2009
MATA KULIAH : MANAJEMENT PEMBELAJARAN SAINS
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
2013
KEPEMIMPINAN TENAGA PEMBELAJARAN
A. KONSEP KEPEMIMPINAN
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang
yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Untuk mendapatkan gambaran tentang
arti kepemimpinan, berikut ini dikemukakan beberapa defenisi kepemimpinan menurut para
ahli yaitu :
D.E. McFarland (1978), mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah
suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau
pengaruh, bimbingan atau proses memengaruhi pekerjaan orang lain
dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
J.M. Pfiffner (1980), mengemukakan bahwa kepemimpinan seni
mengoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Oteng Sutisna (1983), mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi social untuk menciptakan
bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan, dan
dengan berbuat begitu membangkitkan kerja sama kea rah tercapainya
tujuan.
Soepardi (1988), mendefenisikan kepemimpinan sebagai “kemapuan
untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak,
mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah,
melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan
maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam
rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan sedikitnya mencakup
tiga hal yang saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karateristiknya,
adanya pengikut, serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut
berinteraksi.
2. Ciri-ciri Pemimpin
Seorang pemimpin memiliki ciri-ciri yang dimana kelima ciri di bawah ini
merupakan hal yang sangat penting, sedangkan enam ciri berikutnya meski tidak terlalu
penting, akan tetapi ciri tersebut dapat menunjang keberhasilan seorang pemimpin. Pemimpin
yang memiliki 11 ciri di atas secara total dapat menggerakkan dan mengarahkan kelompok
lebih berkembang dan dinamis. Ciri-ciri seorang pemimpin tersebut adalah :
1. Mempunyai sifat empati, yaitu kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi diri
pada kedudukan orang lain. Ini penting, terutama dalam berkomunikasi, sebab bila
empati kecil akan terjadi barier atau rintangan yang besar. Umumnya jika seorang
pemimpin punya egoisme tinggi, empatinya akan rendah.
2. Pemimpin harus menjadi bagian dari kelompoknya, artinya bahwa keberadaan
pemimpin dalam kelompok harus ditandai oleh pengakuan dari para anggotanya.
3. Arif, bijaksana, dan penuh pertimbangan, artinya pemimpin harus
mempertimbangkan kebutuhan, perasaan orang lain, dan peduli terhadap masalah
orang lain. Penuh pertimbangan terhadap aktifitas anggotanya, dan
mempertimbangkan segala sesuatunya harus berpihak pada anggota , bukan pada
dirinya, akan tetapi juga bukan berarti banyak kebijaksanaan.
4. Lincah (surgency), dalam arti bahwa pemimpin harus selalu gembira, antusias, senang
bicara, dinamis, dan ringan kaki atau ringan langkah.
5. Emosi yang stabil, yaitu ditandai dengan emosi yang tidak berfluktuasi atau tidak
meledak-ledak. Artinya, pola emosi atau temperamen yang mantap, misalnya tidak
mudah marah, tidak mudah tersinggung, sehingga dapat dijadikan pedoman perilaku
oleh para anggotanya.
6. Ambisi untuk memimpin, artinya bahwa ambisi merupakan sumber motifasi dari
dalam diri seseorang, yang jika ditambah dengan dorongan dari luar akan memperkuat
hasrat sendiri untuk memberikan layanan dan pengabdian diri pada kepentingan orang
banyak.
7. Berkompeten, artinya mampu untuk menjadi pemimpin, becus, bisa diandalkan dalam
melaksanakan tugas.
8. Mempunyai kecerdasan tinggi, yaitu bisa memecahkan masalah dengan cepat dan
tepat. Bukan IQ yang tinggi, karena tidak selalu mampu dengan cepat memecahkan
masalah. Mungkin EQ dan SQ juga diperlukan untuk melengkapi.
9. Mempunyai sifat konsisten, artinya bahwa seorang pemimpin cara berfikir dan
bertindaknya harus konsisten. Antara ucapan dan tindakannya sama.
10. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, tidak cepat bingung dalam menghadapi
masalah, mempunyai keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan semua
perilaku yang dikerjakan, tahu ke mana dengan persis arah yang hendak dituju, serta
pasti memberikan manfaat pada diri sendiri maupun bagi anggotanya.
11. Mempunyai kemampuan berbagi kepemimpinan, artinya (1) bahwa pemimpin punya
kemampuan untuk mendelegasikan kewenangan secara proporsional pada
bawahannya atau distribusi kewenangan merata (polymorphic), dan tidak boleh hanya
memusat kewenangan itu hanya pada pucuk pimpinan atau monomorphic.
3. Persyaratan atau Sifat Pemimpin
Menurut Sudarwan Danin, seseorang yang menjalankan fungsi kepemimpinan
setidaknya memiliki persayaratan atau sifat-sifat sebagai berikut:
1) Berdakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2) Memiliki inteligensi yang tinggi
3) Memiliki fisik yang kuat
4) Berpengetahuan luas
5) Percaya diri
6) Dapat menjadi anggota kelompok
7) Adil dan bijaksana
8) Tegas dan berinisiatif
9) Berkapasitas membuat keputusan
10) Memiliki kestabilan emosi
11) Sehat jasmani dan rohani
12) Bersifat prospektif
B. GAYA KEPEMIMPINAN DAN PENERAPANNYA
1. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi
para pengikutnya. Menurut Thoha (1995) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku
yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang
lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi di antara orang yang
akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting
kedudukannya.
Gaya kepemimpinan merupakan suatu pola perilkau seorang pemimpin yang khas
pada saat mempengaruhi anak buahnnya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan,
cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya
kepemimpinannya. Secara teoritis telah banyak dikenal gaya kepemimpinan, namun gaya
mana yang terbaik tidak mudah untuk ditentukan. Untuk memahami gaya kepemimpinan,
sedikitnya dapat dikaji dari tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan sifat, perilaku, dan
situasional.
a. Pendekatan Sifat
Pendekatan sifat mencoba menerangkan sifat-sifat yang membuat seseorang berhasil.
Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa individu merupakan pusat kepemimpinan.
Kepemimpinan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung lebih banyak unsur individu,
terutama pada sifat-sifat individu. Penganut pendekatan ini berusaha mengidentifikasikan
sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh pemimpin yang berhasil dan yang tidak berhasil.
Menurut Sutisna (1993), pendekatan sifat berpendapat bahwa terdapat sifat-sifat tertentu,
seperti kekuatan fisik atau keramahan yang esensial, pada kepemimpinan yang efektif. Sifat-
sifat pribadi yang tak terpisahkan ini seperti inteligensi, dianggap bisa dialihkan dari satu
situasi ke situasi yang lain. Karena tidak semua orang memiliki sifat-sifat ini, hanyalah
mereka ynag memiliki ini yang bisa dipertimbangkan untuk menenpati kedudukan
kepemimpinan.
Dengan demikian, ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat bawaan yang
membedakannya dari yang bukan pemimpin. Pendekatan ini menyarankan beberapa syarat
yang harus dimiliki pemimpin yaitu :
1) Kekuatan fisik dan susunan syaraf.
2) Penghayatan terhadap arah dan tujuan.
3) Antusiasme.
4) Keramah-tamahan.
5) Integritas.
6) Keaahlian teknis.
7) Kemampuan mengambil keputusan.
8) Intelegensi.
9) Keterampilan memimpin.
10) Kepercayaan (Tead, 1963).
Pendekatan sifat tampaknya tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan di sekitar
kepemimpinan. Sebagai contoh, adakah kombinasi optimal dari sifat kepribadian dalam
menentukan keberhasilan pemimpin. Adakah sifat-sifat kepribadian itu mampu
mengindikasikan kepemimpinan yang potensial? Adakah karateristik itu dapat dipelajari atau
telah ada sejak seseorang lahir? Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut menyebabkab banyak kritik yang yang dating dari berbagai
pihak.
b. Pendekatan Perilaku
Setelah pendekatan sifat kepribadian tidak mampu memberikan jawaban yang
memuaskan, perhatian para pakar berbalik dan mengarahkan studi mereka kepada perilaku
pemimpin. Studi ini memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin
dalam kegiatannya mempengaruhi orang lain (pengikut). Pendekatan perilaku kepemimpinan
banyakmembahas keefektifan gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin.
c. Pendekatan Situasional
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku keduanya menyoroti
perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih merupakan
fungsi situasi daripada sebagai kualitas pribadi, dan merupakan suatu kualitas yang timbul
karena interaksi orang-orang dalam situasi tertentu.
Menurut pandangan perilaku, dengan mengkaji kepemimpinan dari beberapa variabel
yang mempengaruhi perilaku akan memudahkan menentukan gaya kepemimpinan yang
paling cocok. Pendekatan ini menitikberatkan pada berbagai gaya kepmimpinan yang paling
efektif diterapkan dalam situasi tertentu. Ada beberapa studi kepemimpinan yang
menggunakan pendekatan ini.
Teori Kepemimpinan Kontingensi
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler and Chemers, berdasarkan hasil penelitiannya
tahun 1950, disimpulkan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faktor
kepribadian yang dimiliki tetapi juga karena berbagai faktor situasi dan saling hubungan
antara pemimpin dengan situasi. Keberhasilan pemimpin bergantung baik dari diri pemimpin
maupun kepada keadaan organisasi. Menueurt Fiedler tak ada gaya kepemimpinan yang
cocok untuk semua situasi, serta ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan
antara pemimpin dan bawahan, struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi.
Ketiga faktor tesebut sesungguhnya merupakan tiga dimensi dalam situasi yang
mempengaruhi gaya kepemimpinan.
1) Hubungan antara pemimpin dengan bawahan.
Hubungan ini sangat penting bagi pemimpin, karena hal ini menentukan
bagaimana pemimpin diterima oleh anak buah. Pada umumnya hal inididasarkan
pada persepsi pemimpin mengenai suasana kelompok.
2) Struktur tugas.
Dimensi ini berhubungan dengan seberapa jauh tugas merupakan pekerjaan rutin
atau tidak. Apabila stuktur tugas cukup jelas maka prestasi setiap orang lebih
mudah diawasi, serta tanggung jawab setiap orang lebih pasti.
3) Kekuasaan yang berasal dari organisasi.
Dimendi ini menunjukkan sampai sejauh mana pemimpin mendapat kepatuhan
anak buahnya, dengan menggunakan kekuasaan yang bersumber dari organisasi.
Pemimpin yang menerima kekuasaan yang jelas dari organisasi akan mendapat
kepatuhan lebih dari bawahan.
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, Fiedler menentukan dua jenis gaya
kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan.
Pertama, gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas, yaitu ketika pemimpin
merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan.
Kedua, gaya kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan bergantung pada
tingkat pembauran antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang
menyenangkan dalam situasu tertentu.
Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin, seorang guru besar Universitas New Runswick,
Canada. Menurutnya ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk menentukan gaya
kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi atau tugas, perhatian pada orang, dan dimensi
efektivitas. Gaya kepemimpinan Reddin sama dengan jaringan manajemen, memiliki empat
gaya dasar kepemimpinan, yaitu integrated, related, separated, dan dedicated. Reddin
mengatakan bahwa keempat gaya tersebut dapat menjadi efektif atau tidak efektif, tergantung
pada situasi. Keempat gaya dasar tersebut jika dilihat dari segi efektif akan menjadi tujuh
gaya kepemimpinan.
Ketujuh gaya tersebut adalah gaya dasar integrated yang jika diekspresikan dalam
situasi yang efektif akan menjadi gaya eksekutif; gaya dasar integrated jika diekspresikan
dalam situasi yang tidak efektif akan menjadi gaya compromiser; gaya dasar separated jika
diekspresikan dalam situasi yang efektif akan menjadi gaya bureaucrat; gaya dasar separated
jika diekspresikan dalam situasi yang tidak efektif akan menjadi gaya deserter; gaya dasar
dedicated, bisa diekspresikan dalam situasi yang efektif akan menjadi gaya benevolent
autrocrat; gaya dasar related jika diekspresikan dalam situasi yang efektif akan menjadi gaya
developer; dan gaya dasar related jika diekspresikan dalam situasi yang tidak efektif akan
menjadi gaya missionary.
Gaya kepemimpinan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam gaya efektif dan
tidak efektif sebagai berikut.
1. Gaya Efektif
Executive; gaya ini menunjukkan adanya perhatian baik kepada tugas maupun kepada
hubungan kerja dalam kelompok. Pimpinan berusaha memotivasi anggota dan menetapkan
standar kerja yang tinggi serta mau mengerti perbedaan individu, dan menenmpatkan
individu sebagai manusia.
Developer;
Gaya ini memberikan perhatian yang cukup tinggi terhadap hubungan kerja dalam
kelompok dan perhatian minimum terhadap tugas pekerjaan. Pimpinan yang menganut gaya
ini sangat memperhatikan pengembangan individu.
Benevolent Authocrat;
Gaya ini memberikan perhatian yang tinggi terhadap tugas dan rendah dalam
hubungan kerja. Pemimpin yang menganut gaya ini mengetahui secara tepat apa yang ia
inginkan dan bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan
ketidakseganan di pihak lain.
Birokrat;
Gaya ini memberikan perhatian yang rendah terhadap tugas maupun terhadap
hubungan. Pemimpin yang menganut gaya ini menerima setiap peraturan dan berusaha
memeliharanya dan melaksanakannya.
2. Gaya yang tidak Efektif
Compromiser;
Gaya ini memberikan perhatian yang tinggi pada tugas maupun pada hubungan kerja.
Pemimpin yang menganut gaya ini merupakan pembuat keputusan yang tidak efektif dan
sering menemui hambatan dan masalah.
Missionary;
Gaya ini member perhatian yang tinggi pada hubungan kerja dan rendah pada tugas.
Pemimpin yang menganut gaya ini hanya tertarik pada keharmonisan dan tidak bersedia
mengontrol hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.
Autocrat;
Gaya ini memberikan perhatian yang tinggi pada tugas dan rendah pada hubungan.
Pemimpin yang menganut gaya ini selalu menetapkan kebijaksanaan dan keputusan sendiri.
Deserter;
Gaya ini member perhatian yang rendah pada tugas dan hubungan kerja. Pemimpin
yang menganut gaya ini hanya mau memberikan dukungan dan memberikan struktur yang
jelas serta tanggung jawab, hanya pada waktu yang dibutuhkan.
Teori Kepemimpinan Situasional
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang
didasarkan pada hubungan antara tiga faktor yaitu, perilaku tugas (Task behavior), perilaku
hubungan (Relationship behavior), dan kematangan (Maturity). Perilaku tugas merupakan
pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa
yang harus dikerjakan, bilamana, dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka
secara ketat. Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui
komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan
masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya. Dari ketiga faktor
tersebut, tingkat kematangan anak buah merupakam faktor yang paling dominan. Karena itu,
tekanan utama dari teori ini terletak pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan
anak buah.
Menurut teori ini gaya kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat
kematangan anak buah, makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas
dan menambah perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat
kematngan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan
wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat kematangan
anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah
sebagai berikut :
1. Gaya Mendikte (Telling)
Gaya ini diterapkan jika anak buah dalam tingkat kematangan rendah, dan
memerlukan petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena
pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan di mana tugas dilakukan.
Gaya ini menekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.
2. Gaya Menjual (Selling)
Gaya ini diterapkan apabila kondisi anak buah dalam taraf rendah sampai moderat.
Mereka telah memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung oleh
kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena pemimpin selalu memberikan
petunjuk yang banyak. Dalam tingkat kematangan anak buah seperti ini diperlukan tugas
serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan meningkatkan kemauan yang telah
dimiliki.
3. Gaya Melibatkan (Participating)
Gaya ini diterapkan apabila tingkat kematangan anak buah berada pada taraf
kematangan moderat sampai tinggi. Mereka mempunyai kemampuan, tetapi kurang memiliki
kemauan kerja dan kepercayaan diri. Gay ini disebut mengikut sertakan karena pemimpin
dengan anak buah bersama-sama berperan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam
kematangan seperti ini, upaya tugas tidak diperlukan, namun upaya hubungan perlu
ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah.
4. Gaya Mendelegasikan (Delegating)
Gaya ini diterapkan jika kemampuan dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini
disebut mendelegasikan karena anak buah dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri, melalui
pengawasan umum. Hal biasa dilakukan jika anaka buah berada pada tingkat kedewasaan
yang tinggi. Dalam tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya diperlukan sekedarnya
saja, demikian pula upaya hubungan.
Secara rinci Siagian (1994: 27) membagi lima gaya kepemimpinan yang secara luas
dikenal dewasa ini, yaitu :
1. Tipe Otokratik
Pemimpin yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat dipandang
sebagai karakteristik yang negatif. Di lihat dari persepsinya, seorang pemimpin yang
otokratik adalah seorang yang sangat egois. Sikap egoisme tersebut akan memberi tekanan
kepada bawahannya. Sehingga kedisiplinan yang tertanam berdasarkan rasa ketakutan, bukan
disiplin yang sudah semestinya dijalankan.
Kepemimpinan otokratik mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak
harus dipatuhi. Pemimpinnya sangat berambisi untuk merajai situasi, setiap perintah dan
bijakan ditetapkan tanpa konsultasi dengan bawahan. Meski pemimpin otokratik selalu
berdiri jauh dari kelompoknya, jadi ada sikap menyisihkan diri dan eksklusivisme. Pemimpin
otokratik senantiasa ingin berkuasa absolut, tunggal, dan merajai keadaan.Dalam Veithzal
Rivai, sikap-sikap pemimpin otokrat dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Kurang mempercayai anggota kelompoknya
2) Otoriter
3) Hanya dengan imbalan materi sajalah yang mampu mendorong orang untuk
bertindak.
4) Kurang toleransi terhadap kesalahan yang dilakukan anggota kelompok
5) Peka terhadap perbedaan kekuasaan
6) Kurang perhatian kepada anggota kelompoknya
7) Memberikan kesan seolah-olah demokratis
8)Mendengarkan pendapat anggota kelompoknya semata-mata hanya untuk
menyenangkan
9) Senantiasa membuat keputusan sendiri.
Dengan persepsi, nilai-nilai, sikap dan perilaku demikian, seorang pemimpin yang
otokratik dalam praktek akan menggunakan gaya kepemimpinan yang :
1) Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya
2) Dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan
3) Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
4) Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh
bawahan
Harus diakui, bahwa hanya efektifitas semata-mata yang diharapkan dari seorang
pemimpin dalam mengemudikan jalannya organisasi, tipe otokratik mungkin mampu
menyelenggarakan berbagai fungsi kepemimpinannya dengan baik.Akan tetapi yang
dipermasalahkan di sini adalah tekanan yang dirasakan oleh para bawahan, sehingga disiplin
ketat berjalan karena rasa takut dari paksaan atasan bukan karena berdasarkan keyakinan
bahwa tujuan yang telah ditentukan itu wajar dan layak untuk dicapai.
Maka dari itu, kepemimpinan yang otokratik sangat dikaitkan dengan kekuasaan
mengambil tindakan yang punitif. Biasanya, apabila kekuasaan mengambil tindakan punitif
itu tidak lagi dimilikinya, ketaatan para bawahan segera mengendor dan disiplin kerjapun
segera mengendor.
2. Tipe Paternalistik
Gaya paternalistik adalah gaya kepemimpinan dari pemimpin yang bersifat
tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti:
1) Kuatnya ikatan primordial,
2) Sistem kekeluargaan,
3) Kehidupan masyarakat yang komunalistik,
4) Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat,
5) Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota
masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Salah satu ciri utama dari masyarakat tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang
ditujukan oleh para anggota kepada seseorang yang dituakan.Orang yang dituakan, dihormati
terutama karena orang yang demikian biasanya memproyeksikan sifat-sifat dan gaya hidup
yang pantas dijadikan teladan atau panutan oleh para anggota masyarakat lainnya. Biasanya
orang yang dituakan terdiri dari tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru.
Para bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang paternialistik,
mempunyai sifat tidak mementingkan diri sendiri melainkan memberikan perhatian terhadap
kepentingan dan kesejahteraan bawahannya. Akan tetapi, legitimasi kepemimpinannya berarti
penerimaan atas perannya yang dominan dalam kehidupan organisasional.Selain dari itu,
Kartini Kartono juga mengungkapkan bahwa tipe kepemimpinan ini merupakan tipe yang
kebapakan, dengan sifat-sifat :
1) Dia menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau
anak sendiri yang perlu dikembangkan
2) Dia bersikap terlalu melindungi (overly protective)
3) Jarang bisa memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan
sendiri
4) Dia hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
berinisiatif
5) Dia tidak memberikan atau hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan
pada pengikut dan bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan karya kreatifitas
mereka sendiri
6) Selalu bersikap maha-tahu dan maha-benar.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diperlukan.
Akan tetapi ditinjau dari segi sifat-sifat negatifnya pemimpin paternalistis kurang
menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
3. Tipe Kharismatik
Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang pemimpin yang dikagumi oleh
banyak pengikut, meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara
konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi.Pemimpin kharismatik ini memiliki kekuatan
energi, daya tarik, dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga
ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa
dipercaya.
Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab
mengapa seorang pemimpin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti
ini mempunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat
besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin
seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab karena kurangnya seorang pemimpin yang
karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan
kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan,
profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin
karismatis.
4. Tipe Laissez Faire
Kepemimpinan Laissez Faire ditampilkan oleh seorang tokoh “Ketua Dewan” yang
sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyerahkan semua tanggungjawab serta
pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya.
Seorang pemimpin yang Laissez Faire melihat perannya sebagai “polisi lalu lintas”
dengan anggapan para anggota organisasi mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada
peraturan permainan yang berlaku. Seorang pemimpin yang Laissez Faire cenderung memilih
peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa
banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.Ada beberapa ciri
yang terdapat dalam diri pemimpin tersebut:
1) Tidak yakin pada kemampuan sendiri
2) Tidak berani menetapkan tujuan untuk kelompok
3) Tidak berani menanggung resiko
4) Membatasi komunikasi dan hubungan kelompok
Dapat juga diartikan bahwa pemimpin laissez faire bukanlah seorang pemimpin dalam
pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap santai-santai, dan
bermoto “lebih baik tidak usah bekerja saja”. Mereka menunjukkan sikap acuh tak acuh.
Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak terbimbing dan tidak terkontrol.
5. Tipe Demokratik
Tipe kepemimpinan demokratis dapat juga disebut sebagai pemimpin yang
partisipatif, selalu berkomunikasi dengan kelompok mengenai masalah-masalah yang
menarik perhatian mereka dan mereka dapat menyumbangkan sesuatu untuk
menyelesaikannya serta ikut serta dalam penetapan sasaran.
Pemimpin tipe ini, menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan
sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota
kelompok bukan sebagai majikan dan buruh, tetapi sebagai saudara tua di antara teman-
temannya atau sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya, ia selalu berpangkal pada
kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta
kemampuan kelompoknya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima dan mengharapkan saran-saran dari
kelompoknya. Juga kritik-kritik yang membangun dari para anggota diterimanya sebagai
umpan balik dan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya. Adapun ciri
pemimpin yang demokrat meliputi :
1) Membuat keputusan bersama dengan anggota kelompok
2) Selalu menjelaskan sebab-sebab keputusan yang dibuat sendiri kepada kelompok
3) Feed back dijadikan sebagai salah satu masukan yang berharga
4) Mengkritik dan memuji secara obyektif.
Jika model kepemimpinan dapat disinonimkan dengan tipe, dari sini dapat dijelaskan
sendiri mengenai gaya kepemimpinan, yakni :
a. Pencari kegembiraan
Adalah orang-orang yang mengambil resiko, ketika marah menjadi agresif atau pasif,
adalah pendiri dan pencipta, memiliki artikulasi verbal dan banyak bicara, antusias,
termotivasi dan suka akan kesenangan, suka menghibur, bersemangat menolong orang lain,
terkadang sulit diorganisir dan suka melompat-lompat dari satu aktivitas ke aktivitas lain.
b. Pencari rinci/detail
Adalah orang-orang yang menanyakan bagaimana, akan menanyakan detail secara
spesifik, mengukur banyak waktu yang anda gunakan dalam proyek, sensitif dan akurat,
perfeksionis, berkonsentrasi pada detail, mengecek keakuratan, mengikuti petunjuk dan
standar, menyukai struktur dan pemikir praktis, mematuhi otoritas, bekerja pelan tapi pasti.
c. Pencari hasil
Adalah orang-orang yang bertanya tentang apa dan kapan, membuat pernyataan,
memberitahukan orang lain tentang apa yang harus dilakukan, tidak mentolerir kesalahan,
tidak memiliki perasaan pada orang lain, menyepelekan saran dari orang lain, berani
menghadapi resiko, sanggup berkompetensi, bermain untuk menang, menerima tantangan,
percaya diri, terkontrol, tidak suka kelambanan, dan mandiri.
d. Pencari keharmonisan
Adalah orang bertanya mengapa, mempertahankan hubungan, tipe pembimbing/tipe
keibuan, memiliki masalah-masalah dunia, kalem (calm), tidak suka mengambil inisiatif,
loyal, penuh perhatian, posesif, suka orang lain, tetap tinggal pada satu tempat, penyabar, dan
memiliki kehangatan, konsentrasi pada tujuan, pendengar yang baik, pengambil keputusan
yang lamban, tidak suka konflik interpersonal, takut akan ketidakharmonisan dan takut salah.
2. Penerapan Tipe Kepemimpinan
Dalam penerapannya, kepemimpinan yang baik justru tidak dihasilkan oleh satu
macam tipe kepemimpinan tertentu melainkan oleh kemampuan untuk tahu "kapan"
menggunakan tipe kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan.
Semakin terbiasa seorang mengambil posisi play maker, semakin matang gaya
kepemimpinannya. Dulu kepemimpinan seseorang terbentuk secara pasif dan alamiah melalui
proses panjang. Namun saat ini hal tersebut dapat di konstruksi secara sengaja, apabila
diinginkan.
Daniel Goleman, ahli di bidang EQ, melakukan penelitian tentang tipe-tipe
kepemimpinan dan menemukan ada 6 (enam) tipe kepemimpinan. Penelitian itu
membuktikan pengaruh dari masing-masing tipe terhadap iklim kerja perusahaan, kelompok,
divisi serta prestasi keuangan perusahaan. Namun hasil penelitian itu juga menunjukkan,
hasil kepemimpinan yang terbaik tidak dihasilkan dari satu macam tipe. Yang paling baik
justru jika seorang pemimpin dapat mengkombinasikan beberapa tipe tersebut secara
fleksibel dalam suatu waktu tertentu dan yang sesuai dengan bisnis yang sedang dijalankan.
Memang, hanya sedikit jumlah pemimpin yang memiliki enam tipe tersebut dalam
diri mereka. Pada umumnya hanya memiliki 2 (dua) atau beberapa saja. Penelitian yang
dilakukan terhadap para pemimpin tersebut juga menghasilkan data, bahwa pemimpin yang
paling berprestasi ternyata menilai diri mereka memiliki kecerdasan emosional yang lebih
rendah dari yang sebenarnya. Pada umumnya mereka menilai bahwa dirinya hanya memiliki
satu atau dua kemampuan kecerdasan emosional. Namun yang paling ironi adalah pemimpin
yang payah justru menilai diri mereka secara “lebih” berlebihan dengan menganggap bahwa
mereka punya 4 (empat) atau lebih kemampuan kecerdasan emosional.
Dilihat dari kacamata psikologis, bahwa orang yang gemar bermain kuasa pada
umumnya dahulu di masa kecilnya terlalu dimanja atau terlalu tertekan. Maka setelah
dewasa, ketika orang tersebut menjadi pemimpin tidak mampu membuang traumanya.
Suasana manja dan tertekan dan sistem resistansinya kemudian menyusup ke bawah sadarnya
menjadi program pengontrol bagi sikapnya sehari-hari di kala mereka dewasa. Bentuknya
antara lain kompensasi semu, merasa paling bagus, paling hebat, tidak mau disaingi,
temperamennya cepat marah, dan sifat-sifat negatif lainnya. Untuk menjaga kehebatannya,
jika ada serangan terhadap dirinya, maka serangan itu harus dihancurkan. Dan jika tidak
mampu, jangan ditanggapi bahkan pura-pura tidak tahu, supaya kehebatannya tidak
tertandingi.
Daftar Pustaka
Danim, Sudarwan. 2008. Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga
Akademik. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Siagian, Sindang P. 1994.Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2010/01/modelgaya-kepemimpinan-dan-
penerapannya.html)
http://den-ayu23.blogspot.com/2012/05/konsep-dasar-kepemimpinan.html)