Tugas Kultu Jar

12
PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH IAA DAN BAP PADA KULTUR JARINGAN TEMBAKAU Nicotiana tabacum L. VAR. Prancak 95 Titin Aisyah Fatmawati * , Tutik Nurhidayati 1 , Nurul Jadid 1 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Penelitian tentang kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP dan mengetahui kombinasi konsentrasi yang optimum dalam menginduksi tunas dan akar tembakau melalui teknik kultur jaringan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan jurusan Biologi ITS Surabaya. Sedangkan tanaman induk diperoleh dari Green House PT Sadhana Pasuruan propinsi Jawa Timur. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Faktorial. Perlakuan terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama dengan konsentrasi 4 level konsentrasi BAP yaitu 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, dan 3 ppm. Sedangkan faktor kedua adalah lima level konsentrasi IAA yaitu 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, and 2 ppm. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 0,5 ppm menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu dengan rata-rata jumlah tunas sebanyak 34 tunas/eksplan sedangkan jumlah akar terbanyak didapatkan dari kombinasi IAA 1 ppm and BAP 0 ppm dengan rata-rata jumlah akar sebanyak 4 akar/eksplan. Kata kunci :, Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Kultur Jaringan. ABSTRACT The study on Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 tissue culture aimed to study the effect of combination between BAP and IAA plant growth regulator substance and determine the appropriate concentration of BAP and IAA for shoot and root multiplication of tobacco Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 tissue culture. This study was carried out in the tissue culture laboratory, department of Biology ITS, Surabaya. The intact plant was got from PT. Sadana’s Green House, Pasuruan,in East Java Province. This study used factorial experiment arranged in Factorial Design.. The treatment consisted of 2 factors. The first factor was the BAP concentration, consisted of four levels i.e. 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, and 3 ppm. The second factor was IAA concentration, consisted of five levels i.e. 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, and 2 ppm. The result showed that the combination of BAP 1 ppm and IAA 0,5 ppm gave the biggest amount of shoot multiplication is 34,25 shoot/explants while the combination of IAA 1 ppm and BAP 0 ppm gave the biggest amount of root multiplication is 4 root/explant. Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Tissue Culture. *Corresponding author Phone : +6285731495576 e-mail : [email protected] 1 Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya I PENDAHULUAN Tembakau termasuk dalam famili Solanaceae yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Sektor tembakau memiliki peranan penting dalam roda perekonomian Indonesia. Prajoko Hadi dan Supena Priyanto (2008) melaporkan bahwa cukai hasil tembakau merupakan salah satu sumber penerimaan negara dari dalam negeri dimana tembakau menghasilkan cukai sebesar 95%. Kontribusi cukai terhadap penerimaan Negara pada tahun 2000 mengalami peningkatan hingga 2004. Fatmawati (2006) dalam Prajoko Hadi dan Supena Priyanto (2008) menyatakan bahwa pada tahun-tahun selanjutnya pemerintah akan mentargetkan penerimaan cukai rokok sekitar 98% dari total penerimaan cukai. Selain sebagai bahan baku rokok, tembakau juga dapat dimanfaatkan sebagai biopestida, Borlongan et al (1998) menyatakan bahwa penggunaan debu tembakau yang merupakan hasil samping dari industri rokok dengan dosis yang tepat dapat memberantas hama siput (Cerithidea cingulat Gmelin) pada budidaya perikanan

description

bhbh

Transcript of Tugas Kultu Jar

Page 1: Tugas Kultu Jar

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH IAA DAN BAP PADA KULTUR JARINGAN TEMBAKAU Nicotiana tabacum L. VAR. Prancak 95

Titin Aisyah Fatmawati*, Tutik Nurhidayati1, Nurul Jadid1

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK

Penelitian tentang kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. bertujuan untuk mengetahui

pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP dan mengetahui kombinasi konsentrasi yang optimum dalam menginduksi tunas dan akar tembakau melalui teknik kultur jaringan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan jurusan Biologi ITS Surabaya. Sedangkan tanaman induk diperoleh dari Green House PT Sadhana Pasuruan propinsi Jawa Timur. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Faktorial. Perlakuan terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama dengan konsentrasi 4 level konsentrasi BAP yaitu 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, dan 3 ppm. Sedangkan faktor kedua adalah lima level konsentrasi IAA yaitu 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, and 2 ppm. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 0,5 ppm menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu dengan rata-rata jumlah tunas sebanyak 34 tunas/eksplan sedangkan jumlah akar terbanyak didapatkan dari kombinasi IAA 1 ppm and BAP 0 ppm dengan rata-rata jumlah akar sebanyak 4 akar/eksplan.

Kata kunci :, Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Kultur Jaringan.

ABSTRACT

The study on Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 tissue culture aimed to study the effect of

combination between BAP and IAA plant growth regulator substance and determine the appropriate concentration of BAP and IAA for shoot and root multiplication of tobacco Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 tissue culture. This study was carried out in the tissue culture laboratory, department of Biology ITS, Surabaya. The intact plant was got from PT. Sadana’s Green House, Pasuruan,in East Java Province. This study used factorial experiment arranged in Factorial Design.. The treatment consisted of 2 factors. The first factor was the BAP concentration, consisted of four levels i.e. 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, and 3 ppm. The second factor was IAA concentration, consisted of five levels i.e. 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, and 2 ppm. The result showed that the combination of BAP 1 ppm and IAA 0,5 ppm gave the biggest amount of shoot multiplication is 34,25 shoot/explants while the combination of IAA 1 ppm and BAP 0 ppm gave the biggest amount of root multiplication is 4 root/explant. Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Tissue Culture. *Corresponding author Phone : +6285731495576 e-mail : [email protected] 1 Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

I PENDAHULUAN Tembakau termasuk dalam famili

Solanaceae yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Sektor tembakau memiliki peranan penting dalam roda perekonomian Indonesia. Prajoko Hadi dan Supena Priyanto (2008) melaporkan bahwa cukai hasil tembakau merupakan salah satu sumber penerimaan negara dari dalam negeri dimana tembakau menghasilkan cukai sebesar 95%. Kontribusi cukai terhadap penerimaan Negara pada tahun 2000 mengalami peningkatan hingga 2004.

Fatmawati (2006) dalam Prajoko Hadi dan Supena Priyanto (2008) menyatakan bahwa pada tahun-tahun selanjutnya pemerintah akan mentargetkan penerimaan cukai rokok sekitar 98% dari total penerimaan cukai.

Selain sebagai bahan baku rokok, tembakau juga dapat dimanfaatkan sebagai biopestida, Borlongan et al (1998) menyatakan bahwa penggunaan debu tembakau yang merupakan hasil samping dari industri rokok dengan dosis yang tepat dapat memberantas hama siput (Cerithidea cingulat Gmelin) pada budidaya perikanan

Page 2: Tugas Kultu Jar

milkfish yang berada di Filipina, dimana siput Cerithidea cingulat Gmelin merupakan kompetitor utama bagi milkfish sehingga dapat menurunkan hasil perikanan. Nikotin dalam daun tembakau memiliki potensi sebagai insektisida yang direkomendasikan penggunaannya pada tahun 1763 untuk membasmi hama aphid pada tanaman sayuran dan tanaman hias (Othmer, 1966 dalam Sutjipto, 2002 dalam Setyawati 2009). Ekstrak tembakau merupakan salah satu bahan pengawet yang digunakan untuk pemeliharaan bangunan kayu oleh masyarakat yang tinggal di daerah Kudus (Parwoto, dkk., 2003 dalam Setyawati 2009). Dalam penelitian Setyowati (2009) disimpulkan bahwa ekstrak tembakau dapat digunakan sebagai pengawet bambu petung sekaligus meningkatkan kelenturan bambu karena adanya pengaruh dari konsentrasi tertentu dari larutan ekstrak tembakau yang mengandung alkaloid yang merupakan senyawa organik aktif yang mengandung unsur nitrogen (bersifat sedikit basa) yang dapat memperkuat struktur anatomi bambu.

Tembakau banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura. Tembakau Madura merupakan salah satu tembakau lokal aromatis yang dikembangkan di pulau Madura. Tembakau Madura dapat ditanam dalam tipe tanah grumosol dan regosol pada ketinggian 50-250 m dpl (Abdullah, 1982). Tembakau Madura terdiri atas berbagai varietas lokal. Dinyatakan oleh Suwarso et al (1999) bahwa pada tahun 1993 terdapat 20 macam varietas lokal tembakau Madura. Hal ini merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah yang perlu dilestarikan. Salah satu varietas unggulan tembakau Madura adalah Prancak 95. Rachman et al (1999) melaporkan bahwa tembakau Madura varietas Prancak mempunyai sifat hasil sedang, mutu tinggi, tahan terhadap penyakit lanas dan sesuai ditanam di lahan tegal dan gunung yang pada umumnya ditanam di lahan dengan ketinggian 200-300m.

Budidaya tembakau konvensional dilakukan dengan cara menyemaikan biji dimana untuk mendapatkan perkecambahan yang seragam biji harus direndam dalam air jernih selama dua hari dan diletakkan di tempat yang memiliki penyinaran dan aliran udaranya bagus. Selanjutnya air rendaman

biji diganti dan biji didinginkan selama 2 hari, baru dilakukan penaburan benih di lahan (Chane, 1989). Sementara itu Basuki et al (1999) melaporkan bahwa tingkat pemasakan buah per individu tanaman tidak serempak. sehingga panen buah untuk dijadikan benih tidak dapat dilakukan secara serempak. Hal ini memerlukan proses yang tidak sederhana dan waktu yang relatif lama, selain itu sifat-sifat genetis yang diturunkan ke keturunannya melalui biji mungkin tidak sama persis seperti induknya. Oleh karena itu diperlukan metode kultur jaringan untuk budidaya tembakau. Melalui metode kultur jaringan tembakau dapat dibudidayakan dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, selain itu sifat keturunan yang diperoleh akan sama persis seperti induknya.

Kultur jaringan menurut Suryowinoto (1991) dalam Hendaryono (1994) berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya. Keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan seperti pH, cahaya dan temperatur, serta kandungan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh ) dalam medium kultur (Hendaryono, 1994). Zulkarnain (2009) mengungkapkan bahwa dalam teknik kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sangat nyata pengaruhnya. Sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya perbanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuhnya. Hendaryono (1994) menyatakan bahwa pada hasil percobaan pada tanaman tembakau ternyata kalus tidak tumbuh pada media dengan auksin saja, tetapi untuk pertumbuhan kalus memerlukan penambahan sitokinin. Hal ini diperkuat oleh Pierik (1997) dalam Hidayat (2007) yang menyatakan bahwa auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan dalam media budidaya jaringan dan diberikan dalam konsentrasi yang sesuai dengan pertumbuhan yang diinginkan.

Ali et al. (2007) menyatakan bahwa konsentrasi hormon pertumbuhan pada medium kultur jaringan sangat berperan dalam morfogenesis. Skoog and Miller (1957) dalam Ali (2007) menyatakan

Page 3: Tugas Kultu Jar

keseimbangan antara sitokinin dan auksin mengatur pertumbuhan bentukan akar tunas dan kalus pada kultur invitro. Hal ini dilengkapi oleh Cline (1994), dan Tamas (1995) dalam Ali et al (2007) yang menyatakan auksin dan sitokinin berperan dalam pertumbuhan tunas aksilar dan akar lateral. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil kultur jaringan tembakau yang optimal diperlukan kombinasi komposisi ZPT berupa hormon auksin dan sitokinin yang tepat. Perbandingan konsentrasi ZPT auksin dan sitokinin yang digunakan Ali et al (2007) dan Hendaryono (1994) pada kultur jaringan tembakau adalah 2:3.

Permasalahan yang dihadapi adalah berapakah kombinasi konsentrasi IAA dan BAP yang efektif dalam morfogenesis eksplan pada medium kultur jaringan dan bagaimana pengaruh kombinasi IAA dan BAP terhadap morfogenesis eksplan Tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95.

Penelitian ini dibatasi pada efek kombinasi konsentrasi hormon IAA dan BAP terhadap morfogenesis eksplan yang meliputi pembentukan kalus, tunas dan akar serta ukuran tunas dan akar pada medium kultur jaringan tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi IAA dan BAP yang efektif dalam morfogenesis eksplan pada kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. variatas prancak 95.

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dengan mendapatkan konsentrasi IAA dan BAP yang efektif untuk morfogenesis eksplan Tembakau Nicotiana tabacum L. sehingga teknik kultur jaringan dapat digunakan sebagai acuan untuk teknik budidaya Tembakau Nicotiana tabacum L. Var. Prancak 95. II METODOLOGI Tahap 1 Persiapan a. Sterilisasi Alat

Semua peralatan baik alat pembuatan media (botol kultur) dan alat inokulasi eksplan (cawan petri, scalpel blade, gunting eksplan, pinset, kertas saring dan tissue) dilakukan sterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan autoklaf dengan suhu

121oC tekanan 1,5 atm selama 20 menit (Nugroho, 2004).

Tahap 2 Pembuatan Media a. Sterilisasi Media

Media yang digunakan adalah media Murashige and Skoog (MS) dengan pH media 5,8 – 6,0 (lampiran I) di masukkan ke dalam botol kultur dan disterilisasi dengan autoklav dengan suhu 1210C tekanan 1,5 atm selama 15 menit. b. Pembuatan Stok zat pengatur tumbuh (ZPT) IAA dan BAP

Pembuatan larutan stok IAA dan BAP 10 ppm, dilakukan dengan menimbang bahan sebanyak 10 mg lalu ditambahkan 50 ml aquades ke dalam erlenmeyer berukuran 100 ml. Sambil diaduk, diteteskan sedikit larutan KOH 1 N dengan hati-hati sampai larut benar (jernih) (Hendaryono, 1994). Larutan ditambahkan aquades steril sampai volume menjadi 1000 ml. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam wadah stok, ditutup rapat dan diberi label IAA dan BAP 10 ppm. Selanjutnya disimpan dalam lemari es.

Penggunaan larutan stok pada medium dihitung berdasarkan perhitungan Hendaryono (1994) yaiitu sebagai berikut :

V1.M1 = V2.M2

dimana : V1 = volume larutan stok yang dicari M1 = dosis larutan stok yang tersedia V2 = volume medium yang akan dibuat M2 = dosis medium yang akan dibuat Tahap 3 Tahap Inokulasi Eksplan a. Sterilisasi Eksplan

Eksplan berupa daun muda tembakau Nicotiana tabacum L. var prancak 95 diterilisasi dengan cara dicelupkan pada etanol 70% selama 25 detik kemudian dicuci dengan aquades steril, selanjtnya direndam dalam larutan sodium hipoklorit 1% selama 10 menit, lalu dicuci dengan aquades steril secara bertingkat sebanyak 3 sampai 4 kali ( Fowke et al., 1983). Selanjutnya dicuci dengan aquades steril. Sodium hipoklorit yang digunakan adalah Bayclin™ (konsentrasi 5,25 %) (Anonim, 2009). Sterilisasi eksplan dilakukan di dalam laminar air flow dengan kondisi aseptik. Selanjutnya eksplan diambil dengan pinset dan ditiriskan pada kertas saring steril (Hendaryono, 1994).

Page 4: Tugas Kultu Jar

b. Inokulasi Eksplan Proses inokulasi dilakukan di laminar air

flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat inokulasi ditata didalam laminar air flow. Setiap alat tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan dilewatkan di atas nyala api bunsen selama 1-2 menit.

Daun tembakau dipotong ±1x1 cm dan diinokulasikan ke dalam botol kultur yang telah berisi ± 20 ml media MS dengan posisi bagian abaksial menyentuh medium (Dhaliwal et al., 2004). Penelitian ini menggunakan 20 kombinasi dengan empat kali ulangan. Tujuan dari pengulangan adalah memperoleh komposisi yang efektif untuk morfogenesis eksplan. Kombinasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1 Susunan kombinasi konsentrasi IAA dan BAP terhadap eksplan daun Tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95

IAA BAP

0 ppm

0,5 ppm

1 ppm

1,5 ppm

2 ppm

0 ppm I0B0 I0,5B0 I1B0 I1,5B0 I2B0 1 ppm I0B1 I0,5B1 I1B1 I1,5B1 I2B1 2 ppm I0B2 I0,5B2 I1B2 I1,5B2 I2B2 3 ppm I0B3 I0,5B3 I1B3 I1,5B3 I2B3

Setelah eksplan diinokulasikan ke medium di dalam botol kultur, botol ditutup rapat dan diberi label yaitu tanggal dilakukan inokulasi eksplan dan konsentrasi hormon yang digunakan. Kemudian ditata rapi dalam rak kultur. Ditumbuhkan selama 28 hari. Setiap kolom rak kultur diberi pencahayaan dengan lampu neon 40 watt engan lama penyinaran 16 jam terang fotoperiod (Dhaliwal et al., 2004 ; Ali et al. 2003). Suhu ruang penyimpanan ini diatur relatif konstan 25oC±1 (Dhaliwal et al., 2004 dan Rampant et al., 2000).

Tahap 3 Rancangan Penelitian

Pengamatan dilakukan secara destruktif pada hari ke 28 (dihitung sejak inokulasi eksplan). Morfogenesis yang terjadi diamati berdasarkan parameter warna kalus (putih, kehijauan atau kekuningan) dan tekstur kalus (lunak, keras, padat) serta jumlah akar dan tunas dari eksplan sehingga didapatkan data kuantitatif (Ali, 2007). Data yang diperoleh disusun dalam tabel pengamatan kalus (tabel 2) dan tabel pengamatan jumlah tunas dan akar (tabel 3). Percobaan dianalisis dengan rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktor

(Faktor A= konsentrasi IAA dan Faktor B=konsentrasi BAP) dengan 2 kali ulangan. Data yang didapatkan dianalisis dengan ANOVA dengan selang kepercayaan 95%, dan dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan software SPSS untuk mengetahui pengaruh interaksi zat pengatur tumbuh pada konsentrasi tersebut. Bentuk hipotesis percobaan 2 faktor menurut Walpole and Myers (1995) adalah sebagai berikut :

H0 : interaksi dari faktor A dan faktor B tidak berpengaruh terhadap respon objek yang diamati

H1 : paling sedikit ada 1 interaksi antara faktor A dan faktor B yang berpengaruh terhadap respon objek yang diamati.

Sedangkan variabel yang digunakan adalah : Variabel bebas : perbandingan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP Variabel terikat : jumlah dan panjang akar, jumlah dan panjang tunas Variabel terkendali : pH, suhu, dan pencahayaan. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan terhadap eksplan tembakau N. tabacum L. var. Prancak 95 yang ditumbuhkan selama 28 hari dalam medium MS padat dengan 20 kombinasi ZPT menunjukkan adanya respon pertumbuhan dan organogenesis. Respon organogenesis eksplan secara in vitro terjadi dengan dua cara yang berbeda yaitu secara langsung dan tidak langsung. Organogenesis eksplan secara langsung ditunjukkan dengan munculnya organ secara langsung dari potongan tanaman utuh tanpa melalui terbentuknya kalus. Sedangkan organogenesis secara tidak langsung yaitu terjadi melalui terbentuknya kalus terlebih dahulu, kemudian kalus berdiferensiasi membentuk organ yang spesifik (George, 1993)

Organogenesis eksplan tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 terjadi secara tidak langsung, dimana organogenesis diawali dengan munculnya kalus. Kalus merupakan jaringan yang amorphous dan belum terdiferensiasi yang terbentuk ketika sel tanaman mengalami pembelahan yang tidak teratur. Kalus dapat diinisiasi secara invitro dengan meletakkan irisan jaringan tanaman (eksplan) pada

Page 5: Tugas Kultu Jar

medium pendukung pertumbuhan dalam kondisi steril (George, 1993). Kalus yang terbentuk dalam penelitian ini berwarna hijau dan putih dengan tekstur yang kompak. Penampakan kalus yang berwarna hijau dan bertekstur kompak terlihat pada bagian yang diberi tanda lingkaran pada Gambar 4.1 sedangkan kalus dengan warna putih dan tekstur kompak ditunjukkan pada bagian yang diberi tanda lingkaran pada Gambar 4.2.

Kirkham dan Holder (1981) dalam George (1993) menyebutkan bahwa kalus yang diinduksi dari tunas dengan penambahan sitokinin memiliki tekstur yang lebih kompak daripada kalus yang dihasilkan tanpa induksi sitokinin. Tekstur kalus yang kompak merupakan efek dari sitokinin danauksin yang mempengaruhi potensial air dalam sel. Hal ini menyebabkan penyerapan air dari medium ke dalam sel meningkat sehingga sel menjadi lebih kaku. penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadangjuga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofidan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.

Warna dan tekstur kalus merupakan indikasi dimulainya respon organogenesis. proliferasi masa sel yang muncul dari efek pelukaan, kalus yang terus menerus berproliferasi membentuk jaringan parenkim yaitu jaringan dasar yang dapat bersifat meristematik dan berdiferensiasi ke bentuk

Gambar. 4.2pada eksplan dengan medium 2 ppm IAA dan 1 ppm BAP

Gambar. 4.1 Kalus pada eksplan dengan medium 1,5 ppm IAA dan 3 ppm BAP

pertumbuhan dalam kondisi steril (George, 1993). Kalus yang terbentuk dalam penelitian ini berwarna hijau dan putih dengan tekstur yang kompak.

alus yang berwarna hijau dan bertekstur kompak terlihat pada bagian yang diberi tanda lingkaran pada Gambar 4.1 sedangkan kalus dengan warna putih dan tekstur kompak ditunjukkan pada bagian yang diberi tanda lingkaran pada Gambar

(1981) dalam George (1993) menyebutkan bahwa kalus yang diinduksi dari tunas dengan penambahan sitokinin memiliki tekstur yang lebih kompak daripada kalus yang dihasilkan

Tekstur kalus yang kompak merupakan efek dari sitokinin dan auksin yang mempengaruhi potensial air dalam sel. Hal ini menyebabkan penyerapan air dari medium ke dalam sel meningkat sehingga sel menjadi lebih kaku. Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan

jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang

Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat

Warna dan tekstur kalus merupakan

indikasi dimulainya respon organogenesis. proliferasi masa sel yang muncul dari efek pelukaan, kalus yang terus menerus berproliferasi membentuk jaringan parenkim yaitu jaringan dasar yang dapat bersifat

erdiferensiasi ke bentuk

yang lebih spesifik. Kalus yang berwarna putih merupakan jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas, tetapi memiliki kandungan butir pati yang tinggi. Dengan penambahan zat pengatur tumbuh terutama sitokinin dan stimulus caproplastid yang terdapat dalam jaringan parenkim tersebut berdiferensiasi menjadi plastid yang mengandung kloorofil, sehingga kalus berubah menjadi berwarna hijau. Kalus yang berwarna hijau dan mengandung klorofil biasanya merupakan tempat munculnya tunas (Tsuro, 1998). Parameter warna dan tekstur kalus yang terbentuk dalam penelitian kultur jaringan tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 ditunjukkan dalam Tabel 4.1

Tabel 4.1. Morfologi kalus pada eksplan

N. tabacum L. var. Prancak 95 hari

IAA BAP

0 ppm

0,5 ppm

1 ppm

0 ppm 2 2 2 1 ppm 2&1 2 2 2 ppm 2 2 1 3 ppm 2 2 2

Keterangan Scoring warna dan tekstur kalus:

1 = Hijau kompak 2 = Putih kompak Berdasarkan hasil pengamatan

(Tabel 4.1) keseluruhan kalus yang terbentuk bertekstur kompak, dengan warna putih atau hijau. Kalus yang berwarna hijau kebanyakan muncul dari kombinasi IAA dan BAP dengan konsentrasi tinggi. Dalam penelitian ini kalus yang muncul dari daerah bekas pelukaan berwarna putih, lamakelamaan akan berubah menjadi kalus yang berwarna hijau dan kemudian berdiferensiasi menjadi organvegetatif yakni tunas dan akar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh (Tsuro, 1998) bahwa tahapan pembentukan kalus pada eksplan yaitu, kalus yang muncul pada bekas potongan pada eksplan awalnya bersifat remah, selanjutnya ketika sel terus berproliferasi maka lama-kelamaan kalus menjadi kompak dan berwarna putih. Kalus yang berwarna putih selanjutnya berubah menjadi hijau setelah penambahan sitokinin. Kalus yang telah berwarna hijau tersebut berdiferensiasi membentuk tunas.

Gambar. 4.2 Kalus pada eksplan dengan medium 2 ppm IAA dan 1 ppm BAP

yang lebih spesifik. Kalus yang berwarna putih merupakan jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas, tetapi memiliki kandungan butir pati yang tinggi. Dengan penambahan zat pengatur tumbuh terutama sitokinin dan stimulus cahaya, proplastid yang terdapat dalam jaringan parenkim tersebut berdiferensiasi menjadi plastid yang mengandung kloorofil, sehingga kalus berubah menjadi berwarna hijau. Kalus yang berwarna hijau dan mengandung klorofil biasanya merupakan tempat

tunas (Tsuro, 1998). Parameter warna dan tekstur kalus yang terbentuk dalam penelitian kultur jaringan tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95

. Morfologi kalus pada eksplan N. tabacum L. var. Prancak 95 setelah 28

1,5 ppm

2 ppm

2 1 2 2 2 1& 2 1 1& 2

Keterangan Scoring warna dan tekstur

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 4.1) keseluruhan kalus yang terbentuk bertekstur kompak, dengan warna putih atau hijau. Kalus yang berwarna hijau kebanyakan muncul dari kombinasi IAA dan BAP dengan konsentrasi tinggi. Dalam

ncul dari daerah bekas pelukaan berwarna putih, lama-kelamaan akan berubah menjadi kalus yang berwarna hijau dan kemudian berdiferensiasi menjadi organ-organ vegetatif yakni tunas dan akar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh (Tsuro,

hapan pembentukan kalus pada eksplan yaitu, kalus yang muncul pada bekas potongan pada eksplan awalnya bersifat remah, selanjutnya ketika sel terus

kelamaan kalus menjadi kompak dan berwarna putih. Kalus

tnya berubah menjadi hijau setelah penambahan sitokinin. Kalus yang telah berwarna hijau tersebut berdiferensiasi membentuk tunas.

Page 6: Tugas Kultu Jar

Bentuk lain dari respon perlakuan

penambahan ZPT dapat berupa diferensiasi dari kalus menjadi tunas (Lampiran 2). Kombinasi konsentrasi BAP dan IAA berpengaruh nyata terhadap multiplikasi tunas tercermin pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Rerata jumlah tunas pada eksplan N. tabacum L. var. Prancak 95 setelah 28 hari IAA BAP

0 ppm

0,5 ppm

1 ppm

1,5 ppm

2 ppm

0 ppm 0 a 0a 0 a 0a 0 a 1 ppm 16 b 8 b 8 b 13 b 22 b 2 ppm 17 b 34 c 19 b 23 b 19 b 3 ppm 20 b 8 b 19 b 26 b 24 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata dengan uji tukey pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan Tabel 4.1 eksplan yang diinokulasikan pada medium tanpa penambahan ZPT yaitu perlakuan I0B0 hanya memberikan respon callogenesis. Kalus yang terbentuk tidak berrediferensiasi menjadi organ. Eksplan hanya mengalami perubahan ukuran menjadi lebih lebar dan terbentuk kalus pada daerah yang dilukai, namun kalus yang muncul tidak berdeferensiasi menjadi akar atau tunas. Penghitungan tunas yang muncul pada eksplan dilakukan dengan menghitung nodus yang tampak. Hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan yang tajam terhadap jumlah tunas pada konsentrasi IAA 0,5 ppm yang dikombinasikan dengan berbagai konsentrasi BAP.

Interaksi antara IAA dan BAP terhadap induksi tunas ditunjukkan dalam grafik 4.1 berikut ini :

3210

35

30

25

20

15

10

5

0

BAP

Mean

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

IAA

Interaction Plot for Tunas

Fitted Means

Grafik 4.1 pengaruh interaksi IAA dan BAP terhadap tunas yang tumbuh

Berdasarkan Grafik diketahui bahwa

interaksi zat pengatur tumbuh yang menghasilkan tunas paling banyak adalah kombinasi 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP dengan rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan adalah 34 tunas/eksplan. Skoog dan Miller (1950) dalam Kieber (2002) mengungkapkan bahwa dengan adanya auksin dan sitokinin dalam medium dapat menstimulasi sel-sel jaringan parenkim tembakau untuk membelah. Sitokinin telah diketahui memainkan peranan penting dalam hampir semua aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk di dalamnya pembelahan sel, inisiasi dan pertumbuhan tunas, serta perkembangan fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis adalah dimana perubahan morfologi terutama dalam hal kultur jaringan karena adanya pengaruh cahaya. Grafik 4.1 secara umum sesuai dengan (George, 1993) yang menyatakan bahwa jika rasio auksin lebih rendah daripada sitokinin maka organogenesis akan mengarah ke tunas, jika rasio auksin seimbang dengan sitokinin maka akan mengarah ke pembentukan kalus sedangkan jika rasio auksin lebih tinggi daripada sitokinin organogenesis akan cenderung mengarah ke pembentukan akar.

Eksplan yang diinokulasikan pada medium dengan penambahan BAP tanpa IAA dapat menginduksi tunas. Hal ini menunjukkan bahwa sitokinin sangat efektif dalam memicu pertumbuhan tunas baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi pada umunya sitokinin digunakan bersama dengan auksin (George 1993). Hal ini berkaitan dengan fungsi sitokinin yang menurut Kusumo (1984) dalam Maryani (2003) merupakan zat

Plot interaksi untuk tunas

Rata

Rata

Rata

Rata -- --rat

a jum

lah

rat

a jum

lah

rat

a jum

lah

rat

a jum

lah

tuna

stuna

stuna

stuna

s

Page 7: Tugas Kultu Jar

pengatur tumbuh yang berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis.

Sedangkan pada eksplan yang diinokulasikan pada medium dengan kombinasi IAA dan BAP mampu menginduksi tunas. Keseimbangan antara auksin dan sitokinin akan menghasilkan organogenesis yang optimal. Sitokinin endogen diproduksi di akar dan ditransportasikan ke organ tumbuhan yang lain melalui xylem melalui suatu cytokinin transporter yaitu kelompok phosphate transporter (Werner, 2009). Kombinasi konsentrasi terbaik untuk induksi tunas yaitu 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP dengan ratarata tunas sebanyak 34 tunas/eksplan (Tabel 4.1). Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan Hendaryono (1994) bahwa dalam metode Mohr rasio perbandingan auksin dan sitokinin untuk multiplikasi tunas adalah 1:4. Berdasarkan respon yang terjadi dapat diketahui bahwa sitokinin sangat penting dalam mengiduksi tunas eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95. Keseimbangan antara BAP dan IAA sangat penting dalam menginduksi tunas karena masingzat pengatur tumbuh tersebut berperanan dalam menginduksi tunas. Menurut (Lee, 2002) Auksin dan sitokinin dapat mengalami beberapa jenis interaksi yaitu interaksi yang bersifat antagonis, maupun sinergis. Dalam hal pembentukan tunas pada eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 ini, auksin (IAA) dan sitokinin (BAP) bersifat sinergis. Auksin bedalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperan dalam pembelahan sel. Hal ini mudah dimengerti karena secara seluler auksin berperan dalam pemanjangan sel, sedangkan sitokinin memicu pembelahan sel, morfogenesis dan pepertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti rediferensiasi kalus menuju pembentukan tunas yang dipicu oleh adanya cahaya. Hal ini diperkuat oleh (Kusumo, 1984 dalam Maryani, 2003)yang menunjukkan bahwa sitokinin (termasuk BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan saling melengkapi dalam menginduksi tunas.

pengatur tumbuh yang berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis.

Sedangkan pada eksplan yang iinokulasikan pada medium dengan

kombinasi IAA dan BAP mampu menginduksi tunas. Keseimbangan antara auksin dan sitokinin akan menghasilkan organogenesis yang optimal. Sitokinin endogen diproduksi di akar dan ditransportasikan ke organ tumbuhan yang

elalui xylem melalui suatu cytokinin transporter yaitu kelompok phosphate transporter (Werner, 2009). Kombinasi konsentrasi terbaik untuk induksi tunas yaitu 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP dengan rata-rata tunas sebanyak 34 tunas/eksplan

sesuai dengan yang dinyatakan Hendaryono (1994) bahwa dalam metode Mohr rasio perbandingan auksin dan sitokinin untuk multiplikasi tunas adalah 1:4. Berdasarkan respon yang terjadi dapat diketahui bahwa sitokinin sangat penting dalam mengiduksi tunas

lan daun tembakau Nicotiana tabacum Keseimbangan antara

BAP dan IAA sangat penting dalam menginduksi tunas karena masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut berperanan dalam menginduksi tunas. Menurut (Lee,

pat mengalami beberapa jenis interaksi yaitu interaksi yang bersifat antagonis, maupun sinergis. Dalam hal pembentukan tunas pada eksplan daun tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 ini, auksin (IAA) dan sitokinin (BAP) bersifat sinergis. Auksin berperanan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperan dalam pembelahan sel. Hal ini mudah dimengerti karena secara seluler auksin berperan dalam pemanjangan sel, sedangkan sitokinin memicu pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti rediferensiasi kalus menuju pembentukan tunas yang dipicu oleh adanya cahaya. Hal ini diperkuat oleh (Kusumo, 1984 dalam Maryani, 2003)yang

bahwa sitokinin (termasuk BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan saling melengkapi dalam menginduksi

Menurut D’Agostino (1999)

menyatakan dalam pembelahan sel sitokinin berperan dalam transisi fase G1dan fase G2 �M dengan meningkatkan aktifitas fosforilasi sel. Dalam George (1993) disebutkan bahwa (G1 = Gap1) merupakan fase dimana pertumbuhan terjadmeningkatnya kuantitas organela dan meningkatnya volume sitoplasma. Setelah fase G1 siap maka sel akan segera memasuki fase S. Fase S adalah saat terjadinya sintesa DNA yang menghasilkan replikasi DNA yang identik dengan DNA induk. Fase S diikuti oleh fase G2 dimana sel mempersiapkan diri untuk melakukan mitosis. Sedangkan fase M adalah fase mitosis dimana terjadi pembelahan inti (pemisahan kromosom) dan pemisahan sitoplasma. Gambaran mekanisme auksin dalam mepengaruhi pembelahan sel terlihat pada Gambar 4.5.

Gambar. 4.5 Mekanisme sitokinin terhadap pembelahan sel (Sumber : D’Agostino 1999)

Gambar. 4.3 Eksplan pada medium 0 ppm IAA dan 0ppm BAP

Gambar 4.4pada medium 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP

Menurut D’Agostino (1999) menyatakan dalam pembelahan sel sitokinin berperan dalam transisi fase G1�S

M dengan meningkatkan aktifitas fosforilasi sel. Dalam George (1993) disebutkan bahwa (G1 = Gap1) merupakan fase dimana pertumbuhan terjadi pada meningkatnya kuantitas organela dan meningkatnya volume sitoplasma. Setelah fase G1 siap maka sel akan segera memasuki fase S. Fase S adalah saat terjadinya sintesa DNA yang menghasilkan replikasi DNA yang identik dengan DNA

leh fase G2 dimana sel mempersiapkan diri untuk melakukan mitosis. Sedangkan fase M adalah fase mitosis dimana terjadi pembelahan inti (pemisahan kromosom) dan pemisahan sitoplasma. Gambaran mekanisme auksin dalam mepengaruhi pembelahan sel terlihat

Mekanisme sitokinin terhadap

Gambar 4.4 Eksplan pada medium 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP

Page 8: Tugas Kultu Jar

Brault (1999) menyebutkan sitokinin merupakan komponen penting yang terlibat dalam mengontrol perkembangan tunas. Pada level sel sitokinin berperan sebagai pengontrol banyak ekspresi gen, perkembangan kloroplas, dan sintesa metabolit sekunder. Sitokinin juga berperan dalam pertumbuhan tunas adventif pada kultur jaringan. Skoog and Miller, (1957) dalam Kieber (2002) mengatakan sitokinin terlibat dalam berbagai aspek pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam perkembangan seluler auksin berperan dalam meningkatkan aktivitas pembelahan sel. Sedangkan auksin berperan dalam pembesaran sel melalui hipotesa pertumbuhan asam, dimana auksin dapat memicu pompa proton untuk meningkatkan jumlah H+ ke dalam sel sehingga sitoplasma sel menjadi lebih asam kemudian menyebabkan melonggarnya ikatan polisakarida pada dinding sel. Dengan demikian air dengan mudah berosmosis ke dalam sel dan menyebabkan sel mengalami pembesaran. Berikut ini adalah gambar skematik mekanisme auksin terhadap pembesaran sel.

Gambar 4.6 Mekanisme seluler auksin terhadap pembelahan sel

Rasio sitokinin dan auksin menentukan morfogenesis yang terjadi pada kultur kalus in vitro. Kalus yang ditempatkan pada media dengan rasio sitokinin lebih tinggi daripada auksin biasanya menghasilkan banyak tunas dan sedikit akar sedangkan kalus yang ditempatkan pada media dengan rasio auksin lebih tinggi daripada sitokinin akan menghasilkan akar lebih banyak daripada tunas. Eksplan yang diinokulasikan pada media dengan rasio sitokinin dan auksin seimbang akan menghasilkan proliferasi kalus.

Dalam penelitian ini akar hanya dapat diinisiasi pada media dengan penambahan IAA tanpa BAP. Konsentrasi

IAA yang optimum bagi pertumbuhan akar adalah 1 ppm IAA dan 0 ppm BAP dengan rata-rata tunas yang muncul sebanyak 4 akar/eksplan (Lampiran 3 dan Tabel 4.2). Rerata jumlah akar pada medium dengan berbagai kombinasi BAP dan IAA disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rerata jumlah akar pada eksplan Nicotiana tabacum var, Prancak 95 setelah 28 hari

IAA BAP

0 ppm

0,5 ppm

1 ppm

1,5 ppm

2 ppm

0 ppm 0 a 1 a 4 b 1 a 0 a 1 ppm 0 a 0 a 0 a 0 a 0 a 2 ppm 0 a 0 a 0 a 0 a 0 a 3 ppm 0 a 0 a 0 a 0 a 0 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata dengan uji tukey pada selang kepercayaan 95 %

Auksin memiliki peranan yang penting dalam inisiasi akar pada kultur in vitro, hal ini dijelaskan oleh (Woodward, 2005) bahwa auksin berperan dalam memicu pembentukan akar lateral dari kalus yang belum terdiferensiasi, tetapi pada medium yang diberi paparan cahaya respon ekplan terhadap auksin menjadi berkurang. Pada tanaman utuh auksin diproduksi di ujung koleoptil dan ditransportasikan ke bagian akar. George (1999) mengemukakan bahwa rasio auksin yang lebih tinggi pada medium akan memicu pertumbuhan kalus dan menginisiasi terbentuknya akar.

3210

4

3

2

1

0

BAP

Mean

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

IAA

Interaction Plot for Akar

Fitted Means

Grafik 4.2. Pengaruh interaksi IAA dan BAP terhadap akar yang tumbuh

Berdasarkan Grafik 4.2 dapat diketahui bahwa kombinasi konsentrasi optimum untuk menginduksi akar pada kultur in vitro daun tembakau Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 adalah 0 ppm BAP dan 1 ppm IAA dengan rata-rata jumlah akar adalah 4 akar/eksplan. Pada media

Rata

Rata

Rata

Rata -- --rat

a jum

lah

rat

a jum

lah

rat

a jum

lah

rat

a jum

lah a

kar

akar

akar

akar

Plot interaksi untuk akar

Page 9: Tugas Kultu Jar

dengan penambahan BAP, meskipun telah ditambahkan IAA akar tidak terinduksi. Hal ini mungkin terjadi karena IAA terdegradasi, seperti yang dikatakan oleh Hendaryono (1994) dimana IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan oleh adanya cahaya ataupun dapat diuraikan oleh enzim oksidatif yang dikeluarkan sel. Selain itu, (Lee, 2002) menyatakan bahwa keberadaan sitokinin juga menghambat kerja auksin dalam hal pemanjangan sel pada hipokotil. Pada medium dengan penambahan IAA dengan konsentrasi yang lebih tinggi pembentukan akar semakin menurun, bahkan tidak muncul sama sekali pada medium dengan penambahan 2 ppm IAA, hal ini dapat terjadi karena adanya aktivitas IAA oksidase yang menurut (Rampant et al, 2000) bersifat menghambat induksi akar oleh auksin.

Interaksi antara sitokinin dan auksin berperan dalam mengontrol banyak aspek pertumbuhan dan diferensasi sel. Ketika dikombinasikan dengan auksin, sitokinin memicu diferensiasi dan perkembangan sel, organ dan seluruh bagian tanaman. Secara umum, rasio sitokinin yang tinggi daripada auksin akan memicu terbentuknya tunas dan pada medium dengan konsentrasi sitokinin yang rendah tidak mampu membuat kalus terdiferensiasi (Lee, 2002). Hal inilah yang menyebabkan akar tidak tumbuh pada medium dengan penambahan auksin. Menurut Minocha cit. Suyadi (2003) dalam Maryani (2003) apabila kondisi auksin dan sitokinin endogen berada pada kondisi sub optimal, maka diperlukan penambahan auksin dan sitokinin secara eksogen, sehingga diperoleh perimbangan auksin dan sitokinin optimal. Berikut ini merupakan gambar eksplan yang memberikan respon akar dibandingkan dengan perlakuan I0B0. Hasil pengamatan terhadap eksplan dengan akar terbanyak dibandingkan kontrol terlihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.

IV KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kombinasi BAP 2 ppm dan IAA 0,5 ppm memberikan penggandaan tunas terbanyak dalam kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 yaitu

dengan rata-rata jumlah tunas adalah 34,25 tunas/eksplan.

2. Kombinasi BAP 0 ppm dan IAA 0,5 ppm memberikan hasil jumlah rata-rata akar terbanyak dalam kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 yaitu dengan tara-rata jumlah akar adalah 4 akar/eksplan.

3. Organogenesis pada eksplan terjadi secara tidak langsung yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT atas Ridho dan Berkah Nya. Ibu tercinta dan papa, serta saudara-saudariku, terima kasih atas dorongan semangat yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis. Ibu Tutik Nurhidayati S.Si., M.Si., dan Bapak Nurul Jadid S.Si.,M.Sc. atas kesabaran dalam membimbing penulis dan motivasi yang diberikan, Ibu Dr. rer. net. Maya Shovitri,M.Si., Ibu Ir. Sri Nurhatika M.P., dan Ibu Kristanti Indah Purwani S.Si. M.Si., selaku penguji, terima kasih atas kritik dan saran dan waktu yang diberikan untuk penulis. Segenap Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Biologi ITS, Mas Ari WW yang selalu memberi motivasi dan perhatian untuk penulis. Obyk dan Neser, yang sangat mebantu dalam proses pengolahan data. Mbak Hermi dan Nurma yang rela meluangkan waktunya untuk berdiskusi secara privat dengan penulis, semoga sukses. Teman-teman seperjuangan di Lab Kuljar, Lely, Lintang, Niar, Risma dan Nisa, tetaplah bersemangat. Teman-teman Penyuers 2006 seperjuangan yang telah memberikan kontribusi sangat besar, bukan hanya dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini tetapi juga memberikan warna-warni hidup penulis serta. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya Tugas Akhir ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Achmad dan Soedarmanto. 1982.

Budidaya Tembakau. CV Yasaguna : Jakarta

Page 10: Tugas Kultu Jar

Ali, Gowher et al. 2007. Callus Induction and in vitro Complete Plant Regeneation of Different Cultivars of Tobacco (Nicotiana Tabaccum L. ) on media of Different Hormonal Consentration. Biotechnology 6 (4) : 561-566. ISSN Asian Network for Scientific Information

Basuki, soesanti et al. 1999. Biologi dan Morfologi Tembakau Madura. Monograf Balitas No.4. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang

Borlongan, Ilda G et al. 1998. Molluscicidal activity of tobacco dust against brackishwater pond snails (Cerithidea cingulata Gmelin).Elsevier Science Crop Protection Vol 17 No. 5 PP 401-404

Brault, Mathias and Maldiney, Régis .1999.Mechanisms of cytokinin action. Laboratoire de physiologie du développement des plantes, université Pierre-et-Marie-Curie (CNRS, UMR 7632). Plant Physiol. Biochem., 1999, 37 (5), 403−412

Chane, Chun .1989. Bertanam Tembakau. Agricultural Technical Mission of China

Dhaliwal, S Harbinder. 2004. TIBA Inhibition of Invitro Organogenesis in Excised Tobacco Leaf Explants. In Vitro Cell.Dev. Biol. Plant 40:235-238

D’Agostino, Ingrid B dan Kieber, Joseph J. 1993. Molecular mechanisms of cytokinin action. Department of Biological Sciences, Laboratory for Molecular Biology, University of Illinois USA; Current Opinion in Plant Biology1999, 2:359–364

Fowke, L Cet al. 1983. Organelles Associated with the Plasma Membrane of Tobacco Leaf protoplasts. Plant Cell Reports (1983) 2 : 292-295

Gardner,Franklin P, et al. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas

Indonesia-Press : Jakarta

George, Edwin F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture, Part 1, 2nd Edition. Exegetic Limited : England

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Laboratrium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi, IPB

Hendaryono, Daisy et al. 1994. Teknik Kultur Jaringan : Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Kanisius : Yogyakarta

Hidayat. 2007. Induksi Pertumbuhan Eksplan Endosperm Ulin dengan IAA dan Kinetin. Fakultas Pertanian Udayana. Agritop 26(4) : 147-152

Judd. 2002. Plant Systematics. Sinauer Associates, Inc. Publisher : Sunder Land, Massachusetts U.S.A

Kieber, Joseph J. 2002. The Arabidopsis Book: Cytokinins. American Society of Plant Biologists. University of North Carolina, Biology Department : Carolina

Kumar et al. 2003. Expression of Hepatitis B Surface Antigen in Tobacco Cell Suspension culture. Protein Expression and Purification 32 (2003) 10-17

Lee, Dong Ju. 2002. The Regulation of Korean Radish Cationic Peroxidase Promoter by a Low Ratio of Cytokinin to Auxin. Plant Science 162 (2002) 345–353

Maggon, Ruchi and Singh, Brahma. 1995. Promotion of adventitious bud regeneration by ABA in combination with BAP in epicotyl and hypocotyls explants of sweet orange ( Citrus sinensis L. Osbeck). Scientia Horticulturae 63 (1995) 123-128

Maryani, Yekti dan Zamroni .2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 12

Page 11: Tugas Kultu Jar

No.1, 2005: 51-55

Pasqua, Gabriella. Effects of the Culture Medium pH and Ion Uptake in In Vitro Vegetative Organogenesis in Thin Cell Layers of Tobacco. Plant Science 162 (2002) 947_/955

Prajoko Hadi dan Supena Priyanto. 2008. Peranan Sektor Tembakau dan Industri Rokok dalam Perekonomian Indonesia : Analisis Tabel I-O tahun 2000. Jurnal Agroekonomi, Volume 26 No. 1, mei 2008 : 90-121

Priadi, Dody et al. 2007. Pertumbuhan in Vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crants) pada berbagai Bahan pemadat Alternatif Pengganti Agar. Biodiversitas Volume 9, Nomor 1 Halaman 9-12

Purnamaningsih, Ragapadmi. 2006. Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi melalui Kultur In Vitro. Jurnal AgroBiogen 2(2):74-80

Rampant, Odile Faivre.,Kevers, Claire., Gaspar, Thomas. 2000. IAA-Oksidase activity and auxin protector in nonrooting, rac, Mutant Shoot Tobacco in Vitro. Plant Science 153 (2000) 73-80

Sellars, R.M. 1990. Adventitious Somatic Embryogenesis from Culture Immature Zygotic Embryos of Peanut and Soybean. Crop Sci. 30:408-413.

Setyawati; Morisco; dan Prayitno, T . 2009. Pengaruh Ekstrak Tembakau Terhadap Sifat dan Perilaku Mekanik Laminasi Bambu Petung. Forum Teknik Sipil No. XIX/1-Januari 2009

Steenis, Van. 2008. Flora Untuk Sekolah Menengah di Indonesia. PT Pradnya Paramita : Jakarta

Sudarmadji. 2003. Penggunaan Benzil Amino Purine pada Pertumbuhan Kalus Kapas secara in-vitro. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8. Nomor 1

Sugiri, Anton. 2005. Pembentukan kalus

Embrioid Kultur ovary. Melalui Beberapa Komposisi Media Kultur. Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Suharto, Murdiati,. Dan Herawati, Anik. 2008. Prospek Tembakau Rendah Nikotin (Studi kasus tembakau Madura). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 14 Nomor 1, 6 April 2008

Suwarso. 1999. Pemuliaan Tembakau Madura. Monograf Balitas No.4. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang

Suwarso. 1997. SK Mentan No.731/Kpts/TP.240/7/97. Balittas : Malang

Szponarski, Wojciech, et al. 1990. Auxin Effect on Proton Accumulation by Reconstituted Plasma Membran H+-ATPase. Phyrochemirtry, Vol. 30. No. 5, pp. 1391- 1395. 1991. INRA, Station de Physiopathologie V&&ale, B.V. 1540, 21034 Dijon cedex, France

Tsuro, M et al. 1998. Comparative Effect of Different Types of Cytokinin for Shoot Formation and Plant Regeneration in Leaf-derived Callus of lavender. (Lavandula vera DC). Laboratory of Plant Breeding Science, Faculty of Agriculture, Kyoto Prefectural University, Shimogamo-Hangi Sakyo-ku, Kyoto 606-8522 : Japan

Wattimena, G. A. 1987. Diktat zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB-Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Walpole, Ronald E., Myers, Raymond H. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan Edisi ke Empat. Penerbit ITB : Bandung

Werner, Thomas dan Schmulling, Thomas. 2009. Cytokinin Action in Plant Development. Current Opinion in Plant Biology 2009, 12 : 527-538

Page 12: Tugas Kultu Jar

Woodward, Andrew W and Bartel, Bonnie. 2005. Auxin: Regulation, Action, and Interaction. Department of Biochemistry and Cell Biology, Rice University USA. Annals of Botany 95: 707–735, 2005

Zulkarnaen. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara :Jakarta