Laporan Jar Tes Zona

download Laporan Jar Tes Zona

of 64

Transcript of Laporan Jar Tes Zona

BAB I PENDAHULUAN1.1.Tujuan Percobaan 1. Memahami tentang Jar Test 2. Mengetahui pengaruhh Agitasi pada Jar Test terhadap pH serta karakteristik air lainnya 3. Memahami penggunaan kougulan dan jenis-jenis koagulan

1.2.Landasan Teori 1.2.1. MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BERBASIS DIGITAL (Studi Kasus : Kabupaten Cilacap Jawa Tengah)

Abstrak Wilayah pesisisr dihuni oleh lebih dari 1/2 penduduk dunia (Edgreen dalam Kay R, 1999). Di Indonesia , pengelolaan wilayah pesisir sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi dengan diundangkannya UU no 22 Tahun 1999, pemerintah daerah Kabupaten/Kota memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mengelola wilayah pesisir dengan batas perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai. Wilayah pesisir memiliki keunikan ekosistem. Wilayah ini sangat rentan terhadap perubahan, baik karena diakibatkan oleh aktifitas daerah hulu maupun karena aktifitas yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri. Pengelolaan wilayah pesisir kabupaten berbasis digital dimaksudkan untuk mengoptimalkan peranan data digital spasial dan basisdata didalamnya didalam mendukung pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir. Penyusunan basisdata wilayah pesisir didesain dapat mencakup hubungan antara wilayah ekosistem pesisir

kabupaten dan batas wilayah pengelolaan yaitu wilayah administrasi kecamatan, wilayah administrasi desa dan perairan laut sejauh 4 mil. Untuk memudahkan bagi pengambil keputusan kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten/Kota maka basisdata wilayah pesisir dirancang menjadi sebuah user interface (model dialog) yang didalmnya berisi sumberdata utama wilayah pesisir kabupaten yang dapat dengan mudah dan menarik dipanggil untuk dijadikan sebagai bahan utama pengambilan keputusan.

1. Latar Belakang Pesisir menjadi wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi. Edgreen pada tahun 1993 memperkirakan bahwa sekitar 50-70% dari 5,3 milyar penduduk di bumi sekarang ini tinggal di kawasan pesisir (Kay R, 1999). Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Salah satu agenda dalam Pertemuan Johannesburg tahun 2002 yang diselenggarakan oleh Badan Dunia, menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan sumberdaya alam yang perlu dilindungi dan dikelola berlandaskan pada pembangunan ekonomi dan sosial. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archiphelagic state) dengan jumlah pulau besar dan kecil lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km (Dahuri R, 2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar. Dalam kaitan dengan bentuk negara kepulauan, Indonesia telah merativikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS, 1982) dengan melahirkan UU nomor 17 tahun 1985 dan UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kedua undangundang tersebut didalamnya mengatur hukum batas-batas perairan

nasional negara kepulauan yang dapat diterima secara regional maupun oleh dunia internasional. Sebelumnya pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diluar diatur secara terpusat menurut undang-undang. Dengan kelahiran UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan data jumlah

Kabupaten/kota yang ada di Indonesia pada tahun 2002, sebanyak 219 kabupaten/kota (68%) diantaranya memiliki wilayah pesisir.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah penanganannya lebih banyak bersifat sektoral. Pemerintah Daerah kabupaten/kota umumnya tidak

membedakan secara khusus kawasan pesisir dengan kawasan lainnya. Perhatian terhadap pentingnya wilayah pesisir dapat dilihat dari Kelahiran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Keppres No. 355/M tahun 1999 dengan Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di dalamnya. Disamping itu pada tahun 2003 telah disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen

kelembagaan yang berbeda satua sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Model pengelolaan wilayah pesisir untuk kabupaten/kota

di Indonesia, khususnya dengan keluarnya UU no 22 Tahun 1999 secara formal belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sistim Informasi Geografis (SIG) sebagai sistim

informasi digital berbasis spasial telah berkembang menjadi sebuah sistim pendukung pengambilan keputusan. Teknologi SIG telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten untuk kajian kewilayahan termasuk didalamnya wilayah pesisir. Dalam

perkembangannya teknologi SIG dirancang untuk semakin mudah digunakan, sehingga tekonologi ini telah menjangkau kabupaten/kota di Indonesia. Sistim Informasi Geografis dapat diaplikasikan untuk penyusunan model berbasis spasial termasuk penyusunan model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten. Bertitik tolak dari uraian diatas, penulis memandang penting untuk melakukan penelitian dengan judul Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Berbasis Digital, Studi Kasus : Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Sebagai konsekuensi dengan keluarnya kebijakan desentralisasi melalui UU nomor 22 tahun 1999, pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten pesisir disusun dan berdasarkan pada karakteristik instrumen

ekosistem

wilayah

diturunkan

kelembagaan yang ada di pemerintah daerah kabupaten. Dalam penyusunan model diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir sebagai sebuah ekosistem yang unik dengan menggunakan dukungan informasi spasial digital. Dari perumusan masalah diatas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik ekosistem pesisir wilayah kabupaten? 2. Bagaimana pemerintah kabupaten/kota melalui instrumen

kelembagaan yang ada mengelola

wilayah pesisirnya?

3. Bagaimana model pengelolaan wilayah pesisir berbasis digital yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kabupaten?

3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : Tersusunnya prototipe model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten berbasis digital yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

4. Tinjauan Pustaka Batasan Pengertian Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir masih menjadi perdebatan banyak pihak mengingat sulitnya membuat batasan zonasi wilayah pesisir yang dapat dipakai untuk berbagai tujuan kepentingan. Robert Kay, 1999 mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan Ketchum, 1972 dalam Kay 1999 mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang

berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tergantung dari issue yang diangkat dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Hildebrand and Norrena, 1992 dalam Kay,1999). Pengelolaan wilayah pesisir menyangkut pengelolaan yang terus menerus mengenai penggunaan wilayah pesisir dan sumberdaya didalamnya dari area yang telah ditentukan, dimana

batas-batas secara politik biasanya dihasilkan melalui keputusan legislatif atau eksekutif (Jones and Westmacott, 1993 dalam Kay 1999).

Tatanan Administrasi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Robert Kay dan Jaqueline Alder, 1998 dalam bukunya Coastal Planning and Management (hal 69 93) menyoroti mengenai tatanan administratif pemerintah dalam

perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Dikemukakan bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan

semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga

keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen dan McCreary (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu : 1. Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan. 2. Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif) 3. Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan) 4. Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program 5. Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai

organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasiorganisasi pengelolaan) 6. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi

berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, Adalberto Vallega, 2001 dalam bukunya Sustainable Ocean Governace, A Geographical Perspektive, menyajikan pendekatan dari pengelolaan pesisir seperti bagan

berdasarakan kompleksitas sebagai berikut :

Gambar 1.

Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan

pesisir. Berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir (Vallega A, 2001)

Jones dan Westmacott, 1993 menyimpulkan bahwa tidak ditemukan jalan terbaik untuk mengorganisasi pemerintah

sehubungan dengan pengelolaan pesisir. Hal ini disebabkan dalam kenyataan didunia terdapat keanekaragaman sosial, budaya, politik dan faktor administratif yang menyebabkan tidak ada satu-satunya jalan terbaik. Dengan demikian para perancang administrasi, untuk menata program pengelolaan pesisir yang baru, harus menyesuaikan dengan struktur administratif untuk memperoleh manfaat dari faktorfaktor budaya, sosial dan politik didalam kewenangan secara hukum dimana mereka berinteraksi sesuai issue yang akan dipecahkan. Sorensen dan McCreary (1990) menggambarkan susunan institusional untuk mengalokasi kelangkaan sumberdaya dan nilai kompetitif di wilayah pesisir adalah ; gabungan hukum/aturan, adat/kebiasaan, organisasi dan strategi pengelolaan. Kay dan Alder, 1999 mengemukakan jalan terbaik untuk menggambarkan susunan institusional untuk pengelolaan pesisir adalah membagi sistem pemerintah dalam komponen vertikal dan komponen horizontal. Tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat pusat, propinsi dan kabupaten merupakan komponen vertikal. Instansi sektoral dengan tugas/fungsi tertentu merupakan komponen horisontal yang ada di tiap-tiap komponen vertikal. Alternatif lain untuk menggambarkan penataan pemerintah dalam pengelolaan pesisir adalah fokus pada bagaimana berbagai aktivitas pengelolaan pesisir dikontrol (Born dan Miller, 1998). Model ini banyak dipakai di negara USA, dan dihasilkan dua tipe pemerintahan yaitu : 1. Jaringan kerja (networked), dimana pemerintahan sektoral yang ada dan institusi tetap. Tidak ada instansi yang secara sah memerankan sebagai pengelola kawasan pesisir. Koordinasi antar sektor dibangun melalui jaringan dari perundang-undangan dan kebijakan yang ada. 2. Legislatif, ditetapkan melaui undang-undang instansi yang berwenang mengelola kawasan pesisir. Dapat ditunjuk dari instansi yang sudah ada atau membentuk instansi baru.

Menyinggung kembali tingkatan pemerintahan sebagai komponen vertikal, Kay dan Alder, 1999 melihat bahwa aktifitas dan tanggungjawab secara vertikal seringkali lebih sulit dirumuskan dibandingkan dengan komponen horisontal. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, administrasi, dan keuangan dalam tingkatan pemerintahan berbeda. Adanya ketidakseimbangan kekuatan dana dan perbedaan afiliasi politik seringkali mendikte secara keseluruhan bentuk pengelolaan pesisir dalam suatu pemerintahan, baik secara horisontal maupun vertikal. Hal ini karena perbedaan secara horisontal akan melebar, dikontrol secara relatif oleh kekuatan vertikal dari tingkatan pemerintahan tertentu. Dengan demikian pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah dan lebih miskin tidak akan mampu menyusun sektor-sektor secara horisontal yang komplek. Issue utama terhadap distribusi secara vertikal dari suatu kekuasaan pengelolaan adalah tingkat pemusatan dalam pengambilan keputusan, dimana secara fundamental pengelolaan tidak terbatas hanya pada wilayah pesisir. Lingkungan Ekosistem Pesisir Tipologi ekosistem pesisir berdasarkan sifatnya dapat

dikelompokkan dalam ekosistem alami dan ekosistem buatan (Dahuri, R, 2001). Ekosistem pesisir di Indonesia sebagai daerah tropis adalah sebagai berikut ; Hutan mangrove merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah sebagai sebagai sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut. Sistem perakaran yang kokoh akan melindungi pantai dari erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove juga

merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan. Padang lamun merupakan tumbuhan yang hidup terbenam di perairan dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer, sumber makanan penting bagi

organisme, dengan sistem perakaran yang rapat menstabilkan dasar perairan yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat

pembesaran bagi beberapa spesies, sebagai peredam arus gelombang dan sebagai tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur air laut, salinitas, substrat dan kecepatan arus. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem khas di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, dalam Dahuri 2001). Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan sedimentasi. Estuaria adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan air tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif sedikit. Pantai pasir

terdiri dari kwarsa dan feldspar, yang merupakan sisa-sisa pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota (seperti penyu) untuk bertelur. Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan angin yang mengangkut pasir ke arah darat. Pantai Berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai dengan batu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini menciptakan zonasi kehidupan organisme yang menempel di batu karena pengaruh pasang. Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya. Pulau-pulau Kecil (Small Island) merupakan pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dengan pulau induknya. Pulau kecil ini akan memiliki karakteristik ekologi yang bersifat insular karena terisolasi dengan pulau induknya.

Permasalahan Wilayah Pesisir Potensi dan permasalahan wilayah pesisir telah banyak

dikemukakan oleh para pakar kelautan dan pesisir. Issue issue permasalah wilayah pesisir secara global berdasarkan hasil kajian di berbagai wilayah pesisir di dunia dikemukakan oleh Robert Kay (1999). Pokok permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir menurutnya adalah sebagai berikut : pertumbuhan penduduk

khususnya di negara miskin dan berkembang, pemanfaatan wilayah pesisir, dampak lingkungan dari kegiatan manusia dan kelemahan administratif. Permasalah wilayah pesisir yang dikemukakan oleh

Rohmin Dahuri (2001) merupakan permasalah umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalah wilayah pesisir meliputi : pencemaran, kerusakan habitat pantai, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalah-permasalahn tersebut sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan.

Perencanaan Wilayah Pesisir Perencanaan dapat dipandang sebagai proses untuk menentukan tujuan apa yang akan dicapai pada masa yang akan datang, dan mengklarifikasi tahapan-tahapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Kay, 1999). Dengan demikian di dalam perencanaan dilakukan pengujian terhadap berbagai kemungkinan arah dan menggali ketidakpastian alam yang menghambat sehingga dapat dipilih tindakan yang tepat. Demikian juga di dalam perencanaan wilayah pesisir, strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Karena itu di dalam proses perencanaan pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan akan diarahkan pada pemeliharaan untuk generasi yang akan datang. Konsep perencanaan wilayah pesisir relatif masih baru yang melihat aspek aktifitas suatu area yang berbeda dan secara alami merupakan pendekatan perencanaan campuran. Elemen di dalam perencanaan perencanaan wilayah pesisir pembangunan meliputi kawasan perencanaan lindung kota/desa,

(konservasi),

perencanaan stategis lingkungan, perencanaan sumberdaya dan perencanaan wilayah laut. Dengan melihat kompleksitas perencanaan wilayah pesisir, belum ada kerangka teoritis dari perencanaan wilayah pesisir. Secara prinsip harus diketahui tidak ada teori tunggal yang dianut di dalam perencanaan pesisir, sehingga pendekatan yang

dipilih berdasarkan pendekatan budaya, ekonomi, administrasi dan politik dan tentu saja issue yang dialamatkan pada inisiatif perencanaan wilayah pesisir. Karena belum ada teori perencanaan wilayah yang baku, maka sejumlah teori perencanaan dapat

digunakan dalam merencana wilayah pesisir antara; teori perencanaan rasional, teori perencanaan strategis, teori perencanaan inkremental, teori perencanaan adaptif dan pendekatan perencanaan konsensus.

Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.

Gambar 2. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay, 1999. p.62)

Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20 (Kay,1999). memperkenalkan sejumlah tema Young pada tahun 1992 yang mendasari konsep

berkelanjutan yaitu; integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay,1999). Dari tiga prinsip pembangunan

berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir dapat diuraikan bahwa : 1. Bahwa instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan

untuk melihat ke depan melalui analisis biaya manfaat; 2. Didalam pembangunan berkelanjutan issue lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan; 3. Dalam pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Dalam pengelolaan wilayah pesisir, kata integrasi menjadi begitu penting. Beberapa kelompok integrasi yang harus dilakukan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Cicin-Sain, 1993)adalah: Integrasi antar sektor di wilayah pesisir, integrasi antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir, integrasi antar pengelola tingkat

pemerintahan, integrasi antar negara, dan integrasi antar berbagai disiplin

Sistim Informasi Geografi untuk Wilayah Pesisir Sistim Informasi Geografis (SIG) merupakan sistim informasi berbasis keruangan dan merupakan alat yang menghubungkan atribut basisdata dengan peta digital (Mennecke, 2000). Pada perkembangan selanjutnya, SIG berfungsi sebagai suatu sistem pendukung

pengambilan keputusan yang didalamnya mengintegrasikan data keruangan untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan (Cowen, 1988). Berdasarkan beberapa definisi di atas, SIG dapat didefinisikan lebih lengkap yaitu "suatu sistem komputer yang berfungsi sebagai basisdata dan mempunyai kemampuan analisis sehingga

menghasilkan suatu informasi yang bersifat keruangan dan dapat digunakan sebagai pendukung pengambilan keputusan". Penggunaan operasional pengambilan teknologi agen SIG dapat yang mempertajam bertanggung kemampuan jawab atas

pemerintah dalam

keputusan

pengelolaan

wilayah

pesisir

(Rongxing, 2001). Kemampuan teknologi SIG dalam pengelolaan wilayah pesisir meliputi pananganan data spasial temporal,

membangun basis data untuk wilayah pesisir dan menyediakan alat untuk analisis sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan.

5. Tahapan Penelitian Gambar 3. Bagan Diagram Alir Penelitian

Tahap satu Tahap pertama tahapan penelitian adalah mengkaji kondisi

kelembagaan kabupaten dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir. Yang dianalisis dalam tahapan kajian kelembagaan kabupaten ini terdiri dari dua hal pokok yaitu : pertama adalah produk kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah berkenaan dengan wilayah pesisir dan yang kedua adalah melihat peran dan fungsi dinas-dinas kabupaten yang berkaitan dengan wilayah pesisir dalam

melaksanakan program-programnya. Tahap dua Tahap kedua penelitian ini adalah melihat karakteristik lingkungan ekosistem wilayah pesisir kabupaten untuk mengetahui permasalahan dan potensi yang ada. Karakteristik lingkungan pesisir yang diamati meliputi karakter fisik, biologi, dan karakter sosial.

Tahap tiga Tahap ketiga penelitian ini, adalah mengkomparasikan hasil kajian kelembagaan dan karakteristik lingkungan pesisir kabupaten dengan hasil kajian studi literatur mengenai teori dasar perencanaan dan konsep pengelolaan pesisir. Tahap empat Tahap keempat dalam penelitian ini adalah menyusun basisdata berdasarkan hasil dari komparasi yang dilakukan dalam tahap tiga. Basisdata pesisir kabupaten yang telah tersusun selanjutnya

digunakan sebagai bahan penyusunan model dialog basisdata pengelolaan wilayah pesisir kabupaten berbasis digitalsesuai dengan skenario yang telah disusun. Tahap lima Tahap kelima dalam penelitian ini adalah menguji model pengelolaan wilayah pesisir yang telah disusun dalam tahap tiga yaitu bersama pakar perencanaan wilayah, pakar sistim informasi spasial dan calon pengguna di daerah kabupaten/kota.

6. Hasil dan Pembahasan Desain Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Tahap awal dari penyusunan model yang dibangun melalui basisdata adalah membangun sebuah desain konsep berupa rangkaian aktifitas (enterprise) pengelolaan wilayah pesisir kabupaten. Enterprise adalah bagian dunia nyata (real world) yang dimodelkan dengan

menggunakan basisdata.

Tabel 1. Enterprise : Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten

Wilayah Pesisir Kabupaten meliputi wilayah perairan dan daratan yang 1 ditandai dengan adanya garis pantai dimana keduanya saling

mempengaruhi

Wilayah pesisir dicirikan dengan keberadaan ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, padang 2 lamun, estuary, laguna, endapan

sedimen darat di perairan, pantai berpasir, dll dan wilayah perairan sejauh 4 mil dari garis pant

Wilayah ekosistem pesisir daratan merupakan 3 wilayah dan administrasi wilayah

desa/kelurahan

administrasi desa/kelurahan pesisir merupakan bagian dari wilayah

administrasi kecamatan Dalam satu wilayah administrasi desa/kelurahan pesisir dapat terdiri 4 dari satu atau lebih ekosistem

wilayah pesisir

Masing-masing ekosistem wilayah 5 pesisir memiliki potensi sumberdaya dan issue permasalahan yang khas

Pengelolaan 6 kabupaten

wilayah merupakan

pesisir

di

wewenang

pemerintah daerah kabupaten melalui dinas-dinas sektoral yang ada Masing-masing dinas sektoral

bertanggung jawab atas pengelolaan di 7 masing-masing sektor dengan

pendekatan holistik, berkoordinasi dengan kesatuan sektor lain dalam satu

wilayah

administrasi

kabupaten, kecamatan maupun desa Dalam melakukan pengelolaan

wilayah pesisir, pemerintah daerah 8 kabupaten berkoordinasi dengan

pemerintah propinsi dan pusat, dan juga dengan pemerintah daerah

sekitarnya atau badan lainnya Untuk mengelola wilayah pesisir, 9 pemerintah daerah membuat

peraturan-peraturan daerah

Perlakuan ekosistem pesisir harus bersifat lestari, berjalan seimbang 10 antara kegiatan pembangunan dan kegiatan konservasi/pemeliharaan

Dari aturan enterprise pengelolaan wilayah pesisir kabupaten, disusun sebuah diagram hubungan relasional antar entitas (ER). diagram tersebut memperlihatkan hubungan antara Dalam hirarki

administrasi wilayah kabupaten yang terdiri dari administrasi kabupaten pesisir, administrasi kecamatan pesisir dan administrasi desa/kelurahan pesisir dengan keanekaragam ekosistem pesisir yang ada di dalamnya. Masing-masing entitas merupakan basisdata dengan struktur isian tabel sesuai dengan kebutuhan untuk pengelolaan wilayah pesisir kabupaten. Relasional entitas (ER) akan memudahkan dalam penyusunan bahasa program yang menjelaskan realitas dunia nyata kedalam bahasa program.

Gambar 4. Diagram relasional antar entitas dalam enterprise pengelolaan wilayah pesisir kabupaten :

Struktur Basisdata Struktur basisdata pengelolaan wilayah pesisir kabupaten

didalamnnya terdiri dari basisdata ekosistem pesisir dan basisdata administrasi pesisir. Penyusunan struktur basisdata ini mengacu pada prinsip pengelolaan pesisir yang terintegrasi, baik secara horizontal antar dinas pengelola terkait maupun secara vertikal dalam hirarki pemerintahan sampai tingkat desa. Basisdata secara lengkap dibangun

melalui basisdata desa/kelurahan yang berisikan mengenai informasi ekosistem dan sosial ekonomi. Dari basisdata di tingkat

desa/kelurahan maka informasi secara keseluruhan tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten menjadi lebih akurat.

Relasional Basisdata Dalam menentukan hubungan antar entitas dilakukan melalui relational antar basisdata. Untuk menghubungkan masing-masing basisdata tersebut dilakukan melalui kunci primer (primary key) yang telah ditentukan pada masing-masing table data dan dihubungkan pada setiap kunci asing (foreign key) di table data lainnya. Syarat entitas yang dapat dijadikan kunci primer adalah merupakan data unik yang berbeda satu sama lain. Secara umum model relational di dalam struktur basisdata antar entitas meliputi hubungan satu (one) ke satu (one) atau satu (one) ke banyak (many) .

Gambar 5. Hubungan basisdata (ER) pengelolaan wilayah pesisir Satuan Ekosistem Pesisir Kabupaten Cilacap Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap yang memiliki panjang garis pantai 103.023 km, yang membentang arah timur barat memiliki karakteristik ekosistem pesisir sebagai berikut : Estuari Laguna Segara Anakan Laguna Segara Anakan seluas 388.000 ha merupakan kawasan estuari yang terbentuk dari pertemuan sungai Citandui dengan anakanak sungai Cibereum, sungai Tiramsabuk, sungai Cimeneng, dan sungai Sapuregel. Terbentuknya ekosistem estuaria laguna Segara Anakan juga dipengaruhi oleh keberadaan Pulau Nusakambangan yang berada tepat di muara sungai berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh gelombang laut secara langsung. Didalam ekosistem estuaria laguna Segara Anakan dicirikan oleh keberadaan hutan

mangrove, pulau-pulau timbul dan endapan sedimen muara sungai. Karena proses akumulasi transport material sungai yang kontinue menjadikan kawasan Segara Anakan menjadi kawasan ekosistem pesisir yang berubah sangat dinamis. Di dalam ekosistem Laguna Segara Anakan juga dihuni oleh penduduk yang tinggal di dalam kawasan dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan petani yang memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan. Pulau Nusakambangan Pulau Nusakambangan di Kabupaten Cilacap seluas 46.721 ha

memiliki identitas secara nasional sebagai tempat pemasyarakatan narapidana yang telah ada sejak jaman Kolonial Belanda. Sebagai sebuah ekosistem pulau kecil, Pulau Nusakambangan memiliki peranan yang sangat penting sebagai pengatur tata lingkungan kawasan Segara Anakan. Di samping itu keberadaan hutan hujan dataran rendah di Pulau Nusakambangan memiliki kekayaan habitat berbagai jenis satwa, seperti macan kumbang (Panthera pardus), landak (Hystrix brahyura), trenggiling (Manis javania), ular sanca (Python sp) dan berbagai jenis burung seperti rangkong (Buceros sp) dan burung-burung merandai (Suwelo IS, 2003).

Kota Pantai Cilacap Kota Cilacap merupakan satu-satunya kota pantai yang ada di pantai selatan Jawa. Kota ini telah tumbuh menjadi kota industri dan kota bahari. Keberadaan pelabuhan niaga, industri-industri besar

Pertamina, Semen Nusantara dan industri lainnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan dinamika kota ini. Kota Cilacap pada jaman pemerintahan kolonial Belanda digunakan sebagai salah satu wilayah pertahanan maritim. Banyak peninggalan bersejarah dari pemerintah kolonial Belanda yang saat ini dijadikan obyek wisata sejarah oleh pemerintah kabupaten.

Dataran Pantai Berpasir Dataran pantai berpasir membentang dari Kota Cilacap ke arah timur sampai muara Kali Ijo yang berbatasan dengan Kabupaten Kebumen sepanjang 45 km. dataran pantai berpasir ini disebabkan oleh

Terbentuknya

terangkutnya material pasir gunung yang diangkut melalui Sungai Serayu dan Sungai Ijo yang masuk kelaut. Di beberapa tempat dijumpai danau-danau kecil yang berair payau. Pada lahan pantai berpasir ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata seperti Teluk Penyu, dan tempat tambat bagi perahu-perahu yang mencari ikan di perairan laut Samudera Indonesia. Desa-desa di wilayah pantai ini pada umumnya dicirikan oleh dominasi liputan pertanian sawah, pemukiman dan kebun. Perairan Laut Kabupaten Cilacap Perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai merupakan batas pengelolaan wilayah perairan laut kabupaten seperti yang ada di dalam UU no. 22 tahun 1999. Luas wilayah pengelolaan perairan laut Kabupaten Cilacap seluas 57.000

ha yang membentang dari perbatasan dengan Kabupaten Ciamis di bagian barat dan Kabupaten Kebumen di bagian timur. Perairan laut ini merupakan area penangkapan hasil sumberdaya laut berbagai jenis ikan dan udang bagi nelayan-nelayan Kabupaten Cilacap. Salah satu keunggulan dari wilayah perairan adalah perairan berbentuk teluk yang relatif tenang karena keberadaan Pulau Nusakambangan dan pegunungan karts Logending di Kabupaten Kebumen yang menjorok ke arah laut.

Wilayah Administrasi Pesisir Secara administratif dalam hirarki pemerintahan kabupaten, terdapat satuan wilayah administrasi yang lebih rendah yaitu wilayah kecamatan pesisir dan wilayah desa pesisir. Kriteria kecamatan pesisir

adalah kecamatan yang wilayahnya memiliki ekosistem pesisir atau berbatasan langsung dengan perairan laut, sedang kriteria untuk desa pesisir adalah desa yang memiliki garis pantai atau desa yang memiliki ekosistem pesisir. Berdasarkan kriteria wilayah kecamatan yang memiliki ekosistem pesisir atau berbatasan langsung dengan perairan laut, maka di Kabupaten Cilacap terdapat 10 Kecamatan pesisir yaitu : Cilacap Selatan, Cilacap Utara, Cilacap Tengah, Adipala, kawunganten, Nusawungu, Binangun, Patimuan, Jeruklegi, dan Kesugihan. Dari 10 Kecamatan pesisir yang ada, tiga kecamatan yaitu Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap Tengah dan Cilacap Utara memliki derajad kepesisiran bernilai 100% karena seluruh Kelurahan didalam kecamatan tersebut masuk sebagai kelurahan pesisir. Kecamatan Adipala, Nusawungu, Binangun dan Kawunganten memiliki nilai derajad kepesisiran 30 55%, sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah kecamatan pesisir sedang, sedang Kecamatan Patimuan, Kesugihan dan Jeruklegi dikategorikan sebagai wilayah kecamatan pesisir rendah karena nilai derajad kepesisiran berkisar 15 25%. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan desadesa yang tidak masuk sebagai desa pesisir di masing-masing memiliki kontribusi di dalam mempengaruhi dan menjaga kelesatarian wilayah pesisir Kabupaten Cilacap. Desa / Kelurahan di Kabupaten Cilacap yang dikategorikan sebagai desa pesisir berjumlah 43 desa/kelurahan yang tersebar di 10 Kecamatan. Desa pesisir ini dicirikan dengan terdapatnya ekosistem pesisir dan atau memiliki garis pantai. Desa/Kelurahan Pesisir di kabupaten Cilacap yang memiliki wilayah paling luas adalah Kelurahan Tambakreja Kecamatan Cilacap Selatan dengan luas 11.636.6 ha. Luas Kelurahan Tambakreja di mencakup Pulau

Nusakambangan yang pengelolaannya

bawah Departemen

Kehakiman dan HAM. Sedang Desa/Kelurahan pesisir yang memiliki

jumlah penduduk paling besar adalah Kelurahan Sidanegara Kecamatan Cilacap Tengah dengan penduduk sebanyak 30.329 jiwa.

Permasalahan Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap Potensi permasalahan wilayah pesisir Kabupaten Cilacap yang dapat diidentifikasi antara lain : a. Pendangkalan estuaria laguna Segara Anakan akibat sedimentasi yang diangkut dari daerah hulu sungai Citandui dan sungai lainnya yang bermuara di kawasan tersebut. b. Perubahan fungsi lahan (konservasi) hutan mangrove menjadi lahan budidaya seperti pertanian padi sawah atau pemukiman maupun eksploitasi kayu hutan mangrove. c. Pencemaran perairan pesisir akibat limbah industri, tumpahan minyak dari limbah kapal, limbah rumah tangga, limbah rumah sakit maupun limbah pertanian. d. Berubah-ubahnya salinitas perairan pesisir karena tidak kontinunya pasokan air tawar dari sungai-sungai yang masuk ke perairan akibat banjir ataupun keperluan irigasi. Berdasarkan perangkat kebijakan yang telah dan sedang dibuat, Pemerintah Kabupaten Cilacap telah memberi perhatian besar terhadap pengelolaan wilayah pesisir khususnya di wilayah Segara Anakan. Sedang kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap dalam penataan ruang kawasan pesisir, meskipun belum disusun dalam bentuk peraturan daerah (Perda) akan tetapi wacana ini telah disosialisasikan sejak tahun 2003. Dari perangkat kebijakan yang ada terlihat telah tersedianya mekanisme koordinasi secara horisontal antar dinas sektoral dan antar wilayah kabupaten, juga koordinasi vertikal dengan pemerintahan propinsi maupun dengan pemerintah pusat. Isu-isu / permasalahan pengelolaan wilayah pesisir yang dihadapi Kabupaten Cilacap adalah (Bappeda Kabupaten Cilacap, 2003)

sebagai berikut : 1. Belum termanfaatkannya potensi sumberdaya pesisir secara optimal dalam mendukung otonomi daerah, baik digunakan untuk pariwisata maupun budidaya perikanan laut 2. Adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus pada konflik kepentingan dan konflik penggunaan ruang antar sektor serta stakeholder lainnya. 3. Lemahnya peraturan perundangan dalam hal pengaturan

pengelolaan, dimana masih ada pertentangan dalam kewenangan pengelolaan kawasan pesisir, yaitu menurut UU nomor 22 tahun 1999 pasal 10 ayat 3 bahwa kewenangan daerah kabupaten di wilayah laut sepertiga dari batas laut daerah propinsi (12 mil), tetapi pada kenyataannya pengelolaan kawasan tersebut masih ditangani oleh pemerintah propinsi. 4. Kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir akibat pengelolaan yang tidak terkendali (sedimentasi, erosi, pencemaran) dan masih

minimnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah pesisir. 5. Belum adanya rencana tata ruang pada wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Cilacap, kegiatan yang dilakukan masih sebatas pada studi pemetaan wilayah dan inventarisasi sumberdaya pesisir. 6. Keterbatasa dana 7. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan (stakeholder) di kawasan pesisir 8. Kemiskinan masyarakat pesisir yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi sumberdaya hayati laut 9. Masih kurangnya data dan informasi potensi sumberdaya kelautan 10. Belum adanya kejelasan tentang kewenangan pengelolaan Pulau Nusakambangan, sehingga kerusakan lingkungan di pulau tersebut belum dapat diatasi secara optimal

11. Belum adanya kesepakatan antara pemerintah daerah yang berbatasan dalam pengelolaan pesisir seperti pengelolaan Segara Anakan antara Pemerintah kabupaten Cilacap dan Pemerintah Kabupaten Ciamis.

Tatanan Administrasi Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap Struktur Kelembagaan Kabupaten Cilacap menggunakan model jaringan kerja (networked), dalam mengelola wilayah pesisir. Tidak ada instansi khusus yang memerankan sebagai pengelola kawasan pesisir akan tetapi koordinasi antar sektor dibangun melalui jaringan dari perundang-undangan dan kebijakan yang ada. Meskipun kebijakan penataan ruang kawasan pesisir belum diatur secara legal melalui peraturan daerah, akan tetapi wacana kebijakan penataan ruang wilayah pesisir telah secara insentif digulirkan oleh Bappeda sebagai badan perencana di daerah. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan merupakan lembaga non struktural yang secara khusus mengelola kawasan Segara Anakan. Badan ini dibentuk oleh pemerintah daerah seiring dengan adanya proyek bantuan luar negeri yang dibiayai oleh Asian Development Bank (ADB) yaitu Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP).

Dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan daerah sebagai berikut : 1. Perda Kabupaten Cilacap No.14 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap 2. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 10 Tahun 1997 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Cilacap 3. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 23 Tahun 2000 tentang Penetapan Batas Kawasan Segara Anakan 4. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2001 tentang Tata Ruang Kawasan Segara Anakan 5. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.17 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Segara Anakan 6. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.16 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Perikanan di Kawasan Segara Anakan 7. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kepelabuhanan 8. Rancangan Keputusan Presiden (Rakeppres) tentang Penataan Ruang Kawasan Konservasi Pacangsanak (Pangandaran, Kalipucang, Segara Anakan dan Nusa kambangan).

Model Program Dialog Basisdata Pengelolaan Wilayah Pesisir Model program dialog user interface pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Cilacap berbasis digital dibuat dalam 3 layer yang satu sama lain saling memiliki hubungan. Layer pertama merupakan halaman pembuka yang berisi penjelasan mengenai manfaat dari program ini, disamping itu layer ini mengantarkan pengguna untuk melihat ekosistem wilayah pesisir kabupaten dan atau wilayah administrasi pesisir kabupaten. Pada layer ekosistem pesisir Kabupaten Cilacap disajikan peta sebaran ekosistem di wilayah pesisir yang memberi kontribusi perubahan terhadap wilayah pesisir. Ekosistem pesisir dikelompokkan dalam kawasan alami dan kawasan budidaya yang ada di Kabupaten Cilacap. Setiap tombol ekosistem diaktifkan maka dapat dilihat informasi mengenai deskripsi sebaran ekosistem, tabel sebaran ekosistem, peta sebaran ekosistem, bagan pengelolaan, dan pedoman pengelolaan ekosistem pesisir. Layer Administrasi wilayah pesisir berisi pilihan 10 kecamatan pesisir yang ada di wilayah Kabupaten Cilacap, dimana masing-masing kecamatan terdapat pilihan desadesa pesisir didalamnya. Untuk masing-masing wilayah administrasi diaktifkan, maka dapat dilihat deskripsi karakteristik pesiisr dari kecamatan atau desa, peta wilayah administrasi dan tabel yang berisi mengenai keragaman ekosistem dan data sosial ekonomi yang berkaitan dengan wilayah pesisir yang bersumber dari buku kecamatan dalam angka. Data ini selalu dapat diperbaharui seiring dengan terjadinya perubahan data. Gambar 7. Tampilan 3 Layer Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap

Potensi Laguna Segara Anakan Luas Hutan Mangrove : 13.453 ha Cakupan Wilayah Kecamatan (desa) : Kawunganten (Ujunggalang, Panikel, Binangun, Ujunggagak, Ujungmanik), Cilacap Utara (Tritih Kulon, Karangtalun), Cilacap Tengah (Kutawaru, Donan) , Cilacap Selatan (Tambakreja), Jeruklegi (Brebeg, Babagan). Jumlah Penduduk Kawasan Laguna: 86.218 jiwa Jumlah Nelayan Kawasan Laguna : 5.018 jiwa Potensi Pulau Nusa Kambangan Luas Hutan di Nusa Kambangan : 10.141 ha Cakupan Wilayah Kecamatan (Desa) : Cilacap Selatan (Tambakreja) Potensi Kota Cilacap Luas Kawasan Industri : 377 ha Luas Kawasan Pemukiman : 2488 ha Jumlah Penduduk Kota : 219.484 jiwa

1.2.2. Jar Test Jar test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk menentukan dosis optimal dari koagulan (biasanya tawas/alum) yang digunakan pada proses pengolahan air bersih. Jar Test merupakan proses penjernihan air dengan menggunakan koagulan, dimana koagulan akan membentuk flok flok dengan adanya ion ion yang terkandung dalam larutan sampel. Flok-flok ini mengumpulkan partikel-partikel kecil dan koloid yang tumbuh dan akhirnya bersama-sama mengendap. Flok terbentuk dengan bantuan agitasi dari alat agitator. Dengan konsentrasi dan volume koagulan yang berbeda akan membentuk koagulan yang berbeda dan tentunya akan menghasilkan tingkat kejernihan yang berbeda. Umumnya koagulan tersebut berupa Al2(SO4)3, namun dapat pula berupa garam FeCl3 atau sesuatu poly-elektrolit organis.

1.2.3. Koagulasi dan Koaguan Koagulasi Koagulasi adalah proses penambahan bahan-bahan kimia unuk memebentuk gumpalan (flok) yang selanjutnya dipisahkan pada proses flokulasi. Sedangkan flokulasi adalah proses untuk mempercepat penggumpalan partikel dengan pengadukan sangat lambat. Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid karena penambahan bahan kimia sehingga partikel-partikel tersebut bersifat netral dan

membentuk endapan karena adanya gaya grafitasi. Secara garis besar mekanisme pembentukan flok terdiri dari empat tahap, yaitu : 1. Tahap destabilasi partikel koloid 2. Tahap pembentukan partikel koloid 3. Tahap penggabungan mikroflok 4. Tahap pembentukan mikroflok.

Mekanisme Koagulasi 1. Secara fisika Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti : 1. Pemanasan Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan tumbukan antar partikel-partikel sol dengan molekul-molekul air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan koloid. Akibatnya partikel tidak bermuatan. contoh: darah 2. Pengadukan,contoh : tepung kanji 3. Pendinginan,contoh : agar agar

2. Secara kimia Secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan, dan penambahan zat kimia koagulan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan koloid bersifat netral, yaitu: 1. Menggunakan Prinsip Elektroforesis Proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang berlawanan. Ketika partikel ini mencapai elektrode, maka sistem koloid akan kehilangan muatannya dan bersifat netral. 2. Penambahan koloid Dapat terjadi sebagai berikut : Koloid yang bermuatan negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion makin kuat daya tariknya dengan partikel koloid, sehingga makin cepat terjadi koagulasi.

3. Penambahan Elektrolit. Jika suatu elektrolit ditambahkan pada sistem koloid, maka partikel koloid yang bermuatan negatif akan mengadsorpsi koloid dengan muatan positif (kation) dari elektrolit. Begitu juga sebaliknya, partikel positif akan mengadsorpsi partikel negatif (anion) dari elektrolit. Dari adsorpsi diatas, maka terjadi koagulasi. Dalam proses

koagulasi,stabilitas koloid sangat berpengaruh.

Koagulan Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatif partikel. Koagulan yang umum dan sudah dikenal yang digunakan pada pengolahan air adalah seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini : REAKS NAMA FORMULA BENTUK I DENG pH OPT IMU

AN AIR M Aluminium sulfat, Alum Al2(SO4 )3.xH2 O sulfat, x = 14,16,18 Bongkah, bubuk Asam 6,0 7,8

Alum, Salum Sodium aluminat Polyaluminiu m Chloride, PAC Ferri sulfat Ferri klorida Fe2(SO4 )3.9H2 O FeCl3.6H2 O Kristal halus Asam Bongkah, Asam 49 49 Aln(OH)mCl3n-m Cairan, bubuk Asam 6,0 7,8 NaAlO2 atau Na2Al2O4 Bubuk Basa 6,0 7,8

cairan Ferro sulfat FeSO4.7H2 O Kristal halus Asam > 8,5

Tabel. Jenis Koagulan

Koagulan merupakan bahan kimia yang dibutuhkan untuk membantu proses pengendapan partikel partikel kecil yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya ( secara grafitasi ). Kekeruhan dan warna dapat dihilangkan melalui penambahan koagulan atau sejenis bahan bahan kimia antara lain : 1. Alumunium sulfat (Al2 (SO4)3.14H2 O) Biasanya disebut tawas, bahan ini sering dipakai karena efektif untuk menurunkan kadar karbonat. Tawas berbentuk kristal atau bubuk putih, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, tidak mudah terbakar, ekonomis, mudah didapat dan mudah disimpan. Penggunaan tawas memiliki keuntungan yaitu harga relatif murah dan sudah dikenal luas oleh operator water treatment. Namun Ada juga kerugiannya, yaitu umumnya dipasok dalam bentuk padatan sehingga perlu waktu yang lama untuk proses pelarutan. 2. Sodium aluminate ( NaAlO2 ) Digunakan dalam kondisi khusus karena harganya yang relatif mahal. Biasanya digunakan sebagai koagulan sekunder untuk menghilangkan warna dan dalam proses pelunakan air dengan lime soda ash. 3. Ferrous sulfate ( FeSO4.7H2 O ) Dikenal sebagai Copperas, bentuk umumnya adalah granular. Ferrous Sulfate dan lime sangat efektif untuk proses penjernihan air dengan pH tinggi (pH > 10). 4. Chlorinated copperas

Dibuat dengan menambahkan klorin untuk mengioksidasi Ferrous Sulfate. Keuntungan penggunaan koagulan ini adalah dapat bekerja pada jangkauan pH 4,8 hingga 11. 5. Ferrie sulfate ( Fe2 (SO4)3 ) Mampu untuk menghilangkan warna pada pH rendah dan tinggi serta dapat menghilangkan Fe dan Mn. 6. Ferrie chloride ( FeCl3.6H2 O) Dalam pengolahan air penggunaannya terbatas karena bersifat korosif dan tidak tahan untuk penyimpanan yang terlalu lama.

Jenis Koagulan Aid Kesulitan pada saat proses koagulasi kadang-kadang terjadi karena lamanya waktu pengendapan dan flok yang terbentuk lunak sehingga akan mempersulit proses pemisahan. Koagulan Aid menguntungkan proses koagulasi dengan mempersingkat waktu pengendapan dan memperkeras flok yang terbentuk. Jadi difinisi koagulan aids adalah koagulan sekunder yang ditambahkan setelah koagulan primer atau utama bertujuan untuk mempercepat pengendapan, pembentukan dan pengerasan flok. Jenis koagulan aid diantaranya: 1. Karbon aktif Aktivasi karbon bertujuan untuk memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup sehingga

memperbesar kapasitas adsorbsi. Pori-pori arang biasanya diisi oleh hidrokarbon dan zat-zat organik lainnya yang terdiri dari persenyawaan kimia yang ditambahkan akan meresap dalam arang dan membuka permukaan yang mula-mula tertutup oleh komponen kimia sehingga luas permukaan yang aktif bertambah besar. Efisiensi adsorbsi karbon aktif tergantung dari perbedaan muatan listrik antara arang dengan zat atau ion yang diserap. Bahan yang bermuatan listrik positif akan diserap lebih efektif oleh arang aktif dalam larutan yang bersifat basa. Jumlah karbon aktif yang

digunakan untuk menyerap warna berpengaruh terhadap jumlah warna yang diserap. 2. Activated silica Merupakan sodium silicate yang telah direaksikan dengan sulfuric acid, alumunium sulfate, carbon dioxide, atau klorida. Sebagai koagulan aid, activated silica memberikan keuntungan antara lain meningkatkan laju reaksi kimia, menurunkan dosis koagulan, memperluas jangkauan pH optimum dan mempercepat serta memperkeras flok yang terbentuk. Umumnya digunakan dengan koagulan alumunium dengan dosis 7 11% dari dosis alum. 3. Bentonic clay Digunakan pada pengolahan air yang mengandung zat warna tinggi, kekeruhan rendah dan mineral yang rendah. 4. PAC ( Poly Aluminium Chloride ) Senyawa Al yang lain yang penting untuk koagulasi adalah Polyaluminium chloride (PAC), Aln(OH)mCl3n-m. Ada beberapa cara yang sudah dipatenkan untuk membuat polyaluminium chloride yang dapat dihasilkan dari hidrolisa parsial dari aluminium klorida, seperti ditunjukkan reaksi berikut : n AlCl3 + m OH . m Na+ PAC yang agak stabil. PAC adalah suatu persenyawaan anorganik komplek, ion hidroksil serta ion alumunium bertarap klorinasi yang berlainan sebagai pembentuk polynuclear mempunyai rumus umum Alm(OH)nCl(3mn).

Al n (OH) m Cl 3n-m + m Na+ + m Cl

Senyawa ini dibuat dengan berbagai cara menghasilkan larutan

Beberapa keunggulan yang dimiliki PAC dibanding koagulan

lainnya adalah : 1. PAC dapat bekerja di tingkat pH yang lebih luas, dengan demikian tidak diperlukan pengoreksian terhadap pH,

terkecuali bagi air tertentu.

2. Kandungan belerang dengan dosis cukup akan mengoksidasi senyawa karboksilat rantai siklik membentuk alifatik dan gugusan rantai hidrokarbon yang lebih pendek dan sederhana

sehingga mudah untuk diikat membentuk flok. 3. Kadar khlorida yang optimal dalam fasa cair yang bermuatan negatif akan cepat bereaksi dan merusak ikatan zat organik karbon nitrogen yang umumnya dalam suatau makromolekul penyusun

terutama ikatan

truktur ekuatik membentuk

terutama gugusan protein, amina, amida dan minyak dan lipida.

4. PAC tidak menjadi keruh bila pemakaiannya berlebihan, sedangkan koagulan yang lain (seperti alumunium sulfat, besi klorida dan fero sulfat) bila dosis berlebihan bagi air yang mempunyai kekeruhan yang rendah akan bertambah keruh. Jika digambarkan dengan suatugrafik untuk PAC adalah

membentuk garis linier artinya jika dosis berlebih maka akan didapatkan hasil kekeruhan yang relatif sama dengan dosis optimum sehingga penghematan bahan kimia dapat dilakukan. Sedangkan untuk koagulan selain PAC memberikan grafik parabola terbuka artinya jika kelebihan atau kekurangan dosis akan menaikkan kekeruhan hasil akhir, hal ini perlu ketepatan dosis. 5. PAC mengandung suatu polimer khusus dengan struktur polielektrolite yang dapat mengurangi atau tidak perlu bahan pembantu, ini berarti untuk

sama sekali dalam pemakaian

disamping penyederhanaan juga penghematan penjernihan air.

6. Kandungan basa yang cukup akan menambah gugus hidroksil dalam air sehingga penurunan pH tidak terlalu ekstrim sehingga penghematan dalam penggunaan bahan untuk

netralisasi dapat dilakukan.

7. PAC lebih cepat membentuk flok daripada koagulan biasa ini diakibatkan dari gugus aktif aluminat yang bekerja efektif dalam mengikat koloid yang ikatan ini diperkuat dengan rantai polimer dari gugus polielektrolite sehingga gumpalan floknya menjadi lebih padat, penambahan gugus hidroksil kedalam rantai koloid yang hidrofobik akan menambah berat molekul, dengan demikian walaupun ukuran kolam pengendapan lebih kecil atau terjadi over-load bagi instalasi yang ada, kapasitas produksi relatif tidak terpengaruh.

BAB II ALAT dan BAHAN

2.1. ALat 1. Satu set alat Jar Test 2. Buret 3. Statif 4. Pipet milli 5. Pipet Tetes 6. Bola Karet 7. Corong 8. Labu Ukur 9. Erlenmeyer 10. Gelas Ukur 11. Beaker Gelas 12. pH meter 13. Tissu

2.1. Bahan 1. Air sumur 2. H2SO4 0,02 N 3. Indikator PP 4. Indikator MO 5. PAC 6. Aquades 7. Larutan KMnSO4 0,025 N 8. Tio 0,025 N 9. Indikator Amylum 10. Na2C2 O4 0,025 N 11. Ag2S2O4 kristal

BAB III PROSEDUR KERJA

3.1. y

Prosedur Kerja pH Meter Menentukan pH larutan sebelum agitasi

1. Dipasang elektroda pH meter dan dicelupkan elektroda ini ke dalam beaker glass berisi sampel air sungai Deli, dibiarkan stabil sampai 1 menit lalu dicatat pH sampel. 2. Dimatikan alat pH meter, diangkat elektroda dan disemprotkan aquadest sampai bersih, dikeringkan elektroda dengan tissue.

y

Menentukan pH larutan sesudah agitasi

1. Dipasang elektroda pH meter dan dicelupkan elektroda ini ke dalam beaker glass berisi sampel air sungai Deli hasil agitasi, dibiarkan stabil sampai 1 menit lalu dicatat pH sampel. 2. Dimatikan alat pH meter, diangkat elektroda dan disemprotkan aquadest sampai bersih, dikeringkan elektroda dengan tissue.

3.2. Prosedur Kerja Penentuan Alkalinity sebelum Agitasi y Prosedur Kerja P-Alkalinity

1. Diukur sampel air sungai sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam Erlenmeyer 250 ml. 2. Ditambahkan indikator PP sebanyak 3 tetes . 3. Tidak terjadi perubahan warna, berarti P alkalinity = 0.

y Prosedur Kerja M-Alkalinity 1. Diukur sampel air sungai sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam Erlenmeyer 250 ml. 2. Ditambahkan indikator MO sebanyak 3 tetes. 3. Larutan berubah menjadi kuning. Dilakukan titrasi dengan H2SO4 sampai larutan kuning menjadi orange 4. Dicatat volume H2SO4 0,02 N yang digunakan dalam titrasi tersebut.

3.3. Prosedur Kerja Penentuan Alkalinity sesudah Agitasi y Prosedur Kerja P-Alkalinity

1. Diukur sampel air sungai hasil agitasi sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam Erlenmeyer 250 ml. 2. Ditambahkan indikator PP sebanyak 3 tetes . 3. Tidak terjadi perubahan warna, berarti P alkalinity = 0. y Prosedur Kerja M-Alkalinity 1. Diukur sampel air sungai hasil agitasi sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam Erlenmeyer 250 ml. 2. Ditambahkan indikator MO sebanyak 3 tetes. 3. Larutan berubah menjadi kuning. Dilakukan titrasi dengan H2SO4 sampai larutan kuning menjadi orange 4. Dicatat volume H2SO4 0,02 N yang digunakan dalam titrasi tersebut.

3.4. Prosedur Kerja Penentuan Jar Test 1. Disediakan 5 buah beaker glass dan diisi beaker glass dengan sampel air sungai masing masing volume 350 ml 2. Ditambahkan PAC 10% masing-masing 0,1 ; 0,2 ; 0,3 ; 0,4 ; 0,5 ml 3. Dimasukkan beaker glass berisi sampel tersebut kedalam alat JAR TEST yang akan dipraktekkan 4. Dihidupkan alat JAR TEST, dilakukan agitasi terhadap sampel dengan 90100 ppm selama 30 menit 5. Diamati perubahan yang terjadi, dicatat waktu terjadinya pembentukan flok pada masing masing sampel 6. Dibandingkan sampel mana yang memberikan kejernihan optimal 7. Dihitung persamaan regresi untuk volume PAC terhadap waktu pembentukan flok.

BAB V DATA PENGAMATANTabel pH NO Volume PAC 10% (ppm) Waktu pembentukan Flock (menit) 1 2 3 4 5 20 40 60 80 100 11,92 11,83 11,18 10,08 9,83 Sebelum Agitasi 6,32 6,32 6,32 6,32 6,32 Ph Sesudah Agitasi 6,58 6,62 6,52 6,67 6,74

Tabel Alkalinity AKALINITY P Alkalinity Vol. titrasi dgn H2SO4 0,02 N (ml) Sbm. Agitasi 0 0 0 0 0 Ssdh Agitasi 0 0 0 0 0 Sblm Agitasi 0 0 0 0 0 Ssdh Agitasi 0 0 0 0 0 Sblm Agitasi 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 P Alkalinity (ppm) M Alkalinity Vol. titrasi dgn H2SO4 0,02 N (ml) Ssdh Agitasi 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 Sblm Agitasi 150 150 150 150 150 Ssdh Agitasi 160 160 160 160 160 M Alkalinity (ppm)

NB : Volume Sampel = 10 ml

Tabel COD COD Vol. titrasi dgn KMnO4 0,025 N (ml) COD (ppm) Vol. sampel yg dititrasi (ml) Sblm Agitasi 8,1 8,1 8,1 8,1 8,1 Vol. sampel yg dititrasi (ml) Ssdh Agitasi 0,2 3,80 0,90 1,0 3,30 Sblm Agitasi 187,2 187,3 187,2 187,2 187,2 Ssdh Agitasi -182,2 75,4 0 2,6 65,4

NB : Blanko = 0,9 ml

BAB VI PENGOLAHAN DATA

6.1. Perhitungan Alkalinity y Perhitungan P Akalinity sebelum agitasi Dik : V sampel = 10 ml In PP = 3 tetes Dit : P. Alkalinity = .....?

Jawab : P. Alkalinity = 0

y

Perhitungan M Akalinity sebelum agitasi Dik : V sampel = 10 ml In MO = 3 tetes V H2SO4= 1,5 ml V PAC 1% = 0 ml Dit : M. Alkalinity = .....?Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

Jawab : M. Alkalinity ! 1000 x

! 1000 x

1,5 ml 10 ml

! 150 ppm

y

Perhitungan P Akalinity sesudah agitasi Dik : V sampel = 10 ml In PP = 3 tetes Dit : P. Alkalinity = .....?

Jawab : P. Alkalinity = 0

y

Perhitungan M Akalinity sesudah agitasi Dik : V sampel = 10 ml In MO = 3 tetes V H2SO4 untuk PAC 10% 20 ml = 1,6 ml V H2SO4 untuk PAC 10% 40 ml = 1,6 ml V H2SO4 untuk PAC 10% 60 ml = 1,6 ml V H2SO4 untuk PAC 10% 80 ml = 1,6 ml V H2SO4 untuk PAC 10% Sampel = air sumur Dit : M. Alkalinity = .....? 100 ppm = 1,6 ml

Jawab : a. M. Alkalinity untuk PAC 10% sebanyak 20 ppm

M. Alkalinity ! 1000 x

Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

! 1000 x

1,6 ml 10 ml

= 160 ppm

b. M. Alkalinity untuk PAC 10% sebanyak 40 ppm

M. Alkalinity ! 1000 x

Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

! 1000 x

1,6 ml 10 ml

= 160 ppm

c. M. Alkalinity untuk PAC 10% sebanyak 60 ppml

M. Alkalinity ! 1000 x

Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

! 1000 x

1,6 ml 10 ml

= 160 ppm

d. M. Alkalinity untuk PAC 10% sebanyak 80 ppm

M. Alkalinity ! 1000 x

Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

! 1000 x

1,6 ml 10 ml

= 160 ppm

e. M. Alkalinity untuk PAC 10% sebanyak 100 ppm

M. Alkalinity ! 1000 x

Volume H 2 SO 4 0,02 N Volume sampel

! 1000 x

1,6 ml 10 ml

= 160 ppm

6.2. Perhitungan kadar COD y Penetapan kadar COD sebelum agitasi PAC 10% = 20 ppm Dik : Sampel = air sumur Vol. Sampel = 10 ml f = 1,3 a = 8,1 ml b = 0,9 ml Dit : COD (ppm) = ..? Jawab : COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (8,1 ml 0,9 ml) x 1,3 x = 187,2 ppm

y

Penetapan kadar COD sesudah agitasi Dik : Sampel = air sumur Vol. Sampel = 10 ml V KMnO4 untuk PAC 10% 20 ppm = 0,2 ml V KMnO4 untuk PAC 10% 40 ppm = 3,8 ml V KMnO4 untuk PAC 10% 60 ppm = 0,9 ml V KMnO4 untuk PAC 10% 80 ppm = 1 ml V KMnO4 untuk PAC 10% 100 ppm = 3,30 ml f = 1,3 ml b = 0,9 ml Dit : COD (ppm) = ..? Jawab :

a. COD untuk PAC 10% 20 ppm = 0,2 ml COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (0,2 ml 0,9 ml) x 1,3 x = - 18,2 ppm = 0,0000 ppm

b. COD untuk PAC 10% 40 ppm = 3,8 ml COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (3,8 ml 0,9 ml) x 1,3 x = 75,4 ppm

c. COD untuk PAC 10% 60 ppm = 0,9 ml COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (0,p ml 0,9 ml) x 1,3 x = 0 ppm

d. COD untuk PAC 10% 80 ppm = 1 ml COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (1 ml 0,9 ml) x 1,3 x = 2,6 ppm

e. COD untuk PAC 10% 100 ppm = 3,3 ml COD (ppm) = (a-b) x f x 1000 x 0,2 V 1000 x 0,2 10

= (3,3 ml 0,9 ml) x 1,3 x = 65,4 ppm

6.3. Perhitungan Regresi linier untuk volume penambahan PAC vs- waktu pembentukan flock Dik : X (variabel terikat) = volume penambahan PAC (ml) Y (variabel bebas) = waktu pembentukan flock (detik) Dit : a = .? b =.? R =.? Jawab :

No 1 2 3 4 5

X 20 40 60 80 100

Y 11,92 11,83 10,48 10,08 09,83

XY 238,4 473,2 628,8 806,4 983

X2 400 1600 3600 6400 10000 X2=

Y2 142,08 139,94 109,83 101,60 96,62 Y2

300

X=

Y=

XY=3129,8

=

54,14 Y = 10,82

22000

590,07

X = 60

X !

Xn

!

300 5

= 60Y!

Yn

!

54,14 5

= 10,828

n ( XY) ( X) ( Y) b = n ( X2) ( X)2

=

=

=

9

a = Y-b X = = 10, 82 + 0,029 ( 60 ) 12,599

Y=a+b X Y = 12,599 - 0,029 X

Maka dari hasil perhitungan yang diperoleh didapat persamaan regresi Y=a+bX menjadi Y= 12,599 0,029 X

= 0,907

6.4 Grafik

14

waktu pembentukan flock

12 10 8 6 4 2 0 0 20 40 60 80 100

y = -0.029x + 12.60 R = 0.907

120

volume PAC 10 %

6.5. Reaksi y Reaksi P Alkalinity

OH

H2 O air

+

C O C O (Phenolphtalein ) Tidak berwarna H3O+

OH

OH

+ C C OO (phenolphtalein )tidak berwarna OH

y

Reaksi M Alkalinity

H H2 O + Na+ -O3S NN= = N(CH3)2

Air

Metil orange ( kuning )

Na+-O3S

N=N Orange

=N (CH3)2 +

H3O+

y

Reaksi Penetapan kadar COD

Sampel H2 O (Mengandung Cl) + H2SO4 H2SO4 + H2O + Cl + 2AgCl

H2SO4 + Cl2 + 2Ag2SO4 3H2SO4 + 2KMnO4 K2SO4 + Na2C2O4

H2SO4 + Ag2SO4 K2SO4 + 2MnSO4 + 3H2 O + 5On

+ 5On 2KMnO4 +

K2C2O4 + Na2SO4 4CO2 + On

+ 5On

2 K2C2O4 + 2KMnO4 + 5On 2KMnO4 + 10On

2KMnC2 O4 + 2K2 + 2O2 + 5On

Blanko H2 O + H2SO4 3H2SO4 + 2KMnO4 K2SO4 + Na2C2O4 K2SO4 + 2MnSO4 + 3H2 O + 5On + 5On 2KMnO4 + K2C2O4 + Na2SO4 4CO2 + On + 5On

2K2C2 O4 + 2KMnO4 + 5On 2KMnO4 + 10On

2KMnC2 O4 + 2K2 + 2O2 + 5On

DAFTAR PUSTAKA

http://www.google.com/koagulasi/

http://www.google.com/jenis-jenis-koagulan/

Tim Penyusun. 2011. Buku Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Air dan Limbah Industri. Medan: PTKI.

Zafnia, Muhammad Robby, Haryo Dwito Armono, Sholihin. 2007. Studi Penggunaan Current Deflecting Wall di Pelabuhan Tegal. Surabaya: ITS.

LAMPIRAN IPeraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun 1990, tanggal 5 Juni 1990

Tentang Pengendalian Pencemaran Air

A. Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan A (Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu) No A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 FISIKA Bau Jumlah zat (TDS) Kekeruhan Rasa Suhu Warna KIMIA KIMIA ANORGANIK Air Raksa Aluminium Arsen Barium Besi Fluorida Kadmium Kesadahan Klorida Kromium valensi 6 Mangan Natrium Nitrat sebagai N Nitrit sebagai N Perak pH Selenium Seng Sianida Sulfat Sulfida sebagai H2S Tembaga padat terlarut Parameter Satuan Kadar Maksimum Keteran gan Tidak berbau

mg/L NTU C Skala TCUo

1000 5 15

Tidak berasa

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L CaCO3 mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

0,001 0,2 0,05 1,0 0,3 0,5 0,005 500 250 0,05 0,1 200 10 1,0 0,05 6,5-8,5 0,01 0,01 0,1 400 0,005 0,1

B. minmaks

23 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Timbal KIMIA ORGANIK Aldrin dan Dieldrin Benzena Benzo (a) pyrene Chlordane (Total isomer) Chlordane 2,4 D DDT Detergen 1,2 Dichloroethena 1,1 Dichloroethana

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

0,05 0,0007 0,1 0,00001 0,0003 0,03 0,1 0,03 0,5 0,01 0,0003

B. Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan B (Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum) No A 1 2 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 FISIKA Suhu Zat Padat Terlarut KIMIA KIMIA ANORGANIK Air Raksa Amonia bebas Arsen Barium Besi Fluorida Kadmium Klorida Kromium valensi 6 Mangan Nitrat sebagai N Nitrit sebagai N Oksigen terlarut (DO) Parameter Satuano

Kadar Maksimum

Keteran gan Normal 3 oC

C

Suhu air 1000

mg/L

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

0,001 0,5 0,05 1 5 1,5 0,018 600 0,05 0,5 10 1,0 -

Air permuka an dianjurk an 6

14 15

pH Selenium

mg/L

5-9 0,01

16 17 18 19 20 21 1 2 3

Seng Sianida Sulfat Sulfida sebagai H2S Tembaga Timbal KIMIA ORGANIK Aldrin dan Dieldrin Chlordane DDT

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

5 0,1 400 0,1 1 0,1 0,017 0,003 0,042

C. Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan C (Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan) No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 Parameter KIMIA KIMIA ANORGANIK Air Raksa Amonia bebas Arsen Fluorida Kadmium Klorida Kromium valensi 6 Nitrit sebagai N Oksigen terlarut (DO) pH Selenium Seng Sianida Sulfida sebagai H2S Tembaga Timbal KIMIA ORGANIK BHC DDT Endrin Fenol Minyak dan Lemak Organofosfat dan Karbamat Surfactant Satuan Kadar Maksimum Keterangan

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

0,002 0,02 1 1,5 0,01 0,003 0,05 0,06 6-9 0,05 0,02 0,02 0,002 0,02 0,03 0,21 0,002 0,004 0,001 1,0 0,1 0,2

Disarankan 3

B 1 2

RADIOAKTIFITAS Aktifitas Alfa (Cross Activity Alpha) Aktifitas Beta (Cross Activity Beta)

0,1 1,0

Bq= Becquerel

D. Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan D (Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian serta usaha perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air) No A 1 2 Parameter FISIKA Suhu Zat Padat Terlarut Satuano

Kadar Maksimum Suhu normal 2000

Keterangan

C

mg/L

3

Daya hantar listrik

Mmhos/cm

2250

Sesuai dengan kondisi setempat Tergantung jenis tanaman. Kadar maksimum Tersebut untuk tanaman yang tidak peka Tergantung jenis tanaman. Kadar maksimum tersebut untuk tanaman yang tidak peka

B 1 2 3

KIMIA KIMIA ANORGANIK Air Raksa Arsen Boron

mg/L mg/L mg/L

0,005 1 1