Tugas Kpkh II- Diskresi Dan Korupsi

28
TUGAS II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DAN HAK ASASI MANUSIA DISKRESI DAN KORUPSI (PENYEBAB KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN SOLUSI)” DISUSUN OLEH: NAMA : FITRIAH FAISAL NPM : 1406510090 MAGISTER ILMU HUKUM HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA UNIVERSITAS INDONESIA 2015 1

description

tentang kriminalisasi kebijakan

Transcript of Tugas Kpkh II- Diskresi Dan Korupsi

TUGAS IIKEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATANDAN HAK ASASI MANUSIADISKRESI DAN KORUPSI(PENYEBAB KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN SOLUSI)DISUSUN OLEH:

NAMA:FITRIAH FAISAL

NPM:1406510090

MAGISTER ILMU HUKUMHUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANAUNIVERSITAS INDONESIA2015

BAB 1PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahDalam Hukum Pidana dikenal pembagian hukum pidana, dari segi bentuknya terbagi dua, hukum pidana materil dan hukum pidana formil atau KUHP dan KUHAP, sedangkan menurut fungsinya, dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang pada umumnya memiliki pengaturan yang berbeda dari KUHP dan KUHAP, dalam hukum pidana khusus ini terdapat 2 model yaitu, Pertama, yang bersifat intra aturan pidana seperti: Undang-undang tindak pidana korupsi, undang-undang tindak pidana pencucian uang, undang-undang tindak pidana terorisme, Kedua, bersifat ekstra aturan pidana seperti: undang-undang kehutanan, undang-undang perbankan, undang-undang pasar modal dan masih banyak lagi. Hukum pidana khusus yang bersifat ekstra pidana inilah yang disebut sebagai administratif penal law.[footnoteRef:1] [1: Indriyanto Seno Adji, Makalah Administrative Penal Law: Asas systematische Specialiteit & Economic Analysis of Law, (Jakarta, 2015), hal. 8.]

Perkembangan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana memasuki wilayah abu-abu atau tidak jelas dengan segala teknikalitas kesulitan dengan proses pemidanaan yang menurut Prof. Indriyanto Seno Adji pemahaman mengenai administrative penal law ini sangat berkaitan dengan asas-asas hukum pidana yang sangat mendasar, seringkali kesulitan pemahaman mengenai administrative penal law ini menjadi hambatan dalam proses penegakkan hukum yang bahkan hingga kini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana. Betapa tidak, keputusan Pejabat Negara, baik dalam rangka beleid (vrijsbestuur), diskresi (kebijaksanaan-discretionary power) maupun kerangka privaatrechtelijkheid menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alasan penolakan maupun justifikasi pemidanaan pada area hukum pidana.[footnoteRef:2] [2: Indriyanto Seno Adji, Ibid, hal. 8.]

Masalah grey area ini bisa terlihat pada kasus dimana Diskresi yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara yang kemudian gagal dalam tujuan, padahal kekuasaan diskresi itu diberikan oleh undang-undang dengan maksud agar jabatan yang disandang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. akan tetapi kekuasaan tersebut jika terjadi kesalahan didalam hukum pidana dianggap sebagai tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang, padahal melihat diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri yang merupakan amanat atau kewenangannya sebagai pejabat, yang harusnya penyelesaian jika ada kesalahan yang terjadi merupakan bagian dari kewenangan hukum administrasi tidaklah harus masuk menjadi hukum pidana.Diskresi yang merupakan tindakan penyelenggara negara tanpa dasar hukum inilah yang menjadi makanan empuk hukum pidana, dimana sangat banyak perbuatan diskresi ini yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi, kriminalisasi kebijakan ini juga akhirnya akan mengakibatkan tidak kreatifnya penyelenggara negara dalam mengambil kebijakan demi kepentingan umum karena takut akan bayang-bayang hukum pidana.

B. Rumusan MasalahDari penjelasan diatas terdapat sejumlah masalah yang akan penulis bahas dalam makalah penulis ini yaitu:1. Bagaimana diskresi dalam pandangan Hukum Adminitrasi Negara dan Hukum Pidana?2. Bagaimana penyebab yang membuat terjadinya kriminalisasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelanggara negara dan apa saja sarana yang dapat digunakan untuk mencegah kriminalisasi kebijakan tersebut agar tidak masuk menjadi tindak pidana korupsi?

C. Tujuan PenulisanBerdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan yang hendak penulis capai adalah sebagai berikut :1. Untuk megetahui bagaimana pandangan Hukum Adminitrasi Negara dan Hukum Pidana mengenai diskresi.2. Untuk megetahui penyebab terjadinya kriminalisasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelanggara negara dan apa saja sarana yang dapat digunakan untuk mencegah kriminalisasi kebijakan tersebut agar tidak masuk menjadi tindak pidana korupsi

D. Manfaat Penulisana. Manfaat teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum pidana, sehingga nantinya dapat berperan dalam menyelesaikan dan menjawab permasalahan.b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para penegak hukum maupun orang yang membutuhkan pengetahuan dari hasil penelitian ini untuk memberikan masukan dalam pemikiran dan untuk memberi pencerahan mengenai langkah apa yang akan dilakukan.

BAB 2PEMBAHASAN1. Diskresi dalam Pandangan Hukum Administrasi Negara dan Hukum PidanaMenurut Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan didalam pasal 1 angka 9 dijelaskan bahwa Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.Menurut S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang, akan tetapi tidak mungkin undang-undang mengatur semua dan kasus apa saja yang perlu diberikan diskresi. Menurut Indroharto menyebut wewenang diskresi sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang yang tidak mewajibkan badan atau pejabat tata usaha Negara menerapkan wewenangnya, tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya. Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administrasi Negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan.[footnoteRef:3] [3: Julista Mustamu, Diskresi dan tanggungjawab administrasi pemerintahan,( Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2, April 2011).]

Berdasarkan doktrin-doktrin hukum tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan mengambil keputusan dari Badan atau Pejabat administrasi pemerintahan menurut pendapatnya sendiri sebagai pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak mampu menyelesaikan permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bias karena peraturannya memang tidak ada atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas.Sedangkan dalam hukum pidana, diskresi dipandang sebagai sudut yang menggoda (power seduction) dari penguasa dalam menjalankan kekuasaaannya, yakni suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan berdasarkan kreatifitas pejabat itu. Kekuasaan itu diberikan oleh undang-undang dengan maksud agar jabatan yang disandang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi inilah jabatan rawan diselewengkan, karena bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah diselipkan niat untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. Agar terhindar dari jerat hukum, teknik korupsi dipercanggih. Sehingga terjadi transformasi modus operandi korupsi, termasuk dengan cara menebar / mendistribusi jaringan pertanggungjawaban (distribution of responsibility) sehingga terbentuk semacam kleptokrasi, yaitu birokrasi yang korup. Oleh karena itu, jabatan yang diduduki biasanya didukung oleh kelompok kepentingan, sehingga seorang pejabat harus membayar utang dukungan.[footnoteRef:4] [4: Nitibaskara, Tb. R, Perangkap Penyimpangan Dan Kejahatan, Teori Baru Dalam Kriminologi, (Jakarta: YPKIK,2009) Hal. 46]

Dari beberapa contoh kasus dapat dilihat sebuah fenomena tindak pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan diskresi, yang akan mengarah kepada pelanggaran pidana walaupun pelaku tidak menikmati hasil kejahatan tersebut. Diskresi dianggap perbuatan melawan hukum walupun bukan karena keinginan sendiri dan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi dapat menguntungkan pihak lain sehingga dapat dianggap merugikan Negara. Sebagai pejabat dalam menjalankan jabatannya terkandung sesuatu hal yang paradoks (bertentangan). Pada satu sisi kekuasaan dibatasi oleh hukum sementara pada sisi lain dilepas dan diserahkan kepada otoritas individu pejabat. Jika di dalam menjalankan jabatan kewenangan dipersempit atau diperketat dapat dipastikan birokrasi tidak berjalan karena seorang pejabat akan sulit mengambil keputusan dengan sempitnya pilihan bertindak sehingga terkadang seorang pejabat hanya menjadi robot. Sebaiknya jika diskresi dilepas atau longgar ada potensi untuk terjadi tindakan yang melebihi wewenang (excess du pouvoir) yang akan mengarah kepada perbuatan melawan hukum (korupsi).[footnoteRef:5] [5: Benny Irawan, Diskresi Sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi Dan Hukum Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011), hal. 143]

Ditinjau dari sudut hukum, setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum.Dalam kerangka hukum administrasi negara diskresi dibatasi oleh detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang) sedangkan dalam area hukum pidana kewenangan bebas aparatur negara atau diskresi dibatasi oleh wederrech-telijkheid dan menyalahgunakan kewenangan.[footnoteRef:6] [6: Indriyanto Seno Adji, Hukum Pidana Dalam Perkembangan, (Jakarta: Diadit Media, 2014), Hal.9]

2. Kriminalisasi kebijakana. Kebijakan yang dikeluarkan menjadi KorupsiProf. Dr. Indriyanto Seno Adji dalam bukunya menulis ada kebingungan para pejabat aparatur negara maupun BUMN manakala dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya terbentur dengan permasalahan antara aspek pidana dan fungsi administrasi yang seringkali dipahami oleh para penegak hukum bahwa fungsi, tugas dan wewenang mereka sebagai tindak pidana. Hal ini membuat pejabat mengalami keraguan dalam melaksanakan tugas mereka khususnya kebijakan wewenangnya. [footnoteRef:7] [7: Indriyanto Seno Adji, Ibid, Hal.5]

Adanya sifat perbuatan melawan hukum merupakan istilah dari onrechtmatigheid yang mempunyai kesamaan arti dengan wederrechtelijkheid yang dalma beberapa sumber bacaan diartikan sebagai tanpa hak sendiri atau menyalahgunakan kewenangan.Dalam bukunya prof indriyanto menjelaskan bahwa perlu dipahami mengenai makna unsur delik melawan hukum sebagai genuus delict dan menyalahgunakan kewenangan sebagai species delict, kekeliruan pemahaman inilah yang membuat terjadinya kriminalisasi kebijakan yang dilakukan oleh pejabat negara atau penyelenggara negara.Padahal seharusnya suatu kebijakan baik diskresi yang terikat maupun yang aktif tidaklah menjadi kewenangan hukum pidana sekalipun terjadi penyimpangan seharusnya hal ini menjadi kewenangan hukum administrasi.Banyak contoh kebijakan yang dijadikan wilayah kewenangan hukum pidana mulai dari kasus akbar tanjung, syahril sabirin dan masih banyak lagi pejabat yang disangka korupsi karena kebijakan yang dikeluarkannya.Jatuhnya vonis pengadilan terhadap sejumlah kepala daerah yang didakwa melakukan korupsi terkait dengan prosedur pengambilan kebijakan kembali menimbulkan perdebatan. Para pejabat publik terancam dijerat saksi pidana jika mengeluarkan kebijakan (diskresi) yang tidak dianggarkan. Padahal, kebijakan itu sangat dibutuhkan untuk mengatasi perubahan kondisi yang cepat, semisal dampak bencana alam atau wabah penyakit. contohnya.Mantan Bupati Subang Eep Hidayat, yang menjadi terpidana dalam perkara korupsi biaya pungut pajak bumi dan bangunan (PBB) Subang.Hal yang sama terjadi pada mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menjadi tersangka atas dugaan pembantuan penyalahgunaan wewenang tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dengan penunjukan langsung pembuatan vaksin flu burung, yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar sekitar Rp 6 miliar.Hal ini yang membuat banyak kepala daerah takut mengambil kebijakan apalagi terobosan kebijakan karena menghindari resiko hukum, Padahal seperti yang dikatakan Azhar Kasim[footnoteRef:8], seharusnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tidak bisa dikriminalisasi, konsekuensi dari kebijakan yang salah bukanlah dari hukum pidana tapi harus datang dari ranah administrasi. [8: SBD, Dilema Diskresi ditengah godaan korupsi, (Jakarta: Media Indonesia, 16 juli 2012). ]

Kurangnya pemahaman para penegak hukum dalam membedakan wilayah ruang lingkup administrative dan hukum pidana ini menurut penulis menyebabkan ketidakadilan terhadap para pelaku yang sebenarnya hanyalah menjalankan tugas mereka sebagai pengambil kebijakan.Menurut Jean rivero dan waline dalam indriyanto seno adji bahwa pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam tiga wujud, yaitu: 1. penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturanperaturan lain; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.Penyalahgunaan bentuk ketiga ini atau abuse of procedure yang sering di kriminalisai oleh aparat penegak hukum sebagai tindak pidana korupsi.Padahal Untuk menilai apakah suatu kebijakan yang diambil itu merupakan suatu kejahatan dapat dilihat pada sikap batin dari pelaku Sedangkan Unsur sikap batin ini merupakan sesuatu yang sulit pembuktiannya. Karena itu hal yang utama untuk mengungkap hal ini adalah berupa indikasi, apakah keluarnya sebuah kebijakan itu ada indikasi sengaja atau lalai. Untuk hal tersebut dapat digunakan teori kesalahan dan macam-macam kesengajaan).[footnoteRef:9] [9: Setiadi, E. (2010). Kriminalisasi Kebijakan dan Bekerjanya Hukum Pidana, Seminar Nasional Kriminalisasi Kebijakan, (Bandung: PDIH Unisba, 5 Juni 2010). Hal. 6]

Unsur yang terpenting dari suatu tindak pidana adalah melawan hukum. Suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pejabat publik tidak boleh melanggar hukum dalam arti melanggar perundang-undangan yang lain atau peraturan yang berlaku di masyarakat. Sebuah kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain merupakan perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam doktrin hukum pidana sampai sekarang masih terbelah dua, antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materil. Dalam konteks kebijakan yang dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana dan terdapat melawan hukum, maka kebijakan tersebut di samping tidak boleh melanggar undang-undang, juga kebijakan tersebut harus sesuai dengan asas kepatutan, proporsional dan memenuhi prinsip-prinsip atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sebuah kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari pelaksanaan kewenangan seorang pejabat.Suatu diskresi maupun wijsheid atau tindakan seketika yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan harus tetap selaras dengan maksud dan kewenangan sesuai dengan tujuan akhir dari kebijakan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Riyaas Rasyid dan Prof. Dr. Philipus Hadjon bahwa dalam kondisi yang mendesak dan darurat suatu diskresi ataupun wijsheid dapat menyimpang dari produk perundang-undangan yang ada asalkan penyimpangan ini pada akhirnya sesuai dan arah ditetapkannya kewenangan tersebut.Sehingga menurut penulis, seharusnya Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila Pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan yang berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya. Akan tetapi jika unsur tersebut tidak terpenuhi seharusnya diselesaikan sebagai kewenangan hukum administrasi.

b. Sarana pencegah kriminalisasi kebijakan (Administrative Penal Law-Asas systematische specialiteit-Economic Analysis Of Law)Menurut Prof. Indriyanto Seno Adji, dalam hukum pidana, istilah Administrative Penal Law yaitu semua produk legislasi berupa perundang-undangan dalam lingkup administrasi negara yang memiliki sanksi pidana atau Hukum Pidana yang bersifat khusus yang ekstra.Perkembangan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana memasuki wilayah abu-abu atau tidak jelas dengan segala teknikalitas kesulitan dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana, misalnya terdapat pertanyaan besar yang sering ditemui, dalam hal ini adalah Dapatkah pelanggaran terhadap administrative penal law dianggap sebagai absorsif perbuatan tindak pidana korupsi? [footnoteRef:10] [10: Indriyanto Seno Adji, Loc.Cit, hal.10.]

Kurangnya pemahaman para penegak hukum dalam membedakan wilayah ruang lingkup administrative dan hukum pidana ini menurut penulis menyebabkan ketidakadilan terhadap para pelaku yang sebenarnya hanyalah menjalankan tugas mereka sebagai pengambil kebijakan.Padahal untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri harusnya para penegak hukum paham mengenai dapat tidaknya absorsi tindak pidana yang berada dalam ranah hukum administrasi menjadi ranah hukum pidana.Agar tidak terjadi kebingungan penerapan aturan perundang-undangan, dapat dibantu dengan asas kekhususan sistematis, Asas systematische specialiteit ini atau asas kekhususan yang sistematis, yaitu ketentuan pidana yang bersifat lebih khusus dari ketentuan khusus yang sudah ada.Asas ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu:Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang iniMakna yang terkandung dalam substansi ketentuan ini, seperti yang ditulis oleh Prof. Indriyanto Seno Adji dalam makalahnya bahwa undang-undang tindak pidana korupsi berlaku apabila perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dengan secara tegas dinyatakan dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, Yang artinya jika tidak dinyatakan demikian maka bukanlah pelanggaran tindak pidana korupsi.Dalam bukunya Prof. Indriyanto menmberi contoh jika subyek personal, obyek dugaan perbuatan yang dilanggar, alat bukti yang diperoleh lingkungan dan area delicti berada dalam kontek perbankan maka harusnya penegak hukum memakai undang-undang perbankan meskipun undang-undang khusus lainnya seperti undang-undang tindak pidana korupsi bersifat akseptabelitas.Dimana semua perbuatan yang menyimpangi aturan tertentu adalah sebuah perbuatan melawan hukum tetapi tidak selalu dapat diartikan sebagai tindak pidana korupsi, asas kekhususan yang sistematis ini merupakan alat atau sarana untuk mencegah dan membatasi asas perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang dalam tindak pidana korupsi sebagai all embracing act and all purpose act.Sarana kedua yang dapat diterapkan untuk menghindari kriminalisasi kebijakan adalah dengan menggunakan Economic Analysis of Law atau Pendekatan ekonomi terhadap permasalahan hukum, dimana menurut Richard A. Posner merupakan penerapan prinsip-prinsip ekonomi sebagai pilihan-pilihan rasional untuk menganalisis persoalan hukum.[footnoteRef:11] [11: Rakpat Damanhuri, Tinjauan Analisis penerapan asas kepastian hukum dalam O&M di PLN, (Depok: Skripsi Universitas Indonesia,2010), Hal. 13]

Dimana dalam menganalisa permasalahan hukum melalui pendekatan ekonomi menggunakan metode economic analysis of law ini bertujuan untuk mempertahankan hukum pidana tetap sebagai ultimum remedium.Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Maria Sutopo Conboy bahwa dengan menggunakan asas kemanfaatan pada pendekatan EAL ini maka kebijakan antisipasi atas perbuatan hukum yang berdimensi ekonomi ini akan menempatkan pelaku pada posisi benefit yang tinggi dalam menjalankan kegiatan perekonomian dibandingkan dengan cost atas kebijakan yang dikriminalisasi, Pendekatan EAL ini mendekatkn pada adanya value, utility dan effeciency, jadi misalnya kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara negara yang dianggap menyalahgunakan wewenang tetapi di sisi lain memiliki manfaat yang besar bagi kewenangan negara, adanya kepentingan umum yang terlayani dan tidak menguntungkan diri sendiri sehingga diharapkan penegak hukum tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai perbuatan koruptif atau kriminalisasi kebijakan.[footnoteRef:12] [12: Indriyanto Seno Adji, Op.Cit, Hal.31]

Pendekatan analisis ekonomi dalam hukum ini, menekankan kepada cost-benefit ratio, yang kadang-kadang oleh sebagian orang dianggap tidak mendatangkan keadilan, konsentrasi ahli ekonomi yang tertuju kepada efisiensi, tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan (justice). Hal ini tentu dibantah oleh penganut-penganut pendekatan analisis ekonomi dalam hukum, yaitu: Pertama, dikatakan bahwa tidak benar ekonom tidak memikirkan keadilan, Kedua, ekonomi menyediakan kerangka didalam mana pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan dan Ketiga, norma-norma dalam masyarakat lahir secara bersama dari ketertiban yang damai.[footnoteRef:13] [13: Rakpat Damanhuri, Ibid, Hal. 15]

BAB 3KESIMPULAN

1. Menurut hukum administrasi negara bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan mengambil keputusan dari Badan atau Pejabat administrasi pemerintahan menurut pendapatnya sendiri sebagai pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak mampu menyelesaikan permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bias karena peraturannya memang tidak ada atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas. Sedangkan dalam hukum pidana, diskresi dipandang sebagai sudut yang menggoda (power seduction) dari penguasa dalam menjalankan kekuasaaannya, yakni suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan berdasarkan kreatifitas pejabat itu. Diskresi dianggap perbuatan melawan hukum walupun bukan karena keinginan sendiri dan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi dapat menguntungkan pihak lain sehingga dapat dianggap merugikan Negara.

2. Penyebab kriminalisasi kebijakan sehingga dianggap sebagai tindak pidana korupsi:a. kekeliruan pemahaman mengenai makna unsur delik melawan hukum sebagai genuus delict dan menyalahgunakan kewenangan sebagai species delict.b. Kurangnya pemahaman para penegak hukum dalam membedakan wilayah ruang lingkup administrative dan hukum pidana ini menurut penulis menyebabkan ketidakadilan terhadap para pelaku yang sebenarnya hanyalah menjalankan tugas mereka sebagai pengambil kebijakan.c. Kesulitan membuktikan Unsur sikap batin Padahal Untuk menilai apakah suatu kebijakan yang diambil itu merupakan suatu kejahatan.Sarana yang dapat digunakan agar penyebab kriminalisasi tersebut dapat diselesaikan:a. Harusnya penegak hukum Mengetahui ruang lingkup administrative penal law dan hukum pidana Agar tidak terjadi kebingungan penerapan aturan perundang-undangan, dapat dibantu dengan asas kekhususan sistematis, Asas systematische specialiteit ini atau asas kekhususan yang sistematis, yaitu ketentuan pidana yang bersifat lebih khusus dari ketentuan khusus yang sudah ada.b. Sarana kedua yang dapat diterapkan untuk menghindari kriminalisasi kebijakan adalah dengan menggunakan Economic Analysis of Law atau Pendekatan ekonomi terhadap permasalahan hukum, Pendekatan analisis ekonomi dalam hukum ini, menekankan kepada cost-benefit ratio sehingga misalnya kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara negara yang dianggap menyalahgunakan wewenang tetapi di sisi lain memiliki manfaat yang besar bagi kewenangan negara, adanya kepentingan umum yang terlayani dan tidak menguntungkan diri sendiri sehingga diharapkan penegak hukum tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai perbuatan koruptif atau kriminalisasi kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Benny Irawan, Diskresi Sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi Dan Hukum Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011.Indriyanto Seno Adji, Makalah Administrative Penal Law: Asas systematische Specialiteit & Economic Analysis of Law, Jakarta, 2015.----------------------------, Hukum Pidana Dalam Perkembangan, Jakarta: Diadit Media, 2014.Julista Mustamu, Diskresi dan tanggungjawab administrasi pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2, April 2011Nitibaskara, Tb. R. Perangkap Penyimpangan Dan Kejahatan, Teori Baru Dalam Kriminologi, Jakarta: YPKIK. 2009.Rakpat Damanhuri, Tinjauan Analisis penerapan asas kepastian hukum dalam O&M di PLN, Depok: Skripsi Universitas Indonesia, 2010.SBD, Dilema Diskresi ditengah godaan korupsi, Jakarta: Media Indonesia, 16 juli 2012.Setiadi, E. (2010). Kriminalisasi Kebijakan dan Bekerjanya Hukum Pidana, Seminar Nasional Kriminalisasi Kebijakan, Bandung: PDIH Unisba, 5 Juni 2010. 18