Tugas Seminar Pemberantasan Korupsi
-
Author
dimas-jatu-widiatmaja -
Category
Documents
-
view
36 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of Tugas Seminar Pemberantasan Korupsi

KORUPSI DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Pendahuluan
Rentetan kasus dugaan korupsi pajak yang melilit Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan
yang terakhir Dhana Widyatmika mengingatkan banyak orang bahwa perang terhadap korupsi tak
boleh berhenti. Munculnya jejeran nama pegawai negeri yang masih muda dan menduduki jabatan
biasa dalam skandal korupsi mengisyaratkan adanya transformasi korupsii. Upaya pencegahan dan
pemberantasan perlu dilakukan bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga peran masyarakat itu
sendiri. Sebagai tumpuan penerimaan Negara (sekitar 70% penerimaan APBN), instansi Direktorat
Jenderal Pajak dikenal sebagai “lahan basah” dalam praktik tindak pidana korupsi. Karena itu, tulisan
ini akan membahas modus serta upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di instansi
Direktorat Jenderal Pajak.
Sebelumnya kita perlu mengetahui kondisi Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia. Secara
garis besar, kondisi DJP dapat dibagi menjadi dua yaitu era pra modernisasi dan era modernisasi DJP.
A. Era Pra Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak
Reformasi DJP pertama kali terjadi pada tahun 1983 dengan mengubah sistem pemungutan
pajak dari Official Assessment System menjadi Self Assesment System. Pada waktu itu Kantor Pajak
masih dinamakan Kantor Inspeksi Pajak. Kemudian pada tahun 1989, Kantor Inspeksi Pajak diubah
menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan fungsi pelayanan untuk jenis Pajak
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KPPBB (Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang
sebelum tahun 1994 disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan
dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP-4) yang sebelum tahun 2001 disebut Kantor Penyuluhan
sebagai fungsi penyuluhan.
Stuktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti
Seksi PPh Badan, PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini
fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa,
Fungsional Kanwil, dan Fungsional Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga

dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan
PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan
keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil dan Kantor Pusat DJP, hal ini
memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses penyelesaian
keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya KPP
Modern.
B. Era Modernisasi DJP
Untuk memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih baik, DJP memerlukan dukungan
teknologi informasi yang memadai. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan
organisasi DJP, Sistem Informasi Perpajakan (SIP), yang digunakan sejak tahun 1994, sudah tidak
memadai untuk melayani dan mengawasi Wajib Pajak secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam
pembentukan Kanwil dan KPP WP Besar pada tahun 2002, SIP dikembangkan menjadi Sistem
Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang berbasis struktur organisasi berdasarkan fungsi.
Selain itu, masih terdapat kelemahan dalam sistem pelaporan Wajib Pajak yaitu pelaporan
secara manual mengharuskan fiskus untuk melakukan perekaman ulang yang rawan kesalahan serta
memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Melalui pengembangan teknologi informasi, DJP
mengembangkan beberapa program yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak berupa e-SPT dan e-Filing. Dalam sistem pembayaran pajak juga ditemukan beberapa masalah
antara lain pemalsuan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk mencegah hal ini, DJP mengembangkan
sistem pembayaran secara elektronik yang dikenal dengan sistem Monitoring Pelaporan
Pembayaran Pajak (MP3).
Adapun langkah-langkah modernisasi yang dilakukan oleh DJP antara lain:
1. Reformasi Ketentuan Peraturan Perpajakan
Salah satu Reformasi perpajakan jilid pertama yaitu reformasi bidang peraturan perpajakan.
Hasilnya berupa diundangkannya UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) dan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan melalui proses panjang dan
melibatkan stake holder termasuk pengusaha yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan
kedudukan antara fiskus dan Wajib Pajak. Penurunan tarif, penekanan cost of compliance, law
enforcement yang lebih tegas kepada Wajib Pajak tidak patuh, kesataraan fiskus dan Wajib Pajak
merupakan poin-poin dalam tax reform UU PPh.

2. Reformasi Pelayanan Kepada Wajib Pajak
- Tersedianya Account Representatives (AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran
antara DJP dengan WP yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara
lain pertama membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis perpajakan.
Kedua, memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses keberatan, serta mengevaluasi hasil
banding. Ketiga, melakukan pemuktahiran data WP dan menyusun profil WP. Keempat,
menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru, Kelima, memonitor kepatuhan WP melalui
pemanfaatan data & SAPT (Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam, menyelesaian
permohonan surat keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh,menganalisis kinerja wajib pajak.
Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi. Dengan demikian setiap
WP dapat menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya kepada setiap AR di KPP Pratama yang
telah ditunjuk untuk masing-masing WP sesuai dengan wilayah kelurahan
- Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana
pengaduan yang diterima oleh complain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan
akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai
pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media penyampaian
pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya, atau langsung.
- Sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern meliputi: Pertama, Help Desk
dengan teknologi knowledge base pada Tempat Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service
counter), Kedua, pelayanan dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi
terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara
on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak
melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah disediakan DJP), dan e-
counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system: pemanfaatan sistem
teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk pengawasan data.
3. Reformasi Organisasi
Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup radikal dan signifikan yakni
yang dulunya struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi
berdasarkan fungsi guna debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan
dibentuk secara terpisah. Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena
semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP
Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga

menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada
di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi
pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan pula dileburnya
Karikpa ke KPP Modern.
Organisasi Kanwil dan KPP disusun berdasarkan fungsi, yang meliputi fungsi pelayanan,
penyuluhan, pengawasan, penagihan dan pemeriksaan Seorang staf DJP Account
Representative (AR) akan bertanggungjawab melayani dan mengawasi seluruh hak dan
kewajiban perpajakan WP tertentu sehingga WP akan mendapat kemudahan pemenuhan
hak dan kewajiban perpajakannya Fungsi keberatan dan penyidikan berada di Kanwil
sementara fungsi pelayanan, pengawasan, Penagihan dan pemeriksaan berada di KPP (tidak
ada Kantor Pemeriksa dan Penyidikan Pajak tersendiri dalam Kanwil)

4. Reformasi SDM
Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa
dukungan dari pihak eksternal maupun dari pihak internal. Reformasi bidang SDM
sebenarnya juga sudah dimulai melalui Reformasi Etika, Moral, Integritas pada Tahun 2002.
Namun, dalam rangka mewujudkan visi dan misi Ditjen Pajak, peningkatan mutu dan
militansi pegawai mutlak diperlukan. Dengan begitu, kombinasi dari integritas (moral, etika)
yang baik dan kemampuan (mutu dan militansi) yang cemerlang merupakan nilai [value]
yang harus dimiliki oleh setiap pegawai Ditjen Pajak.
C. Modus Korupsi di Direktorat Jenderal Pajak
1. Pertama, melakukan nego terhadap pemeriksa/pemungut pajak. Artinya bila pajak
perusahaan ada 10, maka akan terjadi negosiasi sehingga hanya 5 pajak yang dibayar.
2.Kedua, penyelesaian keberatan yang dilakukan pada tingkat direktorat keberatan dan
banding dengan telah dibicarakan terlebih dahulu angkanya. "Itu juga kurang lebih seperti
tadi (poin pertama) tetapi telah berada pada direktorat keberatan dan banding."

3.Ketiga, penyelesaian keberatan pada tingkat pengadilan pajak. Hal ini dilakukan apabila
keberatan dari wajib pajak tidak bisa diselesaikan pada tingkat direktorat keberatan banding.
Ketika tiba di pengadilan banding, akan ada dua kemungkian. Apabila banding diterima
artinya negara kalah. Sebaliknya, ketika banding ditolak artinya negara menang.
Persoalannya, petugas pajak yang ditunjuk mewakili negara di pengadilan pajak sebagai
penelaah banding kadangkala tidak pernah hadir." Dengan begitu, sambungnya, putusan
banding itu tidak diketahui penelaah banding, apalagi eksekusinya.
4.Keempat, banyaknya konsultan pajak gelap (bukan pajak gelapnya) yang bertindak tidak
sesuai perintah dari institusi.
5.Kelima, menahan Surat Ketetapan Pajak oleh oknum direktorat pajak, yang hanya bisa
dikeluarkan dengan deal-deal tertentu.
Personalia, berhubungan dengan masalah kepegawaian, dalam hal ini ditengarai adanya jual
beli jabatan, rekrutmen dan penempatan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan
kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang melalui penyuapan, nepotisme dan
pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan. Modus ini lazim terjadi pada posisi "basah",
misalnya oknum pejabat pajak pada kantor pemeriksa pajak tertentu, yang bisa "dijual" oleh
oknum pejabat yang menguasai personalia, dan "dibeli untuk investasi" bagi yang
memerlukan posisi tersebut.
Karena pajak merupakan lumbung pendapatan negara, sektor itu merupakan yang paling
rentan terjadi korupsi. Jika pemerintah mampu merealisasikan penerimaan pajak pada 2011
mencapai Rp 872,6 triliun atau naik 26 persen dari tahun sebelumnya, dapat diartikan
bahwa potensi pajak yang seharusnya menjadi penerimaan negara masih sangat besar.
Tetapi, angka statistik penerimaan pajak menunjukkan gejala yang aneh.
Mengapa realisasi penerimaan pajak pada 2010 hanya berkisar Rp 648 triliun, atau mencapai
target 98,12 persen? Di sisi yang lain, pemerintah selalu optimistis bahwa pertumbuhan
ekonomi akan selalu berada di atas angka enam persen.
Logikanya, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, transaksi keuangan meningkat dan
akan berimplikasi kepada penerimaan pajak yang meningkat pula. Lantas, mengapa pula
penerimaan pajak bisa tidak sesuai dengan target?
Pejabat direktorat pajak dengan mudah menunjuk bahwa masalah tidak tercapainya realisasi

pajak disebabkan masih banyaknya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Pejabat
pajak, tampaknya, lupa bahwa nakalnya petugas pajak turut memberikan kontribusi atas
penerimaan sektor pajak yang fluktuatif. Perlu diingat bahwa dalam hubungan antara
petugas pajak dan wajib pajak, tidak ada wilayah transparan yang dapat diketahui publik
sehingga praktik kongkalikong antara petugas pajak dan wajib pajak tidak dapat diidentifikasi
dengan mudah.
Sebagaimana tabiat suap pada umumnya, yang mengetahui adanya suap menyuap antara
satu pihak dan yang lain adalah lingkaran yang mengetahui langsung praktik itu. Oleh karena
itu, dalam rezim anti suap, yang menjadi pemantik bagi terbongkarnya praktik atau skandal
suap adalah para whistle-blower atau justice collaborator yang memiliki informasi faktual
atas kejahatan
itu.
Dengan demikian, jika aparat penegak hukum ingin dapat membongkar skandal pajak secara
mudah, memberikan perlindungan terhadap whistle-blower adalah langkah yang tidak bisa
diabaikan.
Titik Paling Rawan Sebagaimana dilansir oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo, titik
rawan korupsi pajak adalah wilayah tempat pegawai pajak memiliki akses langsung terhadap
wajib pajak. Bentuknya bisa bermacam-macam, sesuai dengan fungsi dan wewenang yang
diatur dalam struktur di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk di direktora keberatan dan
banding pajak. Pada direktorat itu, Gayus dan Dhana bekerja dan ditengarai mengeruk
banyakuang dari para wajib pajak. Direktorat lain yang sama rentannya adalah pada
direktorat pemeriksaan dan penagihan, direktorat intelijen dan penyidikan, serta direktorat
ekstensifikasi dan penilaian. Kesemua direktorat ini membuka akses yang besar bagi pegawai
pajak untuk bertemu langsung dengan wajib pajak. Karena itulah, peluang terjadinya
kongkalikong menjadi lebih besar. Semua direktorat di atas memungkinkan petugas pajak
melakukan ancaman, intimidasi, pemerasan, atau suap-menyuap agar pembayaran pajak
tidak sebesar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bahkan, untuk skandal pajak yang
semestinya masuk ke ranah hukum, oknum petugas pajak dapat menjadikan itu sebatas
persoalan administratif belaka.
Terakhir, restitusi pajak atau pembayaran kembali pajak lebih oleh negara kepada wajib
pajak merupakan celah korupsi yang lain. Pada sektor itu, bukan hanya petugas pajak yang
memiliki otoritas tertentu yang dapat ’’bermain’’, tetapi petugas administrasi juga dapat
menggunakan akses dan pengetahuannya untuk kepentingan memanipulasi restitusi pajak.
Modus yang umum terjadi dalam kasus korupsi restitusi pajak adalah petugas pajak menjadi

konsultan bagi perusahaan tertentu menyediakan bukti-bukti fiktif transaksi jual beli, dan
membantu secara langsung penagihan restitusi pajak kepada negara.
Jika pemerintah ingin serius memberantas mafia pajak, pada sektor-sektor itulah seharusnya
reformasi difokuskan. Caranya, menempatkan aktor-aktor berintegritas untuk menjadi
pengendali utama pada sektor tersebut. Dengan begitu, para petugas pajak yang nakal akan
menemui kesulitan untuk melakukan anti korupsi. Perlu dipahami, korupsi sektor pajak
bukan hanya melibatkan satu dua orang, akan tetapi sudah merupakan organisasi kejahatan
yang harus diputus mata rantainya. Penempatan orang-orang yang berintegritas pada sektor
yang rawan korupsi akan membuka jalan bagi program reformasi birokrasi yang dijalankan
pemerintah
D. Kasus
(Dari Yudi)
Kasus 1
Menjelang berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan Tahun 2011, Bagong,
seorang Account Representative di KPP Antah Berantah kedatangan seorang ibu yang merupakan
Wajib Pajak. Ibu tersebut yang bernama ibu Diana merupakan direktur dari beberapa CV yang
bergerak di bidang penjualan barang-barang elektronika untuk perkantoran. Karena merasa
kesulitan untuk mengisi SPT akhirnya ibu Diana menemui Bagong untuk meminta bantuan.
Bagong menjelaskan kepada ibu Diana bahwa mengisi SPT adalah tugas dari wajib pajak
yang bersangkutan. Account Representative hanya membimbing bagaimana cara untuk
mengisikannya. Tetapi, ibu Diana bersikeras bahwa dirinya tidak dapat mengisinya dan meminta
pertolongan kepada Bagong untuk membuatkan SPT Tahunan, sekaligus juga untuk beberapa badan
usahanya yang lain. Bagong menyarankan kepada ibu Diana untuk menggunakan jasa konsultan
pajak untuk mengelola kewajiban perpajakannya, namun ibu Diana lebih memilih meminta bantuan
Bagong karena lebih percaya terhadap Bagong.
Pada akhirnya, Bagong luluh untuk membantu ibu Diana untuk membuatkan SPT Tahunan
atas badan usaha yang dimilikinya. Bagong merasa membantu ibu Diana dengan tulus, namun
ternyata ketulusan Bagong justru dibalas dengan sepucuk amplop dan senyum indah dari ibu Diana.
Pada kesempatan selanjutnya, ternyata Bagong secara rutin membuatkan SPT baik masa maupun
tahunan dari badan-badan usaha milik ibu Diana.
Kasus 2

KPP Antah Berantah menerbitkan SPPT PBB untuk tahun 2009. SPPT untuk nilai PBB di atas
nominal tertentu seharusnya dibagikan secara langsung oleh pegawai KPP bersangkutan ke Wajib
Pajak. Dalam sebuah kasus, terdapat sebuah objek pajak yang mengalami kenaikan NJOP sehingga
nilai NJOP nya menjadi melebihi satu milyar rupiah. Efek dari kenaikan tersebut adalah nilai jual kena
pajak dari obyek pajak tersebut menjadi dua kali nilai jual kena pajak sebelumnya sehingga nilai PBB
terutang dari obyek pajak tersebut menjadi dua kali lipat nilai PBB terutang tahun sebelumnya.
Wajib pajak atas objek pajak tersebut merasa keberatan atas nilai PBB terutang dan tidak
bersedia menerima SPPT tersebut. Hal ini dimanfaatkan oleh pegawai KPP bersangkutan dengan
menawarkan jasa untuk menguruskan pengurangan PBBnya. Pegawai tersebut berpesan kalau
misalnya wajib pajak tersebut berharap untuk dibantu silakan menghubungi kembali.
Beberapa hari kemudian, wajib pajak tersebut menghubungi pegawai KPP yang
menemuinya. Selain karena ketidaktahuan tentang prosedur dan peraturan perpajakan, wajib pajak
tersebut mempertimbangkan bahwa pastinya proses pengurangan akan lebih cepat apabila
dilakukan lewat pegawai KPP yang menemuinya. Wajib pajak tersebut pada akhirnya setuju untuk
menggunakan jasa pegawai KPP yang menemuinya untuk menguruskan proses pengurangan PBB
atas objek pajak yang dimilikinya.
Kasus 3
Kampret adalah pegawai seksi pengolahan data di KPP Antah Berantah. Tugas Kampret
sehari-hari adalah menginput data-data alat keterangan wajib pajak. Alat keterangan wajib pajak
adalah data-data perpajakan wajib pajak selain yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak.
Data alat keterangan antara lain adalah data yang disampaikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
berkaitan dengan jual beli tanah yang dilakukan orang per orang.
Pada suatu ketika Kampret mendapatkan tugas untuk menginput data-data alat keterangan
dari Tuan Besar. Tuan Besar adalah pengusaha setengah kaya di Kota Antah Berantah yang berusaha
untuk menjadi kaya dengan cara-cara yang curang. Dalam alat keterangan yang diperoleh oleh
Kampret tersebut bahwa Tuan Besar telah melakukan penjualan tanah beserta bangunan rumah
seluas 750 m2 yang diketahui baru tahun lalu selesai dibangun. PPh dan BPHTB atas penjualan tanah
dan rumah tersebut telah ditunaikan, akan tetapi diketahui bahwa PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri yang dilaksanakan oleh Tuan Besar pada tahun lalu belum ditunaikan. Atas kegiatan
membangun sendiri tersebut seharusnya terutang PPN yang wajib ditunaikan oleh Tuan Besar.

Kampret merasa dapat memanfaatkan situasi ini untuk memeras Tuan Besar. Kampret
kemudian menghubungi Tuan Besar untuk membicarakan masalah ini. Kampret menyatakan kepada
Tuan Besar bahwa Kampret akan melakukan pengurangan nilai data alat keterangan yang akan
diinputnya asalkan Tuan Besar memberikan beberapa persen dari keuntungan pengurangan tersebut
kepada dirinya.
Sebab Ketiga Kasus
Ketiga ilustrasi kasus di atas pada dasarnya adalah kejadian-kejadian yang tidak sering terjadi
di DJP setelah modernisasi. Namun, ketiga kasus di atas adalah kasus-kasus yang sangat mungkin
terjadi mengingat sistem yang ada tidak terlalu kuat untuk mencegah. Apabila kesempatan tersebut
datang, dan kedua pihak, pegawai dan wajib pajak setuju, maka kasus tersebut akan sangat mudah
terealisasi.
Kasus pertama terjadi karena kurangnya integritas pegawai. Wajib pajak merasa lebih
menguntungkan apabila dia membayar jasa pegawai daripada menghabiskan waktunya untuk
mengisi atau menggunakan jasa konsultan. Pegawai lain baik rekan sejawat maupun atasan bisa
tidak tahu atau tahu tetapi membiarkan. Pengawasan yang kurang dari rekan serta atasan serta
penegakan disiplin yang tidak tegas merupakan faktor utama terjadinya kasus pertama.
Kasus kedua dan ketiga adalah pemerasan yang dilakukan oleh oknum pegawai. Kasus ini
lebih terjadi karena kurangnya pengetahuan Wajib Pajak atas peraturan perpajakan. Pada KPP
modern di Kota-Kota yang terawasi dengan baik, kasus ini mestinya sudah tidak terjadi lagi. Namun
pada KPP yang jauh dari jangkauan pengawasan, dan dominasi pegawai-pegawai dengan mental
lama masih sangat kental, hal ini sangat mungkin terjadi. Terdapat dua sebab utama dari terjadinya
kasus kedua, yaitu pertama, masih bercokolnya mental-mental jahiliyah pada sebagian pegawai yang
tidak segera dibersihkan dan justru menular ke pegawai yang lain. Sedangkan yang kedua, jauhnya
jangkauan pengawasan pada KPP yang bersangkutan.
Solusi untuk ketiga kasus
Pengawasan pada KPP – KPP di seluruh Indonesia harus diperbaiki. Penyebaran bagian
disiplin setiap KPP bisa jadi langkah yang sangat baik. Pengawasan ini harus juga didukung dengan
penegakan aturan yang tegas. Sistem reward and punishment di DJP juga masih harus diperbaiki.
Sistem reward harus bisa lebih secara langsung mengkorelasikan prestasi dan penghargaan.

Fakta menunjukkan kasus-kasus di atas lebih sering terjadi pada KPP yang jauh dari
pengawasan. Sehingga faktor utama yang mesti diperbaiki adalah perhatian dari DJP terhadap
kantor pelayanannya di seluruh wilayah Indonesia.
(Dari Ian)
KASUS 1
A adalah pejabat penandatangan SPM di KPP X. Dalam pengadaan barang-barang kantor, A memiliki
satu rekanan yang selalu dipilih karena memberikan komisi dari tiap pengadaan tersebut. Apabila
bukan rekanan tersebut yang dipilih, maka A tidak mau menandatangani dokumen SPM, sehingga
dana pengadaan tidak dapat dicairkan dari KPPN. Bendahara di KPP X juga terkena dampaknya ketika
bendahara tahu bahwa pengerjaan dokumen SPM sebetulnya tidak benar, tetapi tidak dapat
menolak karena A adalah atasan langsung bendahara tersebut.
Modus:
1. Partner merupakan usaha perorangan yang memiliki banyak NPWP.
2. Pengadaan selalu dilakukan melalui penunjukkan langsung.
Solusi:
1. Whistleblowing system.
2. Membuat jabatan bendahara menjadi fungsional.
KASUS 2
B adalah seorang pegawai di KPP X. Selain bekerja sebagai pegawai, B juga ternyata memilki usaha
sampingan membantu WP mengisi SPT Tahunan dan menerima komisi dari pekerjaan tersebut.
Modus:

1. Membawa pulang banyak form SPT yang disediakan pelayanan.
Solusi:
1. Whistleblowing system.
(Dari Adit)
Kasus 1
Modus : Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Fiskus mengetahui adanya potensi dari PPN KMS dari KMS yang dilakukan oleh WP. Namun
bukannya membuat himbauan agar WP segera menyetorkan PPN KMS tsb ke kas negara, malah
menawarkan agar WP menyetorkan sejumlah uang kepada fiskus agar KMS ditutupi. Atau tetap
menyetor PPN KMS tapi tidak pada nilai yag seharusnya atas saran fiskus, sebagai gantinya fiskus
mendapat imbalan dari WP.
Kelemahan : Tidak adanya kontrol selain dari KPP terhadap PPN KMS atas KMS yang dilakukan
oleh WP. Walaupun Pemda memiliki unsur pengawasan dalam IMB yang dilakukan WP, namun tidak
hanya sebatas IMB saja. Tidak ada cross check dan pertukaran data KMS antara Pemda dan pihak
DJP di daerah.
Solusi : Adanya pertukaran data secara berkala mengenai KMS yang ada di suatu daerah
antara Pemda dan DJP. Data yang terkumpul akan diadministrasikan oleh Kanwil DJP yang
terintegrasi dengan portal DJP sehingga mampu dimonitor dari Kantor Pusat. Sehingga KMS yang
menjadi potensi harus segera dihimbau oleh tiap AR yang bertanggung jawab terhadap wilayah
kerjanya. Serta nilai KMS yang seharusnya terutang mampu dipastikan keakuratannya dari data yang
diperoleh Pemda.
Kasus 2
Modus : Penagihan Piutang Pajak dengan Surat Paksa oleh JSPN
WP yang mempunyai utang pajak namun tidak melunasi s.d batas waktu yang ditentukan akan
dilakukan penagihan seketika dan sekaligus dengan adanya Surat Paksa. Surat Paksa yang
disampaikan JSPN kepada WP terkadang dimanfaatkan sebagai upaya mengambil keuntungan. JSPN
akan menawarkan kepada WP untuk menitipkan senilai uang untuk melunasi utang pajaknya
tersebut. WP yang tidak mengetahui administrasi penyetoran pajak dan merasa tersudut dengan

ancaman denda dan hukuman biasanya akan dengan mudah tertipu modus tersebut. JSPN akan
mengambil uang dari WP untuk kepentingan pribadi tanpa menyetorkannya ke kas negara. Ataupun
modus lain untuk memperhalus operasi mereka agar dianggap ada bukti pencairan piutang pajak
adalah dengan membuat SSP palsu (kasus di KPP Surabaya ............ ).
Kelemahan : Tanpa adanya pengecekan pencairan kohir piutang pajak antara data KPP dan
Kanwil maupun Kantor Pusat secara berkala yang ditunjang dengan basis data pembayaran seperti
NTPN.
Solusi :
Kasus 3
Modus : Menitip pelaporan SPT Masa oleh WP kepada fiskus
Pada akhir2 pelaporan SPT Masa tiap bulannya sering terjadi penumpukan antrian WP yang akan
melaporkan SPT Masa nya. Karena WP khawatir telat lapor dan akan dikenasi STP, terkadang WP
berupaya agar bagaimana caranya SPT bisa terlapor dengan memperoleh tanda terima. Terkadang
ada petugas yang secara sengaja menampung berkas2 SPT Masa dari WP untuk dikumpulkan dan
berjanji pada WP akan diberikan tanda terima tertanggal hari yang sama dengan imbalan kepada
fiskus tersebut.
Kelemahan : Kurang teraturnya sistem antrian yang ada di TPT, dan kurangnya sosialisasi kepada
WP agar jangan mengantri untuk melaporkan SPT Masa pada hari2 terakhir pelaporan, apalagi untuk
SPT Masa yang sudah diketahui status NIHIL.
Solusi : Memberikan pengertian terus menerus bagi WP untuk melaporkan pada awal2
bulan bagi SPT Masa dengan status NIHIL.
Selain itu juga dengan memberikan batasan pelaporan bai tiap WP ada 9 SPT Masa. Karena logikanya
tiap WP akan membawa 3 set SPT Masa yang akan dilaporkan tiap bulannya, kecuali akan
melaporkan Pembetulan SPT Masa.

Selain itu, memberikan perhatian khusus pada petugas keamanan agar benar2 bertugas
sebagaimana mestinya bukannya malah makin memperkeruh suasana dengan tidak berada di
tempat atau malah bekerjasama dengan petugas yang ‘nakal’ tersebut.
Dilakukan penambahan loket antrian untuk 3 hari terakhir pelaporan SPT Masa sebagaimana Surat
Edaran Dirjen Pajak yang seringkali tidak dilaksanakan.
Reformasi Administrasi
Sejak dilakukanyan pembaruan nasional (tax reform) tahun 1983,pemerintah secara terus menerus
berupaya menyempurnakan sistem perpajakan nasional. Selain dilakukan terhadap kebijakan
perpajakan dan undang-undangnya,perbaikan juga mencakup administrasi perpajakan. Reformasi
yang terus berjalan hingga kini,tetap harus dilaksanakan dan mempertimbangkan beberapa krite-
ria,diantaranya adalah fisibilitas administrasi perpajakan.
Fisibilitas administrasi perpajakan menuntut agar sistem perpajakan yang baik mampu memi-
nimalisasi biaya administrasi (administrasion cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost). Lebih
jauh lagi,administrasi perpajakan harus di integrasikan sebagai bagian dari kebijakan perpajakan
nasional.
Secara teknis,perbaikan administrasi perpajakan dapat dilakukan dengan cara menyederhanakan
sistem dan prosedur perpajakan guna memudahkan para wajib pajak memenuhi kewajiban
perpajakanya,serta mempermudah aparatur pajak dalam melakukan pengawasan. Berdasarkan
penelitian dapat diketahui bahwa sistem administrasi perpajakan yang baik ternyata cukup berperan
dalam meningkatkan laju penerimaan pajak dan mencegah praktek korupsi.
Dalam rangka reformasi perpajakan,DJP mencanangkan program PINTAR (Project for Indonesian Tax
Administration Reform),yang pada intinya adalah melakukan penyempurnaan dari information
technology (IT) overhaul untuk tax administration.
Sejatinya program PINTAR bertujuan untuk menerapkan pengawasan yang komprehensif sehingga
bisa memperbaiki proses bisnis,memaksimalkan efisiensi sumber daya manusia dan meningkatkan
kinerja. Program ini sudah dimulai tahun 2010 dan berakhir di tahun 2014 tapi manfaatnya belum
dirasakan secara maksimal oleh masyarakat.

(i) Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuhkan jangka waktu
yang panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai
tahapan tersebut baru dimiliki oleh Departemen Keuangan. Rezising dalam struktur
organisasi dan golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan
beberapa kondisi yang terjadi di internal Departemen Keuangan. Peningkatan
renumerasi yang kemudian diterima di Departemen Keuangan diikuti dengan perbaikan
SOP dan peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui
sendiri oleh Menteri Keuangan, berapa pun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai
di Departemen Keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup
karena begitu banyaknya godaan-godaan atau pun tawaran-tawaran suap yang berpuluh
bahkan beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun
setidaknya dengan kenaikan gaji tersebut tidak ada alasan bagi pegawai di Departemen
Keuangan untuk melakukan korupsi akibat desakan
(ii) http://www.setneg.go.id/index.php?
Itemid=219&id=2259&option=com_content&task=viewekonomi (Corruption by needs).
E. Sebab Korupsi di Direktorat Jenderal Pajak
Sila klik link berikut untuk referensi ya:
http://www.scribd.com/doc/71137253/Contoh-Kasus-Pajak
http://www.docstoc.com/docs/20335241/1-Pola-Pola-Korupsi-di-Dirjen-Pajak-Korupsi-Sistemik-
Dalam
http://adhiecn.blogspot.com/2011/02/korupsi-yang-terjadi-di-bidang-pajak.html
http://gsetiyaji.files.wordpress.com/2007/09/jurnal-ekonomi-indonusa.pdf
F. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Direktorat Jenderal Pajak

1. Perbaikan sistem mutasi
Tidak boleh ada pegawai yang menempati pos yang sama lebih dari dua tahun,
mencegah dia membuat “jaringan”, saya ambil contoh jika dia dua tahun di bagian pelayanan di
kota yang sama,dia “bisa” akrab dan “memelihara” WP, dan bisa jadi “konsultan pajaknya” WP.
2. Pengendalian Internal yang efektif
Penerapan pakta integritas bagi seluruh pegawai, dengan mengucapkan sumpah untuk
bekerja secara profesional dan secara moral rela mengundurkan diri bila di kemudian hari
terbukti menyimpang dari ketentuan yang berlaku; memperkenalkan layanan satu atap satu
pintu (one stop services) dengan menyederhanakan prosedur layanan, mengedepankan
transparansi melalui pengumuman persyaratan, dan besarnya biaya pengurusan baik dalam
lingkup perizinan maupun yang bukan perizinan serta waktu penyelesaian yang cepat dan batas
waktu yang jelas
3. Whistle-blowing
Membuka saluran khusus (hot line atau semacam online monitoring system khusus
mafia pajak) untuk menampung informasi dari masyarakat terkait mafia pajak. Di samping itu,
KPK/ Satgas harus pro aktif mengkampanyekan komitmennya dalam memberantas mafia pajak
dengan harapan banyak whistleblower yang memberikan informasi atau minimal bisa mendidik
masyarakat untuk lebih aware. Mekanisme perlindungan dan penghargaan
kepada whistleblower yang memberikan informasi penting juga perlu dipersiapkan.
4. Reward and Punishment
Pemberian tunjangan kinerja, yakni pemberian uang tambahan yang didasarkan prestasi
kerja bagi setiap individu pegawai. Sumber dana yang dapat digunakan adalah melalui
penghapusan semua honor dan memberlakukan pemberian satu honor menyeluruh kepada
pegawai yang didasarkan pengukuran atas prestasi kerja; melakukan Analisis Jabatan dan
Evaluasi Jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta
jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan,
persyaratan/kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai; (ii) review
ketatalaksanaan (business process) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih
efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (iii) penilaian

(assesment) status dan kebutuhan SDM; (iv) penetapan Key Performance Indicator (KPI) setiap
jabatan atau unit kerja; dan (v) perumusan besaran remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang,
dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam rangka penegakan reward & punishment.
5. Carrot and stickPendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang
penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi,
namun sering kali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakkan disiplin
aparatur, khususnya dalam hal ini adalah aparatur perpajakan. Dengan pendekatan
kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur perpajakan tidak
diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya.
Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu memberikan
garansi perilaku yang positif para aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Jika
penghasilan (carrot) sudah dipenuhi secara manusiawi, maka penegakan hukum (stick) juga
wajib dilakukan secara tegas dan konsisten.
Pendekatan stick diharapkan akan menimbulkan efek jera yang hebat pada
para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat
keberhasilan yang diakui. Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan
sektor adalah menyangkut reformasi birokrasi.
6. Pemutihan7. Pembuktian terbalik
(iii) http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=219&id=2259&option=com_content&task=viewekonomi (Corruption by needs).
Kesimpulan

Kondisi DJP : Faisal
Modus : Yudi
Kasus : Adit
Sebab : Rina
Solusi : Iryan
Moderator : Defi
Powerpoint : Adit
Compile+print : Rina
Tambahan dari Faisal
Penyebab maraknya kasus korupsi di Direktorat Jenderal Pajak didukung oleh beberapa hal, yakni adanya kesempatan yang mendorong pegawai pajak untuk menggunakan jabatan atau kewenangannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, Undang-undang perpajakan yang tidak sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi, tidak adanya reward and punishment, serta kurangnya pengawasan terutama di daerah luar Jawa.
Ada beberapa modus dalam kasus korupsi yang sering terjadi dalam DJP. Pertama, jual beli lahan basah oleh bagian kepegawaian. Dalam hal ini pegawai pajak membayar kepada bagian kepegawaian agar ditempatkan pada posisi jabatan yang mendatangkan uang. Biasanya dilakukan oleh pegawai yang memiliki watak serakah. Sekalipun sudah mendapatkan gaji dan tunjangan yang cukup besar, tetapi masih saja mencari uang tambahan yang tidak halal. Hal ini juga dilakukan oleh pegawai pajak yang tidak mau terlempar ke “lahan kering” ataupun ke kantor pelayanan pajak yang berada nun jauh disana. Biasanya pegawai pajak menyuap ke bagian kepegawaian agar tidak dimutasi/dipindahkan dari posisi dan tempat bekerjanya selama ini. Atau sekalipun harus dipindahkan, agar dipindahkan ke tempat yang diinginkannya.
Modus yang berikutnya adalah praktik pemerasan oleh pegawai pajak kepada wajib pajak. Hal yang lazim terjadi adalah ketika pegawai pajak meminta sejumlah “uang lelah” untuk jasa pengurusan administrasi perpajakan. Biasanya agar pengurusan administrasi perpajakan lebih cepat selesai pegawai pajak meminta sejumlah uang kepada wajib pajak. Karena wajib pajak sangat membutuhkan administrasi perpajakan yang diurusnya, maka mau tidak mau wajib pajak akan

memberikan uang kepada petugas pajak. Contohnya adalah ketika wajib pajak yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi datang ke kantor pelayanan pajak untuk meminta Surat Keterangan Fiskal. Surat ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh kontraktor agar dapat ikut lelang tender di pemerintahan. Apabila kontraktor tidak memiliki surat keterangan fiskal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak maka tidak dapat mengikuti lelang tender. Karena kontraktor sangat membutuhkan Surat Keterangan Fiskal secepatnya, maka biasanya petugas pajak meminta sejumlah uang agar pengurusannya bisa dipercepat.
Modus yang lainnya adalah negosiasi antara pegawai pajak dengan Wajib Pajak yang saling menguntungkan. Modus ini biasanya dilakukan oleh Wajib Pajak yang meminta pengurangan besarnya pajak yang harus dibayarnya dengan membayar sejumlah uang kepada petugas pajak untuk memanipulasi data SPT nya. Selain itu negosiasi juga dilakukan oleh Wajib Pajak yang mengajukan keberatan, agar keberatannya diterima maka sejumlah uang dikeluarkan untuk menyuap petugas pajak. Adanya peraturan perpajakan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang kalah dalam banding di pengadilan pajak juga membuat Wajib Pajak mau tidak mau harus memenangkan kasusnya. Hal itu dilakukan dengan melakukan negosiasi dengan petugas pajak, agar memenangkan kasusnya di pengadilan pajak.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, Direktorat Jenderal Pajak sudah melakukan upaya reformasi birokrasi seperti remunerasi pegawai pajak dan online payment. Akan tetapi hal itu dirasa belum cukup untuk mengatasi permasalahan yang tergolong pelik ini. Selain upaya tersebut perlu dilakukan upaya-upaya lain seperti pemberian reward and punishment agar mendorong pegawai pajak untuk berprestasi dan bagi pegawai yang melakukan kesalahan harus dihukum tidak hanya dengan pasal-pasal KUHP tetapi juga dengan pasal berlapis agar memberikan efek jera. Upaya yang juga perlu dilakukan adalah perbaikan peraturan-peraturan perpajakan agar konsisten satu dengan yang lain tidak saling bertentangan dan juga tidak memberatkan bagi Wajib Pajak. Selain itu, kesadaran untuk tidak memberikan suap terhadap pegawai pajak juga perlu terus disosialisasikan. Hal ini, misalnya, dapat diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala Dinas, pengusaha, dan Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, seluruh pemangku kepentingan juga harus memperhatikan dan melakukan pengawasan terhadap praktik pungutan pajak, bukan hanya penggunaan pajak.