tugas internas kedelai
-
Upload
bara-rizqia-permana -
Category
Documents
-
view
197 -
download
0
description
Transcript of tugas internas kedelai
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dibukanya suatu perekonomian terhadap hubungan luar negeri mempunyai
konsekuansi yang luas terhadap perekonomian dalam negeri. Konsekuensi ini
menyangkut aspek ekonomis dan non ekonomis yang dapat bersifat positif maupun
negatif. Terdapat dua konsekuensi penting dari perdagangan yaitu:
1. Adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade) seperti yang dicerminkan
oleh pergeseran keluar dari garis CPF (atau pendapatan riil).
2. Adanya kecenderungan ke arah spesialisasi dalam produksi barang-barang
yang memiliki keunggulan komparatif.
Pengaruh ekonomis perdagangan terhadap perekonomian dalam negeri dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Pengaruh pada konsumsi masyarakat (consumption effect)
2. Pengaruh pada produksi (production effect)
3. Pengaruh-pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat (distribution effect)
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas pengaruh perdagangan
terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan studi kasus komoditas
kedelai. Saat ini, total kebutuhan kedelai RI mencapai 2,3-2,5 juta ton setiap tahun.
Padahal jumlah produksi kedelai RI saat ini hanya sekitar 800.000 ton per tahun.
Dengan demikian, untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, pemerintah
harus impor. Untuk bisa menargetkan swasembada kedelai pada 2014, pemerintah
menargetkan bisa mengakuisisi lahan baru sekaligus bisa ditanami kedelai seluas
350.000 hektar.
Selain minimnya lahan untuk penanaman kedelai di dalam negeri, lonjakan
harga kedelai menurut Institute for Development of Economic and Finance (INDEF)
diduga kuat berasal dari praktik kartel. Salah satu pemicu praktik kartel adalah
telatnya Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan
2
(Kemendag). Selain itu, mata uang rupiah yang melemah menginjak angka Rp
11.334,00 akibat inflasi kenaikan harga BBM menjadi salah satu penyebab
melambungnya harga kedelai mengingat Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah
yang besar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kondisi krisis kedelai yang terjadi di Indonesia?
2. Kendala dan masalah apa sajakah yang terdapat dalam sistem komoditas
kedelai di Indonesia?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi volume impor kedelai di
Indonesia?
4. Bagaimanakah peranan kedelai di Indonesia?
5. Bagaimanakah solusi untuk mengatasi masalah impor kedelai yang
berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kondisi krisis kedelai yang terjadi di Indonesia
2. Untuk mengetahui kendala dan masalah yang terdapat dalam sistem komoditas
kedelai di Indonesia
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor kedelai di
Indonesia
4. Untuk mengetahui peranan kedelai di Indonesia
5. Untuk mengetahui solusi dalam mengatasi masalah impor kedelai yang ada di
Indonesia
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Krisis Kedelai yang terjadi di Indonesia
Dalam empat tahun belakangan ini tercatat tiga kali terjadi lonjakan harga
kedelai. Setiap krisis tersebut, solusi jangka pendek menjadi senjata penenang.
Persoalan mendasar untuk mewujudkan swasembada kedelai tidak pernah diwujudkan
dan selalu menjadi slogan para elit negeri ini.
Tekad dan janji pemerintah agar 2014 bisa tercapai swasembada kedelai bakal
menjadi slogan dan isapan jempol belaka. Sebagaimana beras, jagung, gula, garam,
ikan, serta buah-buahan tropis lainnya, kedelai pun bernasib sama dengan sejumlah
janji tanpa solusi. Hampir setiap tahun persoalan yang sama terus berulang. Untuk
krisis kedelai, tercatat pada Januari 2008 dan Februari 2011 juga pernah terjadi
lonjakan harga akibat pasokan yang menipis. Hal tersebut terjadi lagi pada tahun
2013. Ketidakberdayaan negara atas pasar menjadi persoalan mendasar yang
berdampak pada ketergantungan impor dan fluktuasi harga.
Melonjaknya harga kedelai akibat pasokan yang terbatas (kartel dan rupiah
yang melemah) menjadi bukti bahwa berbagai program dan upaya yang dirancang
beberapa tahun lalu tidak efektif. Lonjakan harga kedelai yang berakibat pada
meningkatnya biaya produksi tahu dan tempe tersebut sebenarnya sudah berulang kali
terjadi. Selama lonjakan itu pula, belum pernah ada solusi tepat dalam produksi dan
tata niaga untuk mengatasi lonjakan harga kedelai. Ketergantungan Indonesia pada
kedelai impor sangat tinggi.
Konsumsi kedelai di Indonesia dalam setahun mencapai 2,25 juta ton,
sementara jumlah produksi nasional mampu memasok kebutuhan kedelai hanya
sekitar 779 ribu ton. Kekurangan pasokan sekitar 1,4 juta ton, ditutup dengan kedelai
impor dari Amerika Serikat (Kemendag, 2013). Kemudian, impor dari Malaysia
120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.
Anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan menyebabkan pasokan
kedelai pun turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu
ke-3 Juli 2012 mencapai 622 dolar AS per ton atau Rp 8.345 per kilogram (kg) untuk
harga impor di dalam negeri.
4
Pemerintah melalui Perum Bulog melakukan impor kedelai dengan mengacu
pada Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden
RI pada 8 Mei 2013. Dalam jangka pendek, impor diharapkan mampu menjaga
stabilitas harga kedelai, dan membatasi munculnya spekulan.
Problem mahalnya harga kedelai dalam sepekan yang menembus kisaran Rp
9.000 per kilogram (kg), membuat para pengrajin tahu dan tempe terancam
menghentikan produksinya. Sejumlah media massa memberitakan bahwa di beberapa
daerah banyak pengrajin tahu dan tempe mengeluhkan tingginya harga kedelai.
Mereka menggantungkan pada tempe sebagai bahan baku produksi tahu dan tempe.
Untuk tetap bertahan, mereka melakukan berbagai strategi, misalnya dengan
memperkecil ukuran dan volume hingga mencapai 50% dari biasanya.
Untuk produksi, sekalipun banyak janji ada jutaan hektare (ha) lahan terlantar,
Indonesia selalu kesulitan dalam ekspansi lahan sampai pada tingkat pemanfaatan.
Dalam rencana kerja Kementerian Pertanian, untuk mencapai swasembada kedelai
pada 2014, maka produksi harus mencapai 2,7 juta ton. Namun, upaya swasembada
ini masih terkendala masalah lahan. "Swasembada kedelai memerlukan tambahan
lahan minimal 500 ribu ha," kata Menteri Pertanian Suswono. Ioronisnya, rencana
tambahan lahan yang pernah digagas dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun
tak pernah terwujud.
Selain perluasan lahan, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi
kedelai dengan sistem tumpang sari dengan potensi lahan setara 200 ribu ha. Selain
perluasan lahan, Kementerian Pertanian juga mengupayakan peningkatan
produktivitas dari 1,3 ton per ha menjadi 1,54 ton per ha, pemberian bantuan benih
unggul, meningkatkan penggunaan pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu
tanaman.
Jika melihat kenyataannya, hampir semua rencana tersebut tidak berjalan
optimal. Bahkan, ada beberapa rancangan program tidak pernah terealisasi dan hanya
menjadi bahan kampanye rutin untuk menghibur para calon pemilih. Ironisnya lagi,
rakyat Indonesia seakan “buta” atas manipulasi tersebut dan tidak pernah memberikan
sanksi terhadap keasalahan yang dilakukan para pemimpin negara ini.
Saat ini, jika berbicara soal kedelai pada tingkat petani, maka minat budidaya
sangat rendah. Petani lebih memilih padi dan jagung dibandingkan kedelai yang
minim insentif dan sulit dalam pemasarannya. Sebenarnya, faktor harga jual yang
rendah pun menyebabkan petani enggan untuk menanam kedelai. Untuk itu, ketika
5
harga kedelai melonjak justru lebih banyak disuarakan oleh para konsumen dan
produsen tahu serta tempe.
Sebaliknya, petani justru berharap pada harga yang layak dibandingkan
dengan rata-rata Rp 5.000 per kg di tingkat petani saat ini. Berbagai faktor yang
kurang menunjang peningkatan produksi tersebut adalah akibat dari dibukanya keran
impor kedelai sejak satu dekade silam. Indonesia pernah swasembada kedelai pada
1992 dengan proteksi. Tetapi setelah krisis moneter 1998, Dana Moneter Internasional
(IMF) mendikte Indonesia agar tidak memberikan proteksi kepada kedelai.
Dengan konsumsi kedelai dalam negeri yang mencapai 2,25 juta ton per tahun,
hal itu menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan. Dalam letter of intent
(LoI) IMF, proteksi impor yang selama ini dipegang Badan Urusan Logistik (Bulog)
harus dihapuskan sehingga impor bisa masuk. Awalnya, kemampuan impor kedelai
Indonesia tidak terlalu besar karena kapasitas finansialnya terbatas, sedangkan
produksi kedelai di negara-negara produsen berlimpah.
Sejak awal pintu impor dibuka, banyak fasilitas kredit ekspor yang diperoleh
eksportir negara-negara produsen yang bekerja sama para importir lokal. Negara-
negara tersebut memberi pinjaman tanpa bunga kepada Indonesia untuk impor
kedelai, sehingga kemudian bisa dipasarkan di dalam negeri. "Seharusnya kita curiga
kenapa bisa pinjam tanpa bunga.
Padahal bunga deposito saat itu mencapai 50-60% dan paling rendah 30%.
Akibatnya, saat ini 70% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Kalau
pemerintah dan pengusaha sudah akrab, apapun bisa terjadi," kata Guru Besar
Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum dalam rapat dengar pendapat umum
dengan Komisi IV DPR di Jakarta, pada pertengahan Februari 2012 lalu.
Sejumlah importir yang tadinya menikmati berbagai fasilitas kredit ekspor itu
pun semakin lama berkembang dengan akumulasi modal yang terus bertambah.
Secara bersamaan, kebijakan pemerintah tidak pernah dirancang untuk kepentingan
jangka panjang sehingga menjadi kesempatan bagi para importir. Setiap ganti rezim
dengan ganti menteri akan diikuti dengan program yang berganti-ganti. “Kondisinya
akan semakin parah ketika program-program kementerian lebih berorientasi untuk
kepentingan konstituen dan partai politik pendukungnya. Jangan heran jika Indonesia
sulit mewujudkan kedaulatan pangan. Kalaupun tidak ada korupsi, program-program
pembangunan pertanian diarahkan untuk kepentingan tertentu,” kata Direktur
6
Eksekutif Institute for Sustainable Agriculture and Rural Livelihood (Elsppat) Daniel
Mangoting.
Dengan berbagai kondisi di atas, tidak heran jika lahirlah sejumlah miliarder
hanya dengan impor kedelai. Segelintir importir tersebut menjadi sedemikian kuat
sehingga sulit untuk dikendalikan karena menguasai sekitar 60% pasokan kedelai.
Belakangan, para importir itu dicurigai sebagai kartel di belakang gejolak harga
kedelai akhir-akhir ini.
Importir kedelai yang tedaftar di Kementerian Perdagangan tercatat lebih dari
70 perusahaan. Namun, hanya nama-nama tertentu yang menjadi penentu pasok
dalam skala besar. Informasi yang diperoleh SP menyebutkan sejumlah importir besar
tersebut, seperti PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Sekawan
Makmur Bersama, PT Teluk Intan, PT Sungai Budi dan PT Gunung Sewu. Upaya
SP mengkonfirmasi para importir tersebut belum bisa dilakukan sehingga tidak ada
penjelasan yang lebih rinci. Kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat, Brasil, dan
Argentina tercatat antara 200 ribu ton hingga 500 ribu ton untuk setiap perusahaan.
Dugaan kartel tersebut sebenarnya masih harus dicari bukti obyektifnya.
Namun, jika seorang Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saja sudah
mengatakan, “jangan ada praktik kartel dalam kedelai impor”, itu berarti
menunjukkan adanya indikasi kartel tersebut. SBY meminta media bersama-sama
lembaga swadaya masyarakat membantu pemerintah melakukan pengawasan atas
bisnis kedelai.
Kartel juga dirasakan para perajin tahu dan tempe yang meminta pemerintah
menghapus dugaan praktik itu dalam impor kedelai. Pemerintah dituntut mengawasi
importir kedelai agar mau bersikap transparan. Namun, mampukah negara melawan
kartel? Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat ada 3
perusahaan atau importir yang menguasai stok kedelai di Indonesia. Ketiga
perusahaan tersebut menguasai 66% stok kedelai di pasar dalam negeri yang
menyebabkan harga tidak stabil. Ketiga perusahaan tersebut antara lain:
1. PT FKS Multi Agro dengan 210.600 ton atau 46,67%.
2. PT Gerbang Cahaya Utama dengan 46.500 ton atau 10,31%.
3. PT Budi Semesta Satria dengan 42.000 ton atau 9,31%.
Sejauh ini harus diakui bahwa hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang
menyentuh persoalan tata niaga kedelai yang pada praktiknya hanya dikuasai
7
segelintir orang. Menurunkan dan menaikkan bea masuk (BM) hanyalah cara jangka
pendek untuk mensiasati situasi darurat. Setelah itu, pemerintah kembali berkutat
pada program peningkatan produksi. Praktik kartel yang sudah diketahui banyak
kalangan elit bangsa ini, termasuk DPR pun, nyaris tidak mampu dicarikan solusinya.
Pola yang mirip ada pada impor beras, gula, garam, dan produk impor lainnya.
B. Kendala dan masalah sistem komoditas kedelai di Indonesia
Kedelai dikenal sebagai makanan rakyat karena selain merupakan sumber
protein nabati paling menyehatkan, kedelai juga dikenal murah dan terjangkau oleh
sebagian besar rakyat. Rakyat mengolah kedelai menjadi berbagai produk pangan
seperti tempe, tahu, tauco, kecap, susu, dan lain-lain, permintaan kedelai pun naik
setiap tahun.
Ketika produksi kedelai dalam negeri dari tahun ke tahun tidak mengalami
peningkatan berarti sehingga tercipta ketergantungan akan kebutuhan kedelai impor.
Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi harga kedelai dalam negeri terhadap
fluktuasi harga kedelai internasional. Karena itu ketika harga kedelai di pasaran
internasional meroket akibat persoalan kedelai di negara produsen, maka berdampak
pada melambungnya harga kedelai di pasar dalam negeri sampai tak lagi masuk akal.
Menteri Pertanian bahkan menegaskan bahwa problem kedelai di Indonesia
saat ini masih mengandalkan kedelai impor dari Amerika terutama untuk produksi
tahu tempe dan karena terbatasnya ketersediaan lahan untuk menanam kedelai.
Bahkan diberitakan bahwa kondisi import kedelai mengalami permasalahan terkait
dengan penurunan produksi kedelai Amerika karena mengalami kegagalan panen
akibat iklim/cuaca buruk. Pernyataan ini dikuatkan dengan fakta empiris bahwa
komoditas pertanian termasuk didalamnya kedelai sangat rentan dengan perubahan
iklim/cuaca karena perubahan jumlah bulan basah/lembab berpengaruh positif
terhadap produksi kedelai.
Dalam enam tahun terakhir, luas area kedelai menurun sekitar 0,04 persen.
Adapun lahan yang mampu ditanami kedelai tidak lebih dari 90 ribu hektare. Dengan
begitu, ada kompetisi penggunaan lahan dan konversi lahan dari kedelai ke komoditas
lain. Akibatnya, suplai dan demand jadi tidak imbang. Selain itu yang menjadi
permasalahan di Indonesia bukan hanya lahan tanam kedelai yang minim, namun pola
konsumsi yang mempengaruhi besarnya impor kedelai. Saat ini konsumsi kedelai per
tahun mencapai 2,5 juta ton, dan produksi nasional hanya mencapai 600-800 ton.
8
Tidak hanya itu, produksi kedelai semakin menurun karena harga kedelai rendah
sehingga membuat petani kedelai tidak bergairah untuk menanam kedelai. Namun,
produksi kedelai nasional selama kurun waktu tahun 2010-2012 sangat menurun
bahkan minus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan daerah sentra produksi
kedelai seperti Aceh dan Lampung juga mengalami penurunan produksi.
Meski produksi kedelai pada tahun 2013 agak naik, tetapi pertumbuhannya
tidak terlalu tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketersediaan
kedelai pada 2013 diramalkan akan minus 1,113 juta ton, padahal kebutuhan kedelai
nasional tahun 2013 sebesar 1,96 juta ton. Persoalan semakin bertambah saat
pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat. Karena lahan kedelai yang tetap, dan
produksi yang tidak meningkat cukup tinggi sehingga kita harus impor.
Namun impor kedelai bukan berarti selesai. Persoalan kembali muncul yaitu
saat nilai tukar dolar AS naik turun dan merembet ke devisa negara. Sehingga kita
harus mengatur supaya produksi kedelai ditingkatkan melalui luas panen dan
produktivitas. Dua-duanya harus meningkat untuk pencapaian produksi.
Kendala-kendala pokok dalam sistem komoditas kedelai di Indonesia
(Soybean commodity system in Indonesia) berkaitan dengan produksi dalam negeri.
Dengan cara budidaya kedelai yang masih belum sempurna pada waktu penelitian
dilakukan tidak dapat diharapkan terjadinya peningkatan hasil yang besar.
Rekomendasi studi menunjukkan perlunya memperhitungkan keragaman budidaya
kedelai di berbagai daerah dan perlunya perbaikan cara budidaya kedelai yang
diterapkan petani.
Terdapat pula temuan secara teknis perlunya penanggulangan dan
pengendalian serangan hama dan penyakit karena terdapat interaksi antara serangan
hama dan penyerapan hara, respon tanaman terhadap pemupukan dan keadaaan hara
mikro yang membutuhkan penelitian dengan bekerjasama melalui lembaga penelitian
nasional dan regional. Permasalahan lain yang ditemukan dalam studi yaitu perlu
penelitian khusus mengapa kedelai tidak diadopsi dalam pola tanama sebagian petani
di daerah yang sesungguhnya cocok dan sesuai untuk produksi kedelai.
Selain itu kendala yang dihadapi oleh Indonesia mengenai sistem komoditas
kedelai yaitu tata niaga kedelai di Indonesia yang saat ini tergolong bobrok. Ini
dikarenakan arus perdagangan komoditas ini masih dikuasai mekanisme kartel oleh
para importir kedelai sehingga menyulitkan pengembangan pertanian kedelai lokal.
Saat ini bisnis kedelai dikuasai 14 importir yang memegang surat persetujuan impor
9
dan mekanismenya mengarah ke sistem kartel. Bisnis kedelai impor berkembang
seiring makin menyusutnya lahan tanaman kedelai.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi memprediksi harga kedelai
akan naik lagi beberapa bulan mendatang. Indonesia masih mengimpor kedelai yang
harganya dipengaruhi kurs dolar AS. Selain itu, produksi kedelai AS juga sedang
kurang baik sehingga yang dilepas ke pasar dunia akan berkurang.
C. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Kedelai Indonesia
Pertanian merupakan sektor yang berperan besar dalam pertumbuhan
ekonomi, terutama bagi Indonesia sebagai negara agraris. Selain berperan dalam
pembangunan nasional melalui pembentukan PDB ( Produk Domestik Bruto ),
pertanian juga berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan
masyarakat, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor dan penciptaan
ketahanan nasional serta dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi bagi
pelaksanaan pembangunan sektor lain. Namun kenyataaannya Indonesia kerap
mengalami krisis pangan, seperti krisis kedelai yang baru dialami pada bulan
September 2013. Saat ini harga kedelai impor naik dari Rp 6000 per kilogram menjadi
Rp 10.000 per kilogram, kenaikan harga ini disebabkan oleh depresiasi Rupiah
terhadap dolar AS yang naik dari kisaran 9700 menjadi kisaran 11. 600 per dolar AS
yang berdampak pada kenaikan harga kedelai di Indonesia naik.
Selain itu salah satu faktor pemicu melambungnya harga karena
kecenderungan terjadinya monopoli dan kartel dalam tata niaga kedelai. Itu mengacu
pada diterbitkannya surat persetujuan impor (SPI) kedelai dari pemerintah pada 28-30
Agustus 2013 menunjukkan ada 14 perusahaan yang memperoleh persetujuan
sebagai importir terdaftar. Total kuota impor yang disetujui 450.900 ton dari total
kuota yang diajukan 886.200 ton.
Dari total kuota yang disetujui, terdapat tiga importir yang mendapat kuota
terbesar, yaitu PT FKS Multi Agro sebanyak 210.600 ton (46,71%), PT Gerbang
CahayaUtama sebanyak 46.500 ton (10,31%), dan PT Budi Semesta Satria sebanyak
42 ribu ton (9,31%). Dari data tersebut, terlihat ada satu perusahaan yang memegang
pangsa terbesar (cenderung monopoli). Dan dari kuota impor kedelai dari tiga
perusahaan tersebut mencapai 66,33%, kondisi ini cenderung membentuk kartel.
Sedangkan perusahaan lainnya, yaitu kelompok impor ke dua sebanyak empat
perusahaan yang mengantungi persetujuan impor 4-5%. Kelompok impor ke tiga ada
tiga perusahaan yang mendapat persetujuan impor 2-3%. Kelompok impor ke empat
10
terdapat tiga perusahaan yang memperoleh persetujuan kuota kedelai masing-masing
0,6%, sebesar 1,11%, dan 1,89%. Sementara Perum Bulog hanya mengantungi
persetujuan kuota impor 20 ribu ton (4,44%).
Di lain sisi, kebutuhan kedelai tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal, maka
yang terjadi adalah krisis kedelai. Akibat dari lonjakan harga kedelai ini, pangan
berbahan dasar kedelai menjadi sangat langka. Hal ini menyebabkan keresahan bagi
masyarakat terutama bagi para pengelolah kedelai, seperti pengrajin tempe dan tahu.
Untuk mengatasi masalah ini pemerintah memilih cara mengimpor kedelai karena
jumlah produksi kedelai lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional.
Ketergantungan impor kedelai ini dapat dilihat sebagai pengaruh adanya liberalisasi
pertanian. Padahal, liberalisasi menurut konsep neoliberalisme bertujuan untuk untuk
efektifitas dan efesiensi dalam pemenuhan kebutuhan, oleh karena itu pemerintai
tidak boleh banyak campur tangan terhadap urusan ekonomi dan harus menyerahkan
urusan tersebut kepada pasar. Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor dapat
mengancam produksi kedelai lokal padahal kedelai merupakan bahan pangan yang
tergolong sangat penting di negara ini.
Adanya liberalisasi pertanian bertujuan untuk efesiensi dan efektifitas dalam
pemenuhan kebutuhan pangan. Namun yang terjadi di Indonesia adalah
ketergantungan terhadap impor kedelai, sehingga tidak ada upaya untuk
meningkatkan produksi dan daya saing kedelai nasional, padahal kedelai merupakan
bahan pangan yang tergolong sangat penting di negara ini. Ketergantungan impor
kedelai dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal. Apakah karena adanya
liberalisasi pertanian maka Indonesia ketergantungan impor atau karena memang
kenyamanan pemerintah untuk terus mengimpor kedelai dalam upaya memenuhi
kebutuhan kedelai nasional.
Ada dampak positif dan negatif yang diciptakan perdagangan internasional.
Dampak positif dari adanya perdagangan internasional yaitu negara pengekspor bisa
memasarkan barang atau jasanya dan negara pengimpor bisa mendapatkan barang dan
jasa yang dibutuhkan. Demikian pula dampak yang di timbulkan dari impor kedelai
Indonesia, kebutuhan kedelai di Indonesia jadi dapat terpenuhi berkat impor kedelai.
Meskipun dengan mengimpor kedelai, kedelai lokal menjadi tertekan produksinya,
namun karena impor kedelai juga kebutuhan kedelai nasional dapat terpenuhi dan
tidak mematikan usaha pengrajin pangan berbahan dasar kedelai seperti tahu dan
tempe. Namun impor kedelai yang dilakukan oleh Indonesia selama ini bukan
11
menciptakan kedelai lokal yang lebih kompetetif melainkan sebuah kelesuan dalam
produksi karena tingginya kebutuhan pangan ini menuntut kemandirian Indonesia
untuk tidak lagi bergantung pada impor kedelai. Karena peningkatan kebutuhan
kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan
meningkatnya konsumsi kedelai terutama dalam bentuk olahan dan tumbuhnya
industri pakan ternak. Lemahnya produksi Indonesia terhadap bahan pangan tersebut
menyebabkan negara ini terus mengimpor kedelai sebagian besar dari Amerika
Serikat lalu sisanya dari Brazil dan Cina.
Tabel 1 Jumlah Impor Kedelai dari Tahun 2002 – 2011
No Tahun Jumlah Impor
1. 2002 1.370.778
2. 2003 1.140.000
3. 2004 1.350.000
4. 2005 1.110.292
5. 2006 1.143.785
6. 2007 1.089.898
7. 2008 1.200.000
8. 2009 1.300.000
9. 2010 1.700.000
10 2011 2.087.986
12
Sumber : BPS dalam Kompas, 2012
Berdasarkan tabel 1 di atas bahwa pada tahun 2002 Indonesia mengimpor
kedelai sebesar 1.370.778 ton dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2003 yatu
sebesar 1.140.000 ton. Pada tahun 2004, impor kedelai sebesar 1.143.785 ton dan
tahun 2007 sebesar 1.089.898 ton. Mulai pada tahun 2007 sampai 2011 impor kedelai
semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008 impor kedelai sebesar
1.200.000 ton, meningkat menjadi 1.300.000 pada tahun 2009, meningkat lagi pada
tahun 2010 menjadi 1.700.000 ton, dan puncaknya dari 10 tahun terakhir ini pada
tahun 2011 jumlah impor menvapai 2.087.986 ton. Sebagian besar impor kedelai
tersebut berasal dari negara maju dan paling didominasi oleh Amerika Serikat yang
mencapai 50 % tiap tahunnya.
D. Peranan Kedelai Di Indonesia
Penguatan dollar di tahun 2013 berimbas kepada kenaikan harga kedelai saat
ini, karena produksi dalam negeri kurang dan Indonesia harus melakukan impor
kedelai dimana biaya impor ikut naik akibat penguatan dollar tersebut. Padahal
kedelai memiliki peranan yang sangat besar bagi perekonomian maupun pangan di
Indonesia. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengungkapkan, proyeksi
capaian produksi kedelai 2013 ini adalah 850 ribu ton. Jumlah tersebut meleset 750
ribu ton dari target produksi kedelai 2013 yang ditetapkan target produksi kedelai
2013 sesungguhnya 1,5 juta ton.
Pada tahun 2007-2008 beberapa industri pengolahan kedelai mengalami
kekurangan bahan baku. Pada saat itu sebagian industri pengolahan yang berbahan
baku kedelai terpaksa mengurangi produksinya, mengurangi sebagian tenaga kerja
dan bahkan ada pula yang terpaksa gulung tikar. Tercatat pada 2007 produksi sangat
anjlok menjadi 600.000 ton. Padahal Indonesia pernah memproduksi kedelai hampir 2
juta ton. Pada tahun 2012 yang tentunya dampaknya sangat besar bagi perekonomian
Indonesia. Produksi dalam negeri sebesar 800.000 ton sementara kebutuhan 2,2 juta
ton sehingga perlu mengimpor untuk menutupinya. AS sebagai negara pengimpor
mengalami penurunan produksi sehingga harga kedelai di AS sendiri meningkat
cukup tinggi yang tentunya berdampak pula pada meningkatnya pengeluaran devisa
untuk mengimpor dari AS untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.
13
Kedelai sebagai salah satu komoditas pangan bukan hanya dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia, tetapi juga di berbagai negara. Kedelai merupakan bahan
makanan yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi, meliputi protein 40 persen,
lemak (19 persen) dan karbohidrat (24 persen). Konsumsi kedelai di Indonesia
sebagian besar masih digunakan untuk bahan makanan manusia dalam bentuk olahan
seperti tahu, tempe, kecap, tauco dan minuman sari kedelai. Jadi sebagian besar
kedelai dikonsumsi oleh industri makanan olahan. Industri tahu dan tempe merupakan
pengguna kedelai terbesar, dimana pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk
tahu dan tempe mencapai 1.78 ton, atau 88 persen dari total kebutuhan nasional,
sedangkan industri lainnya seperti industri tepung dan pati membutuhkan kedelai
sebanyak 12 persen dari total kebutuhan nasional (Puslitbang Tanaman Pangan,
2005). Di Indonesia sendiri tempe adalah makanan tradisional Indonesia dan sudah
sejak lama menjadi sumber protein masyarakat, terutama masyarakat golongan
menengah ke bawah. Bahkan, kebiasaan masyarakat Indonesia menyantap tempe,
mendapat pujian dari WHO (Badan Kesehatan Dunia) karena ternyata tempe selain
kaya protein, di dalamnya juga terkandung banyak senyawa gizi yang bermanfaat
untuk kesehatan dan kebugaran, antara lain lesitin penghambat PJK (penyakit jantung
koroner) serta antioksidan, antibiotika, antivirus dan zat pengatur tumbuh yang
memiliki manfaat tinggi untuk kesehatan dan kebugaran.
Keanekaragaman kegunaan kedelai membuka banyak lapangan usaha,
sehingga setiap negara penghasil kedelai termasuk Indonesia senantiasa berusaha
untuk terus meningkatkan produksi kedelainya. Dalam aspek sosial ekonomi ini
dikemukakan peran kedelai dalam hal penyerapan tenaga kerja, nilai tambah dan
aspek kesehatan serta pengaruhnya terhadap perekonomian.Para produsen yang rata-
rata Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pusing. Tak sedikit UMKM
berbasis kacang kedelai terpaksa berhenti berproduksi karena terus melejitnya harga
bahan baku kedelai. Jika ini tidak dicarikan solusinya, maka sekitar 3,2 juta tenaga
kerja industri kedelai terancam menganggur.
Masnama (2.000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa 1 kg kedelai yang
diusahakan mulai dari kegiatan usaha tani, pemasaran kedelai dan pengolahan
menyerap tenaga kerja yang cukup besar kalau diolah menjadi tempe, tahu dan kecap.
Penyerapan tenaga kerja dari penelitian ini belum termasuk tenaga kerja yang
digunakan dalam pemasaran hasil-hasil olahannya.
14
Satu kilogram kedelai mulai dari kegiatan usaha tani, pemasaran dan
pengolahan tempe menggunakan TK sebesar 1,28 Hari Orang Kerja (HOK). Kalau
produksi Indonesia sebesar 600.000 ton/tahun semuanya diolah menjadi tempe akan
menyerap tenaga kerja sebanyak 768.000.000 HOK atau setara dengan 2.511.182
orang apabila diasumsikan hari kerja setahun 313 hari.
Kalau diolah menjadi tahu akan menyerap TK sebesar 1,27 HOK tiap kg
kedelai, kalau produksi 600.000 kg per tahun akan menyerap TK sebesar 2.434.504
orang pertahun. Kalau diolah menjadi kecap akan menyerap TK sebanyak 1,6 HOK
tiap kg kedelai. Kalau produksi Indonesia sebesar 600.000 ton/tahun akan menyerap
TK sebanyak 3.102.939 orang pertahun.
Indonesia pernah mencapai produksi kedelai di atas 1 juta ton sehingga
penyerapan TK sangat besar. Angka-angka di atas memberikan indikasi besarnya
serapan tenaga kerja agribisnis kedelai. Proporsi penyerapan tenaga kerja mulai dari
kegiatan usaha tani, pemasaran kedelai dan pengolahan menjadi tempe sebesar 47,3
persen untuk usahatani, 6,5 untuk pemasaran dan 46,2 persen untuk pengolahan
kedelai menjadi tempe.
Apabila seluruh hasilnya diolah menjadi tahu proporsi penyerapan tenaga
kerja adalah: usaha tani 50,3 persen, pemasaran 7 persen dan pengolahan hasil kedelai
menjadi tahu 43,7 persen. Selanjutnya apabila seluruh hasil kedelai diolah menjadi
kecap maka proporsi penyerapan tenaga kerja adalah; usaha tani 11,5 persen,
pemasaran 1,6 persen dan pengolahan kedelai menjadi kecap 86,9.
Masnama (2000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa nilai tambah kedelai
mulai dari usaha tani, pengolahan dan pemasaran kalau diolah menjadi tempe
memberikan nilai sebesar Rp199,65; tahun Rp293,39 dan kecap Rp1.173,64 untuk
setiap kg kedelai.
Kalau produksi Indonesia dalam setahun sebesar 600.000 ton, maka nilai
tambah yang diperoleh kalau diolah seluruhnya menjadi tempe sebesar Rp119,790 M;
untuk tahu Rp176,034 M. dan kecap Rp704,184 M setiap tahun. Jelas sekali dari
aspek ekonomi komoditas kedelai sangat besar perannya dalam penyerapan tenaga
kerja dan perolehan nilai tambah.
Perajin tempe Desa Tambaksari kecamatan Kembaran,Tri winarni mengaku
penjualan tempe kurang bergairah. Biasanya ia mampu menghabiskan dagangannya
sampai pukul 11.00,namun saat ini molor hingga pukul 13.00 hal tersebut
15
membuktikan bahwa penguatan dollar yang berdampak pada kenaikan harga kedelai
dapat merugikan pedagang kecil seperti pak Tri.
Kelangkaan kedelai justru akan dapat mengakibatkan masyarakat dengan daya
beli relatif rendah akan mengalami kekurangan gizi. Untuk menghindari hal tersebut
salah satu kegiatan atau usaha yang perlu dilakukan adalah menyediakan kedelai
dengan harga yang terjangkau, dengan meningkatkan produksi atau melakukan impor.
Berbagai pertimbangan mengapa pengembangan kedelai di Indonesia perlu
mendapat perhatian serius seperti halnya komoditas padi dan jagung. Pertama, hasil
olahan kedelai di beberapa tempat menjadi menu penting sehari-hari terutama untuk
memenuhi kebutuhan protein. Kedua, penduduk Indonesia sangat banyak dan setiap
tahun bertambah terus akan berdampak pada peningkatan kebutuhan hasil olahan
kedelai. Ketiga, potensi sumber daya alam berupa lahan dan iklim sangat mendukung.
Keempat, petani Indonesia sudah familiar dengan usaha tani kedelai sehingga tidak
memerlukan waktu untuk mengadaptasi tanaman kedelai. Kelima, agar pemerintah
tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar mengimpor kedelai memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Biaya yang digunakan untuk mengimpor kedelai lebih baik digunakan
untuk pengembangan kedelai di Indonesia.
Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia,
pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada
kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan tarif
dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai.
Pengembangan teknologi kedelai di Indonesia sangat memungkinkan untuk
meningkatkan kedelai mengingat Indonesia memiliki cukup banyak lembaga-lembaga
penelitian. Lembaga-lembaga penelitian perlu meningkatkan perannya dalam
menghasilkan inovasi baru dalam pengembangan kedelai. Di sisi lain Indonesia
memiliki berbagai perguruan tinggi yang dapat menghasilkan inovasi baru. Lahan
usaha tani di Indonesia masih cukup luas termasuk lahan sawah tadah hujan yang
belum dimanfaatkan setelah panen padi rendengan.
Untuk mewujudkan pengembangan kedelai dengan baik perlu koordinasi
semua stakeholder yang terkait dengan pengembangan kedelai meliputi pemerintah,
swasta dan petani. Selain koordinasi yang baik, kebijakan pemerintah sangat
menentukan terutama dalam aspek perencanaan baik di tingkat pusat, provinsi
maupun kabupaten.
16
Setelah otonomi daerah, ada kesan koordinasi antara pusat, provinsi dan
kabupaten kurang berjalan efektif. Koordinasi pengembangan pertanian perlu
ditingkatkan. Pengalaman menunjukkan pada saat Indonesia masih menerapkan
program BIMAS, Indonesia swasembada beras dan produksi kedelai pernah mencapai
hampir 2 juta ton setahun.
E. Solusi untuk mengatasi masalah impor kedelai yang berpengaruh terhadap
perekonomian di Indonesia
Dalam pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian, sangat diperlukan
strategi agribisnis bagi komoditas unggulan berskala ekonomis yang menghasilkan
produk berdaya saing sangat tinggi, termasuk pengembangan usahatani non-padi
seperti tanaman kedelai.
Kondisi ini sejalan dengan peringatan dari Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO), bahwa pada tahun-tahun mendatang, dunia akan terancam krisis
pangan, sebagai dampak dari perubahan iklim dibelahan dunia. Sejak tahun lalu,
harga komoditas pangan mengalami kenaikan, akibat kurangnya pasokan dari seluruh
dunia.
Harga kedelai, misalnya, terus merangkak naik, dari sekitar Rp 6.800 tahun
lalu, kini telah mencapai Rp 8300-8500 bahkan hingga Rp9500 per kg. Kenaikan
tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai nasional masih harus diimpor,
sehingga sangat rentan dengan fluktuasi harga di pasar internasional. Secara umum,
kenaikan harga kedelai juga sangat berpotensi mendorong laju inflasi tahun ini. Sejak
tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan potensi inflasi tinggi 6,96
persen, melampaui target pemerintah 5,3 persen. Faktor pemicunya adalah lonjakan
harga beras. Kondisi tersebut berlanjut pada Januari 2011, di mana BPS mencatat
inflasi bulanan mencapai 0,89 persen, dan inflasi year on year mencapai 7,02 persen.
Dari laju inflasi 0,89 persen tersebut, komponen bahan makanan menyumbang 0,57
persen, jauh di atas komponen inflasi lainnya. Untuk laju inflasi bulanan di tahun
2012 mengalami penurunan sebesar 0,62% itu, maka tercatat laju inflasi untuk tahun
kalender (Januari-Juni) 2012 mencapai 1,79%, dan laju inflasi year on year (Juni
2012 terhadap Juni 2011) mencapai 4,53%. Melihat kenyataan tersebut, tak tertutup
kemungkinan ke depan kedelai akan memicu lonjakan inflasi pada kelompok bahan
pangan, yang pada akhirnya mendorong laju inflasi secara keseluruhan di tahun 2012.
Tentu saja inflasi yang tinggi akan menyebabkan perekonomian nasional cukup
terganggu pertumbuhannya.
17
Budidaya Komoditas Kedelai
Menurut laporan tahunan FAO, produktivitas kedelai Indonesia pada
dasawarsa 1990-an, meningkat dari 0.85 ton/ha menjadi 1.11 ton/ha, tetapi masih jauh
dibawah rata-rata dunia sebesar 1.84 ton/ha, apalagi terhadap Amerika Serikat (2.18
ton/ha) dan Brazil (1.97 ton/ha). Perbedaan ini dipengaruhi oleh iklim, panjang hari,
teknik budidaya, dan penggunaan input produksi sesuai anjuran. Faktor lainnya adalah
luas lahan usaha yang sempit, serangan hama-penyakit dan gulma, fluktuasi harga,
kecilnya kredit usahatani, dan belum terjalinnya kerjasama antar instansi.
Menurut data BPS, selama kurun waktu 1970-2003, perkembangan luas areal
panen dan produksi relatif tidak meningkat secara berarti, dan sejak tahun 2000
terlihat menurun. Sejak tahun 1975, Indonesia menjadi negara pengimpor kedelai,
yaitu sekitar 607.40 ribu ton atau senilai US$. 180.60 juta pada tahun 1995. Bahkan
Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun tahun berikutnya memprediksi
akan terjadi kekurangan kedelai 1.12 juta ton, dimana ketergantungan penyediaan
pangan nasional, terhadap Pulau Jawa cukup tinggi (sekitar 65%), karena adanya
kesenjangan teknologi. Sebelumnya luas areal panen kedelai mencapai 1.12 juta ha,
dengan produksi 1.36 juta ton, dan produktivitas 1.21 ton/ha. Banyaknya areal sawah
subur yang beralih fungsi menjadi lahan industri, pemukiman dan jalan, menghambat
perluasan areal panen kedelai. Karena teknologi produksi belum dapat diandalkan,
maka perlu identifikasi sumber pertumbuhan baru kedelai, untuk mengimbangi laju
permintaan kedelai domestik.
Pertumbuhan permintaan kedelai pada dasawarsa terakhir cukup tinggi, namun
belum mampu diimbangi oleh produksi dalam negeri, sehingga harus diimpor dalam
jumlah cukup besar. Harga kedelai impor yang murah dan tidak adanya tarif impor,
menyebabkan tidak kondusifnya pengembangan kedelai di dalam negeri. Dari sisi
prospek pengembangan kedelai untuk menekan impor, cukup tersedia sumberdaya
lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang memadai, dan SDM yang
terampil dalam usahatani, dengan pasar komoditas kedelai yang masih terbuka luas.
18
Pengembangan Komoditas Kedelai
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman
pangan, khususnya kedelai, telah banyak dilakukan. Menurut Ditjen Tanaman
Pangan, sejak tahun 1998 Pemerintah melakukan berbagai kebijakan antara lain;
introduksi paket teknologi baru yang tepat guna, program intensifikasi kedelai IP-300,
Gemapalagung (gerakan mandiri padi, kedelai, dan jagung), dan diversifikasi pangan.
Program ini ditujukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai.
Pengembangan sentra produksi kedelai seperti di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, dan Lampung, memerlukan dukungan lapangan kerja di
luar pertanian, mengingat karakteristik kesempatan kerja sektor pertanian bersifat
musiman. Bahkan kedelai dianggap sebagai tanaman sela setelah tanaman padi, yang
kurang diminati petani, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak.
Status tanaman kedelai adalah tanaman secondary-crops untuk lokasi/daerah sub-
tropis.
Kenaikan harga kedelai, sangat menekan beban usaha bagi para pengrajin
tempe dan tahu di Indonesia. Sebab, kedelai merupakan bahan baku utama, di mana
sebagian besar produsennya adalah kelompok usaha kecil dan menengah. Tak hanya
perajin tahu tempe yang mengalami kesulitan karena melonjaknya harga kedelai,
konsumen rakyat kecil juga terkena dampaknya.
Hal itu mengingat tahu dan tempe merupakan sumber gizi protein yang
harganya relatif paling terjangkau oleh daya beli masyarakat miskin. Dampak dari
melambungnya harga kedelai, maka Gabungan Koperasi Perajin Tahu Tempe
Indonesia (Gakopttindo) mencatat, dari sekitar 115.000 perajin tahu tempe di
Indonesia, 5.000 di antaranya telah gulung tikar. Mereka yang terpaksa menutup
usahanya adalah pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempekerjakan dua
hingga tiga tenaga kerja.
Dari situ terlihat bahwa dampaknya bisa puluhan ribu orang menganggur, dan
masih banyak lainnya yang terancam bernasib sama. Selama ini, kebutuhan kedelai
untuk 115.000 pengusaha tahu tempe mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 1,5 miliar kg
per tahun. Jika kenaikan harga kedelai rata-rata Rp 2.000 per kg, berarti ada Rp 3
19
triliun, atau rata-rata Rp 30 juta per pengusaha per tahun, yang seharusnya menjadi
pendapatan mereka.
Bulog Sebagai Stabilisator Harga
Mencermati hal itu, setidaknya ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan
untuk menurunkan dan meredam harga kedelai, guna menyelamatkan para perajin
tahu dan tempe, serta menjamin sumber gizi protein murah bagi masyarakat. Pertama,
menugasi Perum Bulog untuk kembali menangani pengadaan kedelai. Sebab,
dikhawatirkan lonjakan harganya saat ini akibat ulah importir yang mempermainkan
harga. Jika ditangani Bulog, pemerintah bisa ikut campur menstabilkan harga jika
sewaktu-waktu harga melambung.
Kedua, pemerintah harus memastikan kebijakan penghapusan bea masuk 59
komoditas bahan pangan yang dikeluarkan akhir Januari lalu segera terealisasi.
Jangan sampai kebijakan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan itu
tak terimplementasi di lapangan. Ketiga, pemerintah, melalui Kementerian Pertanian,
harus mulai memikirkan upaya meningkatkan produktivitas hingga swasembada
kedelai di dalam negeri, mengingat komoditas tersebut sangat terkait dengan hajat
hidup rakyat kebanyakan. Hal itu juga mengingat kedelai adalah sumber gizi protein
yang murah. Selain itu, Kementerian Pertanian perlu memikirkan dan
memasyarakatkan komoditas biji-bijian lain yang bisa menjadi substitusi dari kedelai
dalam proses produksi tahu dan tempe. Ini penting menjadi alternatif solusi bagi
perajin tahu dan tempe.
Kesenjangan antara permintaan dan penawaran kedelai domestik, akan
meningkatkan jumlah impor, dan menimbulkan defisit neraca perdagangan. Titik
impas hasil kedelai dalam negeri adalah 1.90 ton/ha, sedangkan untuk bersaing
dengan harga dunia adalah 3.10 ton/ha dengan teknologi maju, atau 2.00 ton/ha
dengan teknologi produksi rata-rata (Rosegrant et.al., 1987).
Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah: 1. Kemudahan prosedur untuk
mengakses modal kerja (kredit usahatani) bagi petani dan swasta yang berusaha
dalam bidang agribisnis kedelai; 2. Percepatan alih teknologi/diseminasi hasil
penelitian dan percepatan penerapan teknologi ditingkat petani melalui revitalisasi
20
tenaga penyuluh pertanian; 3. Pembinaan/pelatihan produsen/penangkar benih dalam
aspek teknis (produksi benih), manajemen usaha perbenihan, serta pemasaran benih,
termasuk penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen benih; 4. Pengembangan
usaha kecil/rumahtangga dalam subsistem hilir (pengolahan produk tahu, tempe,
kecap, tauco, susu, minyak-goreng), untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu
tinggi sesuai tuntutan konsumen; 5. Kebijakan makro yang mendorong
pengembangan kedelai dalam negeri seperti tarif impor yang tinggi; 6. Pengembangan
prasarana/infrastruktur pertanian (pembukaan sawah/lahan pertanian, fasilitas irigasi,
dan jalan); 7. Kebijakan alokasi sumberdaya (SDM dan anggaran) yang memadai,
termasuk litbang teknologi tepat guna (R&D).
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejauh ini harus diakui bahwa hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang
menyentuh persoalan tata niaga kedelai yang pada praktiknya hanya dikuasai
segelintir orang. Menurunkan dan menaikkan bea masuk (BM) hanyalah cara
jangka pendek untuk mensiasati situasi darurat. Setelah itu, pemerintah kembali
berkutat pada program peningkatan produksi. Praktik kartel yang sudah diketahui
banyak kalangan elit bangsa ini, termasuk DPR pun, nyaris tidak mampu
dicarikan solusinya. Pola yang mirip ada pada impor beras, gula, garam, dan
produk impor lainnya.
Kendala-kendala pokok dalam sistem komoditas kedelai di Indonesia (Soybean
commodity system in Indonesia) berkaitan dengan produksi dalam negeri. Dengan
cara budidaya kedelai yang masih belum sempurna pada waktu penelitian
dilakukan tidak dapat diharapkan terjadinya peningkatan hasil yang besar.
Rekomendasi studi menunjukkan perlunya memperhitungkan keragaman
budidaya kedelai di berbagai daerah dan perlunya perbaikan cara budidaya kedelai
yang diterapkan petani. Selain itu kendala yang dihadapi oleh Indonesia mengenai
sistem komoditas kedelai yaitu tata niaga kedelai di Indonesia yang saat ini
tergolong bobrok. Ini dikarenakan arus perdagangan komoditas ini masih dikuasai
mekanisme kartel oleh para importir kedelai sehingga menyulitkan pengembangan
pertanian kedelai lokal.
Salah satu faktor pemicu melambungnya harga karena kecenderungan terjadinya
monopoli dan kartel dalam tata niaga kedelai. Adanya liberalisasi pertanian
bertujuan untuk efesiensi dan efektifitas dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Namun yang terjadi di Indonesia adalah ketergantungan terhadap impor kedelai,
sehingga tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi dan daya saing kedelai
nasional, padahal kedelai merupakan bahan pangan yang tergolong sangat penting
di negara ini. Ketergantungan impor kedelai dapat dilihat dari faktor internal dan
eksternal. Apakah karena adanya liberalisasi pertanian maka Indonesia
ketergantungan impor atau karena memang kenyamanan pemerintah untuk terus
mengimpor kedelai dalam upaya memenuhi kebutuhan kedelai nasional.
22
Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia,
pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada
kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan
tarif dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai.
Pengembangan teknologi kedelai di Indonesia sangat memungkinkan untuk
meningkatkan kedelai mengingat Indonesia memiliki cukup banyak lembaga-
lembaga penelitian. Lembaga-lembaga penelitian perlu meningkatkan perannya
dalam menghasilkan inovasi baru dalam pengembangan kedelai. Di sisi lain
Indonesia memiliki berbagai perguruan tinggi yang dapat menghasilkan inovasi
baru. Lahan usaha tani di Indonesia masih cukup luas termasuk lahan sawah tadah
hujan yang belum dimanfaatkan setelah panen padi rendengan.
Masih terdapat kemungkinan besar, Indonesia mempunyai kemampuan
memproduksi sendiri berbagai komoditas pertanian yang diimpor. Persoalannya
terletak pada kemauan para pemimpin bangsa ini dalam bekerja sama untuk
membenahi sendi-sendi perekonomian bangsa yang tahan terhadap goncangan
eksternal. Perhatian Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2012
menunjukkan bahwa impor kedelai mencapai 1,9 juta ton dengan nilai US$ 1,2
Miliar atau sekitar Rp. 130 triliun. impor pangan Indonesia mencapai 1,9 juta ton
dengan nilai sekitar Rp 130 triliun. Angka tersebut menunjukkan betapa negara
yang tergolong miskin anggaran ini, terpaksa menguras segala sumber daya untuk
membayar komoditas impor yang seharusnya bisa diproduksi sendiri. Anggaplah
cukup Rp 5 triliun dari dana tersebut digunakan untuk memberikan subsidi dan
berbagai program kepada petani kedelai hingga pascapanen, maka kedelai unggul
di Banyuwangi, Jawa Timur, yang mempunyai produktivitas hingga 5 ton per ha
bisa menggantikan impor. Namun karena terkendala faktor produksi lahan, benih,
tenaga kerja, sehingga pasar produk lokal kalah di negeri sendiri, sayangnya para
pemimpin bangsa ini belum ada yang mempunyai visi dan tekad membela
kepentingan bangsa dan rakyat. Lonjakan harga kedelai adalah salah satu bukti
betapa bangsa ini akan terus bergantung pada produk impor yang menyengsarakan
rakyatnya, tetapi para pemimpin dan elit negeri ini tenggelam dalam kesenangan
sesaat selama berkuasa.
23
B. Saran
Kini impor kedelai dibiarkan bebas dan dilakukan oleh sektor swasta yang
berminat, menggunakan mekanisme pasar bebas. Siapa yang kuat, dia yang menang.
Tidak terlalu heran jika saat ini harga kedelai di dalam negeri menjadi tidak
terkendali, karena Bulog tidak memiliki instrumen untuk melakukan stabilisasi harga.
Apabila Pemerintah telah memutuskan untuk menugaskan Bulog kembali untuk
melakukan impor kedelai, upaya itu baru merupakan langkah pertama. Langkah-
langkah selanjutnya atau sebenarnya langkah yang lebih fundamental masih amat
dibutuhkan. Berikut ini beberapa di antaranya.
1. langkah tropikalisasi tanaman kedelai. Langkah ini tentu sangat fundamental
karena dimulai dari kampus dan lembaga penelitian, yang kembali harus
mengembangkan varietas kedelai yang sangat sesuai dengan karakter tanah-tanah
dan iklim Indonesia. Para peneliti Indonesia sebenarnya telah menghasilkan tidak
kurang dari 73 varietas kedelai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Akan tetapi, tidak banyak petani kedelai yang telah menanam dan mengadopsi
teknologi baru di bidang biologi dan pemuliaan varietas tersebut.
Esensinya, proses pemuliaan tanama kedelai adalah satu langkah, dan
pemasyarakatannya untuk mengurangi senjang hasil (yield gap) antara stasiun
percobaan dan lahan petani adalah langkah lain lagi. Langkah tropikalisasi yang
sangat komprehensif dan konsisten pernah dilakukan Brasil pada dekade 1980-an,
sehingga sekarang ini Brazil jadi salah satu eksportir kedelai besar di dunia.
2. Langkah peningkatan produktivitas kedelai, setidaknya dalam upaya untuk
mengurangi senjang hasil dan perbedaan produktivitas kedelai antara stasiun
percobaan dan lahan petani. Produktivitas kedelai saat ini di Indonesia tidak lebih
dari 1,3 ton per hektare, sangat jauh dari produktivitas potensialnya yang
mencapai 2,5 juta ton per hektare. Senjang hasil yang mencapai 50 persen harus
diperkecil, setidaknya sampai 20 persen.
Langkah ini hanya dapat dilakukan melalui serangkaian program intensifikasi
usahatani kedelai, penggunaan varietas unggul, aplikasi pupuk dan pemupukan
dengan dosis dan waktu yang tepat, pengelolaan air irigasi dan drainase,
penanggulangan hama-penyakit tanaman, terutama yang mulai mengganas pada
musim kemarau. Di tingkat akademik, teknik budidaya yang dikenal dengan
24
istilah precision farming (akurasi usahatani) dan good agricultural practices GAP
(praktik pertanian yang baik) wajib disampaikan dan disebarluaskan kepada petani
kedelai. Jaringan akademik dan kampus yang memiliki tanggung jawab
”pengabdian pada masyarakat” wajib dimanfaatkan sebaik-baiknya.
3. Langkah perluasan tanaman kedelai, terutama di luar Jawa. Negara perlu
menyediakan lahan baru tanaman kedelai, setidaknya sampai 500 ribu hektare,
menggunakan anggaran negara. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang
pangan harus diberikan tugas tambahan untuk pencetakan lahan kedelai baru, baik
secara mandiri, maupun bermitra dengan petani. Keputusan politik dan kebijakan
di tingkat nasional wajib mendukung langkah ekstensifikasi ini.
Semua pihak perlu menganggapnya sebagai investasi jangka panjang, yang kelak
akan kembali membuat gairah ekonomi kedelai meningkat, setidaknya mampu
memenuhi kebutuhan sendiri. Selain dukungan pembiayaan dari anggaran negara
(BUMN, APBN, APBD dan lain-lain), dukungan pembiayaan dari dunia
perbankan dan sektor swasta juga sangat dibutuhkan. Tanpa langkah radikal yang
komprehensif seperti ini, agak mustahil Indonesia akan mampu membalik
fenomena dekedelaisasi yang sudah sedemikian akut.
4. Langkah pengendalian impor kedelai, dalam rangka pengelolaan insentif bagi
petani kedelai dan pengguna kedelai di sektor hilir, terutama industri tahu-tempe,
industri kecap, industri makanan lain, industri kuliner dan lain-lain. Negara wajib
turun tangan dalam upaya pengendalian impor kedelai ini, bukan malah
sebaliknya memberi pembebasan bea masuk nol persen bagi importir kedelai.
Langkah ini memang sangat politis, hingga hanya pemimpin yang tegas dan
berani saja yang mampu melakukannya. Langkah ini sekaligus sebagai ujian bagi
pemimpin dan kaum elit, apakah memiliki kepedulian atas kepentingan petani
kedelai dan posisi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki prospek amat
besar, apalagi cuma sekadar mencapai swasembada kedelai.
5. Langkah pembenahan kelembagaan baik secara struktural (organisasi pelaku
ekonomi), maupun secara kultural (sistem nilai, norma dan aturan main), mulai
dari tingkat pribadi, property rights, sampai pada sistem dan ketatanegaraan.
Langkah yang terkesan abstrak ini, sebenarnya dapat menjadi konkrit dan bahkan
teknis, karena secara hakikat dan budaya, masyarakat Indonesia tidak akan mudah
dilepaskan makan kedelai, baik langsung, maupun bentuk olahan menjadi, tahu
dan tempe dan lain-lain.
25
Emosi dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia akan lebih mudah digugah
dan diupayakan untuk membenahi aransemen kelembagaan dan struktur
organisasi formal yang menangani ekonomi kedelai di Indonesia. Upaya
pembenahan fungsi dan peran Perum Bulog seperti pada pembukaan artikel ini
akan lebih efektif apabila dikaitkan dengan perubahan kelembagaan menuju yang
lebih efisien, modern dan berdaya saing.
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Dr. Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE YOGYAKARTA, 1989
Budisan, Krisis Kedelai dan Nasib UMKM (online),
(http://budisansblog.blogspot.com/2013/08/krisis-kedelai-dan-nasib umkm.html,
diakses 18 September 2013)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333312 diakses 18 September 2013
Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia, (online),
(http://www.uncapsa.org/Publication/cg17.pdf diakses 18 September 2013)
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53521/BAB%20I
%20Pendahuluan.pdf diakses 18 September 2013
http://setkab.go.id/artikel-10045-problematika-harga-kedelai-di-indonesia.html
diakses 18 September 2013
http://wartaekonomi.co.id/berita16503/ini-salah-satu-sebab-indonesia-krisis-
kedelai.html diakses 18 September 2013
http://birokrasi.kompasiana.com/2013/09/12/krisis-kedelai-karena-kementerian-
pertanian-sia-siakan-kedelai-plus-dari-lipi-591907.html diakses 18 September 2013
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/18/0723031/
Dikuasai.Kartel.Tata.Niaga.Kedelai.Bobrok. diakses pada 19 September 2013
http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/pertanian/2632-menguak-
problematika-komoditas-kedelai-di-indonesia.html diakses pada 19 September 2013
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/mikro/13/09/19/mtd7mg-kementan-
pengembangan-kedelai-nasional-menemui-banyak-kendala diakses pada 19
September 2013
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/09/10/171476 ( Di akses 17
September 2013 )
http://harefatika.blogspot.com/2013/05/analisis-dampak-ketergantungan.html ( Di
akses 17 September 2013 )
Kompas. 2012. Kecil Dampak Kenaikan Harga Kedelai ke Inflasi. http://bisnis
keuangan. Kompas.com/read/15535443 diakses 18 September 2013
www.suarapembaharuan.com/home/monopoli-dan-kartel-dongkrak-harga-kedelai/
41629 ( Di akses 18 September 2013 )