TT Atresia Ani & Hisprung
-
Upload
nuning-k-afida -
Category
Documents
-
view
406 -
download
23
Transcript of TT Atresia Ani & Hisprung
COLLABORATIVE LEARNING (TT)
ATRESIA ANI DAN HISPRUNG
Anggota Kelompok
Yesi Andriani (105070200111012)
Yosepha Esti S. (105070200111013)
Ambar Rahman (105070200111014)
Pratiwi Sesuluh Putri (105070200111015)
Tan Nina Fibriola (105070200111016)
Henidar Sekarningtyas P. (105070204111002)
Herlinda Dwi Ningrum (105070204111004)
Auliasari Siskaningrum (105070204111005)
Lisa Royani Mita (105070207111013)
Prima Yusifa Mega (105070207111014)
Fahlevi Y. W. U. (105070207111015)
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
1. Definisi Atresia Ani
Istilah atresia berasal dari yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai
lubang keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani
adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan
atresia ani adalah kondisi dimana terjadi gangguan pemisahan kloaka selama
pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi kesimpulannya, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi
gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan
bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan
perineum.
2. Klasifikasi Atresia Ani
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu :
a Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina
atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate
sementara waktu.
b Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar
tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah
segera.
Klasifikasi menurut Melbourne yang membagi berdasarkan garis
pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii :
a. Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubokoksigeus)
b. Letak intermediate apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.
c. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani.
Gambaran malformasi anorektal pada perempuan.
3. Epidemiologi Atresia Ani
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran (Grosfeld J, 2006) . Secara umum, atresia ani lebih
banyak ditemukan pada laki - laki daripada perempuan. Fistula rektouretra
merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki -laki, diikuti
oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang
paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan
fistula perineal (Oldham K, 2005)Hasil penelitian Boocock dan Donna di
Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak
ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi( Boocock G, 1987).
4. Patofisiologi Atresia Ani
Gangguan pertumbuhan saat kehamilan usia 12 minggu Fusi Pembentukan anus dari tonjolan embriogenik Putusnya saluran pencernaan dari atas dg daerah dubur
ATRESIA ANI
Feses tidak keluar vistelrektovaginal
Feses menumpuk feses masuk uretra
Peningkatan tekanan reabsorbsi metabolisme mikroorganism masuk
intra abdominal oleh tubuh salurankemih
anoplasti mualmuntah keracunan dysuria
resiko nutrisi kurang dari keb G3 rasa nyaman nyeri G3eliminasi BAK
perubahan defekasi trauma jaringan
pengeluaran tdk terkontrol nyeri perawatan tidak adekuat
iritasi
5. Faktor Risiko Atresia Ani
a) Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik.
b) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang anus.
c) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau 3 bulan.
d) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli
masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai
gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua
yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25
% - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik,
abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
e) Faktor Predisposisi.
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan
kongenital saat lahir seperti :
Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada
vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan
kelenjar limfe).
Kelainan sistem pencernaan.
Kelainan sistem pekemihan.
Kelainan tulang belakang.
6. Manifestasi Klinis Atresia Ani
a. Mekonium tidak keluar dalam 24jam pertama setelah kelahiran
b. Tidak dapat mengukur suhu rectal pada bayi
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus bila tidak ada
fistula
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
f. Perut kembung
7. Pemeriksaan Diagnostik Atresia Ani
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
c. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
d. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
e. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.
f. Pemeriksaan rectal digital dan visual
Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur
dengan menggunakan selang atau jari.
g. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
h. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ
internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
i. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan
cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila
pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1
cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak
tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih
dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostom terlebih dahulu. Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla
menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel
perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-)
maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen
setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein
Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau
knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah
paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009). Pada
pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi
saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis
segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan
termometer melalui anus. (Levitt M, 2007) Mekonium biasanya tidak terlihat pada
perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi
abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius.
Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-
otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan
intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan
jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy
atau anoplasty (Levitt M, 2007). Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom"
atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit.
Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan
colostomy (Levitt M, 2007). Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien
dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran
pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
8. Penatalaksanaan Medis Atresia Ani
Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter
ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan
lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon
iliaka. Pada kelainan anorektal letak tinggi atau intermediet, setelah
diagnosis ditegakkan, segera dilakukan kolostomi selanjutnya dibuatkan
lopogram untuk mengetahui macam fistula.
PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai
12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya. Pada kelainan anorektal letak rendah, penderita laki-laki
dilakukan anoplasty perineal dengan prosedur V-Y plasti, sedangkan untuk
wanita dilakukan “cut back” atau prosedur V-Y seperti laki-laki (Bisset 1977
dan Filston, 1986).
Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
1. Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasase usus, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hirschprung
tahun 1886. Zuelser dan Wilson, 1984 mengemukakan bahwa pada dinding
usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak
mempunyai persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar
(mulai dari anus ke arah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion),
maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang
terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
2. Klasifikasi Hisprung
Klasifikasi penyakit hisprung dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu :
- Tipe kolon spastik, biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan
konstipasi berkala (konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri.
Kadang konstipasi silih berganti dengan diare. Sering tampak lendir
pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau kram,
biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit
kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi.
Buang air besar sering meringankan gejala-gejalanya.
- Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi
yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak
dapat ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan.
Beberapa penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan
disertai sedikit nyeri.
Menurut segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
Megakolon kongenital segmen pendek, bila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)
Megakolon kongenital segmen panjang, bila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%)
Kolon aganglionik total, bila segmen aganglionik mengenai seluruh
kolon (5-10%)
Kolon aganglionik universal, bila segmen aganglionik meliputi
seluruh usus sampai pylorus (5%).
3. Epidemiologi Hisprung
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Menurut catatan
Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit
ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital
dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2
kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome
(5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma,
maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis
dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
4. Patofisiologi Hisprung
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot otot yang melapisi
usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltic). Kontraksi otot otot
tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang
terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit hirschsprung, ganglion
atau/pleksus yang memerintahkan gerakan peristaltic tidak ada, biasanya
hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki
gerakan peristaltic tidak dapat mendorong bahan bahan yang dicerna
sehingga terjadi penyumbatan( Dasgupta, 2004).
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan
manifestasi gangguan atau tidak adanya peristaltis sehingga akan terjadi tidak
adanya evakuasi usus spontas. Selain itu sfingter rectum tudak dapat
berelaksaksi secara optoman, kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses
secara normal. Isi usus kemuadian terdorong ke segmen aganglionik dan
terjadi akumulasi feses di daerah tersebut sehingga memberikan manifestasi
klisin dilastasi usus pada bagian proksimal.
Penyakit Hirscprung, atau megakolon kongenital adalah tidak adanya sel-
sel gangliondalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalanatau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya
evakuasi usus spontan.Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi,
mencegah keluarnya feses secaranormal. Isi usus terdorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut,menyebabkan dilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Penyakithirscprung diduga
terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun
etiologisebanarnya tidak diketahui. Penyakit hairscprung dapat muncul pada
sembarang usia,walaupun sering terjadi pada neonatus.
5. Faktor Risiko Hisprung
Diduga terjadi karena faktor genetic sering terjadi pada anak dengan down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (budi,
2010)
6. Manifestasi Klinis Hisprung
Masa Neonatal :
a. Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul : distensi abdomen dan bilious
emesis. Tidak keluarnya mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir)
pada 24jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan
mengarah pada diagnosis ini.
b. Muntah berisi empedu, karena makanan terlalu banyak dicolon
sehingga makanan naik
c. Distensi abdomen, karena makanan tertahan di sigmoid colon
d. Nggan menyusui
e. Demam
f. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan
tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotikans, terjadi
distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dap;at berdarah
Masa bayi dan kanak-kanak
1. Konstipasi karena tidak berfungsinya pleksus submukosa meisner dan
pleksus mienterik aurbach
2. Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung
yang berumur kurang dari 3 bulan.
Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah
enterocolitis ringan
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Gagal tumbuh
7. Pemeriksaan Diagnostik Hisprung
a) Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa
ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam
( Darmawan K, 2004 : 17 )
b) Biopsi isap, yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap
dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 ).
c) Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
d) Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
( Darmawan K, 2004 : 17 ).
e) Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily &
Sowden, 2002 : 197 ).
f) Pemeriksaan colok anus. Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu
bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian
bawah dan akan terjadi pembusukan.
8. Penatalaksanaan Medis Hisprung
Penatalaksanaan medis yang dpat dilakukan pada klien dengan penyakit
Hisprung, antara lain :
1. Tindakan konservative
Tindakan konservative yaitu tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-
tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa
disertai pembilasan dengan air garam hangat secara teratur.(FKUI halaman 207).
Penatalaksanaan tanpa pembedahan dengan melakukan irigasi kolon berulang
hingga bayi mencapai ukuran yang memuaskan tidak dianjurkan karena beresiko
terjadi enterokolitis fatal (Nelson halaman 428).
2. Intervensi bedah
Pembedahan pada penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula
dilakukan kolostomi sementara (1) untuk mendekompresi usus dan mengalihkan
feses, dan (2) untuk memungkinkan bagian usus yang berdilatasi dan hipertrofi
kembali ke tonus dan ukuran normalnya (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4
bulan). Bila umur bayi itu antara 6 dan 12 bulan (atau bila beratnya 8 sampai 10 kg),
prosedur penyambungan ke rectum dilakukan bila semua usus aganglionik sudah
dibuang dan usus normal disambung kembali dengan anus. Kolostomi juga ditutup
(Betz, 2009). Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat dan dimaksudkan untuk
menghilangkan gejala obstruksi usus dan memperbaiki keadaan umum penderita
sebelum operasi. (FKUI halaman 207).
Persiapan prabedah :
1. Lavase kolon
2. Antibiotika
3. Infuse intravena
4. Tuba nasogastrik
5. Perawatan prabedah rutin
Pembedahan hisprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop
atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi
dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3
prosedur berikut :
1. Prosedur Duhamel
Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya
dibelakang usus aganglionik.
2. Prosedur Swenson
Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran
anal yang dibatasi.
3. Prosedur soave
Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus. Prosedur soave merupakan salah satu
prosedur yang paling sering dilakukan.
4. Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami
obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through
dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto
sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam
prosedur kedua.
Pelaksanaan pasca bedah
1. Perawatan luka kolostomi
2. Perawatan kolostomi
3. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan
peningkatan suhu.
4. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk
diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu
kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan
stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.(Betz, 2002 : 198)