TRENDING TOPIC VS AGENDA SETTING: Saat Gatekeeper Kehilangan Kendali

8
Trending Topics vs Agenda Setting Saat Gatekeeper Kehilangan Kendali Masih ingat kejadian yang menimpa Florence Sihombing? Perempuan yang mengunggah status kata-kata hinaan tentang kota Yogyakarta di media sosial kemudian naik pentas menjadi sorotan media-media nasional? Celakanya, akibat sorotan itu, ia sampai harus diskors oleh pihak kampus tempatnya menempuh studi S-2. Lebih celaka lagi,ia dipaksa menjalani sidang pengadilan pidana akibat isi statusnya itu 1 . Beda Florence Sihombing, beda Norman Kamaru. Pemuda dari Gorontalo ini bagaikan mendapat durian runtuh. Rekaman video saat ia menari dan menyanyi secara lipsync yang temannya unggah pada 29 Maret 2011 di situs YouTube, sontak menjadikan sosoknya sumber ‘panas’ peliputan media-media nasional. Nasibnya pun terkatrol drastis dari seorang polisi berpangkat rendah menjadi selebritas yang dikenal luas. Agenda perjalanan Norman Kamaru di media dari ‘bukan siapa-siapa’ hingga menjadi selebritas ditulis di dalam sebuah blog yang dimuat tanggal 24 Mei 2011 berjudul “Pembahasan Agenda Setting Fenomena Briptu Norman Kamaru” 2 . Tulisan di blog tersebut mencatat bahwa dari hari ke hari jumlah pengakses video Norman Kamaru di situs YouTube semakin bertambah. Hingga tulisan tersebut diunggah, jumlahnya telah melampaui 1,8 juta pengakses.Videonya mendapatkan tanggapan positif (like)dari empat ribu lebih pengakses dan hanya 155 orang yang menanggapinya dengan negatif (dislike). Video Norman Kamaru pun menjadi trending topic di media-media sosial saat itu hingga mengalahkan topik tentang bintang dunia Justin Bieber dan kematian Osama bin Laden 3 . Tulisan di blog tersebut juga mencatat bahwa pada 4 April 2011, media berita online arus utama Indonesia, DetikNews mulai memuat berita tentang Norman Kamaru dengan judul “Gerakan Dukung Briptu Norman Ramai di Dunia Maya”. Selama kurun waktu 43 hari sejak pemuatan pertama, tulisan di blog tersebut mencatat, berita-berita tentang Norman Kamaru di DetikNews mencapai jumlah 42 judul. Coba kita bayangkan seandainya saat itu belum ada media sosial. Apakah Florence Sihombing dan Norman Kamaru akan bernasib seperti yang pernah mereka alami? Lepas dari penilaian negatif maupun positif, orang-orang seperti Florence dan Norman sudah banyak jumlahnya. Sebut saja Shinta

description

Perjalanan perkembangan media baru membawa perubahan kepada dinamika kajian teori agenda-setting. Gambaran fenomena dan hasil-hasil penelitian dari awal teori ini berkembang hingga kini menunjukkan bahwa arah hubungan antara agenda media baru dengan agenda media tradisional tidaklah statis. Secara garis besar, bisa digambarkan bahwa pada masa awal kemunculan media baru, tampak bahwa pengaruh tersebut datang dari media tradisional kepada media baru. Namun perkembangan teknologi dan jumlah pengguna media baru mengarahkannya ke tahap hubungan berikutnya, yakni cenderung menjadi timbal balik. Namun dinamikanya tidak berhenti sampai di situ, mengacu kepada hasil penelitian-penelitian yang dilakukan belakangan, arah hubungan tersebut justru menjadikan media baru sebagai pihak yang dominan mempengaruhi agenda media tradisional. Bahkan untuk beberapa pemberitaan yang bersumber kepada kejadian di tengah masyarakat seperti musibah kecelakaan dan bencana alam, media tradisional sangat mengandalkan informasi ter-updated dari media baru (media sosial).

Transcript of TRENDING TOPIC VS AGENDA SETTING: Saat Gatekeeper Kehilangan Kendali

Trending Topics vs Agenda SettingSaat Gatekeeper Kehilangan Kendali

Masih ingat kejadian yang menimpa Florence Sihombing? Perempuan yang mengunggah status kata-kata hinaan tentang kota Yogyakarta di media sosial kemudian naik pentas menjadi sorotan media-media nasional? Celakanya, akibat sorotan itu, ia sampai harus diskors oleh pihak kampus tempatnya menempuh studi S-2. Lebih celaka lagi,ia dipaksa menjalani sidang pengadilan pidana akibat isi statusnya itu[endnoteRef:1]. Beda Florence Sihombing, beda Norman Kamaru. Pemuda dari Gorontalo ini bagaikan mendapat durian runtuh. Rekaman video saat ia menari dan menyanyi secara lipsync yang temannya unggah pada 29 Maret 2011 di situs YouTube, sontak menjadikan sosoknya sumber panas peliputan media-media nasional. Nasibnya pun terkatrol drastis dari seorang polisi berpangkat rendah menjadi selebritas yang dikenal luas. [1: Lihat kumpulan beritanya: Kisah Florence dan Warga Yogya, dimuat di http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3214/4/Kisah.Florence.dan.Warga.Yogya]

Agenda perjalanan Norman Kamaru di media dari bukan siapa-siapa hingga menjadi selebritas ditulis di dalam sebuah blog yang dimuat tanggal 24 Mei 2011 berjudul Pembahasan Agenda Setting Fenomena Briptu Norman Kamaru[endnoteRef:2]. Tulisan di blog tersebut mencatat bahwa dari hari ke hari jumlah pengakses video Norman Kamaru di situs YouTube semakin bertambah. Hingga tulisan tersebut diunggah, jumlahnya telah melampaui 1,8 juta pengakses.Videonya mendapatkan tanggapan positif (like)dari empat ribu lebih pengakses dan hanya 155 orang yang menanggapinya dengan negatif (dislike). Video Norman Kamaru pun menjadi trending topic di media-media sosial saat itu hingga mengalahkan topik tentang bintang dunia Justin Bieber dan kematian Osama bin Laden[endnoteRef:3]. Tulisan di blog tersebut juga mencatat bahwa pada 4 April 2011, media berita online arus utama Indonesia, DetikNews mulai memuat berita tentang Norman Kamaru dengan judul Gerakan Dukung Briptu Norman Ramai di Dunia Maya. Selama kurun waktu 43 hari sejak pemuatan pertama, tulisan di blog tersebut mencatat, berita-berita tentang Norman Kamaru di DetikNews mencapai jumlah 42 judul. [2: Lihat tulisan di blog thedemainsite, 24 Mei 2011, Pembahasan Agenda Setting Fenomena Briptu Norman Kamaru, https://thedamiansite.wordpress.com/2011/05/24/pembahasan-agenda-setting-fenomena-briptu-norman-kamaru/] [3: Lihat di situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Norman_Kamaru]

Coba kita bayangkan seandainya saat itu belum ada media sosial. Apakah Florence Sihombing dan Norman Kamaru akan bernasib seperti yang pernah mereka alami? Lepas dari penilaian negatif maupun positif, orang-orang seperti Florence dan Norman sudah banyak jumlahnya. Sebut saja Shinta dan Jojo, Prita Mulyasari, dan lain-lain. Florence dan Norman sendiri bukanlah yang pertama dan tak menutup kemungkinan ke depan akan muncul lagi sosok-sosok seperti mereka.Bahkan presiden Jokowi adalah salah satu sosok yang tak lepas dari gejala ini. Para pengamat meyakini, kesuksesan karir politik Jokowi didukung oleh media sosial. Konsultan public relations dari Fortune Indonesia, Indira Abidin menulis bahwa Jokowi adalah sosok yang melek media sosial. Ia termasuk politisi yang pertama kali melakukan komunikasi secara efektif melalui media sosial[endnoteRef:4]. Ross Tapsel, peneliti media dan pengajar studi Asia di Australian National University, di dalam tulisannya tentang Jokowi di masa pemilihan gubernur DKI 2012, menekankan bahwa saat kebanyakan politisi di Indonesia berkampanye menggunakan iklan televisi dan poster, Jokowi-Ahok secara tidak lazim memanfaatkan pesan Blackberry dan situs video YouTube[endnoteRef:5]. Pernyataan ini didukung oleh data yang dipublikasikan oleh lembaga riset media sosial, Politicawave (2012) yang melakukan pengamatan terhadap lalu lintas percakapan di media sosial, pada masa itu. Topik mengenai pasangan calon gubernur (cagub) Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama mendominasi sebanyak 54,9 persen, sedangkan tentang cagub Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli 45,1 persen rekapitulasi topik[endnoteRef:6]. Dan seperti kita tahu kemudian, pasangan Jokowi-Ahok berhasil memenangkan pilgub DKI dengan 53,81 persen suara, mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi yang memperoleh 46,19 persen suara. Perbandingan hasil ini tidak jauh berbeda dengan dengan rekapitulasi topik percakapan di media sosial. Gambaran-gambaran tersebut mengindikasikan bahwa media sosial bisa menjadi gambaran kecenderungan agenda khalayak yang bisa berorientasi kepada sikap dan perilaku sosial politik masyarakat. [4: Abidin, Indira, 14 Maret 2014,A new style of political communications: engaging with the people of Indonesia, http://www.ipra.org/itl/03/2013/a-new-style-of-political-communications-engaging-with-the-people-of-indonesia] [5: Tapsell, Ross, 21 Januari 2014, The Jokowi phenomenon, http://asiapacific.anu.edu.au/news-events/all-stories/jokowi-phenomenon] [6: Bisa dilihat di situs http://www.politicawave.com/data/historical/pilkadadki2012_putaran21/#landing-slide]

Media tradisional pun memanfaatkan situasi ini dengan menjadikan agenda media sosial (trending topic) sebagai acuan bagi media-media nasional untuk menentukan agenda pemberitaan mereka. Mucullah kemudian istilah media darling yang disematkan kepada sosok-sosok seperti Jokowi, Dahlan Iskan, termasuk Norman Kamaru, maupun lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang muncul dari trending topic di media sosial kemudian berlanjut menjadi sumber berita favorit bagi media-media berita tradisional dengan memberikan porsi ulasan yang menonjol. Sebuah lembaga riset dari Singapura, Purengage mencoba memberikan penilaian terhadap sosok-sosok media darling yang banyak dibicarakan di media sosial dan diulas di media pemberitaan online di Indonesia. Hasilnya mengindikasikan hubungan positif antara sosok-sosok yang paling sering dibicarakan di media sosial dengan penilaian sosok tersebut pada media pemberitaan online[endnoteRef:7]. [7: dipublikasikan tanggal 8 September 2013, Purengage: Ini Sebabnya Jokowi jadi Media Darling, yang dimuat di http://nasional.kompas.com/read/2013/09/08/0853309/Purengage.Ini.Sebabnya.Jokowi.Berhasil.Jadi.Media.Darling.]

Media Sebagai GatekeeperSecara tradisional, media massa menempatkan diri sebagai gatekeeper[endnoteRef:8] (White, 1950) yang menyeleksi berita-berita melalui proses agenda-setting untuk memengaruhi agenda khalayak (McCombs dan Shaw, 1972). Pengembangan konsep media sebagai gatekeeper ini dimotori oleh buku berjudul Public Opinion karya jurnalis legendaris Amerika Serikat, Walter Lippman (1921) yang melontarkan pandangan bahwa pekerjaan media massa adalah menjembatani informasi dari segala penjuru (the world outside) dengan gambaran dunia di benak para pembacanya (the picture in our head)[endnoteRef:9]. McCombs dan Shaw, yang dianggap sebagai pionir kajian agenda setting telah berhasil melakukan pengujian terhadap pandangan ini, seperti yang pernah dilansir oleh Bernard Cohen (1963) sebelumnya, bahwa media menyodorkan kepada khalayak isu-isu apa yang penting untuk mereka pikirkan. Penelitian yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw (1972) mendapati hubungan positif antara agenda pemberitaan politik menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1968 di media-media arus utama (mainstream) dengan agenda isu politik di benak khalayak yang menjadi responden mereka di Chappel Hill, North Carolina (AS)[endnoteRef:10]. Hasil penelitian McCombs dan Shaw memicu ratusan penelitian lain untuk mempelajari pengaruh agenda setting terhadap agenda khalayak. [8: Istilah gatekeeper sendiri pada mulanya digunakan oleh ahli psikologi Jerman, Kurt Lewin, untuk peran seorang ibu yang meyeleksi dan mengatur menu makanan di dalam keluarga. lihat Lewin, Kurt, 1947, Frontiers in group dynamics, dimat di jurnal Human Relations 1: 143153] [9: Lippman, Walter, 1921, Public Opinion, dimuat di http://caribuku.890m.com/pdf/Walter_Lippmann/PUBLIC_OPINION_1921%29_BY_WALTER_LIPPMANN__Pearson_Education/1_pdf] [10: McCombs, Maxwell E dan Shaw, Donald L, 1972, The Agenda-SettingFunction of Mass Media, dimuat di jurnal The Public Opinion Quarterly: vol. 36, no. 2, Oxford University Press, hal. 176-187.]

Tak pelak, teori agenda-setting menjadi salah satu batu loncatan penting di dalam kajian ilmu komunikasi massa. Para ahli mengembangkan tidak hanya hubungan antara agenda media dan agenda khalayak, namun juga hubungan agenda pemberitaan di antara media itu sendiri. Beberapa akademisi mengungkapkan hubungan positif di antara media elit dan media bukan elite (Reese&Danielian,1989), agenda pemberitaan surat kabar dan agenda pemberitaan di televisi (Lopez-Escobar dkk., 1989;Roberts &McCombs,1994), dan agenda pemberitaan surat kabar dengan agenda agen-agen pemberitaan (wire services) (Lim, 2006). P enelitian-penelitian ini berhasil membuktikan bahwa dinamika agenda-setting memiliki cakupan yang tidak sempit. Namun sejauh itu, para peneliti belum berhasil mengungkap secara gamblang bagaimana agenda khalayak mempengaruhi agenda media.

Pergeseran Agenda- SettingHingga kemudian berkembang penggunaan internet. Pesatnya tingkat penggunaan internet telah membawa pemikiran ulang bagi pemahaman lama tentang komunikasi massa. Seperti dinyatakan oleh Straubhaar, LaRose, dan Davenport (2010), media sosial seperti Facebook, MySpace, dan Twitter bisa dikatakan sebagai komunikasi massa dengan karakter many-to-many semenjak para anggotanya yang jumlahnya massifmenjadi audiens sekaligus adalah sumber isi informasi[endnoteRef:11]. Pernyataan ini merevisi pandangan Everett M Rogers di tahun 80-an, yang menganggap karakter many-to-many sebagai salah satu ciri komunikasi interaktif yang tidak bersifat masif (de-massified)[endnoteRef:12]. Namun dengan meluasnya pengguna internet di seluruh dunia, komunikasi melalui internet, atau secara khusus melalui media sosial, telah membaurkan karakteristik komunikasi interaktif dengan komunikasi massa. Di Indonesia sendiri, pengguna internet kini mencapai lebih dari 82 juta orang dan menduduki peringkat ke-8 dunia[endnoteRef:13]. [11: lihat Straubhaar, Joseph, LaRose, Robert, dan Davenport, Lucinda, 2010, Understanding Media, Culture, and Technology: seventh edition, Boston: Wadsworth Cengage Learning, hal. 21.] [12: Lihat Rogers, Everett M, 1986, Communication Technology: The New Media in Society, New York: The Free Press, hal. 21.] [13: Lihat Pengguna Internet di Indonesia Capai 82 Juta, 8 Mei 2014, artikel berita Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo): http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VEpftOcWHZs]

Kemunculan media baru membuat Chaffee dan Metzger (2001) juga meyakini bahwa pemahaman tentang agenda-setting telah mengalami pergeseran. Mereka mensinyalir, yang terjadi sekarang bukan lagi isu-isu apa yang disampaikan media untuk khalayak pikirkan, namun isu-isu apa yang khalayak sampaikan ke media yang ingin mereka pikirkan[endnoteRef:14]. Prediksi ini memancing beberapa akademisi untuk membuktikannya. Mereka melakukan eksplorasi tentang pengaruh munculnya media baru dan melonggarnya kendali media tradisional sebagai gatekeeper. DelliCarpini (2004) mencoba menguak jawaban atas pertanyaan mengapa derasnya pemberitaan skandal asmara presiden Clinton pada 1998 di media-media tradisional tidak mempengaruhi sikap politik masyarakat AS secara umum. Delli Carpini menganggap bahwa perubahan arus informasi akibat munculnya media baru telah mengurangi kekuatan pengaruh media tradisional terhadap agenda khalayak[endnoteRef:15]. Media baru membuat informasi beredar begitu melimpah. Sudah tidak ada lagi batasan ruang dan waktu yang mendasari fungsi gatekeeper. Robinson (2006) menyebut bahwa internet telah merevolusi jurnalisme yang selama ini memfungsikan diri sebagai gatekeeper menjadi gateway[endnoteRef:16]. [14: Chaffee, S.H. dan Metzger, M J, 2001, The End of Mass Communication?, Jurnal Mass Communication & Society, volume 4, number 4, pp. 365379.] [15: DelliCarpini,MX, 2004. MonicaandBillAlltheTimeandEverywhere. AmericanBehavioralScientist,47(9),1208-1230, http://dx.doi.org/10.1177/0002764203262344] [16: Robinson, Sue, 2006, GatewayorGatekeeper: Theinstitutionalization ofonlinenewsincreatinganalteredtechnological authority, International Symposium on Online Journalism, diunggah di https://online.journalism.utexas.edu/2006/papers/SueRobinson.pdf]

Lantas, bagaimanakah hubungan antara media baru dengan media tradisional? Sebuah penelitian terhadap media berita online oleh Delwiche (2005) mengungkap peran media baru di dalam pembentukan agenda-setting oleh media-media tradisional. Lebih jauh, Delwiche juga menemukan keterkaitan antara isu-isu yang paling sering dikutip dan ditautkan (agenda-setting) oleh para blogger dengan isu-isu yang paling dominan diberitakan oleh media tradisional[endnoteRef:17]. Hubungan ini diamati lebih spesifik oleh Bode dkk (2010) yang melakukan penelitian untuk menguak arah hubungan agenda pemberitaan terkait isu Proposition 8 di AS yang dimuat di situs Google News, YouTube, dan surat kabar-surat kabar di California, AS. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan arah hubungan agenda pemberitaan di antara ketiga media tersebut di tahun 2008 dengan tahun 2009. Pada 2008 terjadi hubungan saling mempengaruhi antara Google News dengan surat kabar-surat kabar di California dan antara Google News dengan YouTube, dengan YouTube cenderung dipengaruhi oleh surat kabar-surat kabar di California. Ternyata di tahun 2009 justru YouTube yang dominan memberikan pengaruh terhadap Google News dan surat kabar-surat kabar di California. Google News juga mempengaruhi agenda pemberitaan surat kabar-surat kabar di California[endnoteRef:18]. [17: Delwiche, Aaron, 5 December 2005, Agenda-setting, opinion leadership, and the world of Web logs, laporan penelitian dimuat di jurnal online vol. 10, no. 12 http://ojs-prod-lib.cc.uic.edu/ojs/index.php/fm/article/view/1300/1220.] [18: Bode, L., Sayre, B., Shah, C., Shah, D., & Wilcox, D. 2010. Agenda Setting in a Digital Age: Tracking Attention to California Proposition 8 in Social Media, Online News, and Conventional News. Policy & Internet: Vol. 2: Iss. 2, Article 1.]

Media baru juga telah memperluas cakupan pengaruh agenda-setting yang sebelumnya, seperti ditulis oleh Groshek dan Groshek (2013), cenderung bersifat top-down[endnoteRef:19]. Media-media sosial ternyata dianggap mampu merepresentasikan agenda khalayak yang memiliki pengaruh terhadap agenda media. Internet tidak hanya memperluas cakupan dinamika agenda-setting namun juga memperluas definisi sumber berita dan redaksi pemberitaan di dalam proses komunikasi massa (Bode dkk, 2010). Munculnya redaksi-redaksi baru seperti dilansir oleh Bruns (2009) telah menggulirkan pertanyaan dari manakah agenda media berasal dan di mana pengaruh ini berakhir di dalam kaitannya dengan agenda khalayak[endnoteRef:20]. Pada tulisan yang lain, Bruns (2011) bahkan memberikan pandangan bahwa pekerjaan gatekeeping yang dilakukan oleh media tradisional, mendapatkan tantangan baru hingga merasa perlu mengalihkan diri ke pekerjaan gatewatching mengingat derasnya informasi yang menjadi agenda khalayak yang beredar di media sosial[endnoteRef:21]. Kini sudah menjadi kebiasaan para redaksi di ruang pemberitaan untuk setiap saat memelototi apa yang terjadi di media-media sosial. Mereka tidak ingin ketinggalan tren terbaru informasi yang berkembang. Memperhatikan fenomena ini, beberapa akademisi meyakini bahwa hubungan antara media sosial dan media tradisional berkembang menjadi hubungan yang saling menguntungkan[endnoteRef:22]. Tapi benarkah, seperti dilansir oleh Davis (2008), hubungan antara agenda media tradisional dengan agenda media sosial hanya sekedar hubungan simbiosis[endnoteRef:23]? Tidakkah keduanya bersaing untuk mempengaruhi agenda khalayak? [19: Groshek, Jacob dan Groshek, Megan Clough, 2013, Agenda Trending: Reciprocity and the Predictive Capacity of Social Networking Sites in Intermedia Agenda Setting across Topics over Time, dimuat di Media and Communication edisi summer 2013, Volume 1, Issue 1, Pages 1527] [20: Bruns, Axel, 2009, Blogs,Wikipedia, Second Life, and beyond: From production to produsage. New York, NY, USA: Peter Lang.] [21: Bruns, Axel, 2011, Gatewatching,Gatekeeping, Realtime Feedback:News Challenges for Journalism, bisa diakses di http://snurb.info/files/2011/Gatekeeping,%20Gatewatching,%20Real-Time%20Feedback.pdf] [22: Matei, Sorin Adam dan McDonald, Danielle, 28 Juli 2010, Does agenda setting theory still apply to social media?, dimuat di http://matei.org/url/8m ] [23: Davis, Richard, 2008,A Symbiotic Relationship Between Journalists and Bloggers, Shorenstein Center, musim semi 2008, President and Fellows of Harvard College.]

Beberapa pengamat meyakini bahwa media sosial tidak mengubah bagaimana khalayak mengonsumsi berita. Namun media sosial telah mengubah bagaimana berita menyebar[endnoteRef:24]. Dengan kata lain, agenda khalayak relatif tetap, agenda medialah yang berubah. Pada beberapa kejadian, seperti musibah dan bencana alam, informasi yang berkembang di media sosial terindikasi berkembang dan beredar lebih pesat dibandingkan pemberitaan di media tradisional. Penelitian yang dilakukan oleh Wu dkk (2013) yang melakukan analisis isi terhadap berita-berita yang beredar di media sosial dan media tradisional pasca-musibah kecelakaan kereta api peluru di Tiongkok pada 23 Juli 2011, menemukan bahwa media sosial memainkan peranan penting yang memengaruhi setting pemberitaan media-media tradisional. Bahkan media sosial bertindak lebih progresif dengan menyajikan isu sensitif yang tidak diberitakan oleh media-media tradisional[endnoteRef:25]. Apakah ini menandakan, seperti judul tulisan Chaffe dan Metzger (2001), akhir dari komunikasi massa? [24: Saffer, Adam J, 15 Juni 2013, Intermedia Agenda Building of the Blogosphere: Public Relations Role in the Network, University of Oklahoma] [25: Wu,Yanfang, Atkin, David ,Mou, Yi, . Lin, Carolyn A,& Lau,TY, 2013, Agenda Setting and Micro-blog Use: An Analysis of the Relationship betweenSina Weibo and Newspaper Agendas in China, The Journal of Social Media in Society 2(2), musim gugur 2013.]

Bagi pemrakarsa kajian agenda-setting, Maxwell McCombs (2006), agenda-setting tetaplah memiliki dampak terhadap khalayak dan masih relevan untuk media baru. Ia menyatakan bahwa meskipun media baru berkembang terus namun di tengah masyarakat masih terdapat kesenjangan digital (digital divide)[endnoteRef:26]. Ia juga merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Althaus dan Tewksbury (2002) yang menemukan bahwa baik media cetak maupun online sama-sama memiliki dampak agenda-setting terhadap pembacanya, namun media cetak memiliki kekuatan pengaruh lebih tinggi dibandingkan media online[endnoteRef:27]. McCombs percaya bahwa satu fenomena konsisten yang kita dapati di dunia ini, seperti pada televisi kabel dengan beragam saluran, adalah keragaman media tersebut tetap cenderung mengarah kepada keseragaman agenda[endnoteRef:28]. [26: Huang, Jing-Rong Sonia, 8 April 2006, The Agenda-Setting Effects Exist on the Internet, McCombs Confirms, https://online.journalism.utexas.edu/detail.php?story=152&year=2006] [27: Althaus dan Tewksburry melakukan pengukuran untuk menguji perbedaan kekuatan pengaruh agenda-setting surat kabar News York Times cetak dengan edisi online, lihat Althaus,Sott L dan Tewksbury, David, 2002,AgendaSettingandtheNewNews, jurnal Communication Research,Vol.29No.2,April2002, hal.180-207.] [28: Huang, Jing-Rong Sonia, 8 April 2006, op. cit.]