Trauma Maksilofasial

45
BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki. Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan

description

maksilofasial

Transcript of Trauma Maksilofasial

Page 1: Trauma Maksilofasial

BAB IPENDAHULUAN

            Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.                Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.

Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum  hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawatdaruratan.

Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka

Page 2: Trauma Maksilofasial

waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.

Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat manapun.

Page 3: Trauma Maksilofasial

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

 2.1 Definisi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak  antara lain :1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.4. Cedera kelopak mata.5. Cedera telinga.6. Cedera hidung.

2.2 Anatomi MaksilofasialPertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua

setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.1

Page 4: Trauma Maksilofasial

Gambar 1. Anatomi Maksilofasial.

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).3

a. Bagian hidung terdiri atas :Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.3,4

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.3,4

Facial danger zones (Zona bahaya wajah)Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang

Page 5: Trauma Maksilofasial

apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger  zone.3,6

Gambar 2. Facial Danger Zones

2.3 EpidemiologiDari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial

sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % danfraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.1,4

2.4 Etiologi Trauma MaksilofasialTrauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian,

diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.1,3,4

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat

Page 6: Trauma Maksilofasial

mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).3,4

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab  pada orang dewasa

Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas

40-45

Penganiayaan / berkelahi

10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Penyebab  pada orang anak

Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas

10-15

Penganiayaan / berkelahi

5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda)

50-65

Jatuh 5-10

2.5  Klasifikasi Trauma MaksilofasialTrauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3

2.5.1 Trauma jaringan lunak wajah

Page 7: Trauma Maksilofasial

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:a. Ekskoriasib. Luka sayat, luka robek , luka bacok.c. Luka bakard. Luka tembak2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan3. Dikaitkan dengan unit estetikMenguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Gambar 3. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer

2.5.2 Trauma jaringan keras wajahKlasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.aa. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

Page 8: Trauma Maksilofasial

Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B. Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis

Gambar 5. Fraktur pada daerah mandibula : A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis

2. Berdasarkan Tipe fraktur :9

a. Fraktur simpel• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

b. Fraktur kompoun• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur komunisi

Page 9: Trauma Maksilofasial

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9

1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

4 . Konfigurasi ( garis fraktur ) 7,9

1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.2. Oblique ( miring )3. Spiral (berputar)4. Komunisi (remuk)

5. Hubungan antar Fragmen 3

1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :a. Angulasi / bersudutb. Distraksic. Kontraksid. Rotasi / berputare. Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : 8

a. Dento alveolarb. Prosesus kondiloideusc. Prosesus koronoideusd. Angulus mandibulae. Ramus mandibulaf. Korpus mandibulag. Midline / simfisis mentih. Lateral ke midline dalam regio insisivus

6.  Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :5,9

Page 10: Trauma Maksilofasial

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

c. Fraktur segmental mandibula

Gambar 6. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital)

2.6 Patofisiologi Trauma Maksilofasial1

Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1

Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medialorbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

Page 11: Trauma Maksilofasial

Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7

Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.1,7

Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.1

Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9

§  Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.

§  Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.

§  Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9

Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.8

Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah.1

Page 12: Trauma Maksilofasial

Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1

2.7  Manifestasi KlinisGejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

·         Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula.

·         Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.·                  Rasa nyeri pada sisi fraktur.·                  Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.·         Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan

lokasi daerah fraktur.·         Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.·         Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah

sekitar fraktur.·         Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.·         Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi

dibawah nervus alveolaris.·         Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan

pergerakan bola mata dan penurunan visus.3,10

2.8 Diagnosis2.8.1 Anamnesa 1

Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo? Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi  berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga?Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?

2.8.2 Pemeriksaan Fisik1,3

A. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :

Page 13: Trauma Maksilofasial

·         Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.·         Luka tembus.·         Asimetris atau tidak.·         Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.·         Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.·                  Cedera kelopak mata.·         Ecchymosis, epistaksisi.·         Defisit pendengaran.·         Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi1.      Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis,

jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

2.      Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.

3.      Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.

4.      Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.

5.              Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis danproptosis.

6.      Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.7.              Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,

sepertihyphema.8.      Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan

pada kompleks nasoethmoidal.9.      Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap

lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

10.  Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.

11.  Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.

12.  Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.

Page 14: Trauma Maksilofasial

13.       Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).

14.  Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.

15.  Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung.

16.  Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

17.  Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

18.  Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.

19.  Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.

20.  Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

21.  Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3

2.9 Pemeriksaan Penunjang3

1. Wajah Bagian Atas :·         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).·         CT-scan aksial koronal.·         Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala

2. Wajah Bagian Tengah :·         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).·         CT scan aksial koronal.·         Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan

posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles).3. Wajah Bagian Bawah :

·         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.·         Panoramic X-ray.·         Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :

- Posteroanterior (Caldwells).- Posisi lateral (Schedell).

- Posisi towne.

Page 15: Trauma Maksilofasial

Gambar 7. Pemeriksaan Radiologi

2.10 Penatalaksanaan3

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi :1. Periksa kesadaran pasien.

Page 16: Trauma Maksilofasial

2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :·         Apakah asimetris atau tidak.·                  Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

3. Apakah ada Hematoma :a. Fraktur Zygomatikus

·         Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secaracepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.

·         Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.b.Fraktur nasal

·                  Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah medial.c. Fraktur Orbita

·         Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?·         Apakah sejajar atau bergeser ?·         Apakah pasien bisa melihat ?·         Apakah dijumpai diplopia ? Hal ini karena :o   Pergeseran orbitao   Pergeseran bola matao   Paralisis saraf ke VIo   Edema 

d. Fraktur pada wajah  dan tulang kepala.·         Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,

deformitas,    iregularitas dan krepitasi.·         Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada fraktur

Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur. 

e. Cedera saraf ·         Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas). 

f. Cedera gigi·         Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan

juga disekitarnya.

2.11 Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.11

Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.

1. Apakah Pasien dapat bernapas ?Jika sulit : Ada obstruksi.  Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak.

Page 17: Trauma Maksilofasial

2.Curiga adanya Fraktur Mandibula. Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dansirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan. 3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakangLakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringanPada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan.5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu. 6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarahHisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :

a.               Memperbaiki jalan napas.b.      Mengontrol perdarahan.c.               Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.d.      Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma

7. Pemeriksaan Intra Oral. Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya  floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :

·         Mandibular floating.·         Maxillar floating.·         Zygomaticum floating

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.3

Page 18: Trauma Maksilofasial

Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.11

Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2  kelompok  :1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area diikuti dengan teknik ATLS2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita perlu melakukannya.b. Jaw trush dan chin lift.c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk 3. Endotrakel intubasi :  oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi4. Berikan oksigenasi yang adekuat .5.Monitor tanda vital setiap 5 ± 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk  pengantian cairan.7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin.8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 ± 10  menit.3,11

Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan luka pada wajah :1.  Asepsis.2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.

Page 19: Trauma Maksilofasial

4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure)3.

Fraktur Maksilofasial (Tinjauan)2. FRAKTUR MAKSILOFASIAL

2.1 Pengertian Fraktur Maksilofasial

Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace and

Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian,

ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar

2.1). Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita,

rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka

inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula

termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah

fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.

 

Gambar 2.1     Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca, 2005)

2.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial

Page 20: Trauma Maksilofasial

Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan,

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang

bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005).

2.3 Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial

2.3.1        Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.

Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) :

1.        Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik

melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.

2.        Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit,

mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.

3.        Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.

4.        Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya

melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.

5.        Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang

dikarenakan adanya penyakit tulang.

6.        Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak

berhubungan satu sama lain.

7.        Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.

8.        Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang,

biasanya pada tulang mandibula orang tua.

9.        Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

10.    Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan

lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Gambar 2.2     Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick; B. Simple; C.Comminuted; dan D. Coumpound (Hupp et al., 2008)

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3):

1.        Midline : fraktur diantara incisal sentral.

Page 21: Trauma Maksilofasial

2.        Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang

berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).

3.        Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.

4.        Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan

poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).

5.        Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada

sigmoid notch.

6.        Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.

7.        Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio

ramus.8.        Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 2.3     Lokasi Fraktur mandibula (Coulthard et al., 2008)

2.3.2        Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan

tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama

wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus

maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa.

Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena

fraktur.

Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :

1.        Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)

Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan

menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan

rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital

kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

Gambar 2.4     Fraktur Le Fort I(Fonseca, 2005)

2.        Fraktur Le Fort tipe II

Page 22: Trauma Maksilofasial

Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.

Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis,

yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus

infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan

dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada

fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura

nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus

ini. 

Gambar 2.5     Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

3.        Fraktur Le Fort III

Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)

menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini

ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai

pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar 2.6     Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

2.3.3 Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Page 23: Trauma Maksilofasial

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita

dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya

mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

2.3.4 Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)

            Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat bermain atau

dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur dentoalveolar dapat

terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya dapat

menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral  maksila karena berhubungan dengan posisinya

yang terekspos.

            Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang

abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang

inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat dilihat

pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang dengan

kebiasaan buruk menghisap ibu jari.

Gambar 2.7     Fraktur Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63 Pada Pasien Instalasi Gawat darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Klasifikasi Klinis Traumatic Dental Injuries (TDI) yang diadaptasi dariWorld Health

Organization (WHO) pada Application of international classification of disease to dentistry

and stomatology dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 24: Trauma Maksilofasial

Tabel 2.1         Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan PulpaKode Trauma Kriteria

N.502.50 Infraksi Email Fraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya substansi gigi (retak).

N.502.50 Fraktur Email (uncomplicatedfraktur mahkota)

Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.

N.502.51 Fraktur Email-Dentin (uncomplicatedfraktur mahkota)

Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan dentin, namun tidak melibatkan pulpa.

N.502.52 ComplicatedFraktur Mahkota

Fraktur yang melibatkan email dan dentin, dan menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.53 Fraktur Akar Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan berpindahnya bagian koronal gigi.

N.502.54 Uncomplicatedfraktur akar-mahkota

Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan sementum namun tidak menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.54 Complicated fraktur akar-mahkota

Fraktur yang melibatkan email, dentin, sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.

Tabel 2.2         Klasifikasi Trauma Pada Tulang Pendukung GigiKode Trauma Kriteria

N.502.40 ComminutionSoket Alveolar Maksila

Hancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

Page 25: Trauma Maksilofasial

N.502.60 ComminutionSoket Alveolar Mandibula

Hancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

N.502.40 Fraktur dinding soket alveolar maksila

Fraktur yang melibatkan  dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.60 Fraktur dinding soket alveolar mandibula

Fraktur yang melibatkan  dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.40 Fraktur prosesus alveolaris maksila

Fraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.60 Fraktur prosesus alveolaris mandibula

Fraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.42 Fraktur Maksila Fraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.61 Fraktur Mandibula Fraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

2.4  Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al., 2008)

2.4.1    Kontak Awal Pasien

Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan

pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma

Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah perawatan

trauma ABCDE.

A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection

1.        Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.

Page 26: Trauma Maksilofasial

2.        Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka

jalan nafas oral dan nasofaringeal.

3.        Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus

dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.

B: Breathing and adequate ventilation

1.        Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua

kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.

C: Circulation with control of hemorrhage

1.        Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan

mengontrol perdarahan.

2.        Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.

3.        Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan

perdarahan kepala.

D: Disability: neurologic examination

1.        Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.

2.        Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak

langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan

pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.

3.        Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat)

yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.

E: Exposure/ enviromental control

1.        Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.

2.        Menghilangkan lensa kontak.

2.4.2    Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et al., 2008)

            Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran

yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali

terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon

membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor

yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.

Page 27: Trauma Maksilofasial

Tabel 2.3         Glasgow Coma Scale (GCS)Glasgow Coma Scale Nilai

Respon Membuka Mata(E)

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil / ada rangsangan suara

3

Buka mata bila ada rangsang nyeri

2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon Verbal(V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon Motorik(M)

Mengikuti Perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

1

Page 28: Trauma Maksilofasial

Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon

membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala

dikelompokkan menjadi :

(1)     Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

(2)     Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13

(3)     Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8

Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian

tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir,

bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anak dengan

kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan

kesadaran ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8

menunjukkan koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research Group, 2008)

Tabel 2.4         Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan AnakGlasgow Coma Scale Nilai

Respon Verbal(V)

Berceloteh, bersuara, berkata-kata seperti biasanya

5

Rewel, Bingung 4Menangis bila ada rangsangan nyeri, berkata-kata tidak jelas

3

Merintih bila ada rangsang nyeri, bersuara tidak jelas

2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

2.4.3      Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Hupp et al.,

2008)

Page 29: Trauma Maksilofasial

Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien

penderita fraktur maksilofasial ialah:

1.        Bagaimana kejadiannya?

2.        Kapan kejadiannya?

3.        Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan

dapat menyebabkannya?

4.        Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?

5.        Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan

penglihatan, dan maloklusi?

Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi

tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.

Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan

sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.

Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman

penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan

infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.

Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada

rahang,  kaku di daerah telinga, dan trismus.

Gambar 2.8     Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Menandakan Adanya Fraktur Mandibula.

Page 30: Trauma Maksilofasial

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik

termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi

terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.

Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma

seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama

dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur

zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.

Gambar 2.9     Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

    Gambar 2.10     Ekimosis di Periorbital (Hupp et al., 2008)

Page 31: Trauma Maksilofasial

Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa

penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.

Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral

mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi

pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila,

stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu

tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat

mobilisasi maksila.

Gambar 2.11  Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Hupp et al., 2008)

Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di

daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area

tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika

adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari

telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.

2.4.4        Pemeriksaan Radiografis (Hupp et al., 2008)

Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk

memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan

radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.

Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto

radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique

Page 32: Trauma Maksilofasial

view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga

digunakan foto oklusal dan periapikal.

Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang

dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak

pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai

gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian

radiografi.

            Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat

menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental

vertex view.

2.4.5    Perawatan Fraktur Maksilofasial (Hupp et al., 2008)

Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah

penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi

nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase

perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi

pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa

tidak nyaman.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus

dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur

(mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-

segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai

tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur

sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu.

Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat

merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka

dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi

dan malunion.

Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga

reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara

langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.

Page 33: Trauma Maksilofasial

Gambar 2.12   Jenis Teknik Maxillomandibular fixation wiring Arch bar Pada Pasien Fraktur Maksilofasial Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi

terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka

dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka

ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur

angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi

segmen proksimal mandibula.