Referat Trauma Maksilofasial Tht Tia

36
BAB I PENDAHULUAN Patah tulang wajah terjadi karena berbagai alasan yang berkaitan dengan partisipasi olahraga: kontak antara pemain (misalnya, kepala, tangan, siku), kontak dengan peralatan (misalnya, bola, pucks, setang), atau kontak dengan lingkungan, hambatan, atau bermain permukaan (misalnya, gulat tikar, peralatan senam, tiang gawang, pohon). Meskipun cedera wajah yang berhubungan dengan olahraga yang kecil, potensi kerusakan yang serius tetap ada. Seorang dokter yang memeriksa luka harus cepat menilai pasien secara konsisten dan metodis, memungkinkan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat, sementara mempertimbangkan tuntutan fisik olahraga, serta mengembalikan atlet untuk bermain. (1) Fraktur tulang wajah memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus mempertimbangkan mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien. (1) Kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan fraktur tulang wajah adalah sebagai berikut: (1) Fraktur hidung - 30 g 1

Transcript of Referat Trauma Maksilofasial Tht Tia

BAB I

PENDAHULUAN

Patah tulang wajah terjadi karena berbagai alasan yang berkaitan dengan

partisipasi olahraga: kontak antara pemain (misalnya, kepala, tangan, siku),

kontak dengan peralatan (misalnya, bola, pucks, setang), atau kontak dengan

lingkungan, hambatan, atau bermain permukaan (misalnya, gulat tikar, peralatan

senam, tiang gawang, pohon). Meskipun cedera wajah yang berhubungan dengan

olahraga yang kecil, potensi kerusakan yang serius tetap ada. Seorang dokter yang

memeriksa luka harus cepat menilai pasien secara konsisten dan metodis,

memungkinkan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat, sementara

mempertimbangkan tuntutan fisik olahraga, serta mengembalikan atlet untuk

bermain. (1)

Fraktur tulang wajah memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus

mempertimbangkan mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika

menilai pasien. (1)

Kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan fraktur tulang wajah

adalah sebagai berikut: (1)

Fraktur hidung - 30 g

Fraktur zygoma - 50 g

Fraktur mandibula (sudut) - 70 g

Fraktur area frontal - 80 g

Fraktur maksila (garis tengah) - 100 g

Fraktur mandibula (garis tengah) - 100 g

Fraktur rim supraorbital - 200 g

1

BAB II

ANATOMI MAKSILOFASIAL

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 1 Anatomi tulang wajah(3)

Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian: (2)

Upper face - tulang frontal dan sinus frontal.

Midface - tulang hidung, tulang ethmoid, tulang zigoma dan tulang

maksila.

Lower face - tulang mandibula.

II.1. Tulang Frontalis dan Orbita

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 2 Anatomi Tulang Frontalis(3)

2

Tulang frontalis terletak di bagian depan kepala / tengkorak dan sesuai

dengan daerah yang dikenal sebagai dahi. Fungsi utama dari tulang frontal

perlindungan otak dan membentuk wajah. Tulang-tulang frontal terdiri dari dua

bagian: bagian vertikal dikenal sebagai squama frontalis dan bagian horizontal,

yang dikenal sebagai pars orbital. Bagian vertikal sesuai dengan dahi sementara

bagian horizontal berkorelasi dengan atap rongga orbital (mata) dan hidung. (3)

Batas-batas area orbital: (2)

Batas orbital superior dibentuk oleh tulang frontal.

Batas orbital lateral dibentuk oleh proses frontal zygoma, proses

zygomatic tulang frontal dan sayap yang lebih besar dari tulang sphenoid.

Batas orbital inferior dibentuk oleh rahang atas dan zygoma tersebut.

Batas orbital medial dibentuk oleh proses frontal rahang atas, tulang

lakrimalis, proses sudut dan orbital tulang frontal dan tulang ethmoid.

Dasar orbital dibentuk oleh atap sinus maksilaris.

Bagian dari, tulang sphenoid palatina dan ethmoid membentuk puncak

orbital.

II.2. Tulang Hidung

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 3 Anatomi Tulang Hidung(3)

Tulang hidung terdiri dari dua tulang yang terletak di dekat tengah wajah

yang bertemu untuk membentuk jembatan hidung. Tulang-tulang bervariasi dalam

3

ukuran dari individu ke individu. Setiap tulang hidung terdiri dari dua permukaan,

permukaan luar dan dalam, dan empat perbatasan. Fungsi-fungsi tulang hidung

dalam membentuk hidung dan pembentukan jembatan hidung. Selanjutnya, tulang

hidung menyentuh empat tulang lain, yaitu tulang frontal, tulang ethmoid, tulang

maksila, dan tulang hidung yang berlawanan. (3)

III.3. Tulang Etmoid

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 4 Anatomi Tulang Etmoid(12)

Tulang ethmoid adalah tulang berbentuk persegi atau kubus yang terletak

di bagian atas hidung dan di antara dua soket mata. Ini tulang ringan terbuat dari

tulang spons dan seperti sphenoid, merupakan salah satu tulang yang membentuk

struktur rongga mata. Fungsi utama dari tulang ethmoid adalah perlindungan

organ-organ vital di wilayah dan dukungan dari hidung dan orbita (rongga mata). (3)

III.4. Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 5 Anatomi Tulang Zigoma(3)

4

Zygoma membentuk bagian lateral tepi orbita inferior, serta tepi lateral

dan dinding lateral orbita. Selain itu, membentuk lengkungan zygoma anterior.

Di permukaan lateral, tulang zygoma memiliki 3 prosesus. Prosesus inferior, yaitu

prosesus yang cekung, sebelah medial membentuk artikulasi prosesus zygomatic

dengan maksila, membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Sebelah superior

membentuk prosesus frontal yang berartikulasi dengan tulang frontal.(4)

Prosesus posterior, sebuah prosesus temporal yang berartikulasi dengan

prosesus zygoma dari tulang temporal untuk membentuk lengkung/arkus zygoma.

Pada permukaan medial zygoma adalah lempeng orbital halus yang membentuk

dasar lateral dan dinding lateral orbita. Prosesus ini berartikulasi dengan sayap

dari tulang sphenoid di sebelah posterior. (4)

Dari posterior ke tepi lateral dan sedikit ke inferior menuju sutura

frontozygomatic adalah batas dari tuberkulum Whitnall, dimana ligamentum

palpebral lateralis menempel. Di medial permukaan orbital yang halus terdapat

foramen, yang mengirimkan saraf zygomaticofacial dan zygomaticotemporal

untuk masing-masing lubang pada permukaan lateral. Foramen zygomaticofacial

terletak tepat di lateral ke tepi lateral orbital pada persimpangan prosesus frontal

dan maksila. Foramen zygomaticotemporal terletak pada permukaan cekung

posterior rim orbital lateralis. (4)

III.5. Tulang Maksila

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 6 Anatomi Tulang Maksila(4)

5

Maksila terdiri dari dua tulang terpisah yang menyatu secara kolektif.

Maksila, sering dikenal sebagai tulang kumis karena bentuknya, terletak di atas

mandibula dan di bawah orbita. Fungsi maksila adalah untuk memberikan

perlindungan wajah, mendukung orbita, tempat melekatnya gigi bagian atas, dan

membentuk dasar hidung. (3)

Rahang atas dibagi menjadi komponen-komponen berikut: tubuh, prosesus

zygomaticus, prosesus frontal, prosesus alveolar, prosesus palatina, foramen

infraorbital, dan sinus maksilaris. Prosesus alveolar dikenal sebagai

lengkung/arkus maksila dan merupakan bagian dari maksila yang menjadi tempat

melekatnya gigi bagian atas. (3)

III.6. Tulang Mandibula

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

A. B.

Gambar. 7 Anatomi Tulang Mandibula. A) tampak dari superior. B) tampak dari posterior. (4)

Mandibula adalah tulang yang membentuk huruf U. Tulang ini adalah

satu-satunya tulang yang dapat bergerak di kerangka wajah, dan karena

merupakan tempat melekatnya gigi bawah, gerak adalah penting untuk proses

mengunyah. Hal ini dibentuk oleh pengerasan intramembranosus. Mandibula

terdiri dari 2 hemi-mandibula yang bergabung di garis tengah oleh simfisis

vertikal. Hemi-mandibula menyatu membentuk satu tulang pada usia 2 tahun.

Setiap hemi-mandibula terdiri dari badan horizontal dengan ekstensi posterior

vertikal disebut ramus. (4)

6

III.7. Perdarahan dan Persarafan(2)

Cabang darah arteri karotis eksternal memperdarahi wajah.

Saraf wajah memasok otot-otot ekspresi wajah.

Mata, maksila dan bawah cabang dari sensasi pasokan saraf trigeminal

pada kulit wajah.

7

BAB III

TRAUMA MAKSILOFASIAL

III.1. Definisi

Trauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang

yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang atau

gigitan manusia, atau luka bakar.(5) Cedera Maksilofasial dapat menjadi kompleks

dan melibatkan multi-spesialisasi. Cedera dapat melibatkan jaringan kulit dan

jaringan lunak serta mengakibatkan patah tulang. Masalah psikologis akut dan

jangka panjang dapat diakibatkan dari trauma maxillofacial dan cacat tubuh. (2)

III.2. Etiologi

Kecelakaan mobil adalah penyebab utama trauma rahang atas, serta

partisipasi dalam olahraga, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya. Atlet

mungkin mempertahankan cedera wajah dari bertabrakan dengan pemain lain

(seperti dalam sepak bola atau rugby), dari kontak langsung dengan peralatan

(pemukul bisbol, tongkat hoki, tiang gawang, paralel bar, dll), atau dari kontak

dengan benda lain yang berhubungan dengan olahraga (bola sepak, hoki pucks,

ski, dll) orang yang paling berisiko adalah atlet, siapa pun yang mengendarai

kendaraan atau naik dalam satu, dan mereka yang hidup di peternakan, melakukan

pekerjaan yang berbahaya, atau terlibat dalam jenis perilaku agresif. (5)

Hewan adalah penyebab umum trauma maksilofasial. Kuda dan hewan

ternak lainnya yang besar dapat menyebabkan cedera parah di wajah dan rahang

dari tendangan atau gigitan. Selain itu, beberapa anjing peliharaan yang besar bisa

menggigit cukup keras untuk fraktur tulang wajah anak kecil. (5)

Kekerasan domestik dan pelecehan juga merupakan penyebab umum dari

cedera wajah pada anak-anak dan remaja. (5)

8

III.3. Gejala dan Tanda

Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti: (6)

kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi);

emfisema subkutis;

rasa nyeri;

terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara

perabaan;

epistaksis (anterior dan posterior);

adanya obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematoma pada

septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum;

gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran

posisi bola mata, abrasi kornea, epifora, ekimosis pada konjungtiva,

periorbita;

gangguan saraf sensoris berupa anesthesia atau hipestesia dari ketiga

cabang saraf otak kelima;

gangguan saraf motorik terdapatnya parese atau paresis dari satu atau

semua saraf otak cabang ketujuh; terdapat krepitasi tulang hidung, maksila

dan mandibula;

trismus;

maloklusi;

terdapat fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut;

kebocoran cairan otak (leakage); dan terdapat tanda infeksi jaringan lunak

pada daerah hematoma.

Gejala-gejala seperti yang disebutkan diatas, mengharuskan kita melakukan

pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi ke bagian lain yang terkait,

9

penanggulangan sumbatan jalan nafas secepatnya serta mengatasi syok.

Pemeriksaan fisik secara sistematis akan membantu menegakkan diagnosis yang

tepat. (6)

III.4. Perawatan Awal

Perawatan awal bergantung pada keparahan cedera. Perawatan awal

berupa evaluasi umum secara cepat dari tanda-tanda vital pasien dan bila perlu

pelaksanaan tindakan-tindakan dasar penyokong hidup. Pemeliharaan jalan nafas

merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan penghisapan rongga mulut

dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris lainnya. Bila pasien dalam

keadaan koma atau bila fraktur mandibula mengakibatkan dasar mulut menjadi

tidak stabil disertai prolaps lidah kedalam faring, maka suatu jalan nafas oral

mungkin diperlukan. Jika untuk alasan apapun, suatu jalan nafas oral ternyata

tidak memuaskan dan ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi

endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan

bila mana mungkin, oleh karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak

benar-benar mengenal anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. (7)

Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah

pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung

yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Keadaan ini

biasanya berespons dengan penggantian volume dan tindakan hemostatik yang

tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan-tindakan resusitatif

awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis.(7)

III.5. Diagnosis

Seperti cedera pada system organ lain, maka evaluasi awal pada trauma

kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan

akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk dalam cedera serta deskripsi

rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden terjadi. Detail seperti apakah

pasien mengenakan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi

petunjuk mengenai tipe cedera yang harus dicari.(7)

10

Pemeriksaan fisik harus dilakukan segera mungkin oleh karena

pembengkakakn akan menyamarkan deformitas tulang ataupun tulang rawan. Hal

pertama yang perlu diamati adalah status kesadaran pasien, oleh karena adanya

cedera otak merupakan prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien setelah

fungsi kardiovaskular dan pernapasan menjadi stabil. Jaringan lunak yang

menutup kepala dan leher perlu diinspeksi secara cermat dan menyeluruh guna

mencari laserasi, termasuk bagian dalan telinga, hidung dan mulut. Mobilitas

wajah perlu perhatian khusus, karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh dapat

sangat penting artinya dalam penatalaksanaan pasien selanjutnya. Semua luka

perlu dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah cedera tulang atau

tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka. Pemeriksa

mempalpasi seluruh kepala dan leher, mulai dari puncak kepala dan bergerak ke

bawah untuk mencari fraktur yang tergeser ataupun struktur gerak yang abnormal. (7)

Gambar. 8 Pemeriksaan Palpasi pada trauma muka. a) palpasi struktur tulang dan kartilago hidung.

b) palpasi zigoma. c-e) palpasi rahang atas. f) palpasi mandibula. g-h) palpasi orbita superior dan

inferior.

11

Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu

mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. X-ray dan CT scan dapat memberikan lokasi fraktur yang akurat.

Pengambilan gambar spesifik tergantung pada daerah fraktur yang dicurigai. (7,2)

III.6. Jenis - Jenis Fraktur

III.6.1 Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Diagnosis

fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung

bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya

pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya

robekan pada mukosa septum, hematoma septum,dislokasi atau deviasi septum. (6)

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinus paramasal posisi

Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat

fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lain. (6)

1. Fraktur hidung sederhana

Jika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan reposisi fraktur

tersebut dalam analgesia local. Akan tetapi pada anak - anak atau orang dewasa

yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum.

Analgesia local dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang

dicampur dengan epinefrin 1:1000%.(6)

Tampon kapas yang berisi obat analgesia local ini dipasang masing-

masing 3 buah, pada setiap hidung. Tanpon pertama diletakkan pada meatus

superior tepat dibawah tulag hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media

dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen

sphenopalatina, tampon ketiga diletakkan antara konka inferior dengan septum

nasi. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray

beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek

12

vasokonstriksi yang baik. (6)

Penatalaksanaan

Teknik reduksi tertutup. Jenis fraktur tersering menimbulkan depresi pada

satu tulang hidung disertai pergeseran pyramid hidung ke sisi satunya. Elevasi

tulang hidung yang mengalami depresi tersebut dengan suatu elevator yang pipih,

diikuti dengan penggeseran pyramid kembali ke posisi semula biasanya dapat

dilakukan tanpa kesulitan. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah

trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang mungkin terjadi sangat sedikit.

Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah

terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estektomi. (6)

Sesudah fraktur hidung dikembalikan keadaan semula, dilakukan

pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat

ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan

berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar

(gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti

huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari. (6)

Gambar. 9 Reduksi tertutup fraktur os nasal menggunakan forcep Walsham (kiri) dan

cunam Ash (kanan) (6)

2. Fraktur tulang hidung terbuka

Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang

hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga

13

hidung. Cedera berat tidak hanya memerlukan reduksi terbuka namun juga

berbagai teknik fiksasi seperti pemasangan kawat langsung, penyangga eksternal,

atau bahkan transfiksasi dengan kawat stainless steel dan pemasangan lempeng

plumbum. (6,7)

3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks

Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat

akan menimbukan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila

dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila

dan prosesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak diantara

kedua bola mata akan terdorong kebelakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid,

fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita. (6)

Klasifikasi nasoorbitoetmoid kompleks: (6)

Tipe I: mengenai satu sisi noncomminuted fragmen sentral tanpa robeknya

tendo kantus media.

Tipe II: mengenai fragmen sentral tanpa robeknya tendo kantus media.

Tipe III: mengenai kerusakan fragmen sentral berat dengan robeknya

tendo kantus media.

Fraktur nasoorbitoetmoid kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki

dengan cara sederhana menggunakan tampon hidung atau fiksasi dari luar.

Apabila terjadi kerusakan duktus naso-lakrimalis akan menyebabkan airmata

selalu keluar. Tindakan ini memerlukan penanganan yang lebih hati-hati dan teliti.

Rekonstruksi dilakukan dengan menggunakan kawat (stainless steel) atau plate &

screw. Pada fraktur tersebut diatas, memerlukan tindakan rekonstruksi kantus

media. (6)

III.6.2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

1. Fraktur zigoma

14

Tulang zygoma merupakan bagian dari dasar dan dinding lateral orbita dan

arkus zygoma merupakan fitur penting dalam struktur dan penampilan wajah.

Kompleks malar mengacu pada zygoma dan tulang rahang atas (dan karena itu

merupakan bagian dari dasar orbita dan dinding lateral orbita). Hal ini memainkan

peran kunci dalam struktur dan fungsi skeleton wajah. Selain memberikan

dukungan pada wajah secara umum, tulang zigoma merupakan insersi untuk otot

masseter dan melindungi otot temporalis dan proses koronoideus. Cedera yang

menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma

atau tonjolan malar. Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang

dapat diraba pada lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3)

hipestesia pada pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau

(6) pergeseran bola mata ke bawah. (8,7)

Penatalaksanaan

Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite).

Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuar

sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator

melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebutdan dengan sedikit

tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi

ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik. (6)

Reduksi terbuka dari tulang zigoma. Tulang zigoma yang patah tidak bisa

diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi

terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul diatas

zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada

reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita,

dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi dibawah palpebra inferior untuk

mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan

secara hati.hati karena dapat merusak bola mata. (6)

2. Fraktur arkus zigoma

15

Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul

rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus.

Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap

prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi

dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi. (6)

Penatalaksanaan

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat

dari arkusdapat ditanggulangi dengan melakikan elevasi arkus zigoma tersebut.

Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya

dipasang kawat baja atau miniplate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi

pada reduksi terbuka dilakukan di atasarkus zigoma, diteruskan kebawah sampai

kebagian zigoma di preaurikuler. Tindakan reduksi didaerah ini dapat merusak

cabang frontalis dari nervus fasialis,sehingga harus dilakukan tindakan proteksi. (6)

III.6.3. Fraktur tulang maksila

Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat, dan

dicirikan oleh (1) mobilitas atau pergeseran palatum, (2) mobilitas hidung yang

menyertai palatum, (3) epistaxis atau (4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian

sepertiga tengah wajah. (7)

Sebagian besar pemahaman tentang pola propagasi fraktur pada trauma

midface berasal dari karya Rene Le Fort. Pada tahun 1901, ia melaporkan

karyanya pada tengkorak mayat yang mengalami tumpul kekuatan berbagai

besaran dan arah. Dia menyimpulkan bahwa pola diprediksi patah tulang

mengikuti jenis tertentu cedera. Tiga jenis dominan digambarkan, yaitu: (9)

Fraktur maksila Le Fort I

Le Fort I/fraktur Guerin (horizontal) bisa terjadi akibat kekuatan dari

cedera mengarah rendah di tepi alveolar maksila ke arah bawah. Fraktur

meluas dari septum hidung ke rima piriformis lateralis, berjalan horizontal

di atas apeks gigi, melintasi bawah persimpangan zygomaticomaxillary,

16

dan melintasi persimpangan pterygomaxillary untuk mengganggu lempeng

pterygoideus.

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan

menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan secara palpasi. Garis

fraktur yang mengarah vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah,

membagi muka menjadi dua bagian (palatal split)

Fraktur maksila Le Fort II

Le Fort II fraktur (piramida) bisa terjadi akibat pukulan ke bawah atau

pertengahan maksila. Fraktur ini memiliki bentuk piramida dan

memanjang dari tulang hidung pada atau di bawah sutura nasofrontal

melalui prosesus frontal maksila, melalui tulang lakrimalis dan dasar

inferior orbita dan rima melalui atau dekat foramen orbital inferior, dan

melalui dinding sinus maksilaris anterior, kemudian berjalan di bawah

zygoma, menyeberangi fisura pterygomaxillary, dan melalui lempeng

pterygoideus.

Fraktur maksila Le Fort III

Le Fort III fraktur (melintang), disebut juga craniofacial dysjunctions,

dapat memberi dampak terhadap tulang hidung atau maksila bagian atas.

Fraktur ini mulai pada sutura nasofrontal dan frontomaxillary dan meluas

ke posterior sepanjang dinding medial orbita melalui alur nasolacrimal dan

tulang ethmoid. Di posterior tulang sphenoid tebal biasanya mencegah

kelanjutan dari patah tulang ke kanal optik. Sebaliknya, fraktur berlanjut

sepanjang dasar orbita sepanjang fisura orbital inferior dan berlanjut

kearah superior lateral melalui dinding lateral orbital, melalui

persimpangan zygomaticofrontal dan arkus zygomatic. Di dalam nasal,

sebuah cabang dari fraktur meluas melalui dasar lempeng tegak lurus dari

ethmoid, melalui vomer, dan melalui pertemuan dari lempeng

pterygoideus ke dasar sphenoid.

Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan

17

dishface. Fraktue maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi

intracranial seperti pengeluaran cairan otak melalui atap sek etmoid dan lamina

kribiformis. (6)

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 10 Klasifikasi Fraktur Maksila menurut Le Fort (13)

System klasifikasi yang baru menggunakan system penyangga tulang

muka vertical dan horizontal yang pada kepustakaan disebut vertical buttresses

dan horizontal beams. Penyangga vertical muka terdiri dari zigomatiko-maksila

(lateral), nasomaksila (medial) dan pterigomaksila (posterior). Horizontal beams

adalah alveolus, dasar orbita dan rim orbita dan supraorbita. (6)

Gambar. 11 Vertical buttresses dan horizontal beams(6)

Penatalaksanaan

Prinsip dasar dalam penatalaksanaan adalah fiksasi fragmen-fragmen

fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan teknik

pemasangan kawat secara langsung atau memakai kawat penyangga internal. Plat

tulang yang kecil juga dapat dipakai untuk immobilisasi segmen - segmen fraktur

sebagai pengganti kawat pengikat. Bila dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi

interna mamakai kawat tidak memberi reduksi atau fiksasi yang memuaskan,

18

maka mungkin dapat digunakan alat fiksasi eksternal untuk membuat traksi lateral

atau anterior juga jika diperlukan. (7)

III.6.4. Fraktur tulang orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita

terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur

tulang orbita dan fraktur maksilla sangat sering terjadi akibat ketidak hati-hatian

dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan

kendaraan yang sesuai, tidak meminum alcohol atau obat yang mengganggu

kesadaran sangat penting intuk dihindarkan. Fraktur orbita ini memberika gejala-

gejala: (6)

1. Enoftalmos

2. Exoftalmos

3. Diplopia

Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa dengan teliti dan

dilakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya

dikerjakan oleh dokter spesialis mata

4. Asimetri pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture

dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang

meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi

zigoma.

5. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis

berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila

pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis

infra orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita sangat

mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita. Bila

19

timbuk anesthesia untuk waktu yang lama harus dilakukan eksplorasi dan

dekompresi nervus infra orbitalis.

III.6.5. Fraktur tulang mandibula

Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh

kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Penyebab cedera dapat karena

kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh, cedera industri atau cedera olahraga

tetapi jumlah relatif masing-masing bervariasi antara negara dan daerah. Di bawah

usia 25, jumlah trauma gigi sehingga kehilangan gigi lebih banyak dari karies atau

gum disease. Dalam hal kekerasan, laki-laki muda yang paling berisiko dengan

alkohol merupakan faktor memberatkan. Perempuan dan anak-anak jauh lebih

sedikit beresiko, tetapi bisa dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada dominan

laki-laki sekitar 3:1 pada orang dewasa dan 3:2 pada anak-anak. (6,10)

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya

riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut: (6)

1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi

mandibula

2. Rasa nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior

3. Anesthesia dapat terjadi pada salh satu sisi bibir bawah, pada gusi atau

pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak

4. Maloklusi

5. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi

6. Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah, dll

7. Gangguan jalan nafas. Kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan

perubahan posisi, trismus, hematoma, edema pada jaringan lunak yang

kalau terjadi obtruksi hebat dari jalan nafas harus dilakukan trakeostomi.

8. Dan lain-lain

20

Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis.

Mandibula dibagi menjadi tujuh regio, yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus,

prosesus koronoid, prosesus kondilar dan prosesus alveolar. (6)

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Gambar. 12 Regio Mandibula (14)

Penatalaksanaan

Penangulangan fraktur mandibula ini tergantung pada lokasi fraktur,

luasnya fraktur dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur dapat ditentukan dengan

pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat dengan foto polos pada posisi

posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jikalau diperlukan

pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. (6)

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum

pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila dengan geligi yang

utuh juga. Lengkung geligi atas biasanya diikatkan pada lengking geligi bawah

memakai batang - batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang - batang lengkung

ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna

mengikatkan lengkung geligi atas dengan lengkung geligi bawah. Fraktur

mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan

pemasangan kawat ataupun plat secara langsung pada fragmen-fragmen guna

mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-

21

batang lengkung. Tindakan ini meninggikan tingkat kenyamanan pasien, hygiene

mulut, bicara, jalan nafas, dan pemberian makanan. Antibiotika harus diberikan

sejak saat fraktur sampai mukoperiosteum menyembuh dan fraktur menjadi stabil. (7)

Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan

hygiene mulut dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian terapi

antibiotika yang telah dijelaskan diatas, serta analgesik, demikian juga tindakan

stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil. (7)

III.7. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas;

sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang

tidak tepat; kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah,

penghidu, perasa dan penglihatan; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan

berat badan; fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan

pendarahan. (11)

III.8. Prognosis

Reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur wajah menghasilkan kepuasan

dalam tampilan fisik wajah dan pengembalian fungsi.

Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya

yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah jarang

menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat. Cedera jaringan lunak yang

luas atau avulsi dan fraktur comminuted jauh lebih sulit penanganannya dan

mungkin memiliki hasil yng buruk. Pendarahan hebat dari cedera masif pada

midface dapat berakibat kematian. Obstruksi jalan nafas, jika tidak terdeteksi dan

ditangani dengan benar, dapat dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi. (11)

22

BAB IV

KESIMPULAN

Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Upper face

(tulang frontal dan sinus frontal), Midface (tulang hidung, tulang ethmoid,

tulang zigoma dan tulang maksila) dan Lower face (tulang mandibula).

Trauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang

yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang

atau gigitan manusia, atau luka bakar.

Pada perawatan awal, pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas

pertama dan prioritas kedua adalah pemeliharaan curah jantung yang

memadai.

Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung.

Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang dapat diraba pada

lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3) hipestesia pada

pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau (6)

pergeseran bola mata ke bawah.

Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat.

Pola fraktur maksila diklasifikasikan menurut klasifikasi Le Fort, tiga jenis

dominan digambarkan.

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita

terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.

Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh

kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Yang paling sering

mengalami fraktur adalah prosesus kondilar.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas;

sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder; kerusakan saraf;

sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan; fraktur

mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan

Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya

yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah

jarang menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Facial Fractures. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/84613-

overview#a0199. Pada tanggal 17 Juli 2011, pukul 10.00 WIB.

2. Maxillofacial Injuries. Diunduh dari:

http://www.patient.co.uk/doctor/Maxillofacial-Injuries.htm. Pada tanggal 16

Juli 2011, pukul 20.00 WIB.

3. Skull Bones Cranial and Facial Bones. Diunduh dari:

http://www.learnbones.com/skull-cranial-and-facial-bones-anatomy. Pada

tanggal 16 Juli 2011, pukul 21.00 WIB.

4. Facial Bone Anatomy. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/835401-overview#showall. Pada

tanggal 16 Juli 2011, pukul 21.00 WIB.

5. Maxillofacial Trauma. Diunduh dari:

http://www.healthline.com/galecontent/maxillofacial-trauma/2#causes. Pada

tanggal 16 Juli 2011, pukul 20.00 WIB.

6. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma Muka. Dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi

EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007.

h. 199-207.

7. Wilson KS.Trauma Rahang-Wajah. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT.

Editor: Adams GL, Boies LR, Higler PA. Edisi ke 6. EGC. 1997. h. 509-521.

8. Zygomatic Arch and Orbital Fractures. Diunduh dari:

http://www.patient.co.uk/showdoc/40025215. Pada tanggal 16 Juli 2011,

pukul 22.00 WIB.

9. Maxillary and Le Fort Fractures. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104. Pada

tanggal 16 Juli 2011, pukul 22.00 WIB.

10. Mandibular Fractures. Diundug dari:

http://www.patient.co.uk/showdoc/40025216/. Pada tanggal 16 Juli 2011,

pukul 22.00 WIB.

24

11. Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/434875-overview#a25. Pada tanggal

16 Juli 2011, pukul 22.00 WIB.

12. Bones Of The Skull. Diunduh dari:

http://aftabphysio.blogspot.com/2010/09/bones-of-skull.html. Pada tanggal 17

Juli 2011, pukul 11.00 WIB.

13. Le Fort Fracture. Diunduh dari: http://loverockmd.com/?p=881. Pada tanggal

17 Juli 2011, pukul 12.00 WIB.

14. Mandible. Diunduh dari:

http://prepgmedicos.redstetho.com/forum/viewtopic.php?f=36&t=8178. Pada

tanggal 17 Juli 2011, pukul 12.00 WIB.

25