Trauma Kepala

download Trauma Kepala

of 22

description

All about trauma kepala

Transcript of Trauma Kepala

TRAUMA KEPALA

PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.DEFENISI Trauma kepala adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.(3)

PATOFISIOLOGI Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kepala bergantung pada:1. Besar dan kekuatan benturan2. Arah dan tempat benturan3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : Lesi bentur (Coup) Lesi antara (akibat pergeseran tulang. Dasar tulang tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, perenggangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media). Lesi kontra (counter coup).(3) Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri) Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal. Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome). Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri. Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun. Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah. TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu. Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous. Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.MEKANISME TRAUMA KEPALA Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200 mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah satu factor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan. Keadaan seperti ini bukanlah suatu hal yang jarang terjadi, mengingat bahwa pukulan pada dada atau muka sering kali mengakibatkan guncangan kepala yang hebat, dimana hal ini tidak ada benturan pada tengkorak ataupn kontak tenanga sama sekali. Sedangkan beban benturan (impact loading) merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya merupakan kombinasi kekuatan kontak (contact forces) dan kekuatan beban lanjut (inertial force). Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari objek yang membenturkan kepala. Efek awal dapat sangat minimal pada beban tertentu. Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul didekat namun terpisah dari titik benturan. Fenomena ini tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah tenaga pada titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan, kecepatan, dan densitas objek). Bila derajat deformitas local tengkorak tersebut melebihi toleransi tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depres local kebanyakan disebabkan oleh objek-objek dengan permukaan yang luasnya kurang dari 5 sentimeter persegi. Cedera (starin) adalah penyebab utama jejas jaringan, baik yang diakibatkan oleh beban guncangan maupun beban benturan. Ada tiga jenis cedera yang dapat timbul, yaitu kompresi (compression), regangan (tension) dan robekan (shear). Cedera dapat diartikan sebagai jumlah deformitas jaringan yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.(1)

MEKANISME PENYEBAB CEDERA KEPALA Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak benturr dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak suatu objek atau sebaliknya, sedangkan cedera guncangan lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi deselerasi, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun bukan karena pukulan.Lesi Lokal Akibat Benturan Lesi local dapat timbul akibat benturan yang meliputi fraktur linier dan depresi tulang tengkorak, hematom epidural, kontusi kup (coup contusion), intraserebral hematom yang merupakan perkembangan dari kontusi kup, subdural hematom yang merupakan tumpahan intraserebral hematom ke rongga subdural dan beberapa fraktur basis kranii. Terjadinya fraktur tulang tengkorak dangat bergantung pada sifat-sifat bahan tulang, kekuatan dan arah benturan, serta ketebalan dan kekuatan tulang setempat.Lesi di Tempat Lain Akibat Benturan Benturan pada kepala tidak selalu menyebabkan lekukan sederhana kedalam atau ke luar dari lokasi tersebut, tetapi kadang-kadang juga menyebabkan perubahan global dari bentuk kepala. Deformitas yang timbul pada tengkorak semacam ini dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan volume tekanan intracranial.Cedera Akselerasi-Deselerasi Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan fenomena yang serupa, dan hanya berbeda arahnya saja. Jadi efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Cedera yang dimanifestasikan sebagai cedera kompresi, regangan dan robekan, mengakibatkan kerusakan structural melalui satu dari dua mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah akibat adanya perbedaan relative arah gerakan antara otak terhadap fenomena yang didasari oleh keadaan berikut : Otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulainya akselerasi), otak tertinggal dibelakang gerakan tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Sehingga akibatnya otak akan relative bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena vena jembatan. Mekanisme ini merupakan salah satu penyebab terjadinya hematom sebdural.

Mekanisme cedera akselerasi yang kedua adalah jejas yang terjadi didalam otak sendiri yaitu cedera otak difus sindrom konkusi dan cedera aksonal difusa (difuse axonal injury). Perdarahan jaringan akibat robekan, dan sebahagian besar dari kontusi intermediate coup. Kerusakan yang terjadi tergantung dari tipe dan jumlah beban serta durasi akselerasi yang berlangsung. Cedera akselerasi dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu translasi, rotasi, dan angular.(1)Akselerasi Translasi Akselerasi translasi terjadi bila titik berat otak bergerak dalam suatu sumbu garis lurus. Cedera akselerasi translasi yang murni jarang terjadi mengingat bahwa secara fisiologis hubungan anatomis kepala-leher tidak memungkinkan gerakan ini. Gerakan translasi dapat muncul dalam periode yang singkat sewaktu kepala bergerak, atau kepala berhenti bergerak sesaat sebelum gerakan lain timbul, atau satu-satunya kemungkinan lain adalah adanya benturan pada vertex yang menimbulkan gerakan superior inferior. Pada prinsipnya mekanisme jejas yang timbul merupakan akibat pergeseran relative otak tengkorak dan bukan disebabkan oleh jejas di dalam otak, dengan demikian beban akselerasi trasnlasi yang murni tidak bias menimbulkan cedera otak difus, tetapi hanya cedera-cedera fokal saja, termasuk konstusi counter cup hematom intra serebral dan hematom subdural. Disamping itu biasanya kesadaran penderita baik.(5)Akselerasi Rotasi Akselerasi rotasi terjadi bila ada gerakan rotasi dititik berat otak tanpa disertai pergerakan titik berat tersebut. Mengingat bahwa titik berat otak terletak didaerah kelenjar pineal maka dalam kejadian sehari-hari gerakan akselerasi yang murni ini mungkin terjadi, terkecuali pada bidang horizontal dimana perputaran dapat terjadi mengelilingi aksis vertical yang melalui pineal.(1)Akselerasi Angular Akselerasi angular merupakan mekanisme cedera yang paling umum terjadi, merupakan gabungan dan akselerasi translasi dan rotasi. Dalam hal ini titik berat otak bergerak dalam arah membentuk sudut. Berdasarkan anatomi kepala dan leher, gerakan rotasi secara klinis terpusat pada daerah servical bawah, lokasi tersebut juga merupakan penentu proporsi translasi dan rotasi yang berlangsung. Komponen gerakan rotasi cenderung lebih banyak melibatkan servical bagian atas, dan sebaliknya komponen gerakan translasi cenderung melibatkan daerah servical yang lebih kebawah. Mengingat frekuensinya yang sering terjadi kejadian sehari-hari maka cedera akselerasi angular ini merupakan mekanisme yang paling banyak mencederai otak dan hamper semua jenis cedeera kepala dapat terjadi akibat mekanisme ini kecuali fraktur tengkorak dan hematom epidural. Tingkat cedera akan lebih berat bila kekuatan akselerasi ditambah sementara durasinya konstan. Pada fase pertama yang telah dibahas diatas, nilai cedera tel;ah sedemikian tingginya sehingga walaupun ditingkatkan lagi, hanya dapat mengubah pla jejas sedikit saja. Pada fase kedua jaringan vascular pada permukaan otak terlah terancam, dan dengan meningkatnya nilai cedera, selanjunya akan dapat melampaui batas toleransi jaringan tersebut serta menimbulkan kerusakan daerah sebelumnya belum terlihat atau menambah jumlah kerusakan pembuluh darah. Pada fase yang ketiga cedera lebih banyak menimbulkan jejas pada otak, dengan adanya peningkatan kekuatan akselerasi dapat meningkatkan nilai cedera untuk menimbulkan jejas vaskuler. Ada beberapa factor dan kondisi pracedera yang dapat berperan pada keadaan-keadaan patologis akibat kejadian rudapaksa kepala, yaitu :1. Duramater yang tipis dan melekat erat dengan tabula interna atau permukaan dalam tengkorak mempunyai kecenderungan untuk ikut terobek bersamaan dengan terjadinya fraktur tulang tengkorak.2. Hematom epidural tanpa ada fraktur tulang tengkorak, khususnya pada anak-anak dan dewasa muda dikaitkan dengan fleksibilitas tulang dan longgarnya duramater terhadap tengkorak.(1)KLASIFIKASI CEDERA KEPALAKlasifikasi Patologi Cedera Kepala - Cedera kepala primer, dapat berupa:1. Fraktur linear, depresi, basis kranii, kebocoran likuor.2. Cedera fokal yang berupa kontusi kup atau konterkup, hematom epidural, sub dural atau intraserebral.3. Cedera difus yang berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa cedera aksonal difusa yang ringan, moderat hingga berat.4. Trauma tembak.- Kerusakan otak sekunder, dapat berupa:1. Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan metabolism energy, dan kegagalan otoregulasi.2. Hematom traumatika: epidural, sub dural atau intraserebral- Edema serebral perifokal generalisata- Pergeseran otak (Brain shift)-herniasi batang otak.(5)Fraktur Tulang Kepala Fraktur linear terjadi akibat kontak-bentur pada kepala, sedangkan peranan gerakan kepala, dalam hal ini tidak ada peranan dari proses akselerasi dan guncangan lanjut. Fraktur jenis ini disebabkan oleh benturan suatu objek yang keras, dimana sebahagian energy benturan tidak digunakan untuk menggerakkan kepala, namun cukup mampu untuk menimbulkan deformitas local pada kepala. Kejadian fraktur depresi hamper mirip dengan fraktur linear, namun disini beban tenaganya lebih besar karena permukaan benturan yang lebih kecil. Fenomena kontak disini lebih terfokus dan lebih padat serta melebihi kapasitas elastisitas tulang tengkorak (terjadi perforasi).(6) Yang menjadi permasalahan dalam kasus-kasus dengan fraktur basis kranii adalah terjadinya robekari duramater dengan segala konsekuensi patologisnya, yaitu:1. Kebocoran lokuor melalui hidung2. Aerokel3. Meningitis4. Posisi fragmen fraktur itu sendiri.Trauma medulla spinalis & kolumna vertebralis Mekanisme trauma medulla spinalis berbeda dengan mekanisme terjadinya trauma kapitis. Kekuatan tidak langsung memegang peranan penting terjadinya trauma medulla spinalis, biasanya akibat fraktur/dislokasi dari kolomna vertebralis atau kerusakan dari diskus intervertebralis. Trauma langsung pada medulla spinalis biasanya akibat tembakan / luka tusuk. Trauma medula spinalis dapat berupa : Komosio Kontusio Kompressi Perdarahan ekstrameduler (epidural & subdural) Hematomyeli

Trauma pada kolumna vertebralis bisa terjadi akibat : Fraktur /dislokasi Kecelakaan kendaraan bermotor Jatuh dari tempat tinggi Trauma kepala yang menimbulkan pingsan sejenak (Komosio) Trauma kepala yang tampak berat atau ringan bias hanya mengakibatkan pingsan sejenak belaka, dengan atau tanpa amnesia retrograde. Tanda-tanda kelainan neurologic apapun tidak terdapat pada penderita yang bersangkutan. Diagnosis yang digunakan untuk kasus semacam itu ialah komosio serebri. Apa yang terjadi pada susunan syaraf pada komosio sebenarnya belum jelas. Kita tahu bahwa derajat kesadaran ditentukan oleh integritas diffuse ascendens reticular system. Sudah banyak fakta-fakta yang membenarkan anggapan bahwa lintasan tersebut bias tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan irreversible. Batang otak yang pada ujung rostal bersambung dengan otak dan pada ujung kaudalnya bersambung dengan medulla spinalis, mudah terbentang dan terengang pada waktu kepala bergerak secara tepat dan sekaligus secara mendadak.gerakan cepat mendadak itu dinamakan akselerasi. Peregangan menurut poros batang otak ini bias menimbulkan blockade reversible pada lintasan retikularis ascendens difus, sehingga selama blockade berlangsung, otak tidak mendapat input aferenn yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat terendah (pingsan). Hilangnya blockade terhadap lintasan ascendens itu akan disusul dengan pulihnya kesadaran.(4)Komosio serebri (Gegar Otak ) Adalah : Goncangan otak yang menimbulkan gangguan fungsi otak, terjadi segerasetelah trauma kapitis berupa pingsan sebentar & cenderung untuk sembuh spontan, tanpa ada kelainan organik pada jaringan otak. Gejala klinis : Gangguan kesadaran yang berlangsung singkat beberapa detik hingga 10 menit. Retrograd amnesia yaitu lupa akan kejadian sesaat sebelum kejadian Mual, muntah , pusing dan nyeri kepala Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan adanya kelainan Lumbal punksi dan EEG normal.

Komosio Medula Spinalis Komosio medulla spinalis jarang terjadi. Gejala-gejala tergantung dari tingginya lesi dan kelumpuhan yang terjadi berlangsung sementara dan pulih kembali setelah beberapa waktu. Kelumpuhan yang terjadi kemungkinan akibat spinal shock. Rinorre Diagnosis klinis rinorre kadang agak sulit mengingat pada posisi berbaring biasanya likuor tertelan, disamping juga beberapa diagnosis banding yang perlu difikirkan yaitu hipersekresi nasal, rhinitis alergika, epistaksis dan sebagainya. Diagnosis pasti dan penentu lokasi kebocoran ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yang menggunakan bantuan pewarnaan fenolftalein yang dimasukkan melalui punksi lumbal. Pada tahap awal biasanya penderita diistirahatkan berbaring dan diberikan suntikan anabolic seperti: Deca-durabolin, serta prevalensi terhadap kemungkinan infeksi. Penanganan bedah untuk menutuo kebocoran biasanya diterapkan setelah 10-14 hari kemudian bila tidak ada tanda-tanda penyembuhan.(1)Otorre Likuor Kejadian ini terjadi pada kira-kira 7% kasus fraktur basis kranii. Walaupun sering kali kebocorannya profus, ia jampir selalu dapat pulih secara spontan setelah 5-10 hari. Prinsip penanganannya secara umum mirip dengan kebocoran likuor melalui hidung.Aerokel Keadaan ini timbul pada hamper sepertiga kasus rinorre, dimana lebih dari sepertiganya terjadi dalam waktu 48 jam pertama. Biasanya udara berada di rongga subdural atau subaraknoid bagian frontal, di sisterna basalis, intraventrikel atau jaringan otak. Kontusio Serebri Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang penting untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang dekstruktif. Akselerasi yang kuat berarti oula hiperektensi kepala. Karena itu otak membentang batak otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan ascendens retikularis difus. Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dank arena itu kesadaran hilanh selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi kontusio didaerah-daerah dampak (coup), countercoup dan intermediate, menimbulkan gejala deficit neurologic, yang bisa berupa reflex barbinsky yang positif dan kelumpuhan U.M.N. setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrome. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperai pada trauma kepala tersebut diatas, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga terdapat vasopparalisis, tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karenapusat vegetative ikurt terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Kontusio serebri yang tidak terlampau berat bisa berakhir dengan kematian beberapa hario setelah mengidap kecelakaan. Pada umumnya kematian tersebut tidak disebabkan oleh beratnya lesi kontusio tetapi karena komplikasi kardio-pulmonal. Gangguan-gangguan disusunan kardiopulmonal pada trauma kepala bisa terjadi melalui mekanisme seperti berikut. System vascular bisa ikut terkena secara langsung karena perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagau reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraseluler. Keadaan ini bisa menjurus ke hemodialusi jika si penderita diberi cairan melalui infuse tanpa plasma darah atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotic dan O2 (PO2) menurun. Keadaan buruk ini akan lebih-lebih fatal, jika jantung ikut terkena trauma juga, sehingga output jantung menjadi kecil dan tekanan vena sentral meninggi. Komplikasi yang memperberat keadaan terlukis diatas disebabkan oleh berkembangnya asidosis. Penderita dengan kontusio serebri pada hari pertama masih tidak sadar, pernapasannya terganggu, reflex batuk dan menelan mungkin belum pulih uga. Karena keadaan yang tidak menguntungkan itu, mungkin terjadi depresi pernapasan dengan bronkopneumonia aspirasi, sehingga PO2 arterial menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan demikian mengakibatkan takikardia yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Juga karena asidosis blood brain barrier mengalami kerusakan dan timbullah edema serebri yang lebih mengurangi aliran darah keotak. Gambaran klinis yang mencerminkan keadaan tersebut diatas ialah koma dengan tanda-tanda shock dan hiperpireksia. Penderita dengan kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolic lain, sebagai manifestasi akut ikut terkenanya hipotalamus. Jika otak tergeser, bisa terjadi traksi terhadap hipotalamus karena hipofise terfiksasi didalam sela tursika, tetapi tangkainya bisa terbentang terlampau jauh. Karena itu produksi hormone diuretic (ADH) oleh bagian rostal dari hipotamus, bisa menurun atau terhenti. Keadaan tersebut menurunkan eksresi urine, menurunkan osmolaritas plasma dan menurunkan konsentrasi natrium dan klorida serum. Apabila natrium plasma menjadi kurang dari 115-118 mEKL, maka sel-sel otak sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga timbul confusion, apatia dan stupor bahkan koma. Gejala-gejala tersebut bisa disalah tafsrkan sebagai manifestasi kerusakan otak akibat trauma kepala, sedangkan gangguan yang sebenarnya tidak dikena yaitu hiponatremia karena difusi.(4)Kontusi Kup (Coup Contussions) Kontusi otak dilokasi benturan merupakan akibat dari cedera jaringan yang ditimbulkan oleh lekukan tulang setempat yang melebihi toleransi vaskuler piamater dan jaringan kortikal otak. Sehubungan dengan kejadian ini maka objek oembentur harus berukuran relative kecil dank eras, serta daerah kepala yang dibentur harus tetap elastic,. Sehingga pada kejaidan ini tampaknya rupture pembuluh darah piamater terjadi karena cedera regangan yang hebat, yang timbul akibat kembalinya lekukan fokal tulang tengkorak (yang elastic) ke konfigurasi semula. Bila elastic tulang tengkorak dilampaui olehtenaga pukulan, maka akan terjadi fraktur yang dapat menimbulkan cedera kompresi langsung pada permukaan korteks otak.Kontusi Konterkup (Countre-coup Contussions) Kerusakan jaringan vaskuler didaerah permukaan setempat dan kerusakan kortikal, pada dasarnya terjadi sebagai akibat cedera akselerasi baik oleh gerakan transalsi maupun angulasi kepala. Gerakan kepala kearah benturan cenderung menimbulkan cedera regangan pada daerah di seberannya (dikenal sebagai suatu fenomena kavitasi), yang bila cedera regangan ini melebihi toleransi vaskuler, maka selanjutnya terjadi kontrusi. Peristiwa terjadinya kontusi konterkup ini berbeda dengan kontusi kup yang dihasilkan karena benturan. Jadi, sebenarnya istilah kup disini kurang begitu tepat, emngingat biomekanismenya cenderung didominasi okeh beban akselerasi dibandingkan oleh suatu beban benturan.. kontusi konterkup yang terjadi akibat suatu beban guncangan (impulsive loading) pada kepala, hanya disebabkan oleh mekanisme akselerasi semata, sedangkan beban benturan juga dapat menyebabkan kontusi tipe ini, bila mempunyai kemampuan untuk menimbulkan deformasi tengkorak yang kemudian menyebabkan cedera regangan dilokasi yang berbeda dari tempat benturan (mekanisme akselerasi)Kontusi Kup-Tengah (Intermediate-Coup Contussions)Terminology ini dipakai untuk menggambarkan adanya distrupsi vaskuler dipermukaan otak yang tidak berdekatan dengan tulang tengkorak. Walaupun mekanisme lesi-lesi ini masih belum diketahui secara mendalam, namun tampaknya keadaan ini diakibatkan oleh kumpulan cedera benturan dan gelombang tekanan, atau guncangan lanjut akibat gerakan otak. Kontusi kup tengah pada girus cinguli dapat disebabkan oleh interaksi otak terhadap falks, dan hal yang sama pada lobus temporalis inferiomedial akibat keterlibatan tentorium atau os petrosus (petrosal ridge).(5)

Perdarahan Subdural Hemorrhagic subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kepala walaupun traumanya mungkin tidak berarti. Yang sering kali berdarah ialah bridging veins. Karena tarikan ketika pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdual paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian didaerah temporal. Sesuai dengan distribusi bridging veins. Karena perdarahan subduralsering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Disitu bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (hingroma). Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kepala. Masa tanpa keluha dinamakan latent interval dan bisa berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan adakalanyajuga bisa lebih dari 2 tahun. Namun demikian, latent interval pitu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematoma subdural kebanyakan mengeluhkan tentang sakit kepala atau pening, Seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah mengidap trauma kepala, tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intracranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran makin menurun, organic brain syndrome, hemiparese ringan,hemihipestesia. Adakalanya epilepsy fokal denmgan adanya tanda-tanda papiledema.(4)Perdarahan Intraserebral Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat dilobus temporalis dan frontaslis.kebanyakan dari perdarahan intralobus temporalis justru ditemukan pada sisi dampak. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitas. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

Perdarahan Epidural Gejala-gejala yang timbul akibat perdarahan epidural menyusun sndrom kompresi serebral traumatic akut. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progresif. Pupil pada sisi perdarahan pertama0tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah menjadi kenyataan. Gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau serangan epilepsy fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan keadaan. Hematom Epidural Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Gejala klinis : Ditemukan adanya lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/ pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan sendirinya,tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma. Subdural Hematoma Defenisi : Perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala akut seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-gejala menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi. Gejala klinis : Menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian tekanan intrakranial. Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai mual muntah Midriasis homolateral,gangguan visus. Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese. Refleks patologi (+) Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung. Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi. Subarachnoid Hematoma Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri. Gejala klinis : Timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba Pusing, mual, muntah Kesadaran menurun hingga koma Kaku kuduk (+) Suhu tubuh meninggi Refleks patologi (+) Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa timbul kejang atau gejala fokal Intraserebral Hematoma Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral.Terbanyak pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong. Disamping kehilangan kesadaran, kelainan ini ditandai oleh adanya defisit neurologik, cairan serebrospinal yang berdarah dan hasil pemeriksaan CT scan yang abnormal.(5)

Hematom Intrakranial Terjadinya hematom epidural, seperti jugaa peristiwa fraktur tulang kepala, tidak berkaitan dengan pergerakan kepala atau beban akselerasi. Distrupsi vaskuler duramater atau pembuluh-pembuluh darah tulang disini timbul oleh karena adanya fraktur tulang atau deformasi tengkorak yang diakibatkan oleh suatu benturan. Hematom subdural akut secara klinis dibagi menjadi tiga kelompok, dua kelompok pertama berhubungan dengan kontusi dan laserasi, baik akibat dari beban benturan atau beban akselerasi yang kadang juga disebut sebagai hematom subdural komplikata dan kelompok ketiga yang merupakan cedera primer akibat distrupsi pembuluh-pembuluh darah dipermukaan khususnya vena-vena yang disebabkan oleh beban guncangan semata-mata buka beban benturan. Hematom intraserebral traumatika yang besar jarang dijumpai. Mengingat bahwa keadaan ini kerap berkaitan dengan kontusi kortikal yang luas, maka kebanyakan tampak sebagai sesuatu kontusi yang melibatkan distrupsi pembuluh darah yang lebih luas dan dalam.(1)PENANGANAN CEDERA KEPALASurvei Primer (Primary Survey) Jalan Napas Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servical harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck colar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servical (2).Pernapasan pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, pernggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi buni napas dikedua aksila. (2)Defisit Neurologis Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS 8, harus diintubasi Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak, dan menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial.Kontrol Pemaparan/Lingkungan Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering dating dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan pamancar panas, selimut hangat.(2)Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala Pembagian derajat kepala dibedakan sebagai berikut, ditentukan berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca trauma:Cedera kepala ringan: GCS 14-15Cedera kepala sedang: GCS 9-13Cedera kepala berat: GCS 8

Cedera kepala yang ringan Penanganan mencakup anamneses yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde atau antegrade) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan peninggian tekanan intracranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tertanda ada tidaknya trauma pada kepala, sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat ringannya konkusi cedera kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik lainnya, serta mendeteksi deficit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto kepala dimaksudkan untuk mengetahui adanya: fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus alinenum dan lainnya. Sedangkan foto cervical atau tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan CT Scan memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus cedera kepala.Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :1. Amnesia antegrade/pascatraumatika2. Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan3. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat4. Intoksikasi alcohol atau obat-obatan5. Adanya fraktur tulang tengkorak6. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)7. Cedera bertat bagian tubuh lain8. Indikasi social (tidak ada keluarga/pendamping dirumah). Penderita cedera kepala yang tidak mempunyai atau memenuhi criteria rawat diatas, setelah beberapa saat menjalani pemantauan dirumah sakit diperkenankan untuk berobat jalan dengan catatan bila ada gejala-gejala seperti yang tercantum dibawah ini segera kembali ke rumah sakit :1. Mengantuk dan sukar dibangunkan2. Mual dan muntah3. Kejang4. Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak biasa5. Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi6. Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat.7. Kacau/binggung (confuse), tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan personalitas.8. Gaduh, gelisah9. Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan10. Pusing hebat.

Cedera kepala sedang Penanganan pertama selain mencakup amnesia (seperti diatas) dan pemeriksaan fisik serta fotot polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi computer otak (CT Scan). Pada tingkat ini semua kasus pertama perawatan dirumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow up sken tomografi computer otak pada hari ke-3 atau bila ada perburukan neurologis.

Cedera kepala berat Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortilitas, dimana tindakan menunggu (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal.Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tahapan berikiut ini:1. Stabilisasi kardiopulmner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hpotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggiaan tekanan intracranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan pertama.2. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.3. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, reflex okulosefalik dan reflex okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita masih randah.4. Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.5. Pemberian pengobatan seperti anti-edamaserebri, anti kejang, dan natrrium bikarbonat.6. Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti computer otak, sngiografi serebral, dan lainnya.Survei Sekunder Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan penderita tidak memiiki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher di indikasikan jika: Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas dileher. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher. Gangguan keseimbangan atau berjalan. Kelemahan umum.

Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa: Penurunan kesadaran (menurut SKG) dari observasi awal. Gangguan daya ingat. Nyeri kepala hebat. Mual dan muntah. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis). Fraktur melalui foto kepala maupun CT Scan. Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT Scan.Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya dirumah. Namun, bila tanda-tanda diatas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus dirawat dirumah sakit dan observasi ketat. Status cedera kepala yang dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.Jarak antara rumah dan rumah sakit juga harus dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali kerumah sakit.Pemilihan Tindakan Operasi atau Konservatif Pada Kasus Cedera Kepala Criteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah:1. Lesi massa intra atau ekstra-aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah (pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm.2. Lesi massa ekstra-aksial yang tebalnnya melebihi 5 mm dari tabula interna tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media.3. Lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula eksterna (kecuali bila ada atrofi otak).4. Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.Terapi Operasi/Pembedahan Pada Cedera Kepala Prinsip pertimbangan pemilihan obat anestesi didasari oleh pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan intracranial. Semua obat anestesi inhalasi volantil seperti halotan, enflurane dan isoflurane dapat meningkatkan aliran darah serebral, sehingga umumnya dipergunakan dalam kadar yang rendah. Kasus-kasus dengan lesi massa intracranial yang mempunyai indikasi operasi, berkaitan dengan predileksi lokasi khususnya dilobus frontal bagian inferior dan lobus temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan kraniotomi adalah terbentuknya tanda tanya mulai dari depan telinga (tragus) pada arkus zygomaticus, melengkung ke posterior diatas telinga menuju ke garis tengah dan berakhir dianterior dibelakang garis batas rambut. Bila ada penurunan kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak dan prevalensi terjadinya herniasi tentorial. Tindakan operasi pada cedera kepala agak berbeda dengan cedera kepala yang tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridement jaringan otak yang nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alineum, menghentikan perdarahan, evakuasi hematom dan penutupan duramater serta kulit yang kedap air (1).Terapi Medikamentosa Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.

Pemberian analgetika seperti Metampiron, ketorolac.

Pemberian Obat-obat Nootropik seperti Piritinol (mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel), Piracetam (merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak), Citicholine sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak.

Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).

Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.

Bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt . Pemberian protein tergantung nilai urea N(2).

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ilmu Bedah Saraf SATYANEGARA Edisi IV. Editor : L. Djoko Listiono, DSBS. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1998, Halaman 216 219.2. dr. George Dewanto Sp.S dkk, Buku PANDUAN PRAKTIS DIAGNOSIS & TATA LAKSANA PENYAKIT SARAF Edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, tahun 2009; Halaman 12 18.3. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004.4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2004.5. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi 2, Jakarta, 2000.6. Gilroy, J. dan Meyer, J.S. Trauma Cedera Otak dan Sumsum tulang belakang. Di J. Gilroy dan Meyer; Medical Neurology. The MacMillian Co. Toronto.Ontario.1969

MUHAMMAD HAFIZD LUBISPage 8STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT