TRADISI NIKAH BAUNDI MASYARAKAT PANDAI SIKEK …
Transcript of TRADISI NIKAH BAUNDI MASYARAKAT PANDAI SIKEK …
TRRADISI NI
SUMATE
Dia
M
PR
F
IKAH BAU
ERA BARA
ajukan Untu
Memperoleh
MNIM
ROGRAM S
FAKULTA
UNIVER
SYAR
J
UNDI MAS
AT PERSP
Skrip
uk Memenu
h Gelar Sarj
Oleh
MuhammadM. 1114044
STUDI HU
S SYARIA
RSITAS ISL
RIF HIDAY
J A K A R
2018 M/ 14
YARAKAT
PEKTIF HU
si
uhi Salah Sa
jana Hukum
:
d Irsyad 40000009
UKUM KEL
AH DAN HU
LAM NEG
YATULLAH
R T A
439 H
T PANDAI
UKUM ISL
atu Syarat
m (S.H.)
LUARGA
UKUM
GERI
H
I SIKEK
LAM
v
ABSTRAK
Muhammad Irsyad. NIM 11140440000009. Tradisi Nikah Baundi Masyarakat
Pandai Sikek Sumatera Barat Perspektif Hukum Islam. Skripsi Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. (58 halaman, dan 52 halaman
lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan
praktek nikah Baundi, mengetahui bagaimana peran wali mujbir dalam
pelaksanaan tradisi nikah Baundi, apa saja nilai-nilai Islam dalam praktek Nikah
Baundi serta untuk mengetahui relasi adat dan Islam dalam praktek nikah Baundi
di Pandai Sikek Sumatera Barat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research),
dan merupakan jenis penelitian Kualitatif. Penelitian ini bersifat analitik
merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya
sekedar memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan
menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi empiris dan antropologi.
Kriteria data yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, dan studi
dokumentasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan pelaksanaan tradisi ini
adalah Mampaiyoan Ka Mamak (memberikan kabar ke mamak), mamanggia,
baundi, mananyoi (menanyakan kesiapan dan kesanggupan orang yang diusulkan
untuk menjadi pendamping bagi anak kemenakannya), manukeh (menunggu
jawaban dari pihak laki-laki), maantaan tando (mengantarkan seserahan),
mambaliakan tando (mengembalikan seserahan) dan kemudian dilanjutkan
dengan pernikahan. Dalam prakteknya hari ini, tradisi nikah baundi yang semula
memang ditujukan untuk mencari jodoh lambat laun mulai terkikis dan
mengalami perubahan dan pergeseran makna. Sehingga dalam penerapannya
dewasa ini dilakukan dengan tiga penerapan. Pertama, sebagai ajang pencarian
jodoh, kedua hanya sebagai pelaksanaan adat saja, yang ketiga batumpangan.
Adapun peran wali mujbir dalam tradisi baundi dalam konsep dahulu dan
sekarang juga mengalami pergeseran. Konsep ijbar disini dimaksudkan bahwa
anak perempuan terkadang tidak mengetahui siapa jodohnya kecuali hanya saat
pernikahan saja. Adapun nilai-nilai Islam dalam tradisi nikah Baundi diantaranya
adalah sebagai bentuk pelaksanaan khitbah di kanagarian Pandai Sikek. Hal ini
disebabkan karena tradisi nikah Baundi termasuk dalam rangkaian khitbah jika
diqiyaskan kepada Islam. Relasi adat dan Islam dalam tradisi nikah baundi ialah
keselarasan dan kesesuaian antara adat dan agama sesuai dengan falsafah Adat
Basandi Syara‟ Syara‟ Basandi Kitabullah, meskipun dalam pelaksanaannya
terdapat pergeseran dan perubahan pola pelaksanaan tradisi baundi.
Kata kunci : Adat Peminangan, Adat Minangkabau, Adat Pandai
Sikek, Tradisi Baundi
Pembimbing : H. Qosim Arsadani, S.Ag, M.Ag
Daftar Pustaka : 1983-2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesainya atas izinya-Nya. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III fakultas Syariah dan Hukum
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang
senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
3. H. Qosim Arsadani, S.Ag, M.Ag., Dosen pembimbing skripsi penulis, yang
telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A, Dosen penasehat akademik penulis, yang
telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis
dalam merumuskan desain judul skripsi ini dan seluruh Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik
dan membimbing penulis selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis
sebut semuanya satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
vii
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Universitas
Negeri Padang (UNP) yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, bapak Armen St. Rajo Malano, Bapak Drs.
H.Nasrul Dt. Tumangguang, bapak Dt. Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh,
Bapak Dariman Dt. Rangkai Tuo, Bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa, Bapak
Muchtar Naim, Bapak Palmi Dt. Sati Mahadirajo, Ibu Rahma Alam Sudin,
Ibu Moren Inggawati dan Ibu Etriza
7. Teristimewa buat keluarga, ayahanda Amrinal Dt. Kabasaran dan ibunda
Elnawati, yang tak pernah berhenti untuk memberikan dukungan dan
mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Kakak ku Rahmatullaili
Ramadhani dan adik-adikku Muhammad Syafi‟i, Muhammad Fajri dan Ulfa
Khairani yang tidak pernah lelah selalu menyemangatiku dan selalu
menanyakan kapan abang wisuda.
8. Teman-teman seperjuangan penulis Fajri Ilhami, Abdurrahman halim,
Mulyadi, Ryandi Rahmat, Muhammad Sidik, Herman Ardi, Azmi Fathoni
Arja, Habiburrahman, Hussen, Muhammad Idris, Ululazmi Hasan, Sayyidah
Luthfiyah, Novita Hayani yang senantiasa meluangkan waktu berdiskusi.
9. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2014, yang
telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. Semoga ilmu yang
kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
10. Teman-teman KMM (Keluarga Mahasiswa Minangkabau) Ciputat khususnya
angkatan 2014 yang telah berbagi ilmu dan selalu mendoakan penulis
sehingga selesainya skripsi ini.
11. Teman-teman ABJAS dan HIMAPOKUS (Himpunan Mahasiswa Program
Khusus) MAN/MAPK Koto Baru Padang Panjang yang menjadi tempat
mencari kebahagiaan dikala letih dan malas melanda.
viii
12. Terimakasih kepada abang Adeb Davega Prasna, S.H yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 21 Mei 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 3
C. Batasan Masalah............................................................................ 4
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 4
F. Kajian Pustaka ............................................................................... 5
G. Metode Penelitian.......................................................................... 6
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 9
BAB II PERNIKAHAN DAN PEMINANGAN DALAM ISLAM .............. 10
A. Pernikahan Dalam Islam ............................................................. 10
1. Pengertian............................................................................. 10
2. Dasar Hukum Nikah............................................................. 11
3. Hukum Pernikahan ............................................................... 12
B. Khitbah ........................................................................................ 13
1. Pengertian............................................................................. 13
2. Dasar Hukum Khitbah ......................................................... 14
3. Kriteria Perempuan yang Hendak Dikhitbah ....................... 15
4. Hikmah Khitbah ................................................................... 17
x
C. Wali ............................................................................................. 17
1. Pengertian............................................................................. 17
2. Syarat- Syarat Wali .............................................................. 18
3. Jenis- Jenis Wali................................................................... 19
BAB III TRADISI NIKAH BAUNDI DI PANDAI SIKEK .......................... 23
A. Profil Nagari Pandai Sikek ......................................................... 23
1. Sejarah Nagari Pandai Sikek ............................................... 23
2. Kondisi Geografis Pandai Sikek .......................................... 26
3. Pemerintahan Nagari Pandai Sikek ..................................... 27
4. Kondisi Sosial Budaya Nagari Pandai Sikek ....................... 28
5. Peta Nagari Pandai Sikek .................................................... 30
B. Tradisi Nikah Baundi di Pandai Sikek ...................................... 30
1. Tradisi Nikah Baundi ........................................................... 30
2. Sejarah Nikah Baundi .......................................................... 32
3. Orang-Orang yang Terlibat dalam Tradisi Nikah Baundi ... 33
BAB IV TRADISI NIKAH BAUNDI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ..... 37
A. Praktek Nikah Baundi dalam Masyarakat Pandai Sikek ............. 37
B. Analisis Peran Wali Mujbir dalam Tradisi Nikah Baundi .......... 44
C. Nilai-Nilai Islam dalam Pelaksanaan Tradisi Nikah Baundi ...... 49
D. Relasi Adat dan Islam dalam Tradisi Baundi ............................. 53
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 56
A. Kesimpulan ................................................................................. 56
B. Rekomendasi ............................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adat dan agama merupakan dua hal yang mewarnai kehidupan masyarakat
Minangkabau. Hampir semua praktek berkehidupan dalam bermasyarakat tidak
terlepas kaitannya dengan dua aspek ini. Adat yang bersumber dari kebiasaan dan
agama yang bersumber dari Ilahi telah memberikan batasan-batasan yang jelas
bagi masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Adat Minangkabau telah menggariskan aturan-aturan dalam menjalin dan
menjaga hubungan kemasyarakatan di daerahnya. Perkawinan merupakan salah
satu praktek kehidupan yang menjadi sorotan utama karena begitu banyaknya
aturan-aturan adat yang harus ditempuh. Dalam prakteknya tradisi perkawinan
dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda tergantung dimana daerah
pelaksanaannya. Salah satunya adalah Pandai Sikek.
Masyarakat Pandai Sikek memiliki sebuah tradisi perkawinan yang
dikenal dengan tradisi Baundi. Berdasarkan Peraturan Nagari Pandai Sikek
Nomor 02 Tahun 2013 tradisi ini termasuk ke dalam Bab VII dalam tata cara
perkawinan bagian Satu yaitu Batunangan, itu artinya bahwa Tradisi Baundi
merupakan sebuah tradisi perjodohan yang dimasukkan dalam rangkaian kegiatan
peminangan. Tradisi ini dilakukan ketika seorang anak perempuan telah dianggap
dewasa dan layak untuk menikah kemudian keluarganya duduk bersama
bermusyawarah untuk menentukan jodoh anak gadis ini.1
Tradisi Baundi sebagai salah satu aspek kehidupan yang merupakan
bagian dari adat masyarakat Pandai Sikek, tentunya tidak boleh bertentangan
dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat minangkabau mendasarkan
kehidupannya pada falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Buku yang berjudul Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tahun 2002
menyebutkan bahwa falsafah ini mengandung arti adat atau norma hukum yang
1 Peraturan Nagari Pandai Sikek No. 02 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Adat Istiadat
Nagari Pandai Sikek. Bab VII Tata Cara Nikah Kawin bagian satu Batunangan Pasal 24.
2
dipakai nenek moyang orang Minangkabau yang berdasarkan syarak. Syarak di
sini mengandung makna ajaran agama Islam yang berdasarkan Al Quran dan
Hadist. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh syarak itulah yang dipakai oleh
adat.2 Oleh karena itu, falsafah ini dijadikan pedoman dan pegangan hidup dalam
beradat di Minangkabau.
Pembahasan mengenai adat adalah pembahasan menarik terutama jika
dikaitkan dengan Islam. Adat yang muncul lebih awal dari masuknya Islam di
Indonesia membuat pelaksanaannya terkadang tampak bertentangan dan berlainan
dengan Agama Islam itu sendiri. Hal itu disebabkan karena perkembangan adat di
Indonesia yang telah terkontaminasi dengan kepercayaan Animisme dan
Dinamisme yang terlebih dahulu berkembang di Indonesia.
Berdasarkan buku Tutua Nan Badanga Sejarah Adat dan Budaya Nagari
Pandai Sikek disebutkan bahwa kedatangan bangsa Melayu Muda (Deutro
Melayu) diperkirakan sekitar tahun 500 SM. Adapun suku bangsa Deutro Melayu
adalah suku bangsa Minangkabau, Jawa dan Makassar. Hal ini membuktikan
bahwa adat Minangkabau telah ada dan berkembang di Indonesia bahkan jauh
sebelum masuknya Islam di Indonesia itu sendiri.3
Tidak terkecuali di Sumatera Barat, kebudayaan Minangkabau yang
menjadi adat istiadat di provinsi tersebut juga tidak tertutup kemungkinan telah
terkontaminasi dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme ini, sehingga para
ulama, pemuka adat (penghulu), cadiak pandai berupaya untuk membersihkan
nya. Puncaknya adalah lahirnya gerakan-gerakan pembaharu dan pemurnian
akidah di Sumatera Barat. Seperti dengan terjadinya Perang Padri (Tokoh Agama
melawan tokoh adat). Yang kemudian berujung pada disepakatinya Perjanjian
Bukit Marapalam, yang melahirkan Falsafah Minangkabau Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah yang diperkirakan terjadi pada tahun 1837.4
2 LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Pedoman
Hidup Banagari, ( Padang: Sako Batuah, 2002), h. 2. 3 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga Sejarah Adat Dan Budaya Nagari
Pandai Sikek (KAN Pandai Sikek, Pandai Sikek, 2014) h. 1 4 Dt. H.A.K Gunung Hijau, Kedudukan Agama dan Adat Di Minangkabau (Padang:
Center for Minangkabau Studies Press) H. 177
3
Keberadaan tradisi yang diperkirakan telah ada sedari dahulu dan masih
tetap bertahan hingga sekarang menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Berangkat
dari kepercayaan awal di Minangkabau yaitu Animisme, Dinamisme, Hindu,
Budha dan kemudian Islam. Apakah tradisi ini terkontaminasi dengan
kepercayaan sebelum Islam ada. Selain itu jika dilihat dalam konteks praktek di
masyarakat Pandai Sikek. Ini merupakan sebuah kewajiban dan keharusan untuk
dilaksanakan. Akan tetapi bertolak belakang dengan peraturan di dalam Islam
yang menyatakan penjodohan tidaklah wajib dan mesti dilaksanakan. Ini
kemudian menjadi hal yang patut dipertanyakan. Sebagaimana yang kita ketahui
falsafah Adat Minangkabau itu adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah. Ketika adat berlandaskan syariat dan syariat berlandaskan adat maka
seharusnya sinergitas antar keduanya dapat tercapai dan terlaksana.
Oleh karenanya, penulis berkepentingan untuk mengangkat hal tersebut
dengan judul“TRADISI NIKAH BAUNDI MASYARAKAT PANDAI SIKEK
SUMATERA BARAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.”
B. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini menemukan jawabannya, maka ada beberapa
permasalahan yang bisa diidentifikasi, diantaranya:
1. Bagaimana praktek Nikah Baundi di kanagarian Pandai Sikek?
2. Bagaimana pandangan Islam terhadap praktek Nikah Baundi di kanagarian
Pandai Sikek?
3. Bagaimana nilai-nilai Islam dalam tradisi Nikah Baundi?
4. Bagaimana relasi adat dan Islam dalam tradisi nikah Baundi?
5. Bagaimana nilai filosofis dsari tradisi Nikah Baundi ini?
6. Bagaimana peran wali mujbir dalam tradisi Baundi?
7. Kenapa budaya ini masih dipertahankan?
8. Sanksi apa yang diberikan kepada pribadi yang tidak melaksanakannya?
9. Nilai-nilai apa yang masih bertahan dan berubah dalam praktek nikah?
10. Bagaimana nilai-nilai Islam dalam tradisi tersebut?
4
C. Batasan Masalah
Luasnya daerah Sumatera Barat yang menjadi daerah pelaksanaan Adat
Minangkabau menyebabkan terjadinya kesulitan dalam pengumpulan data.
Disamping itu fokus utama penelitian ini adalah pada Tradisi Baundi yang
merupakan adat yang pelaksanaannya hanya di Pandai Sikek. Oleh karenanya
dalam pembahasan ini, penulis membatasi objek kajian penelitian di Nagari
Pandai Sikek Kecamatan X Koto Provinsi Sumatera Barat.
D. Rumusan Masalah
Fokus utama penelitian ini adalah bagaimana relasi adat dan Islam dalam
tradisi Nikah Baundi di Minangkabau. Untuk lebih fokusnya studi ini maka
rumusan masalah di atas dijabarkan dengan beberapa pertanyaan; 1) Bagaimana
praktek Nikah Baundi di kanagarian Pandai Sikek 2) Bagaimana peran wali
mujbir dalam pelaksanaan tradisi nikah Baundi 3) Bagaimana nilai-nilai Islam
dalam tradisi Nikah Baundi? 4) Bagaimana relasi adat dan Islam dalam tradisi
nikah Baundi?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini ialah:
a. Mengetahui pelaksanaan dan praktek nikah Baundi di Kanagarian Pandai
Sikek
b. Mengetahui pandangan Islam terhadap praktek tersebut
c. Mengetahui bagaimana peran wali mujbir dalam pelaksanaan tradisi nikah
Baundi.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari tulisan ini diharapkan:
a. Dari Segi Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk
sumbang pemikiran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal
maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas dan
5
berhubungan dengan tradisi Nikah Baundi dalam sistem penjodohan di
Pandai Sikek.
b. Secara Praktis
Mengetahui pandangan Islam terhadap praktek Nikah Baundi di
Minangkabau. Dan kesesuaian praktek Nikah Baundi dengan Islam.
c. Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan kedepannya. Terutama dalam
permasalahan yang dimuat dalam skripsi ini. Sehingga dapat dijadikan
rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
F. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini penulis melakukan telaah dan analisis terhadap kajian
terdahulu. Diantaranya adalah skripsi dari Dewi Ratnasari salah seorang
mahasiswa Unand tahun 2017 dengan judul Tradisi Baundi pada masyarakat
Pandai Sikek (studi kasus: Pada Masyarakat Pandai Sikek Kecamatan X
koto, Kabupaten Tanah Datar). Dalam skripsi ini Saudari Dewi Ratnasari lebih
menjelaskan mengenai praktek Nikah Baundi yang ada di Pandai Sikek dan
bagaimana pandangan masyarakat mengenai tradisi ini. Disertai dengan jawaban
mengapa tradisi ini masih dipertahankan. Berbeda dengan skripsi ini, dimana
penulis selain mengupas mengenai Praktik Nikah Baundi di Nagari Pandai Sikek,
disertai dengan bagaimana relasi antara adat dan agama dalam Praktek Nikah
Baundi.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Tradisi Baundi dalam memilih Calon
Suami Ditinjau dari ‘Urf (studi kasus di kanagaraian Pandai Sikek,
kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar). Yang disusun oleh Aminah Citra
Kasih tahun 2017. Dalam pembahasan skripsi ini yang menjadi topik pembahasan
adalah bagaimana pandangan „Urf terhadap tradisi Baundi dalam memilih calon
suami di Nagari Pandai Sikek. Berbeda dengan skripsi ini, penulis menitik
beratkan pada pembahasan mengenai bagaimana pelaksanaan tradisi Baundi
dalam perspektif Islam. Dan pada penelitian ini lebih memfokuskan diri pada
6
peranan wali mujbir dalam pelaksanaan penentuan calon suami pada tradisi
Baundi serta relasi adat dan Islam dalam tradisi Baundi
G. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,
menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan,
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang bertujuan untuk
memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat dengan
mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara mendalam. Dan data
disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.5
2. Pendekatan penelitian
Dalam pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan empiris.
Pendekatan empiris adalah pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang
diperoleh dari hasil penelitian.6
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan Sosiologi Empiris.
Sosiologi Empiris merupakan penelitian non doktrinal yang bertitik tolak
pada data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian,
seperti masyarakat sebagai sumber pertama dalam satu penelitian, dengan
kata lain ini menekankan pada pencarian jawaban terhadap fenomena sosial
yang terjadi terhadap pemberlakuan hukum sehingga akan menjawab
pertanyaan signifikan hukum atau efektifitas hukum.7
5 Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pilar Media, 1996), cet ke-
3, h. 2 6 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar,2009), h. 19
7 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h. 32
7
Selain itu metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
juga menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologi lebih
banyak mmpelajari kebudayaan dengan manusianya. Namun dala hal ini,
penekanannya lebih kepada pendekatan antropologi hukum. Antropologi
hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah
sosial yang bersifat hukum.8
3. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik
tertentu. Tetapi juga menganalisis dan menjelaskan mengapa atau bagaimana
hal itu terjadi.9
4. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan Pada Masyarakat Pandai Sikek Kecamatan X
koto, Kabupaten Tanah Datar
5. Sumber Data
a. Sumber primer
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat, ulama, masyarakat Desa Pandai Sikek Kecamatan X koto,
Kabupaten Tanah Datar serta Peraturan Nagari Pandai Sikek.
b. Sumber sekunder
Adapun sumber sekunder yang penulis gunakan adalah buku-
buku, karya ilmiah, jurnal dan literatur lain yang terkait dengan tema
penelitian ini.
8 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni,2010), Cet
ke-3, h.10 9 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar,2009) h.24
8
6. Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data penelitian ini penulis mengunakan dengan
metode:
a. Wawancara dengan tokoh masyarakat desa, ulama desa dan beberapa
masyarakat yang pernah melaksanakan tradisi Baundi dalam
peminangan.
b. Penelitian perpustakaan
Penelitian perpustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini baik bentuk skripsi, thesis, jurnal, dan
literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.
7. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif
kualitatif. Dimana dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan,
menguraikan kemudian menganalisis data sehingga akan terungkap jelas.
Kemudian penulis akan menyimpulkan hasil penelitian dengan logika
induktif. Dimana masalah-masalah yang bersifat khusus akan ditarik menjadi
suatu kesimpulan yang bersifat umum.
8. Pengelolahan Data
Dalam mengelola data yang penulis dapatkan baik berbentuk
wawancara maupun data tertulis dari berbagai studi perpustakaan penulis
melakukan analisis terhadap data tersebut dengan analisis secara deskripif
maupun analisis komperatif.
9. Teknis Penulisan
Teknis penulisan dalam skripsi ini merujuk kepada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017 yang diterbitkan
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
H. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika penulisan
dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut dari sub-sub bab yang
terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I, adalah pendahuluan, dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review studi terdahulu, metodologi penelitian, metode analisis dan sistematika
penulisan.
Bab II, berbicara mengenai tiga pembahasan utama. Pembahasan awal mengenai
pernikahan baik dari segi pengertian, dasar hukum dan hukum pernikahan itu
sendiri menurut hukum Islam. Pembahasan kedua mengenai Khitbah mulai dari
pengertian, dasar hukum, kriteria perempuan yang hendak dikhitbah dan
hikmahnya. Pembahasan terakhir mengenai wali. Diantaranya pengertian, syarat-
syarat dan jenis-jenis wali.
Bab III, dalam bab ini penulis akan membahas gambaran umum tentang
masyarakat Pandai Sikek yang meliputi sejarah nagari Pandai Sikek, kondisi
geografis Kanagarian Pandai Sikek, pemerintahan, kondisi sosial budaya, serta
peta nagari Pandai Sikek. Disamping itu juga membahas mengenai tradisi Baundi
dan peran wali mujbir dalam tradisi ini.
Bab IV, membahas tentang inti penelitian dan analisis mengenai Adat Baundi di
Pandai Sikek dalam Perspektif Hukum Islam. Dengan sub tema: praktek nikah
Baundi, serta pergeseran budaya dalam masyarakat Pandai Sikek dalam tradisi
Baundi, analisis mengenai peran wali mujbir dalam tradisi ini, nilai-nilai Islam
dalam pelaksanaannya, serta relasi adat dan Islam dalam pelaksanaan tradisi nikah
Baundi di Pandai Sikek.
Bab V, adalah penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab
ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis
lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab.
Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut
berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
10
BAB II
PERNIKAHAN DAN PEMINANGAN DALAM ISLAM
A. Pernikahan Dalam Islam
1. Pengertian
Pernikahan yanng berasal dari kata نخ ـ نبدب نخ-1 yang menurut
bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti
bersetubuh ( الطئ ).2 Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata
“nikah” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.3 Sedangkan secara
syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang
dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium,
memeluk dan sebagainya, jika perempuan itu bukan termasuk mahram dari
segi nasab, susuan dan keluarga.4
Nikah bisa diartikan juga sebuah akad yang telah ditetapkan oleh
syariat yang berfungsi utuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk
bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan
bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya pengaruh akad ini bagi lelaki
adalah memberi hak kepemilikan secara khusus maka lelaki lain tidak boleh
memilikinya. Para ulama Hanafiah mendefenisikan bahwa nikah adalah
sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sengaja.5 Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan
seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan
kesengajaan. Dengan adanya kata-kata “perempuan” maka tidak termasuk di
1 A.W. Munawir Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1461 2 Muhammad Bin Ismail Al-Kahlany, Subul al-Salam (Bandung: Dahlan, 1988), Jilid 3,
h. 109. Lihat pula Al-Syarif Ali Bin Muhammad Al-Jurjaniy, Kitab al-Ta‟rifat, eirut:
r l-
Kutub l „ilmiyyah, 1988), cet, ke 3, h. 246 3 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3
edisi kedua, h. 456. 4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu Bab 9, (Depok, Gema Insani, 2007),
h. 38. 5 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 39.
11
dalamnya laki-laki dan banci musykil6. Demikian juga dengan kalimat “yang
tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat” maka tidak termasuk dalamnya
perempuan sepersusuan, mahram, jin perempuan dan manusia air.
2. Dasar Hukum Nikah
Nikah merupakan suatu amal yang pelaksanaannya termasuk dalam
ibadah. Praktek dan pelaksanaannya diatur sedemikian rupa, mulai dari awal
sampai akhir pelaksanaan amalan ini. Adapun dasar hukum pelaksanaannya
yaitu firman Allah SWT dalam Al Quran surat An Nur (24): 32:
Artinya: dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Selanjutnya hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
فلق, ثو الله ػجد هغ أهش مذ: ه قب ػ الله زض ػلقوخ ػي
الا السدوبى ػجد أثب ب: ػثوبى ل فقب ذدث هؼ فقبم ػ الله زض ػثوبى
ققبه: قبه. شهبل هي هض هب ثؼض ررمسك لؼل شبثخ؟ جبزخ صجل
هنن السزطبع هي, الشجبة هؼشس ب: "لب قبه لقد, ذاك لذق لئي: ػجدالله
فؼل سزطغ لن هي, للفسج أدصي للجصس اغض فإ, فلزصج الجبئخ
7(هسلن زا) جبء ل فإ, ثبلصبم
Artinya: diriwayatkan dari Alqomah r.a, ia berkata: aku pernah berjalan
bersama Abdullah di Mina, lalu dia ditemui oleh Utsman r.a kemudian
utsman berdiri bersama Abdullah sambil berbincang-bincang dengannya.
Utsman bertanya kepada bdullah, “hai bu bdurrahman! Tidakkah
engkau ingin kami mengawinkanmu dengan seorang perempuan yang
6 Banci musykil adalah banci yang memiliki dua kelamin dengan kualitas dan fungsi yang
sama. 7 Al-hafiz „ bd al-„ zim bin „ bd al-Qawi dan Zakiyuddin al Mundziri, Mukhtasar
Sahih Muslim, Penerjemah Achmad Zaidun, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Pustaka Amani,
2001), h. 435
12
masih gadis, agar ia bisa mengingatkanmu tentang masa lalumu?”
Alqamah menjawab, “jika kau katakan itu, maka sungguh Rasulullah
S W pernah bersabda kepada kami, „hai para remaja, barangsiapa diantara
kalian telah mampu untuk menikah maka menikalah, karena sesungguhnya
menikah itu bisa lebih memejamkan mata dan bisa menjaga kemaluan.
Barangsiapa yang belum mampu menikah berpuasalah, karena berpuasa
itu bisa mengurangi hawa nafsu seksual (H.R muslim).
3. Hukum Pernikahan
Hukum melakukan pernikahan dalam bukunya, Ibnu Rusyd
menjelaskan: Segolongan Fuqaha‟ yakni jumhur mayoritas ulama)
berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zhahiriyyah
berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Ulama Malikiyah Mutaakhirin
berpendapat nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagaian
lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain, demikian itu menurut
mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.8
Ulama Syafi‟iyyah mengatakan bahwa hukum, asal nikah adalah
mubah, di samping ada yang sunat, wajib, haram dan makruh.9 Di Indonesia
pada umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan
pernikahan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama
Syafi‟iyah. Jika dilihat dari kondisi orang yang akan menikah maka hukum
perkawinan itu dapat berubah, diantaranya:
a. Wajib, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya
tidak kawin.
b. Sunat, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak nikah tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina.
c. Haram, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah dan
tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
8
Ibnu al-Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtasid, (Beirut: Dâr Al-Fikr,
1983), Jilid 2, h. 2 9
Abdurrahman Al-Jaziry, Kit b al- iqh „ala al- a ahib al-Arba‟ah Mesir: r al-
Irsy d, 199 ) jilid ke-7, h. 4
13
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga. Sehingga jika melangsungkan
pernikahan maka akan mendatangkan mudharat.
d. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya
tidak kawin.
e. Mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila tidak melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya.10
B. Khitbah
1. Pengertian
Khitbah dalam bahasa rab disebut “خطجخ” dalam bahasa Indonesia
berarti peminangan. Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang meminang”
(kata kerja). Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)
meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).11
Menurut terminologi, peminangan ialah “kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.”12
Atau
seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,
dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.13
Peminangan merupakan pendahuluan pernikahan, disyariatkan
sebelum ada ikatan suami istri dengann tujuan agar waktu memasuki
pernikahan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran
masing-masing pihak.
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (jakarta: Kencana, 2012), h.18-21 11
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) cet. Ke-3,
edisi ke-2, h.556. 12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, 1995), cet ke-2, h. 113 13
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, eirut: r al-Fikr, 1983)cet. Ke-4, jilid 2, h. 20. Lihat
pula Dahlan Idhami, Asas-Asas Fiqih Munakahat: Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: al-ikhlas,
1984) h. 15 dan lihat pula Slamet Abidin, op.cit., h. 41
14
a. Tidak dalam pinangan orang lain
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar‟i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj‟i
d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba‟in, hendaklah
meminang dengan cara sirry.14
2. Dasar Hukum Khitbah
Pelaksanaan Khitbah didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al
Quran surat Al Baqarah (2) : 235:
Artinya: “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu, dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu Mengadakan janji nikah dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Dapat kita ketahui dari ayat di atas mengenai tata cara meminang
wanita yang dalam masa iddah, akan tetapi pinangan yang dilakukan hanya
boleh dilakukan dengan sindiran. Pengucapan secara langsung hanya boleh
dilakukan ketika masa iddah sudah selesai.
14
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Pt.
Rajagrafindo Persada, 2014), h. 24
15
Di Indonesia sendiri pengaturan umur untuk peminangan tidak ada,
dalam artian syarat umur kebolehan seseorang untuk dipinang tidak ada
aturannya. Akan tetapi dalam pernikahan terdapat aturan khusus yang
mengatur tentang usia seseorang diperbolehkan untuk menikah. Untuk calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.15
3. Kriteria Perempuan yang Hendak Dikhitbah
Peminangan merupakan pendahuluan pernikahan yang disyariatkan
sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki
pernikahan didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian, pengetahuan,
serta kesadaran masing-masing pihak.
Agama Islam sangat menginginkan akan kelanggengan pernikahan
dengan berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat
sehingga mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman, kebahagaiaan dan
ketenangan. Semua itu dapat diraih dengan adanya agama dan akhlak. Agama
dapat semakin menguat seiring bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan
semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup.
Adapun tujuan lainnya yang sering mempengaruhi manusia, seperti harta,
kecantikan dan jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu, tidak dapat
menciptakan kelanggengan hubungan, bahkan umumnya malah menjadi
pemicu timbulnya sifat saling berbangga diri dan merasa tinggi serta ingin
dipandang oleh orang lain.
Kriteria penentuan calon suami ini sesuai dengan hadist nabi
Muhammad SAW yaitu
15
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama RI, 2000), h. 19
16
ػي اث سسح زض الله ػ ػي اج صل الله ػل سلن قبه : رنخ الوسأح لأزثغ:
16 (لوسلنا ذ داك )زالوبلب لذسبثب لجوبلب لدب: فب ظفس ثراد الدي رسث
rtinya: “ iriwayatkan dari bu Hurairah Radiyallahu „anhu dari nabi
Muhammad SAW beliau pernah bersabda: perempuan itu dinikahi karena
empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan
agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi perempuan yang beragama,
maka kau akan mendapatkan keuntungannya yang tak terhingga (hadist
riwayat milsuM)”
Maksudnya, pada umumnya yang menarik minat para lelaki untuk
menikah adalah keempat hal tersebut, dan perempuan yang memiliki agama
oleh mereka diposisikan pada bagian paling akhir. Oleh sebab itu, nabi
Muhammad SAW memerintahkan mereka agar jikalau mereka telah
menemukan perempuan yang memiliki agama maka hendaknya mereka
memilih perempuan tersebut. Jika hal tersebut tidak dilakukan niscaya
mereka akan tertimpa kerugian dan kefakiran.
Sehingga, jikalau kita ringkas kriteria perempuan yang hendak
dikhitbah mungkin dapat kita ringkas menjadi sebagai berikut:
a. Perempuan tersebut hendaknya seorang yang mempunyai agama.
Sebagaimana dalam hadits sebelumnya yang berarti “maka kamu harus
lebih memilih perempuan yang mempunyai ketaatan agama”
b. Perempuan tersebut hendaknya subur (berpotensi dapat melahirkan banyak
anak). Perempuan perawan dapat dikenali dari seorang ibu yang dikenal
memiliki banyak anak.
c. Hendaknya perempuan tersebut masih perawan.
d. Hendaknya perempuan tersebut berasal dari rumah yang dikenal
mempunyai agama yang kuat dan qanaah.
e. Hendaknya perempuan tersebut berasal dari keluarga yang baik-baik, agar
anaknya menjadi orang yang unggul. Karena sesungguhnya boleh jadi
16
Al-hafiz „ bd al-„ zim bin „ bd al-Qawi dan Zakiyuddin al Mundziri, Mukhtasar
Sahih Muslim, Penerjemah Achmad Zaidun, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Pustaka Amani,
2001), h. 435
17
anak tersebut akan menyerupai keluarga si perempuan dan cendrung
meniru.
4. Hikmah Khitbah
Khitbah sebagaimana pendahuluan pernikahan lainnya adalah sebuah
cara bagi masing-masing pihak (suami-istri) untuk saling mengenal diantara
keduanya, karena khitbah tersebut merupakan jalan untuk mempelajari
akhlaknya, tabiat dan kecendrungan masing-masing dari keduanya. Akan
tetapi hal itu harus dilakukan sebatas yang diperbolehkan secara syariat dan
itu sudah sangat cukup sekali. Jika telah ditemukan kecocokan dan
keselarasan maka sudah mungkin utnuk dilangsungkannya pernikahan yang
merupakan ikatan abadi dala kehidupan. Dengan demikian, kedua belah pihak
akan dapat merasa tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan
selamat, aman, bahagia dan penuh rasa cinta. Semua itu merupakan tujuan-
tujuan yang sangat ingin diraih oleh semua pemuda dan pemudi serta
keluarga mereka.17
C. Wali
1. Pengertian
Secara etimologis “wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau
penguasa.18
Wali mempunyai banyak arti, antara lain:
a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
c. Kepala pemerintahan dan sebagainya.19
Maka dalam pembahasan kali ini, penggunaan kata wali ditujukan dalam
konteks pernikahan.
17
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab 9, (Depok, Gema Insani, 2007),
h. 21. 18
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 1, h. 89 19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta:
Balai Pustaka, 1994), cet ke-3, h.416.
18
Makna perwalian secara bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat
56:
rtinya: “dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama)
Allah, Itulah yang pasti menang.”
Dalam pernikahan, wali dikelompokkan secara umum kepada empat
macam. Diantaranya; wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
Empat kategori tersebut memiliki proporsi dan syarat-syarat tersendiri. Wali
nasab termasuk padanya wali mujbir yaitu wali yang dapat memaksakan
kehendaknya kepada anaknya dalam hal pernikahan. Pembahasan ini akan
dilanjutkan pada halaman berikutnya.
2. Syarat- Syarat Wali
Syarat bagi orang yang bertindak sebagai wali (dalam pernikahan)
adalah merdeka, berakal dan baligh. Secara lebih terperinci dijelaskan:
a. Orang yang sempurna persyaratannya, seperti dewasa, berakal dan
merdeka. Para fuqaha bereselisih pendapat tentang orang yang kurang
akal. Di antara mereka ada yang membolehkannya (menjadi wali nikah).
Karena menurut mereka orang seperti ini hanya tidak diperkenankan
mengatur keuangannya (hartanya) sendiri, karena takut ia hanya
menghabiskannya saja. Akan tetapi, ia dapat menikahkan anak
perempuannya sendiri. Sama halnya seperti orang miskin. Diantara
mereka ada yang melarangnya menjadi wali nikah, karena ia tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri, lalu bagaimana mungkin ia bisa menjadi
wali untuk orang lain.
b. Satu agama dengan yang diwakilkan, kecuali jika ia seorang imam
(pemimpin). Karena, ia mempunyai hak perwalian atas seluruh
19
pengikutnya, baik ia muslim ataupun non-muslim demi kemaslahatan
semua.20
c. Tidak terkenal jelek dalam memilih pasangan. Poin ini berdasarkan
pendapat mazhab Hanafi
d. Adil. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha kecuali mazhab
Hanafi. Pelaksanaannya seperti mazhab Hanafi.
3. Jenis- Jenis Wali
Wali memegang peranan penting terhadap keberlangsungan suatu
pernikahan. Menurut Imam Hambali, Imam Syafi‟i dan Imam Malik bahwa
keberadaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah, sehingga tidak sah
pernikahan kecuali dengan adanya wali.21
Suatu pernikahan tanpa dihadiri
oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal sebagaimana yang
tercantum dalam hadits nabi SAW
22 (الجخبز زا) ثل إلا نبح لا: قبل ػ الله زض هس اث ػي
rtinya: “ ari bu Musa r.a yang berkata bahwa Rasulullah S W bersabda,
„Tidak ada suatu pernikahan tanpa adanya wali.” H.R ukhari).
Adapun jenis-jenis perwalian diantaranya:
a. Menurut Mazhab Hanafi
Pembagian perwalian kepada tiga bagian yaitu perwalian terhadap
diri, perwalian terhadap harta dan perwalian terhadap diri serta harta
secara bersama-sama. Perwalian terhadap diri adalah mengawasi berbagai
perkara pribadi anak yang belum mencapai usia baligh. Seperti
pernikahan, pendidikan, pengobatan dan pekerjaan yang seharusnya
dilakukan oleh bapak dan kakek serta semua walinya. Perwalian terhadap
harta, yang mengurus berbagai perkara keuangan anak kecil, yang berupa
investas, perputaran, penjagaan dan pembelanjaan.
20
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab 9, (Depok, Gema Insani, 2007),
h. 185 21
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab 9, h. 182 22
Al-Bukh ri, Sahih al-Bukh ri eirut: r l-Fikr), h. 95
20
Jenis perwalian terhadap diri terbagi kepada dua:
1) Perwalian ijbar yaitu mengucapkan perkataan yang harus dilaksanakan
oleh orang lain. Dengan makna umum ini, perwalian ditetapkan dengan
empat sebab kekerabatan, kepemilikan, perwalian dan imam. Perwalian
ijbar berarti hak wali untuk mengawinkan orang lain dengan orang
yang dia kehendaki. Orang yang memiliki perwalian disebut mujbir
2) Perwalian ikhtiar (sukarela) adalah hak wali untuk mengawinkan orang
yang dia walikan berdasarkan pilihan dan kerelaannya. Dan orang yang
memiliki perwalian ini disebut sebagai wali mukhayyar.23
b. Menurut Mazhab Syafi‟i
Menurut mazhab Syafi‟i wali terbagi dua, yaitu wali mujbir dan bukan
mujbir.
1) Wali mujbir termasuk didalamnya salah satu dari ketiga orang ini yaitu
bapak, kakek serta tuan dari budak.24
Seorang bapak berhak
mengawinkan anaknya yang masih perawan dan masih kecil ataupun
sudah dewasa dengan tanpa izinnya dan disunnahkan mendapatkan
izinnya. Dia tidak memiliki hak untuk mengawinkan janda kecuali
dengan izinnya.
2) Wali yang bukan mujbir yaitu bapak, kakek dan orang lainnya yang
tidak memiliki hubungan kerabat „ashabah. Urutan wali adalah dalam
bentuk berikut ini: bapak, saudara, paman, dari pihak bapak, kemudian
orang yang memerdekakan, kemudian penguasa, maksudnya bapak,
kemudian kakek yang merupakan bapaknya bapak, kemudian bapaknya
kakek dan nasab ke atas, kemudian saudara laki-laki kandung,
kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, kemudian keponakan laki-laki sebapak
dan nasab di bawahnya,kemudian paman, kemudian seluruh kerabat
ashabah dari hubungan kerabat seperti dalam hubungan kewarisan.
23
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatu Jilid IX, amaskus: r al-Fikr, 2007), h.
179 24
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatu Jilid IX, h. 183
21
Kemudian orang yang memerdekakan budak. Kemudian kerabat
Ashabahnya dengan urutan warisan. Budak perempuan yang
dimerdekakan dinikahkan oleh orang yang mengawinkan perempuan
yang memerdekakannya selama orang yang memerdekakannya masih
hidup.25
c. Dalam buku Fikih Munakahat karangan Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A.,
MM dan Sohari Sahrani, M.M., M.H dijelaskan bahwa wali nikah ada
empat macam, yaitu wali nasab, wali hakim (sultan), wali tahkim dan wali
maula.
1) Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun wali nasab
terbagi menjadi dua, yaitu; wali nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak
mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau
oersetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini
tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak Ijbar. Yang kedua
yaitu wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan
kehendaknya untuk menikhakan calon mempelai perempuan tanpa
meminta izin kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh
wali mujbir disebut dengan hak ijbar.
2) Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang yang
berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah, khalifah (pemimpin),
penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara
untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
3) Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri.
Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib,
tidak ada qadhi atau pegawai pencatat nikah.
25
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab 9, (Depok, Gema Insani, 2007),
h. 193-194
22
4) Wali maula, adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya
sendiri. Adapun maksud budak di sini adalah wanita yang dibawah
kekuasaannya/hamba sahaya.26
Begitu pentingnya pernikahan di dalam Islam sehingga praktek
pelaksanaannya diatur sedemikian rupa. Pengaturan ini tidak hanya ketika
pernikahan terjadi melainkan sebelum pernikahan pun di atur tata caranya.
Inilah yang dikenal dengan khitbah (peminangan). Tidak hanya itu, perwalian
juga memiliki peranan penting karena disebutkan di atas bahwasannya tidak
sah pernikahan tanpa keberadaan wali.
26
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Pt.
Rajagrafindo Persada, 2014), h. 95-98
23
BAB III
TRADISI NIKAH BAUNDI DI PANDAI SIKEK
A. Profil Nagari Pandai Sikek
1. Sejarah Nagari Pandai Sikek
Sejarah kedatangan orang Pandai Sikek tentu saja sama dengan
sejarah nasional, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah
Champa di Vietnam Utara (Tonkin), Kamboja dan Kochin Cina
(Indocina).Diperkirakan kedatangannya adalah bangsa Melayu Muda (Deutro
Melayu) yaitu kedatangannya sekitar 500 SM secara bergerombolan.1
Rombongan nenek moyang sampai pada daerah tertinggi yang dituju
adalah Gunung Berapi Singgalang (dulunya Gunung Singgalang aktif)
diperkirakan awal bermukim di Kertayun (daerah dibawah pemancar TVRI
sekarang ada goa dan air terjunnya) dan hidup di goa-goa yang sampai
sekarang masih ada dan ditemukan megalatik seperti Lesung Batu dan lain-
lain.
Kemudian, mereka membuka lahan dan menetap di tempat itu karena
tanahnya subur di bawah kaki Gunung Singgalang (tempat singgah buruang
Elang dan enggang). Tentu saja dalam membuka daerah tersebut para Dato
(niniak kami) lebih dahulu mendirikan taratak-taratak, kubu, kampuang dan
koto.
Menurut cerita, Gunung Singgalang meletus di awal abad ke-16 yaitu
tahun 1500 an Masehi. Dimana erupsinya menyebabkan manusia pindah
kearah bawah dari kaki Gunung Singgalang. Bekas erupsi Gunung
Singgalang sampai saat ini hanya dapat ditumbuhi oleh tanaman sejenis
bambu, yang disebut Batang Parupuak
Akibat adanya erupsi Gunung Singgalang, nenek moyang turun dari
lereng Gunung Singgalang unutuk membuat perkampungan Taratak mulo
dibuek, sudah taratak manjadi dusun, sudah dusun manjadi koto, kudian
1 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga Sejarah Adat Dan Budaya Nagari
Pandai Sikek, (Pandai Sikek: t.p, 2014), h. 1
24
bakampuang banagari. (awalnya Taratak dibuat, sesudah Taratak
terbentuklah dusun, sesudah dusun menjadi Koto, kemudian terbentuklah
perkampungan atau negeri). Terlihatlah oleh nenek moyang suatu daerah
berbentuk sebuah Tanjuang (Tanjung) kemudian masyarakat memberinya
nama Tanjuang. Daerah yang dulunya merupakan daerah Peladangan Baru
dan terletak di daerah ketinggian dinamakan dengan Koto Tinggi. Daerah
yang masyarakatnya mempunyai Pagu, yakni tempat meletakkan kayu bakar,
tetapi Pagu itu tidak kokoh. Biasanya pagu tersebut terletak di atas rumah,
yakni berupa loteng rumah. Oleh karena itu, Pagu yang dibuat untuk kayu
bakar tersebut banyak menyerupai Pagu, maka ia hanya disebut Pagu-Pagu
saja. Lalu daerah itu dikenal dengan Pagu-Pagu. Bagian yang terletak di
bagian bawah atau di hilia (hilir) daerah itu dinamakan Baruah.2
Taratak merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah nagari. Begitu
juga halnya dengan Nagari Pandai Sikek, jika ditanya mana yang lebih dulu
Jorong Baruah dengan Jorong Tanjuang, sebagian pasti akan mengatakan
Jorong Baruah lebih dulu, dengan alasan Pusat Pemerintahan Nagari Pandai
Sikek terletak di Jorong Baruah. Namun seperti dibilang tadi Taratak
merupakan cikal bakal terbentuknya Nagari. Sedangkan Taratak dapat kita
temui di Jorong Tanjuang terbukti dengan adanya sebuah permukiman yang
bernama Taratak di Jorong Tanjuang tersebut. Akan tetapi taratak–taratak
tersebut tersebar sepanjang lereng Gunung Singgalang seperti : Jorong Koto
Tinggi bagian Utara, Jorong Tanjuang bagian Utara dan Jorong Pagu–Pagu
bagian Utara sampai Selatan.
Cara membuat perkampungan ini tergolong unik, dimana penghuni
taratak–taratak tersebut terdiri dari berbagai macam suku dan datangnya dari
berbagai tempat yang berjauhan. Sudah pasti pendirian kampung tersebut
adalah melalui musyawarah kesepakatan, seperti kapling-kapling untuk Suku
Sikumbang, Koto, Guci dan sebagainya. Kaplingan tersebut saling
berdekatan, seolah–olah satu suku satu kaplingan. Dalam berbagai sumber
2 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga Sejarah Adat Dan Budaya Nagari
Pandai Sikek, (Pandai Sikek: t.p, 2014), h. 2-3
25
dikatakan kaplingan persukuan ini lebih popular disebut dengan istilah
“S SOK J R MI”.
Nenek moyang masyarakat Pandai Sikek sebelum masuknya agama
Islam dulunya beragama Hindu. Kepercayaan ini meyakini bahwa Tuhan
meresap ke seluruh alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan.
Ciri khas agama hindu melambangkan triloka atau tiga dunia, yaitu
Bhurloka (dunia manusia), Bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan),
dan Svarloka (dunia para dewa). Dalam agama Hindu segala benda bernyawa
“ jangan makan barimah, bekoh managih nasi, anam bulan manunggunyo,
tabang kalangik bareh beko (jangan makan bersisa, menangis beras nanti,
enam bulan menunggunya, nanti terbang kelangit berasnya)”. an
menggunakan hantaran kepada tempat-tempat yang dianggap keramat seperti
tempat Pincuran. Dan berdoa mempergunakan kemenyan. Masyarakat
mengenal hukuman karma yang diajarkan oleh Agama Hindu. Anak Pandai
Sikek dikenal dengan Urang Nan Tujuah Salapan Indu, kemudian masuk
agama Budha yang mempengaruhi kehidupan masyarakt Pandai Sikek
dengan mengenalkan konsep Budi Nan Baraka. 3
Sebelum masuknya agama Islam di tempat yang tinggi di kaki
Gunung Singgalang didirikan sebuah Surau di Tabiang. Menurut pengertian
asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau di
tempat yang lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, yang dipergunakan
untuk penyembahan arwah nenek moyang. “su” berarti badan dan “rau”
berarti roh. Kemudian dengan masuknya agama Islam surau juga mengalami
Islamisasi, walaupun sisa-sisa kesakralan surau di sana masih jelas terlihat,
seperti dengan adanya puncak atau gonjong yang mereflesikan kepercayaan
mistis dan sekaligus simbol adat. Namun fungsi surau di sana tetaplah sama
hanya saja fungsi keagamaannya menjadi semakin penting. Di samping
dipergunakan sebagai tempat ibadah, surau juga menjadi lembaga pendidikan
dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya. Di antara guru di “Surau
3 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga Sejarah Adat Dan Budaya Nagari
Pandai Sikek, (Pandai Sikek: t.p, 2014), h. 3
26
Rangtau” ada seorang nan pandai (orang pintar), tempat orang-orang
bertanya, baik tentang ilmu dunia, maupun tentang ilmu batin. Suatu hari si
Ikek ini membuat rumah yang bagus, dalam waktu yang lama dan penuh
nuansa ukiran, yang sekarang disebut rumah gadang. Dengan berdirinya
rumah yang sangat bagus ini, teman-teman si ikek berkata “iyo pandai si
ikek”. da juga yang berkata ketika ada yang bertanya kepada seseorang
hendak kemana, orang itu akan menjawab “Ka si kek nan pandai”, sejak itu,
daerah tersebut dinamakan Pandai Sikek, yang berasal dari kata “Si kek nan
pandai”.4
Versi lain mengatakan, bahwa asal usul nama pandai sikek adalah
kaena masyarakatnya yang terampil dalam menenun kain songket (pandai
menyisir/manyikek benang), yang mengahsilkan produk kain tenun bernilai
seni tinggi. Jadi daerah/nagari ini, di mana masyarakatnya ahli dan
beraktifitas mengatur ribuan benang setiap hari menjadi sebuah produk seni,
semenjak itu dinamakan daerah nagari Pandai Sikek.5
Dengan terjadinya perkembangan dari waktu ke waktu, maka
bertambahlah jumlah penduduk di daerah Pndai Sikek ini, dari keluarga
membentuk suku,dari suku membentuk kampung, dari kampung terbentuk
Koto, dari Koto terbentuklah sebuah nagari, yaitu Nagari Pandai Sikek.
Setelah terbentuk sebuah nagari maka jumlah penghulu ketika itu berjumlah
60 orang, dan semenjak itulah nama pengulu di nagari pandai sikek
“Panghulu Nan Basaranam Puluah”
2. Kondisi Geografis Nagari Pandai Sikek
Nagari Pandai Sikek merupakan salah satu Nagari yang berada di
wilayah Kabupaten Tanah Datar, yang terletak d sebelah barat Ibukota
Kabupaten Tanah Datar- Batusangkar. Yaitu di perbatasan Kabupaten Agam
dan Kota Padang Panjang. Nagari Pandai Sikek berbatas dengan :
Sebelah Barat : Gunung Singgalang
4 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga Sejarah Adat Dan Budaya Nagari
Pandai Sikek, (Pandai Sikek: t.p, 2014), h. 4 5 Berdasarkan data kantor Wali Nagari Pandai sikek. Diambil tanggal 8 Maret 2018.
27
Sebelah Timur : Nagari Koto Baru dan Nagari Aie Angek
Kab. Tanah Datar
Sebelah Selatan : Nagari Koto Laweh Kab. Tanah Datar
Sebelah Utara : Nagari Padang Laweh-Kab. AGAM
Pandai Sikek mempunyai iklim sejuk dengan suhu 270
C s/d 300
C,
dengan ketinggian 1.164 dpl. Nagari Pandai Sikek mempunyai curah hujan
yang cukup tinggi dan sangat potensi untuk daerah pertanian, perkebunan,
dan perikanan. Sehingga masyaarakat Nagari Pandai Sikek pada umumnya
mata pencariannya adalah petani (75 %). Disamping pertanian, Nagari Pandai
Sikek juga terkenal sebagai Nagari Kerajinan Songket dan Ukiran.
Disamping itu Penduduk Nagari Pandai Sikek sangat taat beragama, sehingga
disetiap jorong dapat kita temui mesjid dan surau yang besar dan megah
dengan jamaah yang juga aktif dalam berbagai kegiatan beragama dan juga
Nagari Pandai Sikek masih menjunjung tinggi pelaksanaan dan pengamalan
Adat Salingka Nagari, dengan Falsafah “ADAT BASANDI SYARAK,
SYARAK BASANDI KITABULLAH”.
3. Pemerintahan Nagari Pandai Sikek
Wali Nagari : H. Harmen St. Rajo Malano
Ketua TP-PKK Nagari : Hj. Swita Harti
(Tim Penggerak Pembinaan kesejahteraan keluarga)
Ketua BPRN : Y. Dt. Bagindo Malano
(Badan Perwakilan Rakyat Nagari)
Ketua KAN : S. Dt. Bagindo Basa
(Kerapatan Adat Nagari)
Ketua LPM : G. Dt. Rangkayo Marajo
(Lembaga Pembangunan Masyarakat)
28
4. Kondisi Sosial Budaya Nagari Pandai Sikek
a. Kependudukan
1) Jumlah penduduk : 5.517
2) Jumlah KK : 1.401
3) Jumlah laki-laki
a) 0-5 tahun : 260
b) 5-6 tahun : 75
c) 7-15 tahun : 494
d) 16-59 tahhun : 1766
e) Diatas 60 tahun : 306
b. Kesejahteraan sosial
1) Jumlah KK prasejahtera : 26
2) Jumlah KK sejahtera : 336
3) Jumlah KK sedang : 794
4) Jumlah KK kaya : 32
5) Jumlah KK miskin : 213
c. Tingkat pendidikan
1) Tidak tamat SD/belum sekolah : 1.375
2) SD dan Tamad SD : 1592
3) SMP dan Tamat SMP : 1681
4) SMA dan Tamat SMA : 649
5) Diploma/sarjana : 220
d. Mata pencaharian
1) Buruh tani : 75
2) Petani : 1469
3) Peternak : 0
4) Pedagan/wiraswasta/pengusaha : 841
5) Tukang kayu : 93
6) Tukang batu : 24
7) Penjahit : 13
8) PNS : 70
29
a. Pensiunan : 35
b. Perangkat Nagari : 12
c. Pengrajin : 888
d. Industri kecil : 4
e. Lain-lain : 1860
e. Agama : Islam
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa:
1) Kependudukan
Jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan denganusia anak-
anak dan lansia. Perbandingan usia anak-anak, produktif dan lansia
adalah sebagai berikut: 28% : 60% : 12% dari 5517 jumlah penduduk
yang berada pada kategori usia produktif. Laki-laki dan perempuan
jumlahnya seimbang
2) Kesejahteraan
Jumlah KK sedang mendominasi yaitu 57% dari total Kepala
Keluarga, KK prasejahtera 1,9%, KK sejahtera 24%, KK kaya 2,3%,
KK miskin 15,2% dari total kepala keluarga.
3) Tingkat pendidikan
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan terutama pendidikan 9 tahun
baru terjadi beberapa tahun ini sehingga jumlah lulusan SD dan SLTP
mendominasi peringkat pertama.
4) Mata pencaharian
Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani, pengrajin
tenun dan ukiran. Nagari Pandai Sikek yang terletak di kaki Gunung
Singgalang menjadikan kawasan ini subur untuk lahan pertanian,
sehingga Nagari Pandai Sikek termasuk Nagari penghasil sayur/
holtikurtular. Dalam bidang kerajinan Songket, Nagari Pandai Sikek
merupakan penghasil Songket. Nagari Pandai Sikek sudah dikenal
sampai kemancanegara. Tenunan Pandai Sikek banyak diminati
wisatawan domestik, mancanegara bahkan pejabat-pejabat yang ada di
Indonesia maupun mancanegara, begitu juga dengan ukiran Pandai
30
Sikek. Keahlian membuat ukiran dan Songket Pandai Sikek telah
didapatkan secara turun temurun sejak zaman dahulu.
5. Peta Nagari Pandai Sikek
Gambar 1
Nagari Pandai Sikek
6
B. Tradisi Nikah Baundi di Pandai Sikek
1. Tradisi Nikah Baundi
Baundi adalah tradisi yang dilakukan untuk mencarikan calon jodoh
anak dengan melibatkan pihak mamak7, bapak (sumando), bako
8 dan keluarga
sekitar.9
Baundi adalah musyawarah dalam kaum untuk mencari jodoh anak
perempuan dewasa yang sudah dapat kawin menurut UU perkawinan.10
Dinamakan Baundi karena berasal dari kata-kata undian. Dalam artian ketika
keluarga telah duduk bersama lalu dilaksanakan undian (pertimbangan baik
6 Peta diperoleh dari https://psikek.wordpress.com/ekomoni/profil/ diakses pada tanggal
12 April 2018, pukul 10.20 WIB. 7 Mamak adalah saudara laki-laki dari ibu
8 Bako adalah saudara laki-laki dari ayah
9 Saiful Dt. Rajo Sampono, Tutua Nan Badanga (Pandai Sikek: KAN Pandai Sikek,
2014) h. 92 10
Peraturan Nagari Pandai Sikek nomor: 02 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Adat
Istiadat ngari Pandai Sikek. Bab VII Tata Cara Perkawinan Bagian Satu Batunangan. Pasal 24 ayat
1.
31
buruk) melalui musyawarah mengenai calon yang akan disandingkan dengan
anaknya.
“Sabananyo Baundi tu istilah, tu samo jo undian jadi dari babarapo
usulan yang diajukan bekoh diundi dengan caro mufakat sahinggo dapek lah
calon no 1, 2 , 3, 4 sampai 5 umpamonyo.” 11
(Sebenarnya Baundi itu adalah
istilah. Jadi dari beberapa usalan yang diusulkan, dilaksanakan Baundi
(pertimbangan baik dan buruk) dengan cara musyawarah dan mufakat
sehingga didapatlah calon nomor 1,2,3,4 sampai 5 umpanya.” (Jadi Baundi
ini adalah tradisi adat untuk mencari calon suami anak. Jika kita punya
kemenakan (keponakan perempuan) sudah layak untuk dinikahkan).
Kok siriah lah patuik bajunjuang
Kok ayam lah patuik baindu
Lah patuik mandirikan adaik
(Apabila sirih sudah layak untuk diangkat, jika ayam sudah layak
untuk dicarikan pasangan, sudah layak untuk mendirikan adat)
Jadi sebagai ayah yang memiliki anak perempuan yang sudah layak
untuk menikah maka wajib menemui Penghulu/Niniak mamak (pimpinan
suku) untuk disampaikan bahwasannya anaknya sudah besar dan siap untuk
dinikahkan. Kemudian si ayah bertanya mengenai kapan waktu yang tepat
untuk batamu-tamu (bertatap muka) untuk mencari junjungan anak ini.12
Tradisi Baundi juga disebut dengan istilah bakato-kato13
. Disebut
demikian karena seorang bapak (orang yang memakai adat, dalam artian
sebagai seorang sumando) dalam suatu kaum memberitakan dan memberi
kabar bahwa anaknya sudah dewasa. Karena anak yang ada dalam satu
persukuan dianggap sebagai anak oleh semua orang sumando yang ada di
suku tersebut. Penyampaian kabar dan berita bahwa anak kita sudah dewasa
itu disampaikan dalam acara Baundi, sehingga Baundi pada prinsipnya bukan
Baundi (diundi/dikocok lalu dipilih satu seperti permainan judi) akan tetapi
11
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 12
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 13
Bakato-kato (berkata-kata) adalah memberitahukan kabar bahwa anak perempuannya
sudah besar dan layak untuk menikah.
32
bakato-kato, sebagai salah satu cara penyampaian kabar bahwa anak gadis
sudah dewasa kepada keluarga.14
Pelaksanaan tradisi ini merupakan sebuah kewajiban yang mesti
dilaksanakan. Jikalau tradisi ini tidak dilaksanakan maka suku tersebut akan
dikenakan sanksi adat (sanksi sosial) yaitu akan dikucilkan dan tidak
disertakan dalam acara-acara adat kedepannya.15
2. Sejarah Nikah Baundi
Jika melihat kepada literatur yang ada mengenai sejarah dan tambo16
Minangkabau. Penulis tidak menemukan adanya pembahasan mengenai
kapan awal mula pelaksanaan tradisi ini. Data yang penulis temukan hanya
berupa wawancara dari penduduk setempat yang melaksanakan tradisi ini.
dintaranya:
Menurut Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh keeberadaan tradisi
Nikah Baundi telah ada sejak dahulunya dan tidak diketahui kapan mulainya
tradisi ini. Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh menegaskan bahwa
“Tradisi Nikah Baundi telah ada sejak dahulunya. Tradisi ini
termasuk “adaik salingka nagari”17
yang pelaksanaannya hanya dilakukan
oleh masyarakat Pandai Sikek saja. Mengenai sejarah awal perkembangan
tradisi ini tidak terlalu saya ketahui, yang penting pelaksanaan tradisi Nikah
Baundi tidak satupun melanggar ketentuan agama. Sejak awalnya telah sesuai
dengan Islam. Untuk kepastian kapan dan siapa tokoh asalnya saya kurang
begitu paham. Tapi yang jelas semenjak saya ada di sini tradisi ini telah
ada.18”
Penuturan ini juga didukung dengan pendapat bapak Sefrizal Dt.
Bagindo Basa (Tokoh Adat daerah Pandai Sikek). Beliau menjelaskan
“Tradisi ini turun temurun adanya. Jikalau kita memberikan batasan
Perjanjian Bukit Marapalam yang mengeluarkan falsafah Adat Basandi
14
Wawancara pribadi dengan Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh. Pandai Sikek, 07
Maret 2018 15
Wawancara pribadi dengan Bapak Armen St. Rajo Malano, Pandai sikek, 07 Maret
2018 16
Tambo adalah cerita Minangkabau yang tidak diketahui asal mulanya dan penulisnya.
Yang jelas cerita ini telah disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi. 17
Adaik salingka nagari adalah adat yang hanya dilakukan oleh negeri itu saja. 18
Wawancara pribadi dengan bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa, Ketua KAN, Pandai
Sikek, 07 Maret 2018
33
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah maka tradisi ini telah ada jauh sebelum
terjadinya konsesus Bukit Marapalam itu, sehingga karena ini dari dahulunya
telah sesuai dengan Islam diperkuat dengan keberadaan Syarak. Memang
benar sebelum datangnya Islam di Indonesia khususnya di Minangkabau telah
ada keperecayaan Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Akan tetapi jika
melihat kepada budaya adat Minangkabau hanya sedikit yang dipengaruhi
oleh kepercayaan ini, karena kita melihat bahwa orang Minangkabau secara
keseluruhan aslinya adalah orang Islam, sebab tidak adanya bukti yang
mengatakan ada orang Minangkabau yang beragama Hindu/Budha atau
lainnya. Memang benar ada Adityawarman yang beragama Hindu akan tetapi
dia hanya dikenal sebagai raja di Pagaruyuang Batu Sangkar karena
merupakan titah dari Majapahit, dan disebabkan karena dia adalah orang yang
kuat. Jauh sebelum Adityawarman telah ada Lareh nan duo (Koto Piliang dan
Bodi Caniago) yang bersumber dari Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah
Nan Sabatang di Minangkabau, meskipun mereka kala itu belum menganut
agama. Setelah Islam masuk, masyarakat Minangkabau mulai masuk Islam
dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Syarak mulailah diganti dan
disesuaikan dengan adat Minangkabau. Sebagai puncaknya adalah terjadinya
perjanjian Sumpah Sati Marapalam yang mengeluarkan falsafah Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Melihat ke latar belakangnya,
orang Pandai Sikek khususnya, merujuk kepada Pepatah Adat Marajo
Kapado Mufakaik (mengambil kata mufakat) dalam penyelesaian perkara.
Maka tradisi Baundi adalah salah satu contohnya. Jika kita melihat kepada
Baundi ini yang ditonjolkan sebenarnya adalah sisi permusyawarahannya.”19
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan tradisi Nikah Baundi telah ada
sejak dahulu kala. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan munculnya
tradisi ini, bahkan diketahui tradisi Baundi telah ada jauh sebelum adanya
perjanjian Sumpah Sati Marapalam. Sungguh pun demikian pelaksanaan
tradisi ini tetap menjunjung tinggi nilai keIslaman sehingga masih tetap
berada dalam koridor yang diakui oleh Islam.
3. Orang-Orang yang Terlibat dalam Tradisi Nikah Baundi
a. Orang tua
Orang tua dari si gadis merupakan pihak yang memiliki
kepentingan di sini. Karena anaknyalah yang akan diundikan.20
Oorang
19
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 20
Diundikan yaitu dilaksanakan tradisi Baundi.
34
tua adalah pihak yang mengetahui perkembangan dari si anak. Karena
bersama merekalah anak dibesarkan.
b. Niniak mamak
Niniak mamak atau yang disebut dengan penghulu merupakan
kepala sepesukuan di Minangkabau. Niniak mamak memiliki peranan
yang sangat penting karena beliaulah yang dijadikan pemimpin disana.
Sehingga tahap awal dari pelaksanaan tradisi ini adalah Mampaiyoan Ka
Mamak sebagai bentuk penghormatan atas beliau. Niniak mamak
memiliki peranan penting dalam acara itu. Semenjak dari tahapan awal
permulaan tradisi ini orang yang pertama kali dikunjungi untuk meminta
pendapat adalah Niniak mamak. Dalam acara Baundi ketidak hadiran dari
mamak akan mempengaruhi jalannya tradisi ini. sehingga ketika Niniak
mamak berhalangan hadir akan digantikan oleh Panungkek21
dengan
memakai sebuah tanda sebagai bukti bahwasannya peran Niniak mamak
digantikan oleh Panungkeknya. Biasanya tandanya itu berupa peci yang
menandakan sudah digantikan oleh panungkeknya dalam acara itu.
Jikalau penghulu atau Panungkeknya belum datang, tradisi ini belum
boleh dilaksanakan.
c. Mamak
Pada masyarakat Pandai Sikek penyebutan mamak terdiri dari
beberapa bagiannya, diantaranya adalah mamak kontan, mamak rumah.
Mamak kontan merupakan saudara laki-laki kandung ibu, sementara
mamak rumah merupakan anak laki-laki dalam keluarga tersebut yang
usianya relatife masih muda dan belum berkeluarga. Adapun saudara
laki-laki ibu dari kerabat luas ibu dalam pasukuan tersebut hanya disebut
mamak saja. Dalam pelaksanaan tradisi Baundi mamak kontan
merupakan pihak yang pertama kali yang akan ditemui oleh pihak
keluarga inti dari anak perempuan yang akan dipaundian atau disebut
dengan mampaiyoan. Tujuan kedatangannya untuk menyampaikan
apakah menurut pandangan mamak kemenakan perempuannya tersebut
21
Panungkek adalah wakil dari Niniak mamak
35
sudah dewasa dan sudah pantas untuk dicarikan calon suaminya?
Pandangan sekaligus izin beliau menjadi penentu apakah anak
kemenakan perempuan mereka memang sudah pantas untuk dilakukan
acara Baundi untuknya.22
d. Mamak rumah
Mamak Rumah merupakan saudara laki-laki dari garis ibu dalam
pasukuan tersebut dari segi usianya masih muda atau lebih kurang sebaya
dengan perempuan yang akan akan dipaundian. Sebelum acara Baundi
dilakukan, mamak rumah akan mamanggie atau menyampaikan
undangan kepada pihak yang telah ditentukan oleh panghulu untuk dapat
hadir dalam acara Baundi. Sementara pada saat Baundi dilangsungkan
beliau bertugas menghidangkan makanan kepada semua pihak yang
hadir.23
e. Bako
Bako adalah pihak keluarga ayah yang laki-laki. Keselurahnnya
diundang untuk menghadiri acara ini.
f. Sumando Sapasukuan
Sumando Sapasukuan adalah laki-laki yang menjadi menantu dari
perempuan di pesukuan tersebut. Dalam penyebutannya Sumando di
Pandai Sikek disebut dengan “ apak”
g. Bundo kanduang
Pihak perempuan yang telah menikah di sepesukuan tersebut
disebut dengan Bundo Kanduang. Peranannya menjadi penting karena
Bundo Kanduang adalah orang yang dianggap mengetahui kondisi
kampung. Hal ini disebabkan karena Bundo kanduang lebih sering
dirumah dan di kampung sehingga mengetahui setiap kabar yang ada di
22
Dewi Ratnasari, Tradisi Baundi Pada Masyarakat Pandai Sikek Studi Kasus: Pada
Masyarakat Pandai Sikek Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, (Padang: UNAND, 2017)
h. 73 23
Dewi Ratnasari, Tradisi Baundi Pada Masyarakat Pandai Sikek Studi Kasus: Pada
Masyarakat Pandai Sikek Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, h. 73
36
kampung. Berbeda dengan kaum lelaki yang biasanya mencari nafkah
sehingga sering tidak di rumah. 24
h. Tetangga sekitar.25
Tetangga diikut sertakan dalam acara ini karena tetangga adalah
orang yang berada didekat rumah dari orang yang memiliki hajat.
Sehingga kehadirannya juga diharapkan untuk memberikan
pertimbangan jodoh.
24
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 25
Wawancara pribadi dengan ibu Rahma Alam Sudin, masyarakat, Pandai Sikek, 08
Maret 2018
37
BAB IV
TRADISI NIKAH BAUNDI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Praktek Nikah Baundi dalam Masyarakat Pandai Sikek
1. Tahapan Pelaksanaan Tradisi Nikah Baundi
Sebelum pelaksanaan adat perkawinan di Pandi Sikek, maka wajib
bagi seorang perempuan yang sudah dewasa untuk melaksanakan tradisi
nikah Baundi. Adapun tahapan pelaksanaan dari tradisi Nikah Baundi secara
umum adalah:
a. Mampaiyoan Ka Mamak (memberikan kabar ke Mamak)
Dalam tahapan ini bapak datang ke Niniak mamak (penghulu)
untuk mengabarkan bahwa anak gadis yang ia miliki ini sudah dewasa
dan siap untuk dinikahkan.1 Dalam penentuan ke dewasaan ini selain
melihat kepada batasan umur dalam UU perkawinan juga melihat kepada
asas “Patuik Jo mungkin”. Maksudnya patut dan mungkin untuk dilihat
kecakapannya, apakah sudah mampu untuk menempuh jenjang
perkawinan dan menjadi istri orang atau belum.2
Kok siriah lah patuik bajunjuang
Kok ayam lah patuik baindu
Lah patuik mandirikan adaik
Sirih sudah patut untuk dijunjung
Jikalau ayam sudah patut untuk dicarikan pasangan
Sudah patut dan layak untuk mendirikan adat.
Berpatokan dengan asas patuik jo mungkin (patut dan mungkin)
bapak dan mamak beserta keluarga memberikan penilaian tentang
kedewasaan seorang gadis dalam keluarganya. Karena Mamak dan bapak
itu berfungsi : Kok siang bacaliak-caliak an, kok malam badanga-
dangakan. Raso-rasonyo anak ko kalau ndak dipalakian akan menjadi
1 Wawancara pribadi dengan bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa, Ketua KAN, Pandai
Sikek, 07 Maret 2018 2 Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama, Pandai
Sikek, 08 Maret 2018
38
aib nantinya.3 Kriteria selanjutnya adalah gadis itu sudah mengenal laki-
laki (sudah memiliki rasa suka terhadap laki-laki), sehingga patokan
umur dalam penentuan perkawinan di sini tidak ada karena yang bermain
adalah raso (perasaan) karena adat adalah “baso basi jo raso”. Sehingga
ada keinginan dari bapak untuk melaksanakan tradisi ini.4
Setelah disampaikan bahwasannya anaknya sudah dewasa dan
patut untuk dinikahkan kemudian Mamak menyetujuinya, lalu bapak
bertanya ke Niniak mamak mengenai waktu yang tepat untuk
dilaksanakan Tradisi Baundi.
Dalam perihal waktu ini, baik Mamak dan bapak sama-sama
menyepakati kapan akan dilaksanakan. Dahulu memang pelaksanaannya
sering dilakukan hari Jumat malam. Hal ini disebabkan karena hari jumat
adalah hari istirahat masyarakat Pandai Sikek yang sebagian besar
masyarakat Pandai Sikek berprofesi sebagai petani, sehingga dihari
Jumat kegiatan tersebut tidak dilaksanakan karena dibatasi sholat Jumat.
Berbeda dengan konteks sekarang, dimana waktu pelaksanaannya bebas
asalkan disepakati keluarga. Asalkan keluarga yang diundang bisa hadir
semua.5 Setelah diketahui hari yang tepat, Bapak bertanya ke Niniak
mamak mengenai orang-orang yang patut untuk diundang.
Jadi dalam pelaksanaan kegiatan Mampaiyoan Ka Mamak
tujuannya adalah; pertama memberitahukan kepada Niniak mamak
bahwasannya anaknya sudah besar. Kedua: menyepakati hari antara
Bapak dan Mamak. Ketiga: menanyakan Ke Niniak mamak mengenai
orang-orang yang akan diundang.
3 Kalau siang dilihat-lihat, kalau malam didengar-dengarkan. Rasa-rasanya anak ini kalau
tidak dinikahkan akan menjadi aib nantinya. 4 Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama, Pandai
Sikek, 08 Maret 2018 5 Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama, Pandai
Sikek, 08 Maret 2018
39
b. Mamanggia
Mamanggia berarti memanggil. Jadi keseluruhan orang yang
patut diundang dan dipanggil untuk melaksanakan tradisi ini.
Dalam proses dan tahapan pelaksanaan Mamanggia ini dilakukan
dengan 2 cara yaitu:
1) Mamapa mamanggia yaitu mengundang orang-orang terdekat. Dan
bertanya lagi siapa kira-kira yang akan diundang.
2) Maapa mamanggia yaitu mengundang semua keluarga yang ada
dalam satu payung pesukuan itu.
Dalam proses ini yang memanggil itu biasanya adalah yang
bujang-bujang dari sepesukuan itu.6 Dalam proses Mamanggia ini kata-
kata yang disampaikan adalah “bakato-kato”.7 Lalu setelah diundang
semua keluarga dipersilahkan hadir dan berkumpul di temapat dan waktu
yang telah disepakati.
c. Tradisi Baundi
Setelah semua hadir dalam acara ini. Agenda pertama dalam
tradisi ini adalah Pasambahan oleh niniak mamak dan keluarga.
Pesambahan berisikan petatah petitih adat Minangkabau yang kemudian
disusul dengan pembahasan mengenai calon dari si perempuan yang
hendak menikah ini. Pihak-pihak yang hadir kemudian mengusulkan
nama-nama yang akan disandingkan dengan anak gadis mereka lalu
dicatat di sebuah kertas. Adapun isi dari pasambahannya ialah: Bapak
menyampaikan bahwasannya anak gadisnya sudah besar,
“Kok kacang lah patuik dicarian junjungannyo, kok ayam lah
patuik dicarikan indunyo. Nan ketek nanti gadang, nan gadang lah tau
weleng jo gendeang, lah tau malo jo raso, lah tau awa jo akhia
pekerjaan lah patuik dijapuik kadijangkaukan urang ka Mamakai dan
mandirikan adat. Sia kiro-kiro nan ka dijapuik kadijangkaukan adat.”
6 Wawancara pribadi dengan ibu Rahma Alam Sudin, masyarakat, Pandai Sikek, 08
Maret 2018 7 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018
40
Maksud dari Pasambahan antara bapak kepada Mamak/ panghulu
adalah untuk menyampaikan bahwasannya anak ini sudah dewasa dan
patut untuk dinikahkan. Oleh karenanya patutlah kita mencari siapa yang
sesuai untuk dijadikan pasangan dari gadis ini baik itu dari panghulu,
Mamak, bako, dan sumando serta bundo kanduang siapa kira-kira yang
sesuai mendampingi anaknya.8
Setelah didapat kesepakatan bahwasannya si anak/kemenakannya
sudah “patuik jo mungkin” dalam artian sudah dewasa maka
dilanjutkanlah proses tawar menawar. Dalam proses inilah kemudian
setiap dari keluarga yang memiliki jodoh mengusulkan kepada hadirin
yang hadir mengenai jodoh yang cocok untuk anak atau kemenakan gadis
mereka.
Pemberian usulan jodoh ini, setiap pihak yang hadir memiliki
porsi yang sama. Dalam hal ini setiap pihak yang hadir boleh
mengajukan nama-nama yang sikiranya cocok untuk disandingkan
dengan anak atau kemenakan mereka. Usulan yang diberikan biasanya
berjumlah ganjil. Kisaran 5,7, 9 atau 11 orang, yang penting ganjil.9
Untuk pertama kalinya sang ayah mempersilahkan kepada panghulu atau
niniak mamak untuk memberikan usulannya. Siapa kira-kira yang tampak
oleh niniak mamak sebagai langkah penghormatan kepada pimpinan.
Lalu kemudian dipersilahkan kepada keluarga yang lain untuk
memberikan usulannya. Setelah itu, dicatat di atas sebuah kertas.
Setelah didapat nama-nama yang diusulkan oleh keluarga,
sebagai penutup dari pertemuan ini bapak (sumando) akan menyebutkan:
“kok misalnyo lah kami jajak jalani katujuahnyo,ruponyo ndak
do nan cocok, Kok ado nan inggok balangau biko, ba a tuh? Ka baulang
Baundi ko angku? (kalau misalnya ketujuh calon tersebut sudah
dikunjungi, tapi tidak ada yang cocok. Kalau misalnya ada yang datang
8 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 18
Wawancara pribadi dengan bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa, Ketua KAN, Pandai
Sikek, 07 Maret 2018
41
atau diluar dari yang tujuh orang itu, bagaimana? Apakah akan diulang
Baundi ini?)
ijawab oleh angku panghulu): “yo kalau ndak do, kok ado nan
nampak jauh, nan tacelak tampak ampia, tapi ndak masuak ka nan
tujuah. Kami pulangkan se ka ayah induaknyo nan sapangka.” (Kalau
tidak ada, semisal ada yang nampak akan tetapi tidak masuk kepada yang
tujuh orang itu maka kami pulangkan kepada orangtuanya).
Dalam artian tradisi ini tidak dilakukan lagi karena tradisi ini
cukup hanya sekali dilakukan dalam semumur hidup.Setelah didapat
nama-nama yang akan dicalonkan. Acara ini pun ditutup, kemudian
orang tua dari anak perempuan ini berdiskusi dan memberitahukan
mengenai perihal penjodohan ini kepada si perempuan. Siapa diantara
nama tersebut yang akan dipilihnya, kemudian diurutkan siapa yang
terlebih dahulu untuk ditemui.10
d. Mananyoi
Setelah didapat nama-nama yang diusulkan untuk dijadikan calon
jodoh bagi siperempuan. Selanjutnya bapak (sumando di pesukuan
tersebut) mendatangi calon yang telah diusulkan sesuai dengan
urutannya. Dalam proses mananyoi ini disertai dengan Manjalani (pergi
menuruti dan menemui) orang-orang yang diusulkan sesuai nomor satu,
dua, tiga dan seterusnya. Dalam proses mananyoi ini ayah kandung tidak
turut serta didalamnya. Adapun maksud dari ketidak ikut sertakan ayah
ini dan hanya bapak (sumando pasukuan) yang menuruti calon tersebut
yaitu sesuai dengan pepatah adat:
Anak ka saanak (anak dirasa satu anak)
Kamanakan sa kamanakan (keponakan dirasa satu keponakan)
Maksudnya adalah dalam sepesukuan tersebut baik itu anak
maupun keponakan semuanya dianggap dimiliki oleh kaum. Sehingga
10
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018
42
menjadi tanggung jawab bersama dalam mendidik, membesarkan dan
juga mencarikan jodohnya.
Setelah bertemu dua keluarga, dari pihak laki-laki biasanya
meminta tenggang waktu untuk berpikir, biasanya tenggang waktunya
kisaran 3 hari.
e. Manukeh.
Kedatangan kedua kalinya untuk menanti jawaban dari pihak
laki-laki, inilah yang disebut dengan Manukeh. Dalam memberikan
jawaban dilakukan menggunakan petatah Minang yang syarat dengan
kiasan dan sindiran. Ketika diterima barulah prosesi selanjutnya
dilaksanakan. Jikalau tidak diterima maka si bapak (sumando) pergi ke
calon berikutnya.
f. Maantaan tando.
Maantaan tando berarti mengantarkan tanda/seserahan. Dalam
artian ketika calon mempelai laki-laki telah menyetujui perjodohan ini
maka pihak keluarga perempuan akan mengantarkan “seserahan
(Tando)” yang berisi:
1) Emas seharga satu uang suku emas11
2) Gondola12
dan uang sebesar Rp. 30.000
3) Tando di bungkus dengan kain tenun Pandai Sikek
4) Tando untuk orang di luar Pandai Sikek yaitu barang emas 1 (Satu)
rupiah mas Amerika13
.14
Yang mengantarkan Tando ini adalah Bundo Kanduang
(perempuan) di pesukuan tersebut.
g. Mambaliakan Tando.
Setelah Tando diterima oleh pihak laki-laki kemudian dalam
jangka waktu lebih kurang 3 hari kemudian, dikembalikan lagi untuk
11
Satu uang suku emas seharga 3,5 emas (8,75 gram) seharga lebih kurang lima juta
12 Gondola yaitu kalung emas
13 Satu rupiah emas Amerika seharga 2 kali suku emas atau seharga sepuluh juta 14
Peraturan Nagari Pandai Sikek Nomor: 02 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Adat
Istiadat Nagari Pandai Sikek Bab VII Tata Cara Nikah Kawin Bagian Satu Batunangan. Pasal 24
ayat 4.
43
ditambah oleh pihak perempuan. Setelah pengembalian ini berarti kedua
belah pihak telah resmi bertunangan.
Selama bertunangan yang laki-laki memungkiri pertunangan
maka yang laki-laki wajib mengembalikan tando sebanyak dua kali lipat
kepada pihak perempuan. Akan tetapi jikalau yang memungkiri adalah
pihak perempuan maka Tando hilang.
Secara lebih ringkas, urutan pelaksanaan praktek nikah Baundi
adalah mampaiyoan ka mamak (memberikan kabar ke mamak bahwa
anaknya sudah besar), mamanggia (memanggil atau mengundang
keluarga dan karib kerabat sebelum baundi dilaksanakan) kemudian
pelaksanaan tradisi Baundi (Dengan menghasilkan nama calon yang akan
dipinangkan dengan anak gadisnya), setelah pelaksanaan Baundi baru
bapak (pihak keluarga ayah) mendatangi calon yang telah diusulkan
namanya. Ketika proses mananyoi selesai dilanjutkan dengan manukeh,
maantaan tando dan mambaliakan tando. Setelah keseluruhan prosesi
Baundi selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan pernikahan.
2. Praktek Nikah Baundi di Pandai Sikek
Tradisi nikah Baundi yang semula bertujuan untuk pencarian jodoh
bagi anak perempuan lambat laun mengalami perubahan dan pergeseran
dalam praktek pelaksanaannya seiring perkembangan zaman. Praktek
nikah Baundi sekarang dilakukan dengan tiga cara:
a. Ajang pencarian jodoh
Tradisi Baundi masih tetap dijadikan sebagai ajang pencarian
jodoh. Hal ini terjadi jika anak atau kemenakannya memang tidak
memiliki calon, sehingga keluarganyalah yang mencarikan. Akan
tetapi pola pelaksanaan seperti ini sudah jarang terjadi.
b. Praktek Baundi untuk yang sudah ada jodoh
Praktek nikah baundi yang dilakukan saat ini sudah lebih menjurus
kepada pelaksanaan adat saja. Mengenai tahapan pelaksanaan tradisi
Baundi sekarang ini masih tetap sama dengan zaman dahulu, tetapi
jika dilihat dari penentuan jodoh lebih kepada keinginan si anak.
44
Karena biasanya si anak perempuan telah memiliki jodoh yang
diinginkan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya
pergaulan yang sudah meluas, perkembangan teknologi yang semakin
cepat memberikan kontribusi terhadap perubahan praktek ini.
Terutama praktek pacaran yang sudah meluas dikalangan laki-laki dan
perempuan saat ini. Sehingga tujuan utama praktek nikah Baundi
untuk pencarian jodoh hanya dijadikan sebagai ceremonial saja,
karena pasangan yang diperuntukkan untuk anaknya telah ada.15
c. batumpangan
Maksudnya pelaksanaan tradisi nikah baundi yang dibarengi dengan
acara lainnya seperti makan singgang ayam atau pemberian gelar
kepada laki-laki yang hendak menikah. Jadi pelaksanaan tradisi ini
disatukan dengan pelaksanaan adat lain. Seperti pelaksanaan adat
makan singgang ayam. Dalam pelaksanaan secara batumpangan ini
semua anak perempuan yang sama ibunya dalam artian mereka adalah
saudara kandung, dapat dilakukan tradisi baundi ini meskipun mereka
belum cukup umur untuk menikah. Dalam artian, prosesi baundi
hanya dijadikan sebagai ceremonial adat saja. 16
B. Analisis Peran Wali Mujbir dalam Tradisi Nikah Baundi
Menurut pandangan orang Minangkabau perkawinan tidak hanya
menghubungkan seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri,
tetapi juga menghubungkan dua suku dalam hubungan persemendaan. Oleh
karena itu memilih jodoh juga menjadi urusan keluarga, ditambah lagi akibat
perkawinan itu seperti urusan keturunan, nasab dan lainnya tidak akan lepas
daripada urusan keluarga. Oleh karenanya keterlibatan keluarga sangat besar
terutama dalam hal perkawinan.
Wali Mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan
yang diwalikan tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu, dan berlaku
juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida atau tidaknya pihak yang
15
Wawancara pribadi dengan Ibuk Moren Inggawati, Pandai Sikek, 05 Maret 2018 16
Wawancara pribadi dengan Ibuk Etriza, Pandai Sikek, 05 Maret 2018
45
berada di bawah perwaliannya.17
Peran dari wali Mujbir mulai tampak tatkala
dalam prakteknya di tradisi ini si perempuan hanya mengetahui jodoh yang akan
disandingkan dengannya ketika pernikahan berlangsung. Menurut Imam Syafi‟i
yang termasuk dalam golongan yang memiliki hak ijbar adalah ayah, kakek dan
tuan dari budak.18
Pelaksanaan hak ijbar ini dilakukan dengan beberapa syarat,
diataranya; pertama, tidak adanya permusuhan yang nyata antara wali dan anak
perempuan. Kedua, tidak ada permusuhan yang nyata antara anak perempuan
dengan calon suami. Ketiga, calon suami harus sekufu. Keempat diyakini sianak
ketika dinikahkan tidak akan menderita dan kelima adalah suami harus
memberikan maskawin yang pantas (mitsil)19
.
Dalam pelaksanaan tradisi Baundi ini, pemusyawarahan dalam penentuan
jodoh dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh keluarga dalam pesukuan
tersebut. Jadi meskipun hak ijbar hanya dimiliki oleh ayah dan kakek, akan tetapi
dalam pelaksanaannya tradisi Baundi yang memiliki prinsip marajo ka mufakaik20
(sesuai atau merujuk kepada mufakat hasil musyawarah) meletakkan
permasalahan jodoh ini untuk diselesaikan dengan permusyawarahan kaum.
Sehingga dalam penentuan jodoh ini juga turut andil padanya mamak, bako,
bundo kanduang untuk mengusulkan jodoh yang tepat untuk anak perempuan ini.
Pendapat ini didukung dengan penuturan dari Bapak Damsir Dt. Maharajo
Nan Salareh salah satu tokoh adat nagari Pandai Sikek yang menjelaskan bahwa
“Dahulu memang ada otoritas keluarga dan Mamak dalam penentuan
calon. Dalam artian si perempuan mengetahui jodohnya hanya ketika akan
menikah saja. Jadi semua diatur oleh bapak, Mamak dan keluarga. Akan tetapi
konteks sekarang sudah mulai hilang. Karena fungsi Mamak adalah mamutuih dan
mamparetongan (memutus dan mempertimbangkan). Filosofinya karena dahulu
satu keluarga tinggal dalam satu rumah gadang. Jadi disana yang berkuasa adalah
Mamak. Jadi ia yang memutuskan segala hal. Akan tetapi sekarang karena
keluarga yang ada sudah berpencar-pencar dalam artian tidak lagi satu rumah,
17
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014) h. 101 18
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu Bab 9, (Depok, Gema Insani,
2007), h.183 19
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu Bab 9, h.191 20
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018
46
kemudian yang membangun rumah adalah bapaknya. Maka lambat laun fungsi
Mamak semakin bergeser. Jadi tidak bisa seotoriter dahulu.”21
Hal serupa diungkapkan oleh Ibu Rahma, salah seorang masyarakat
Nagari Pandai Sikek.
“Baundi kini ko yo untuk kebutuhan diadaik awak sajo lai, kalau diambo
kalau urang dahulunyo kan patuan22
, urang dahulunyo iyo indak pamiliah baa
yang dicarian Mamak jo urang tuonyo inyo setuju se nyoh, kalau kini urang indak
amuah doh tu mangko kicek urang batumik ka ampu kaki artinyo nan pancarian
inyo sajo yang disetujuan, manurui awak kainyo ka anak tu, sebab yang ka
Mamakai inyo. Kalau indak diapoan kandaknyo amuahnyo tabang.” (Baundi
sekarang ini hanya untuk pelaksanaan adat saja, kalau menurut saya orang dahulu
kan patuh, orang dulu itu tidak suka milih-milih, apa yang dicarikan orang tua dan
penghulunya dia turuti saja. Kalau sekarang berbeda tidak bisa seperti itu. Kata
orang „batumik ka ampu kaki‟ artinya yang pencariannya saja yang disetujui,
menurut kita sama anak tersebut, sebab yang akan memakai dia, kalau tidak
dituruti kehendaknya, dia bisa saja pergi).
Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa konsep dahulu dan sekarang
memiliki perbedaan yang cukup mendasar terutama dalam permasalahan peran
wali dan mamak. Dahulu mamak memang memiliki peran sentral dalam
penentuan jodoh. Hal ini disebabkan karena mamak adalah pemimpin dalam suku
tersebut dan kebudayaan zaman itu memang mamak dan keluarga yang
mencarikan jodoh anaknya. Dengan tetap melihat kepada pendapat dari wali
mujbir, karena wali mujbir secara syarak adalah orang yang memiliki wewenang
untuk memaksakan kehendaknya. Jadi untuk calon yang diletakkan diurutan
pertama adalah dari wali mujbir (ayah kandung atau kakeknya jika ayah tidak ada
ayah).23
Untuk calon selanjutnya baru kemudian ditanyakan dan dirundingkan
kepada forum. Jadi setelah dirundingkan mamak, bapak dan keluarga, hasil dari
perundingan itulah yang kemudian akan dijalankan. Bapak Dariman Dt. Rangkai
Tuo menjelaskan bahwa,
“Kalau zaman dahulu bisa jadi memang mamak memiliki peranan yang
sangat besar. Jadi bisa dikatakan jikalau dahulu bisa saja permasalahan jodoh
21
Wawancara pribadi dengan Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh. Pandai Sikek,
07 Maret 2018 22
Patuan adalah patuh kepada pimpinan 23
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Juni 2018
47
Mamak dan keluarga yang mengatur. Dan itu tidak ada masalah bagi anak yang
dijodohkan dahulu. Karena bisa dibilang dahulu adalah zaman siti nurbaya.
Sebab, karena itu telah menjadi budaya zaman dahulu. Akan tetapi konsep
sekarang telah mengalami pergeseran dimana mengenai jodoh kontribusi dari
gadis yang akan dinikahi juga ada. Terbukti dengan dipertimbangkannya atau si
orang tua meminta pendapat perempuan mengenai jodoh ini.”
Dalam perkembangannya saat ini peran dari wali mujbir mulai terkikis.
Terdapat perubahan dan pergeseran dalam pelaksanaan tradisi ini, diantaranya
wali mujbir yang dalam hal ini adalah ayah dan kakek, ditambah dengan peran
Mamak sebagai pamutuih dan pamaretongan (sebagai pemutus dan pemberi
pertimbangan) dahulu memiliki peran besar dalam penentuan jodoh si anak. Akan
tetapi sekarang terjadi pergeseran dan perubahan. Melihat kepada sejarah
perkembangan tradisi Baundi yang telah dilaksanakan sejak dahulu kala. Dan
dipraktekkan secara turun temurun maka tentu dalam pelaksanaanya terdapat
pergeseran-pergeseran kebudayaan yang terjadi. Diantaranya:
1. Zaman dahulu
Peran wali mujbir, mamak dan keluarga menjadi sangat sentral dan
penting, karena wali mujbir dan mamak beserta keluarga dapat memaksakan
kehendak kepada anaknya. Inilah kemudian yang disebut dengan peran
ijbariah. Maksud dari pemaksaan di sini bukanlah pemaksaan secara
langsung akan tetapi si anak terkadang tidak mengetahui dengan siapa dia
akan dijodohkan. Mereka hanya mengetahui jodohnya ketika telah sepakat
kedua belah pihak dalam artian keluarga laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana yang dituturkan oleh bapak Dt. Damsir Dt. Maharajo Nan
Salareh:
“Kalau dahulu memang ada otoritas Mamak dan keluarga dalam
penetuan calon. Dalam artian si perempuan tahu jodohnya hanya ketika akan
menikah saja. Jadi semua di atur oleh mamak, wali mujbir dan keluarga.
Akan tetapi konteks sekarang tidak ada lagi. Karena fungsi Mamak adalah
mamutuih dan mamparetongan (memutus dan mempertimbangkan).
Filosofinya karena dahulu satu keluarga tinggal dalam satu rumah gadang.
Jadi disana yang berkuasa adalah Mamak. Jadi ia yang memutuskan segala
hal. Akan tetapi sekarang karena keluarga yang ada sudah berpencar-pencar
dalam artian tidak lagi satu rumah, kemudian yang membangun rumah adalah
48
bapaknya. Maka lambat laun fungsi Mamak semakin bergeser. Jadi tidak bisa
seotoriter dahulu.”24
Pelaksanaan tradisi Baundi ini dahulunya memang dijadikan sebagai
ajang pencarian jodoh. Kalau dahulu tradisi ini memang benar dijadikan
sebagai permusyawaratan untuk mencari jodoh. Setelah Baundi dilaksanakan
bapak (sumando) pergi manjajaki (mengunjungi) calon yang telah diusulkan
diforum sesuai dengan skala prioritas. Sehingga dapat kita artikan bahwa
jodohnya itu memang tidak ada. 25
2. Zaman sekarang
Dalam pelaksanaannya, peran wali dalam menggunakan hak ijbar
(paksaan) untuk calon yang akan dipasangkan terhadap anaknya mulai hilang.
Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya kemajuan teknologi
yang memberikan dampak besar kepada pergaulan remaja saat ini. Budaya
pacaran yang telah mewabah di kalangan remaja saat ini. Selain itu
meluasnya pergaulan yang memberikan kontribusi, sehingga pribadi yang
bersangkutan merasa memiliki andil yang besar terutama dalam menentukan
jodoh yang ia inginkan.
Dalam pelaksanaannya sekarang tradisi Baundi ini tidak mutlak dijadikan
sebagai ajang pendiskusian jodoh bagi keluarga yang memiliki anak untuk
dinikahi. Hal ini disebabkan karena biasanya si perempuan dan keluarganya
telah memiliki orang yang memang hendak untuk dinikahkan dengannya.
Sehingga pelaksanaan adat hanya sebatas syarat saja. Karena tradisi ini
merupakan sebuah keharusan yang mesti untuk dijalankan. Sehingga peran
ijbariah (paksaan) dari wali kepada anak gadis lambat laun mulai hilang.
Dahulu pelaksanaan tradisi Baundi tidak boleh berbarengan dengan tradisi
lainnya. Dalam artian tradisi ini harus dilaksanakan sendiri. Berbeda dengan
sekarang pelaksanaan tradisi ini bisa dibarengi dengan tradisi lainnya. Seperti
24
Wawancara pribadi dengan Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh. Pandai Sikek,
07 Maret 2018 25
Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama, Pandai
Sikek, 08 Maret 2018
49
pada acara makan singgang ayam26
. Istilah ini kemudian dikenal dengan
nama “batumpangan”27
. Tradisi ini dalam pelaksanaan sekarang telah diberi
keringanan. Jadi jikalau dahulu tradisi Baundi harus dilaksanakan sendiri
tanpa bersamaan dengan adat lainnya, maka sekarang pelaksanaan tradisi
Baundi bisa dibarengi dengan tradisi lainnya. Dan dalam pelaksanaannya,
orang yang diundikan boleh lebih dari satu orang asalkan masih satu ibu.28
Usulan jodoh yang didapat dari tradisi ini tidak mutlak menjadi pendamping
hidup dari anak perempuan ini.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dahulu peran wali mujbir sangat sentral
dan penting dalam penentuan jodoh si anak. Hal ini disebabkan karena
budaya yang diterapkan saat itu adalah budaya perjodohan. Dan si anak
menerimanya. Salah satu penyebabnya adalah karena pergaulan anak
perempuan yang hanya berkisar di daerah tempat dia tinggal. Perempuan kala
itu belum ada yang merantau dan hanya mengetahui lingkungan sekitar. Akan
tetapi saat ini terjadi pergeseran dan perubahan dalam praktek Nikah Baundi
dan peran wali mujbir dalam penentuan jodoh. Sehingga dalam konteks saat
ini prinsip ijbar (paksaan) dalam penentuan jodoh sudah tidak ada lagi.
C. Nilai-Nilai Islam dalam Pelaksanaan Tradisi Nikah Baundi
Falsafah adat Minangkabau yang berbunyi Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah memberikan batasan yang jelas mengenai
pelaksanaan adat di Minangkabau. Terutama dalam tradisi Nikah Baundi.
Kesesuaian itu tercermin dalam beberapa nilai diantaranya:
1. Sebagai bentuk pelaksanaan khitbah di Pandai Sikek.
Jika diqiyaskan pelaksanaan tradisi ini termasuk kepada rangkaian
khitbah di dalam Islam. Hanya saja yang menjadi perbedaan jikalau
26
Makan singgang ayam atau yang disebut dengan malewakan gala adalah pemberian
gelar kepada laki-laki saat hendak menikah. 27
Batumpangan adalah pelaksanaan tradisi Baundi berbarengan dengan pelaksanaan
tradisi lainnya seperti makan singgang ayam. 28
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018
50
pelaksanaan khitbah pada umumnya dilakukan oleh laki-laki.29
Berbeda
penerapannya di Minangkabau khususnya di Pandai Sikek dimana yang
datang lebih awal untuk menanyakan laki-laki dalam artian melamar
adalah pihak perempuan yang diwakili oleh bapak (orang sumando) di
pesukuan tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah karena sesuai dengan
hadist nabi:
ػل الله صل الله زسه جبءد إهسأح أى ػ الله زض ػ زاخ ف
الله زسه إلب فظس, فس لل لأت جئذ الله زسه ب فقبلذ سلن
ذمس زأس طب طأ ثن, صث إل الظس فصؼد سلن ػل الله صل
إذت قبه, ؼن قبه ؟ قلجل ظس ػي ي أرقسأ آخس ف قبه , الذدث
30القسآى هي هؼل ثوب هلنزب فقد
rtinya: “ dalam riwayat lain Sahl bin Sa‟d ra. ahwasannya seorang
wanita datang kepada Rasulullah S W. Lalu ia berkata, “wahai
Rasulullah, saya datang untuk memberikan diriku kepada engkau.”
Rasulullah SAW memperhatikan wanita itu dengan pandangan ke atas dan
ke bawah kepada perempuan it, kemudian beliau menganggukkan kepala,
dan (rowi) menyebutkan hadits itu. Di akhir hadits itu beliau bersabda,
“apakah kamu dapat membacanya di luar kepala?” ia berkata, “ya”. eliau
bersabda “pergilah, sungguh aku telah menguasakan wanita tersebut
kepadamu dengan Al-quran yang ada padamu.”
Hadits ini menjadi petunjuk bahwa praktek peminangan yang
dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki boleh-boleh saja. Karena nabi
tidak melarang dan mencela perempuan yang melamar dirinya.
Dalam adat Minangkabau disebabkan karena perempuan sifatnya
menerima warisan. Artinya dia akan menempati satu rumah gadang, dia
akan menerima segala peninggalan baik sako/pusako. Sehingga
dicarinyalah siapa orang yang kemudian pas di jemputnya untuk tinggal
dirumahnya.
29
Wawancara pribadi dengan ibu Rahma Alam Sudin, masyarakat, Pandai Sikek, 08
Maret 2018 30
Zainuddin Ahmad Az zubaidi, Terjemah Hadits Sahih al-Bukh ri 2, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, t.tt), h. 371
51
2. Sebagai ajang pencarian calon suami.
Dalam pelaksanaan tradisi ini keluarga duduk bersama dalam
bermusyawarah menentukan calon yang baik dan tepat untuk dinikahkan
dengan anaknya. Dalam penentuan jodoh ini kriteria yang dijadikan
pertimbangan adalah baiknya agamanya, akhlaknya, parasnya, nasabnya
dan sukunya.31
Suku menjadi salah satu poin penting di sini karena
pernikahan di Minangkabau dikenal dengan istilah eksogami. Dimana
pernikahan yang terjadi tidak boleh dengan pasangan yang sama sukunya.
Melainkan harus berbeda sukunya.
Kriteria penentuan calon suami ini sesuai dengan hadist nabi yaitu
رنخ: قبه سلن ػل الله صل اج ػي ػ الله زض سسح اث ػي
الدي ثراد ظفس فب: لدب لجوبلب لذسبثب لوبلب: لأزثغ الوسأح
32 (الوسلن زا) داك رسثذ
rtinya: “ iriwayatkan dari bu Hurairah Radiyallahu „anhu dari
nabi Muhammad SAW beliau pernah bersabda: perempuan itu dinikahi
karena empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena
kecantikannya, dan agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi
perempuan yang beragama, maka kau akan mendapatkan keuntungannya
yang tak terhingga (hadist riwayat Muslim)”
Meskipun teks haditsnya menyatakan untuk perempuan, akan tetapi
dalam penerapan tradisi Baundi adalah calon laki-laki yang dicari maka
hadist ini dijadikan landasan dalam penentuan calon itu. Yang dilihat
adalah hartanya (mata pencariannya), nasabnya, parasnya dan yang paling
penting dari itu semua adalah agamanya. Dalam persoalan nasab termasuk
di dalamnya suku. Diwajibkan bagi pasangan yang akan menikah untuk
berlainan suku. Karena sistem Minangkabau secara keseluruhan yang
menganut sistem eksogami. Eksogami adalah pernikahan di luar
sepesukuan.
31
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat dan
Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018 32
Al-hafiz „ bd al-„ zim bin „ bd al-Qawi dan Zakiyuddin al Mundziri, Mukhtasar
Sahih Muslim, Penerjemah Achmad Zaidun, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Pustaka Amani,
2001) h. 436
52
3. Penerapan nilai-nilai musyawarah dan mufakat.
Dalam tradisi Baundi tersirat makna bahwa musyawarah dan mufakat
menjadi sesuatu yang penting di setiap lini kehidupan. Terutama dalam
pencarian jodoh. Dengan adanya musyawarah semua pendapat
ditampung, kemudian dipilihlah yang terbaik dari semua pilihan itu.
4. Pengamalan ajaran-ajaran Islam
Selain dari sisi penentuan calon yang sesuai dengan Islam, tradisi ini
juga menerapkan pedoman keIslaman. Diantaranya adalah pengucapan
doa diawal dan diakhir dengan harapan agar acara yang dilaksanakan di
ridhoi oleh Allah SWT.
5. Adanya unsur Ikhtiyat (kehati-hatian) dalam mencari jodoh
Sebagaimana pepatah adat: Painyo lah jo mufakaik, tingganyo lah jo
parundiangan. Dalam artian karena pencarian jodoh memiliki peran
penting sehingga perlu dimusyawarahkan antar sesama keluarga. Karena
pernikahan bukan hanya pertemuan dua insan melainkan penyatuan dua
keluarga.33
6. Sebagai bentuk i‟lan (undangan) kepada khalayak ramai.
Karena pernikahan adalah sebuah berita gembira maka tentunya
mengundang orang menjadi sesuatu yang harus.
7. Simbol penyerahan anak kepada mamak dan keluarga
Tradisi Baundi dilaksanakan selain bertujuan untuk mencarikan
jodoh anak, juga menjadi simbol penyerahan anak kepada mamak. Dalam
artian anak yang ada di sapasukuan itu menjadi tanggung jawab bukan
hanya oleh orang tua tapi juga tanggung jawab bersama. Sehingga dalam
penentuan jodoh didiskusikan bersama keluarga.
8. Sebagai bentuk penghargaan kepada pemimpin adat.
Terbukti ketika acara ini dilaksanakan yang ditanyai pertama adalah
usulan dari Niniak mamak. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau
33
Wawancara pribadi dengan Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh. Pandai Sikek,
07 Maret 2018
53
sebagai pemimpin adat.34
Disamping itu penghormatan kepada para
petinggi adat ini juga tercermin dari pelaksanaan tradisi ini karena
mereka tetap diundang secara adat untuk mengadiri tradisi nikah Baundi
meskipun calon dari si gadis telah ada sebagai bentuk penghargaan dan
penghormatan terhadap hak dari pihak-pihak yang hadir dalam tradisi ini.
D. Relasi Adat dan Islam dalam Tradisi Baundi
Sebagaimana yang kita ketahui adat dan Islam merupakan dua hal
yang tidak terlepas penerapannya dalam adat Minangkabau itu sendiri. Adat
ataupun tradisi merupakan sebuah kesepakatan yang diterima oleh
masyarakat banyak dan kemudian diwariskan secara turun temurun. Tradisi
itu bisa jadi ditinggalkan, bisa jadi tetap dilaksanakan karena sifat dari adat
Minangkabau yang dinamis. Jadi bisa ditinggalkan ataupun tetap
dilaksanakan asalkan sesuai dengan kesepakatan. Patokan dari itu semua
adalah pada falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
(adat berlandaskan Syarak atau agama, agama berlandaskan kitabullah).35
Keberadaan tradisi Baundi dikatakan telah ada sedari dulu, kemudian
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Jika menjadikan
kelahiran falsafah “Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kiabullah” sebagai
patokan. Maka keberadaan dari tradisi Baundi telah ada jauh sebelum itu.
Dikatakan praktek nikah Baundi telah dilaksanakan oleh masyarakat Pandai
Sikek. Hal ini senada dengan penuturan Bapak Drs. H. Nasrul Dt.
Tumangguang pada bab sebelumnya.
Hasil wawancara dari beberapa narasumber didapat kesimpulan
bahwa keberadaan tradisi Baundi telah ada sedari dulu. Dan diketahui bahwa
nilai-nilai Islam yang ada dalam tradisi ini telah berkembang sejak awal
keberadaan tradisi ini, karena prinsip dasar dari tradisi Baundi ini adalah
34
Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama, Ciputat,
08 Maret 2018 35
Wawancara pribadi dengan Muchtar Na‟im, Ahli Antropologi dan Sosiologi, Ciputat,
07 April 2018
54
musyawarah dan mufakat dalam penentuan jodoh bagi anak perempuannya.
Kemudian konsensus Marapalam yang melahirkan falsafah Adat Basandi
Syarak Syarak Basandi Kitabullah menguatkan keberadaan tradisi ini dan
menguatkan nilai-nilai Islam yang telah ada di dalamnya. Ini berarti meskipun
kepercayaan Animisme, Dinamisme atau bahkan Hindu dan Budha telah
dahulu masuk ke Minangkabau akan tetapi kepercayaan itu tidak memberikan
pengaruh sedikitpun dalam tradisi ini.
Bukti relasi adat dan Islam dalam tradisi Baundi ini adalah dengan
adanya nilai-nilai Islam yang diterapkan padanya. Diantaranya adalah prinsip
yang dipakai adalah prinsip musyawarah dan mufakat antar seluruh keluarga.
Disebabkan karena pernikahan bukan hanya hubungan antar pribadi akan
tetapi merupakan hubungan antar keluarga atau bahkan antar dua suku yang
berbeda. Sehingga membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari
kedua belah pihak. Sehingga tidak ada jalan yang lebih baik selain
menampung setiap aspirasi yang ada dalam bentuk musyawarah dan mufakat
dalam menentukan jodoh. Penentuan jodoh didasarkan pada hadits nabi yang
berbunyi:
رنخ: قبه سلن ػل الله صل اج ػي ػ الله زض سسح اث ػي
الدي ثراد ظفس فب: لدب لجوبلب لذسبثب لوبلب: لأزثغ حالوسأ
(الوسلن زا) داك رسثذ36
rtinya: “ iriwayatkan dari bu Hurairah Radiyallahu „anhu dari nabi
Muhammad SAW beliau pernah bersabda: perempuan itu dinikahi karena
empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan
agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi perempuan yang beragama,
maka kau akan mendapatkan keuntungannya yang tak terhingga (hadist
riwayat Muslim)”
Implikasi dari penerapan hadist ini tidak hanya bagi perempuan akan
tetapi juga untuk calon laki-laki yang akan dicari. Perlu menjadi perhatian di
sini yaitu mengenai ketentuan nasab. Dalam hal ini budaya Minangkabau
36
Al-hafiz „ bd al-„ zim bin „ bd al-Qawi dan Zakiyuddin al Mundziri, Mukhtasar
Sahih Muslim, Penerjemah Achmad Zaidun, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Pustaka Amani,
2001) h. 436
55
mensyaratkan untuk mencari jodoh yang berada di luar suku yang
bersangkutan. Dalam artian perkawinan yang terjadi menerapkan prinsip
eksogami (pernikahan di luar suku atau dengan suku yang berbeda).
Jadi relasi adat dan Islam dalam tradisi nikah Baundi ialah keselarasan
dan kesesuaian antara adat dan agama sesuai dengan falsafah Adat Basandi
Syarak Syarak Basandi Kitabullah, dimana adat menyesuaikan dengan
Syarak yang bersumber kepada kitabullah (Al quran dan sunnah). Hal ini
tercermin dalam nilai-nilai keIslaman dalam tradisi ini. Selain itu, prinsip
musyawarah dan mufakat sangat dikedepankan mengingat perkawinan
merupakan tradisi yang sangat penting karena menghubungkan antara dua
keluarga besar. Sehingga keluarga dilibatkan dalam pelaksanaan tradisi ini.
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baundi adalah musyawarah dalam kaum untuk mencari jodoh anak
perempuan dewasa yang sudah dapat kawin menurut UU perkawinan. Adapun
tahapan pelaksanaan tradisi ini adalah Mampaiyoan Ka Mamak (memberikan
kabar ke mamak), mamanggia, baundi, mananyoi (menanyakan kesiapan dan
kesanggupan orang yang diusulkan untuk menjadi pendamping bagi anak
kemenakannya), manukeh (menunggu jawaban dari pihak laki-laki), maantaan
tando (mengantarkan seserahan) dan mambaliakan tando (mengembalikan
seserahan). Dalam prakteknya hari ini tradisi nikah baundi yang semula memang
ditujukan untuk mencari jodoh lambat laun mulai terkikis dan mengalami
perubahan dan pergeseran makna. Sehingga dalam penerapannya dewasa ini
dilakukan dengan tiga penerapan; pertama, sebagai ajang pencarian jodoh. Hal ini
terjadi jika anak atau kemenakannya memang tidak memiliki calon sehingga
keluarganyalah yang mencarikan. Kedua, hanya sebagai pelaksanaan adat saja.
Hal ini disebabkan karena si anak yang akan diundikan telah memiliki calon yang
hendak dijadikan sebagai pendamping hidup. Ketiga, batumpangan. Maksudnya
pelaksanaan tradisi nikah baundi yang dibarengi dengan acara lainnya seperti
makan singgang ayam atau pemberian gelar kepada laki-laki yang hendak
menikah. Dalam pelaksanaan secara batumpangan ini semua anak perempuan
yang ibunya sama (saudara kandung) dapat diundikan dalam satu waktu yang
sama. Tradisi baundi ini dalam pelaksanaannya secara batumpangan dapat
dilakukan meskipun mereka belum cukup umur untuk menikah. Dalam artian,
prosesi baundi hanya dijadikan sebagai ceremonial adat saja.
Peran wali mujbir dalam tradisi baundi dalam konsep dahulu dan
sekarang mengalami pergeseran dan perubahan dalam pelaksanaanya. Konsep
ijbar di sini dimaksudkan bahwa si anak perempuan tidak mengetahui siapa
jodohnya kecuali hanya saat pernikahan saja. Dalam praktek tradisi baundi ini
kemudian terbukti. Akan tetapi pelaksanaannya hanya pada zaman dahulu . Hal
57
ini disebabkan karena peran sentral keluarga termasuk padanya wali mujbir dan
mamak dalam penentuan jodoh sangat besar. Sebab lainnya adalah karena kondisi
zaman dahulu yang adatnya memang seperti itu. Perempuan kala itu hanya
mengenal rumah dan kampung sekitar dalam artian pergaulannya hanya sekitar
kampung, sehingga dalam pencarian jodoh si anak percayakan kepada
keluarganya. Di sinilah kemudian tampak tanggung jawab yang besar bagi orang
tua, mamak dan keluarga dalam mencarikan jodoh bagi anaknya. Akan tetapi di
era sekarang terjadi perubahan yang signifikan dimana peran wali mujbir mulai
terkikis karena perkembangan zaman. Salah satu faktor adalah perkembangan
teknologi, pergaulan yang meluas, pola sosial dan juga kontrol sosial yang lambat
laun melemah. Sehingga hal-hal yang dianggap tabu dan asing lambat laun mulai
dibenarkan dalam masyarakat. Sehingga peran wali mujbir dalam penentuan
jodoh semakin berkurang dampaknya, karena biasanya si anak telah memiliki
jodoh sendiri yang telah ditentukannya.
Nilai-nilai Islam dalam tradisi nikah baundi diantaranya adalah sebagai
bentuk pelaksanaan khitbah di kanagarian Pandai Sikek. Tradisi baundi
merupakan tradisi yang termasuk dalam rangkaian khitbah jika di qiyaskan
kepada Islam. Hanya saja yang menjadi keunikan di sini adalah yang melamar
laki-laki adalah pihak keluarga perempuan. Setelah didapat calon yang akan
disandingkan dengan anak permpuannya, lalu bapak (sumando) di pasukuan
tersebut mendatangi keluarga laki-laki untuk kemudian ditanyai kesiapannya.
Selanjutnya pelaksanaan tradisi ini merupakan praktek pencarian jodoh yang
dilandaskan pada prinsip musyawarah dan mufakat. Karena perkawinan
merupakan prosesi adat yang sakral karena menggabungkan dua keluarga yang
berlainan suku, sehingga dalam penentuan jodoh meski melihat kepada kriteria-
kriteria yang ditentukan sesuai denga hadits nabi. Adapun kriteria itu adalah
hartanya, nasabnya, parasnya, akhlaknya dan yang terpenting adalah agamanya.
Pelaksanaan tradisi ini sebagai bentuk i‟lan (undangan) pernikahan dan sebagai
bentuk pemberitaan kepada khalayak ramai bahwa anak prempuannya sebentar
lagi akan dinikahkan. Dalam penerapnnya terdapat unsur ikhtiyat (kehati-hatian)
58
dalam penentuan jodoh. Pelaksanaan tradisi ini juga sebagai bentuk penghargaan
kepada pemimpin adat. Terbukti disaat pengusulan jodoh yang pertama ditanyai
adalah penghulu/niniak mamak.
Relasi adat dan Islam dalam tradisi nikah Baundi ialah keselarasan dan
kesesuaian antara adat dan agama sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat pergeseran
dan perubahan pola pelaksanaan tradisi baundi ini. Inilah kemudian yang menjadi
ciri khas dalam pelaksanaan setiap adat di Minangkabau. Karena adat merupakan
hasil kesepakatan oleh masyarakat yang dilaksanakan secara turun temurun
dengan sistem dinamis. Dalam artian adat bisa saja ditinggalkan ketika telah
menyalahi aturan Syarak. Tradisi Baundi merupakan salah satu bentuk korelasi
dan hubungan antara adat dan agama. Dari sisi adat terutama di nagari Pandai
Sikek ini merupakan sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan. Pelaksanaan tradisi
ini termasuk dalam rangkaian khitbah dalam Islam. Sehingga baik itu dalam
penentuan jodoh dan praktek lainnya memegang teguh kepada prinsip-prinsip
yang telah digariskan syariat. Terbukti dengan adanya nilai-nilai keIslaman yang
terkandung dalam tradisi ini.
B. Rekomendasi
Bagi masyarakat Pandai Sikek hendaknya terus berupaya untuk
mempertahankan tradisi ini, karena banyak kemaslahatan yang ada pada tradisi
nikah baundi, banyak nilai-nilai keIslaman dan manfaat yang didapat dari
pelaksanaan tradisi ini. Selanjutnya, sebagai langkah dan upaya dalam pelestarian
adat Minangkabau di Pandai Sikek
Bagi tokoh agama dan tokoh adat yang mengetahui dengan jelas tujuan
dari pelestarian tradisi ini, hendaknya memberikan penjelasan mengenai
pandangan Islam terhadap praktek Nikah Baundi.
59
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
A.W. Munawir. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progresif. 1997
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Akademika
Pressindo. 1995
l ukh ri. Sahih al-Bukh ri. eirut: r l-Fikr
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama RI. 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. 1994. cet ke-3.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: P.T.
Alumni,2010. Cet ke-3.
Hijau, Dt. H.A.K Gunung. Kedudukan Agama dan Adat di Minangkabau. Padang:
Center for Minangkabau Studies Press.
Al-Jurjaniy, Al-Syarif Ali Bin Muhammad. Kitab al-Ta‟rifat. eirut: r Al-
Kutub l „ilmiyyah. 1988. cet, ke 3.
Al-Kahlaniy, Muhammad Bin Ismail, Subul al-Salam. Bandung: Dahlan. 1988.
Jilid 3.
Kamaluddin, Safrudin Halimy. Adat Minangkabau dalam perspektif Hukum
Islam. Padang: Hayfa Press. 2005.
LKAAM Sumatera Barat. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Pedoman Hidup Banagari. Padang: Sako Batuah. 2002.
Muhadjir, Neong. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pilar Media. 1996.
cet ke-3.
Mujid, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fikih. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995.cet. 1.
Al-Mundziri, Al-hafiz „ bd al-„ zim bin „ bd al-Qawi dan Zakiyuddin.
Mukhtasar Sahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun. Ringkasan Sahih
Muslim. Jakarta: Pustaka Amani. 2001
60
Peraturan Nagari Pandai Sikek nomor: 02 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Adat
Istiadat ngari Pandai Sikek. Bab VII Tata Cara Perkawinan Bagian Satu
Batunangan. Pasal 24 ayat 1.
Al-Rusyd, Ibnu. Bid yat al- ujtahid a an- ih yah al-Muqtasid. eirut: r
Al-Fikr. 1983. Jilid 2.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. eirut: r al-Fikr. 1983. cet. Ke-4. jilid 2. Lihat
pula Dahlan Idhami, Asas-Asas Fiqh Munakahat: Hukum Keluarga Islam.
Surabaya: al-ikhlas. 1984
Sahrani, Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persada, 2014. hal. 24
Sampono, Saiful Dt. Rajo, Tutua Nan Badanga (Pandai Sikek: KAN Pandai
Sikek, 2014) hal. 92
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu Jilid IX. Damaskus: Dâr al-
Fikr, 2007.
B. Sumber Skripsi dan Thesis
Ratnasari, Dewi. Tradisi Baundi Pada Masyarakat Pandai Sikek Studi Kasus:
Pada Masyarakat Pandai Sikek Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah
Datar. Padang: UNAND. 2017.
C. Sumber Internet
Peta diperoleh dari https://psikek.wordpress.com/ekomoni/profil/ diakses pada
tanggal 12 April 2018. 10.20 WIB.
D. Sumber Wawancara
Wawancara pribadi dengan Muchtar Na‟im, Ahli Antropologi dan Sosiologi,
Ciputat, 07 April 2018
Wawancara pribadi dengan Ustad Dariman Dt. Rangkai Tuo, Tokoh Agama,
Pandai Sikek, 08 Maret 2018
Wawancara pribadi dengan Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh. Pandai
Sikek, 07 Maret 2018
Wawancara prbadi dengan bapak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang, Tokoh Adat
dan Agama, Pandai Sikek, 07 Maret 2018
61
Wawancara pribadi dengan ibu Rahma Alam Sudin, masyarakat, Pandai Sikek, 08
Maret 2018
Wawancara pribadi dengan bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa, Ketua KAN, Pandai
Sikek, 07 Maret 2018
HASIL WAWANCARA
1. Bapak Armen St. Rajo Malano
Nama : Armen St. Rajo Malano
Alamat : Jorong Tanjuang
Umur : 63 tahun
Pekerjaan : Wali Nagari
a. Pertanyaan: Apakah bapak mengetahu Tradisi Baundi?
Jawaban: Ya, saya mengetahuinya.
b. Pertanyaan: Bagaimana proses pelaksanaan proses Baundi?
Jawaban:
Tradisi ini didahului dengan penyampaian kabar kepada mamak oleh
sumando (ayah si gadis) bahwasannya anaknya sudah dewasa dan sudah patut
untuk dinikahkan. Setelah disampaikan, sumando menanyakan orang-orang
yang akan diundang untuk acara ini.
Disaat semua keluarga sudah hadir dalam acara itu, maka sumando (ayah si
gadis) membuka dengan beberapa petatah petitih (yang saya tidak begitu hafal
apa pepatahnya) yang disampaikan kepada niniak mamak untuk menyampaikan
bahwa anaknya sudah dewasa dan siap untuk diundi. Ketika disetujui barulah
dilemparkan kepada forum untuk didiskusikan dengan menanyakan kepada
niniak mamak terlebih dahulu mengenai calon yang akan diusulkan, setelah itu
baru kepada anggota yang hadir. Setiap usulan yang diberikan disertai dengan
alasan-alasan kenapa pilihannya jatuh kepada orang yang diusulkan.
Jumlah usulan tidak dibatasi, tetapi biasanya sifatnya ganjil. Ketika semua
usulan sudah ditampung, sebagai penutup niniak mamak akan menyampaikan,
jika ada yang datang (meminang) diluar dari yang diusulkan, maka tidak perlu
dilakukan baundi lagi, akan tetapi cukup disampaikan saja kepada saya (niniak
mamak).
Setelah acara Baundi, dilaksanakan mananyoi (menanyakan) untuk
menanyakan persetujuan dari calon yang diusulkan. Jadi pihak sumando datang
kepada keluarga laki-laki yang diusulkan untuk menanyakan kesediaannya
untuk dijadikan pendamping dari anak atau kemenakannya. Biasanya, keluarga
laki-laki akan meminta waktu untuk berpikir. Setelah hari yang ditentukan,
pihak perempuan datang kembali ke rumah laki-laki untuk menanyakan
keputusannya. Jika setuju maka dilanjutkan kepada pemberian tando. Jika tidak
maka dilanjutkan kepada calon lainnya. Pemberian Tando ditentukan waktunya
oleh pihak perempuan. Tando ini sebagai bukti pertunangan telah terjadi.
Untuk waktu pelaksanaan, dahulu biasa dilakukan malam hari, akan tetapi
sekarang sering dilakukan siang hari.
c. Pertanyaan: Apa kriteria penentuan calon dalam tradisi ini?
Jawaban: Kriteria calon yang diusulkan biasanya melihat kepada agama, mata
pencarian (finansial), nasab dan hal lain yang dianggap perlu.
d. Pertanyaan: Apakah pelaksanaan tradisi Baundi wajib dilaksanakan?
Jawaban: Iya
e. Pertanyaan: Apa sanksi bagi keluarga yang tidak melaksanakan?
Jawaban: Hal ini diserahkan kepada KAN (Kerapatan Adat Nagari) Pandai
Sikek. Biasanya sanksinya akan dikucilkan dan tidak disertakan dalam acara-
acara adat kedepannya.
f. Pertanyaan: Siapa saja yang terlibat dalam tradisi Baundi?
Jawaban: yang hadir adalah sumando, mamak rumah, bako, dan keluarga
terdekat.
2. Bapak Sefrizal Dt. Bagindo Basa
Nama : Sefrizal Dt. Bagindo Basa
Alamat : Pagu-Pagu, Pandai sikek
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari Pandai Sikek)
a. Pertanyaan: Apa yang bapak ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: Istilah Baundi ini telah digunakan sedari dulu. Baundi ini
bertujuan untuk menyaring orang-orang yang akan dijodohkan dan kemudian
dinikahkan dengan anak perempuannya. Jadi anak kemenakan yang sudah
cukup umur kemudian siap untuk dinikahkan. Bentuk cukup umur ini adalah
dirasa patut dan cukup untuk menempuh pernikahan.
Jadi ketika anak dirasa sudah cukup umur, orang tua datang menemui
mamak dan menyampaikan bahwa anaknya telah cukup umur dan siap untuk
menikah dan siapp untuk dilaksanakan Baundi. Lalu kemudian panghulu
mempersilahkan untuk memberkan kabar dalam artian mengundang nan
patuik-patuik untuk duduk bersama membicarakan perihal ini.
Maksud nan patuik disini ialah orang-orang yang dihadirkan dalam tradisi
ini yaitu panghulu,mamak, bako, sumando, bundo kanduang, karib kerabat
dan tetangga terdekat.
Dalam pelaksanaan tradisi Baundi ini terdapat “sambah manyambah
(pasambahan) sebagai pembuka kata untuk mengawali pelaksanaan Baundi
ini. Setelah itu ditanyakanlah mengenai siapa-siapa calon yang diusulkan oleh
masing-masing pihak. Biasanya nama yang diusulkan ganjil kisaran tujuh,
sembilan atau sebelas orang. Setelah didapat kemudian orang tuanyalah yang
kemudian menentukan kepada siapa orang pertama yang akan dikunjungi.
b. Pertanyaan: Pergeseran kebudayaaan dahulu dan sekarang?
Jawaban: Dalam pelaksanaannya sekarang dalam tradisi ini boleh lebih dari
satu orang asalkan dia satu ibu. Kalau disini disebut batumpangan. Berbeda
hal nya dengan dahulu dimana dalam pelaksanaannya untuk satu orang satu
tradisi. Jikalau dahulu pelaksanaannya memang untuk mecari jodoh kalau
sekarang tidak mesti setelah Baundi dilangsungkan pernikahan, jadi
pelaksanaannya hanya sekedar tradisi. Dalam artian tradisi ini tidak lagi
mengharuskan jodoh yang dipilih sesuai dengan apa yang diusulkan. Kalau
sekarang karena budaya pacaran sudah ada, sehingga biasanya dalam
penentuan jodoh dimasukkan nama calon yang diinginkannya.
c. Pertanyaan: Apa esensi pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: karena adat ini merupakan budaya turun temurun sehingga perlu
untuk dilestarikan.
d. Pertanyaan: Apa kriteria dalam pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: selain daripada agama yang dilihat juga kepada kesanggupannya
baik secara lahiriah maupun batiniah.
e. Pertanyaan: Kapan waktu pelaksanaan?
Jawab: pelaksanaannya tidak ada ketentuannya, penetapan waktu ini setelah
berdiskusi bersama mamak. Biasanya dilaksanakan hari Jumat. Disebabkan di
hari inilah waktu masyarakat dan keluarga itu kosong.
f. Pertanyaan: Bagaimana peran wali dalam tradisi ini?
Jawab: Kalau dahulu peran mamak dan keluarga memang kuat. Dalam artian
si anak terkadang hanya mengetahui siapa yang akan disandingkan
dengannya hanya ketika hari pernikahan sudah dekat. Dan ini memang terjadi
dahulu. Akan tetapi jika melihat kepada kontek sekarang, mengenai calon
yang diusulkan biasanya kontribusi anak ada disana. Dalam artian biasanya
sianak sudah memiliki calon yang diinginkan lalu kemudian disampaikan
kepada orangtua untuk diusulkan disaat Baundi. Kalau misalnya belum ada
maka setelah forum tersebut maka kemudian disampaikan kepada anak.
g. Pertanyaan: Apa tujuan tradisi nikah Baundi?
Jawaban: Pertama pelestarian adat Minangkabau. Silaturrahmi menjadi kuat
karena seringnya berkumpul-kumpul bersama keluarga.
h. Pertanyaan: Apa hukum pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Adat itu kan buatan manusia. Dalam perkembangannya memang
bisa dihapuskan asal disepakati oleh masyarakat. Dalam hal ini tradisi ini
wajib karena telah masuk kepada peraturan nagari. Sebagian masyarakat
dahulu memang ada yang tidak melaksanakannya disebabkan karena
beranggapann bahwa pelaksanaan tradisi ini hanya mubazir dan membuang-
buang uang. Disebabkan karena bisa jadi jodoh yang diinginkan sudah ada
atau bahkan hari ditentukannya untuk melangsungkan pernikahan sudah ada.
Akan tetapi disini kami berprinsip bahwasannya ini memang harus
dipertahankan agar yang namanya adat tadi tetap berlanjut dan punah. Karena
melihat realitanya sekarang adat yang ada terutama di daerah Minangkabau
mulai terkikis dan hilang. Sehingga perlu adanya langkah pelestarian. Itulah
kemudian yang menjadi prinsip KAN
i. Pertanyaan: Ada kabar beredar bahwasannya dulu tradisi ini tidak dipakai,
kapan itu pak?
Jawaban: Maksud tidak dipakai disini adalah dahulu terdapat enam puluh
suku yang disebut suku nan baanam puluah kesemuanya melaksanakan
tradisi ini. akan tetapi kian lama masyarakat pandai sikek semakin banyak
dan terjadi pemekaran suku yang ada sehingga dari enam puluh menjadi
seratus lima suku. Dari suku yang jumlahnya seratus lima inilah kemudian
ada beberapa yang tidak melaksanakannya. Sehingga dilaksanakanlah
pertemuan dan permusyawarahan kembali untuk kembali bersama-sama
melaksanakan tradisi ini. dan itu telah disepakati oleh seluruh pihak.
Disinalah kemudian fungsi KAN untuk menyatukan dan menghidupkan
kembali tradisi ini. memang sebelum itu yang melaksanakan dan ada pula
yang tidak. Pertemuan ini terjadi sekitar tahun 2014/2015.
j. Pertanyaan: Apa saja nilai-nilai Islam dalam tradisi ini?
Jawaban: disilaturrahminya, karena tujuan berkumpul itu adalah untuk
memperkuat tali silaturrahmi.
k. Pertanyaan: Seandainya dari orang-orang yang diusulkan terdapat ketidak
cocokan bagaimana?
Jawab: Maka dalam hal ini boleh si perempuan manjadi (menikah) denga
orang lain diluar usulan yang telah ada. Asal disampaikan terlebih dahulu
kepada mamak. Tanpa dilaksanakan kembali tradisi ini.
l. Pertanyaan: Jikalau usul dari perempuan ini tidak disetujui bagaimana?
Jawaban: Ketidak setujuan ini tentu memiliki alasan. Kadang-kadang
berbeda keyakinan. Tapi biasanya kalau sudah setuju orang tuanya jarang
yang tidak disepakati oleh mamaknya.
m. Pertanyaan: Bagaimana Hubungan Islam dan adat dalam tradisi Baundi?
Jawaban: Menurut saya sebenarnya Baundi ini tidak diatur dalam agama.
Akan tetapi hal ini bisa kita qiyaskan dengan khitbah. Karena tidak adanya
aturan agama tentang ini dan tidak ada nilai-nilai islam yang bertentangan
maka tidak ada salahnya jika tradisi ini tetap dilaksanakan.
n. Pertanyaan: Bagaimana proses pelaksanaan Baundi?
Jawab:
1) Mampaiyoan ka mamak oleh bapak
2) Mamanggia orang untuk berkumpul. Ini biasanya dilakukan oleh
keluarga yang perempuan
3) Pelaksanaan Baundi
4) Setelah itu ditanyai (ditanyakan) kepada perempuan dengan siapa dia
ingin menikah
5) Batanyo (bertanya). Dilakukan oleh sumando ketika jodoh yang akan
dilamar sudah jelas. Biasanya diberikan tenggang waktu. Agar yang laki-
laki dapat berdiskusi dengan keluarga dan mamaknya
6) Manjawek (menjawab) yaitu memberikan jawaban dari pihak laki-laki
7) Batando (memberi tanda). Ketika telah sepakat pihak perempuan
memberikan tando sebagai bukti pengikat (tunangan). Diantarkan oleh
bundo kanduang keluarga perempuan yang isinya kain balapak, emas.
Dalam waktu misalnya seminggu tando ini dikembalikan oleh laki-laki
kepada perempuan dengan istilah untuk ditambah. Dan tando tersebut
ditinggalkan di tempat perempuan. Tando ini berfungsi sebagai pengikat.
Jika laki-laki ini tidak jadi (ingkar janji) maka dia harus malipek
(membayar sebanyak 2 kali lipat dari apa yang telah diberikan). Jikalau
perempuan yang ingkar janji maka tando tersebut tetap dan tidak
dikembalikan.
o. Pertanyaan: Bagaimana Sejarah tradisi Baundi?
Jawaban: Untuk kepastian kapan dan siapa tokoh asalnya saya kurang begitu
paham. Tapi yang jelas semenjak saya ada disini tradisi ini telah ada. Jika
dikaitkan dengan perjanjian bukit Maropalam sekitar tahun 1837 maka tradisi
ini sudah ada. Dan semenjak dari dulu tidak ada yang terpengaruh dengan
tradisi selain Islam. Pewarisan tradisi ini secar turun temurun dan tidak ada
yang bertentangan dengan Islam.
p. Pertanyaan: Bagaimana cara seorang gadis untuk mengusulkan kepada
orang lain?
Jawaban: Ini bisa dibisikkan melalui orang tua atau keluarga yang lainnya.
3. Pak Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang
Nama : Drs. H. Nasrul Dt. Tumangguang
Alamat : Jorong Baruah Nagari Pandai Sikek
Umur : 71 tahun
Pekerjaan : Pensiunan Kepala Sekolah (Tokoh Adat sekaligus MUI Pandai
Sikek)
a. Pertanyaan: Apa yang bapak ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: Jadi Baundi ini adalah tradisi adat untuk mencari calon suami anak
perempuan. Jika kita punya kemenakan (keponakan perempuan) sudah layak
untuk dinikahkan
“kok siriah lah patuik bajunjuang (kalau sirih sudah layak untuk diangkat)
Kok ayam lah patuik baindu (jika ayam sudah pantas untuk dicarikan
pasangannya)
Lah patuik mandirikan adaik sudah pantas untuk melaksanakan adat)”
Jadi sebagai ayah yang memiliki anak perempuan, jika sudah layak untuk
menikah maka wajib menemui Panghulu/niniak mamak (pimpinan suku).
Untuk disampaikan bahwasannya anaknya sudah dewasa dan siap untuk
dinikahkan. Kemudian si ayah bertanya mengenai kapan waktu yang tepat
untuk batamu-tamu (bertatap muka) untuk mencari junjungan anak ini.
b. Pertanyaan: Bagaimana proses pelaksanaan tradisi Baundi?
Jawaban: Jadi orang tua (ayah) yang anak perempuannya sudah dewasa
menemui niniak mamak (pimpinan adat) untuk berdiskusi mengenai kapan
waktu yang tepat untuk “bakato-kato” istilah Baundi di Pandai Sikek). Setelah
ditentukan hari yang tepat, keluarga yang ada dalam suku tersebut berkumpul
di rumah orang yang punya hajat.
Tradisi ini dibuka dengan Pasambahan dari bapak kepada niniak
mamak/panghulu bahwasannya anak ini sudah dewasa dan patut untuk
dinikahkan. Oleh karenanya patutlah kita mencari siapa yang sesuai untuk
dijadikan pasangan dari gadis ini baik itu dari panghulu, mamak, bako, dan
sumando serta bundo kanduang siapa kira-kira yang sesuai mendampingi
anaknya.
Dalam usulan jodoh ini bisanya lima orang atau lebih, asalkan ganjil.
Setelah itu dikumpulkan dan dicatat dalam sebuah kertas. Sebagai akhir dari
acara ini sumando akan menyebutkan
“kok misalnyo lah kami jajak jalani katujuahnyo,ruponyo ndak do nan
cocok, Kok ado nan inggok balangau biko, ba a tuh? Ka baulang Baundi ko
angku? (kalau misalnya ketujuh calon tersebut sudah dikunjungi, tapi tidak ada
yang cocok. Kalau misalnya ada yang datang atau diluar dari yang tujuh orang
itu, bagaimana? Apakah akan diulang Baundi ini?)
Dijawab oleh angku (panghulu):
“yo kalau ndak do, kok ado nan nampak jauh, nan tacelak tampak ampia,
tapi ndak masuak ka nan tujuah. Kami pulangkan se ka ayah induaknyo nan
sapangka. (kalau tidak ada, semisal ada yang nampak akan tetapi tidak masuk
kepada yang tujuh orang itu maka kami pulangkan kepada orang tua).
Dalam artian tradisi ini tidak dilakukan lagi karena tradisi ini cukup hanya
sekali dilakukan dalam semumur hidup. Setelah didapat nama-nama yang akan
dicalonkan. Acara ini pun ditutup. Kemudian orang tua dari anak perempuan
ini berdiskusi dan memberitahukan mengenai perihal penjodohan ini kepada si
perempuan. Siapa diantara nama tersebut yang akan dipilihnya, kemudian
diurutkan siapa yang terlebih dahulu untuk ditemui.
Setelah itu bapak (sumando) manjalani (pergi menuruti) orang-orang yang
telah diusulkan tadi sesuai nomor urut satu, dua, tiga dan seterusnya. Ini sesuai
dengan pepatah adat
Anak sa anak (anak sama anak)
Kamanakan sa kamanakan (kemenakan sama kemenakan)
Kemudian pihak keluarga laki-laki memberikan waktu sekitar 3 hari untuk
berpikir dan memberikan jawaban. Kegiatan ini disebut mananyoi. Kedatangan
untuk kedua kalinya disebut manukeh. Baik itu diterima atau ditolak semua
jawaban diberikan dengan sindiran. Tidak disampaikan secara langsung. Jika
cocok dan sepakat barulah kemudian maantaan tando1. Dalam maantaan tando
ini yang mengantarkan adalah pihak perempuan dan yang menjawab adalah
pihak perempuan dari laki-laki yang akan menikah yang berjumlah dua orang.
Tiga hari setelah proses maantaan tando. Tando tersebut diantarkan kembali ke
pihak perempuan dengan alasan “mintak tambah minta tambah)”. Lalu setelah
ditambah dibawa lagi oleh yang laki-laki. Ketika mambaliakan tando
(mengembalikan tando) disaat itulah ditentukan hari yang tepat untuk menikah.
c. Pertanyaan: Kapan waktu pelaksanaan Baundi?
Jawaban: Penentuan waktu disepakati oleh silang nan bapangka (mamak,
sumando, panghulu). Dulu biasanya dilakukan malam Sabtu. Hal ini
disebabkan karena hari Jumat adalah hari istirahat masyarakat Pandai Sikek.
Karena sebagian besar masyarakat Pandai Sikek adalah bertani, sehingga dihari
Jumat kegiatan tersebut tidak dilaksanakan.
d. Pertanyaan: Apa saja isi tando itu?
Jawaban: Emas, kain balapak (kain tenunan Pandai Sikek), sirih.
e. Pertanyaan: Siapakah yang disebut bapak disini?
Jawaban: Bapak yang dimaksud dalam tradisi Baundi ini adalah para menantu
laki-laki yang menikah dengan perempuan di suku tersebut atau biasanya
disebut sumando.
f. Pertanyaan: Siapa saja yang menghadiri acara Baundi tersebut?
Jawaban: Panghulu (kepala suku), mamak rumah, bapak/sumando (seluruh
laki-laki yang menjadi menantu atas perempuan di suku tersebut), dan bundo
kanduang.
g. Pertanyaan: Apa saja perubahan bentuk pelaksanaan tradisi dari dulu dan
sekarang?
Jawaban: Dahulu pelaksanaan tradisi Baundi tidak boleh berbarengan dengan
tradisi lainnya. Dalam artian tradisi ini harus dilaksanakan sendiri. Berbeda
dengan sekarang, pelaksanaan tradisi ini bisa dibarengi dengan tradisi lainnya.
1 Maantaan tando adalah mengantarkan bukti dari pertunangan yang terjadi.
Seperti pada acara makan singgang ayam2. Istilah ini kemudian dikenal dengan
nama “batumpangan”3. Dalam tradisi ini dalam pelaksanaan sekarang telah
diberi keringanan. Jadi jikalau dahulu tradisi Baundi harus dilaksanakan sendiri
tanpa bersamaan dengan adat lainnya, maka sekarang pelaksanaan tradisi
Baundi bisa dibarengi dengan tradisi lainnya. Dan dalam pelaksanaannya,
orang yang diundikan boleh lebih dari satu orang asalkan masih satu ibu.
Dahulu pelaksanaan tradisi Baundi memang ditujukan untuk pencarian
jodoh. Akan tetapi sekarang hanya sebatas prosesi adat saja. Hal ini disebabkan
karena boleh jadi karena perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, calon
yang akan menjadi pendamping hidup sudah ada. Sehingga tradisi Baundi ini
hanya sebatas prosesi adat karena yang menjadi pendampingnya adalah apa
yang telah disukai oleh sianak.
h. Pertanyaan: Apakah untuk konteks zaman saat ini, tradisi ini mesti
dilaksanakan?
Jawaban: Pelaksanaan tradisi ini mesti dan wajib dilaksanakan. Jika tidak
dilaksanakan maka panghulu dan warga dari suku tersebut akan disisihkan dan
tidak diundang dalam upacara-upacara adat (sahilia samudiak).
i. Pertanyaan: Bagaimana pandangan bapak mengenai tradisi Baundi dalam
pandangan islam?
Jawaban: Kalau dikaitkan antara adat dan agama. Maka tradisi Baundi ini
sangat sesuai dengan islam. Alasannya karena tradisi ini berfungsi untuk
mencarikan calon suami yang sesuai dan tepat untuk mendampingi anak
gadisnya. Sehingga tentu dalam pemilihannya melihat kepada agama yang
sama, parasnya, nasabnya dan hartanya, serta tingkah lakunya sesuai dengan
hadits nabi ditambah dengan pertimbangan suku, dalam artian sukunya harus
berbeda. Pada tradisi inilah kriteria itu kemudian dilihat dan dinilai bersama-
sama bersama keluarga, yang menjadi perbedaan adalah jika sebagian besar
masyarakat Indonesia yang melaksanakan lamaran adalah laki-laki. Berbeda
2 Makan singgang ayam atau yang disebut dengan malewakan gala adalah pemberian
gelar kepada laki-laki saat hendak menikah. 3 Batumpangan adalah pelaksanaan tradisi Baundi berbarengan dengan pelaksanaan
tradisi lainnya seperti makan singgang ayam.
dengan tradisi Minangkabau terutama tradisi ini, yang datang pertama kali
untuk melamar adalah keluarga perempuan. Oleh karenanya menurut saya ini
tidak menjadi masalah.
j. Pertanyaan: Apa tujuan dari pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Dalam tradisi Baundi tersirat makna yakni anak dalam adat
Minangkabau terkhusus di Pandai Sikek adalah bapak yang punya, jadi ketika
dewasa anak ini diserahkan kepada mamaknya. Tradisi Baundi dilaksanakan
selain bertujuan untuk mecarikan jodoh anak, juga menjadi simbol penyerahan
anak kepada mamak. Dalam artian anak yang ada di sapasukuan itu menjadi
tanggung jawab bukan hanya oleh orang tua tapi juga tanggung jawab bersama.
Tradisi ini masih dipertahankan dalam rangka mencari jodoh nan patuik jo
mungkin ( yang patut dan mungkin) untuk dijadikan sebagai memantu. Karena
pernikahan bukan hanya persoalan pribadi dengan pribadi tapi juga antar
keluarga. Sehingga dalam penentuannya perlu di musyawarahkan dengan
keluarga besar. Bagaimana agama, ekonomi, nasab, keturunan dan lainnya.
Karena pernikahan adalah ikatan antar keluarga dan bukan hanya ikatan antar
pribadi, sehingga perlu pendiskusian dan pemusyawarahan mengenai calon ini.
Karena apapun yang terjadi dalam keluarganya kelak tentunya kembali kepada
keluarga besarnya dalam artian satu pesukuan. Sehingga jikalau salah
pilihannya maka kembali kepada keluarga karena diskusi sebelumnya sudah
dilaksanakan.
k. Pertanyaan: Kenapa tradisi Baundi ini masih dipertahankan?
Jawaban: Tradisi ini masih dipertahankan disebabkan karena melihat realita
yang ada, hubungan bapak (sumando) dan mamak sudah terlalu renggang.
Dengan adanya tradisi ini kemudian kembali mengenalkan anggota-anggota
keluarganya. Siapa mamaknya, bakonya, anaknya, dan kamanakannya.
Sehingga penghapusan tradisi ini akan menyebabkan semakin jauhnya
hubungan dari keluarga yang ada. Kapan lagi mamak akan melihat kamanakan
nya. Dalam artian ajang silaturrahmi mamak dan kamanakan.\
l. Pertanyaan: Bagaimana peranan wali dalam tradisi ini?
Jawaban: Anggota yang hadir dalam pertemuan itu (tradisi Baundi)
keseluruhannya disebut sebagai wali. Tidak hanya orang tua dan bako
(keluarga ayah) yang menjadi wali tapi keseluruhannya menjadi wali dari si
anak tersebut. Semua keluarga berhak mengusulkan jodoh yang terbaik untuk
anaknya/kemenakannya.
m. Pertanyaan: Apakah mamak bisa memaksakan kehendaknya dalam penentuan
jodoh?
Jawaban: Bisa jadi, hal ini disebabkan karena pada tradisi ini telah
dilakukan istilahnya seleksi terhadap bakal calon suami, jadi yang terbaik yang
dipilih. Bisa jadi yang dipilih oleh anak ada kekurangannya, makanya mamak
dan keluarga memberikan pilihan lain.
Karena peran mamak adalah pemberi nasehat. Mamak sebenarnya tidak bisa
memaksakan seratus persen. Segala hal yang terjadi di rumah tangga tentu
kembalinya ke keluarga asal juga. Sehingga yang mananyoi partamo tu ndak
buliah mamak (sehingga yang menanyakan pertama tidak boleh mamak), harus
sumando yang datang. Dengan tujuan agar baik yang jauh maupun yang dekat
hubungan kekeluargaannya merasa sama-sama memiliki anak itu. Ketika
maantaan tando pun tidak boleh ibu kandungnya. Harus perempuan lain
asalkan dalam suku yang sama
n. Pertanyaan: Apa perbedaan pelaksanaan Baundi dulu dan sekarang?
Jawaban: Sebenarnya tidak ada perbedaan pelaksanaan kecuali dari segi
waktu.
o. Pertanyaan: Rangkaian kegiatan sebelum Baundi
Jawaban:
1) Manuruik i mamak (mampaiyoan) bahwa anaknya sudah besar.
2) Mamanggia (mengundang) anggota keluarga harus yang bujang (pemuda
dalam suku tersebut)
3) Tradisi Baundi
4) Mananyoi (menanyakan)
5) Maagiah hetongan (memberi perhitungan)
6) Mambarian tando (memberi tanda)
7) Mambaliakan tando dan mahitung hari (mengembalikan tanda dan
menentukan waktu).
p. Pertanyaan: Bagaimana hubungan adat dan syarak?
Jawaban: Tradisi ini sangat sesuai dengan Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah. Disebabkan karena dalam tradisi ini dilakukan
musyawarah untuk mencari calon suami dari anak kita. Dan ini disuruh oleh
agama sesuai hadits nabi:
ػي اث سسح زض الله ػ ػي اج صل الله ػل سلن قبه : رنخ
الوسأح لأزثغ: لوبلب لذسبثب لجوبلب لدب: فب ظفس ثراد الدي رسثذ
الجخبز( داك )زا rtinya: “diriwayatkan dari bu Hurairah Radiyallahu „anhu dari nabi
Muhammad SAW beliau pernah bersabda: perempuan itu dinikahi karena
empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan
agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi perempuan yang beragama,
maka kau akan mendapatkan keuntungannya yang tak terhingga (hadist riwayat
Bukhari)
Ketika telah sesuai dengan hadits maka telah sesuai dengan agama (syarak)
q. Pertanyaan: Bagaimana sejarah adanya tradisi ini?
Jawaban: Tradisi ini turun temurun adanya. Jikalau kita memberikan batasan
perjanjian bukit Marapalam yang mengeluarkan falsafah adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah maka tradisi ini telah ada jauh sebelum terjadinya
konsesus bukit Maropalam itu. Sehingga karena ini telah sesuai dengan islam
diperkuat dengan syarak. Memang benar sebelum datangnya Islam di
Indonesia khususnya di Minangkabau telah ada keperecayaan animisme,
dinamisme, Hindu dan budha. Akan tetapi jika melihat kepada budaya adat
Minangkabau hanya sedikit yang dipengaruhi oleh kepercayaan ini. Karena
kita melihat bahwa orang Minangkabau secara keseluruhan aslinya dalah orang
Islam. Karena tidak adanya bukti yang mengatakan ada orang Minangkabau
yang beragama Hindu/ Budha atau lainnya.
Memang benar ada Adityawarman yang beragama Hindu akan tetapi dia
hanya dikenal sebagai raja di Pagaruyuang Batu Sangkar karena merupakan
titah dari Majapahit. Jauh sebelum Adityawarman telah ada Lareh nan duo
(Koto Piliang dan Bodi Caniago) yang bersumber dari Dt. Katumanggungan
dan Dt. Parpatiah nan sabatang di Minangkabau. Meskipun mereka kala itu
belum menganut agama. Setelah Islam masuk, Masyarakat Minangkabau mulai
masuk Islam dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan syarak mulailah
diganti dan disesuaikan dengan adat Minangkabau. Sebagai puncaknya adalah
Terjadinya perjanjian Sumpah Sati Maropalam yang mengeluarkan falsafah
Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.
Melihat ke latar belakangnya, orang pandai sikek khususnya Marajo
Kapado Mufakaik (mengambil kata mufakat) dalam penyelesaian perkara. Jika
kita melihat kepada Baundi ini yang ditonjolkan sebenarnya adalah sisi
permusyawarahannya.
r. Pertanyaan: Apa nilai-nilai Islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Diantara nilai-nilai keislaman dalam tradisi ini adalah prinsip-
prinsip musyawarah dan penguatan silaturrahmi. Selain itu, dalam mencari
jodoh harus sesuai dengan hadits nabi dalam penentuan kriteria. Pembuka dan
penutup didahului dengan bismillah dan doa.
s. Pertanyaan: Kapan pembuatan peraturan tentang tradisi Baundi dalam
peraturan nagari?
Jawaban: Pertama kali dibuat dalam peraturan nagari tahun 1973 oleh Datuak
Rajo Mangkoto (wali nagari dan ketua KAN saat itu)
4. Bapak Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh
Nama : Damsir Dt. Maharajo Nan Salareh
Alamat : Koto Tinggi
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : Kepala sekolah (Tokoh Adat)
a. Pertanyaan: Apa yang bapak ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: Tradisi Baundi adalah salah satu persyaratan di pandai sikek bagi
seorang perempuan untuk dikatakan sudah dewasa. Sebab seorang bapak
(orang yang memakai adat dalam artian sebagai orang sumando) dalam suatu
kaum beliau memberitakan dan memberi kabar bahwa anaknya sudah besar.
Bapak (orang sumando di suku tersebut). Karena anak yang ada dalam satu
suku tersebut dianggap sebagai anak oleh orang sumando di suku tersebut.
Penyampaian kabar dan berita bahwa anak kita sudah besar itu disampaikan
dalam acara Baundi. Sehingga Baundi pada prinsipnya bukan Baundi (diundi /
dikocok lalu dipilih satu seperti permainan judi) akan tetapi bakato-kato4.
Ketika sudah berkumpul antara mamak dan bapak (mamak rumah dan
urang sumando). Bapak menyampaikan bahwa anaknya sudah besar.
Kok siriah lah patuik dijunjuang (jika sirih sudah patut untuk diangkat)
Kok ayam lah patuik dicarikan indunyo (jika ayam sudah pantas untuk
dicarikan pasangannya.
Jadi siapa kira-kira yang cocok untuk mendampingi hidup si gadis ini.
Sehingga karena si bapak “pai batampuah pulang sabondong”. ahwa bagi
bapak (urang sumando) merasa memiliki anak susah payah sepenanggungan.
Nan ketek nanti gadang, nan gadang lah tau weleng jo gendeang, lah
tau malo jo raso, lah tau awa jo akhia pekerjaan lah patuik dijapuik
kadijangkaukan urang ka mamakai dan mandirikan adat.
4 Bakato-kato (berkata-kata) adalah memberitahukan kabar bahwa anak perempuannya
sudah besar dan layak untuk menikah.
Siapa kira-kira nan ka dijapuik kadijangkaukan adat (yang akan di
jemput dikenakan adat). Itulah sekiranya yang akan dibahas dalam tradisi
Baundi ini.
b. Pertanyaan: Bagaiman cara menentukan seorang gadis itu sudah dewasa dan
sudah pantas untuk menikah?
Jawaban: Kalau misalnya ia telah SMA atau jika tidak sekolah setelah SMA
satu atau dua tahun, maka sudah dianggap dewasa.
c. Pertanyaan: Apakah ukuran kedewasaan ini juga dilihat dari UU perkawinan?
Jawaban: tidak ada hubungannya, karena yang diliat adalah patuik jo mungkin
(patut dan mungkin). Inilah kemudian yang dilihat oleh mamak dan bapak.
Karena mamak dan bapak fungsinya:
“Kok siang bacaliak-caliak an, kok malam badanga-dangakan. Raso-rasonyo
anak ko kalau ndak dipalakian akan menjadi aib nantinya.” jika siang dilihat-
lihat, kalau malam didengar-dengar. Rasanya anak ini jikalau tidak dinikahkan
akan menjadi aib nantinya).
Kedua adalah sudah mengenal dengan yang namanya laki-laki. Sehingga
patokan umur dalam penentuan perkawinan disini tidak ada karena yang
bermain adalah raso perasaan). Karena adat adalah “baso basi jo raso”.
Sehingga ada keinginan dari bapak untuk melaksanakan tradisi ini.
d. Pertanyaan: Bagaimana praktek pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Dalam pembukaan tradisi ini baik bapak maupun mamak akan
bapasambahan sehingga didapat suatu kesepakatan bahwasannya anak/
kemenakannya telah dewasa. Sehingga dilanjutkan lah kepada proses tawar
menawar. Jadi pada proses inilah kemudian dikumpulkan usulan nama dari
keluarga siapa kira-kira yang dilihat dan mau diusulkan.
e. Pertanyaan: Kenapa perempuan yang melamar laki-laki?
Jawaban: Dalam adat disebabkan karena perempuan sifatnya menerima
warisan. Artinya dia akan menempati satu rumah gadang, dia akan menerima
segala peninggalan baik sako/pusako. Sehingga dicarinyalah siapa orang yang
kemudian pas di jemputnya untuk tinggal dirumahnya.
Disinilah kemudian didiskusikan perihal calon yang akan diusulkan.
Berdasarkan azaz Patuik jo mungkin (pantas dan mungkin) . Sehingga
disebutlah pituah adaik sumando itu “dijapuik, dijangkau kamandirikan
sapanjang adaik.” alam artian filosofinya seperti ini, orang sumando itu:
Sumando itu posisinya di Rumah Gadang “Kok dihambuihnyo tabang”. ia
hanya sebatas pendatang yang tidak akan mencampuri urusan yang terjadi
dalam kaum perempuan ini. Sehingga dalam berbicara kepada urang sumando
ini harus batimbang-timbang, baagak-agak (harus hati-hati agar hatinya tidak
tersinggung) dalam artian kata yang digunakan adalah kata malereng. Sehingga
kata-kata yang digunakan tidak boleh langsung, akan tetapi dengan sindiran
sehingga kedatangannya itu memang dijapuik dan dijangkau. Karena
fungsinya:
Kurang ka manuikuik, senteng kamanggilai, sipi ka manangahan,
karuah ka manjaniahan.(kurang akan menutup, pendek akan memanjangkan,
ditepi akan menengahkan, keruh akan menjernihkan). Setelah terjadinya
pernikahan, seorang laki-laki yang menikah masih belum boleh menempati
kediaman si perempuan sampai ia dijemput oleh perempuan tersebut. Yang
didahului dengan acara malewakan gala (pemberian gelar) sesuai dengan
pepatah adat: ketek banamo gadang bagala, dikediaman si laki-laki. Baru
kemudian dijemput oleh pihak perempuan.
Setelah disampaikan kabar bahwasannya anaknya sudah dewasa.
Kemudian ditanyakanlah kepada keluarga yang hadir siapa kira-kira yang
cocok untuk disandingkan dengan anak gadis ini. Pertanyaan ini untuk pertama
kalinya disampaikan kepada Niniak mamak. Sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau. Lalu kemudian baru ditanyakan kepada hadirin yang hadir.
Seandainya dari usulan-usulan yang disampaikan oleh keluarga tadi,
ternyata tidak ada yang cocok menurut si anak. Maka inilah kemudian yang
disebut:
“Bulek datang manggiliang,picak datang malayang. Jatuahnyo bak
hujan.” bulat datang menggiling, tipis datang melayang. Jatuhnya seperti
hujan).
Datang orang kemudian yang mau dipinangkan diluar usulan tadi, dan
cocok sesuai sengan kriteria yang ada sesuai azaz patuik jo mungkin. Sehingga
niniak mamak pun menyampaikan:
“kok ado bulek datang manggiliang, picak datang malayang. Indak paralu
kito bakumpua-kumpua bantuak iko do, pa iyo an selah ka ambo bahwasannyo
ado nan patuik jo mungkin.” (jikalau ada bulat datang menggiling, tipis datang
melayang, tidak perlu kita berkumpul lagi, datang saja ke saya bahwasannya
ada yang patut dan mungkin).
f. Pertanyaan: Siapa saja yang telibat dalam tradisi Baundi?
Jawaban: Bapak (sumando), mamak rumah (laki-laki yang sesuku dengan
ibu), bako (keluarga ayah), tetangga dan karib kerabat sekitar rumah.
g. Pertanyaan: Apa Manfaat Baundi?
Jawaban: Disanalah kesempatan bagi mamak-mamak rumah untuk makan di
rumah kamanakan perempuannya dan turut serta memikirkan kemenakannya
bahwa kemenakannya sudah besar. Menyepakati bahwa anaknya sudah dewasa
bersama-sama mamak rumah, bako dan keluarga lainnya. Mamak dan bapak
sama-sama memiliki peran yang sama dan bertanggung jawab dalam
mencarikan jodoh anaknya. Sehingga ketika yang dipilih adalah orang yang
kurang baik, maka itu kembali pertanggung jawbannya kepada keluarga karena
telah sama-sama bemusyawarah untuk mencarikan. Jadi intinya Baundi itu
bukan berarti merendahkan derjat perempuan akan tetapi sebuah pertanda
bahwa keluarga dalam hal ini bapak, mamak dan seluruh yang terlibat dalam
acara tersebut sama-sama memikirkan dirinya. Silaturrahmi terjaga antar
sesama keluarga.
Jadi dalam adat minangkabau, jika bapak yang pergi ke rumah laki-laki itu
merupakan pertanda baik. Sebaliknya, jika mamak rumah yang datang ke
rumah laki-laki berarti pertanda buruk. Dalam artian jika bapak yang datang
berarti melamar laki-laki tersebut.
h. Pertanyaan: Apa nilai-nilai Islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Pertama dilihat dari prakteknya tidak ada satupun yang
bertentangan. Kedua jikalau terjadi perkawinan, maka ini merupakan hal yang
terbaik karena telah didiskusikan dengan keluarga sudah merupakan hasil
musyawarah yang diberikan kepada gadis tersebut. Painyo lah jo mufakaik,
tingganyo lah jo parundiangan. Unsur ikhtiyat dan kehati-hatian dalam tradisi
ini lebih dikedepankan karena yang bermusyawarah adalah keluarga. I‟laanun
nikah (pemberitaan kabar menikah kepada khalayak ramai.
i. Pertanyaan: Bagaimana penentuan calon suami dalam tradisi ini?
Jawaban: Pertama dilihat adalah agamanya. Kedua kesanggupannya dalam
membina rumah tangga baik finansial maupun psikologi. Pertimbangannya
adalah patuik jo mungkin. Karena adat adalah “raso”. kan tetapi ketika
ditanyakan mengenai acuan baku dalam adat tidak ada.
j. Pertanyaan: Bagaimana relasi antara adat dan agama?
Jawab: Apabila datang kepadamu seorang laki-laki yang engkau redai
agamanya maka falyanzur ha. Timbul pertanyaan konteks hadits ini kan
kepada perempuan. Apakah juga berlaku bagi laki-laki? Ini tidak masalah
karena yang dilihat adalah maslahah mursalah agar tidak terjadi kebohongan.
Dan konteks falyanzurha ini tidak hanya pribadi yang akan menikah yang
melihatnya akan tetapi juga keluarga yang telibat dalam tradisi Baundi ini.
Jadi sebelum tradisi ini sebenarnya keluarga perempuan sudah mengetahui
dan bersepakat mengenai orang yang akan dituruti. Meskipun ada calon-calon
yang lain. Jikalau tidak ada yang disukai oleh si perempuan dari usulan tadi.
Maka dipakailah:
“kok ado bulek datang manggiliang, picak datang malayang. Indak paralu
kito bakumpua-kumpua bantuak iko do, pa iyo an selah ka ambo bahwasannyo
ado nan patuik jo mungkin.”
Maksud pepatah ini adalah jika kemudian didapat orang yang sesuai
dengan anak gadisnya, akan tetapi tidak termasuk dalam list yang
dimusyawarahkan maka cukup dilaporkan kepada penghulu.
k. Pertanyaan: Bagaimana peran wali mujbir dalam tradisi ini?
Jawab: Kalau dahulu memang ada otoritas keluarga dan mamak dalam
penetuan calon. Dalam artian si perempuan tahu jodohnya hanya ketika akan
menikah saja. Jadi semua di atur oleh mamak. Akan tetapi konteks sekarang
tidak ada lagi. Karena fungsi mamak adalah mamutuih dan mamparetongan
(memutus dan mempertimbangkan). Filosofinya karena dahulu satu keluarga
tinggal dalam satu rumah gadang. Jadi disana yang berkuasa adalah mamak.
Jadi ia yang memutuskan segala hal. Akan tetapi sekarang karena keluarga
yang ada sudah berpencar-pencar dalam artian tidak lagi satu rumah, kemudian
yang membangun rumah adalah bapaknya. Maka lambat laun fungsi mamak
semakin bergeser. Jadi tidak bisa seotoriter dahulu.
Akan tetapi pada prinsipnya, kemenakan tidak ada yang melawan ke
mamak karena sebelumnya sudah ada dialog antar mamak, bapak dan
kemenakan. Ketika anak telah siap lalu bapak yang kemudian memanggil
kaum karib kerabat untuk Baundi.
l. Pertanyaan: Bagaimana sejarah Baundi?
Jawab: Menurut saya Baundi telah ada sejak dahulunya. Kemudian kita
ketahui bahwa tradisi Baundi ini adalah “adaik salingka nagari” sehingga tidak
ada daerah lain yang memakai tradisi ini. akan tetapi sejarah secara pasti saya
tidak mengetahui kapan adanya. Yang penting keberadan tradisi ini tidak
satupun yang melanggar ketentuan agama. Sejak awalnya telah sesuai dengan
islam.
m. Pertanyaan: Bagaimana harapan bapak untuk tradisi Baundi ini?
Jawab: Saya berharap tradisi ini tetap diteruskan. Karena kapan pula
waktunya bapak dan mamak baretong (berdiskusi) tentang kemanakan
perempuannya. Seandainya jika hanya diputuskan saja oleh bapak tentu peran
mamak akan hilang. Jadi lah hitam putiah urusan kemanakan disuatu kaum,
selesai oleh bapak saja.sedangkan bapak itu dijapuik, dijangkau tugasnyo
kusuik ka manyalasaikan, karuah ka manjaniahan. ndak ka mambuek garis baru
ndak ka mambuek aturan baru di rumah kamanakannyo. Jadi kapan waktunya
sumando dan mamak yang lain akan masuk ke rumah untuk menyelesaikan
permasalahan anak kemenakannya.
Oleh karenanya, mamak dan bapak agar kuat persaudaraan dan silaturrahmi
dalam suatu kaum “Painyo satampuah pulangnyo sabondong, kabukik samo
mandaki ka lurah samo manurun” pada tradisi ini lah nampaknya kebersamaan
dalam menyampaikan bahwa anaknya sudah besar. Yang kedua sepakat kaum
bahwasannya anaknya akan dicarikan jodohnya. Sehingga memperkuat
silaturrahmi itu sendiri.
5. Bapak Dariman Dt. Rangkai Tuo
Nama : Ustad Dariman DT. Rangkai Tuo
Alamat : Tanjuang Kapalo Kampuang
Umur : 52 tahun
Pekerjaan : Kepala Sekolah (Alim Ulama)
a. Pertanyaan: Apa yang bapak ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: Tradisi Baundi bertujuan untuk mencarikan jodoh anak yang
terbaik menurut keluarga. Karena sesungguhnya Baundi itu ketika dicalonkan
beberapa orang untuk anak gadis itu, kemudian dipilih. Nah dari sinilah
kemudian istilah Baundi itu dipakai.
Baik itu dari segi agama, karakter, nasab dan lainnya yang dirasa
perlu. Karena ketika Baundi itu yang dilihat adalah keseluruhan dari calon
tersebut.
b. Pertanyaan: Bagaimana kriteria calon suamidalam tradisi Baundi?
Jawaban: Agamanya, akhlaknya. Akan tetapi dalam tradisi itu yang ditanya
hanya anak siapa dan kemenakan siapa? Dalam permusyawarahan itu. Setelah
selesai musyawarah Baundi dan didapat nama-namanya barulah kemudian
keluarganya dibelakang forum berdiskusi dengan si anak dalam menilai dari
sudut pandang agama, akhlak, nasab, paras, sukunya dan hal lain yang
dianggap perlu. Jadi ketika di forum belum dibicarakan bagaimana bebet
bobotnya. Takutnya nanti terjadi ketidak enakan ketika disebutkan baik dan
buruknya di forum itu. Lalu sebagai penutup dari tradisi Baundi ini, si bapak
menyampanikan kepada mamaknya yang intinya “seandainya ada calon lain
diluar atau yang lupa daripada apa yang diusulkan, haruskah kita duduk
bersama seperti ini lagi? Penghulu menjawab “tidak perlu, cukup datang dan
sampaikan kepada saya.”
c. Pertanyaan: Bagaimana pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam
pelaksanaan tradisi dahulu dengan sekarang?
Jawaban: Kalau dahulu tradisi ini memang benar dijadikan sebagai
permusyawaratan untuk mencari jodoh. Setelah Baundi dilaksanakan bapak
(sumando) pergi manjajaki (mengunjungi) calon yang telah diusulkan
diforum sesuai dengan skala prioritas. Sehingga dapat kita artikan bahwa
jodohnya itu memang tidak ada. Sedangkan sekarang sebenarnya jodoh itu
telah ada, kemudian disampaikan dalam pelaksanaan tradisi Baundi. Kalau
sekarang jodoh yang ada telah diketahui dan ditentukan sebelumnya oleh
gadis dan keluarganya. Jadi pelaksanaan tradisi ini hanya sebagai pelaksanaan
ritual adat. Bapak sendiri ketika melaksanakan pernikahan, sebelum
pelaksanaan Baundi ini, orang tua dari calon perempuan yang akan bapak
nikahi menanyakan terlebih dahulu ke bapak mengenai keinginan untuk
menikahi anaknya. Setelah bapak iyakan baru kemudian dilaksanakan tradisi
Baundi dan rangkaiannya. Kalau dahulu tidak boleh dicarikan, kalau ketahuan
dicarikan sebelum tradisi ini akan menjadi aib bagi keluarga dan dikenakan
sangsi.
d. Pertanyaan: Bagaimana proses terjadinya Baundi?
Jawaban:
1) Ketika anak sudah dianggap besar, orang tua menurut niniak mamak untuk
menyampaikannya. Setelah itu baru keluarga yang lain.
2) Mamapa Mamanggia yaitu mengundang orang-orang terdekat. Dan
bertanya mengenai siapa lagi kerabat-kerabat yang akan diundang.
3) Selanjutnya Maapa Mamanggia yaitu mengundang semua keluarga yang
ada dalam satu suku itu.
4) Setelah itu baru dilaksanakan tradisi Baundi ini. Ditetapkan oleh panghulu
kapan akan dilaksanakan Baundi.Setelah berpetatah petitih maka
kemudian panghulu (orang yang didahulukan selangkah) disilahkan untuk
memberikan usulan mengenai calon si anak. Dalam rangka penghormatan
kepada pemimpin. Akan tetapi ini tidak sebagai penentu bahwa usulan dari
panghulu yang akan dijadikan calon pendamping si anak. Setelah itu
kemudian baru ditanyakan kepada forum.
5) Mananyo. Bapak kemudian mendatangi kaum laki-laki yang telah
dicalonkan tersebut untuk meminang.
6) Menjawab.
7) Mamutuihan. Dalam pelaksanaanya ketika mamutuihan (memutuskan)
apakah mau atau tidak mau seorang laki-laki dipinang. Ketika laki-laki
tersebut sudah setuju untuk dinikahkan maka kemudian keluarga
perempuan membawa tando yang berupa: kain balapak dan emas.
e. Pertanyaan: Kapan waktu pelaksanaan?
Jawaban: Malam hari Jumat kalau dahulunya dengan filosofi karena setelah
sholat Jumat orang-orang tidak bekerja lagi. Tapi jika sekarang fleksibel
tergantung kesepakatan keluarga.
f. Pertanyaan: Siapa orang yang telibat dalam Baundi?
Jawaban: Niniak mamak, jikalau tidak bisa hadir digantikan oleh Panungkek
yang ditinggalkan sebuah tanda oleh pimpinan suku seperti peci (yang
menandakan sudah digantikan oleh panungkeknya dalam acara itu). Jikalau
penghulu belum datang, tradisi ini belum boleh dilaksanakan. Selanjutnya
bapak (sumando), bako, mamak, bundo kanduang, dan keluarga terdekat.
g. Pertanyaan: Apa Nilai-nilai islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Menurut saya ini sesuai dengan Islam. Meskipun yang ditanyai
pertama adalah niniak mamak (panghulu) akan tetapi yang menentukan
kemudian adalah keluarga dan sigadis yang akan dinikahi. Jadi ini sesuai
dengan Islam karena walinyalah yang menentukan jodoh yang tepat untuk
sianak. Selanjutnya nilai-nilai keislaman adalah menghargai pemimpin,
karena pemimpin adalah pucuk pimpinan dia adalah orang pertama yang
ditanyai mengenai usulan penjodohan ini. konsep Baundi ini jika diqiyaskan
sama dengan khitbah karena proses dari awal sampai terjadinya pernikahan
adalah prosesi lamaran. Setelah didapat jodoh yang diusulkan pihak keluarga
kemudian mendatangi sekaligus mencari tahu mengenai agama, akhlak dan
lainnya atau yang sering disebut dengan bibit dan bobotnya. Tahapan ini
termasuk kepada proses Ta‟aruf dimana kedua belah pihak saling mengenal.
Sehingga jarak yang ada setelah prosesi Baundi sebenarnya ada proses
penilaian itu. Praktek mengenai perempuan yang melamar kalau sekarang
hanya sekedar tradisi adat. Dalam artian, bapak sendiri adalah orang pertama
yang mendatangi keluarga ibu, baru kemudian ditanyakan dan didatangi oleh
pihak keluarga mengenai kesiapan dan keyakinan bapak. Lalu
dilaksanakanlah prosesi Baundi itu.
h. Pertanyaan: Bagaimana peran wali dalam pelaksanaannya?
Jawaban: Kalau zaman dahulu bisa jadi memang mamak memiliki perenan
yang sangat besar. Jadi bisa dikatakan jikalau dahulu bisa saja permasalahan
jodoh mamak yang mengatur. Dan itu tidak ada masalah bagi anak yang
dijodohkan dahulu. Karena bisa dibilang dahulu adalah zaman Siti Nurbaya.
Sebab, karena itu telah menjadi budaya zaman dahulu. Akan tetapi konsep
sekarang telah mengalami pergeseran dimana mengenai jodoh kontribusi dari
gadis yang akan dinikahi juga ada. Terbukti dengan dipertimbangkannya atau
si orang tua meminta pendapat perempuan mengenai jodoh ini.
i. Pertanyaan: Dengan pergeseran praktek yang terjadi apakah tradisi ini masih
perlu untuk dipertahankan?
Jawaban: Tradisi ini bukan sia-sia. Memang bisa dibilang tradisi ini bukan
lagi tempat untuk mencarikan jodoh karena jodohnya pada dasarnya sudah
ada. kan tetapi tradisi ini sebagai ajang ta‟aruf antar sekeluarga, baik itu
mamak, bako dan keluarga lainnya terutama satu suku. Karena hadir dalam
tradisi ini merupakan sebuah kewajiban. Jikalau tidak hadir bisa jadi akan
dikenai sangsi moral seperti disisihkan atau ketika dia melaksanakan acara
keluarganya juga tidak akan hadir. Kedua nilai musyawarah. Misalnya hal-hal
yang akan diputuskan didiskusikan bersama. Diminta kepada yang dituakan
dahulu (panghulu). Selanjutnya dari bako juga bermusyawarah ,keluarga
mamak dan bundo kanduang juga bermusyawarah baru kemudian
disampaikan ketengah hadirin yang hadir. Sehingga saran bapak agar tradisi
ini memang tetap dilanjutkan.
j. Pertanyaan: Apakah wajib dilaksanakan tradisi ini?
Jawaban: iya wajib dalam pelaksanaannya, kalau bagi perempuan Baundi
namanya, kalau bagi laki-laki bajapuik jika tidak dilaksanakan maka jangan
sekali-kali balik ke kampung. Dalam artian akan mendapat sanksi sosial.
Kalau laki-laki maka pihaknya akan mendapatkan denda.
6. Bapak Palmi Dt. Sati Mahadirajo
Alamat : Pagu-Pagu (Pandai Sikek)
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Sekretaris Nagari
a. Pertanyaan: Apa yang bapak ketahui tentang tradisi baundi?
Jawaban: Dinamakan Baundi bukan berarti jodoh yang ada itu diundikan
lalu dipilih salah satu. Akan tetapi Baundi berarti memusyawarahkan jodoh
yang akan disandingkan dengan anak atau kemenakan keluarga tersebut.Jadi
dalam penjodohan khususnya di kanagarian Pandai Sikek, bukan hak kita
saja yang didahulukan. Orang tua juga memiliki hak, mamak, bako, dan
keluarga lainnya memiliki hak dan tanggung jawab dalam penentuan jodoh
itu. Tradisi Baundi ini adalah bentuk realisasi dan perwujudan dari itu semua.
Mengenai sejarahnya saya tidak mengetahui dengan pasti akan tetapi
tradisi ini telah ada sedari dulu dan diturunkan secara turun temurun. yang
pasti budaya Baundi ini hanya ada di Pandai Sikek. Dalam sebutan adat
dikatakan adat salingka nagari.
b. Pertanyaan: Apa tujuan dari pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Tujuannya adalah sebagai bentuk pengawasan dan tanggungjawab
keluarga atas anak kemenakannya terutama dalam pencarian jodoh. Sebagai
bentuk seleksi dalam pencarian jodoh untuk anaknya. Seleksi ini sebagai
bentuk kontrol sosial. Sehingga laki-laki harus mempersiapkan dirinya sebaik
mungkin agar bisa dipilih untuk dijadikan menantunya. Selanjutnya tradisi ini
sebagai sarana untuk memperkuat tali sitarrahmi antar anggota keluarga.
c. Pertanyaan: Apa nilai-nilai islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Nilai-nilai Islam yang ada dalam tradisi ini? dalam prakteknya
mamak akan memberikan nasehat mengenai jodoh yang akan dipilih. Dalam
pemilihan jodoh ini yang diliat adalah agama, pekerjaan, sukunya (duku tidak
boleh sama, dan hal-hal lain yang diangap penting.
d. Pertanyaan: Bagaimana pergeseran yang terjadi dalam tradisi ini?
Jawaban: Jika melihat pergeseran yang ada. Dahulu memang sangat besar
peran mamak dalam penentuan jodoh untuk anak gadisnya. Hal ini karena
mamak memang memiliki peranan yang sentral dalam suku. Seriap persoalan
dan permasalahan dikembalikan ke mamak. Sehingga untuk jodoh pun
diserahkan kepada mamak dan keluarga untuk menentukan. Si anak terkadang
hanya mengetahui jodohnya hanya ketika pernikahan akan dilangsungkan.
7. Ibu Rahma Alam Sudin
Nama : Rahma Alam Sudin
Alamat : Tanjuang
Umur : 82 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Bundo Kanduang)
a. Pertanyaan: Apa yang ibu ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: “Yo mangumpuan urang sumando, mamak rumah untuk
bamusyawarah. Dek anak wak ko lah gadang. Rasonyo alah patuik untuk
bakaluarga (Ya mengumpulkan orang sumando, mamak rumah untuk
bermusyawarah. Karena anak ini sudah besar dan sudah pantas untuk
berkeluarga).”
b. Pertanyaan: Menurut adat tradisi disini, Berapakah ukuran seorang
perempuan itu dianggap sudah dewasa dan patut untuk melaksanakan
perkawinan?
Jawaban: kira-kira umur 20-25 tahun. Jikalau dahulu umur 18 tahun sudah ada
yang menikah, sekarang tidak jamannya lagi nikah muda.
c. Pertanyaan: Bagaimanaka proses pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Jadi orang yang mempunyai makasuik (keinginan untuk menikah)
dalam hal ini adalah orang tuanya datang ke niniak mamak (pemimpin suku).
Lalu menyampaikan kepada Niniak mamak
“jadi dek karano si „anu‟ lah tamaik sikolah, alah gadang kini, kok lai
sapakaik ba kalo misalnyo kito „bakato-kato‟ (karena si gadis sudah tamat
sekolah, sudah dewasa, jikalau sepakat, bagaimana jika kita „bakato-kato‟)”5.
Pertemuan yang dilaksanakan dengan niniak mamak bertujuan untuk
meminta izin dan menanyai siapa kira-kira yang akan diundang dalam acara itu
serta penentuan waktu pelaksanaan tradisi ini.
5 bakato-kato adalah ucapan yang digunakan ketika memanggil
orang untuk melaksanakan Baundi.
Setelah itu dipanggilah bujang-bujang (pemuda-pemuda di suku itu) atas
orang-orang yang telah disebutkan oleh Panghulu suku. Berdasarkan hari yang
telah ditentukan, semua yang telah diundang duduk bersama untuk
bermusyawarah dalam penentuan jodoh untuk si perempuan ini.
Agenda pertama dalam Tradisi Baundi adalah Pasambahan oleh niniak
mamak dan keluarga. Pesambahan berisikan petatah petitih adat Minangkabau.
Yang kemudian disusul dengan pembahasan mengenai calon dari si perempuan
yang hendak menikah ini. Pihak-pihak yang hadir kemudian mengusulkan
nama-nama yang akan disandingkan dengan anak gadis mereka, kemudian
dicatat di sebuah kertas.
Dahulu pelaksanaan tradisi ini memang untuk perjodohan. Si perempuan
benar-benar tidak mengetahui siapa yang akan dijodohkan dengannya. Setelah
didapat nama-nama dari calon tersebut. Kemudian diurutkan siapa kira-kira
yang akan dituruik (didatangi) terlebih dahulu. Sekarang tradisi ini hanya
sekedar simbol saja, untuk jodoh sebenarnya sudah ada. Dalam hal ini, si
perempuan membisikkan kepada orang tuanya atau orang tua yang bertanya
kepada anaknya. Sudah ada yang nampak atau belum. Kalau sudah ada maka
nama tersebut kemudian disebutkan dalam acara Baundi.
d. Pertanyaan: Apa yang dilaksanakan setelah acara Baundi?
Jawaban: Setelah Baundi maka pihak perempuan yaitu bapak6 pergi
mengunjungi pihak laki-laki yang sudah diusulkan. Biasanya dari pihak laki-
laki meminta perpanjangan waktu, biasanya tiga hari. Di hari ketiga, lalu
diputuskan apakah pihak laki-laki mau atau tidak menikah dengan perempuan
ini. Jika ia, maka akan dihari selanjutnya akan diberikan tando sebagai bukti
pertunangan, yang diantarkan oleh perempuan dari suku tersebut. dua hari
setelah “maantaan tando” dilaksanakan oleh keluarga perempuan selanjutnya,
Tando itu dikembalikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
(mambaliakan). Dalam artian pihak laki-laki meminta tambah atas tando
tersebut. Setelah ditambah, pihak laki-laki kemudian membawa kembali Tando
6 Bapak adalah orang-orang yang menjadi menantu di suku tersebut.
tersebut yang kemudian dikembalikan ke pihak perempuan ketika hari
pernikahan.
e. Pertanyaan: Apakah ibu juga melaksanakan tradisi ini dahulu ketika mencari
jodoh?
Jawaban: Iya, ibu dahulu dijodohkan. Jadi orang tua ibu sebelum Baundi
menyampaikan calon yang akan dijodohkan dengan ibu. Orang tua ibu
mengusulkan calon dari pihak bako7. Kebetulan ibu mengenalnya lalu ibu
menyetujuinya. Lalu dilaksanakan acara Baundi. Dimana orang tua ibu
mengusulkan nama dari calon yang ibu setujui. Ketika ditulis nama-nama calon
dikertas, nama yang orang tua ibu usulkan yang telah ibu setujui diletakkan
dinomor pertama untuk ditanyai kesediaannya.
f. Pertanyaan: Siapa saja yang hadir dalam acara Baundi tersebut?
Jawaban: Niniak mamak (kepala suku yang akan melaksanakan Baundi), bako
(pihak keluarga ayah), mamak rumah (pihak laki-laki keluarga ibu), bundo
kanduang (ibu-ibu di keluarga yang sama sukunya dengan yang punya hajat),
urang sumando (disebut Bapak ialah laki-laki yang menjadi menantu di
keluarga suku tersebut), tetangga-tetangga dekat.
g. Pertanyaan: Kapan waktu pelaksanaan tradisi ini?
Jawaban: Biasanya dilaksanakan di hari malam Sabtu dan malam Rabu. Hal
ini disebabkan karena hari Jumat selain dianggap baik juga menjadi hari
dimana tidak adanya aktivitas. Karena sebagian besar masyarakat Pandai Sikek
adalah bertani dan berkebun. Sehingga hari Jumat adalah hari yang kosong.
Dilaksanakan juga hari Selasa karena pada hari itu aktivitas bertani dan
berkebun juga tidak dilaksanakan karena biasanya hari ini adalah waktunya
masyarakat untuk pergi ke pasar (hari balai8).
h. Pertanyaan: Bagaimana peran mamak dan para wali dalam penentuan jodoh
dalam tradisi ini?
Jawaban: Dahulu peran mamak dan wali sangat besar dalam penentuan jodoh.
Mamak dan bapak dapat memilihkan pasangan untuk anaknya meskipun
7 Bako adalah pihak keluarga ayah
8 Hari balai adalah hari pasar. Hari dimana kegiatan pasar dilaksanakan. Karena pasar di
Pandai Sikek sekali seminggu.
anaknya tidak mengetahuinya. Sementara jikalau sekarang mamak dan wali
berdiskusi terlebih dahulu kepada anak perempuan yang ingin dijodohkan.
i. Pertanyaan: Apa yang menjadi pertimbangan dalam penentuan jodoh?
Jawaban: Yang pasti agamanya, nasabnya (darimana ia berasal, termasuk
padanya suku, karena di Minangakabau tidak boleh menikah dengan suku yang
sama dalam daerah), dan mata pencariannya.
j. Pertanyaan: Apa yang berubah dari pelaksanaan tradisi Baundi dahulu dan
sekarang?
Jawaban: Kalau dahulu mamak dan ayah berperan sangat kuat dalam
penentuan jodoh. Sedangkan sekarang yang bersangkutan (perempuan yang
bersangkutan yang memiliki peran).
k. Pertanyaan: Apa Tujuan dilaksanakan Baundi?
Jawaban: untuk mencarikan calon menantu. Mempererat tali silaturrahmi
terutama warga sapasukuan terkhusus kepada bapak dan mamak rumah.
l. Pertanyaan: Kenapa masih dipertahankan tradisi ini?
Jawaban: Agar adat dan tradisi minangkabau tetap berjalan dan masih tetap
ada. Selain itu tradisi ini diharapkan bisa menguatkan silaturrahmi ini.
m. Pertanyaan: Apa saja nilai-nilai islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Jika diqiyaskan tradisi ini lebih kepada khitbah. Yang menjadi
perbedaannya jikalau pada umumnya khitbah dilaksanakan oleh laki-laki.
Berbeda penerapannya di Minangkabau yaitu perempuan yang datang lebih
awal untuk menanyakan laki-laki. Dan ini tidak ada permasalahannya dan tidak
bertentangan dengan Islam
n. Pertanyaan: Apa yang terjadi jika tradisi ini tidak dilaksanakan?
Jawaban: Maka akan dikenakan sanksi adat. Misalnya disuruh keluar dari adat
sapasukuan9.
9 Sapasukuan berarti satu suku.
8. Ibu Moren Inggawati
Alamat : Jorong Pagu-Pagu
Umur : 28 Tahun
Suku : Guci
Pekerjaan : Staf Nagari Pandai Sikek (masyarakat yang melaksanakan)
a. Pertanyaan: Bagaimana pelaksanaan tradisi Baundi ini yang ibuk
laksanakan?
Jawaban: Ibu melaksanakan Baundi memang didasarkan pada pelaksanaan
adat saja. Dalam artian, pelaksanaannya bukan semata-mata untuk mencari
jodoh akan tetapi hanya sebatas ceremonial saja. Hal ini disebabkan karena
ibu sudah memiliki jodoh yang sebelumnya menjadi pacar ibu. Sebelum
pelaksanaan tradisi Baundi ini, mamak ibu bertanya kepada mak uo10
, siapa
kira-kira yang hendak disandingkan dengan ibu. Lalu beliau yang
menjelaskan kepada mamak. Ketika hari pelaksanaan Baundi ibuk tidak
diperbolehkan hadir disana. Kenapa harus mak uo? Karena kebetulan ayah
saya adalah orang Sunda. Dan ibu saya adalah orang Minangkabau asli
Pandai Sikek akan tetapi tidak begitu mengerti dengan tradisi Baundi ini.
sehingga penyelenggaraan tradisi ini semuanya diserahkan kepada mak uo.
b. Pertanyaan: Berapa orang yang dijodohkan dengan ibu?
Jawaban: Ketika itu seingat saya ada sekitar sepuluh orang. Yang telah diliat
bibit, bebet dan bobot. Karena jodoh yang saya pilih sudah ada. Lalu keluarga
mendatangi calon laki-laki untuk ditanyoi. Karena sudah sepaham langsung
diterima. Setelah itu dari pihak keluarga mengantarkan tando11
kepada pihak
laki-laki. Setelah itu, dihari selanjutnya tando itu dikembalikan kepada saya
untuk ditambah. Kemudian sesudah mengembalikan tando, keluarga
kemudian menentukan hari yang cocok
c. Pertanyaan:Apa saja nilai-nilai islam apa yang ada dalam tradisi ini?
10
Mak uo adalah sebutan untuk kakak ibu 11
Tando adalah tanda sebagai bukti pertunangan yang berisi emas dan kain balapak
Jawaban: Pastinya tradisi ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam.
Memang di adat diwajibkan dalam pelaksanaannya sedangkan di agama
tidak. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya tidak ada yang bertentangan
dengan ajaran islam. Sebenarnya secara pribadi saya tidak menyetujui adanya
pelaksanaan tradisi Baundi. Hal ini disebabkan karena ini tidakk termasuk
hal-hal yang diwajibkan dalam syariat. Dan sekilas saya memandang tradisi
ini terlalu merepotkan. Karena kita harus mengundang semua keluarga yang
ada. Kegiatan ini terlalu mubazir karena dipernikahan pun kemudian keluarga
juga diundang lagi. Sehingga untuk menghemat pengeluaran usulan saya
tradisi ini tidak dilakukan. Ini pendapat awal saya karena kekurang
mengertian saya akan adat ini. Akan tetapi setelah melaksanakan tradisi ini
banyak manfaat yang didapat diantaranya; berkumpulnya keluarga dalam satu
rumah gadang untuk mempererat tali silaturrahmi yang dirasa sekarang
lambat laun hubungan itu telah semakin renggang. Dalam pelaksanaan
Baundi juga dilaksanakan dengan sistem batumpangan. Dimana ketika ada
seorang perempuan yang diundi dalam satu keluarga, maka adik-adiknya
yang perempuan boleh juga diikutkan. Jadi istilahnya ditompangkan. Dengan
syarat tidak boleh melebihi dua orang. Dan harus satu ibu (saudara kandung).
9. Ibuk Etriza
Alamat : Jorong Tanjuang (Pandai Sikek)
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Staff Nagari Pandai Sikek (masyarakat yang melaksanakan)
a. Pertanyaan: Apa yang ibu ketahui tentang tradisi Baundi?
Jawaban: Tradisi Baundi adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan jika
seorang anak perempuan telah besar dan patut untuk dicarikan jodoh maka
keluarganya termasuk di dalamnya mamak, bako, sumando duduk bersama
untuk memusyawarahkan mengenai perihal jodoh untuk anaknya.
b. Pertanyaan: Bagaimana pelaksanaannya sekarang?
Jawaban: Dalam pelaksanaannya sekarang tradisi ini tidak lagi mutlak untuk
pencarian jodoh, hal ini disebabkan karena sekarang anak perempuan telah
banyak yang memiliki pacar dan jodoh yang dia inginkan untuk menjadi
pendamping hidupnya. Selanjutnya, juga dikenal istilah batumpangan.
Batumpangan adalah pelaksanaan tradisi ini bersamaan dengan acara lain
seperti makan singgang ayam12
atau dalam pelaksanaan tradisi ini terdapat
beberapa orang perempuan yang diundi. Asalkan satu ibu (Saudara kandung).
Misalnya si kakak besoknya diundi, maka saudara kandungnya yang
perempuan boleh diundikan juga, meskipun belum cukup umur. Karena
pelaksanaan Baundi hanya sebatas adat saja sekarang.
c. Pertanyaan: Apakah ibu melaksanakan tradisi Nikah Baundi?
Jawaban: Iya saya melaksanakan tradisi Baundi. Dan saya adalah orang
yang diundi. Akan tetapi pelaksanaannya kala itu saya berumur delapan belas
tahun dan ditumpangan dengan acara malewakan gala13
.
d. Pertanyaan: Apakah yang menjadi pendamping hidup ibu sekarang adalah
orang yang namanya ada di daftar calon yang diundikan?
12
Singgang ayam yaitu upacara pemberian gelar kepada laki-lai yang hendak menikah.
Dalam acara ini disertai dengan makan singgang ayam. 13
Malewakan gala yaitu upacara pemasangan gelar kepada laki-laki yang hendak
menikah. Disebut juga makan singgang ayam
Jawaban: Tidak. Suami saya sekarang bukanlah orang yang diusulkan oleh
keluarga dalam undian. Tapi ia adalah orang lain yang saya pilih sendiri.
e. Pertanyaan: apa sebenarnya tujuan Baundi?
Jawaban: Tujuannya adalah pemberian kabar kekeluarga bahwa anaknya
seudah besar dan siap untuk menikha. Dalam tradisi ini juga terdapat
silaturrahmi yang kuat antar sesama keluarga. Terdapat padanya nila-nilai
musyawarah yang kuat karena jodoh ditentukan berdasarkan musyawarah
keluarga.
f. Pertanyaan: Kapan pelaksanaan tradisi Baundi?
Jawaban: Biasanya dilakukan malam hari di hari Jumat atau Selasa. Tapi
sekarang biasanya dilakukan malam hari
g. Pertanyaan: Apakah semua suku melakukan tradisi ini?
Jawaban: Meskipun tradisi ini diwajibkan dalam pelaksanaannya. Tapi
masih ada beberapa suku yang tidak menerapkan. Contohnya Koto Tubalai.
Dengan alasan bahwa pelaksanaan tradisi ini hanya sebagai adat saja. Baundi
tidak lagi ajang pencarian jodoh bagi perempuan. Tapi jodoh perempuan itu
biasanya dia sendiri yang menentukan.
h. Pertanyaan: Apakah nilai-nilai Islam dalam tradisi ini?
Jawaban: Penguatan silaturrahmi antar keluarga dan pelaksanaan
musyawarah dalam pesukuan.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Dariman Dt.
Rangkai Tuo (Tokoh Agama)
1. Wawancara dengan Bapak Damsir Dt.
Maharajo Nan Salareh (Tokoh Adat)
Wawancara dengan Drs. H. Nasrul Dt.
Tumangguang (tokoh adat dan MUI
Pandai Sikek)
Wawancara dengan Bapak Palmi Dt.
Sati Mahadirajo (sekretaris nagari)
2. Wawancara dengan Bapak Armen St.
Rajo Malano (Wali Nagari Pandai
Sikek)
Wawancara dengan ibu Etriza
(masyarakat) sebelah kiri dan ibu
Moren Inggawati (masyarakat) sebelah
kanan
Wawancara dengan Ibu Rahma Alam
Sudin (Bundo Kanduang Pandai Sikek)