Torus Palatinus Final

33
PENATALAKSANAAN TORUS PALATINUS Rini Rahma Wulandari , Denny Satria Utama Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Torus palatinus merupakan eksostosis pada palatum durum yang berlokasi di sepanjang sutura palatina media yang melibatkan kedua prosesus palatina dan tulang palatum yang dilapisi oleh mukosa normal yang tipis. Torus palatinus merupakan lesi yang jarang terjadi, lebih sering pada wanita, dapat terjadi pada semua umur namun sebagian besar pada usia 30 tahun. Etiologi dari torus palatinus belum diketahui secara pasti, tetapi pada beberapa orang lesi ini diturunkan secara autosomal dominan (faktor genetik), selain faktor lingkungan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang dan pemeriksaan histopatologi untuk diagnosis pasti. Torus palatinus tidak memerlukan perawatan bila tidak menimbulkan keluhan. Tindakan bedah dibutuhkan jika pasien merasa terganggu dengan adanya torus palatinus tersebut atau pada pasien yang akan menggunakan gigi tiruan. Dilaporkan satu kasus torus palatinus pada wanita usia 58 tahun yang telah dilakukan biopsi dan operasi berupa eksisi massa. Follow up satu bulan pascaoperasi tidak dijumpai adanya keluhan ataupun komplikasi yang timbul akibat tindakan operasi. Kata kunci : torus palatinus, biopsi terbuka, eksisi massa. Abstract Torus palatinus is defined as an exostosis of the hard palate localized along the median palatine suture, involving both of the palatine process

description

Kasus torus palatinus

Transcript of Torus Palatinus Final

Page 1: Torus Palatinus Final

PENATALAKSANAAN TORUS PALATINUS

Rini Rahma Wulandari, Denny Satria Utama

Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang

AbstrakTorus palatinus merupakan eksostosis pada palatum durum yang berlokasi di sepanjang sutura palatina media yang melibatkan kedua prosesus palatina dan tulang palatum yang dilapisi oleh mukosa normal yang tipis. Torus palatinus merupakan lesi yang jarang terjadi, lebih sering pada wanita, dapat terjadi pada semua umur namun sebagian besar pada usia 30 tahun. Etiologi dari torus palatinus belum diketahui secara pasti, tetapi pada beberapa orang lesi ini diturunkan secara autosomal dominan (faktor genetik), selain faktor lingkungan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang dan pemeriksaan histopatologi untuk diagnosis pasti. Torus palatinus tidak memerlukan perawatan bila tidak menimbulkan keluhan. Tindakan bedah dibutuhkan jika pasien merasa terganggu dengan adanya torus palatinus tersebut atau pada pasien yang akan menggunakan gigi tiruan.

Dilaporkan satu kasus torus palatinus pada wanita usia 58 tahun yang telah dilakukan biopsi dan operasi berupa eksisi massa. Follow up satu bulan pascaoperasi tidak dijumpai adanya keluhan ataupun komplikasi yang timbul akibat tindakan operasi.

Kata kunci : torus palatinus, biopsi terbuka, eksisi massa.

AbstractTorus palatinus is defined as an exostosis of the hard palate localized along the median palatine suture, involving both of the palatine process and the palate bone covered by a thin normal mucosa. Torus palatinus is a rare lession, more common in women, can occur at any age, but most occur at the 30 years old. The exact cause of the torus palatinus still unclear, whenever in some individual there have an autosomal dominance inheritance (genetic factor), despite environtment. Diagnosis is based on history, physical and supporting examination, and histopathological examination for definitive diagnosis. Patient with torus palatinus no need to manage if its doesnt cause any complain. Surgical approach is needed when the patient complain with kind of sign and symptoms or who are using a dental prosthetic.

As we reported one case of torus palatinus in a woman 58 years old who has managed by open biopsy, operative surgical excision. One month after surgery there is no complain or complication of surgical management in these patient.

Keywords: torus palatinus, open biopsy, excision of the mass

Page 2: Torus Palatinus Final

PENDAHULUAN

Eksostosis yang juga dikenal sebagai hiperostosis atau hamartoma

digambarkan sebagai tonjolan tulang yang terlokalisir, tidak patologis yang

berasal dari tulang padat (cortical bone) atau kadang-kadang dari lapisan

spongiosa. Eksostosis ini dapat berkembang di berbagai daerah di rahang. Lesi ini

tidak dianggap sebagai suatu neoplasma tetapi suatu lesi eksofitik displastik.

Eksostosis intraoral diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu torus palatinus, torus

mandibula dan eksostosis multipel.1-4 Torus palatinus merupakan eksostosis pada

palatum durum yang berlokasi di sepanjang sutura palatina media yang

melibatkan kedua prosesus palatina dan tulang palatum yang dilapisi oleh mukosa

normal yang tipis. Dalam bentuk jamak kelainan ini disebut tori palatina.3,5,6 Torus

mandibula merupakan penonjolan tulang yang berlokasi di sisi lingual dari

mandibula, biasanya di daerah kaninus dan premolar.3,5 Eksostosis multipel

berlokasi di sisi bukal dari tulang alveolar maksila dan mandibula dan biasanya

terjadi di daerah posterior. Lesi ini bervariasi dalam ukuran dan bentuk berkisar

dari eksostosis tunggal dengan bentuk yang bervariasi, multiloculated, bosselated,

sampai bentuk yang tidak teratur.1,2

Torus palatinus merupakan lesi yang jarang terjadi dengan angka kejadian

dari seluruh kelompok etnis berkisar 1,4%-66%. Torus palatinus dapat terjadi

pada semua umur, tetapi sebagian besar terjadi pada usia 30 tahun. Torus

palatinus lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.6,7 Etiologi dari torus

palatinus belum diketahui secara pasti, tetapi pada beberapa orang lesi ini

diturunkan secara autosomal dominan (faktor genetik). Faktor lingkungan juga

diyakini merupakan salah satu faktor yang berperan selain respon fungsional dari

trauma superfisial, gangguan temporomandibular, faktor diet, defisiensi vitamin

dan obat-obatan yang meningkatkan homeostasis tulang.3,5,8,9

Diagnosis torus palatinus ditegakkan berdasaran anamnesis, pemeriksaan

fisik, radiografi oral dan tomografi komputer. Diagnosis pasti ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi. Secara klinik torus

palatinus sering didiagnosis secara tidak sengaja karena lesi ini sering timbul

tanpa gejala. Lesi ini tidak berbahaya dan berkembang secara perlahan dengan

Page 3: Torus Palatinus Final

bentuk dan ukuran yang bervariasi. Torus palatinus tidak memerlukan terapi

khusus kecuali jika lesi ini mengganggu fonasi sebagai akibat ukuran yang teralu

besar, sering terjadi ulserasi mukosa atau pada pasien-pasien yang memerlukan

pemasangan protesa (gigi palsu) maka pambedahan berupa eksisi torus dapat

dilakukan.1,10,11

KEKERAPAN

Prevalensi torus palatinus dari beberapa penelitian di dunia berkisar antara

1,4%-66% pada populasi yang berbeda. Hampir seluruh penelitian

mengungkapkan bahwa torus palatinus lebih sering terjadi pada wanita daripada

pria dengan rasio 2:1.6,7,9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali Bukhari

dkk12 pada tahun 2006 di Indonesia dijumpai prevalensi torus palatinus sebanyak

22,3% dengan perbandingan wanita dengan laki-laki adalah 54,7% : 45,3%.

Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Sisman dkk6 tahun 2005-2007 di Turki

mengatakan dari 2660 individu yang diteliti terdapat 110 (4,1%) pasien dengan

torus palatinus dan wanita (5,7%) lebih banyak dibanding pria (1,8%). Torus

palatinus dapat terjadi pada semua umur, namun kejadian torus palatinus

meningkat pada usia dekade ke 3, yaitu pada usia berkisar antara 30 – 50 tahun.

Sebagian dari penderita tidak menyadari bahwa terdapat torus palatinus pada

palatumnya, sebagian besar baru menyadari ketika berusia diatas 50 tahun atau

tidak sengaja diketahui ketika melakukan pemeriksaan gigi.2,6 Distribusi torus

palatinus berdasarkan ukuran dijumpai sebanyak 75,4% berukuran < 2 cm.

Berdasarkan lokasi yang tersering adalah regio premolar-molar (66,4%) diikuti

molar (15,4%) dan regio premolar (13,6%). Lokasi yang paling sedikit adalah

pada insisivus-premolar dan regio insisivus-premolar-molar (4,5%). Distribusi

torus paltinus berdasarkan bentuk yang paling banyak adalah bentuk datar

(62,7%) diikuti bentuk spindel (36,3%), nodular (0,9%) dan lobular (0,0%).6,13

ANATOMI PALATUM

Palatum merupakan dinding bagian atas dari kavum oris dan membentuk

atap mulut yang terbagi menjadi dua yaitu palatum durum (langit-langit keras)

Page 4: Torus Palatinus Final

dan palatum mole (langit-langit lunak). Palatum durum merupakan bagian dari

rongga mulut dan palatum mole merupakan bagian dari orofaring. Palatum

memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan sinus maksilaris. Palatum

durum membentuk dua pertiga anterior palatum yang dibentuk oleh prosesus

palatina os maksila dan lamina horizontal os palatum (gambar 1). Sedangkan

palatum mole yang terletak di bagian posterior sebagian besar dibentuk oleh otot,

aponeurosis palatina dan mukosa. Aponeurosis palatina adalah lapisan fibrosa

yang melekat pada pinggir posterior palatum durum dan merupakan lanjutan dari

tendo muskulus tensor veli palatini.14-16

Gambar 1. Anatomi palatum durum16

Membran mukosa menutup rapat palatum durum dengan rata dan

menyeberang sampai ke gusi bagian anterior dan lateral dan ke palatum mole,

uvula dan arkus palatoglosus dan palatofaringeus bagian posterior. Pada garis

tengah terdapat garis tipis keputihan yang disebut rafe palatina. Pada ujung

anterior rafe dekat dengan bagian medial insisivus terdapat papila insisivus yang

berhubungan dengan kanalis insisivus. Terdapat satu atau beberapa plika palatina

transversa yang berbatas tegas muncul dari rafe. Membran mukosa pada rafe lebih

tipis dibandingkan di bagian perifer. Lapisan tipis dari mukosa glandula palatina

terbentang di antara membran mukosa dengan periosteum. Mereka membentuk

dua rangkaian yang memanjang untuk mengisi lekukan diantara palatum durum

dengan prosesus alveolaris os maksila. Lapisan glandula tipis di bagian depan dan

lebih tebal di bagian belakang yang berlanjut dengan lapisan glandula di palatum

mole. Permukaan palatum dilapisi oleh mukosa yang terdiri dari epitel skuamos

Page 5: Torus Palatinus Final

berlapis. Namun demikian, submukosa memiliki banyak sekali kelenjar saliva

minor, terutama pada palatum durum. Palatum mole sebagian besar dibentuk oleh

otot. Otot-otot pada palatum mole terdiri dari muskulus palatoglosus (pilar

anterior), palatofaringeus (pilar posterior), muskulus uvula, levator veli palatini

dan tensor veli palatini (gambar 2). 14-16

Arteri palatina desendens cabang dari arteri maksilaris interna membagi

suplai darah ke palatum durum melalui arteri palatina mayor dan palatum mole

dari arteri palatina minor. Aliran vena dari palatum durum mengalir ke pleksus

pterigoideus dan bermuara ke vena jugularis interna. Sedangkan aliran vena

palatum mole terbagi dua yaitu pleksus faringeus yang mengalir ke vena jugularis

interna dan vena palatina eksterna yang mengalir ke fosa tonsilaris yang berlanjut

ke vena fasialis atau vena faringeal. Aliran limfe palatum adalah nodi limfoidei

servikalis profunda. Palatum dipersarafi oleh nervus palatina mayor dan minor

cabang maksilaris nervus trigeminus sampai ke palatum melalui foramen palatina

mayor dan minor. Nervus nasopalatina yang juga cabang dari nervus maksilaris

sampai ke bagian depan palatum durum melalui foramen incisivus. Palatum mole

juga dipersarafi oleh nervus glossofaringeus.14,15

Gambar 2. Kavitas oral: glandula palatina dan otot-otot palatumdan fauses (muskulus palatini dan fausium)15

Page 6: Torus Palatinus Final

ETIOLOGI

Penyebab torus palatinus belum dapat diketahui secara pasti tetapi pada

beberapa orang lesi ini diturunkan secara autosomal dominan (faktor genetik).

Faktor lingkungan juga diyakini merupakan salah satu faktor yang berperan selain

hiperfungsi mastikator dan pertumbuhan yang terus menerus. Akhir-akhir ini

beberapa peneliti mengemukakan bahwa penyebab tori terdiri dari interaksi

multifaktorial antara faktor genetik dengan lingkungan. Faktor lingkungan juga

diyakini merupakan salah satu faktor yang berperan selain trauma superfisial,

mengunyah yang berlebihan, aberasi gigi, gangguan temporomandibular, faktor

diet, defisiensi vitamin dan obat-obatan yang meningkatkan homeostasis

tulang.3,5,8-10,13

KLASIFIKASI

Klasifikasi torus berdasarkan morfologi bentuk: 1) torus datar, memiliki

dasar yang besar dan sedikit cembung dengan permukaan yang halus, biasanya

simetris pada kedua sisi palatum, 2) torus nodular, tampak sebagai beberapa

tonjolan dengan basis sendiri-sendiri namun dapat bersatu dan membentuk alur-

alur diantaranya, 3) torus spindel, timbul disepanjang garis tengah daerah rafe

pada palatum 4) torus lobular, tampak sebagai massa lobular bertangkai yang

berasal dari satu dasar dan dapat terjadi pada kedua sisi (gambar 3). 6,8-10,17

Berdasarkan lokasi torus palatinus dibagi menjadi beberapa kategori: 1) torus

palatinus total dimana torus muncul di sepanjang garis tengah palatum durum, 2)

torus palatinus anterior dimana torus menempati bagian anterior dan tidak

melampaui plika palatina transversa, 3) torus palatinus medial dimana pangkal

torus adalah tepat di belakang plika palatina transversa dan ujungnya tidak

mencapai zona posterior dari garis tengah palatum, 4) anterior-pertengahan, 5)

torus palatinus posterior dimana pangkal torus berada lebih di belakang plika

palatina transversa dan ujungnya mencapai zona posterior dari garis tengah

palatum, 6) pertengahan-posterior.18 Berdasarkan ukuran torus palatinus Belsky

dkk19 dalam penelitiannya tahun 2003 membaginya menjadi tiga kategori:

absen/sedikit (ukuran <1cm), kecil/sedang (ukuran 1-2 cm) dan besar (ukuran ≥

Page 7: Torus Palatinus Final

3cm). Klasifikasi lain yang digunakan oleh Reichart dkk20 yaitu ukuran kecil (< 3

mm), sedang (3-6 mm) dan besar (> 6 mm). Sedangkan Agbaje dkk5 dalam

penelitiannya menggunakan klasifikasi ukuran tori sebagai berikut: 1-2 cm (kecil),

2-3 cm (sedang) dan > 3 cm (besar).

Gambar 3. Morfologi torus palatina (a. datar, b. nodular, c. spindel, d. lobular)6

HISTOPATOLOGI

Tori dan tipe lain dari eksostosis memiliki gambaran histologi yang sama.

Lesi ini digambarkan sebagai gambaran tulang yang hiperplasi, terdiri dari tulang

kortikal dan trabekula yang matur. Permukaan luar tulang menunjukkan kontur

yang bulat dan licin. Potongan melintang pada torus palatinus terlihat tulang yang

padat dengan gambaran lamela (lempeng tulang) yang berlapis-lapis. Jaringan

tulang yang padat dan matur dengan osteosit yang menyebar dan ruang sumsum

tulang yang kecil diisi lemak tulang atau stroma fibrovaskular longgar. Beberapa

lesi dengan tepi tulang kortikal yang tipis melapisi tulang spongiosa yang inaktif

dengan lemak dan jaringan hematopoetik. Aktivitas osteoblas yang minimal selalu

terlihat, tetapi lesi ini sering menunjukan aktivitas periosteal yang banyak.4,8,10,12,21

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

penunjang. Anamnesis pada kasus torus palatinus sebagian besar didapatkan

secara tidak sengaja ketika melakukan pemeriksaan mulut, biasanya saat pasien

ingin menggunakan kawat gigi atau pemasangan gigi palsu. Beberapa pasien tidak

Page 8: Torus Palatinus Final

menyadari pertumbuhan dari torus palatinus karena lesi ini asimtomatik. Keluhan

muncul ketika pertumbuhan torus palatinus sudah besar, sehingga mengganggu

saat berbicara (gangguan fonasi), mengunyah dan menelan makanan. Torus

palatinus yang besar dapat menyebabkan ulserasi mukosa karena trauma yang

berulang ketika mengunyah dan makan. Pada pemeriksaan fisik torus palatinus

dapat dijumpai dalam berbagai bentuk seperti bentuk yang datar, lobular, nodular

dan bentuk spindel yang berlokasi di garis tengah dari palatum durum yang

dilapisi oleh mukosa tipis yang normal. Pada perabaan dijumpai lesi yang sangat

keras dan tidak nyeri. 2,10,21

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan sebelum operasi dengan tujuan

untuk mengetahui morfologi torus tersebut. Apabila pada torus terdapat ruang

atau celah udara dalam struktur torus maka pada saat melakukan eksisi dapat

terjadi kerusakan ataupun perforasi sehingga terjadi fistula oronasal yang dapat

menyulitkan tindakan pembedahan. Torus palatinus biasanya dapat terlihat pada

foto periapikal karena tidak menghalangi penempatan film, namun cara yang

terbaik untuk melihat gambaran radiologi torus palatinus adalah dengan

menggunakan foto oklusal. Pada foto oklusal terlihat bayangan yang tebal dan

padat, terlihat gambaran radioopak. Torus palatinus terlihat sangat putih dan dapat

terjadi tumpang tindih pada film apabila torus palatinus sangat besar. Tomografi

komputer dapat digunakan untuk mengetahui letak dan bentuk kesatuan yang

spesifik dan untuk mengevaluasi karakteristik bentuk dan ukuran tonjolan tulang

tersebut. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dari

biopsi.2,10,21,22

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari torus palatinus antara lain osteoma dan displasia

fibrosa pada palatum. Osteoma merupakan lesi jinak osteogenik dengan

pertumbuhan yang sangat lambat, yang mungkin timbul dari proliferasi dari salah

satu tulang kanselus atau kompak. Lesi ini asimtomatik, tumbuh lambat dalam

beberapa tahun dan secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan radiologi.

Pada daerah maksila, osteoma paling sering muncul di prosesus

Page 9: Torus Palatinus Final

alveolaris, namun beberapa peneliti juga pernah melaporkan adanya

osteoma pada palatum durum. Gambaran radiografi dari osteoma

memiliki densitas yang sama dengan tulang. Pemeriksaan histopatologi

tampak lesi sebagai tulang yang matur dengan ruang sumsum tulang

terdiri dari jaringan ikat.21,23,24

Displasia fibrosa adalah satu jenis lesi fibro-osseus jinak berupa

pembentukan jaringan mesenkim yang abnormal, dimana terjadi penggantian

tulang spongiosa dengan jaringan fibrosa. Lesi ini dimulai sejak usia anak dan

berkembang selama masa pubertas dan masa remaja, kemudian dorman di awal

usia dewasa. Gambaran radiografi dari displasia fibrosa kraniofasial adalah

gambaran ground-glass atau orange pell dengan korteks yang tipis dan tanpa

batas yang jelas. Pemeriksaan histopatologi tampak gambaran lesi yang

menunjukkan stroma matriks kolagen dengan fibroblas yang terjerat di dalam

trabekula tulang dalam bentuk Chinese writing.21,23,24

PENATALAKSANAAN

Tidak ada menajemen aktif yang wajib dilakukan, dokter harus

menjelaskan pada pasien bahwa keadaannya bukan merupakan suatu keganasan.

Bila mukosa yang melapisinya tipis dan cenderung trauma atau jika terdapat

ulkus, pasien mungkin membutuhkan antiseptik pencuci mulut. Bila tidak ada

keluhan, torus palatinus tidak memerlukan perawatan. Tindakan bedah dibutuhkan

pada pasien dengan keadaan antara lain adanya gangguan berbicara, keterbatasan

mekanisme mengunyah, inflamasi dan ulkus akibat trauma, retensi sisa makanan,

alasan estetika, ketidakstabilan prostetik (penggunaan gigi palsu), pasien dengan

fobia kanker, sebagai donor dalam graft tulang kortikal. Sebelum tindakan

pembedahan, dapat dibuat surgical stent untuk melindungi luka bekas operasi

baik dari lidah maupun makanan.10,21

Pengangkatan torus dapat dilakukan dengan metode double Y-shaped

mucosal incision. Insisi dibuat sepanjang garis tengah palatum durum yang

dilanjutkan dengan insisi oblik di kedua ujung insisi. Insisi ditujukan untuk

menghindari trauma dari cabang-cabang arteri palatina, juga untuk memperoleh

Page 10: Torus Palatinus Final

visualisasi yang adekuat serta akses ke lapangan operasi tanpa tegangan dan

trauma akibat manipulasi selama operasi. Setelah itu flap ditarik dengan benang

atau elevator periosteum yang lebar. Setelah lesi dapat dipaparkan secara komplit,

lesi dipotong-potong dengan menggunakan bor fisura dan segmen-segmennya

dibuang dengan menggunakan pahat monobevel. Lebih spesifik lagi pahat

diposisikan pada dasar eksostosis dengan bagian yang bersudut kontak dengan

tulang palatum dan kemudian setiap segmen dibuang dengan bantuan pukulan

palu. Permukaan tulang yang sudah rata kemudian dihaluskan dengan bor sampai

licin dan rata dengan permukaan palatum durum sambil diirigasi dengan larutan

salin. Setelah permukaan tulang licin, jaringan lunak yang berlebihan dirapikan.

Flap dikembalikan ke posisi semula dan dijahit dengan jahitan terputus (gambar

4). Jika ukuran torus palatinus kecil, maka insisi tetap dilakukan pada garis

tengah, namun insisi oblik hanya dilakukan pada bagian anterior. Kemudian

dilakukan prosedur yang sama dengan di atas. 1,10,21

Gambar 4. Tehnik operasi: a) Insisi disepanjang garis tengah palatum dengan insisi anterolateral dan posterolateral, b) lapisan mukoperiosteum disisihkan ke samping, c) memotong lesi menjadi bagian yang lebih kecil, d) membuang eksostosis dengan pahat, e) memperhalus permukaan tulang dengan bor, f) mukosa dijahit dengan jahitan terputus.1

Page 11: Torus Palatinus Final

Perawatan pascaoperasi pasien harus dijelaskan mengenai tanda dan

gejala-gejala yang mungkin terjadi. Tanda dan gejala seperti edema, hematom,

nyeri biasanya berhubungan dengan tipe dari prosedur operasi. Terapi yang

diberikan terdiri dari antibiotik, analgesik dan antiinflamasi. Penting juga untuk

menekankan kepada pasien untuk tetap menjaga kebersihan mulut sehingga luka

dapat sembuh dengan cepat.3,10

KOMPLIKASI

Adanya penonjolan tulang di palatum dapat menyebabkan masalah dalam

kebersihan mulut pada beberapa orang. Akumulasi dari sisa makanan sekitar

massa tulang menyebabkan pertumbuhan bakteri. Walaupun kondisi ini tidak

menimbulkan resiko yang besar, adanya benjolan yang lebih besar dapat berubah

menjadi nyeri akibat trauma. Ulserasi yang kemudian timbul pada palatum durum

dapat memperparah kondisi yang menyebabkan nyeri yang berlebihan saat makan

atau mengunyah. Sedikitnya pembuluh darah pada palatum durum dapat

memperlambat penyembuhan luka. Mukosa yang melapisi menjadi sedikit sensitif

dan menimbulkan sejumlah kelainan di mulut. Beberapa pasien bahkan dijumpai

kesulitan membuka mulut dan cenderung timbul nyeri tenggorokan. Hal ini

merupakan alasan utama mengapa pasien menjalani operasi dengan segera.

Komplikasi lain yang didapat akibat tindakan operasi antara lain perforasi dasar

kavum nasi, kerusakan saraf palatum akibat tindakan anestesi lokal, nekrosis

tulang, perdarahan, laserasi mukosa palatum dan fraktur tulang palatum.

Sedangkan komplikasi yang mungkin timbul pascaoperasi adalah hematom,

edema, jahitan yang terbuka, infeksi, neuralgia, nekrosis tulang dan mukosa.10,21

LAPORAN KASUS

Dilaporkan satu kasus wanita usia 58 tahun datang ke poliklinik THT

rumah sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang tanggal 29 Mei 2013 dengan

keluhan utama benjolan di langit-langit keras mulut sejak satu tahun yang lalu.

Anamnesis terhadap pasien didapatkan sejak satu tahun yang lalu pasien mulai

mengeluhkan timbul benjolan di langit-langit keras mulut, dengan ukuran sekitar

Page 12: Torus Palatinus Final

sebesar butir kacang kedelai yang semakin lama semakin besar dan membentuk

dua benjolan. Benjolan dirasakan keras, dengan permukaan yang rata, tidak nyeri,

warna sama dengan sekitarnya. Sekitar satu bulan ini pasien mengeluhkan sering

timbul luka di permukaan benjolan, nyeri, namun tidak mudah berdarah. Pasien

tidak merasa terganggu dalam mengunyah dan berbicara. Riwayat merokok sejak

38 tahun yang lalu, riwayat penggunaan gigi palsu sejak sepuluh tahun yang lalu.

Riwayat lesi yang sama dalam keluarga disangkal penderita.

Pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata dan tanda vital dalam

batas normal. Pemeriksaan THT didapatkan telinga kiri dan kanan dalam batas

normal, kavum nasi kanan dan kiri juga dalam batas normal. Rinoskopi poterior

tidak dijumpai kelainan. Pemeriksaan orofaring didapatkan dua buah benjolan di

daerah garis tengah palatum durum regio premolar-molar berukuran 1x1x1 cm

dan 1x0,5x0,5 cm dengan basis sendiri-sendiri (nodular), permukaan licin,

terdapat ulserasi pada mukosa, batas tegas, warna sama dengan sekitar kecuali

daerah ulserasi tampak lebih hiperemis, tidak nyeri saat ditekan, tidak dapat

digerakkan, konsistensi keras (gambar 5). Pemeriksaan tonsil dan dinding

belakang faring dalam batas normal. Tidak dijumpai adanya pembesaran kelenjar

getah bening leher.

Gambar 5. Massa keras di torus palatinus

Pemeriksaan foto toraks dalam batas normal, pemeriksaan laboratorium

darah didapatkan Hb 14,4 g/dl, leukosit 6.000/mm3, hitung jenis: basofil 0%,

eosinofil 8%, segmen 50%, limfosit 36%, monosit 7%, LED 41 mm/jam,

trombosit 221.000/mm3, masa perdarahan 2 menit dan masa pembekuan 7 menit,

SGOT 21 μ/l, SGPT 19 μ/l, kreatinin 0,64 mg%, ureum 22 mg%, gula sewaktu 92

Page 13: Torus Palatinus Final

mg%, natrium 139 mmol/l, kalium 3,8 mmol/l. Pasien ini kemudian direncanakan

untuk dilakukan biopsi terbuka pada tanggal 30 Mei 2013.

Pada tanggal 30 Mei 2013 dilakukan tindakan biopsi terbuka yang

dilanjutkan dengan eksisi massa palatum dalam narkose umum. Setelah pasien

dianestesi, dalam posisi terlentang dengan kepala sedikit ekstensi dipasang mouth

gag untuk memperluas lapangan operasi. Dilakukan infiltrasi lidokain dan

adrenalin pada massa dengan tujuan untuk memisahkan periosteum dari

permukaan tulang dan mengurangi perdarahan saat operasi. Kemudian dilakukan

insisi di sepanjang garis tengah palatum durum melintasi massa yang dilanjtkan

dengan insisi oblik di kedua ujung insisi (metode double Y-shaped mucosal

incision). Mukoperiosteum kemudian dipisahkan dan disisihkan ke lateral dengan

respatorium untuk mendapatkan visualisasi yang adekuat. Setelah penonjolan

tulang dapat divisualisasi, lesi dipahat dengan pahat monobevel dengan bantuan

pukulan palu. Didapatkan massa tulang yang padat dan keras. Setelah rata,

permukaan tulang dihaluskan dengan bor sampai rata dengan permukaan palatum

durum sambil diirigasi dengan larutan salin. Jaringan lunak yang berlebihan

dirapikan dan flap dikembalikan ke posisi semula dan dijahit dengan jahitan

terputus. Jaringan tulang dikirim untuk pemeriksaan histopatologi. Dipasang pipa

nasogastrik untuk saluran makanan. Terapi medikamentosa setelah operasi

diberikan antibiotik seftriakson 2x1 gr intravena, drip ketorolak 2 ampul dalam

infus ringer laktat, diet cair melalui pipa nasogastrik.

Evaluasi hari pertama pascaoperasi didapatkan keluhan sedikit nyeri di

daerah palatum durum. Dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya fibrin minimal di

bekas luka, edema minimal, hiperemis, jahitan baik dan tidak terbuka (gambar 6).

Terapi dilanjutkan dan diet masih menggunakan pipa nasogastrik. Pada hari kedua

pascaoperasi dijumpai edema berkurang, mukosa tidak hiperemis, jahitan tampak

baik, fibrin masih minimal (gambar 7). Pasien sudah diperbolehkan pulang

dengan terapi antibiotik sefiksim 2x100 mg, antiinflamasi kalium diklofenak

2x50mg dan edukasi untuk tetap menjaga kebersihan mulut. Pasien dianjurkan

untuk kontrol satu minggu pascaoperasi.

Page 14: Torus Palatinus Final

Gambar 6. Hari pertama pascaoperasi Gambar 7. Hari kedua pascaoperasi

Pada tanggal 8 Juni 2013 dari hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan

kesan eksostosis pada palatum kanan dan kiri, tidak dijumpai tanda ganas pada

sediaan ini. Kontrol ulang satu minggu pascaoperasi dijumpai celah pada palatum

yang terisi bekuan darah dan sisa-sisa makanan pada bagian anterior dan jaringan

granulasi di bagian posterior, beberapa jahitan terlepas. Dua minggu pascaoperasi

dijumpai celah telah menutup dan diisi jaringan granulasi. Tidak dijumpai edema

ataupun hiperemis pada bekas insisi. Pasien juga tidak mengeluhkan nyeri pada

luka bekas operasi. Satu bulan pascaoperasi dijumpai luka di bagian posterior

sudah menutup, namun di bagian anterior celah masih terisi jaringan granulasi.

Permukaan palatum durum tampak rata, tidak dijumpai edema ataupun hiperemis

di daerah luka tersebut (gambar 8).

a. b. c.

Gambar 8. Pascaoperasi: a. satu minggu. b. dua minggu, c. satu bulan

DISKUSI KASUS

Dilaporkan satu kasus eksostosis pada palatum durum pada seorang

wanita usia 58 tahun. Penyebab eksostosis pada pasien ini dicurigai karena trauma

superfisial akibat penggunaan gigi palsu, faktor genetik disangkal penderita

karena tidak dijumpai lesi yang sama pada keluarga pasien. Prevalensi torus

palatinus dari beberapa penelitian di dunia berkisar antara 1,4%-66% pada

populasi yang berbeda. Hampir seluruh penelitian mengungkapkan bahwa torus

Page 15: Torus Palatinus Final

palatinus lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, dengan rasio 2:1.6,7,9

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali Bukhari dkk pada tahun 200612 di

Indonesia perbandingan wanita dengan laki-laki adalah 54,7% : 45,3%. Torus

palatinus dapat terjadi pada semua umur, namun kejadian torus palatinus

meningkat pada usia dekade ke-3, yaitu pada usia berkisar antara 30 – 50 tahun.2,6

Penyebab torus palatinus belum dapat diketahui secara pasti tetapi pada beberapa

orang lesi ini diturunkan secara autosomal dominan (faktor genetik). Faktor

lingkungan juga diyakini merupakan salah satu faktor yang berperan selain trauma

superfisial.3,5,8-10,13

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

histopatologi. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan di langit-langit

keras mulut sejak satu tahun yang lalu. Ukuran membesar secara perlahan, pada

perabaan keras, dengan permukaan yang rata, tidak nyeri, warna sama dengan

sekitarnya. Sekitar satu bulan ini pasien mengeluhkan sering timbul luka di

permukaan benjolan, nyeri, namun tidak mudah berdarah. Torus palatinus

biasanya merupakan lesi yang asimtomatik dan biasanya diketahui secara tidak

sengaja saat pemeriksaan gigi. Keluhan baru muncul ketika pertumbuhan torus

palatinus cukup besar, sehingga mengganggu ketika berbicara (gangguan fonasi),

mengunyah dan menelan. Torus palatinus yang terlalu besar dapat menyebabkan

ulserasi mukosa karena trauma yang berulang ketika mengunyah dan makan. 2,10,21

Pada pemeriksaan orofaring didapatkan dua benjolan di daerah garis

tengah palatum durum regio premolar-molar berukuran 1x1x1 cm dan 1x0,5x0,5

cm dengan basis sendiri-sendiri (nodular), permukaan licin, terdapat ulserasi pada

mukosa, batas tegas, warna sama dengan sekitar kecuali daerah ulserasi tampak

lebih hiperemis, tidak nyeri saat ditekan, tidak dapat digerakkan dan konsistensi

keras. Pada pemeriksaan klinik torus palatinus dapat dijumpai dalam berbagai

bentuk seperti bentuk yang datar, nodular, lobular dan bentuk spindel yang

berlokasi di garis tengah dari palatum durum yang dilapisi oleh mukosa tipis yang

normal. Pada perabaan dijumpai lesi yang sangat keras dan tidak nyeri. 2,10,21 Torus

palatinus yang paling banyak ditemukan berukuran < 2cm yaitu sebanyak 75,4%

Page 16: Torus Palatinus Final

dan lokasi yang tersering adalah regio premolar-molar (66,4%). Distribusi torus

palatinus berdasarkan bentuk yang paling banyak adalah bentuk datar (62,7%)

diikuti bentuk spindel (36,3%), nodular (0,9%) dan lobular (0,0%). 6,13

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dari

spesimen biopsi. Pada pasien ini dilakukan tindakan biopsi terbuka yang

dilanjutkan dengan eksisi massa palatum. Metode yang digunakan adalah metode

double Y-shaped mucosal incision. Massa tulang dieksisi dengan menggunakan

pahat monobevel dan bor untuk melicinkan permukaan palatum. Dari hasil

pemeriksaan histopatologi tanggal 8 Juni 2013 didapatkan kesan eksostosis pada

palatum kanan dan kiri, tidak dijumpai tanda ganas pada sediaan ini. Menurut

Fragiskos1 pengangkatan torus dapat dilakukan dengan metode double Y-shaped

mucosal incision dengan tujuan untuk menghindari trauma dari cabang-cabang

arteri palatina, juga untuk memperoleh visualisasi yang adekuat serta akses ke

lapangan operasi tanpa tegangan dan trauma akibat manipulasi selama operasi.

Massa tulang dibuang dengan menggunakan pahat monobevel. Permukaan tulang

kemudian dihaluskan dengan bor sampai rata dengan permukaan palatum durum

sambil diirigasi dengan laruta salin. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan histopatologi dari biopsi.1,2,10,21

Terapi medikamentosa pascaoperasi yang diberikan adalah antibiotik

seftriakson 2x1 gr intravena, drip ketorolak 2 ampul dalam infus ringer laktat.

Pasien juga diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan mulutnya. Sesuai dengan

literatur perawatan pascaoperasi pasien harus diinformasikan tanda dan gejala-

gejala yang mungkin terjadi dan biasanya berhubungan dengan tipe dari prosedur

operasi, seperti edema, hematom dan nyeri ringan dan lain-lain. Terapi yang

diberikan terdiri dari antibiotik, analgesik dan antiinflamasi. Penting juga untuk

menekankan kepada pasien untuk tetap menjaga kebersihan mulut sehingga luka

dapat sembuh dengan cepat.7,10

Komplikasi yang timbul akibat lesi pada pasien ini adalah timbulnya

ulserasi pada permukaan torus sehingga menimbulkan nyeri saat makan atau

mengunyah. Komplikasi akibat tindakan operasi tidak dijumpai. Pada follow-up

satu minggu pascaoperasi dijumpai komplikasi berupa terbukanya jahitan

Page 17: Torus Palatinus Final

sehingga terjadi penumpukan sisa makanan di celah bekas insisi dan terdapat

bekuan darah. Pada follow-up satu bulan pascaoperasi dijumpai luka operasi yang

sudah menutup, permukaan palatum durum yang sudah rata, mukosa tampak

normal, hanya sedikit jaringan granulasi di bagian anterior. Adanya penonjolan

tulang di palatum dapat menyebabkan masalah dalam kebersihan mulut,

akumulasi dari sisa makanan, ulserasi mukosa dan nyeri. Beberapa pasien bahkan

dijumpai kesulitan membuka mulut dan cenderung timbul nyeri tenggorokan.

Komplikasi lain yang didapat akibat tindakan operasi antara lain perforasi dasar

kavum nasi, kerusakan saraf palatum akibat tindakan anestesi lokal, nekrosis

tulang, perdarahan, laserasi mukosa palatum dan fraktur tulang palatum.

Sedangkan komplikasi yang mungkin timbul pascaoperasi adalah hematoma,

edema, jahitan yang terbuka, infeksi, neuralgia, nekrosis tulang dan mukosa.10,21

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Torus Palatinus Final

1. Fragiskos FD. Preprosthetic Surgery. In: Fragiskos FD. Oral Surgery.

Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2007. p: 253-259.

2. Stewart JCB. Benign nonodontogenic tumors. In: Regezi JA, Sciubba JJ,

Jordan Richard CK. Oral pathology clinical pathologic correlations.

Saunders elsevier. 4th ed. 2003. p: 305-307.

3. Jainkittivong A et al. Buccal and palatal exostoses: Prevalence and

concurrence with tori. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol

Endod. 2000. Vol 90. p: 48-53.

4. Raldi FV et al. Excision of an atypical case of palatal bone exostosis: a

case report. Journal of oral science. 2008. Vol 50. No. 2. p: 229-231.

5. Agbaje JO et al. Torus palatinus and torus mandibularis in a Nigerian

population. African journal of oral health. 2005. Vol 2 (1&2). p: 30-36.

6. Sisman Y et al. Prevalence of Torus Palatinus in Cappadocia Region

Population of Turkey. European Journal of Dentistry. 2008. Vol 2. p: 269-

275.

7. Al-Sebaie D, Alwrikat M. Prevalence of torus palatinus and torus

mandibularis in Jordanian population. Pakistan Oral & Dental Journal.

2011. Vol 31 (1). p: 214-216.

8. Rocca JP et al. Er: YAG Laser: A New Technical Approach to Remove

Torus Palatinus and Torus Mandibularis. Case Report. Hindawi

Publishing Corporation. 2012. Vol 2012. p: 1-4.

9. Cohen MM Jr. The new bone biology: Pathologic, molecular, and clinical

correlates. American journal of medical genetics. 2006. Part A 140A. p:

2646-2706.

10. Martinez-Gonzalez et al. Current status of the torus palatinus and torus

mandibularis. Med oral patol oral cir buccal. 2010 Mar 1. Vol 15(2).

p:353-60.

11. Luqman M et al. Prevalence of torus palatinus among Saudi population in

Abha. Int. Journal of Clinical Dental Science. 2011. Vol 2(4). p: 101-104.

12. Ali Bukhari et al. Prevalence of torus palatinus among 300 Indonesian

patients. Pakistan oral & dental journal. Vol 27 (1). p: 89-92.

Page 19: Torus Palatinus Final

13. Apinhasmit W et al. Torus palatinus and torus mandibularis in a Thai

population. Reasearch article Science Asia. 2002. Vol 28. p: 105-111.

14. Lee KJ. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In: Lee KJ. Ed.

Essential otolaryngology head and neck surgery. 9th ed. New York :

McGraw-Hill companies. 1999. pp: 530-551.

15. Sinelnikov RD. The digestive system (the digestive apparatus). In:

Sinelnikov RD. Atlas of human anatomy (The science of the viscera and

vessel). MIR Publisher Moscow. 1989. Volume II (part 1). p: 15-18.

16. Wexler A. Craniofacial Anatomy. In: Thaller SR et al. Craniofacial

Surgery. Informa Healthcare USA, Inc. New York. 2008. p: 8-39.

17. Fernandez RF et al. Torus Palatino y Torus Mandibular.

Int.J.Odontostomat. 2009. Vol 3(2). p: 113-117.

18. Galera V et al. Oral tori in a sample of the Spanish university students:

prevalence and morphology. Antropologia Portuguesa. 2003. p: 281-305.

19. Belsky JL et al. Torus palatinus: A new anatomical correlation with bone

density in postmenopausal women. The journal of clinical endocrinology

& metabolism. 2003. Vol 88(5). p: 2081-2086.

20. Reichart PA et al. Prevalence of torus palatinus and torus mandibularis in

Germans and Thai. Community Dent Oral Epidemiol. 1988. Vol 6. p: 61-

64.

21. Chung WL et al. Odontogenic cysts, tumors and related jaw lessions. In:

Bailey BJ et al. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th Ed.

Philadelphia: JB Lippincott company. 2006. p : 1577-79.

22. Gonsalves WC et al. Common oral lessions: Part II. Masses and

neoplasia. American family physician. 2007. Vol 75 (4). p: 509-512.

23. Shreedhar B, Kamboj M, Kumar N, Shamim Khan S. Fibrous dysplasia of

the palate: Report of a case and review of palatal swellings. Case report.

Hindawi publishing corporation. 2012. p:1-5.

24. Durighetto AF, Moraes Ramos FM, Rocha MA, Cruz Perez DE.

Peripheral osteoma of the maxilla: report of a case. Dentomaxillofacial

radiology. 2007. Vol 36. p: 308-310.

Page 20: Torus Palatinus Final

Laporan kasus

PENATALAKSANAAN TORUS PALATINUS

Page 21: Torus Palatinus Final

Oleh :

dr. Rini Rahma Wulandari

Pembimbing :

dr. Denny Satria Utama, SpTHT-KL, M.Si, Med

BAGIAN IKTHT-KL FK UNSRI/DEPARTEMEN KTHT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN

PALEMBANG2013