Laut Final

31
1. Perkembangan Hukum Laut Sesudah Perang Dunia ke II Hukum Laut Internasional berkembang menjadi semakin kompleks setelah Perang Dunia ke II di mana pemahaman dasar mengenai garis batas laut mulai mengalami beberapa perubahan definisi. Perubahan-perubahan penting seperti penjelasan konsep-konsep laut territorial, lintas damai, pengejaran seketika, jurisdiksi kriminil maupun sipil negara pantai atas territorialnya. Faktor-faktor perubahan konsep-konsep Hukum Laut didasarkan dari banyak faktor seperti merdekanya banyak negara-negara jajahan, kemajuan tekologi umat manusia dan semakin besarnya kesadaran bahwa manusia bergantung kepada kekayaan alam yang ada di lautan. Dikelompokkan di dalam sejarah Hukum Laut bahwa ada tiga hal penting yang menjadi dasar penyebab berkembangnya Hukum Laut; 1. Proklamasi Truman tahun 1945 yang pertama tentang Continental Shelf dan Perikanan, 2. Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang bersengketa di Mahkamah Internasional yang kemudian dikenal sebagai Anglo Norwegian Fisheries Case. 1

Transcript of Laut Final

Page 1: Laut Final

1. Perkembangan Hukum Laut Sesudah Perang Dunia ke II

Hukum Laut Internasional berkembang menjadi semakin kompleks setelah Perang

Dunia ke II di mana pemahaman dasar mengenai garis batas laut mulai mengalami

beberapa perubahan definisi. Perubahan-perubahan penting seperti penjelasan

konsep-konsep laut territorial, lintas damai, pengejaran seketika, jurisdiksi kriminil

maupun sipil negara pantai atas territorialnya. Faktor-faktor perubahan konsep-

konsep Hukum Laut didasarkan dari banyak faktor seperti merdekanya banyak

negara-negara jajahan, kemajuan tekologi umat manusia dan semakin besarnya

kesadaran bahwa manusia bergantung kepada kekayaan alam yang ada di lautan.

Dikelompokkan di dalam sejarah Hukum Laut bahwa ada tiga hal penting yang

menjadi dasar penyebab berkembangnya Hukum Laut;

1. Proklamasi Truman tahun 1945 yang pertama tentang Continental Shelf dan

Perikanan,

2. Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang bersengketa di

Mahkamah Internasional yang kemudian dikenal sebagai Anglo Norwegian

Fisheries Case.

3. Klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Selatan bertalian

dengan suatu jalur 200 mil.

Proklamasi Presiden Truman yang diproklamirkan pada tahun 1945 menegaskan

mengenai penggunaan konsep geologi continental shelf. Continental Shelf dianggap

sangat penting digunakan dalam melakukan pengukuran atas kedaulatan negara atas

lautnya. Tindakan Presiden Truman yang merupakan Presiden Amerika Serikat

betujuan untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya

yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa

Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Di

dalam perkembangannya eksplorasi kekayaan alam yang ada di dalam continental

shelf. Continental Shelf atau Landas Kontinen dianggap sebagai daerah dimana di 1

Page 2: Laut Final

dalamnya terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan merupakan zona yang

sangat potensial bagi perkembangan ikan-ikan di laut.

Para ahli geologi Amerika Serikat menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari

dataran kontinen Amerika Serikat di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan

minyak bumi yang sangat berharga. Tindakan-tindakan negara dimungkinkan untuk

mengeksploitasi secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut atau sub marine

area yang luasnya adalah 750.000 mil persegi yang ditutup oleh air di bawahnya yang

tidak lebih dari 100 fathom. Atas dasar ini pemerintah Amerika Serikat

menyimpulkan bahwa kekayaan alam yang ada di daerah sekitar landas kontinen

merupakan hal yang sangat penting untuk diregulasikan oleh negara tersebut. Namun

pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak akan posesif di dalam

pengelolaan kekayaan alam tersebut dengan memberikan suatu kesempatan hak

berlayar atau hak lintas damai bagi negara lain yang ingin melintasi perairan tersebut.

Hal lain yang terdapat di dalam Proklamasi Truman adalah konsepsi mengenai

perikanan, Presiden Truman menjelaskan bahwa konservasi perikanan sangat penting

bagi kelangsungan keseimbangan ekosistem laut yang implikasi jangka panjangnya

adalah kesejahteraan umat manusia khususnya warga negara Amerika Serikat. Di

dalam proklamasi ini dijelaskan konsep mengenai fisheries conservation zone atau

zona konservasi perikanan. Pemerintah Amerika Serikat menjelaskan mengenai

pentingnya regulasi bagi proses pencadangan dan perlindungan kekayaan hayati yang

ada di laut yang berbatasan dengan pantainya. Inti pokok dari Proklamasi Truman

adalah kegiatan perikanan di laut dekat pantai Amerika Serikat selama ini atau dalam

waktu dekat hanya dilakukan oleh warganegara pemerintah Amerika Serikat.

Pemerintah Amerika Serikat berpendapat bahwa hanya dengan melalui regulasi ini,

kekayaan alam laut dapat dijaga dengan baik.

Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan dengen

Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951, perkara yang terjadi di antara

2

Page 3: Laut Final

Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia. Inggris menggugat

sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia di dalam

Firman Raja atau Royal Decree tahun 1935 menurut hukum internasionalnya.

Norwegia memperbaharui batas wilayah laut teritorialnya hingga 4 mil laut. Hal yang

menjadi pokok permasalahan bukan mengenai luas wilayah laut yang ditentukan oleh

Royal Decree melainkan cara penarikan garis-garis batas laut yang dilakukan oleh

Norwegia. Norwegia merupakan negara pantai dimana di pantai-pantainya senantiasa

terjadi pasang surut air laut. Pasang surut air laut memberikan eksistensi adanya

gugusan-gugusan pulau di wilayah perairan Norwegia. Dengan adanya Royal Decree

maka Norwegia bisa menentukan garis batas pantai dengan menggunakan garis

pangkal lurus yaitu menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia yaitu

gugusan-gugusan pulau tersebut.

Inggris menuntut adanya ganti kerugian atas Royal Decree yang dikeluarkan oleh

Norwegia, penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan oleh Norwegia jelas akan

sangat merugikan Inggris karena wilayah penangkapan ikan Inggris otomatis menjadi

berkurang. Pihak Inggris menegaskan bahwa penarikan garis pangkal laut harus

didasarkan pada garis pangkal pasang surut daripada gugusan pulau-pulau yang

diklaim oleh Norwegia. Namun pihak Mahkamah Internasional tidak menyatakan

bersalah cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia. Hal ini menjadi suatu

perubahan besar bagi praktek negara di dalam menentukan garis laut teritorialnya.

Peristiwa ketiga adalah klaim-klaim 200 mil oleh Chile, Ecuador dan Peru. Chile

mengeluarkan Deklarasi Presiden pada tanggal 23 Juni 1947 dan Deklarasi Presiden

Peru tertanggal 1 Agustus 1947. Deklarasi Presiden Peru menyatakan klaim atas

Landas Kontinen Laut yang dikuatkan dengan adanya Teori Bioma. Teori Bioma

menjelaskan bahwa suatu ekosistem adalah gabungan antara konsepsi hidrologi dan

klimatologi yang menyokong kehidupan hayati dan nabati. Kehidupan-kehidupan ini

saling terkait satu sama lain baik dari yang paling besar maupun yang paling kecil,

3

Page 4: Laut Final

Bioma merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara.

Chile, Ecuador, Peru menyatakan klaim bahwa wilayahnya memiliki bioma tersebut

maka mereka memiliki hak untuk menjaga dan melindunginya.

Hukum Laut senantiasa berkembang seiring dengan kebutuhan dan kepentingan dari

negara-negara. Hukum yang sudah ada akan selalu digantikan dengan konsep hukum

yang lebih baru dan lebih kontekstual dengan keadan yan senantiasa berubah. Di

dalam Hukum Laut, seiring dengan ditemukannya pengertian dan fungsi baru dari

Landas Kontinen maka Amerika Serikat melalui Deklarasi Truman, menciptakan

suatu produk hukum untuk meregulasi kenyataan baru tersebut dan diikuti oleh

negara-negara lain.

Pembentukan hukum baru tidak selalu dengan menggunakan deklarasi, Hukum Laut

juga menjalani perubahan dengan adanya suatu konflik yaitu konflik antara Inggris

dan Norwegia melalui Anglo-Fisheries Norwegian Case. Konsepsi penarikan garis

pangkal diperbaharui disini bahwa negara boleh menarik garis pangkal lurus atas

pantai-pantainya. Terakhir disempurnakan oleh Deklarasi Negara-negara Amerika

Latin dengan klaim atas landas kontinen melalui teori bioma.

2. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958

A. Tugas Konfrensi : arti dan sifatnya

Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 februari hingga 27 Februari 1958 di

kota Jenewa, Switzerland. Terlaksananya konferensi ini berdasarkan resolusi majelis

umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 februari 1957. Dalam resolusi ini disebutkan

dengan jelas bahwa batas dan tugas dari konferensi ini adalah menggariskan dengan

tegas tentang permasalahan hukum laut yang seharusnya mempertimbangkan aspek

lainnya. Artinya hukum laut tidak hanya dari sudut pandang hukum atau aspek

yuridisnya akan tetapi juga dari segi non yuridis seperti segi tehnis, biologis, ekonomi

dan politik.

4

Page 5: Laut Final

Mochktar mengatakan dalam bukunya jika hanya berpegang teguh kepada

hukum laut yang tradisionil tanpa adanya perubahan mengikuti pola perkembangan

dari zaman. Akan terjadi ketidakseimbangan ataupun ketidakadilan terhadap Negara

yang baru muncul dan berkembang. Negara Eropa Barat dan Amerika jelas akan

mendominasi laut lepas. Kemudian Mochtar menegaskan kembali bahwa tugas dari

konferensi ini adalah untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum laut publik dengan

memperhatikan sepenuhnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam peta

perpolitikan dunia dan juga kemajuan technologi dari Negara yang sudah maju.

Kaidah atau aspek non yuridis seperti tehnis, adalah segi yang berhubungan

dengan pengukuran dan pemetaan daripada klaim-klaim Negara-negara atas laut yang

berbatasan dengan pantainya seperti laut territorial dan dataran kontinen. Kemajuan

tehnik dilapangan memungkinkan penangkapan ikan dan sumber daya alam lainnya

yang ada di lautan sebagai aset yang tak ternilai.

Hal demikian (pengaruh dari kemajuan tehnik atau technologi) akan

berpengaruh pada masalah Ekonomi, karena kekayaan alam yang terdapat di dalam

laut bisa sangat tidak terhingga, dan ini merupakan bagian dari perekonomian suatu

negara.

Aspek Biologis terutama biologi kehidupan laut perlu adanya penyelidikan

tentang kehidupan alam laut dan penyempurnaan cara penangkapan ikan, untuk

mendongkrak atau menambah hasil tangkapan ikan.

Kemudian aspek yang terakhir adalah aspek politik. Aspek ini merupakan

aspek yang sangat penting dan sangat tidak bisa untuk di abaikan. Adakalanya

tindakan pelebaran laut territorial didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik,

artinya perselisihan politik dengan Negara lain juga mempengaruhi batas wilayah laut

dari suatu Negara.

Konferensi jenewa tahun 1958 menghasilkan 4 buah konvensi mengenai

hukum laut publik, sebuah protocol fakultatif mengenai penyelesaian pertikaian dan 9

buah resolusi. Keempat konvensi jenewa mengenai hukum laut masing-masing

5

Page 6: Laut Final

dinamakan: konvensi mengenai laut territorial dan jalur tambahan, konvensi

mengenai laut lepas, konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati

laut lepas, dan konvensi mengenai landas kontinen.

B. Konvensi I mengenai laut territorial dan jalur tambahan

Konvensi ini meneguhkan beberapa azas dan pengertian tentang laut territorial

yang dulu telah berkembang.

Pasal 1 menyatakan bahwa laut territorial merupakan suatu jalur yang terletak

disepanjang pantai suatu Negara berada dibawah kedaulatan Negara.

Pasal 2 menyatakan kedaulatan negara atas laut territorial meliputi juga ruang

udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya.

Konvensi ini juga memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan

perkembangan baru seperti penarikan garis pangkal yang terdapat pada pasal 3, 4 dan

5. Pasal 3 memuat ketentuan mengenai garis pasang surut sebagai pangkal biasa.

Pasal 4 mengatur garis pangkal dari ujung ke ujung. Pada pasal ini disebutkan bahwa

ada beberapa syarat dalam menggunakan penarikan garis pangkal. Pertama, bahwa

garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum

daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-

garis demikina harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh resim

perairan pedalaman. Kedua, garis-garis lurus tidak boleh ditarik diantara dua pulau

atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air diwaktu surut kecuali

apabila diatasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang setiap waktu

ada diatas permukaan air. Ketiga, penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan

sedemikian rupa sehingga memutuskan hubungan laut wilayah Negara lain dengan

laut lepas.

Pada pasal 5 mengatur tentang akibat dari penarikan garis pangkal lurus dari

ujung ke ujung, dan pasal ini berkaitan erat dengan pasal 4. Ayat 1 pasal ini

menentukan bahwa perairan pada sisi darat dan dari garis pangkal laut territorial

merupakan perairan pedalaman suatu Negara. Ayat 2 menentukan bahwa apabila

6

Page 7: Laut Final

karena penarikan garis pangkal lurus menurut pasal 4, bagian-bagian laut yang

tadinya merupakan laut lepas atau laut territorial menjadi perairan pedalaman, maka

kapal-kapal asing mempunyai hak-hak lalu lintas damai di perairan itu sesuai dengan

ketentuan-ketentuan pasal-pasal 14-23.

Pasal 6 mengenai batas luar merupakan perumusan daripada hukum yang

berlaku. Pasal 7 berhubungan dengan teluk, yaitu menetapkan bahwa panjang

maksimum daripada sebuah teluk adalah 24 mil.

Dalam konvensi ini juga berhubungan dengan lintas damai (innocent passage)

bagi kapal asing. Bagi kapal asing berlaku ketentuan-ketentuan umum yang telah

diatur bagi semua kapal. Kemudian penetapan batas wilayah hak lintas damai, yang

banyak mengalami perdebatan dalam proses penafsiran dan perumusannya.

Pasal 14 mengatur tentang hak lintas damai baik bagi kapal-kapal Negara

pantai atau kapal-kapal bukan Negara pantai.

Pasal 16 kemudian mengatur tentang hak Negara pantai untuk mengatur (lalu

lintas) damai dalam laut wilayahnya. Pasal ini berhubungan dengan pasal 17 yang

mewajibkan kapal-kapal asing untuk mentaati undang-undang dan peraturan Negara

pantai untuk mengatur lintas damai dalam perairannya.

Pasal 18, 19 dan 20 mengatur hak Negara pantai untuk memungut bayaran

dari kapal-kapal asing yang melintasi laut territorial dan yurisdiksi criminal dan sipil

daripada Negara pantai atas kapal-kapal asing dalam laut teritorialnya.

Pasal 21 mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai kapal-kapal

pemerintahan bukan kapal perang, berlaku juga bagi kapal yang dipergunakan dalam

pelayaran niaga.

Pasal 22 menyatakan bahwa bagi kapal-kapal pemerintahan yang

dipergunakan untuk maksud bukan perniagaan maka berlaku ketentuan umum dan

pasal 18 tentang pemungutan biaya oleh Negara pantai. Pasal 23 menyatakan

penegasan terhadap kapal-kapal yang tidak menghiraukan peraturan Negara pantai.

7

Page 8: Laut Final

Pasal 24 mengatur tentang hak lintas bagi kapal perang asing dengan catatan

harus memberitahukan dulu sebelum lewat melalui laut territorial Negara lain. Pasal

ini gagal mencapai persetujuan untuk memberikan hak lintas damai bagi kapal perang

Negara lain. Maka Mockhtar dalam bukunya memberikan solusi yaitu harus

berpengangan pada hukum kebiasaan internasional. satu hal ha yang pasti dalam hal

ini, tidak adanya ketentuan hak lintas damai bagi kapal perang merupakan sumber

bagi perselisihan internasional.

C. Konvensi III mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut

Lepas.

Mukadimah Konvensi menyatakan, bahwa perkembangan penangkapan ikan

modern mengakibatkan bahaya musnahnya sebagian besar kekayaan alam. Sifat

daripada masalah perlindungan kekayaan alam hayati laut ini memerlukan suatu

pemecahan yang di dasarkan kerjasama internasional antara semua negara yang

berkepentingan. Isi mukadimah yang diuraikan di atas dengan singkat

menjelaskan :1.) sebab-sebab mengapa perlu di ambil tindakan-tindakan perlindungan

kekayaan hayati laut dan 2.) cara melaksanakan tindakan itu. Jelas pula daripadanya

bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi Hukum Laut III telah

ditetapkan untuk menghadapi suatu masalah dalam hukum laut yang diakibatkan

perkembangan-perkembangan teknik modern dan karena merupakan hukum yang

baru.

Penelitian daripada ketentuan-ketentuan Konvensi III ini akan menunjukan

bahwa hanya ada satu pasal yakni pasal 1 yang mengandung perumusan hukum yang

bersifat kodifikasi. Akan tetapi pasal inipun, sebagaimana akan kami tunjukan

mengandung unsur-unsur baru yang menyimpang dari kebebasan menangkap ikan

dalam arti yang klasik.

Pasal 1 ayat 1 menyatakan :

8

Page 9: Laut Final

“All Stateshave the right for their nationsld to engage in fishing on the high

seas, subject (a) to their treaty obligations, (b) to the interests and rights of coastal

States as provided for in this Convention, (c) to the provisions contained in the

following articles corcerning corservation of the living resources of the high seas.”

Kata-kata “... subject to ect ...” menegaskan bahwa hak nelayan untuk menangkap

ikan di laut lepas itu dibatasi tidak saja oleh pembatasan-pembatasan yang ditetapkan

dalam perjanjian-perjajian yang diadakan oleh negara mereka dengan negara lain,

tetapi juga oleh kepentigan-kepentingan dan hak-hak negara pantai, serta ketentuan-

ketentuan mengenai perlindungan perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi

ini.

Ketentuan di atas yang dengan tegas mendahulukan kepentingan negara pantai

dan perlindungan perikanan, menunjukan dengan jelas bahwa kebebasan menangkap

ikan di laut lepas, kini Tidak dapat lagi ditafsirkan dengan liberal dan mutlak.

Prinsip yang dinyatakan dalam pasal 1ayat 1 di atas, sejiwa dan senafas

dengan ketentuan pasal 2 daripada Konvensi Hukum Laut Lepas yang menyatakan

bahwa kebebasan-kebebasan yang disebut disana harus dilaksanakan dengan

memperhatikan sepatutnya kepentingan-kepentingan negara lain. Ayat 2 menegaskan

kewajiban negara-negara untuk mengadakan tindakan-tindakan yang diperlukan

untuk perlindungan kekayaan hayati laut, baik secara sepihak, maupun dengan

kerjasama dengan negara-negara lain.

Pasal 2 memuat definisi daripada kekayaan hayati laut yang berarti

“keseluruhan daripada tindakan-tindakan yang memungkinkan hasil optimum tetap

dari sumber-sumber kekayaan itu untuk menjamin persediaan bahan makanan dan

hasil laut lainnya yang maksimal”. Penyusunan rencana-rencana perlindungan

kekayaan hayati laut di atur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 8.

9

Page 10: Laut Final

Pengaturan perlindungan seperti termuat di dalam pasal-pasal ini didasarkan

atas pembagian 3 macam kegiatan dan kepentingan. Yakni: (1.) perikanan di laut

lepas : Pasal 3, 4 dan 5 ; (2.) perikanan pantai: pasal 6 dan 7; dan (3) kepentingan

akan kekayaan hayati laut di satu bagian laut lepas daripada negara yang tidak

menangkapn ikan disana : pasal 8.

1.) Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut di laut lepas yang berjauhan

dari

pantai negara yang nelayan-nelayannya menangkap ikan disana. (pasal 3, 4

dan 5).

a. Apabila penangkapan di tempat itu hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan

dari satu negara, maka negara ini berkewajiban untuk melakukan

tindakan-tindakan perlindungan (conservation measures) apabila

diperlukan (pasal 3).

b. Apabila nelayan-nelayan yang menangkap ikan di bagian laut lepas itu

berasal dari dua negara atau lebih, maka atas permintaan salah satu di

antara mereka, negara itu atas persetujuan bersama harus mengadakan

tindakan perlindungan yang akan berlaku bagi nelayan-nelayan semua

pihak yang bersangkutan. Jika tidak dicapai persetujuan dalam waktu 12

bulan, maka perselisihan itu dapat diserahkan oleh salah satu pihak yang

bersangkutan pada komisi arbitrase menurut cara yang ditentukan dalam

pasal 9 (pasal 4).

Tindakan-tindakan perlindungan yang ditetapkan menurut pasal 4 di atas

menurut pasal 4 tidak boleh bersifat diskriminatif dalam bentuk maupun

kenyataannya. Apabila nelayan negara-negara laintelah mengadakan

tindakan-tindakan perlindungan di atas, kemudian datang menangkap

ikan di bagian laut lepas itu, maka negara-negara ini harus mewajibkan

nelayan-nelayan (warganegara) mereka untuk menaati tidakan-tindakan

10

Page 11: Laut Final

perlindungan yang telah di ambil, baik yang diadakan secara sepihak

menurut pasal 3, maupun atas dasar persetujuan bersama pasal 4.

c. Jika negara pendatang baru tidak menyetujui tindakantindakan

perlindungan yang telah berlaku di atas, salah satu pihak yang

berkepentingan dapat menempuh jalan penyelesaian sebagaimana di atur

dalam pasal 9 jika tidak tercapai persetujuan dalam waktu 12 bulan

(pasal 5).

2.) Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut di bagian laut lepas yang

berbatasan dengan laut wilayah salah satu pihak. (pasal 6 dan 7).

Keistimewaan daripada ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan

perikanan dan kekayaan hayati di laut bagian lepas yang berdekatan dengan

pantai salah satu negara yang berkepentingan, adalah pengakuan

“kepentingan istimewa” (special interests) daripada negara pantai dalam

mempertahankan produktivitas daripada kekayaan hayati laut.

3.) Kepentingan istimewa suatu negara pantai dalam perlindungan perikanan di

laut lepas yang tak berbatasan dengan pantainya sedangkan nelayan-

nelayannya tidak menangkap ikan disana (pasal 8).

Menurut pasal 8, negara demikian, apabila perlu, dapat meminta pada

negara yang nelayan-nelaynnya menangkap ikan disana untuk mengambil

tindakan-tindakan perlindungan (conservation measures) sesuai dengan pasal

3 dan 4. Permintaan demikian hars disertai pertimbangan ilmiah yang

menjelaskan mengapa tindakan-tindakan itu dikehendaki dan dengan

menunjukan kepentingan istimewa negara yang meminta diadakannya

tindakan itu.

Ketentuan-ketentuan di atas dengan jelas menunjukan kedudukan istimewa

negara pantai dalam hal-hak yang berkenaan dengan kekayaan hayati di laut lepas

11

Page 12: Laut Final

yang berdekatan dengan pantainyaa. Kedudukan istimewa negara pantai ini

didasarkan atas konsep istimewa negara pantai yang mula-mula dilahirkan dalam

Konferensi Teknis mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut

Lepas di Roma pada tahun 1955 atas inisatif dari negara Kuba dan Mexico.

Walaupun ketentuan-ketentuan Konvensi di atas tidak memberikan hak-hak

perikanan eksklusif kepada negara pantai atas perikanan di laut lepas di muka

pantainya, namun rangkaian pasal-pasal ini merupakan langkah penting ke arah

kepentingan yang sah daripada negara atas perikanan di laut lepas yang berdekatan

dengan pantainya, tampa mengabaikan kepentingan perikanan negara-negara lain.

D. Konvensi IV mengenai Landas Kontinen

Konvensi mengenai Landas Kontinen dalam pasal 1 memuat batasan (definisi)

mengenai pengertian landas kontinen. Pasal ini lengkapnya berbunyi sebagai berikut

“ for the purpose of these article, the term “continental shelf” is used as reffering (a)

to the seabed and subsoil of the submarine areas asjacent to the coast but outside of

the area of the territorial sea, to a dept of 200 metres or, beyond that limit, to where

the dept of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources

of the said areas ; (b) to the seabed and subsoil of similiar submarine areas adjacent

to the coasts of islands.”

- Dari bunyi pasal 1 yang di kutip di atas, jelas tampak bahwa batasan atau

definisi mengenai pengertian landas kontinen merupakan suatu definisi

hukum (legal definition), yang berbeda dengan batasan pengertian dataran

kontinen dalam arti geologis semata-mata.

- Pasal 2 mengatur mengenai hak negara pantai atas landas kontinen.

- Pasal 3 menjelaskan bahwa “hak-hak kedaulatan untuk eksplorasi dan

eksploitasi” tidak sama dengan kedaulatan penuh negara pantai.

- Pasal 4 menetapkan bahwa dalam melaksanakan haknya untuk melakukan

eksplorasi landas kontinen dan eksploitasi daripada kekayaan alam di 12

Page 13: Laut Final

dalamnya, negara pantai tidak boleh menghalang-halangi ppemasangan kabel-

kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen.

- Pasal 5 menetapkan bahwa pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas

kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan (unjustifiable interfence)

terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan

kekayaan hayati laut dan tidak boleh pula mengganggu penyelidikan

oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan.

- Pasal 6 mengatur penetapan batas pada landas kontinen antara dua negara

yang berdekatan, baik negara-negara yang letaknya berhadapan (opposite),

maupun berdampingan (adjacent).

- Pasal 7 menjamin hak negara pantai untuk melakukan eksploitasi di bawah

dasar lautan yang berdekatan dengan pantainya.

3. Indonesia dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini

Setelah perang dunia ke-II, Indonesia mengambil langkah-langkah dalam

bidang hukum laut guna menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai

keinginan dan pikiran sendiri, sebagai pernyataan dari sebuah aspirasi suatu bangsa

yang nasib dan kebesarannya tidak bisa dipisahkan dari laut. Langkah-langkah yang

diambil oleh Indonesia diantaranya adalah:

1. Lahirnya konsepsi nusantara : Deklarasi 13 desember 1957

Pada tanggal 13 desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan pernyataan

(Deklarasi) mengenai wilayah perairan Indonesia yang berisi:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau

atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI, dengan tidak memandang

luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara

RI dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di

13

Page 14: Laut Final

bawah kedaulatan mutlak daripada Negara RI. Lalu lintas yang damai di perairan

pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan

dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial

yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik

yang terluar pada pulau-pulau Negara RI akan ditentukan dengan Undang-undang”.

Ada 4 (empat) pertimbangan yang mendorong Pemerintah Indonesia dalam

mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia adalah:

a. Bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari

beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan

pengaturan tersendiri;

b. Bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) negara RI semua kepulauan serta

laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang

bulat;

c. Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah

kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritime Kringen

Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan

keselamatan dan keamanan Negara RI;

d. Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk

mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi

keutuhan dan keselamatan negaranya.

Pernyataan pemerintah mengenai Wilayah Perairan Indonesia ini merupakan

suatu peristiwa yang penting dan menentukan dalam usaha pemerintah untuk

meninjau kembali dan merobah cara penetapan batas laut territorial yang telah

diusahakannya sejak pertengahan tahun 1956 dengan membentuk suatu panitia

Interdepartemental untuk meninjau kembali masalah laut territorial dan lingkungan

maritim.1

1 Surat Keputusan Perdana Menteri (Ali Sastroamidjojo) No. 400 tertanggal 17 Oktober 1956 tentang Panitya Interdepartemental perancang Undang-undang tentang Laut Wilayah Indonesia dan Daerah

14

Page 15: Laut Final

Dari teks pernyataan Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 maupun

pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut jelas bahwa segi keamanan dan

pertahanan merupakan aspek yang penting sekali bahkan dapat dikatakan merupakan

salah satu sendi pokok daripada kebijaksanaan Pemerintah mengenai perairan

Indonesia ini. Selain itu ada dua unsur pokok yang menjamin integritas territorial

daripada wilayah Negara RI sebagai satu kesatuan yaitu unsur tanah (darat) dan air

(laut) menggambarkan segi politik.

Deklarasi ini menjadikan “segala perairan di antara dan di sekitar pulau-

pulau” bagian dari wilayah nasional mempunyai akibat hukum yang penting bagi

pelayaran internasional karena bagian laut lepas (high seas) yang tadinya bebas (free)

dengan tindakan Pemerintah Indonesia ini (hendak) dijadikan bagian dari wilayah

nasional.

Terjadi banyak pertentangan setelah dikeluarkannya Deklarasi tersebut. Ada

beberapa negara yang tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di

antara pulau-pulaunya. Walaupun demikian, usaha ini dianggap penting sebagai

pengajuan pertama mengenai konsepsi negara kepulauan di suatu konperensi hukum

internasional secara resmi.

Adanya konperensi Hukum Laut di Geneva pada Februari 1958, merupakan

forum untuk memperoleh pengakuan internasional bagi konsepsi negara kepulauan

Indonesia dengan jalan memperkenalkan konsepsi nasionalnya tentang negara

kepulauan dengan jalan mengedarkan teks bahasa Inggris undang-undang No.4/Prp

tahun 1960 pada Konperensi tahun 1960 yang kemudian dimuat dalam dokumen

Sekretariat konperensi.2

Maritim; dirobah dan ditambah dengan S.K. Menteri Pertama (Djuanda) tanggal 1 Agustus 1957.2 UN Conference on the Law of The Sea, 1960. Doc.A/Conf. 15/5/Add. 1, 4 April 1960.

15

Page 16: Laut Final

2. Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia

Pokok-pokok dasar dan pertimbangan-pertimbangan bagi pengaturan perairan

(wilayah) Indonesia pada hakekatnya tetap sama, walaupun segi ekonomi dan

pengamanan sumber kekayaan alam, baik hayati, nabati maupun mineral lebih

ditonjolkan dalam Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960.

Azas-azas pokok dari konsepsi nusantara sebagaimana diundangkan dalam

undang-undang No.4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah sebagai

berikut:

a. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik

garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-

pulau terluar;

b. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal

lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang udara di

atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;

c. Jalur laut wilayah (laut territorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari garis-

garis pangkal lurus ini;

d. Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara

(archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara

pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.

Bentuk dan susunan undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 sangat sederhana

dan hanya terdiri dari empat buah pasal. Undang-undang ini pada hakekatnya

merubah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut

wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low-

waterline) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang

ditarik dari ujung ke ujung. Seluruhnya ada 200 titik pangkal yang dihubungkan oleh

196 buah garis pangkal lurus (straight baselines) dengan jumlah panjang seluruhnya

sebesar 8069,8 mil laut..16

Page 17: Laut Final

Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dari pulau-pulau

terluar nusantara ini mempunyai dua akibat:

a. Jalur laut wilayah yang terjadi karenanya melingkari kepulauan Indonesia;

b. Perairan yang terletak pada sebelah dalam garis pangkal berubah statusnya

dari laut wilayah atau laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman.

Agar perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang

telah ada sebelum cara penetapan batas laut wilayah, maka Pasal 3 menyatakan

bahwa perairan pedalaman tadi terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing.

3. Peraturan pelaksanaan undang-undang no.4/Prp. Tahun 1960 Peraturan

Pemerintah no. 8 tahun 1962 tentang hal lalu lintas damai kendaraan air asing3

Tanggal 28 Juli 1962 pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah

No.8 tahun1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam perairan Indonesia.

Ada 3 Pasal yang tertuang dalam PP tersebut, yaitu:

a. Pasal 1, ditentukan bahwa: “lalu lintas damai kendaraan air asing di perairan

pedalaman Indonesia yang sebelum berlakunya undang-undang No. 4 tahun

1960 merupakan laut bebas atau laut wilayah Indonesia dijamin”.

b. Pasal 2, yang dimaksud dengan (lalu) lintas laut damai adalah “……

pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan

pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan

sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas”.

c. “lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan

keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/atau tidak mengganggu

perdamaian Negara Republik Indonesia”.

Di samping ketentuan tentang lintas damai kendaraan asing yang bersifat

umum di atas, Pengumuman Pemerintah No.8 Tahun 1962 ini memuat ketentuan-

3 Lembaran Negara No. 36, 1962; penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2466. 17

Page 18: Laut Final

ketentuan yang mengatur lintas damai kapal-kapal jenis khusus yakni: (1) kapal

penelitian; (2) kapal nelayan dan; (3) kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan

kapal niaga.

4. Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia

Tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan suatu

pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia yang berbunyi sebagai

berikut:

a. Segala sumber-sumber mineral dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya,

termasuk organism-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang

terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya di landas kontinen, tetapi di

luar daerah perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-undang

No.4 Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman yang memnungkinkan

pengalian dan pengusahaannya, merupakan milik Indonesia dan berada di

bawah jurisdiksinya yang eksklusip;

b. Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depressive-depressie (bagian

yang dalam) yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia

berbatasan dengan suatu negara lain, maka Pemerintah RI bersedia untuk

melalui perundingan dengan negara yang bersangkutan menetapkan suatu

garis batas sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan;

c. Menjelang tercapainya persetujuan seperti dimaksud di atas, Pemerintah RI

akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta memberikan izin

untuk produksi minyak dan gas bumi dan untuk eksploitasi sumber-sumber

mineral ataupun kekayaan alam lainnya, hanya untuk daerah sebelah

Indonesia dari garis tengah (median line) yang ditarik antara dari pantai

daripada pulau-pulau Indonesia yang terluar atau dalam hal wilayah kedua

negara terletak berbatasan pada pulau yang sama, pada daerah sebelah

18

Page 19: Laut Final

Indonesia dari suatu garis yang titik-titiknya terletak sama jauhnya dari titik-

titik terdekat pada garis pangkal laut territorial masing-masing negara;

d. Ketentuan-ketentuah tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta

status daripada perairan di atas Landas Kontinen Indonesia sebagai laut lepas,

demikian pula ruang udara di atasnya.

Adapun pokok-pokok dari Pengumuman Pemerintah tertanggal 17 Februari

1969 sebagai berikut:

a. Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia

adalah milik eksklusif Negara Indonesia;

b. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen

dengan negara tetangga melalui perundingan;

c. Jika tiada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah

suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia

dengan titik terluar wilayah negara tetangga.

d. Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas

Landas Kontinen Indonesia, maupun ruang udara di atasnya.

Pengumuman Pemerintah tertanggal 17 Februari 1969 di samping perannya

sebagai penunjang pelaksanaan konsepsi negara kepulauan karena didasarkan atas

dasar yang sama, yakni penggunaan titik-titik terluar daripada pulau terluar sebagai

pangkal tolak pengukuran garis pangkal maupun garis batas pemisah, telah

mengukuhkan pula beberapa ketentuan yang mempunyai pengaruh yang lebih luas.

19