Tipus Bab II

40
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS Diabetes Mellitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya. DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan 1

description

dm anestesi

Transcript of Tipus Bab II

Fakultas Kedokteran UWKS

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS

Diabetes Mellitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden penyakit makrovaskuler yang mencakup insiden infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.

Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat. Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1.2. KLASIFIKASI

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yaitu:

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

1.3. PATOFISIOLOGI

Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Tabel diunduh dari http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Gambar. Anatomi PankreasMeskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemia kronis. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peran yang kuat dalam munculnya DM ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktivitas fisik, obesitas dan tingginya kadar asam lemak bebas. Pada DM terjadi defek sekresi insulin, resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.

Gambar. Pembentukan insulin normal dan penurunannya

Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda panas.

Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul gangguan rasa sensorik, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Jika sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut. Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki.

Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu. Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan gangren. Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.1.4. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis DM umumnya akan akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM karena lebih mudah diterima oleh pasien serta murah. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM , hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl. Kadar glukosa darah sewaktu mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200mg/dl. Namun TTGO dalam prakteknya sangat jarang dilakukan.

Tabel Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006GAMBARAN KLINIS

Gangren diabetik di sebut juga gangren panas. Karena walaupun nekrosis, daerah akral tampak merah dan terasa hangat akibat peradangan. Biasanya pulsasi arteri di bagian distal masih tetap teraba.Pada iskhemik ringan, akan terlihat gejala klaudikasio intermiten sewaktu berjalan atau apabila di bagian distal dari kelainan vaskuler tersebut luka maka proses penyembuhannya berlangsung lama.Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine di bagi menjadi stadium sebagai berikut; Asimtomatis atau gejala tidak khas dengan hanya berupa kesemutan ringan.

Klaudikadio intermiten (Jarak tempuh jadi lebih pendek).

Nyeri saat istirahat.

Manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia. Secara praktis gambaran klinik kaki diabetik dapat digolongkan sebagai berikut :

Kaki neuropati

Pada keadaan ini terjadi kerusakan saraf somatik, baik sensoris maupun motorik serta saraf otonom, tetapi sirkulasi masih utuh. Neuropati menghambat impul rangsangan dan memutus jaringan komunikasi dalam tubuh. Neuropati sensoris memberikan gejala berupa keluhan kaki kesemutan dan kurang rasa terutama di daerah ujung kaki. Neuropati motorik ditandai dengan kelemahan otot, atropi otot, mudah lelah, deformitas ibu jari dan sulit mengatur keseimbangan tubuh. Pada kaki neuropati kaki masih teraba hangat, denyut nadi teraba, reflek fisiologi menurun dan kulit jadi kering. Bila terjadi luka, sembuhnya lama.Kaki iskhemia

Ditandai dengan berkurangnya suplai darah. Namun pada keadaan ini sudah ada kelainan neuropati pada berbagai stadium. Pasien mengeluh nyeri tungkai bila berdiri, berjalan atau saat melaksanakan aktivitas fisik lain. Kesakitan juga dapat terjadi pada arkus pedis saat istirahat atau malam hari. Pada pemeriksaan terlihat perobahan warna kulit jadi pucat, tipis dan berkilat atau warna kebiruan. Kaki teraba dingin dan nadi poplitea atau tibialis posterior sulit di raba. Dapat ditemukan ulkus akibat tekanan lokal. Ulkusnya sukar sembuh dan akhirnya menjadi ganggren.Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik menurut Wagner di bagi atas 6 derajat, yaitu:

Derajat 0

Kulit utuh tapi kelainan bentuk kaki

akibat neuropati.

Derajat I

Ulkus superfisial terbatas pada kulit

Derajat II

Ulkus dalam menembus tendon /

Tulang.

Derajat III

Ulkus dengan atau tanpa

Osteomielitis.

Derajat IV

Gangren jari kaki atau bagian distal

kaki dengan / tanpa selulitis.

Derajat V

Gangren seluruh kaki atau bagian

tungkai bawah.

Berdasarkan pembagian di atas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat di tentukan sebagai berikut :

Derajat 0

Perawatan lokal secara khusus

tidak ada.

Derajat I IV

Pengelolaan medik dan tindakan

bedah minor.

Derajat V

Tindakan bedah minor, bila gagal Di lanjutkan dengan tindakan bedah

mayor.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan derajat lesinya. Osteomielitis dapat di lihat dengan foto metatarsal, sedangkan dengan arteriografi dapat di lihat dengan jelas lokasi serta kolateral dari sistim arteri yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosis yang biasanya berbeda untuk setiap penderita.

PENATALAKSANAAN KAKI DIABETIK

Banyak penelitian yang dipublikasikan pada 25 tahun terakhir berkesimpulan bahwa cara pengelolaan kaki diabetik adalah pendekatan multi disipliner secara tim. Pengelolaan ini terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak tersebut.

Upaya pencegahan Prioritas utama adalah mencegah kelainan kaki akibat Diabetes Melitus. Sesuai dengan patogenesis terjadinya kaki diabetik maka pengelolaannya harus dimulai dengan pencegahan primer yaitu mencegah terjadinya ulkus. Dengan diketahui faktor-faktor penyebabnya maka dapat dilakukan pencegahan dengan pengendalian diabetes yang baik dan benar, perbaikan status gizi, pembersihan kaki setiap hari.

Pengobatan kaki diabetik meliputi pengendalian gula darah, penanganan kelainan kaki, neuropati diabetik, sirkulasi darah dan atasi infeksi serta rehabilitasi. Pengendalian gula darah harus disertai upaya perbaikan keadaan umum penderita dengan nutrisi yang memadai.Untuk memperbaiki neuropati diabetik kita dapat memilih untuk memakai secara bersama obat yang melancarakan aliran darah dan yang memperbaiki metabolisme. Dalam memperbaiki aliran darah kita harus perbaiki struktur vaskuler yang telah mengalami kerusakan.

Sebagai mana yang telah kita ketahui peran endotel, trombosit, dislipidemia menjadi penyebab utama terjadinya angiopati. Jadi selain pengendalian gula darah, yang mutlak harus di lakukan adalah pemberian anti agregasi dan vasodilator perifer. Pemberian obat anti agregasi diharapkan dapat memperbaiki vaskularisasi jaringan atau organ yang terserang. Ada beberapa pilihan obat yang dapat di pakai, yaitu asetosal, pentoksifilin dan cilostazol.

Anti biotik diberikan bila ada infeksi. Oleh karena itu bila ditemukan adanya infeksi sebaiknya lakukan kultur. Tidak jarang penderita datang dengan sepsis sehingga pemberian anti biotik tidak perlu menunggu hasil kultur. Pada keadaan ini pilihan anti biotiknya adalah yang punya spektrum luas atau kombinasi dengan golongan kloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif terhadap kuman anaerob seperti metronidazol dan klindamisin.Untuk ulkus dan ganggren dapat dilakukan bedah minor seperti insisi dan pengaliran abses serta debrideman dan nekrotomi dengan tujuan mengeluarkan semua jaringan nekrosis untuk eliminasi infeksi, hingga mempercepat penyembuhan luka. Sebelumnya perlu diketahui batas yang tegas antara jaringan sehat dan jaringan nekrotik hingga nekrotomi atau amputasi dapat di rencanakan dengan seksama. Pada keadaan peradangan yang tidak dapat di atasi di sertai dengan penyebaran yang sangat cepat, amputasi harus dipertimbangkan dengan segera. Bila di tunda tidak jarang mengakibatkan septisemia.Perhatian khusus terhadap deteksi dini kelainan kaki risiko tinggi. Kaki yang berisiko tinggi antara lain:1. Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku

2. Bulu-bulu rambut kaki yang menipis

3. Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh (ingrowing nail)

4. Kalus (mata ikan) terutama di telapak

5. Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang menonjol

6. Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari

7. Kaki baal, semutan, atau tidak terasa nyeri

8. Kaki yang terasa dingin

Sumber: Perkeni 2011

Sumber: Perkeni 2011

1.5. EFEK PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA METABOLISME PENDERITA DIABETES MELITUS

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, kortisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 mcg/ kgBB) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi.

1.6. FAKTOR RESIKO PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA PENDERITA

DIBETES MELITUS

Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme, peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolisme. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin ( kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran. Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Obat- obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH. Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada penderita diabetes. Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis, hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan.

Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung.Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

1. Sepsis

2. Neuropati autonomik

3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)

4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada kliren kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.

Maka Faktor Resiko pada Penderita diabetes melitus :

1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih

2. Neuropatik otonom

Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)

Hipotensi berat setelah pemberian anestesi

Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol

Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak - Hipotermia intra operatif

Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)

Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin

Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung.

Keringat berkurang

Impotensi

3. Gangguan ginjal

Mikroalbuminuria proteinuria

Gangguan GFR Kreatinin menigkat

Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan

Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba

Gagal Ginjal

4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi

5. Stift Join Sindrome, timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intubasi.

1.7. PENILAIAN PRABEDAH

Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.

PHYSICAL STATUS

Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan pra bedah, selanjutnya dapat dibuat penilaian status fisis. ASA mengklasifikasikan pasien kedalam beberapa tingkatan pasien berdasarkan kondisi pasien :

ASA I : Pasien normal, sehat fisik dan mental

ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsi

ASA III: pasien dengan penyakit sedang hingga berat dan mengalami keterbatasan fungsi

ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa.

ASA V : penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi.

ASA VI : penedrita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan untuk donor.

E : Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E ( e.g I E atau II E )

1.8. ANESTESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUSTindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres pemicu terjadinya penyulit akut diabetes, oleh karena itu setiap operasi elektif pada penyandang diabetes harus dipersiapkan seoptimal mungkin (sasaran kadar glukosa darah puasa 180 mg/dl

2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%

3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/dl, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM yang paling sering digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan sliding scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan

katabolik (sepsis, hipertermi).Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

Pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular. Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:

Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:

1. Campur 50 cc RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

2. Infuskan dengan larutan 0,5-1cc/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).

3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat. Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran. Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula Infus insulin < 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

Diabetes adalah salah satu penyebab paling umum dari stadium akhir gagal ginjal. Periksa urea, kreatinin dan elektrolit. Khusus memeriksa kalium terutama dalam pandangan dari kebutuhan yang mungkin untuk suksametonium sebagai akibat dari gastroparesis. Jika tidak tersedia, proteinuria ini mungkin mengindikasikan kerusakan ginjal. Pastikan hidrasi yang cukup untuk mengurangi disfungsi ginjal pasca operasi. Pasien dengan diabetes memiliki faktor risiko bedah khusus untuk kesehatan yaitu mereka, faktor risiko kardiovaskular yang mungkin atau tidak mungkin sebelumnya telah didiagnosa. Pasien dengan diabetes mungkin memiliki silent ischemia, manifestasi atipikal dari iskemia koroner, atau kardiomiopati mendasarinya. Banyak pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki hipertensi, yang dapat mempersulit manajemen perioperatif. Faktor-faktor risiko yang umum bedah pada populasi ini termasuk obesitas, penyakit ginjal kronis, dan disfungsi otonom tidak terdiagnosis, yang dapat mengganggu stabilitas hemodinamik pada periode perioperatif. Selain itu, pasien dengan lama pengurangan diabetes pengalaman dalam fungsi paru (misalnya, volume ekspirasi paksa, arus puncak ekspirasi, dan kapasitas difusi untuk karbon monoksida) terkait dengan durasi penyakit dan cedera pembuluh darah, yang dapat mempersulit 2 menyapih dari dukungan ventilasi.

Karakteristik prosedur dan anestesi

Kedua operasi dan anestesi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) dan sitokin inflamasi (interleukin-6 dan tumor necrosis factor-alpha), mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (bahkan di antara pasien yang hadir dengan sekresi insulin yang memadai). Ini pada gilirannya memberikan kontribusi lipolisis dan katabolisme protein, menyebabkan hiperglikemia dan, jika pasien yang sangat kekurangan insulin, ketoasidosis. Faktor lain yang sangat mempengaruhi resistensi insulin dan sekresi termasuk operasi bypass jantung, sepsis, kebutuhan nutrisi parenteral total, dan terapi steroid.

Karakteristik dari prosedur bedah, termasuk jenis operasi serta urgensinya, Durasi dan waktu (pagi vs di kemudian hari), yang penting dalam perencanaan pengelolaan glikemik perioperatif. Misalnya, prosedur, pendek kecil mungkin memerlukan pengamatan saja, sedangkan prosedur yang lebih luas menjamin pemantauan berkala dan manajemen glikemik aktif dengan infus insulin.

Jenis anestesi juga harus dipertimbangkan. Dibandingkan dengan anestesi epidural, anestesi umum dikaitkan dengan stimulasi yang lebih besar dari sistem saraf simpatik dan kadar katekolamin meningkat, sehingga lebih jelas.

1.11. PERAWATAN PASCA BEDAH

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.

Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bila terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan atau disritmia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.1.12. DEBRIDEMENT DAN AMPUTASI GANGRENE

a. Definisi

Kaki diabetes gangrene merupakan salah satu komplikasi dari penyakit vascular akibat penyakit diabetes.

b. Ruang lingkup

Diagnosis diabetes tidak sukar untuk ditegakkan. Sebaiknya dibiasakan mencari tanda-tanda kelainan vaskuler pada pasien diabetes, seperti mengecilnya atau menghilangnya pulsasi perifer. Osteomyelitis tulang metatarsal atau tulang-tulang kaki yang lain akan terlihat pada pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan Doppler -Ultrasound akan menjelaskan kelainan hemodinamik dan vaskularisasi setempat, sedangkan arteriografi menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri, yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya berbeda untuk setiap pasien diabetik.

c. Indikasi operasi

Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan vascular masih belum optimal.

d. Kontra indikasi operasi:

Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi amputasi. Kemudian adanya infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene tersebut.

e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah :

Gangrene karena sebab yang lainf. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya pemeriksaan laboratorium, dopler Ultrasound blood flow director, Arteriografi, magnetic Resonance Agiography.1. 12. 1. Tehnik Operasi (Tehnik perawatan konservatif)

Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase daerah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan dilakukan secepat mungkin. Biasanya diperlukan beberapa insisi untuk mencapai drainase yang adekuat. Debridemen harus tetap dilakukan biarpun keadaan vascular masih belum optimal. Baru setelah jelas batas antara jaringan sehat dan jaringan mati, kita melakukan nekrotomi, membuang semua jaringan mati termasuk amputasi jari, bila diperlukan. Tapi selalu diingat untuk mempertahankan jaringan sehat sebanyak mungkin. Hasil akhir pengelolaan kaki diabetes ini ditentukan oleh lokasi ulkus, luasnya infeksi, kontrol gula darah dan cukup atau tidaknya sirkulasi vaskuler. Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan merangsang penyembuhan. Kelembaban ( kompres ) ini dipertahankan dengan mengganti kain kasa pembalut 3 4 kali sehari. Cairan yang dipakai sebaiknya cairan isotonik, dan hanya bila korengnya sangat kotor, penuh nanah jaringan mati dicoba dengan merendam kaki tersebut dengan larutan betadine. Ulkus yang mulai membaik dilakukan nekrotomi dan bila sudah terlihat jaringan granulasi dapat dilakukan skin graft. Bila terjadi peradangan yang tidak dapat diatasi dan ada tanda-anda penyebaran yang sangat cepat, maka amputasi harus dipertimbangkan dengan segera dan jangan ditunggu sampai terlambat. Biasanya dalam waktu 24 48 jam sudah terlihat jelas perjalanan penyakit tersebut. Pertahanan badan daerah sendi tumit lebih kurang terhadap peradangan dan akan terlihat penyebaran yang cepat yang dapat mengakibatkan septikemi. Seringkali amputasi harus dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan peradangan berlanjut yang kadang kadang bersifat life saving. Tindakan amputasi dapat dilakukan setinggi above knee, below knee, syme amputation, transmetatarsal. Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi.

1. 12. 2. Komplikasi operasi

Komplikasi operasi meliputi Residen lmb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi. Trauma dari residal limb dapat disebabkan oleh karena cara jalan yang belum biasa sehingga kemungkinan pasien dapat terjatuh mengakibatkan fraktur terutama pada residual limb. Hematoma Tromboembolisme dapat terjadi karena amputasi merupakan faktor risiko untuk terjadinya Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca operasi, penyakit dasar yang tidak diobati dan meligasi vena pada saat operasi bisa mengakibatkan stagnasi dan aliran darah.

1. 12. 3. Perawatan Pasca Bedah

Perawatan pasca bedah meliputi : Residual limb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi. 1. 12. 4. Perawatan Pasta Bedah

Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah oleh NaCl dan dilepas setelah 3-5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi. Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah pada dirinya-neuropathy dan ischemia-maka pasien ini beresiko untuk mengalami kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasien harus diobati pula. infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan tingkat resistensinya.

1. 12. 5. Follow-Up

Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi, konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya dilakukan terapi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan dapat bekerja seperti dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada orang dengan lebih tua biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama oleh karena resiko terkena infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya daya penyembuhan luka. Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan tertentu yang mengakinbatkan pasien menjadi terhambat dalam melakukan rehabilitasi, keadaan keadaan seperti adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus menjadi perhatian.

Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh pasien dapat mendekati normal dan menambah rasa percaya diri. Pasien sebelum meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan mengenai jadwal follow up, cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal kebersihan.

25