TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN DAN...
Transcript of TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN DAN...
BAB II
TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang-
Undang Ketenagakerjaan
Tujuan kemerdekaan sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, antara lain untuk melindungi segenap bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum. Khususnya yang berkaitan dengan
Ketenagakerjaan, tujuan umum dimaksud, dijabarkan dalam pasal-pasal yang
menjamin tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran, dengan lisan dan tulisan dijamin dengan Undang-Undang, dan
perekonomian disusun sebagai usaha bersama, didasarkan atas asas kekeluargaan.
Dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dilakukan
berbagai upaya, antara lain melalui peraturan perUndang-Undangan
Ketenagakerjaan.
Dalam pengertian teoritis, Hukum Ketenagakerjaan dipahami sebagai
himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha yang berdasarkan pembayaran upah. Hukum
Ketenagakerjaan ini mengatur sejak dimulainya hubungan kerja, selama dalam
hubungan kerja, penyelesaian perselisihan sampai pengakhiran hubungan
kerja(Utrecht).
Istilah hukum perburuhan semakin tidak populer dengan diundangkanya
Undang-Undang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
sebagai Undang-Undang payung bagi masalah-masalah yang terkait dengan
hukum perburuhan/hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang
Ketenagakerjaan pengertian Ketenagakerjaan lebih luas dari yang sebelumnya
telah diatur dalam KUHPerdata. Dalam istilah Ketenagakerjaan dirumuskan
pengertian istilah Ketenagakerjaan yaitu segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Menurut
Undang-Undang ini tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenehi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Undang-Undang Nomor.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menetapkan bahwa penggunaan istilah pekerja selalu disertai istilah buruh yang
menandakan bahwa dalam Undang-Undang ini, dua istilah tersebut memiliki
makna yang sama. Dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa pekerja/buruh, yaitu:
“setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain”.
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Suatu perjanjian hakikatnya adalah suatu persetujuan antara para pihak
yang membuat perjanjian tersebut, yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak
untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.
Pasal 1313 KUHPerdata mengatur pengertian perjanjian yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
atau lebih lainya. di dalam pasal 1338 KUHPerdata mengatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya. Di dalam pasal tersebut itu biasa dikenal dengan asas pacta
sunt servanda dimana kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian
sebagaimana layaknya Undang-Undang. Apa yang dinyatakan seseorang dalam
suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka. Dalam perkembangannya
sekarang ini dalam asas pacta sunt servanda harus dilandasi asas itikad baik, serta
didalam kesepakatan perjanjian tersebut yang menggunakan asas kebebasan
berkontrak dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan
kepatutan.
Makna itikad baik sebagaimana maksud pasal 1338 KUHPerdata
adalah mengacu kepada standar perilaku yang reasonable yang tidak lain
bermakna bahwa orang harus mematuhi janji atau perkataannya dalam segala
keadaan, atau suatu tindakan yang mencerminkan standar keadilan atau kepatutan
masyarakat yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum. Iktikad baik
tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula
mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad
baik merupakan bagian dari masyarakat. Di dalam Hukum Ketenagakerjaan
terdapat perjanjian yang biasa disebut dengan istilah Perjanjian Kerja. Perjanjian
inilah yang nantinya akan menjadi dasar bagi pekerja/buruh dengan pengusaha
mengenai hubungan kerja yang telah mereka buat di dalam perjanjian tersebut.
Dalam Perjanjian Kerja kedua belah pihak harus saling mengikatkan diri
tanpa membedakan adanya suatu kedudukan, status, ras, agama maupun golongan
dan bangsa dimana perjanjian itu memuat kesepakatan antara pekerja/buruh dan
perusahaan, yang dalam hal ini sering diwakili oleh manajemen direksi
perusahaan. F.X. Djumialdy menyebutkan tiga unsur Perjanjian Kerja, yaitu
sebagai berikut :
a. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Dalam suatu Perjanjian Kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan
sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh
orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang
berbunyi :
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan
seizin majikania dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya’.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika
pekerja meninggal dunia maka Perjanjian Kerja tersebut putus demi
hukum.
b. Adanya Unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh
pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada
perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan
lainnya.
c. Adanya Unsur Upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan
dapat dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha
adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka
suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
Apabila dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata diatur bahwa suatu
Perjanjian Kerja dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat, dalam hukum
Ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
bahwa kesahan suatu Perjanjian Kerja harus memenuhi 4 persyaratan sebagai berikut1 :
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan yang diperjanjian tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perUndang-Undangan.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian
Kerja harus setuju atau sepakat, mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang
dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja
menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja
tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah
cukup umur. Ketentuan hukum Ketenagakerjaan memberikan batasan umur
minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat
1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras .
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320
KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek
dari Perjanjian Kerja antar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya
melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan salah satu unsur Perjanjian Kerja yang harus disebutkan
secara Jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan
bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak
dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif
karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal
disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat
obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat
subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak
yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang
tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian
tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim2.
2. Hubungan Kerja
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan
pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di
mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar
upah3.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 414 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/ buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah , dan perintah.
Unsur-unsur Perjanjian Kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 tahun 2003 adalah :
a. Adanya pekerjaan (arbeid).
b. Di bawah perintah
c. Adanya upah tertentu
d. Dalam waktu yang ditentukan
Unsur yang pertama adalah adanya pekerjaan, yaitu pekerjaan yang bebas
sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perudang-undangan,kesusilaan, dan ketertiban umum.
2 Prof. Dr. H. R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang
telah direvisi, Jakarta Restu Agung.2009 hlm 47. 3 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hal.88.
Unsur kedua, dibawah perintah, di dalam hubungan kerja kedudukan
majikan adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban
untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaanya.
Kedudukanaya buruh sebagai pihak yang menerima perintah untuk melaksanakan
pekerjaan, hubungan antara buruh dan majikan adalah hubungan yang dilakukan
antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinas (hubungan yang bersifat
vertical, yaitu atas dan bawah ).
Unsur ketiga adalah adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan
atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah berdsasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja,
kesepakatan atau peraturan perUndang-Undangan termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
Unsur keempat adalah waktu, artinya adanyasuatu waktu untuk melakukan
pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerjaan melakukan pekerjaan yang diberikan
oleh pemberi kerja. Oleh karena itu, penentuan waktu dalam suatu perjanjian kerja
dapat terkait dengan jangka waktu yang dierjanjikan, lama waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan pekerjaan, atau lama waktu yang dikaitkan dengan hasil
pekerjaan, kejadian tertentu atau suatu perjalanan/kegiatan.4.
4 Aloysius Uwiyono, Asas-asas hokum Perburuhan, Ed.1 Cet.2 Rajawali Pers, Jakarta 2014, hlm 58.
3. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja dapat berakhir karena beberapa sebab yang telah diatur
dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003, yaitu 5:
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
Perjanjian Kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian Kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebebkan oleh penjualan, pewarisan, atau
hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha,
orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri
Perjanjian Kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh
berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan
5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, peraturan
perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.6
4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Berdasarkan jangka waktunya Perjanjian Kerja dibagi menjadi dua
macam, yaitu : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja
waktu Tidak Tertentu. Kedua jenis perjanjian ini akan menentukan berapa lama
pekerja akan bekerja di dalam perusahaan pengusaha.
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu Perjanjian Kerja
antara buruh/pekerja dengan pengusaha yang hanya dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaanya
akan selesai dalam waktu tertentu7.
Pengertian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1603 q ayat (1) KUH
Perdata dan pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Dalam pasal 1603 q ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa :
“waktu lamanya hubungan kerja tidak ditentukan , baik dalam
perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perUndang-
Undangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu di
pandang diadakan untuk waktu tidak tertentu”.
6 Asri Wijayanti, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,Cet 4. Jakarta, Sinar
Grafika,2014 hlm 51 7 Koesparmo Irsan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja, Erlangga, Tahun 2016 Jakarta hlm 72.
Sedangkan pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
secara eksplisit mengatur bahwa :
“perjanjian kerja waktu untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu”.
b. Dasar Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu :
Dasar Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(pasal 540-66)
2) Keputusan Meteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Nomor
Kep.100/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.
3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 tahun
2012 tentang syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain.
c. Prinsip Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Beberapa prinsip Perjanjian Kerja waktu tertentu yang perlu
diperhatikan antara lain :
a) Harus dibuat secara tertulis dalam baha Indonesia dan huruf latin
minimal rangkap 2 (dua).
Apabila dibuat dalam Bahasa indonesia dan Bahasa asing dan
terjadi perbedaan penafsiran, yang berlaku Bahasa indoenesia.
b) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu
tertentu.
c) Paling 3 tahun, termasuk jika ada perpanjangan atau pembaruan.
d) Pembaruan PKWT dilajkukan dilakukan setelah tengagang waktu
30 hari sejak berakhirnya perjanjian.
e) Tidak dapat diadakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap.
f) Tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
g) Upah dan syarat-syarat kerja yang diperjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan persuahaan, Perjanjian Kerja bersama
(PKB), dan peraturan perUndang-Undangan.
Apabila prinsip PKWT tersebut dilanggar :
a) Terhadap huruf a-f, maka secara hokum PKWT menjadi PKWTT
b) Terhadap huruf g, maka tetap berlaku ketentuan dalam peraturan
perusahaan, perjanjian, Perjanjian Kerja bersama, dan peraturan
periUndang-Undangan.
b. Syarat-Syarat Pembuatan Perjanjian Kerjwa Waktu Tertentu
Sebagaimana Perjanjian Kerja pada umumnya, Perjanjian Kerja waktu
tertentu (PKWT) harus memenuhi syarat-syarat pembuatan, baik syarat
memateriil maupun syarat formil. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
syarat materiil diatur dalam pasal 52, 55, 58, 59, dan 60, sedangkan syarat formil
diatur dalam pasal 54 dan 57.
Seperti dalam pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
(tentang Ketenagakerjaan) di atur bahwa PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja. Jadi jika ada PKWT yang mensyaratkan masa percobaan,
masa percobaan dalam PKWT tersebut batal demi hokum. Akibat Hukumnya
PKWT tersebut menjadi PKWTT.
Sedangkan secara formil pembuatan PKWT harus memuat sekurang-
kurangnya (Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Yaitu :
a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerjaan/buruh.
c) Jabatan atau Jenis pekerjaan;
d) Tempat pekerjaan;
e) Besarnya upah dan cara pembayaranya;
f) Syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh.
g) Mulai dan jangka waktuy berlakukanya Perjanjian Kerja.
h) Tempat dan lokasi Perjanjian Kerja dibuat; dan
i) Tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kerja.
Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah
dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam peraturan perusahaan atau Perjanjian
Kerja bersama. Jika ternyata kualitas isinya lebih rendah, syarat-syarat kerja yang
berlaku adalah yang termuat dalam peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja
bersama.
Perjian kerja waktu tertentu dibuat dalam rangkap 2, masing-masing untuk
pengusaha dan pekerja/buruh. Mengingat perlunya pencataatan PKWT
sebagaimana diatur dalam pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
trasmigrasi Nomor kep.100/Men/VI/2004, maka ditambah 1 rangkap lagi, yaitu
untuk instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan kabupaten/kota
setempat. Pecantatan dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
penandatanganan Perjanjian Kerja.
Segala hal dan/biaya yang timbul atas pembuatan PKWT menjadi tanggung jawab
pengusaha (pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
c. Kategori Pekerjaaan Untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam praktik penyimpangan atas hal ini. Dengan latar belakang dan
alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja memberlakukan untuk
jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Guna untuk mengantisipasi masalah ini, maka
di dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menetapkan
kategori pekerjaan untuk PKWT sebagai berikut:
a. Pekerjaan (paket) yang sekali selesai atau pekerjaan yang bersifat
sementara;
b. Pekerjaan (waktu) penyelesaianya diperkirakan dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun khususnya untuk
PKWT berdasarkan selesainya (paket) pekerjaan tertentu;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan (yang masih dalam masa percobaan atau
penjajakan).
Dalam pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaa menyebutkan
bahwa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap”.
d. Pengelompokan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep 100/Men/VI?2004 pengelompokan PKWT terdiri atas8:
a. Perjanjian Kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai
atau sementara sifatnya yang penyelesaianya paling laam 3 Tahun :
a) Didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
b) Untuk jangka waktu paling lama 3 tahun
c) Hubungan kerja putus demi hokum apabila pekerjaan tertentu dapat
diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan.
d) Dapat dilakukan pembaruan :
e) Apabila karena dalam kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan; dan
f) Setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya
perjanjia kerja.
g) Selama tenggang waktu 30 hari secara hokum tidak ada hubungan
kerja antara pekerjaan/buruh dengan pengusaha.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Untuk Waktu Kerja Musiman
8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi No. KEP 100 MEN/VI/2004 tentang ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
1) Berlaku untuk pekerjaan yang pelaksanaanya bergantung pada musim
atau cuaca.
2) Hanya untuk satu jenis pekerjaan tertentu
3) Dapat juga dilaukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berifat untuk
memenuhi pesanan atau target tertentu.
4) Tidak dapat dilakukan pembaharuan untu PKWT poin1 dan 3.
c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan
Dengan Produk baru.
1) Berlaku untuk pekerjaan yang berhubungan denga priduk baru,
kegiatan baru, atau produk baru tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
2) Jangka watu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 kali
paling lama 1 tahun.
3) Tidak dapat dilakukan permbaharuan.
4) Hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa di lakukan
perusaan.
d. Perjanjian Kerja Harian Lepas
1) Berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-berubah dalam
hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
2) Pekerja/buruh berkerja kurang dari 21 hari dalam sebulan.
3) Apabila pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-
turut, Perjanjian Kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Perihal status perpanjangan dan pembaruan PKWT dapat diperiksa pada table ini
Status Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT9
No Jenis PKWT Perpanjangan Pembaharuan
1 2 3 4
1 PKWT untuk pekerjaan yang
sekali elesai atau sementara
sifatnya
Tidak dapat dapat
2 PKWT untuk pekerjaan yang
bersifat musiman
Tidak dapat Tidak dapat
9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004.
3 PKWT untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk
baru
Dapat 1 kali
(paling lama 1
tahun)
Tidak dapat
4 Perjanjian Kerja harian Lepas Tidak dapat Tidak Dapat
e. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Mengenai jangka waktu PKWT diatur pada pasal 59 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 (tentang Ketenagakerjaan) bahwa PKWT dapat
diperpanjang atau diperbaharui pilih salah satu-dengan jangka waktu paling lama
tiga tahun..
Yang dimaksud diperpanjang ialah melanjutkan hubungan kerja setelah
PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan
pembaharuan adalah melakukan hubungan kerja baru setelah PKWT pertama
berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 hari10
.
a. Jangka waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya
boleh diperpanjang sekali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun
(pasal 549 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
b. Pembaharuan PKWT hanya boleh dilakukan sekali dan paling lama 2
tahun (pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003)
10
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam PKWT,
secara otomatis hubungan kerja berakhir demi hokum. Jika disimpulkan, secara
normative jangka waktu PKWT keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3
tahun, baik untuk perpanjangan maupun untuk pembaharuan.
PKWT berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu yang ditentukan
dalam klausul Perjanjian Kerja tersebut. Apabila salah satu pihak mengakhiri
hubungan kerja sebelum waktunya berakhir atau sebelum paket pekerjaan tertentu
yang ditentukan dalam Perjanjian Kerja selesai atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena pekerja/buruh meninggal dan bukan karena berakhirnya Perjanjian
Kerja (PKWT) berdasarkan putusan pengadilan/Lembaga PPHI atau bukan karena
adanya keadaan-keadaan (tertentu) maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja
diwajibkan membayar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu Perjanjian Kerja11
.
5. Perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Menjadi Perjanjian
Kerja waktu Tidak Tertentu.
Perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan salah satu akibat dari
ketidak cermatan dalam menyusun suatu Perjanjian Kerja. Di sini peran
pentingnya seorang perancang kontrak (contact drafter) dalam menyusun suatu
Perjanjian Kerja. Apabila tidak cermat, dapat berakibat merugikan perusahaan,
baik secara yuridis maupun secara ekonomis.
11
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan
Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT telah di atur
dalam pasal 57 ayat (2) dan pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 serta pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/VI/2004.
Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004, PKWT dapat
berubah menjadi PKWTT, apabila12
:
a. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
b. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
c. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu
perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
dilakukan penyimpangan;
d. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak setelah berakhirnya perpanjangan
PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan
hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka
(3), dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan
sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan bagi PKWTT.
6. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
12
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi No. KEP 100 MEN/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans
100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah
Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap13
.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib
mendapatkan pengesahan dari instansi Ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT
dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara
pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga)
bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah
tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku14
.
B. HASIL PENELITIAN
1. Kasus Posisi
Penggugat pertama yaitu Dasep Awaludin yang bekerja pada bagian
Gudang Jadi. Penggugat dan Tergugat melakukan pembaharuan kontrak kerja
sebanyak enam kali kontrak kerja dengan masa kerja pertama yaitu Dari tgl.09
13
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi No. KEP 100 MEN/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 14
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Desember 2008 s/d 31 Mel 2009, dilanjutkan dengan Kontrak kedua : Dari tgI 01
Juni 2009 s/d 30 November 2009, setelah kontrak kedua berakhir dilakukan
Kontrak ketiga Dari tgI 01 Juni 2010 s/d 31 Mei 2011 berakhirnya kontrak kerja
ketiga dilanjutkan dengan Kontrak keempat Dari tgI 01 Juni 2011 s/d 31 Mei
2012 selanjutnya dilakukan Kontrak kelima : Dari tgI 01 Oktober 2012 s/d 30
September 2013 dan dilanjutkan dengan kotrak kerja keenam : Dari tgI 01
Oktober 2013 s/d 30 September 2014 yang merupakan kontrak kerja
terakhir.kemudian tegugat di PHK pada Tgl. 30 September 2014 dengan upah
terakhir sebesar Rp.1.930.824.
Penggugat kedua, ketiga dan keempat yaitu Nana Suhendra, Roby
Mulyana dan Sandi Suandi sama-sama bekerja pada bagian Gudang Jadi, dimana
para Penggugat ini membuat kontrak kerjanya pada tanggal 01 Februari 2014 s/d
tgl. 30 Juni 2014 dan berakhir masa kontraknya pada tanggal Tgl. 30 Juni 2014
tanpa adanya pembaruan Kontrak Kerja. Dengan upah terakhir sebesar
Rp.1930.824.
Para Penggugat tersebut bekerja di bagian/unit kerja dengan jenis dan sifat
pekerjaan yang terus menerus/ berkesinambungan, yang merupakan bagian dari
rangkaian produksi, dimana bagian /unit kerja gudang jadi di perusahaan Tergugat
adalah tempat dikumpulkanya seluruh produk dari perusahaan Tergugat sebagai
bagian akhir dari proses produksi sebuah produk-produk yang akan dipasarkan
dan dikirim keluar. Proses produksi dilaksanakan sejak pabrik di dirikan sejak 20
tahun yang lalu, dan pekerjaan tersebut tidak bersifat musiman karena dalam
situasi apapun pekerjaan-pekerjaan tersebut tetap ada dan tetap berjalan. Bahkan
ketika Penggugat diPHK posisi para Penggugat langsung digantikan oleh pekerja
lain dan ternyata diketahui bahwa terdapat beberapa pekerja lain yang berada di
bagian unit kerja yang sama namun dengan status karyawan tetap atau permanen.
Sistem kerja para Penggugat yang didasarkan pada PKWT tersebut telah
bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Oleh karena itu hubungan
kerja para Penggugat dan Tergugat demi hukum seharusnya berubah menjadi
permanen berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Tergugat melakukan PHK terhadap Penggugat dengan alasan kontrak
kerja yang telah disepakati telah habis. Namun upah para Penggugat sudah tidak
dibayar lagi oleh Tergugat terhitung sejak mereka diberhentikan sampai perkara
ini diputus (diperkirakan bulan Juni 2015) yang masing-masing :
Penggugat-1 :
Bulan Oktober s/d Desember 2014 (3 bln) x Rp. 1.930.824 = Rp.
5.792.472,
Bulan Januari s/d Juni 2015 (6 bln) x Rp. 2.391.904 = Rp.
14.351.424,
Jumlah = Rp.
20.143.896,
Penggugat-2,3 dan 4 :
Bulan Juli s/d Desember 2014 (6 bln) x Rp. 1.930.824 = Rp.
11.584.944,
Bulan Januari s/d Juni 2015 (6 bln) x Rp. 2.391.904 = Rp.
14.351.424,
Jumlah = Rp. 25.936.368,
Selain itu pada hari raya Idul Fitri tahun 2014 diketahui bahwa para
Penggugat 2,3 dan 4 juga tidak menerima pembayaran Tunjangan Hari Raya yang
seharusnya masing-masing dari Penggugat mendapatkan hak atas Tunjangan Hari
Raya Sebesar Rp. 804.510 dan Tergugat juga tidak mengupayakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatakan “Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”, akan tetapi
disini Tergugat memPHK para Penggugat dengan dilakukanya penggantian posisi
para Penggugat oleh Tergugat.
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat juga diduga
karena para Penggugat merupakan pendiri dari serikat pekerja dari perusahaan
Tergugat yang bernama SEKAR AHEB (Serikat Karyawan Asia Health Energy
Beverages) yang berdiri pada tahun 2014, pendirian serikat pekerja ini
dilatarbelakangi oleh kondisi dan syarat-syarat kerja yang kurang
menggembirakan bagi para karyawan. Diharapkan dengan berdirinya Serikat ini,
para karyawan di Perusahaan Tergugat bisa Iebih mendapatkan perlindungan serta
meningkatkan kesejahteraannya. Para Penggugat disini mempunyai kedudukan
yang sangat penting diserikat pekerja ini atau para Penggugat ini bisa disebut
sebagai pengurus dari serikat pekerja ini. Pengurus dari SEKAR AHEB ini telah
mencatatkan ke Disnakertrans Kab. Sukabumi dan telah memiliki bukti
pencatatan Nomor 48/SP/SPTP/kab/Smi/I/2014 tanggal 06 Januari 2014
sehingga dengan tercatatnya serikat pekerja ini maka jelas telah memiliki legalitas
dan juga keberadaan SEKAR AHEB ini sudah diberitahukan kepada Tergugat.
Namun nampaknya Tergugat kurang dapat menerima dan kurang senang terhadap
keberadaan dan kehadiran SEKAR AHEB di Perusahaannya. Terbukti karyawan
yang bergabung ke SEKAR AHEB diPHK dan yang masih bekerja, didesak agar
keluar dari serikat pekerja ini, hal ini diterbukti dengan surat dari Tergugat kepada
Penggugat pertama yang merupakan bagian pengurus dari SEKAR AHEB pada
tanggal 2 Oktober 2014 mengenai PHK yang lagi-lagi dilakukan terhadap
Pengurus SEKAR AHEB, dan dalam surat tersebut, Tergugat menyatakan hanya
mengakui SPSI PT. AHEB saja.
Penggugat disini menuntut untuk Menyatakan sistem kerja kontrak
berdasarkan PKWT antara Tergugat dengan Para Penggugat adalah batal demi
hukum sehingga hubungan kerja menjadi bersifat tetap/permanen berdasarkan
PKWTT terhitung sejak Para Penggugat mulai bergabung/bekerja di Perusahaan
Tergugat dan Menyatakan PHK terhadap Para Penggugat adalah batal demi
hukum. Tergugat diharapkan untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat di
Perusahaan Tergugat pada posisi semula tanpa syarat dengan memanggil Para
Penggugat melalui Surat resmi, terhitung 7 hari kalender sejak putusan ini
dibacakan.
Tergugat diminta untuk membayar secara tunai hak-hak para Penggugat
atas upah selama proses yang telah dihentikan pembayarannya oleh Tergugat,
masing-masing dengan jumlah yaitu Penggugat pertama sebesar Rp.
20.143.896,00 ,Penggugat-2,3 dan 4 sebesar Rp.25.936.368,00 , dengan jumlah
keselurahan terggugat harus membayar Rp.90.050.00,00 (Sembilan puluh tujuh
juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu rupiah) dan meminta Tergugat untuk
membayar secara tunai THR (Tunjangan Hari Raya) tahun 2014 kepada para
Penggugat 2,3 dan 4 sebesar Rp.804.510,00 dengan total yang harus dibayarkan
sebesar Rp,2.413.530,00 dan Tergugat diminta untuk membayar dwangsom (uang
paksa) sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari atas keterlambatan
pelaksanaan/eksekusi atas putusan ini apabila telah berkekuatan hukum tetap dan
final (inkracht).
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Putusan Tingkat I Nomor
75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG
Dari gugatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan putusan sebagai
berikut, yakni:
3. Menyatakan kontrak kerja yang disepakati Penggugat dan Tergugat
sah menurut hukum;
4. Menyatakan para Penggugat Putus Hubungan Kerja karena
berakhirnya kontrak kerja untuk Sdr.Dasep Awaludin terhitung
tanggal 30 September 2014 dan untuk Sdr.Nana Suhendra,
Sdr.Roby Mulyana, Sdr.Sandi Suandi terhitung tanggal 30 Juni
2014;
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut,
yaitu:
a. bahwa yang menjadi pokok proses produksi PT. ASIA
HEALTH NERGY BEVEPxAGES adalah minuman
Kratindaeng, Torpedo dan Isotonik, sedangkan pekerjaan muat
barang kedalam Container / Truk (mobil ekspedisi) yang dikerjakan
para Penggugat di Gudang adalah pekerjaan untuk menunjang
atau mensupport usaha pokok Tergugat dalam proses produksi
Kratindaeng, Torpedo dan Isotonik;
b. bahwa sebagai mana pertimbangan tersebut diatas. dimana para
Penggugat bekerja di Gudang Jadi dan bekerja sebagai Helper
pada bagian Gudang Jadi membantu manaikan barang ke
Mobil ekspedisi setelah diturunkan dari kendaraan Forklift,
maka terhadap pekerjaan tersebut akan dipertimbangkan
terhadap unsur-unsur sebagaimana termuat alam penjelasan pasal
59 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut :
1) Unsur terus menerus; Perusahaan Tergugat sebagai perusahaan
yang memproduksi minuman Kratindaeng, Torpedo, Isotonik
dan untuk kepentingan distribusi (delivery) maka pekerjaan
di bagian Gudang Jadi dapat dilakukan terus menerus, akan
tetapi spesifikasi pekerjaan para Penggugat tidak permanen
karena disesuaikan dengan kebutuhan dan terkadang tidak muat
barang yang didukung bukti T-9a,T-9b,T-9c, T-9d;
2) Unsur tidak terputus-putus dan tidak dibatasi oleh waktu;
Bahwa sepanjang kegiatan pokok Tergugat sebagaimana
tersebut diatas berjalan dan ada kontrak penjualan, maka
pekerjaan di Gudang Jadi tidak akan terputus-putus, akan
tetapi terkadang tidak menaikan barang ke mobil ekspedisi;
3) Unsur merupakan bagian dari suatu proses produksi;
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang produksi
minuman Kratindaeng, torpedo dan Isotonik, maka
pekerjaan yang dilakukan para Penggugat di Gudang Jadi
Tergugat, jelas bukan merupakan bagian dari suatu proses
produksi;
4) bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka
haruslah dinyatakan pekerjaan para Penggugat Sdr. DASEP
AWALUDIN, dkk. (4 orang) sebagai Helper di Gudang Jadi
(menaikan barang ke mobil ekspedisi setelah diturunkan dari
Forklift), patut dikualifikasikan sebagai pekerjaan yang bersifat
tidak tetap;
5) sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1) dan (2)
bersifat nomatif limitatif, sehingga pekerjaan yang dilakukan
para penggugat Sdr. DASEP AWALUDIN, dkk. (4 Orang) di
Gudang Jadi, secara nomatif limitatif tidak melanggar
ketentuan pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun
2003 maka Majelis berpendapat Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu untuk para Penggugat yang bekerja di Gudang
Tergugat dapat dibenarkan menurut hukum;
Atas Putusan pertimbangan Hukum dari Majelis Hakim pada Putusan
Tingkat I I NO 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG tersebut yang menolak terhadap
gugatan pemohon mengenai Perjanjian Kerja Tertentu yang secara hokum
harusnya berubah menjadi perjanjian Kerja TIdak Tertentu, maka Penggugat
mengjukan ke tingkat Kasasi. Karena dimana para penggugat merasa hakim tidak
melihat fakta-fakta yang ada di dalam persidangan dan juga melihat bagaimana
keterangan saksi yang telah diberikan.
Saksi Penggugat
a. ABDUL MANAF
1. Bahwa bagian gudang pekerjaanya memuat barang ke dalam
container/truk;
2. Bahwa bagian gudang ada sejak perusahaan berdiri dan bagian gudang
tidak pernah berhenti;
3. bahwa ketika di PHK bagian gudang digantikan oleh oleh lain;
4. bahwa di bagian gudang ada karyawan yang berstatus karyawan yang
statusnya tetap, karyawan tetap mendapatkan makan kalau karyawan
harian tidak dapat makan;
b. DODI
1. Bahwa saksi bekerja di gudang jadi yang pekerjaanya memasukan
barang dari gudang ke mobil;
2. Bahwa jenis pekerjaan itu untuk menyusunya harus memerlukan
tenaga manusia;
3. Bahwa untuk diliburkan tidak ada, apabila ada bencana banjir di
Jakarta dimana tidak ada muatan maka pekerjaanya bersih bersih;
4. Bahwa Tergugat di PHK karena mengikuti demo kenaikan gaji;
5. Bahwa saksi mengetahui para karyawan yang ikut berdemo terkena
pecat. bahwa karyawan tetap di produksi mengerjakan isocup, torpedo,
dan kratingdeng.
Saksi Tergugat
e. Ujang Basri S.sos
1. Bahwa para Tergugat bekerja di bagian helper yang mengangkut
barang dari gudang ke container;
2. bahwa tidak ada pekerjaan di gudang apabila tidak ada angkutan ke
gudang;
3. bahwa untuk tenaga helper masih ada sampai sekarang dan kegiatan
helper masih berlangsung;
f. bahwa helper berdiri sejak tahun 2009.
g. Bambang Suharto
a. Bahwa tidak semuanya pegawai helper PKWT;
b. Bahwa pekerjaan di perusahaan terpengaruh pada musiman karena
produknya minuman jadi terpengaruh;
c. Bahwa makloon dengan kratindeng karena adanya kerjasama;
d. Bahwa para Penggugat di PHK dan menggantikan orang lain;
e. Bahwa tidak diberikan kepada para Penggugat untuk bekerja lagi
karena masih ada karyawan harian yang mengggagntinya;
f. Bahwa uang makan tidak diberikan kepada karyawan kontrak, khusus
untuk karyawan tetap.
3. Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi Nomor 745 K/Pdt.Sus-
PHI/2015
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Bandung mengabulkan permohonan gugatan dari Penggugat untuk
sebagian dan menolak eksepsi dari Tergugat. Karena tidak terima dengan Putusan
Hakim di Pengadilan negeri bandung tersebut maka penggugat pengajukan
banding di tingkat kasasi, dan Mahkamah Agung memberikan Putusanya sebagai
berikut :
Mengadili
a. Menolak Permohonan kasasi dari para pemohon kasasi : Dasep
Awaludin 2. Nana Suhendra 3. Robi Mulyana dan 4. Sandi Suandi;
b. Membebankan biaya perkara kepada NEGARA
Bahwa dalam pertimbangannya, Judex Facti pada pokoknya
menyatakan dan sepaham bahkan membenarkan pendapat dan dalil dari
Termohon Kasasi (sebelumnya Tergugat) yang menyatakan bahwa:
a. Pekerjaan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi/Para Penggugat
yaitu memuat barang, menyusun da merapikan posisi barang ke
dalamkontainer, sebelum dipasarkan/dikirim/didistribusi ke luar
Pabrik adalah tidak bersifat terus menerus;
b. Pekerjaan berdasarkan order/maklon;
c. Produksi bersifat fluktuatif;
d. Terkadang ada hari tidak muat;
e. Pemohon Kasasi/Para Tergugat selama ini tidak pernah mengajukan
keberatan terhadap perjanjian kontrak tersebut;
f. Maka atas dasar pertimbangannya tersebut, Judex Facti menilai dan
menganggap bahwa hubungan kerja yag bersifat kontrak (PKWT)
antaraPemohon Kasasi/Para Penggugat dengan Termohon Kasasi
(dahulu Tergugat) tersebut adalah tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang Undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003 sehingga dinyatakan sah;
g. Demikian pula dengan tindakan PHK yang dilakukan oleh
permohonKasasi / Tergugat terhadap Para Pemohon Kasasi/Para
Penggugat adalah dikarenakan telah beakhirnya masa kontrak tersebut;
C. ANALISIS
1. Penerapan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Putusan Tingkat I
Nomor 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG
Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim mendefisinikan
mengenai pekerjaan yang telah dikerjakan oleh para penggugat tidak bersifat terus
menerus. berdasarkan pertimbangan tersebut Hakim berpendapat bahwa
Penggugat yang menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terhadap Sdr.
DASEP AWALUDIN, dkk. (4 Orang) melanggar ketentuan pasal 59 UU No. 13
Tahun 2003 haruslah ditolak dan berdasarkan fakta di persidangan tidak
ditemukan bukti para Penggugat menolak atau mempermasalahkan kontrak
kerja dengan Tergugat, tetapi tetap melakukan pekerjaan yang diperjanjikan
(PKWT) sampai dengan kontrak kerja berakhir. Sehingga secara hukum
telah memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH.Pdt. Jo. pasal 1338 KUH.Pdt,
dan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 61 ayat (1)
huruf (b) UU No. 13 Tahun 2003, haruslah dinyatakan para Penggugat Putus
Hubungan Kerja karena berakhirnya kontrak kerja (PKWT) untuk 1.
DASEP AWALUDIN, putus hubungan kerja terhitung tanggal 30 September
2014; 2. NANA SUHENDRA, putus hubungan kerja terhitung tanggal 30
Juni 2014; 3. ROBI MULYANA, putus hubungan kerja terhitung tanggal 30
Juni 2014; 4. SANDI SUANDI, putus hubungan kerja terhitung tanggal 30 Juni
2014;
Sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 59 ayat (2) UU No.13 Tahun
2003 adalah bersifat kumulatif, maka dengan tidak terpenuhi salah satu
unsurnya, sehingga pekerjaan tersebut di kualifikasikan menjadi pekerjaan yang
bersifat tidak tetap; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
diatas maka haruslah dinyatakan pekerjaan para Penggugat Sdr. DASEP
AWALUDIN, dkk. (4 orang) sebagai Helper di Gudang Jadi (menaikan barang ke
mobil ekspedisi setelah diturunkan dari forklift), patut dikualifikasikan sebagai
pekerjaan yang bersifat tidak tetap;
Dilihat dari paparan di atas penulis tidak setuju dengan pertimbangan
hakim di dalam putusan tersebut karena penulis menilai pertimbangan hakim
tersebut sedikit mengabaikan fakta di dalam persidangan. Bahwa berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap selama jalannya persidangan, maka sangat jelas,
pendapat dan pertimbangan tersebut adalah bertentangan dengan fakta-fakta
yang di ajukan di dalam persidangan sehingga perjanjian kerja tersebut
bertentangan pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dimana pasal 59 berbunyi sebagai berikut :
Untuk ayat yang pertama,”Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu”.
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dari pasal 59 ayat (1) tersebut sudah jelas apabila pekerjaan yang
dilakukan oleh para penggugat tidak memenuhi unsur sebagai perjanjian kerja
waktu tertentu hal ini dikarenakan Pekerjaan yang dilakukan oleh Para
Penggugat dan karyawan-karyawan lainnya di bagian gudang adalah benar-
benar pekerjaan yang bersifat terus menerus atau sifatnya tidak sementara
karena pekerjaan tersebut tidak pernah berhenti dalam waktu tertentu, tidak
juga yang bersifat sekali selesai, sementara sifatnya atau bersifat musiman, karena
pekerjaan di Gudang jadi ini merupakan tempat dikumpulkannya seluruh
produk dari Perusahaan Tergugat sebagai bagian akhir dari proses produksi
sebelum produk-produk tersebut dipasarkan dan dikirim ke luar. Setiap produk
yang dihasilkan dipastikan akan masuk ke Gudang. Bagian ini dibentuk
sejak pabrik Tergugat berdiri dan sampai sekarang bagian (dengan segala
aktivitas yang ada di dalamnya) tersebut, masih tetap ada dan berproses.
Mulai dari sejak Pabrik itu berdiri sampai saat ini, pekerjaan di bagian
tersebut masih tetap berjalan/berproses. Pekerjaan tersebut adalah bagian dari
suatu rangkaian proses produksi. Adapun order/ pemesanan yang bersifat
fluktuatif, tidak berpengaruh terhadap proses kerja yang dilakukan oleh para
karyawan. Faktanya para karyawan (termasuk Para Pemohon Kasasi/Para
Penggugat), tetap masuk dan bekerja secara normal. Demikian pula tentang
istilah “hari tidak muat”, karyawan tetap saja masuk seperti biasa, bahkan
mengerjakan pekerjaan lain. Fakta ini diakui dan diperkuat oleh keterangan
semua saksi yang dihadirkan di persidangan dan tidak satupun yang membantah.
Setelah penulis menelitinya dengan seksama dan mencari dari beberapa
sumber penulis menemukan bahwa apabila Dilihat dari kegiatan produksi yang
dilakukan oleh perusahaan, PT. AHEB termasuk dalam Proses produksi yang
terus – menerus. Hal ini dikarenakan proses produksi yang dilakukan berdasarkan
pada ramalan penjualan dan bukan kepada jumlah pesanan yang masuk. Proses
produksi yang terus-menerus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar,
sehingga jumlah produk yang dibuat pada umumnya banyak15
. Adapun order/
pemesanan yang bersifat fluktuatif, tidak berpengaruh terhadap proses kerja
yang dilakukan oleh para karyawan. Faktanya para karyawan (termasuk Para
Pemohon Kasasi/Para Penggugat), tetap masuk dan bekerja secara normal.
Demikian pula tentang istilah “hari tidak muat”, karyawan tetap saja masuk
seperti biasa, bahkan mengerjakan pekerjaan lain. Fakta ini diakui dan
diperkuat oleh keterangan semua saksi yang dihadirkan di persidangan. Melihat
dari paparan saksi yang telah di persilahkan untuk memberikan
kesaksian/keterangan yaitu Abdul Manaf yang mana menyebutkan bagian gudang
ada sejak perusahaan berdiri dan bagian gudang tidak pernah berhenti, ini berarti
kegiatan di bagian gudang ini masih berlangsung sampai Tergugat habis masa
kerjanya dan ketika para Penggugat di PHK bagian gudang ini telah digantikan
oleh pekerja lain. Saksi dari Tergugat pun memberikan keterangan “bahwa untuk
tenaga helper masih ada sampai sekarang dan kegiatan helper masih berlangsung”
kesaksian ini juga membuat penulis semakin yakin bahwa bagian gudang jadi ini
sebagai bagian akhir dari proses produksi milik perusahaan Tergugat yang
berlangusng secara terus menerus dan tidak bersifat musiman. Maka jelas
pekerjaan Penggugat di bagian gudang jadi ini bertentangan Udang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian tersebut juga
bertentangan dengan Undang-Undang Pasal 59 ayat (2) tentang Ketenagakerjaan
yang berbunyi “Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap”.
15
http://aquapentastick.blogspot.co.id/
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah
pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu
dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau
pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan
yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca
atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka
pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan
tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu. Dari pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa PKWT itu tidak dapat dipakai untuk pekerjaan
yang bersifat tetap atau bersifat terus menerus. Pekerjaan yang di lakukan
penggugat menurut penulis merupakan pekerjaan yang bersifat tetap atau
berlangsung secara terus menerus, karena dimana perusahaan ini sudah ada sejak
Tahun 1996 dan pekerjaan itu masih tetap ada sampai sekarang. Artinya sudah
hampir 20 tahun. Jauh melebihi waktu 3 Tahun yang diatur dalam Pasal tersebut.
Adapun apabila pekerjaan para penggugat ini dihentikan maka menurut penulis
hal ini akan mengganggu berjalanya proses produksi, bagaimana tidak, ketika
barang yang menumpuk di gudang dan barang itu tidak dapat didisitribusikan ke
pasar, maka hal ini akan mengganggu berjalanya kegiatan produksi di perusahaan
tergugat. Hal ini juga diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.233/men/2003 tentang jenis dan sifat pekerjaan yang
dijalankan secara terus menerus yaitu pada pasal 3 ayat (1) huruf k yang
menyatakan beberapa jenis pekerjaan yang bersifat terus menerus itu pekerjaan-
pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak
bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.
Menurut penulis perjanjian kerja yang telah dibuat oleh penggugat dan
tergugat telah melanggar pasal Pasal 59 Ayat (3), (4) dan (5) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut :
“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”
“Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya
boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”.
. Pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk pekerjaan yang bersifat
sementara ini hanya boleh diperpanjang selama satu kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun dan hanya boleh diperbaharui sebanyak 1 kali dan
untuk jangka waktu 2 (dua) Tahun. disini Tergugat melakukan pembaharuan
kontrak kerja sebanyak enam kali kontrak kerja dengan masa kerja pertama yaitu
Dari tgl.09 Desember 2008 s/d 31 Mel 2009, dilanjutkan dengan Kontrak kedua :
Dari tgI 01 Juni 2009 s/d 30 November 2009, setelah kontrak kedua berakhir
dilakukan Kontrak ketiga Dari tgI 01 Juni 2010 s/d 31 Mei 2011 berakhirnya
kontrak kerja ketiga dilanjutkan dengan Kontrak keempat Dari tgI 01 Juni 2011
s/d 31 Mei 2012 selanjutnya dilakukan Kontrak kelima : Dari tgI 01 Oktober 2012
s/d 30 September 2013 dan dilanjutkan dengan kotrak kerja keenam : Dari tgI 01
Oktober 2013 s/d 30 September 2014 yang merupakan kontrak kerja
terakhir.kemudian tegugat di PHK pada Tgl. 30 September 2014. Dilihat dari
bagaimana proses perpanjangan atau pembaharuan Perjanjian Kerja yang
dilakukan tergugat terhadap penggugat Penggugat ini jelas-jelas sudah melanggar
pasal 59 ayat (4),(5) dan (6), karena perjanjian yang telah disepakati kedua belah
pihak ini sudah diperpanjang atau diperbaharui sebanyak enam kali, apabila
dilihat dari pasal tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu hanya boleh diperpanjang atau diperbaharui sebanyak satu kali saja dan
perjanjian ini harus memilih apakah ingin memperpanjang atau diperbaharui
karena di dalam pasal tersebut bersifat opsional, hanya bias memilih salah satu
apakah ingin diperpanjang dan diperbaharui. Apabila ingin memperpanjang
perjanjian tersebut hanya bias satu kali untuk jangka waktu satu tahun sehingga
total dari kontrak dan perpanjangan tersebut berjumlah 3 (tiga) tahun, dan apabila
ingin memperbaharui itu hanya bias untuk 1 (satu) kali perpanjngan dan dengan
jangka waktu 2 tahun sehingga total dari hasil pembaharuan kerja ini selama 4
(tahun) masa kerja. jika dilihat dari kasus tersebut penggugat telah bekerja selama
tujuh tahun dan ini jelas-jelas bertentangan dengan pasal 59 ayat (4),(5), dan (6)
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sehingga menurut Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Karena sudah jelas apabila pekerjaan yang dilakukan oleh para penggugat
telah memenuhi unsur sebagai perjanjian kerja waktu tertentu hal ini dikarenakan
Pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat dan karyawan-karyawan
lainnya di bagian gudang adalah benar-benar pekerjaan yang bersifat terus
menerus atau sifatnya tidak sementara karena pekerjaan tersebut tidak pernah
berhenti dalam waktu tertentu, tidak juga yang bersifat sekali selesai, sementara
sifatnya atau bersifat musiman, karena pekerjaan di Gudang jadi ini merupakan
tempat dikumpulkannya seluruh produk dari Perusahaan Tergugat sebagai
bagian akhir dari proses produksi sebelum produk-produk tersebut dipasarkan
dan dikirim ke luar. Setiap produk yang dihasilkan dipastikan akan masuk ke
Gudang. Bagian ini dibentuk sejak pabrik Tergugat berdiri dan sampai
sekarang bagian (dengan segala aktivitas yang ada di dalamnya) tersebut,
masih tetap ada dan berproses. Dan kontrak yang telah disepakati oleh
penggugat dan tergugat telah melanggar ketentuan Undang-Undang yaitu 59 ayat
(1), (2), (4), (5), dan (6) maka dengan tidak terpenuhinya semua unsur-nsurnya,
sehingga pekerjaan tersebut di kualifikasikan menjadi pekerjaan yang bersifat
tetap dan demi hukum perjanjian tersebut seharusnya berubah menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi Nomor 745
K/Pdt.Sus-PHI/2015 dengan Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian
Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Penulis tidak sependapat dengan Putusan Hakim tingkat kasasi
dimana para Penggugat tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran
ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Karena jika
dilihat mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melakukan
Perjanjian Kerja waktu Tertentu Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang telah di sepakati oleh
penggugat dan tergugat tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai
perjanjian kerja waktu tertentu, karena pekerjaan yang dilakukan oleh
penggugat merupakan pekerjaan yang bersifat terus menerus atau berisifat
tetap, bukan merupakan pekerjaan yang bersifat sekali selesai yang hanya
membutuhkan waktu paling lama 3 tahun, disini penggugat pertama sudah
bekerja di perusaahaan tergugat selama 7 tahun lamanya, dan untuk
perpanjangan atau pembaharuan perjanjian kerja yang telah dibuat kedua
belah pihak terbukti telah bertetangan dengan Undang-Undang karena
perpanjangan hanya bisa dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali selama
satu tahun saja atau dapat diperbaharui sebanyak 1 (satu) kali selama 2
tahun saja. Jadi perpanjangan atau pembaharuan ini bersifat optional yang
mana harus memilih apakah akan diperpanjang atau diperbaharui dan
itupun hanya satu kali saja. Dilihat dari proses pembaharuan atau
perpanjangan yang telah di lakukan oleh pengguat satu dengan pengusaha
tersebut dimana telah diadakan perpanjangan atau pembaharuan perjanjian
kerja sebanyak 6 kali. Jadi dengan tidak terpenuhinya semua unsur-unsur
sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu maka pekerjaan tersebut di
kualifikasikan menjadi pekerjaan yang bersifat tetap dan demi hukum
perjanjian tersebut seharusnya berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu.