TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN...

23
1 TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah ”Sengketa Pilkada” adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan ”sengketa pilkada”? 2. Apa dasar hukum sengketa pilkada itu? 3. Apa yang merupakan ”pangkal sengketa pilkada”? 4. Bagaimana hukum acara penyelesaian sengketa pilkada itu? 5. Studi Kasus di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi. A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “ Ubi Societas Ibi Ius ” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. 3 Kaidah berguna untuk menyelaraskan ti ap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di 1 Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD. 2 Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD. 3 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum ( Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9.

Transcript of TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN...

Page 1: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

1

TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)1

Oleh :

Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum2

Beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah ”Sengketa Pilkada”

adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan ”sengketa pilkada”?

2. Apa dasar hukum sengketa pilkada itu?

3. Apa yang merupakan ”pangkal sengketa pilkada”?

4. Bagaimana hukum acara penyelesaian sengketa pilkada itu?

5. Studi Kasus di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.

A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”.

Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring

dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir

berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli

filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada

masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya

hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau

norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. 3 Kaidah

berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di

1 Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL

GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD.

2 Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD. 3 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum ( Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9.

Page 2: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

2

masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu

dengan yang lainnya.

Menurut Van Kan4, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan

kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan

dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-

kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan :

1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi

kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak

mempunyai sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan.

2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara

keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam

bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lain-lain.

Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan

di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai sifat pemaksa

artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh

hukum untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan

dimasukan ke penjara agar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan

ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan.

Kaidah hukum juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan

berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berhubungan dengan manusia sebagai

anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, hukum mulai mengatur dari

manusia itu dilahirkan sampai meninggal dunia. Hukum juga mengatur tentang

4 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia

Indonesia, 1982) hlm. 7-17.

Page 3: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

3

kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi

administrasinya, hak-hak dan lain-lain.

Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka hukum pun

akan turut mengimbanginya. Dengan demikian pendapat Cicero berabad-abad yang lalu

itu adalah benar, karena hanya dalam masyarakat hukum itu berada/diperlukan. Ingat

cerita Robinson Crosso yang hidup sendirian di sebuah pulau yang jelas tidak

memerlukan hukum karena tidak mungkin kepentingannya bertabrakan dengan

kepentingan orang lain.

Dengan demikian “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan

kepentingan yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya

dalam peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”. Dari batasan ini

akan muncul juga pertanyaan : Seperti apa benturan kepentingan yang terjadi itu?

Berdasarkan hasil observasi dari berbagai kasus yang terjadi, yang menjadi sumber atau

pangkal sengketa adalah karena masalah perhitungan suara. Calon yang kalah biasanya

tidak mau mengakui perolehan suara lawannya. Hal yang umum juga terjadi adalah

kebanyakan sengketa karena perolehan suara tidak terlalu jauh beda seperti yang terjadi

di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya apa yang dimaksud dengan peristiwa hukum pemilihan kepala daerah

itu? Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang

Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil

Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan

rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan

Page 4: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

4

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala

daerah dan wakil kepala daerah.

B. Dasar Hukum ”Sengketa Pilkada”.

Sebagai dasar hukum yang tertinggi untuk masalah sengketa pilkada ini adalah

dimulai dari Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 18 (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah

provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Dasar hukum selanjutnya adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat,

memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk

menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung

dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah. Kemudian ayat (2) menyatakan : Keberatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang

mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan : Pengajuan keberatan

kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada

Page 5: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

5

pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan

kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

kabupaten/kota.5 Ayat (4) menyatakan : Mahkamah Agung memutus sengketa hasil

penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14

(empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan

Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan : Putusan Mahkamah

Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6)

menyatakan : Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus

sengketa perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten

dan kota. Ayat (7) menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada

ayat (6) bersifat final.6

Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94

selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan

calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah

penetapan hasil pemilihan.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil

perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

5 Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (3), dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan

negeri, pengajuan keberatan dapat dosampaikan ke DPRD. 6 Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (7), Putusan pengadilan tinggi yang bersifat final dalam

ketentuan ini adalah putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.

Page 6: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

6

(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota.

(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak

diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.

(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan

mengikat.

(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa

hasil perhitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan

mengikat.

Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun

2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil

Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

C. Pangkal Sengketa Pilkada.

Pangkal sengketa adalah objek atau wilayah kompetensi yang dapat dikategorikan

sebagai sengketa pilkada. Pangkal sengketa ini kerap disalahartikan oleh para penegak

hukum. Hal ini disinyalir pula oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang meminta

Page 7: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

7

perlunya kehati-hatian pengadilan tinggi dalam memberikan putusan permohonan

gugatan yang berkaitan dengan Pilkada. “Wewenang pengadilan tinggi hanya pada proses

hukum hasil akhir pemilihan dan pemungutan suara,” kata Bagir Manan saat meninjau

proses peradilan gugatan terhadap KPU Binjai di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, di

Medan, Rabu (13/7/2006).

Bagir Manan menjelaskan, bila mengenai permasalahan di luar penetapan hasil

akhir proses pemilihan dan pemungutan suara, seperti tidak terdaftar pemilih,

kecurangan, ada proses lain yang dilalui. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-

bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk

kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat

kepolisian. "Kalau terbukti, diproses secara pidana," kata Bagir Manan. Bagir Manan

menambahkan, bila ancaman pidananya kurang dari 18 bulan diputuskan oleh pengadilan

negeri, dan tidak terdapat banding dan kasasi. Bila lebih dari 18 bulan, dapat diputuskan

oleh pengadilan negeri dan diperbolehkan banding di tingkat pengadilan tinggi dan juga

tidak bisa kasasi.

Hal ini dijelaskan Bagir Manan karena selama tinjauannya di beberapa daerah

yang melaksanakan peradilan tentang gugatan pilkada di pengadilan tinggi, banyak yang

tidak memenuhi syarat diadili di tingkat pengadilan tinggi sehingga keputusan akhirnya

ditolak. "Mungkin saja kuasa hukumnya tidak mengerti," ujarnya.

Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya

berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan

calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005

Page 8: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

8

Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada

Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas

menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil

perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara

calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000

sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan

saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000.

Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan

di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti

perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah

KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan

keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena

kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD.

Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar

sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung

dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka

proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran

pemilih, money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan

MA dan Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia

pengawas pilkada dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.

Page 9: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

9

Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil, yang menjadi “pangkal

sengketa pilkada” adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang

mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

D. Hukum Acara Penyelesaian ”Sengketa Pilkada”

Bagaimana dengan penyelesaian hasil pilkada oleh Pengadilan Tinggi yang

mendapat delegasi dari Mahkamah Agung? Menurut Indra Perwira7, sejak

dikembangkannya konsep “check and balances system” di negara-negara demokrasi,

kewenangan badan peradilan sebagai salah satu cabang kekuasannya yang merdeka, tidak

lagi terbatas hanya memutus persoalan-persoalan hukum melainkan berkembang

sedemikian rupa sehingga dapat menilai dan membatalkan putusan-putusan atau

tindakan-tindakan baik dari badan legislatif maupun dari badan eksekutif. Kewenagan ini

dikenal dengan istilah “judicial review” yang secara umum berakar dari dua konsep

pemikiran. Konsep pertama, didasarkan untuk kepentingan melindungi konstitusi

sedangkan pemikiran kedua untuk melindungi hak asasi. Di Indonesia judicial review ini

dikenal dengan istilah “hak menguji”

Tiap-tiap negara meletakan kewenangan “judicial review” tersebut berbeda-beda,

Ada yang memberikan kewenangan itu kepada seluruh badan peradilan, atau hanya

kepada badan peradilan tertinggi seperti Mahkamah Agung (Supreme Court) atau kepada

badan peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi.

Di Indonesia kewenangan “judical review” tersebut tersebar dibeberapa badan

peradilan. Untuk menguji undang-undang sengketa kewenangan lembaga negara dan

perselisihan hasil pemilihan umum berada pada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan

7 Indra Perwira, Kewenangan Memutus Persoalan Politik, Pikiran Rakyat, Senin (Pahing) 8 Agustus 2005, hlm. 23.

Page 10: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

10

untuk menguji peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan dibawah

undang-undang berada pada Mahkamh agung. Kewenangan untuk menguji tindakan dan

putusan-putusan administrasi negara berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),

sementara untuk perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada)

oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberikan

kepada Mahkamah Agung, namun kewenangan itu oleh Mahkamah Agung dapat

didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi.

Apa sebenarnya hakekat dari delegasi itu dari sudut hukum administrasi? Delegasi

adalah salah satu bentuk kewenangan pelimpahan. Kewenangan pelimpahan yang

satunya lagi adalah mandat. Perbedaan antara delegasi dan mandat dilihat dari segi :8

1. Prosedur Pelimpahan

- Delegasi

Yakni dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan disertai

peraturan perundang-undangan.

- Mandat

Yakni dalam hubungan rutin atasan-bawahan.

2. Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat

- Delegasi

Yakni tanggung jawab dan tanggung gugatnya beralih pada delegataris (yang

diberi pelimpahan wewenang), tidak lagi berada di pihak delegan (yang

memberi wewenang).

- Mandat

8 Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Tata Pemerintahan, Bandung : P4H, Februari 2006, hlm.

114-115.

Page 11: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

11

Yakni mandataris tidak memiliki tanggung jawab terhadap pihak luar.

Sedangkan yang bertanggung jawab adalah orang yang memberi mandat

(mandan).

3. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi

- Delegasi

Yakni tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada

pencabutan dengan berpegang kepada asas “Contrarius Actus”.

- Mandat

Yakni setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang

dilimpahkannya itu.

Selanjutnya dalam penyelesaian sengketa pilkada tidak bisa dilepaskan dari akan

adanya masalah pembuktian. Yang dimaksud dengan membuktikan ialah menyatakan

untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan.9

Berdasarkan analisis dari beberapa kasus sengketa pilkada nampak majelis hakim

menggunakan alat bukti seperti pada kasus perdata atau Peradilan Tata Usaha Negara

yaitu yang diutamakan adalah Bukti Surat dan Saksi. Hal ini sesuai pula dengan Perma

No. 2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan

Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana

disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku

hukum acara perdata.

9 lihat Kurdiato, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Surabaya :

Usaha Nasional,1991, hal. 11.

Page 12: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

12

Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg

dan Pasal 1866 BW, sebagai berikut :10

1. Bukti Surat.

2. Bukti Saksi.

3. Persangkaan-persangkaan.

4. Pengakuan.

5. Sumpah.

Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur menurut Pasal 184 KUHAP

sebagai berikut :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Dalam Peradilan TUN berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No. 5 Tahun 1986,

dikenal 5 macam alat bukti, yaitu :

1. surat atau tulisan;

2. keterangan ahli;

3. keterangan saksi;

4. pengakuan para pihak

5. pengetahuan hakim.

10 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1986) hal.65.

Page 13: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

13

Selanjutnya hal yang menjadi persoalan ”krusial” dari hukum acara penyelesaian

sengketa pilkada adalah masalah upaya hukum. Apa yang dimaksud oleh Ayat (7) UU

No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) bersifat final?

Terhadap persoalan ini ada beberapa pendapat seperti dari CETRO (Centre for

Electoral Reform) yang menyatakan :11 Walaupun oleh Pasal 106 ayat (7) dikatakan

FINAL tapi TIDAK MENGIKAT karena UU No. 32 Tahun 2004 tidak jelas-jelas

menyebutnya mengikat.

Penulis tidak setuju dengan pernyataan CETRO tersebut di atas, sebab kalau

sudah dinyatakan final itu artinya adalah sudah mengikat juga atau inkracht van gewij.

Memang UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutnya mengikat tetapi dalam Pasal 94 ayat

(7) PP No. 6 Tahun 2005 disebutkan mengikat.

Tetapi akhirnya memang persoalan “final” dan tidak ini mengemuka juga pada

kasus pilkada Kota Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jabar ternyata dapat ditinjau

kembali oleh Mahkamah Agung yang hasilnya merupakan pembatalan terhadap Putusan

Pengadilan Tinggi Bandung. Inilah yang menurut penulis telah terjadi di negeri ini

ketidakkonsistenan melaksanakan bunyi aturan hukum.

Adapun alasan MA menerima PK dari KPUD Kota Depok ini menurut Djoko

Sarwoto (salah satu Hakim Agung yang memutus PK) menyadari ada dua aspek yang

timbul dalam perkara sengketa Pilkada Depok ini adalah :

Pertama, dari aspek prosedural ia mengakui UU No.32/2004 tidak memperkenankan

adanya upaya hukum lain. Namun, dalam perjalanannya, muncul aspek kedua, yakni rasa

11 CETRO, Pernyataan Pers, Putusan Final Tetapi Tidak Mengikat, Acrobat Reader, Jakarta 5

Agustus 2005.

Page 14: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

14

keadilan. Para hakim agung, menurut Djoko, berpendapat rasa keadilan yang harus

diutamakan. Djoko melanjutkan, secara teknis yuridis harus pula diperhatikan Perma No.

2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil

Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana

disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku

hukum acara perdata. Meski majelis memutus secara bulat, atau tidak ada dissenting

opinion (pendapat berbeda), Djoko mengungkapkan sempat muncul wacana adanya

kekhawatiran anggapan MA melanggar UU. “Ada yang menyarankan agar ini

diselesaikan lewat jalur pengawasan,” tuturnya.

Namun, terang Djoko, pada akhirnya semuanya sepakat bahwa pertimbangan

majelis cukup beralasan, dan upaya hukum PK bisa dipergunakan untuk memperbaiki

putusan. Dengan diterimanya PK KPUD Depok, pertanyaan menarik berikutnya adalah,

apakah MA akan menerima pengajuan PK terkait dengan sengketa Pilkada dari daerah

lain? Hal ini rupanya telah pula diantisipasi MA. Djoko mengemukakan, lembaganya

telah berhitung bahwa menerima PK KPUD Depok akan membawa konsekuensi

membanjirnya permohonan serupa dari daerah-daerah.

Namun, untuk mengantisipasinya, MA telah memberikan batasan permohonan PK

seperti apa yang bakal diterima atau ditolak. Batasan itu seperti disampaikan Djoko

adalah adanya kesalahan yang nyata. “Maka sepanjang tidak ada kesalahan nyata maka

permohonan PK tersebut tidak dapat diterima,” tukas Djoko.

Dengan demikian menurut penulis apa yang sudah dilakukan oleh Mahkamah

Agung ini bukan menjadi semakin adil malahan semakin membuka ketidakadilan dan

diskriminasi bagi justiabelen yang lain.

Page 15: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

15

E. Studi Kasus.

1. Kota Depok.

Pilkada di Kota Depok telah diselenggarakan pada tanggal 26 Juni 2005 dengan

ditetapkannya hasil akhir kemenangan calon pasangan Walikota, Nur Mahmudi Ismail-

Yuyun Wirasaputra. Namun, pada tanggal 16 Juli 2005 calon walikota yang berada pada

peringkat kedua yakni Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad mengajukan gugatan keberatan

atas Surat Ketetapan KPUD Depok No. 18 Tahun 2005 tentang penetapan walikota dan

wakil walikota Depok terpilih. Kemudian pengadilan Jawa Barat mengabulkan

permohonan gugatan dan membatalkan hasil perhitungan suara pada tanggal 4 Agustus

2005. Lewat pembuktian dari tim pencari fakta bahwa terdapat adanya penggelembungan

suara untuk pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, dimana ada warga

pemilih yang memiliki KTP luar kota Depok. Sedangkan untuk suara pasangan Badrul

Kamal-Sihabuddin Ahmad, didapati adanya penggembosan suara, yang mana ada

sebagian warga yang tidak bisa memilih karena tidak diberikan surat undangan. Masalah

Pilkada Depok ini bukanlah masalah local Depok, namun bisa jadi masalah nasional yang

krusial. Apabila tidak ditangani secara serius oleh pihak yang berwenang akan

menimbulkan masalah lain yang berkepanjangan.

Keputusan sengketa Pilkada Kota Depok dituangkan dalam keputusan Nomor

01/Pilkada/2005/PTBDG. Sedangkan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Sukabumi

dituangkan dalam putusan Nomor 02/Pilkada/2005/PT BDG.

Seperti diketahui, KPUD Kota Depok menetapkan pasangan Nur Mahmudi

Ismail-Yuyun Wirasaputra yang diusung Partai Keadilan Sejahtara (PK Sejahtera)

sebagai pemenang Pilkada langsung Kota Depok dengan perolehan suara 232.610 suara.

Page 16: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

16

Sedangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad yang diusung Partai Golkar

hanya mendapatkan 206.781 suara. Atas kekalahan itu, pasangan Badrul Kamal-

Syihabuddin kemudian menggugat KPUD Kota Depok yang dinilai telah melakukan

pelanggaran sehingga suara yang seharusnya mendukungnya hilang ke PT Jabar. Menurut

versi Badrul Kamal perolehan suara pihaknya seharusnya 269.531 suara sedangkan

pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra hanya 195.357 suara.

Melalui proses persidangan marathon, gugatan Badrul Kamal-Syihabuddin

Ahmad kemudian dikabulkan PT Jabar. Kemenangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun

Wirasaputra yang sudah ditetapkan KPUD Kota Depok kemudian dianulir PT Jabar

melalui putusan bernomor 01/Pilkada/2005/PT BDG.

Putusan yang kontroversial tersebut kontan saja memunculkan berbagai reaksi

keras dari berbagai kalangan praktisi hukum, pakar hukum tata negara termasuk kader

dan simpatisan PK Sejahtera. Bahkan Ketua Perkumpulan Bela Hukum Nusantara

(PBHN) Effendi Saman SH yang menurunkan tim selama proses Pilkada maupun

persidangan, menilai putusan tersebut tidak masuk akal. Menurut Effendi Saman, dalam

memutuskan perkara majelis hakim seharusnya jangan hanya menyandarkan kepada

keyakinannya saja, namun juga berdasarkan bukti materiil. Namun yang terjadi dalam

kasus sengketa Pilkada Kota Depok, majelis hakim hanya menyandarkan kepada

keterangan saksi-saksi yang diajukan pemohon tanpa dilakukan pembuktian di lapangan.

"Dalam perkara hukum satu saksi, seribu saksi atau sejuta saksi tetap saja statusnya hanya

satu alat bukti," katanya.

Selanjutnya KPUD Kota Depok melakukan peninjauan kembali (PK) ke

Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Desember 2005 telah

Page 17: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

17

memutus sengketa pemilihan wali kota Depok. Dalam amar putusannya, majelis

peninjauan kembali yang diketuai Parman Soeparman mengabulkan permohonan yang

diajukan KPUD Depok, sekaligus membatalkan putusan sengketa Pilkada No.1/2005

yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat 4 Agustus 2005.

Menurut Harifin Tumpa, anggota majelis, salah satu pertimbangan sehingga

mengabulkan permohonan KPUD Depok adalah PT Jabar dianggap melampaui

kewenangan yang sudah dibatasi oleh UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Itu

adalah kesalahan yang nyata,” tandas Harifin. Dijelaskannya, kewenangan pengadilan

menurut UU No.32/2004 adalah memeriksa hasil penghitungan suara yang sudah

dihitung oleh KPUD. Sedangkan putusan PT Jabar yang memenangkan pasangan Badrul

Kamal-A. Syihabuddin, mempertimbangkan penghitungan suara di luar yang telah

dibuat oleh KPUD. Penghitungan yang dipakai PT Jabar, menurut Harifin, adalah

tentang adanya penggelembungan dan pengurangan suara dalam pemilu.

Senada dengan Harifin, Djoko Sarwoko, anggota majelis lainnya menyatakan,

apa yang dipertimbangkan PT Jabar tersebut hanya berupa asumsi-asumsi. Djoko

mengatakan: “Dengan adanya putusan MA yang membatalkan putusan PT Jabar, maka

kembali ke nol lagi, kembali pada keputusan KPUD.”

2. Perbandingan Kasus Pilkada Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan pengamatan Dian Kusmana12, pelaksanaan pemilihan kepala daerah

(pilkada) di dua tempat di Jawa Barat yakni Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi yang

semula dinilai lancar dan sukses, ternyata menyisakan persoalan. Bahkan persoalan

12 Dian Kusmana, Menghindari Salah Kaprah Pengaduan Pilkada, Teropong PR, Senin, 1 Agustus 2005.

Page 18: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

18

lanjutan pascapilkada di dua tempat itu dibawa ke jalur hukum melalui pengaduan di

Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Mengikuti perjalanan dua kasus pengaduan pemilihan

kepala daerah tersebut di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dilihat sedikitnya ada dua hal

yang sepatutnya menjadi pelajaran bagi daerah lain di Jawa Barat yang akan

melangsungkan pemilihan kepala daerah.

Pelajaran pertama dari dua kasus pengaduan pemilihan kepala daerah di

Pengadilan Tinggi Jawa Barat adalah soal tenggang waktu. Pasal 106 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur soal

keberatan hasil pilkada menyebutkan "Keberatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah

Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah." Hal serupa juga dinyatakan pada Peraturan Pemerintah

No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Konsekuensi logis dari adanya aturan main ini adalah, bila

pasangan calon yang akan melayangkan keberatan atas hasil pemilihan (perhitungan

suara) maka harus diajukan pada tengat waktu tersebut. Di luar batas itu, berarti

pengajuan keberatan adalah tidak sah. Dari surat pengajuan keberatan yang dilakukan dua

pasangan calon dari Kabupaten Sukabumi dan Kota Depok, pengajuan keberatan dari

Kabupaten Sukabumi sudah disiapkan sebelumnya sehingga tanggal pengajuan keberatan

mereka (8 Juli 2005) bertepatan dengan hari dilakukannya penetapan hasil pemilihan

kepala daerah (penetapan hasil suara) oleh KPUD Sukabumi (8 Juli 2005). Sementara

untuk pengajuan keberatan dari Kota Depok dilakukan saat injury time yakni pada

tanggal 11 Juli 2005 dan diterima Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 12 Juli 2005,

Page 19: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

19

sedangkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah (hasil perhitungan suara) dilakukan

KPUD Depok pada 6 Juli 2005. Tak heran ketika kuasa hukum dari termohon yakni

KPUD Depok menganggap pengajuan keberatan yang dilakukan pemohon (calon Wali

Kota Depok) tersebut dianggap lewat batas waktu. Namun tentu saja, pemohon keberatan

beralasan mereka masih dalam batas tiga hari seperti yang diatur Undang-Undang karena

yang disebutkan dalam pasal 106 dengan batas waktu 3 (tiga) hari adalah "diajukan"

bukan "diterima". Selain itu tentu saja tanggal 9 dan 10 Juli 2005 tidak masuk hitungan

karena Sabtu dan Minggu tidak dianggap hari kerja.

Pelajaran kedua yang bisa diambil dari pengajuan keberatan yang dilakukan calon

dari Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi adalah soal materi keberatan yang akan

diajukan. Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya

berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan

calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah No. 6/2005

Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada

Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas

menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil

perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara

calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000

sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan

saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000.

Page 20: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

20

Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan

di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti

perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah

KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan

keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena

kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD.

Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar

sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung

dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka

proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran pemilih,

money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan MA dan

Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia pengawas pilkada

dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.

Akan halnya pengajuan keberatan yang dilayangkan dua pasangan calon dari Kota

Depok dan Kabupaten Sukabumi, terlihat adanya kekuranglengkapan dari materi yang

diajukan kedua calon. Kabupaten Sukabumi misalnya, ajuan keberatan tidak

mencantumkan kesalahan dari perhitungan yang diumumkan KPUD setempat serta

perhitungan suara yang benar menurut mereka, tentunya dengan disertai bukit-bukti.

Padahal, seperti diatur dalam pasal 3 ayat 5 (lima) dan 6 (enam) Peraturan Mahkamah

Agung No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan

terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD

Kabupaten/Kota disebutkan, (5) Keberatan yang diajukan oleh pemohon atau kuasa

hukumnya wajib menguraikan dengan jelas dan rinci tentang : (6) Kesalahan dari

Page 21: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

21

penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil penghitungan suara yang

benar menurut pemohon. Sedangkan pengajuan keberatan yang dilayangkan calon Wali

Kota dari Depok meski sangat banyak dengan bukti, namun banyak bercampur dengan

hal-hal yang bukan wewenang MA dan Pengadilan Tinggi dalam kasus sengketa Pilkada.

Misalnya, soal tuduhan politik uang yang dilakukan tim sukses salah satu calon dengan

menyumbang bahan bangunan untuk pembangunan rumah ibadah pada hari H

pelaksanaan ataupun upaya menghalangi orang untuk melakukan pencoblosan. Hal ini

sebenarnya diatur tersendiri pada Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah yang termaktub pada Pasal 115 - 119 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Daerah.

3. Kasus Kabupaten Bandung.

Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat menolak gugatan pasangan calon bupati

Kabupaten Bandung Dudin Sadudin dan Ridho Budiman Utama, Selasa (29/11/2005).

Dengan demikian, tuduhan penggugat bahwa telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan

pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah itu dinyatakan tidak terbukti. Dalam amar

putusannya, majelis hakim yang diketuai Maryatmo menolak semua eksepsi penggugat

kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bandung, selaku

penyelenggara pilkada. Yang menjadi pangkal penolakan gugatan, kata Maryatmo,

karena gugatan yang diajukan Pasangan Dudin-Ridho kabur dan tidak jelas.

"Bukti surat yang diajukan penggugat tidak mampu membuktikan, serta

mempengaruhi hasil perhitungan suara yang signifikan," kata majelis hakim. Selain itu,

lanjut Maryatmo, pihak penggugat tidak mampu menerangkan secara detail tentang

Page 22: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

22

banyaknya surat suara yang tidak sah. Begitu juga, para saksi yang dihadirkan dalam

persidangan tidak secara eksplisit menerangkan adanya kesalahan dalam proses

perhitungan suara. "Atas dasar itu majelis hakim menolak gugatan penggugat.

"Sementara itu menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum pasangan Dudi-Ridho, Makky

Yuliawan mengatakan, putusan sidang cenderung lebih menonjolkan persepsi ketimbang

bukti-bukti. "Meski kami telah mengajukan sebanyak 25 saksi, namun majelis hakim

tetap tidak menggubrisnya. Ini bukti, sidang ini hanya menonjolkan persepsi," tegasnya

seraya menambahkan pihak tergugat juga tidak mampu memberikan pembuktian terbalik

atas bukti yang diajukannya. Jika tergugat tidak bisa membuktikan, seharusnya

persidangan dimenangkan penggugat. Untuk sekarang ini, kata Makky, pihaknya akan

berkonsolidasi, termasuk mengevaluasi seluruh argumen yang diberikan di persidangan.

Kesimpulan

1. “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang

terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam peristiwa

hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”.

2. Pangkal sengketa pilkada adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara

yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

3. Dari analisis kasus didapatkan bahwa alat bukti utama untuk membuktikan dalil

dalam sengketa pilkada adalah bukti surat dan saksi.

Page 23: TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/tinjauan_teoritis... · A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. ... 3 Soerjono Soekanto,

23

DAFTAR PUSTAKA

CETRO, Pernyataan Pers, Putusan Final Tetapi Tidak Mengikat, Acrobat Reader,

Jakarta 5 Agustus 2005. Dian Kusmana, Menghindari Salah Kaprah Pengaduan Pilkada, Teropong PR, Senin, 1

Agustus 2005. Hukum.online.com., Jum’at 17 Nopember 2006. Indra Perwira, Kewenangan Memutus Persoalan Politik, Pikiran Rakyat, Senin (Pahing)

8 Agustus 2005. J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum , Jakarta : PT Pembangunan

Ghalia Indonesia, 1982. Kurdiato, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Surabaya

: Usaha Nasional,1991. Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Tata Pemerintahan, Bandung : P4H, Februari

2006. Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum , Bandung : Alumni, 1986. Tempointeraktif.com., Rabu, 13 Juli 2005. Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.