TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN...
Transcript of TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN...
1
TINJAUAN TEORETIS YURIDIS SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)1
Oleh :
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum2
Beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah ”Sengketa Pilkada”
adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan ”sengketa pilkada”?
2. Apa dasar hukum sengketa pilkada itu?
3. Apa yang merupakan ”pangkal sengketa pilkada”?
4. Bagaimana hukum acara penyelesaian sengketa pilkada itu?
5. Studi Kasus di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.
A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”.
Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring
dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir
berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli
filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada
masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya
hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau
norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. 3 Kaidah
berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di
1 Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL
GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD.
2 Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD. 3 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum ( Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9.
2
masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu
dengan yang lainnya.
Menurut Van Kan4, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan
kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan
dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-
kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan :
1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak
mempunyai sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan.
2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara
keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam
bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan
di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai sifat pemaksa
artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh
hukum untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan
dimasukan ke penjara agar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan
ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan.
Kaidah hukum juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan
berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berhubungan dengan manusia sebagai
anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, hukum mulai mengatur dari
manusia itu dilahirkan sampai meninggal dunia. Hukum juga mengatur tentang
4 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia
Indonesia, 1982) hlm. 7-17.
3
kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi
administrasinya, hak-hak dan lain-lain.
Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka hukum pun
akan turut mengimbanginya. Dengan demikian pendapat Cicero berabad-abad yang lalu
itu adalah benar, karena hanya dalam masyarakat hukum itu berada/diperlukan. Ingat
cerita Robinson Crosso yang hidup sendirian di sebuah pulau yang jelas tidak
memerlukan hukum karena tidak mungkin kepentingannya bertabrakan dengan
kepentingan orang lain.
Dengan demikian “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan
kepentingan yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya
dalam peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”. Dari batasan ini
akan muncul juga pertanyaan : Seperti apa benturan kepentingan yang terjadi itu?
Berdasarkan hasil observasi dari berbagai kasus yang terjadi, yang menjadi sumber atau
pangkal sengketa adalah karena masalah perhitungan suara. Calon yang kalah biasanya
tidak mau mengakui perolehan suara lawannya. Hal yang umum juga terjadi adalah
kebanyakan sengketa karena perolehan suara tidak terlalu jauh beda seperti yang terjadi
di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan peristiwa hukum pemilihan kepala daerah
itu? Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil
Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan
4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
B. Dasar Hukum ”Sengketa Pilkada”.
Sebagai dasar hukum yang tertinggi untuk masalah sengketa pilkada ini adalah
dimulai dari Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18 (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Dasar hukum selanjutnya adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat,
memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah. Kemudian ayat (2) menyatakan : Keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan : Pengajuan keberatan
kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
5
pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan
kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota.5 Ayat (4) menyatakan : Mahkamah Agung memutus sengketa hasil
penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14
(empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan
Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan : Putusan Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6)
menyatakan : Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus
sengketa perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten
dan kota. Ayat (7) menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) bersifat final.6
Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94
selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan
calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah
penetapan hasil pemilihan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil
perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
5 Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (3), dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan
negeri, pengajuan keberatan dapat dosampaikan ke DPRD. 6 Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (7), Putusan pengadilan tinggi yang bersifat final dalam
ketentuan ini adalah putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
6
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan
mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa
hasil perhitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan
mengikat.
Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil
Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
C. Pangkal Sengketa Pilkada.
Pangkal sengketa adalah objek atau wilayah kompetensi yang dapat dikategorikan
sebagai sengketa pilkada. Pangkal sengketa ini kerap disalahartikan oleh para penegak
hukum. Hal ini disinyalir pula oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang meminta
7
perlunya kehati-hatian pengadilan tinggi dalam memberikan putusan permohonan
gugatan yang berkaitan dengan Pilkada. “Wewenang pengadilan tinggi hanya pada proses
hukum hasil akhir pemilihan dan pemungutan suara,” kata Bagir Manan saat meninjau
proses peradilan gugatan terhadap KPU Binjai di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, di
Medan, Rabu (13/7/2006).
Bagir Manan menjelaskan, bila mengenai permasalahan di luar penetapan hasil
akhir proses pemilihan dan pemungutan suara, seperti tidak terdaftar pemilih,
kecurangan, ada proses lain yang dilalui. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-
bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk
kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat
kepolisian. "Kalau terbukti, diproses secara pidana," kata Bagir Manan. Bagir Manan
menambahkan, bila ancaman pidananya kurang dari 18 bulan diputuskan oleh pengadilan
negeri, dan tidak terdapat banding dan kasasi. Bila lebih dari 18 bulan, dapat diputuskan
oleh pengadilan negeri dan diperbolehkan banding di tingkat pengadilan tinggi dan juga
tidak bisa kasasi.
Hal ini dijelaskan Bagir Manan karena selama tinjauannya di beberapa daerah
yang melaksanakan peradilan tentang gugatan pilkada di pengadilan tinggi, banyak yang
tidak memenuhi syarat diadili di tingkat pengadilan tinggi sehingga keputusan akhirnya
ditolak. "Mungkin saja kuasa hukumnya tidak mengerti," ujarnya.
Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya
berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
8
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada
Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas
menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil
perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara
calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000
sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan
saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000.
Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan
di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti
perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah
KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan
keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena
kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD.
Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar
sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung
dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka
proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran
pemilih, money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan
MA dan Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia
pengawas pilkada dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.
9
Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil, yang menjadi “pangkal
sengketa pilkada” adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
D. Hukum Acara Penyelesaian ”Sengketa Pilkada”
Bagaimana dengan penyelesaian hasil pilkada oleh Pengadilan Tinggi yang
mendapat delegasi dari Mahkamah Agung? Menurut Indra Perwira7, sejak
dikembangkannya konsep “check and balances system” di negara-negara demokrasi,
kewenangan badan peradilan sebagai salah satu cabang kekuasannya yang merdeka, tidak
lagi terbatas hanya memutus persoalan-persoalan hukum melainkan berkembang
sedemikian rupa sehingga dapat menilai dan membatalkan putusan-putusan atau
tindakan-tindakan baik dari badan legislatif maupun dari badan eksekutif. Kewenagan ini
dikenal dengan istilah “judicial review” yang secara umum berakar dari dua konsep
pemikiran. Konsep pertama, didasarkan untuk kepentingan melindungi konstitusi
sedangkan pemikiran kedua untuk melindungi hak asasi. Di Indonesia judicial review ini
dikenal dengan istilah “hak menguji”
Tiap-tiap negara meletakan kewenangan “judicial review” tersebut berbeda-beda,
Ada yang memberikan kewenangan itu kepada seluruh badan peradilan, atau hanya
kepada badan peradilan tertinggi seperti Mahkamah Agung (Supreme Court) atau kepada
badan peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia kewenangan “judical review” tersebut tersebar dibeberapa badan
peradilan. Untuk menguji undang-undang sengketa kewenangan lembaga negara dan
perselisihan hasil pemilihan umum berada pada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan
7 Indra Perwira, Kewenangan Memutus Persoalan Politik, Pikiran Rakyat, Senin (Pahing) 8 Agustus 2005, hlm. 23.
10
untuk menguji peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan dibawah
undang-undang berada pada Mahkamh agung. Kewenangan untuk menguji tindakan dan
putusan-putusan administrasi negara berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
sementara untuk perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada)
oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberikan
kepada Mahkamah Agung, namun kewenangan itu oleh Mahkamah Agung dapat
didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi.
Apa sebenarnya hakekat dari delegasi itu dari sudut hukum administrasi? Delegasi
adalah salah satu bentuk kewenangan pelimpahan. Kewenangan pelimpahan yang
satunya lagi adalah mandat. Perbedaan antara delegasi dan mandat dilihat dari segi :8
1. Prosedur Pelimpahan
- Delegasi
Yakni dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan disertai
peraturan perundang-undangan.
- Mandat
Yakni dalam hubungan rutin atasan-bawahan.
2. Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat
- Delegasi
Yakni tanggung jawab dan tanggung gugatnya beralih pada delegataris (yang
diberi pelimpahan wewenang), tidak lagi berada di pihak delegan (yang
memberi wewenang).
- Mandat
8 Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Tata Pemerintahan, Bandung : P4H, Februari 2006, hlm.
114-115.
11
Yakni mandataris tidak memiliki tanggung jawab terhadap pihak luar.
Sedangkan yang bertanggung jawab adalah orang yang memberi mandat
(mandan).
3. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi
- Delegasi
Yakni tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada
pencabutan dengan berpegang kepada asas “Contrarius Actus”.
- Mandat
Yakni setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkannya itu.
Selanjutnya dalam penyelesaian sengketa pilkada tidak bisa dilepaskan dari akan
adanya masalah pembuktian. Yang dimaksud dengan membuktikan ialah menyatakan
untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan.9
Berdasarkan analisis dari beberapa kasus sengketa pilkada nampak majelis hakim
menggunakan alat bukti seperti pada kasus perdata atau Peradilan Tata Usaha Negara
yaitu yang diutamakan adalah Bukti Surat dan Saksi. Hal ini sesuai pula dengan Perma
No. 2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan
Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana
disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku
hukum acara perdata.
9 lihat Kurdiato, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Surabaya :
Usaha Nasional,1991, hal. 11.
12
Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg
dan Pasal 1866 BW, sebagai berikut :10
1. Bukti Surat.
2. Bukti Saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur menurut Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Dalam Peradilan TUN berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No. 5 Tahun 1986,
dikenal 5 macam alat bukti, yaitu :
1. surat atau tulisan;
2. keterangan ahli;
3. keterangan saksi;
4. pengakuan para pihak
5. pengetahuan hakim.
10 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1986) hal.65.
13
Selanjutnya hal yang menjadi persoalan ”krusial” dari hukum acara penyelesaian
sengketa pilkada adalah masalah upaya hukum. Apa yang dimaksud oleh Ayat (7) UU
No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) bersifat final?
Terhadap persoalan ini ada beberapa pendapat seperti dari CETRO (Centre for
Electoral Reform) yang menyatakan :11 Walaupun oleh Pasal 106 ayat (7) dikatakan
FINAL tapi TIDAK MENGIKAT karena UU No. 32 Tahun 2004 tidak jelas-jelas
menyebutnya mengikat.
Penulis tidak setuju dengan pernyataan CETRO tersebut di atas, sebab kalau
sudah dinyatakan final itu artinya adalah sudah mengikat juga atau inkracht van gewij.
Memang UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutnya mengikat tetapi dalam Pasal 94 ayat
(7) PP No. 6 Tahun 2005 disebutkan mengikat.
Tetapi akhirnya memang persoalan “final” dan tidak ini mengemuka juga pada
kasus pilkada Kota Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jabar ternyata dapat ditinjau
kembali oleh Mahkamah Agung yang hasilnya merupakan pembatalan terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung. Inilah yang menurut penulis telah terjadi di negeri ini
ketidakkonsistenan melaksanakan bunyi aturan hukum.
Adapun alasan MA menerima PK dari KPUD Kota Depok ini menurut Djoko
Sarwoto (salah satu Hakim Agung yang memutus PK) menyadari ada dua aspek yang
timbul dalam perkara sengketa Pilkada Depok ini adalah :
Pertama, dari aspek prosedural ia mengakui UU No.32/2004 tidak memperkenankan
adanya upaya hukum lain. Namun, dalam perjalanannya, muncul aspek kedua, yakni rasa
11 CETRO, Pernyataan Pers, Putusan Final Tetapi Tidak Mengikat, Acrobat Reader, Jakarta 5
Agustus 2005.
14
keadilan. Para hakim agung, menurut Djoko, berpendapat rasa keadilan yang harus
diutamakan. Djoko melanjutkan, secara teknis yuridis harus pula diperhatikan Perma No.
2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil
Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana
disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku
hukum acara perdata. Meski majelis memutus secara bulat, atau tidak ada dissenting
opinion (pendapat berbeda), Djoko mengungkapkan sempat muncul wacana adanya
kekhawatiran anggapan MA melanggar UU. “Ada yang menyarankan agar ini
diselesaikan lewat jalur pengawasan,” tuturnya.
Namun, terang Djoko, pada akhirnya semuanya sepakat bahwa pertimbangan
majelis cukup beralasan, dan upaya hukum PK bisa dipergunakan untuk memperbaiki
putusan. Dengan diterimanya PK KPUD Depok, pertanyaan menarik berikutnya adalah,
apakah MA akan menerima pengajuan PK terkait dengan sengketa Pilkada dari daerah
lain? Hal ini rupanya telah pula diantisipasi MA. Djoko mengemukakan, lembaganya
telah berhitung bahwa menerima PK KPUD Depok akan membawa konsekuensi
membanjirnya permohonan serupa dari daerah-daerah.
Namun, untuk mengantisipasinya, MA telah memberikan batasan permohonan PK
seperti apa yang bakal diterima atau ditolak. Batasan itu seperti disampaikan Djoko
adalah adanya kesalahan yang nyata. “Maka sepanjang tidak ada kesalahan nyata maka
permohonan PK tersebut tidak dapat diterima,” tukas Djoko.
Dengan demikian menurut penulis apa yang sudah dilakukan oleh Mahkamah
Agung ini bukan menjadi semakin adil malahan semakin membuka ketidakadilan dan
diskriminasi bagi justiabelen yang lain.
15
E. Studi Kasus.
1. Kota Depok.
Pilkada di Kota Depok telah diselenggarakan pada tanggal 26 Juni 2005 dengan
ditetapkannya hasil akhir kemenangan calon pasangan Walikota, Nur Mahmudi Ismail-
Yuyun Wirasaputra. Namun, pada tanggal 16 Juli 2005 calon walikota yang berada pada
peringkat kedua yakni Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad mengajukan gugatan keberatan
atas Surat Ketetapan KPUD Depok No. 18 Tahun 2005 tentang penetapan walikota dan
wakil walikota Depok terpilih. Kemudian pengadilan Jawa Barat mengabulkan
permohonan gugatan dan membatalkan hasil perhitungan suara pada tanggal 4 Agustus
2005. Lewat pembuktian dari tim pencari fakta bahwa terdapat adanya penggelembungan
suara untuk pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, dimana ada warga
pemilih yang memiliki KTP luar kota Depok. Sedangkan untuk suara pasangan Badrul
Kamal-Sihabuddin Ahmad, didapati adanya penggembosan suara, yang mana ada
sebagian warga yang tidak bisa memilih karena tidak diberikan surat undangan. Masalah
Pilkada Depok ini bukanlah masalah local Depok, namun bisa jadi masalah nasional yang
krusial. Apabila tidak ditangani secara serius oleh pihak yang berwenang akan
menimbulkan masalah lain yang berkepanjangan.
Keputusan sengketa Pilkada Kota Depok dituangkan dalam keputusan Nomor
01/Pilkada/2005/PTBDG. Sedangkan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Sukabumi
dituangkan dalam putusan Nomor 02/Pilkada/2005/PT BDG.
Seperti diketahui, KPUD Kota Depok menetapkan pasangan Nur Mahmudi
Ismail-Yuyun Wirasaputra yang diusung Partai Keadilan Sejahtara (PK Sejahtera)
sebagai pemenang Pilkada langsung Kota Depok dengan perolehan suara 232.610 suara.
16
Sedangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad yang diusung Partai Golkar
hanya mendapatkan 206.781 suara. Atas kekalahan itu, pasangan Badrul Kamal-
Syihabuddin kemudian menggugat KPUD Kota Depok yang dinilai telah melakukan
pelanggaran sehingga suara yang seharusnya mendukungnya hilang ke PT Jabar. Menurut
versi Badrul Kamal perolehan suara pihaknya seharusnya 269.531 suara sedangkan
pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra hanya 195.357 suara.
Melalui proses persidangan marathon, gugatan Badrul Kamal-Syihabuddin
Ahmad kemudian dikabulkan PT Jabar. Kemenangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun
Wirasaputra yang sudah ditetapkan KPUD Kota Depok kemudian dianulir PT Jabar
melalui putusan bernomor 01/Pilkada/2005/PT BDG.
Putusan yang kontroversial tersebut kontan saja memunculkan berbagai reaksi
keras dari berbagai kalangan praktisi hukum, pakar hukum tata negara termasuk kader
dan simpatisan PK Sejahtera. Bahkan Ketua Perkumpulan Bela Hukum Nusantara
(PBHN) Effendi Saman SH yang menurunkan tim selama proses Pilkada maupun
persidangan, menilai putusan tersebut tidak masuk akal. Menurut Effendi Saman, dalam
memutuskan perkara majelis hakim seharusnya jangan hanya menyandarkan kepada
keyakinannya saja, namun juga berdasarkan bukti materiil. Namun yang terjadi dalam
kasus sengketa Pilkada Kota Depok, majelis hakim hanya menyandarkan kepada
keterangan saksi-saksi yang diajukan pemohon tanpa dilakukan pembuktian di lapangan.
"Dalam perkara hukum satu saksi, seribu saksi atau sejuta saksi tetap saja statusnya hanya
satu alat bukti," katanya.
Selanjutnya KPUD Kota Depok melakukan peninjauan kembali (PK) ke
Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Desember 2005 telah
17
memutus sengketa pemilihan wali kota Depok. Dalam amar putusannya, majelis
peninjauan kembali yang diketuai Parman Soeparman mengabulkan permohonan yang
diajukan KPUD Depok, sekaligus membatalkan putusan sengketa Pilkada No.1/2005
yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat 4 Agustus 2005.
Menurut Harifin Tumpa, anggota majelis, salah satu pertimbangan sehingga
mengabulkan permohonan KPUD Depok adalah PT Jabar dianggap melampaui
kewenangan yang sudah dibatasi oleh UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Itu
adalah kesalahan yang nyata,” tandas Harifin. Dijelaskannya, kewenangan pengadilan
menurut UU No.32/2004 adalah memeriksa hasil penghitungan suara yang sudah
dihitung oleh KPUD. Sedangkan putusan PT Jabar yang memenangkan pasangan Badrul
Kamal-A. Syihabuddin, mempertimbangkan penghitungan suara di luar yang telah
dibuat oleh KPUD. Penghitungan yang dipakai PT Jabar, menurut Harifin, adalah
tentang adanya penggelembungan dan pengurangan suara dalam pemilu.
Senada dengan Harifin, Djoko Sarwoko, anggota majelis lainnya menyatakan,
apa yang dipertimbangkan PT Jabar tersebut hanya berupa asumsi-asumsi. Djoko
mengatakan: “Dengan adanya putusan MA yang membatalkan putusan PT Jabar, maka
kembali ke nol lagi, kembali pada keputusan KPUD.”
2. Perbandingan Kasus Pilkada Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi.
Berdasarkan pengamatan Dian Kusmana12, pelaksanaan pemilihan kepala daerah
(pilkada) di dua tempat di Jawa Barat yakni Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi yang
semula dinilai lancar dan sukses, ternyata menyisakan persoalan. Bahkan persoalan
12 Dian Kusmana, Menghindari Salah Kaprah Pengaduan Pilkada, Teropong PR, Senin, 1 Agustus 2005.
18
lanjutan pascapilkada di dua tempat itu dibawa ke jalur hukum melalui pengaduan di
Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Mengikuti perjalanan dua kasus pengaduan pemilihan
kepala daerah tersebut di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dilihat sedikitnya ada dua hal
yang sepatutnya menjadi pelajaran bagi daerah lain di Jawa Barat yang akan
melangsungkan pemilihan kepala daerah.
Pelajaran pertama dari dua kasus pengaduan pemilihan kepala daerah di
Pengadilan Tinggi Jawa Barat adalah soal tenggang waktu. Pasal 106 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur soal
keberatan hasil pilkada menyebutkan "Keberatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah
Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah." Hal serupa juga dinyatakan pada Peraturan Pemerintah
No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Konsekuensi logis dari adanya aturan main ini adalah, bila
pasangan calon yang akan melayangkan keberatan atas hasil pemilihan (perhitungan
suara) maka harus diajukan pada tengat waktu tersebut. Di luar batas itu, berarti
pengajuan keberatan adalah tidak sah. Dari surat pengajuan keberatan yang dilakukan dua
pasangan calon dari Kabupaten Sukabumi dan Kota Depok, pengajuan keberatan dari
Kabupaten Sukabumi sudah disiapkan sebelumnya sehingga tanggal pengajuan keberatan
mereka (8 Juli 2005) bertepatan dengan hari dilakukannya penetapan hasil pemilihan
kepala daerah (penetapan hasil suara) oleh KPUD Sukabumi (8 Juli 2005). Sementara
untuk pengajuan keberatan dari Kota Depok dilakukan saat injury time yakni pada
tanggal 11 Juli 2005 dan diterima Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 12 Juli 2005,
19
sedangkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah (hasil perhitungan suara) dilakukan
KPUD Depok pada 6 Juli 2005. Tak heran ketika kuasa hukum dari termohon yakni
KPUD Depok menganggap pengajuan keberatan yang dilakukan pemohon (calon Wali
Kota Depok) tersebut dianggap lewat batas waktu. Namun tentu saja, pemohon keberatan
beralasan mereka masih dalam batas tiga hari seperti yang diatur Undang-Undang karena
yang disebutkan dalam pasal 106 dengan batas waktu 3 (tiga) hari adalah "diajukan"
bukan "diterima". Selain itu tentu saja tanggal 9 dan 10 Juli 2005 tidak masuk hitungan
karena Sabtu dan Minggu tidak dianggap hari kerja.
Pelajaran kedua yang bisa diambil dari pengajuan keberatan yang dilakukan calon
dari Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi adalah soal materi keberatan yang akan
diajukan. Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya
berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah No. 6/2005
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada
Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas
menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil
perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara
calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000
sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan
saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000.
20
Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan
di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti
perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah
KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan
keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena
kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD.
Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar
sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung
dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka
proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran pemilih,
money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan MA dan
Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia pengawas pilkada
dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.
Akan halnya pengajuan keberatan yang dilayangkan dua pasangan calon dari Kota
Depok dan Kabupaten Sukabumi, terlihat adanya kekuranglengkapan dari materi yang
diajukan kedua calon. Kabupaten Sukabumi misalnya, ajuan keberatan tidak
mencantumkan kesalahan dari perhitungan yang diumumkan KPUD setempat serta
perhitungan suara yang benar menurut mereka, tentunya dengan disertai bukit-bukti.
Padahal, seperti diatur dalam pasal 3 ayat 5 (lima) dan 6 (enam) Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan
terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD
Kabupaten/Kota disebutkan, (5) Keberatan yang diajukan oleh pemohon atau kuasa
hukumnya wajib menguraikan dengan jelas dan rinci tentang : (6) Kesalahan dari
21
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil penghitungan suara yang
benar menurut pemohon. Sedangkan pengajuan keberatan yang dilayangkan calon Wali
Kota dari Depok meski sangat banyak dengan bukti, namun banyak bercampur dengan
hal-hal yang bukan wewenang MA dan Pengadilan Tinggi dalam kasus sengketa Pilkada.
Misalnya, soal tuduhan politik uang yang dilakukan tim sukses salah satu calon dengan
menyumbang bahan bangunan untuk pembangunan rumah ibadah pada hari H
pelaksanaan ataupun upaya menghalangi orang untuk melakukan pencoblosan. Hal ini
sebenarnya diatur tersendiri pada Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang termaktub pada Pasal 115 - 119 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Daerah.
3. Kasus Kabupaten Bandung.
Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat menolak gugatan pasangan calon bupati
Kabupaten Bandung Dudin Sadudin dan Ridho Budiman Utama, Selasa (29/11/2005).
Dengan demikian, tuduhan penggugat bahwa telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah itu dinyatakan tidak terbukti. Dalam amar
putusannya, majelis hakim yang diketuai Maryatmo menolak semua eksepsi penggugat
kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bandung, selaku
penyelenggara pilkada. Yang menjadi pangkal penolakan gugatan, kata Maryatmo,
karena gugatan yang diajukan Pasangan Dudin-Ridho kabur dan tidak jelas.
"Bukti surat yang diajukan penggugat tidak mampu membuktikan, serta
mempengaruhi hasil perhitungan suara yang signifikan," kata majelis hakim. Selain itu,
lanjut Maryatmo, pihak penggugat tidak mampu menerangkan secara detail tentang
22
banyaknya surat suara yang tidak sah. Begitu juga, para saksi yang dihadirkan dalam
persidangan tidak secara eksplisit menerangkan adanya kesalahan dalam proses
perhitungan suara. "Atas dasar itu majelis hakim menolak gugatan penggugat.
"Sementara itu menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum pasangan Dudi-Ridho, Makky
Yuliawan mengatakan, putusan sidang cenderung lebih menonjolkan persepsi ketimbang
bukti-bukti. "Meski kami telah mengajukan sebanyak 25 saksi, namun majelis hakim
tetap tidak menggubrisnya. Ini bukti, sidang ini hanya menonjolkan persepsi," tegasnya
seraya menambahkan pihak tergugat juga tidak mampu memberikan pembuktian terbalik
atas bukti yang diajukannya. Jika tergugat tidak bisa membuktikan, seharusnya
persidangan dimenangkan penggugat. Untuk sekarang ini, kata Makky, pihaknya akan
berkonsolidasi, termasuk mengevaluasi seluruh argumen yang diberikan di persidangan.
Kesimpulan
1. “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang
terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam peristiwa
hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”.
2. Pangkal sengketa pilkada adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara
yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
3. Dari analisis kasus didapatkan bahwa alat bukti utama untuk membuktikan dalil
dalam sengketa pilkada adalah bukti surat dan saksi.
23
DAFTAR PUSTAKA
CETRO, Pernyataan Pers, Putusan Final Tetapi Tidak Mengikat, Acrobat Reader,
Jakarta 5 Agustus 2005. Dian Kusmana, Menghindari Salah Kaprah Pengaduan Pilkada, Teropong PR, Senin, 1
Agustus 2005. Hukum.online.com., Jum’at 17 Nopember 2006. Indra Perwira, Kewenangan Memutus Persoalan Politik, Pikiran Rakyat, Senin (Pahing)
8 Agustus 2005. J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum , Jakarta : PT Pembangunan
Ghalia Indonesia, 1982. Kurdiato, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Surabaya
: Usaha Nasional,1991. Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Tata Pemerintahan, Bandung : P4H, Februari
2006. Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum , Bandung : Alumni, 1986. Tempointeraktif.com., Rabu, 13 Juli 2005. Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.