Tinjauan Pustaka TBC Pada Anak

59
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ETIOLOGI Agen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum. Ada juga yang dikenal sebagai tipe-tipe Mycobacterium Atipik yaitu: Pembagian Runyon (1974) I. Photochromogen : M kansasi, M. marinum. M siniae II. Scotochromogen : M scrofulaceum, M szulgai, M xenopi III. Nonphotocromogen : M avium, M intracelulare. IV. Rapid growers : M fortuitum, M chelonei Bakteria ini merupakan ordo actinomisetales dan famili mikobakteriaseae. Mikobakteria ini mempunyai sifat-sifat seperti: Tumbuh lambat Waktu pembentukannya adalah 12-24 jam. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41 C. Dinding sel yang kaya akan lipid menimbulkan resistensi terrhadap daya baksterisid antibodi dan komplemen. Tahan lama dalam keadaan kering berminggu-minggu. Tidak tahan sinar matahari,sinar ultraviolet, suhu 60⁰ C atau lebih EPIDEMIOLOGI 20

description

t

Transcript of Tinjauan Pustaka TBC Pada Anak

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

ETIOLOGIAgen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum. Ada juga yang dikenal sebagai tipe-tipe Mycobacterium Atipik yaitu:Pembagian Runyon (1974)I. Photochromogen : M kansasi, M. marinum. M siniaeII. Scotochromogen : M scrofulaceum, M szulgai, M xenopiIII. Nonphotocromogen : M avium, M intracelulare.IV. Rapid growers : M fortuitum, M cheloneiBakteria ini merupakan ordo actinomisetales dan famili mikobakteriaseae. Mikobakteria ini mempunyai sifat-sifat seperti: Tumbuh lambat Waktu pembentukannya adalah 12-24 jam. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41 C. Dinding sel yang kaya akan lipid menimbulkan resistensi terrhadap daya baksterisid antibodi dan komplemen. Tahan lama dalam keadaan kering berminggu-minggu.Tidak tahan sinar matahari,sinar ultraviolet, suhu 60 C atau lebih

EPIDEMIOLOGIEpidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan informatif menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.

Cara Penularan: Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050% dari jumlah seluruh populasi.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak. Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

PATOGENESISParu merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut: 1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens. 2. Tuberkulosis otak dan selaput otak: Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena. Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang. 3. Tuberkulosis sistem skeletal: Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis). 4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). 5.Tuberkulosis mata: Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis). Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi). 6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB. B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. Perkembangan Terkini Diagnosis TB Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu. WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak 1. Berdahak Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun. 2. Bilas lambung Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari. 3. Induksi Sputum Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum. Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks. Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut: a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral) b. Konsolidasi segmental/lobar c. Efusi pleura d. Milier e. Atelektasis f. Kavitas g. Kalsifikasi dengan infiltrat h. Tuberkuloma

C. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3. Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan: 1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas 2. Gibbus, koksitis 3. Tanda bahaya: Kejang, kaku kuduk Penurunan kesadaran Kegawatan lain, misalnya sesak napas Catatan: Parameter Sistem Skoring: Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium. Penentuan status gizi: Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname). Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia 5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan. Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. Penegakan Diagnosis Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai. Semua bayi dengan reaksi cepat ( 18 bulan. Resistensi Obat Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT terdiri dari: a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama. b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan. c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya. d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin. e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.

PENGOBATAN TB ANAK Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah: Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi. Pemberian gizi yang adekuat. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan. A. Paduan OAT Anak Prinsip pengobatan TB anak: OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap: o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Skema Panduan OAT Anak

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination) Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterangan: R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable). Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan. Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai. Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos. Efek Samping pengobatan TB Anak Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, pasien gizi buruk, anak dengan HIV positif. Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. Jika anak tidak minum obat 2 minggu dan atau keringat malam c. Batuk menetap 3 minggu, non remitting d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif f. Diare menetap> 2 minggu

Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:UmurHIVHasil PemeriksaanTata laksana

Balita( + ) / ( - )Infeksi laten TBINH Profilaksis

Balita( + ) / ( - )Kontak ( + ) Uji Tuberkulin ( - )INH Profilaksis

> 5 th( + )Infeksi laten TBINH Profilaksis

> 5 th( + )SehatINH Profilaksis

> 5 th( - )Infeksi laten TBObservasi

> 5 th( - )SehatObservasi

Keterangan Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal . Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

ANALISA KASUSDiagnosis Tuberkulosis Paru ditegakkan berdasarkan:1. Anamnesis : Sesak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak berbunyi dan tidak dipengaruhi posisi; Terdapat demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Terdapat kontak dengan saudara yang sedang menjalani pengobatan TB paru. Pasien sedang dalam pengobatan TB milier bulan ke - 22. Pemeriksaan fisik Keadaan pasien tampak lemas, rewel, dan iritatif; Terdapat napas cuping hidung; Terdapat ronchi basah halus pada kedua lapang paru;3. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan mantoux test sebelumnya didapatkan hasil ( + ) indurasi lebih 12mm x 8 mm; Peningkatan LED (30 mm/jam) menandakan ada suatu proses penyakit kronis yang berlangsung Foto toraks AP. Kesan: gambaran Tb milierBerdasarkan skoring TB anak

Didapatkan total skor= 6 dari kontak TB (2), Uji tuberkulin (3), dan foto toraks (1).BAB IIIDAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2: Tuberculosis; 2000.2. Rahajoe, Nastiti dkk. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak. UKK Pulmonologi PP IDIA, Jakarta; 2005.3. Sudiharto, dr, dkk. Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito: Tuberculosis. Medika FK UGM. Yogyakarta; 2000.4. Batra V. Medscape: Pediatric Tuberculosis. Available at http://emedicine.medscape.com/article/969401-overview Accessed February 2nd 2015.5. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2004, Bab Jumlah Populasi berdasarkan usia, 8:627-9.6. KEMENKES. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB HIV. Jakarta: 2013.7. KEMENKES. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: 2011.8. Depkes-IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Kelompok Kerja TB Anak. 2008.9. WHO. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children. 2006.WHO. Dosing instruction for the use of currently availablefixed-dose combination TB medicines for children. September 2009.

23