TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Komunikasi · Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk...

22
TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Komunikasi Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru. Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007). Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian.

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Komunikasi · Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk...

7

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Komunikasi

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain,

perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan

tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang

bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata

dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004),

sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu

kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan

pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem

sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan

media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru.

Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku

komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan

memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan

informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada

dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya

dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.

Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya,

perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan

situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah

cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau

melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam

mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam

jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007).

Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang

sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan

penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian

informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan

model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara

bergantian.

32

Di dalam mencari dan menyampaikan informasi, seyogyanya juga mengukur

kualitas (level) dari komunikasi. Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi

adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang

meliputi (1), sekedar bicara ringan, (2), saling ketergantungan (independen), (3),

tenggang rasa (empaty), (4), saling interaksi (interaktif).

Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakannya secara aktif

melakukan pencarian informasi. Perilaku komunikasi sesama petani dalam rangka

mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional.

Lebih lanjut Berlo (1960), mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang

dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku

komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa

seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Halim

(1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat

dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai

kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu.

Kifli (2002) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi

perilaku komunikasi petani adalah kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi yang tinggi

memberikan kesempatan yang luas kepada petani untuk melakukan interaksi

dengan lingkungan, misalnya pada petani yang memiliki tingkat ekonomi yang

rendah suatu kesempatan harus mencari informasi mengenai harga jual produk,

menemui PPL dan lainnya terpaksa ditinggalkan karena harus memenuhi

tambahan penghasilan. Adi (2002) mengungkapkan bahwa gelar teknologi

ternyata membentuk persepsi positif petani karena petani dapat secara langsung

melihat, memahami, mengenal, dan mempraktekkan inovasi serta akan terjadi

komunikasi interpersonal.

Rafinaldy (1992) membatasi perilaku komunikasi anggota ke dalam

beberapa peubah yaitu; perilaku membicarakan informasi kredit, hadir dalam

rapat, jumlah media yang digunakan, pemanfaatan media massa, kontak dengan

Pembina, dan partisipasi sosial. Sedangkan adopsi inovasi dalam penelitian ini

dinyatakan dalam peubah pemanfaatan kredit. Hasil penelitian ini menunjukan

bahwa sekitar 42 persen responden tidak aktif membicarakan informasi kredit dan

49 persen responden partisipasi sosialnya rendah, sebagian responden yang pernah

9

hadir namun pada umumnya tidak pernah kontak dengan pembinanya, repsonden

pada umumnya menggunakan sedikitnya dua media komunikasi untuk

memperoleh informasi dengan rata-rata menghabiskan waktunya untuk membaca,

mendengar, dan melihat media massa yang komunikasi hampir 17 jam setiap

minggunya.

Pambudy (1999) dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada

beberapa faktor yang memiliki hubungan yang kuat terhadap perilaku komunikasi

peternak dalam menerapkan wirausaha tenaknya. Faktor-faktor tersebut antara

lain adalah partisipasi sosial dengan kontak sesama peternak, kontak dengan

penyuluh, kontak dengan media massa dan kontak dengan kelompok. Lebih lanjut

Pambudy mengungkapkan bahwa kontak dengan media massa menjadi faktor

pendorong meningkatnya perilaku berwirausaha dijelaskan oleh perilaku

komunikasi yang lebih mampu mengakses informasi dari media massa.

Rukka (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat motivasi petani dalam

mengadopsi inovasi sangat ditentukan sifat inovasi tersebut. Petani akan cepat

menerima suatu inovasi bila unsur-unsur karakteristik dari inovasi tersebut

cenderung positif. Namun kalau unsur-unsur saling kontradiktif, maka inovasi

tersebut akan menyulitkan petani dalam mengadopsinya.

Tingkat penerapan usaha tani organik pada padi sawah, menurut Rukka

(2003) terhadap motivasi petani berbanding positif. Terutama motivasi intrinsik

untuk melakukan budidaya secara organik dengan motif untuk meningkatkan

pendapatan dan juga meningkatkan pengetahuan.

Perilaku komunikasi yang berhubungan dengan praktek budidaya pertanian

organik pada petani bawang antara lain:

Keterdedahan Pada Media Massa

Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas

cakrawala, pemusatan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya tetapi

tergantung pada keterdedahan khalayaknya terhadap media massa (Schramm dan

Kincaid 1977).

Pada penelitian adopsi inovasi menunjukan bahwa orang-orang yang

pertama kali mengenal atau menerima ide-ide baru (early knowers atau early

adopters) ternyata orang-orang yang lebih banyak memanfaatkan jasa media

32

massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal atau mengadopsi ide-ide baru

itu belakangan (Wiryanto 2000).

Dari 116 penelitian yang dikumpulkan oleh Rogers dan Shoemaker

(1981), sekitar 69 persen mendukung pendapat bahwa ada hubungan antara

pemanfaatan media komunikasi dengan adopsi. Studi Gross dan Tavez

menggungkapkan bahwa ada hubungan antara penggunaan inovasi di bidang

pertanian dengan membaca buku, majalah, dan mendengarkan radio. Gross lebih

lanjut mengungkapkan bahwa membaca buletin, majalah, dan surat kabar ternyata

dapat dipakai sebagai pembeda yang signifikan antara penerima dan penolak

inovasi (Muhadjir 2001).

Perubahan perilaku khalayak tidak hanya dipengaruhi oleh keterdedahan

pada satu media massa tetapi juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi

massa lainnya seperti tv, radio, film, dan bahan cetakan lainnya (Schramm dan

Kincaid 1977).

Kontak pada saluran interpersonal

Pada model-model proses komunikasi massa, model efek terbatas

menunjukan bahwa pengaruh komunikasi massa sangat terbatas, tidak powerfull,

sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk menimbulkan sikap dan atau

perilaku nyata. Perubahan yang nyata sebagian besar diakibatkan oleh komunikasi

antar pribadi (Wiryanto 2000).

Model efek terbatas mengungkapkan bahwa pesan-pesan media tidak

seluruhnya mencapai mass audiens secara langsung, sebagian besar malahan

berlangsung secara bertahap. Tahap pertama dari media massa ke para pemuka

pendapat (opinion leader). Tahap kedua dari pemuka pendapat kepada khalayak

ramai (mass audiens atau followers). Pada tahap kedua ini merupakan komunikasi

interpersonal (Wiryanto 2000).

Seseorang untuk meyakinkan informasi yang diperolehnya akan

melakukan kontak interpersonal dengan tokoh masyarakat maupun agen

pembaharu. Pada tahap ini seseorang akan memerlukan pemuka pendapat untuk

memberikan pertimbangan tentang biaya atau informasi lainnya yang dapat

digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah inovasi itu cocok dengan

kebutuhannya (Rogers 1993).

11

Seseorang akan lebih cepat mengadopsi inovasi, apabila ia lebih banyak

melakukan kontak komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu dan tokoh

masyarakat. Meningkatnya pengaruh pada seseorang untuk mengadopsi atau

menolak inovasi, merupakan hasil interaksinya dalam jaringan komunikasi

dengan individu lain yang dianggap dekat serta memiliki pengaruh terhadap

dirinya, namun demikian hal ini sangat tergantung pada norma-norma yang

berlaku apakah mendukung atau menolak perubahan (Rogers 1993).

Beberapa hasil studi tentang perilaku dan proses adopsi inovasi, Saleh

(1988), mengemukakan bahwa perilaku komunikasi pemuka tani DAS Citanduy

yang dominasi antara lain: a) menjadikan PPL terdekat sebagai tempat bertanya

pertama kali bila menjumpai masalah, b) menyebarkan informasi lewat dari satu

cara atau melalui teman yang berminat, c) Tingkat partisipasi sosial rendah dan

parilaku mencari informasi lewat media massa berimbang antara yang sebentar,

lama, dan tidak pernah. Sulastini (1990) dalam kepemimpinan dan perilaku

komunikasi tim penggerak PKK di kabupaten Banyumas, mereka relatif sering

mencari informasi dan menyebarkan informasi, melakukan kontak dengan

penyuluh serta cukup lama tersentuh media massa.

Intensitas Interaksi dalam Kelompok Komunikasi

Eksistensi kelompok adalah penting bagi individu dan masyarakat. Ketika

seseorang bergerak dalam ruang kehidupannya, kooperasi menjadi esensial dalam

mencapai tujuan. Michael dalam Wiryanto (2005) mendifinisikan komunikasi

dalam kelompok sebagai interaksi secara tatap mukaantara tiga orang atau lebih

dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri,

pemecaham masalah yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat

karakteristik pribadi anggota anggota lain secara tepat.

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi inovasi tidak terlepas

dari pengaruh interaksi antar individu, anggota masyarakat atau kelompok

masyarakat, juga pengaruh interaksi antar kelompok dalam suatu masyarakat.

Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok sangat penting sebab

merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput (Slamet,

2003). Forum kelompok itu merupakan forum belajar sekaligus merupakan forum

pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum-

32

forum semacam itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada

tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani; tidak mengantungkan nasib

dirinya pada orang lain, yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Demikian juga

melalui kelompok-kelompok itu kepemimpinan di kalangan petani akan tumbuh

dan berkembang dengan baik melalui pembinaan penyuluhan. Untuk menunjang

kepemimpinan para petani, para penyuluh pertanian perlu disiapkan dengan baik

untuk melakukan pembinaan sebagai konsekuensi dari keberhasilan pendekatan

kelompok menjadikan kelompok tani yang dinamis.

Kemandirian

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “mandiri” berarti dalam

keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian

menurut Saragih (2005), adalah kemampuan berusaha sendiri, kreatif, kerja keras,

dan competitiveness.

Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy dari

Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang

diyakininya sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri,

mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti

kemauannya sendiri.

Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk

memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang

dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik

(Hubeis 1992). Sementara menurut Radi (1997), petani yang mampu

mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter; a) mampu

memanfaatkan keanekaragaman sumber daya pertanian secara optimal melalui

kemampuannya sendiri, b) mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang ramah

lingkungan, serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi

teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi

luar secara selektif), c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif dan d)

memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis.

Menurut Verhagen yang dikutip oleh Marliati (2008), mengemukakan

bahwa kemandirian merupakan kemampuan memilih berbagai alternatif yang

tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan

13

berkelanjutan. Lebih lanjut Marliati mengungkapkan bahwa kemandirian terdiri

dari kemandirian materil, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan.

Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan

secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus

menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual,

memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa

dibayangi rasa cemas atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu

memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses

pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai

adanya agen pembaharu atau pembina yang mengajarkan mereka.

Kemandirian yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kemandirian

material petani dimana seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara

optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus

menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar atau kemampuan petani di

dalam mendapatkan sarana produksi yang meliputi pupuk, dan pestisida serta

kemandirian dalam memasarkan produk mereka tanpa ada tekanan dan

ketergantungan pada pihak lain.

Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam

mendapatkan sarana produksi berkorelasi positif terhadap kedinamisan petani,

artinya petani yang memiliki mobilitas yang tinggi, seringnya kontak dengan

dunia luar, selalu terbuka terhadap perubahan akan memiliki banyak alternatif di

dalam pemenuhan kebutuhan sarana produksinya.

Kemandirian Petani dalam Usaha Pertanian Organik

Pembangunan pertanian dewasa ini menghadapi persaingan bebas dalam era

globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan input

pertanian, pemasaran sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan

hidup petani. Kecenderungan adanya persaingan yang semakin ketat di pasar

dunia menyebabkan hanya petani-petani yang lebih efisien saja yang mampu

bertahan (Van den ban dan Hawkins 1999). Inilah yang menjadi dasar pentingnya

sumberdaya pertanian yang mandiri untuk mewujudkan pertanian yang maju dan

tangguh.

32

Pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi pada

petani telah mengakibatkan terjadinya ketergantungan petani terhadap input-input

pertanian anorganik yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan pembangunan

pertanian yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan yang disebabkan oleh

belum mandirinya petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi dalam

pengembangan usaha tani sayurnya, sehingga dalam jangka waktu panjang akan

merugikan petani itu sendiri (Agussabti 2002).

Penggunaan input-input secara terus-menerus dari luar yang biasa

dilakukan saat ini menimbulkan monopoli perdagangan bibit dan pestisida oleh

perusahaan trans-nasional. Kondisi ini yang memaksa petani agar tergantung pada

perusahaan trans-nasional untuk memperoleh saprodi yang mereka butuhkan. Hal

ini selain menyebabkan hilangnya varietas bibit yang dimiliki oleh petani secara

besar-besaran juga mengancam keanekaragaman hayati dan juga survival petani

itu sendiri (Soetrisno 2006).

Bertolak dari kondisi ini, Winangun (2005) mengemukakan perlunya

meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan

menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Rumah tangga petani memiliki tiga macam

kekuatan; kekuatan sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut

akses terhadap dasar-dasar produksi, termasuk informasi dan pengetahuan.

Kekuatan psikologis direfleksikan dalam rasa memiliki potensi individu. Dalam

hubungan ini peningkatan kemandirian dapat dicapai melalui pemberdayaan yang

bersifat partisipatif.

Keputusan mandiri merujuk pada kemampuan petani menentukan sendiri

tujuan usaha taninya, merencanakan sendiri, menggunakan sumber-sumber yang

dipilih sendiri untuk kepentingannya sendiri. Petani akan mendapatkan kepuasan

dari kegiatan usaha tani yang diputuskan dan dikerjakan sendiri. Keputusan ini

bukan berarti petani tidak membutuhkan pihak lain tetapi mereka

mengembangkan proses belajar yang tidak tergantung pada pihak lain, sedangkan

pertimbangan dan nasihat dari pihak lain masih dibutuhkan (Agussabti, 2002).

Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani sangat

tergantung pada keputusan untuk mengadopsi inovasi untuk kemajuan usaha

taninya. Petani yang mandiri pada umumnya memilih komoditas dan inovasi yang

15

melekat padanya bersifat lebih kompleks. Petani pada umumunya mampu dan

memiliki kemampuan di dalam pengelolaan potensi sumber daya yang mereka

miliki, sehingga cenderung relatif lebih aman dan tidak ragu-ragu dalam

mengambil suatu keputusan. Agussabti (2002) lebih lanjut mengungkapkan

bahwa kemandirian petani dalam mengadopsi inovasi sangat dipengaruhi oleh

banyak faktor, antara lain tingkat mobilitas dan kontak dengan sumber informasi

yang tinggi yang menjadikan mereka lebih terbuka terhadap perubahan ide-ide

baru.

Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan

sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak

dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian

dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin.

Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan

kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang

berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah

terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997).

FAO (2002) Organic agriculture is a holistic production management

system which promotes and enhances agro-ecosystem health, including

biodiversity, biological cycles and soil biological activity. It emphasises the use of

management practices in preference to the use of off-farm inputs (...) This is

accomplished by using, where possible, agronomic, biological, and mechanical

methods, as opposed to using synthetic materials, to fulfil any specific function

within the system." Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan

pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem

pertanian, seperti tumpangsari (inter-cropping), penggunaan mulsa, penanganan

tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan

sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas

tanah.

Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai

kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama

32

adalah laporan dari komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan

(World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang

mendifinisikan dan mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de

Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan

program Sustainable Agriculture an Rural Development.

Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan

beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik.

Pengertian sistem pertanian organik menurut International Federation Of Organik

Agriculture and Food (IOFAM) (2004) adalah sistem pertanian yang

mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan

kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. (IFOAM) lebih lanjut menyatakan

bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian

yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara

alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem

pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5)

menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik

pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan

(7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem

usaha tani.

Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui

proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan

penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman

polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman sisa, penggunaan pupuk

kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat, serta pengendalian hama dan

penyakit secara hayati (Sitanggang 1993).

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun1980 mengeluarkan

definisi tentang pertanian organik sebagai berikut: Suatu sistem produksi yang

menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida,

hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive . Kelayakan yang maksimum

dapat dicapai dengan menerapkan suatu sistem pertanian organik berdasar pada

rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan penutup tanah,

17

pupuk hijau-an, limbah organik dari luar sistem, budidaya secara mekanis, batuan

alam, dan aspek pengendalian hayati. Kesemua aspek ini bertujuan untuk

mempertahankan produktivitas tanah, mensuplai unsur hara bagi tanaman, dan

mengontrol hama, gulma dan hama lainnya. Konsep tersebut juga meliputi

serangkaian observasi dimana tanah sebagai bagian dari sistem kehidupan harus

diberi asupan dengan cara membiarkan berkembangnya mikro organisma penting

dalam recycle hara bagi tanaman dan menghasilkan humus.

Menurut Stockdale et al (2001) produksi tanaman di dalam pertanian

organik dapat dikarakterisasikan dengan meningkatnya keragaman pola

penanaman berdasarkan waktu dan luasan dibandingkan cara budi daya empat

konvensional (menggunakan bahan anorganik). Di dalam pertanian organik

bagaimana hubungan produksi tanaman dan kesehatan tanaman dijabarkan dalam

bentuk diagram seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tujuan diterapkannya

keragaman genetik, pertama untuk menjalankan sistem dalam penyediaan bahan

dan nutrisi organik. Kedua, memelihara kesehatan tanaman sehingga dapat

menjaga produksi yang berkelanjutan.

Keuntungan yang diperoleh dari diterapkannya diversifikasi tanaman pada

pertanian organik adalah :

1. meningkatkan jumlah dan komposisi tanaman yang dipanen

2. meningkatkan stabilitas panen

3. mengurangi serangan penyakit

4. mengurangi pemakaian pestisida

5. mengontrol gulma

6. mengurangi erosi tanah

7. recycle cadangan hara yang berada di tanah bagian dalam

8. transfer N dari spesies yang memfiksasi N

32

Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara

ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari aspek sosial tidak

bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk

diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan

Hortikultura 1993).

Menurut Sudana (2009) usaha pertanian organik harus dilakukan secara

intensif dalam bentuk perusahan yang lengkap dengan struktur organisasinya serta

jelas tugasnya dan dimanajemen dengan baik. Usaha tani yang dilengkapi dengan

struktur organisasi dan manajemen yang baik akan dapat diefisiensikan secara

optimal modal tetap (fixed cost) dan biaya produksi (variable cost) sehingga

kuantitas dan kualitas produknya terjamin demikian juga kontinuitasnya.

Pertanian organik perorangan sebenarnya dapat berkembang baik asalkan modal

ditingkatkan sebesar 500 persen guna memenuhi modal tetap (fixed cost) untuk

membuat green house, rumah plastik, sumur serta saluran/pipa irigasi serta biaya

produksi untuk meningkatkan tenaga kerja dan pembelian bibit unggul.

Peningkatan modal yang besar tersebut kemungkinan masalah hama dan penyakit

19

berkurang, mutu produksi meningkat secara kualitas dan kuantitas serta

kontinuitasnya terjamin karena tidak lagi tergantung pada musim. Untuk hal ini

sangat diperlukan bantuan pemerintah atau swasta memberikan kredit ringan pada

pengusaha pertanian organik perorangan. Sebenarnya banyak petani konvensional

yang ingin berubah menjadi petani organik, namun modal dan teknologi masih

banyak belum dimiliki. Selain itu diperlukan usaha pemerintah atau swasta untuk

mendirikan suatu lembaga sertifikasi, sehingga petani yang baru beralih ke

pertanian organik mendapat kepercayaan dari konsumen jika telah memiliki

sertifikat organik dari lembaga resmi.

Hasil penelitian Adiyoga (2002), mengemukakan meskipun usaha tani

organik menunjukan perkembangan yang cukup baik, kontribusi terhadap

produksi sayuran Indonesia masih sangat kecil yaitu kurang dari satu persen.

Lebih lanjut Witono mengemukakan bahwa prospek pengembangan sayuran

organik cenderung menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya

permintaan yang disebabkan keterbatasan pasokan.

Pertanian organik secara intersif pada tanaman hortikiulura di Negara-

negara beriklim tropis agak kurang berkembang dibandingkan dengan Negara-

negara beriklim sedang (temperate) ( Velenzuela, 1999).

Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian

berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah melalui penguasaan

teknologi budidaya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang,

penerapan pengendalian hama terpadu, dan pengaturan jarak tanam (Deptan,

2009).

Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang

seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi,

yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk

membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi

berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko,

sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya.

Dukungan, kepercayan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan

kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transisi ini

(Reijntjes et al, 1994).

32

Beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan pertanian organik,

diantaranya:

1. Adanya hama “transmigran” dari kebun yang nonorganik, sehingga

produktivitas lahan menjadi semakin rendah,

2. Akibat rendahnya produksi tidak bisa mengimbangi permintaan pasar yang

ada.

3. Dalam pertanian organik yang murni disyaratkan tanah relatif masih

“perawan”, padahal penelitian menunjukkan bahwa tanah pertanian di

Indonesia sudah jenuh fosfat.

4. Pasar terbatas, karena produk organik hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu

saja.

5. Kesulitan menggantungkan pasokan dari alam. Pupuk misalnya, harus

mengerahkan suplai kotoran ternak dalam jumlah besar dan kontinu.

Budidaya Bawang Merah

Bawang merah (Allium ceppa Lin) merupakan salah satu komoditas

sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif.

Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang

memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah,

karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang

merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia (Balitsa, 2005).

Tanaman bawang merah lebih baik tumbuh pada daerah beriklim kering,

Tanaman ini peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta

cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang

maksimal. Tanaman ini dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya

rata-rata 22 derajat celcius, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu

udaranya lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi besar bilamana

ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22

derajat selcius tanaman bawang merah tidak akan membentuk umbi

(Rismunandar, 1986).

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan sejak

lama yang telah lama diusahan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga

merupakan sumber pendapatan bagi petani. Usaha tani bawang merah ini usaha

21

tani komersil yang memerlukan perlakuan intensif sehingga padat modal dan

tenaga (Purmiyati 2002).

Tanaman bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang

memerlukan input sintesis yang tinggi. Penambahan input dari luar tentu akan

berdampak buruk bagi lahan pertanian ke depannya, sehingga sistem budidaya

yang ramah lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu hal yang mesti di

kembangkan pada sistem pertanian ke depan.

Budidaya tanaman bawang merah di dalam perawatannya, sangat

tergantung pada input dari luar, baik dalam penyediaan unsur hara maupun

pengendalian organisme pengganggu tanaman. Dari hasil penelitian Balitsa,

pemupukan bawang merah pada lahan bekas padi sawah di dataran rendah dengan

menggunakan pupuk nitrogen sebanyak 200 sampai 300 kilogram yang

dikombinasikan dengan pupuk pospat sebanyak 90 kilogram dan kalium

sebanyak 50 sampai 150 kilogram per hektar. Pemupukan ini dilakukan secara

bertahap (Balitsa 2005).

Hasil penelitian Sulistiyono (2002), mengungkapkan bahwa, intensitas

penyemprotan tanaman bawang merah yang dilakukan oleh petani dikategorikan

tinggi, dengan rata-rata 18,93 kali per tanam artinya penyemprotan dilakukan oleh

petani pada kisaran 2 sampai 3 hari sekali penyemprotan. Di sini dapat dilihat

adanya kecenderungan petani menggunakan pestisida berdasarkan sistem

kalender. Penyemprotan pestisida dilakukan oleh petani dimulai saat sebelum

tanam hingga dua atau empat hari menjelang panen.

Purmiyati (2002) mengungkapkan bahwa usaha tani bawang merah secara

konvensional memerlukan perlakuan intensif, sehingga padat modal dan tenaga

kerja. Secara umum usaha tani bawang merah di Kabupaten Brebes tidak efisien

dalam penggunaan input karena nilai NPMxi/Pxi tidak sama dengan satu, sehingga

produksi dan prosuktivitas optimal sulit dicapai.

Pada hasil penelitian Handayani (2007) “ Anasisis Keunggulan

Komparatif Dan Kompetitif Usaha Tani Bawang Merah Konvensional Dan

Organik Di Kabupaten Brebes” juga menghasilkan kesimpulan yang serupa yaitu

pendapatan usaha tani bawang merah organik lebih besar jika dibandingkan

dengan usaha tani bawang merah bawang merah. Pada usaha tani bawang merah

32

konvensional nilai R/C di atas biaya totalnya lebih besar dibandingkan dengan

usaha tani bawang merah organik. Hal ini menunjukan bahwa usaha tani bawang

merah organik lebih efisien jika dibandingkan dengan usaha tani konvensional.

Adopsi Inovasi

Masalah yang cukup mendasar yang dialami di negara-negara yang sedang

berkembang adalah masalah proses transformasi melalui pengalihan, penerapan,

dan pengembangan ilmu dan teknologi. Proses transformasi industry di dalam

negara-negara terbelakang dapat dipandang sebagai proses pembangunan guna

mencapai tujuan yang dicita-citakan (Hartomo & Aziz 1990).

Difusi inovasi menurut Rogers (1993) merupakan bentuk khusus

komunikasi. Adapun yang menjadi ciri komunikasi adalah pesan-pesan yang

disebarluaskan berisi ide-ide, atau praktik ataupun hal-hal baru. Difusi dapat

diartikan sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran

tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan warga dalam suatu sistem sosial.

Pengkajian difusi adalah telaah tentang pesan - pesan yang bersifat inovatif (ide

baru), sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk

pesan. Perbedaan lainnya adalah bahwa di dalam riset komunikasi, hanya

memperhatikan pada perubahan sikap dan pengetahuan komunikan tanpa

memperhatikan resiko terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak dari

komunikan, tetapi pada riset difusi, lebih mengarahkan perhatian pada perubahan

tingkah laku yang tampak, dimana komunikan menyatakan menerima atau

menolak inovasi yang diberikan, bukan sekedar perubahan sikap dan

pengetahuan saja.

Terdapat empat unsur utama dalam difusi inovasi yaitu inovasi, saluran-saluran

komunikasi, waktu dan sistem sosial.

Inovasi

Inovasi merupakan ide, praktik, atau obyek yang baru oleh suatu individu

ataupun unit adopsi yang lain (misanya organisasi). Tidak begitu penting apakah

suatu ide yang dimaksud memang benar-benar baru secara obyektif jika diukur

menurut urutan waktu sejak hal itu pertama kali dipakai atau ditemukan.

23

Kebaruan menurut persepsi sesorang terhadap ide menetukan reaksi terhadap hal

tersebut. Kalau ide tersebut tampak baru bagi seseorang, maka hal tersebut

merupakan satu inovasi. Kebaruan inovasi baik masyarakat tidak hanya

menyangkut pengetahuan baru karena bisa saja inovasi tersebut merupakan

informasi lama namun masyarakat tersebut belum memutuskan sikap untuk

menyukai dan tidak menyukainya ataupun untuk menerima atau menolaknya.

Oleh karena itu, aspek kebaruan dalam satu inovasi terlihat dari pengetahuan,

persuasi, atau suatu kepuasan untuk mengadopsi.

Saluran –saluran komunikasi

Komunikasi diartikan sebagai proses dimana partisipan menciptakan

beberapa informasi dan menyebarkan informasi tersebut untuk mencapai suatu

pengertian bersama. Difusi merupakan bentuk khusus dari komunikasi dimana

informasi yang dipertukarkan menyangkut ide-ide baru. Inti dari difusi adalah

pertukaran informasi dari satu individu ke individu lainnya, menyangkut :

a. suatu inovasi,

b. individu atau unit adopsi lain yang mengetahui atau berpengalaman

menggunakan inovasi,

c. individu lain atau unit lain yang belum menggunakan inovasi,

d. saluran komunikasi yang menghubungkan kedua belah pihak.

Saluran komunikasi merupakan alat dimana pesan dapat sampai dari individu ke

individu lainnya. Sifat dari hubungan pertukaran informasi antar sepasang

individu menentukan kondisi-kondisi di mana seorang sumber akan atau tidak

akan menyampaikan inovasi ke penerima dan yang menentukan efek dari

penyampaian tersebut. Prinsip yang mendasar dalam komunikasi adalah

penyampaian ide terjadi antar dua individu yang memiliki kesamaan atau

homofili. Homofili diartikan sebagai tingkat dimana pasangan individu yang

berinteraksi adalah sama dalam atribut-atribut tertentu seperti keyakinan,

pendidikan, status dan lainnya. Komunikasi akan berjalan efektif ketika dua

individu homofilus.

32

Waktu

Waktu merupakan elemen terpenting dalam proses difusi. Dimensi waktu

dalam proses difusi terkait dalam aspek berikut :

1. dalam proses keputusan inovasi dimana seseorang sejak pertama kali

mengetahui inovasi sehingga menerima atau menolaknya

2. dalam keinovatifan seorang individu maupun unit adopsi, yakni dalam hal

kecepatan atau kelambatan relatif dalam mengadopsi suatu inovasi

dibandingkan dengan anggota lain dari suatu sistem

3. dalam sistem (rate of adoption) suatu inovasi di lingkungan suatu sistem,

biasanya diukur melalui jumlah anggota sistem yang mengadopsi inovasi

dalam jangka waktu tertentu.

Sistem sosial

Sistem sosial didefinisikan sebagai seperangkat unit yang saling

berhubungan dan tergabung dalam upaya bersama memecahkan masalah untuk

mencapai cita-cita bersama. Anggota atau unit sistem dapat berupa individu,

kelompok informal, organisasi atau unit. Penting untuk dicatat bahwa difusi

terjadi di lingkungan suatu sistem karena struktur sosial dari sistem berpengaruh

pada difusi melalui beberapa cara. Sistem sosial membentuk batasan di

lingkungan dimana satu inovasi menyebar.

Ketika pertama kali suatu inovasi disodorkan atau diperkenalkan kepada

masyarakat, orang pada umunya memperhatikan hal-hal yang dapat membantu

mempercepat proses penyebarannya. Dengan demikian inovasi tersebut perlu

dikembangkan atau dimodifikasi agar dapat cepat diterima di masyarakat luas.

Filgel dalam Muhadjir (2001) menyodorkan enam atribut untuk membuat

keputusan mengadopsi suatu inovasi atau tidak yakni, biaya memadai, manfaat

besar, efisiensi tinggi, resiko kecil, dan mudah dilaksanakan.

Gambar 2 Tahap Penyebaran Inovasi (Rogers 1993)

penyebaran

perubahan

menolak atau

menerima

Legitimasi

perubahan

privat atau

publik

Awal

perubahan

Penyaringan

perubahan

mengimbangi

atau

menguatkan

penyebaran

perubahan

25

Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat

oleh seseorang. Jika ia menerima (mengadopsi inovasi), yaitu mulai

menggunakan ide baru, praktek baru, atau barang baru itu dan menghentikan

penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah

proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambilnya

keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya

(Rogers 1993).

Proses Keputusan Inovasi

Di dalam pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang

disebut proses adopsi dikemukakan oleh komisi-komisi ahli-ahli sosiologi

pedesaan pada tahun 1955, proses ini terdiri dari lima tahap (Rogers dan

Shoemaker 1981):

1. Tahap kesadaran, dimana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi

kekurangan informarmasi mengenai hal itu.

2. Tahap menaruh minat, dimana seseorang mulai menaruh minat terhadap

inovasi dan mencari lebih lanjut informasi mengenai inovasi tersebut.

3. Tahap penilainan, dimana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru

itu dihubungkan dengan situasi dirinya saat ini dan masa mendatang dan

menentukan mencobanya atau tidak.

4. Tahap percobaan, dimana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala

kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya.

5. Tahap penerimaan, dimana seseorang menggunakan ide baru secara luas dan

secara tetap.

Rogers menyusun suatu model proses keputusan inovasi yang terdiri dari empat

tahap, yaitu:

a. Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh,

beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi.

b. Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan

terhadap inovasi.

c. Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada

pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi.

d. Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan.

32

Gambar 3 Proses keputusan inovasi (Rogers 1993)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Usahatani

Karakteristik Petani

Sampson dalam Humaedah (2007), mengemukakan bahwa faktor internal

individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan

dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut

terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Karaktersistik individu

merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui

perilaku suatu masyarakat.

Puttileihalat (2007), dalam hasil penelitiannya mengungkapkan

karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku komunikasi antara lain: umur,

tingkat pendidikan, luas lahan, pangalaman berusaha tani, status pekerjaan.

a. Umur

Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga

terdapat perbedaan keragaman perilaku berdasarkan usia yang dimiliki. Petani-

Adopsi

Menolak

Pengadopsian

Terlambat

Tetap menolak

Terus mengadopsi

Diskontinuiansi a. Ganti yang

baru b. Kecewa

Ciri-ciri inovasi dalam pengamatan penerima

1. Keuntungan telatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Observavilitas

Variabel 1. Penerima(sikap

terhadap perubahan),

2. Sifat-sifat sosial (kekosmopolitan)

3. Kebutuhan nyata terhadap inovasi

4. Dan sebagainya

Pengenalan Persuasi Keputusan Konfirmasi

Sistem Sosial 1. Norma sosial, 2. Toleransi

terhadap perubahan

3. Kesatuan komunikasi

4. Dan seterusnya

Implementas

ii

27

petani yang berusia lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan difusi

inovasi pertanian daripada mereka yang relatif muda. Petani yang berumur muda

biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua

(Soekartawi 1988).

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang

sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Proses

pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki

seseorang, lingkungan dan pendidikan/pengajaran (Yolanda 1998). Sukanto

(2002) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka

macam kemampuan, membuka fikiran ilmiah. Petani yang relatif lebih cepat

dalam menerapkan hal-hal yang baru umumnya adalah petani yang memiliki

pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat sekitar, pandai dan pengetahuan

luas.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku

seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi

umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi, sehingga menggunakan

lebih banyak jenis sumber informasi dan lebih terbuka terhadap media massa

(Jahi, 1988).

Rukka (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat adopsi petani akan suatu inovasi.

Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan rendahnya motivasi

petani di dalam menerapkan suatu teknologi baru.

Hasil penelitian Sadono (1999) mengatakan bahwa faktor internal yang

berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan pengendalian hama terpadu (PHT)

adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT itu sendiri.

c. Luas kepemilikan lahan

Hernanto (1989) mengemukakan bahwa luas lahan usaha tani dapat

digolongkan menjadi tiga bagian, yakni lahan yang sempit dengan luas lahan

kurang dari setengah hektar, lahan yang sedang dengan luas lahan setengah

sampai dua hektar, dan lahan luas dengan luas lebih dari dua hektar. Sehubungan

dengan Wiriaatmadja (1977) mengungkapkan bahwa petani-petani yang memiliki

32

tanah usaha yang luas akan memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba

teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang

dibutuhkan.

d. Pengalaman berusaha tani

Pengalaman merupakan interaksi yang dialami seseorang selama hidupnya

dengan lingkungannya sehingga ia mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan

pemahaman tentang suatu kejadian. Semakin sesuainya pengalaman petani

dengan suatu kejadian.

Pengalaman seseorang petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap

proses pengambilan keputusan. Petani yang memiliki penagalaman berusaha tani

lebih lama senderung lebih selektif di dalam proses pengambilan keputusan

(Mardikanto 1992).