Tinjauan Pustaka Penanganan dan Pencegahan DBD

8
Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut-turut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan

description

KKS IKM-IKK 6 April-15 Juni 2015 FK Unsri

Transcript of Tinjauan Pustaka Penanganan dan Pencegahan DBD

Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut-turut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, (3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.

Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat.

Kendala Pencegahan DBD

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga (insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukan pada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatan manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan.

Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi pengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor dan mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat menimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar rumah.

Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukan tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yang terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup efektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi kesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu, sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segera dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun, baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah saja tidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedes aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes aegypti mampu terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya.Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar tempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan fogging terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya. Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas. Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam darahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain. Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karena insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia maupun lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk merupakan sumber produksi nyamuk dewasa.

Sosialisasi dalam pelaksanaan PSN dan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan, misalnya, melalui GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk), sehingga setiap warga dapat saling melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya dari penularan DBD.

Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesia menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporan adanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertama-tama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempat tinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menunggu terjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan pada waktu populasi nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging, harus dicari penyebabnya, apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan, ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.

Tata Laksana Penanggulangan DBDSetiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.

Penyelidikan Epidemiologis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.

Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.

Gambar. Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di Lapangan)

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang meliputi pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan KLB.

Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan 3M, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.

Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBDMasyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagai contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini. Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD. Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukimanpenduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan.

Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. Sejak dulu tidak ada yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan. Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti aegypti. Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan-gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diare dan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui...."

Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti untuk memberantas demam kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang lalu di Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh Jenderal Gorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar-besaran di seluruh negeri. Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran struktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta. Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masyarakat yang rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar denda. Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang tersebut dipanggil dan didenda. Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakan inovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai Peraturan Daerah.