Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
-
Upload
muhammad-nasrullah -
Category
Documents
-
view
241 -
download
3
description
Transcript of Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Kata Pengantar Ketua Presidium Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia
Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rakhmat dan ridho-NYA sehingga Buku “Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia” dapat diterbitkan sesuai rencana.
Buku ini memuat hasil penelitian dan merupakan laporan rekam jejak kegiatan kerjasama antara Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan Partnership/Kemitraan dalam rangka reformasi tata pemerintahan
(Governance reform) dibidang keamanan yang lebih baik, dan lebih demokratis dan sejalan dengan motto LCKI yaitu ”sejahtera tanpa kejahatan”(prosperity without crime). Kegiatan penelitian dan kajian materi buku ini, dengan restu dari Bapak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, telah melibatkan banyak pihak yang terdiri dari kelompok akademisi, Tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan unsur dari instansi Pemerintah di beberapa kota dalam kegiatan Survey, Focused Group Discussion, Workshop dan Round Table Meeting. Secara khusus kerjasama ini dimungkinkan karena peranan negara Denmark dan Partnership/Kemitraan serta komitmen dari Tim Kerja LCKI. Untuk itu semua, saya selaku Pimpinan LCKI dan selaku pribadi menyampaikan apresiasi dan terima kasih. Semoga kerjasama seperti ini diwaktu yang akan datang dapat terus berlanjut dan berkembang.
i
Disadari bahwa hasil temuan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian, betapapun diharapkan dapat dijadikan masukan bagi penyusunan kebijakan dan strategi pencegahan dan penanganan terorisme yang lebih komprehensif secara nasional.
Mengingat bahwa terorisme menimbulkan korban dan akibat kerusakan yang dahsyat yang menghancurkan peradaban manusia maka setiap warga masyarakat dan aparat Pemerintah seyogianya memandang terorisme sebagai musuh bersama yang perlu dicegah, ditangani dan dilawan secara sungguh-sungguh dan profesional.
Terima kasih.
Jakarta, 19 Desember 2007 Ketua Presidium LCKI Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ....................................................... i
Daftar Isi ............................................................... iii
Daftar Tabel ........................................................... vii
Bab I PENDAHULUAN............................................... 1
1. Latar Belakang ........................................... 1 2. Dasar....................................................... 12 3. Maksud dan Tujuan ...................................... 13 4. Lingkup Materi Laporan................................. 13 5. Sistematika Penulisan ................................... 14
Bab II PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK ..................... 15
1. Judul Proyek.............................................. 15 2. Tujuan ..................................................... 15 3. Manfaat.................................................... 16 4. Hasil Yang Diharapkan .................................. 16 5. Pengorganisasian Proyek................................ 17 6. Kegiatan Penelitian dan Pengkajian .................. 18
6.1. Umum............................................. 18 6.2. Pendekatan dan Tipe Penelitian ............. 19
7. Populasi dan Sampel .................................... 23 8. Kegiatan Survey : Teknik Penarikan Sampel......... 23 9. Teknik Pengumpulan Data.............................. 24
9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif................ 24 9.2. Pengumpulan Data Kualitatif ................. 25
iv
9.3. Perlengkapan Penelitian....................... 26 9.4. Non-Participant Observation.................. 26
10. Analisis Data Kualitatif.................................. 27 11. Teknik Analisis Data Kuantitatif ....................... 28 12. Kendala Penelitian Dan Pengumpulan Data
Kualitatif .................................................. 28 12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara
Mendalam ........................................ 28 12.2. Kendala Dalam Melakukan Focused Group
Discussion Dan Workshop ...................... 29
Bab III Hasil Penelitian .............................................. 31
1. ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 31 1.1. Masalah koordinasi kelembagaan............. 31 1.2. Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut,
Udara dan Jalur Lalu Lintas Keluar Masuk Wilayah Indonesia............................... 35
1.3. Database Tentang Pencegahan Dan Penanganan Terorisme......................... 36
2. ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 37 2.1. Aturan Hukum Tentang Tindak Pidana
Terorisme ........................................ 38 2.2. Aturan Tentang Pelarangan Organisasi
Radikal............................................ 40 2.3. Efektifitas Laporan Intelijen .................. 41 2.4. Penyesuaian Hukum Nasional Terhadap
Hukum Internasional dan Konvensi Internasional Melawan Terorisme ............ 42
v
3. ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 43 3.1. Persepsi Masyarakat Tentang Terorisme
Sebagai Musuh Bersama........................ 43 3.2. Definisi Terorisme .............................. 47 3.3. Pers/ Media Massa Sebagai Sumber
Informasi ......................................... 49 3.4. Eksistensi Kelompok-Kelompok Radikal
Militan ............................................ 54 3.5. Partisipasi Masyarakat Dalam Pencegahan
dan Penanganan Terorisme ................... 56 3.6. Kemampuan Mobilitas Teroris ................ 60 3.7. Terorisme dan Tujuan Politik ................. 62 3.8. Persepsi Masyarakat Terhadap Kerjasama
Internasional..................................... 64 3.9. Dukungan Logistik Dan Pendanaan
Terorisme ........................................ 65 3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Kondisi
Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama 68 3.11. Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak
Hukum ............................................ 71 3.12. Pemanfaatan Budaya Lokal Bagi
Pencegahan dan Penanganan Terorisme .... 74 BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................. 79
1. Skema Hubungan Masalah .............................. 79 2. Rekomendasi Kebijakan ................................ 80
2.1. Rekomendasi Kebijakan Aspek Struktural... 81 2.2. Rekomendasi Kebijakan Aspek Instrumental 83 2.3. Rekomendasi Kebijakan Aspek Kultural ..... 86
vi
LAMPIRAN : Bagan Situasi Masalah – Substansi Masalah dan Solusi Masalah ......................................... 93 DAFTAR PUSTAKA .................................................... 109 DAFTAR ISTILAH ..................................................... 113
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus
Anti Teror Di Indonesia .................................... 32
Tabel 2. Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme ...... 33
Tabel 3. Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar ................... 44
Tabel 4. Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar ..........................................
45
Tabel 5. Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme .......................
50
Tabel 6. Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia ... 52
Tabel 7. Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi) .... 54
Tabel 8. Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat .....................................
57
Tabel 9. Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat ................................................... 58
Tabel 10. Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat ...................................................
59
Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme ....................................
71
Tabel 12. Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme ...............................
72
Tabel 13. Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme ............................
73
Tabel 14. Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme ........................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional
mengenai definisi tentang terorisme, karena disamping banyak
elemen terkait, juga karena semua pihak berkepentingan melihat
atau menerjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang
dan kepentingan masing-masing. Namun tidak berarti bahwa belum
ada rumusan tentang terorisme. Setiap negara merumuskannya
dalam sistem hukum sesuai dengan karakteristik ancaman yang
dihadapi. Namun demikian apapun rumusan atau definisinya,
terorisme pada hakekatnya adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam arti bahwa setiap terjadi ancaman terorisme
dimanapun akan merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia
karena mengancam perdamaian dan kedamaian nasional maupun
internasional1.
Indonesia, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003, memberi definisi tindak pidana terorisme sebagai
setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan
1 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006). Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6.
1
kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat
bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi
yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.
Bagi Indonesia masalah terorisme ini merupakan masalah
serius yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara. Berdasarkan
pengungkapan aksi terror selama ini dapat diketahui bahwa
ternyata Indonesia tidak hanya menjadi target terorisme baik yang
bersifat domestik maupun internasional namun ternyata juga
dijadikan tempat perekrutan pelaku terorisme. Dalam beberapa
kali kesempatan Kepala Negara menyatakan bahwa tiga masalah
serius yang harus dihadapi bersama oleh seluruh komponen dalam
masyarakat adalah Korupsi, Narkotika dan Terorisme. Pernyataan
ini merupakan suatu komitmen dan sekaligus menempatkan ketiga
masalah tersebut pada prioritas yang tinggi dalam agenda bangsa
Indonesia2.
Setelah tragedi bom di Legian Bali, Pemerintah telah
mengambil beberapa langkah strategis untuk menghadapi tindak
2 Ibid. Hal.3.
2
pidana terorisme ini berupa langkah untuk memperkuat perangkat
hukum dan organisasi yang dapat dijadikan landasan bagi upaya
penindakannya. Satu minggu setelah terjadinya tragedi Bom di
Legian Bali, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali
tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2
Tahun 2002 kemudian disyahkan oleh DPR RI menjadi Undang-
undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 16 Tahun 2003.
Dalam perkembangannya Undang-undang No. 16 Tahun 2003
dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.
Di samping memperkuat dan menyempurnakan legislasi
nasional mengenai penanganan masalah terorisme, Indonesia juga
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan berbagai Konvensi
Internasional. Sejauh ini terdapat 13 Konvensi Internasional yang
menyangkut tindak pidana terorisme. Dari jumlah ini Indonesia
telah meratifikasi 6 Konvensi, sedangkan beberapa konvensi
lainnya masih dalam proses ratifikasi. Selanjutnya sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia pun terikat oleh berbagai
Deklarasi dan Resolusi yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan organisasi-organisasi dimana Indonesia menjadi anggota
3
seperti Organisasi Konferensi Islam, Gerakan Non-Blok, ASEAN,
APEC dan lain-lain3.
Dalam lingkup penyusunan peraturan perundang-undangan
yang memiliki aspek internasional maka kebijakan legislasi mutlak
mengadopsi substansi konvensi-konvensi internasional yang telah
diakui oleh Pemerintah RI atau mempertimbangkan konvensi
internasional yang belum diakui akan tetapi memiliki filosofi
semangat dan jiwa yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945
serta kebutuhan negara RI.4
Dalam rangka meningkatkan efektifitas pemberantasan
terorisme, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun
2002 yang memerintahkan Menko Polkam untuk menyusun
kebijakan dan langkah-langkah operasional pemberantasan
terorisme. Selanjutnya Menko Polkam dalam melaksanakan
Instruksi Presiden tersebut telah mengeluarkan Keputusan Menko
Polkam nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang
Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)5.
Selain itu Menko Polhukam juga mengeluarkan keputusan
Nomor Kep-45/Menko/Polhukam/6/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Selanjutnya, oleh
3 Ibid. Hal 1-2. 4 Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH., LL.M. Kapita Selekta Hukum Pidan Internasional,
CV. Utomo, Bandung. 2004, hal. 81. 5 Ibid. Hal. 3.
4
desk koordinasi pemberantasan terorisme telah dikeluarkan
pedoman operasi terpadu dalam penanganan aksi teror pada tahun
2006.
Sementara itu Presiden, pada tahun 2004, juga mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek
Vital Negara yang bertujuan untuk mencegah semakin
meningkatnya ancaman dan gangguan terhadap Obyek Vital
Nasional termasuk oleh aksi terorisme6.
Penanganan terorisme perlu dilakukan secara terus menerus
dan mutlak memerlukan kerjasama yang terpadu, lintas instansi,
dan lintas negara. Untuk itu diperlukan penanggulangan terorisme
secara komprehensif yang melibatkan peran dan fungsi berbagai
instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan bekerjasama
dengan komunitas internasional dengan dukungan dan partisipasi
segenap komponen bangsa7.
6 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksudkan dengan : (1) Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis; (2) Pengelola Obyek Vital Nasional adalah perangkat otoritas dari Obyek Vital Nasional, (3) Pengamanan adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan serta penegakan hukum terhadap setiap ancaman can gangguan yang ditujukan kepada Obyek Vital Nasional; (4). Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan dengan segala bentuknya balk yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat berpotensi membahayakan kelangsungan berfungsinya Obyek Vital Nasional, (5) Gangguan adalah tindakan yang sudah nyata dan menimbulkan kerugian berupa korban jiwa dan/atau harta benda serta dapat berakibat trauma psikis kepada pegawai/karyawan Obyek Vital Nasional.
7 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006).Loc.cit, hal.4.
5
Terorisme bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan
kejahatan luar biasa bahkan digolongkan kedalam kejahatan
terhadap kemanusiaan. Terorisme mempunyai jaringan yang luas
dan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan
nasional serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga
perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan
berkesinambungan sehingga hak asasi manusia dapat dilindungi dan
dijunjung tinggi8.
Masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional saat ini
sedang dihadapkan dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan
akibat maraknya aksi teror. Bangsa Indonesia telah merasakan
betapa besarnya kerugian akibat aksi teror, karena telah
menimbulkan korban nyawa warga negara Indonesia dalam jumlah
cukup banyak serta kerugian harta benda dan memperparah
keadaan ekonomi bangsa yang sedang terpuruk akibat krisis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu pemberantasan terorisme telah
merupakan tekad pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam
rangka mencapai tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu9 :
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
8 Ibid. Hal. 29. 9 Ibid. 30.
6
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerjasama
internasional untuk ikut memberantas segala tindakan yang
berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
masyarakat yang beradab menegaskan secara sungguh-sungguh
untuk mengecam secara tegas seluruh bentuk, metoda, upaya dan
tindakan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam,
termasuk mereka yang merusak hubungan persahabatan antar
negara dan mengancam integritas teritorial, keamanan, ketertiban
dan pertahanan negara-negara yang berdaulat10.
Untuk mencegah tindak pidana terorisme, diperlukan kerja
sama antar negara yang dilakukan melalui perjanjian, baik
bilateral maupun multilateral. Secara internasional pemberantasan
terorisme adalah bagian dari pelaksanaan komitmen Resolusi
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang
mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk
mencegah dan memberantasnya. PBB melalui United Nations
Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan
merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara
komprehensif, sebagai berikut:
10 Ibid. Hal. 30.
7
1. Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance);
2. Aspek ekonomi dan sosial (economic and social);
3. Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology,
communication, education);
4. Peradilan dan hukum (judicial and law);
5. Aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and
prison system);
6. Aspek intelijen (intelligence);
7. Aspek militer (military);
8. Aspek imigrasi (immigration).
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan
memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai
konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan
umat manusia sehingga seluruh negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, wajib mendukung dan
melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk
terorisme dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk
mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Substansi
8
Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSC) No. 1373 adalah, sebagai
berikut11 :
1. Mencegah dan menindak pendanaan terhadap teroris.
2. Pembekuan dana sumber-sumber keuangan para teroris.
3. Melarang warga negara untuk mendanai teroris.
4. Mencegah warga negara mendukung teroris, termasuk
mencegah rekrutmen dan mengeliminir suplai senjata.
5. Menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke
negara lain melalui pertukaran informasi.
6. Menolak untuk dijadikan tempat persembunyian teroris.
7. Mencegah digunakannya wilayah teritorial untuk
melakukan kegiatan teroris terhadap negara lain atau
warga negaranya.
8. Menjamin bahwa para teroris dan pengikutnya diajukan
ke pengadilan dan di jatuhi hukuman setimpal dengan
kesalahannya.
9. Menyediakan bantuan dalam rangka investigasi kriminal.
10. Menerapkan pengawasan perbatasan secara efektif,
meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap
dokumen perjalanan.
11 Ibid. 30-31.
9
Dalam rangka memperkuat kerjasama internasional dalam
pemberantasan terorisme, perlu diratifikasi berbagai konvensi
internasional yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Juga perlu diadakan persetujuan bantuan hukum secara timbal
balik (mutual legal assistance treaties) dengan negara lain,
sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat dalam kerjasama
operasional, pemeriksaan saksi-saksi, pengambilan barang bukti
dan lain-lain12.
Dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 tahun 2002, Perpu No. 2
tahun 2002 yang kemudian telah disahkan masing-masing menjadi
Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor
16 tahun 2003 dan selanjutnya Inpres No. 4 tahun 2002, maka
Pemerintah memberi mandat kepada Menko Polkam untuk
merumuskan kebijakan nasional melawan terorisme dan
mengkoordinasikan langkah-langkah operasional dalam upaya
pencegahan dan penanganan terorisme. Dengan menyadari bahwa
upaya pencegahan dan penanganan terorisme mutlak memerlukan
kerjasama terpadu secara lintas instansi bahkan lintas negara,
maka diperlukan suatu konsep operasi yang komprehensif, dengan
memadukan peran dan fungsi instansi-instansi pemerintah baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta melibatkan
partisipasi masyarakat.
12 Ibid. 32-33.
10
Secara umum, pencegahan dan penanganan terorisme dapat
dikatakan masih belum efektif. Dalam penindakan terorisme,
hampir semua pelaku teror Bom Bali 12 Oktober 2002 telah
tertangkap dan diproses sesuai ketentuan hukum. Namun demikian
ternyata masih terjadi lagi aksi teror bom di Hotel J.W. Marriot
Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2003 dan teror bom didepan
Kedutaan Besar Australia pada tanggal 9 September 2004. Bahkan
kemudian di Bali terjadi lagi aksi teror bom pada tanggal 1 Oktober
2005 (Bom Bali II). Hal tersebut menuntut untuk terus meningkatan
upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme.
Dalam pencegahan dan penanganan terorisme ternyata tidak
hanya berkait dengan masalah hukum atau undang-undang (aspek
instrumental), tapi mencakup secara komprehensif masalah
pengorganisasian upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana terorisme (aspek struktural) dan budaya (aspek
kultural). Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan antara lain
adalah, membangun kesadaran publik tentang bahaya terorisme,
menciptakan komunitas yang sadar tentang masalah-masalah
keamanan. Dengan demikian, selain meningkatkan sistem hukum
yang mampu merespons terorisme, upaya-upaya prevensi dan
sosialisasi, seperti melakukan program-program edukasi dan
rehabilitasi.
Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan dan pengkajian lebih
lanjut tentang hal-hal yang terkait dengan:
11
1. Penataan normatif (aspek instrumental) pencegahan dan
penanganan terorisme sebagai bagian integral dari
manajemen penyelenggaraan negara / tata
pemerintahan.
2. Pengorganisasian (aspek struktural) upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme
yang dapat menjamin sinergi upaya pencegahan dan
penanganan terorisme yang dilakukan oleh berbagai
instansi.
3. Nilai-nilai (aspek kultural) yang direfleksikan dalam tata
laku aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan terorisme dan persepsi masyarakat tentang
kejahatan terorisme sebagai musuh bersama (common
enemy), sehingga diharapkan bisa menciptakan bentuk-
bentuk partisipasi masyarakat yang efektif dalam
pencegahan dan penanganan tindak pidana terorisme.
2. DASAR
Kerjasama Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia dengan
Kemitraan dalam Proyek Kajian dan Perumusan Mekanisme
Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di
Indonesia, yang dituangkan dalam bentuk Memorandum of
Understanding (MOU) yang ditanda tangani pada tanggal 28 Mei
2007.
12
3. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari penulisan laporan ini adalah untuk
menggambarkan hasil penelitian, pengkajian dan perumusan
tentang “Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan
Penanganan Terorisme di Indonesia” yang dilaksanakan oleh
Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia bekerja sama dengan
Kemitraan.
Laporan ini bertujuan untuk:
1. Menyajikan deskripsi Proses Penelitian, Pengkajian dan
Perumusan;
2. Menggambarkan Substansi yang dihasilkan mencakup
Aspek Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Alternatif
Solusi Pemecahannya (Struktural, Instrumental dan
Kultural);
3. Menyajikan rumusan alternatif Rekomendasi Kebijakan.
4. LINGKUP MATERI LAPORAN
Adapun lingkup materi Laporan tentang alternatif
manajemen pencegahan dan penanganan terorisme ini meliputi:
1. Proses Penelitian, Pengkajian dan Perumusan.
13
2. Materi yang dihasilkan mencakup Situasi Masalah,
Substansi Masalah dan Alternatif Solusi Pemecahannya
(Struktural, Instrumental dan Kultural).
3. Rekomendasi Kebijakan.
5. SISTEMATIKA PENULISAN
Sesuai dengan tujuan penulisan Laporan yang telah
disebutkan di atas maka disusun sistematika penulisan sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II :
PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK
BAB III : HASIL PENELITIAN:
1. Aspek Struktural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia
2. Aspek Instrumental Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia
3. Aspek Kultural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia
BAB IV : PENUTUP : REKOMENDASI KEBIJAKAN
14
BAB II
PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK
1. JUDUL PROYEK
Judul Proyek yang dilakukan oleh Lembaga Cegah Kejahatan
Indonesia bekerja sama dengan Kemitraan adalah: “KAJIAN DAN
PERUMUSAN MEKANISME ALTERNATIF MANAJEMEN PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA”.
2. TUJUAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan
alternatif manajemen pencegahan dan penanganan terorisme yang
effektif di Indonesia.
Secara khusus, tujuan dari penelitian tentang ini adalah
untuk mengetahui:
1. Gambaran terkini tentang pencegahan dan penanganan
terorisme yang dilakukan oleh berbagai instansi
pemerintah yang terkait.
15
2. Persepsi masyarakat tentang pencegahan dan penanganan
terorisme.
3. Merumuskan alternative policies tentang pencegahan dan
penanganan terorisme.
3. MANFAAT
Adapun manfaat dari Proyek “Kajian dan Perumusan
Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan
Terorisme di Indonesia ini adalah : Terwujudnya pembaharuan Tata
Pememerintahan (Governance Reform) khususnya di bidang
keamanan yang lebih demokratis, legal dan komprehensif untuk
kebijakan publik (legislatif dan eksekutif)
4. HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dari kegiatan Proyek “Kajian dan
Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan
Penanganan Terorisme di Indonesia ini adalah :
1. Deskripsi kebijakan, implementasi dan tata cara atau
mekanisme pencegahan dan penanganan terorisme yang
dilaksanakan oleh Instansi terkait.
2. Deskripsi pendapat masyarakat tentang terorisme,
pencegahan dan penanganannya.
3. Policy Paper tentang alternatif pencegahan dan
penanganan terorisme di Indonesia.
16
4. Komitmen Policy Makers untuk menggunakan alternatif
pencegahan dan penanganan terorisme.
5. PENGORGANISASIAN PROYEK
Untuk dapat melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan Proyek
“Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen
Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia”, dilakukan
pengorganisasian pelaksanaan pekerjaan yang meliputi :
Penanggungjawab : Prof. Drs. Da’i Bachtiar, S.H.,
A. Steering Committee :
1. Prof. Drs. Adrianus E. Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D.
(Senior Governance Advisor – Partnership)
2. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A.
(Direktur Jenderal Perlindungan HAM – Departemen Hukum
dan HAM)
3. Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai
(Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko
Polhukam)
4. Brigjen. Pol. Bekto Suprapto
(Kadensus 88/AT Bareskrim Polri)
5. Irjen Pol (Purn) Drs. Ronny Lihawa, M.Si.
(Ketua Desk Antar Instansi DN / LN – LCKI)
6. Warsito Sanyoto, S.H., M.H.
(Ketua Desk Anti Teror – LCKI)
17
B. Manajemen Proyek :
1. Pimpinan : Irjen Pol (Purn) Drs. Momo Kelana, M.Si.
2. Wakil Pimpinan : Irjen Pol (Purn) Drs. Ketut Astawa
3. Staf Teknis Proyek : Dede Astika Widiana
4. Staf Administrasi : Mohamad Viva, S.Kom.
5. Staf Keuangan : Dra. Sri Purnamawati
6. Peneliti : Drs. M. Kemal Dermawan, M.Si.
Rocky Sistarwanto, S.Sos., MBA.
6. KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
6.1. UMUM
Metode penelitian merupakan suatu proses yang harus
dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang diinginkan
dapat tercapai. Dalam metode penelitian, cara yang akan
digunakan dalam mengumpulkan data sangat penting karena
akan mempengaruhi hasil penelitian. Jika cara yang
digunakan tidak sesuai atau kurang tepat maka hasil
penelitian bisa saja berbeda dari apa yang diharapkan.
Metode penelitian yang diuraikan dalam Research
Design mencakup beberapa hal yaitu: (a) Pendekatan dan
Tipe penelitian; (b) Populasi dan sampel; (c) Teknik
penarikan sampel; (d) Teknik pengumpulan data; serta (e)
Teknik analisis data.
18
6.2. PENDEKATAN DAN TIPE PENELITIAN
Pendekatan dan tipe penelitian yang dilakukan dalam
kegiatan ini sangat tergantung pada hasil kegiatan yang
diharapkan. Dalam mencapai hasil kegiatan pertama
(Output I: hasil wawancara mendalam), yakni deskripsi
tentang kebijakan, implementasi dan tata cara atau
mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme yang
selama ini dilaksanakan oleh instansi Primer Tingkat Nasional
yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme, Kemenko Polhukam, Republik Indonesia, maka
dilakukan pendekatan kualitatif, dalam bentuk wawancara
mendalam dengan berpedoman pada variabel dan indikator
penelitian yang dirujuk dari berbagai referensi. Wawancara
mendalam dilakukan kepada informan-informan yang
mewakili instansi yang menangani upaya pencegahan dan
penanganan terorisme dan instansi Primer Tingkat Nasional
yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme (DKPT), Kemenko Polhukam, Republik Indonesia,
yaitu:
1. Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko
Polhukam
2. Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim
Polri
19
3. Departemen Dalam Negeri
4. Departemen Luar Negeri
5. Departemen Pertahanan
6. Departemen Agama
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Dalam rangka mencapai hasil kegiatan ke dua (Output
II: Hasil Survei), yakni deskripsi persepsi masyarakat
(Stakeholders: Hotel, Restoran / Kafe, Mal / Pusat
Perbelanjaan, Bandara, Pusat Perkantoran); tentang
terorisme, pencegahan dan penanganannya, dilakukan
dengan pendekatan kuantitatif dalam bentuk survei, yang
mewawancarai para responden.
Untuk memperkaya temuan masalah dari output I dan II
dilaksanakan kegiatan Focused Group Discussion (FGD) di
empat kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makasar) yang
diikuti oleh para peserta yang merupakan perwakilan dari:
I. Instansi Pemerintah antara lain:
1. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi, Lembaga
Pemasyarakatan, Perundangan-undangan, dan Hak
Asasi Manusia)
2. Kejaksaan Agung (di daerah Kejaksaan Tinggi/Negeri)
3. Mahkamah Agung (di daerah Pengadilan Tinggi/Negeri)
20
4. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
5. Kepolisian Densus 88 dan Gegana (di daerah POLDA)
6. Departemen Keuangan (PPATK)
7. Departemen Perhubungan (Bandara)
8. Badan Intelijen Negara (BIN)
9. Perwakilan dari instansi-instansi pemerintah yang
terkait. (PEMDA dan dinas terkait lainnya antara lain
pemadam kebakaran dan ambulans)
II. Umum/multistakeholders:
1. Asosiasi Hotel dan Restoran (PHRI)
2. Asosiasi Pedagang Retail (Mall / Pusat Perdagangan)
3. Angkasa Pura (Pengelola Bandara)
4. Pelindo (Pengelola Pelabuhan)
5. Organisasi Profesi (Asosiasi Manajer Sekuriti Indonesia)
6. Asosiasi Hiburan / Pariwisata
7. Perbankan (Perbanas)
8. Organisasi Mahasiswa;
9. Organisasi Kepemudaan yang bersifat lokal
III. Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO)
1. Kontras (khusus Jakarta)
2. Organisasi Perlindungan Perempuan
3. Lembaga Bantuan Hukum
4. Majelis Ulama Indonesia
5. Asosiasi Pondok Pesantren
21
6. Muhammadiyah
7. Nahdlatul Ulama
8. Parisadha Hindu Dharma (Organisasi Hindu)
9. Walubi (Organisasi Budha)
10. Kristen (Organisasi Kristen)
11. Katolik (Organisasi Katolik)
IV. Universitas / Akademisi
1. Universitas-universitas lokal (negeri dan swasta)
Setelah dilakukan Focus Group Discussion (FGD), maka
dilakukan Workshop di empat kota (Medan, Pekanbaru,
Jakarta dan Jogjakarta) yang menghadirkan para peserta dari
unsur yang sama dengan peserta Focus Group Discussion
(FGD).
Hasil dari Workshop dibahas dalam kegiatan Round
Table Meeting (RTM) dengan pakar dari berbagai bidang dan
disiplin ilmu. Setelah kegiatan Round Table Meeting (RTM)
dilakukan kegiatan Diskusi Publik yang diikuti oleh tokoh
masyarakat dan pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan
dan agama dalam rangka uji sahih.
Setelah dilakukan Diskusi Publik, dalam rangka
mendapatkan komitmen dari Policy Makers, hasil Penelitian
dan Kajian dibahas dalam Round Table Meeting dengan para
22
pejabat dari berbagai instansi terkait dan penyerahan Draft
Policy Paper pada Komisi III DPR-RI.
7. POPULASI DAN SAMPEL13
Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung seluruh
unsur stakeholders, yakni Hotel, Restoran/Kafe, Mal/ Pusat
Perbelanjaan, Airport, Pusat Perkantoran di wilayah tertentu yang
akan dipilih. Sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi
yang diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan
populasinya. Sampel tiap-tiap unsur ditentukan jumlahnya, yakni
bagi survei di Jakarta, setiap unsur diambil 50 responden (sehingga
jumlah keseluruhan adalah 250) Untuk Surabaya, Denpasar dan
Makasar setiap unsur diambil 20 responden (sehingga jumlah
keseluruhan tiap kota 100 responden).
8. KEGIATAN SURVEI : TEKNIK PENARIKAN SAMPEL14
Penarikan sampel dilakukan dengan metode multistages
sampling atau penarikan sampel secara bertahap. Tahap awal
untuk menentukan kriteria sampel/responden berdasarkan metode
penelitian yang dipakai adalah:
Tahap 1: Menentukan wilayah penelitian, misalnya Kota mana,
Hotel, Restoran/Kafe, Mall/Pusat Perbelanjaan,
13 Khusus untuk kegiatan Survei. 14 Khusus untuk kegiatan Survei.
23
Airport, dan Pusat Perkantoran mana saja yang diambil
berdasarkan pertimbangan metodologis tertentu.
Tahap 2: Menentukan jumlah sampel. Jumlah sampel yang
diambil secara keseluruhan di empat kota (Jakarta
250, Surabaya 100, Denpasar 100, dan Makasar 100)
adalah 550 orang, yang ditemui di masing-masing
tempat yang telah ditentukan.
Tahap 3: Menentukan kuota. Dari setiap jumlah responden di
seluruh Kota diambil separuhnya adalah responden
laki-laki dan separuhnya lagi adalah responden
perempuan (Jakarta: 125 perempuan, 125 laki-laki;
Surabaya, Denpasar, dan Makasar: 50 responden laki-
laki dan 50 responden perempuan.
Tahap 4: Menemui responden berdasarkan tahap 2 dan 3 secara
accidental, yaitu dengan memperhatikan kuota
pewawancara dapat menemui setiap pengunjung,
dengan kriteria tambahan bahwa setiap responden
harus berusia 18 tahun ke atas.
9. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif
Data atau keterangan yang diambil untuk menjawab
pertanyaan penelitian diperoleh dengan cara mengumpulkan
informasi dengan teknik wawancara berstruktur dengan
24
menggunakan kuesioner. Kuesioner dibuat sedemikian
ringkas, padat dan akurat agar menghemat waktu sehingga
tidak mengganggu kepentingan dan agenda responden. Jika
hal ini tidak diwaspadai maka akan menyebabkan tingginya
tingkat penolakan responden.
9.2. Pengumpulan Data Kualitatif
Pendekatan kualitatif (pengumpulan data kualitatif
melalui wawancara mendalam) dilakukan bagi kepentingan
penelusuran data yang lebih mendalam tentang kebijakan,
implementasi dan tata cara atau mekanisme pencegahan dan
pemberantasan terorisme yang selama ini dilaksanakan oleh
instansi Primer Tingkat Nasional yang telah ditetapkan oleh
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Kemenko
Polhukam, Republik Indonesia, sebagai instansi-instansi
penjuru dalam penanganan terorisme, yaitu: (1) Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko Polhukam;
(2) Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim Polri;
(3) Departemen Dalam Negeri; (4) Departemen Luar Negeri;
(5) Departemen Pertahanan; (6)Tentara Nasional Indonesia
(TNI); (7) Badan Intelijen Negara (BIN); (8) Departemen
Kesehatan.
Dalam melakukan pengumpulan data, Tim Peneliti
menggunakan metode interview dalam bentuk “personal
25
interview” dengan mewawancarai beberapa key informan
dari unsur-unsur yang telah disebutkan di atas.
9.3. Perlengkapan Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat dan terfokus, Tim
Peneliti dilengkapi dengan checklist dan pedoman
wawancara tak berstruktur. Checklist merupakan daftar
pertanyaan yang tidak ditanyakan pada informan melainkan
menjadi pedoman bagi peneliti tentang data yang harus
dicari di lapangan. Sedangkan wawancara tak berstruktur
berupa pedoman wawancara yang berisikan poin-poin (garis
besar) yang harus dikembangkan secara mendalam oleh
peneliti di lapangan.
9.4. Non-Participant Observation
Peneliti juga melakukan “Non-participant observation”.
Dalam observasi ini peneliti mengamati kejadian atau situasi
yang sedang berlangsung, tetapi ia sendiri tidak merupakan
bagian dari kelompok dan situasi tersebut, hanya mengamati
dari “jarak tertentu”. Teknik ini banyak dipergunakan dalam
penelitian; biasanya sambil mengamati dulu dan melakukan
pencatatannya kemudian.
26
10. ANALISIS DATA KUALITATIF
Dalam analisa data (kualitatif) pada dasarnya merupakan
proses pengorganisasian dan pemilahan data ke dalam kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang
dapat menjadi panduan dalam melakukan analisa (interpetasi).
Sebelum melakukan analisa data, dilakukan kegiatan:
1. Mendiskripsikan hasil wawancara secara apa adanya.
2. Melakukan kategorisasi hasil temuan-temuan itu menurut
jenis datanya yang sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Dilakukan analisa secara kritis terhadap seluruh hasil
temuan yang ada.
4. Penyajian hasil wawancara secara mendalam, dipisahkan
antara emik (pendapat informan) dengan etik (pendapat
peneliti).
5. Penyajian data menggunakan teknik etnografi modern
yaitu teknik laporan penelitian sudah diimaginasikan
dengan bantuan teori dan referensi lainnya.
Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang dikumpulkan, baik yang diperoleh melalui wawancara,
pengamatan, catatan lapangan dan seterusnya, baru melakukan
reduksi data yang dilakukan dengan cara membuat abstraksi.
Sebelum data ditafsirkan dilakukan evaluasi terhadap keabsahan
data, baru data ditafsirkan dengan bantuan teori yang telah
disediakan.
27
11. TEKNIK ANALISIS DATA KUANTITATIF
Data yang diperoleh, dianalisis sesuai dengan fokus
penjelasan hubungan antar variabel penelitian. Pengolahan data
melalui SPSS (Statistic Package for Social Science) kemudian akan
dianalisis dengan: descriptive statistics.
12. KENDALA PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA KUALITATIF
12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara Mendalam
Sesuai Research Design yang telah disepakati maka
Informan dari pihak Instansi Pemerintah yang akan di
wawancarai adalah :
1. Komenko Polhukam – Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)
2. POLRI (Bareskrim)
3. Departemen Agama
4. Departemen Dalam Negeri
5. Departemen Luar Negeri (Direktorat Keamanan Negara)
6. Departemen Pertahanan (Ortala)
7. KOMNAS HAM
8. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi)
Ada hambatan birokratis yang dihadapi oleh Tim
Peneliti, yang kemudian mengakibatkan kurang lancarnya
kegiatan wawancara ini dilakukan. Pihak instansi terlihat
sangat berhati-hati dalam merujuk informan yang tepat
28
untuk diwawancarai masalah Terorisme ini. Perlu kiranya
pihak LCKI mendukung kelancaran permohonan dengan
pendekatan yang lebih khusus lagi, karena surat permohonan
yang diberikan ditanggapi tidak terlalu berbeda dengan surat
permohonan lainnya yang sangat prosedural sifatnya.
12.2. Kendala Dalam Melakukan Focus Group Discussion Dan Workshop
Walaupun Tim Peneliti dan Tim Manajemen telah
merancang dengan seksama kegiatan Focus Group Discussion
dan Workshop namun ada pula kendala-kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaannya, antara lain :
1. Dalam kegiatan-kegiatan seperti Focus Group Discussion
dan Workshop, walaupun Tim Peneliti dan Tim
Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal di Kota
di mana kegiatan dilakukan telah mempersiapkan
undangan kepada pihak-pihak yang dinilai kompeten
dalam diskusi, namun dalam pelaksanaannya, Tim Peneliti
dan Tim Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal,
tidak dapat menjamin bahwa peserta yang hadir adalah
benar-benar para undangan yang diharapkan atau
berkompeten untuk memberikan pemikiran yang
diharapkan.
2. Khusus untuk pelaksanaan Workshop, persiapan undangan
dilaksanakan pada bulan puasa mendekati hari Raya Idul
29
Fitri, sehingga kelancaran penyebaran undangan dan
konfirmasi terhambat.
30
BAB III
HASIL PENELITIAN
1. ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA
Aspek struktural mencakup pembahasan tentang
pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau
badan yang mengemban tugas pencegahan dan penanganan
terorisme. Dalam membahas temuan lapangan dari aspek
Struktural ini, difokuskan pada butir-butir masalah yang
dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan
solusi pemecahan masalah.
1.1. MASALAH KOORDINASI KELEMBAGAAN
Beberapa instansi memiliki satuan anti teror yang
keberadaan dan rumusan tugasnya mengacu kepada undang-
undang dari instansi yang menjadi induk organisasinya.
Sebagai contoh Densus 88 mengacu pada Undang-undang No.
2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Satuan Tugas Anti Teror TNI (Detasemen 81 Kopasus,
Detasemen Jalamangkara/Denjaka Marinir, dan Detasemen
Bravo 90 Paskhas TNI AU) yang mengacu kepada Undang-
31
undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI dan Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme (DKPT) pada Kementerian
Koordinator Polhukam yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Menko Polkam No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002.
Di masyarakat berkembang juga suatu persepsi tentang
badan yang menangani terorisme yang tercermin dari hasil
penelitian survei. Berikut ini akan disajikan tabel yang
menunjukkan pengetahuan para responden tentang pasukan-
pasukan khusus yang diketahui oleh mereka, tanpa
menonjolkan variasi jawaban dari responden. Kepentingan
penyajian data ini adalah menunjukkan seberapa jauh
eksistensi pasukan-pasukan khusus anti teror yang ada di
masyarakat kita ini sudah tersosialisasi di masyarakat.
Tabel 1. Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus Anti Teror Di Indonesia
Pasukan khusus anti teror Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan
Detasemen 88 Anti Teror 286 Satuan Gegana 131 SAT 81 Counter Terrorist KOPASSUS AD 28 Unit Counter Terrorist Batalion RAIDER 23 Intelijen atau BIN 19 Detasemen Jalamengkara MARINIR AL 13 Detasemen Bravo 90 PASKHAS AU 9 Cyber crime MABES POLRI 1 Tidak Tahu 86
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
32
Selain itu ada persepsi masyarakat tentang unsur
pemerintah dan masyarakat yang seharusnya terkait dengan
upaya pencegahan dan penanganan terorisme sebagaimana
disajikan dalam tabel berikut ini
Tabel 2. Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya
Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme
Unsur Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan
POLRI 529 TNI 373 Departemen Luar Negeri 147 Pemerintah Daerah 136 Departemen Dalam Negeri 126 Kejaksaan 35 BIN 31 Lembaga Pengadilan 27 Masyarakat 21 Departemen Agama 9 Badan intelijen 4 DPR 3 Imigrasi 3 Departemen Perhubungan 2 Lembaga Swadaya Masyarakat 2 Departemen Pertahanan 9 Dinas Pariwisata 2 Presiden 2 Departemen Hukum dan HAM 2 Perguruan tinggi 1 Partai politik 1 Organisasi Keagamaan 1 Kecamatan 1 Kelurahan 1 Aparat Hukum 1 KOMINFO 2
33
KOMNAS HAM 1 Media informasi 1 Menkopolkam 1
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Disadari bahwa ancaman terorisme bersifat lintas
sektoral dan lintas negara sehingga upaya
penanggulangannyapun harus bersifat lintas sektoral yang
melibatkan seluruh instansi dengan didukung oleh seluruh
potensi masyarakat dan menggalang kerjasama Internasional.
Dengan demikian, secara nasional harus ada satu
koordinator lintas sektoral yang mempunyai otoritas
melakukan koordinasi dan sinkronisasi semua upaya dan
langkah Pemerintah untuk mencegah dan menangani
terorisme secara efektif dengan harapan bahwa semua sektor
menjalankan fungsinya masing-masing secara profes-
ional. Koordinator tidak mengambil alih fungsi sektoral yang
ada, namun hanya memadukannya, membuatnya lebih
efisien, lebih efektif dan terfokus pada sasaran bersama.15
15 Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme tugas pokoknya adalah menyusun program bersama pencegahan dan penanganan terorisme, termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian serta dukungan anggarannya. Pelaksana dari Program bersama terdiri dari instansi sektoral dan atau organisasi kemasyarakatan. Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang kegiatan sehari-harinya dilaksanakan oleh Menko Polhukam sebagai Pelaksana Harian.
34
1.2 STRUKTUR PENGAMANAN PELABUHAN LAUT, UDARA DAN JALUR LALU LINTAS KELUAR-MASUK WILAYAH INDONESIA
Masalah lain yang ditemui adalah bahwa saat ini,
Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur
lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah,
tidak berpola, dan tidak taat asas. Hal ini disebabkan
petunjuk teknis bagi pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara,
serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia tidak
jelas, bersifat duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional.
Misalnya unsur pengamanan pelabuhan laut yang ditemukan
terdiri dari Syahbandar (KPLP), Polri (KP3), dan TNI Angkatan
Laut yang tugasnya saling bertumpang tindih dan kurang
koordinasi.16
Untuk pengamanan bandara, terdapat perbedaan pola
antara lain pola yang berlaku di bandara Juanda, unsur Polri
tidak diperbolehkan berada di kawasan bandara, sehingga
jika ada masalah keamanan di wilayah bandara Juanda yang
menangani adalah pihak Angkatan Laut17, yang tidak
berkewenangan secara hukum, dan banyak dikeluhkan oleh
masyarakat, karena sangat merugikan hak-hak masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dan efisien.
16 Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya 17 Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya
35
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai
pantai yang terpanjang di seluruh dunia, tetapi pengawasan
terhadap pantai sangat kurang, contohnya di Propinsi Riau
Kepulauan ada 42 pintu-pintu masuk yang tidak resmi serta
pintu masuk melalui jalan laut dari Filipina ke Sulawesi dan
Maluku yang tidak dijaga oleh aparat18, oleh karena itu maka
perlu diadakan pengembangan kekuatan Angkatan Laut dan
Pol Air serta membina masyarakat pantai. Hal ini diperberat
lagi dengan banyaknya pintu-pintu masuk wilayah Indonesia
melalui perbatasan darat di Kalimantan dan Papua.
1.3. DATA BASE TENTANG, PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME
Beberapa instansi (Polri, Departemen Luar Negeri,
Departemen Agama, BIN, Imigrasi, TNI, Lembaga
Pemasyarakatan, Departemen Dalam Negeri, dsb.) memiliki
data yang berkait dengan pencegahan dan penanganan
terorisme di bidangnya, tetapi terbatas pada kebutuhan
bidang tugasnya dan belum dipadukan menjadi satu data
base yang komprehensif yang dapat diakses oleh instansi-
instansi yang berkepentingan.
Disadari bahwa data base tentang terorisme yang
komprehensif adalah sangat penting dalam upaya
18 Terungkap dari kegiatan workshop di Jakarta.
36
pencegahan dan penanganan terorisme baik yang bersifat
strategis, taktis, dan teknis.
Secara yuridis undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf
j, telah memberi kewenangan umum Kepolisian untuk
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Dalam
hubungan ini maka dengan sendirinya Pusat Informasi
Kriminal Nasional mencakup pula informasi tentang terorisme
sebagai bentuk kejahatan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan
peranan Pusat Informasi Kriminal Nasional, yang saat ini
hanya sebagai unsur pelaksana pada Divisi Telematika Polri,
ke arah posisi suatu lembaga yang mengemban kewenangan
umum kepolisian dan dapat mengakses data base kriminal
termasuk terorisme yang ada di tiap instansi.
2. ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA
Aspek instrumental mencakup pembahasan tentang
ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undang-
undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi
legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja
terkait dengan pencegahan dan penanganan terorisme.
Sebagaimana halnya dengan aspek struktural, pembahasan temuan
lapangan aspek instrumental, difokuskan pada butir-butir masalah
37
yang dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah,
dan solusi pemecahan masalah.
2.1. ATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA
TERORISME
Aturan hukum yang lemah terhadap pencegahan dan
penanganan terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris
dan jaringannya. Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang
tindak pidana terorisme khususnya bagian yang mengatur
hukum acaranya, belum sepenuhnya mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan pengaturan pencegahan dan
penanganan terorisme sebagai extra ordinary crime.
Selama ini kebijakan Pemerintah lebih terfokus hanya
pada upaya penegakan hukum, sementara pasal hukum yang
digunakan untuk mengadili sangat lemah, dan payung hukum
yang dijadikan dasar masih kurang memadai; Upaya
penegakan hukum hanya mampu menindak para pelaku
lapangan (orang suruhan), sementara para master-mind,
provokator dan spiritual leader belum terjangkau19.
Ketentuan tentang jangka waktu penahanan yang
ditentukan di dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 pasal
25 ayat (2) tentang jangka waktu penahanan selama 6 bulan
untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan telah
19 FGD Medan
38
menimbulkan masalah-masalah penafsiran yang berbeda
terutama apabila dibandingkan dengan ketentuan KUHAP
pasal 24, 25, dan 2920 yang menimbulkan ketidakpastian
hukum baik bagi penyidik dan penuntut umum maupun
tersangka teroris. Selain itu ketentuan pasal 28 Undang-
undang No. 15 tahun 2003 tentang lamanya penangkapan
7x24 jam masih dirasakan kurang untuk memberikan waktu
kepada penyidik melengkapi bukti permulaan yang cukup
menjadi bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya
penahanan. Oleh karena itu perlu ada penyempurnaan dan
penguatan Undang-undang No. 15 tahun 2003 tersebut.
Selain itu kelemahan Undang-undang No. 15 tahun 2003
yang ditemukan melalui penelitian menyangkut perlunya
pengaturan khusus tentang bukti permulaan21, barang bukti
20 Dalam KUHAP, kewenangan Penyidik untuk menahan : menurut Pasal 24 ayat 1, waktu penahanan selama 20 hari, menurut Pasal 24 ayat 2 : waktu penahanan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum selama 40 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2 kali 30 hari (60 hari). Dengan demikian Penyidik dapat menahan paling lama 120 hari (4 bulan). Menurut KUHAP kewenangan Penuntut Umum untuk menahan pada pasal 25 ayat (1) adalah 20 hari, menurut pasal 25 ayat (2) diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2x30 hari dengan demikian Penuntut Umum dapat menahan paling lama 110 hari. Dengan demikian menurut KUHAP terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun tersangka dapat ditahan oleh Penyidik dan Penuntut Umum paling lama 120 hari ditambah 110 hari atau sama dengan 230 hari (8 bulan).
21 Pada pasal 26 ayat (2) Undang-undang No. 15 tahun 2003 laporan intelijen dapat digunakan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup namun harus mendapat penetapan dari Ketua / Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
39
sebagai alat bukti22, keputusan hakim berdasarkan satu alat
bukti dan keyakinan hakim, serta penentuan jangka waktu
eksekusi dari vonis hukuman mati yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Masalah lain yang ditemukan dalam penelitian adalah
bahwa Undang-undang pemberantasan tindak pidana
terorisme yang dimiliki Indonesia masih lebih lunak dibanding
undang-undang sejenis yang dimiliki negara tetangga seperti
Filipina, Malaysia, Singapura dan Australia. Undang-undang
yang dimiliki Indonesia yaitu Undang-Undang No. 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu
direvisi, dalam arti penguatan Undang-undang tersebut.
2.2. ATURAN TENTANG PELARANGAN ORGANISASI RADIKAL
Pembiaran perilaku radikal dan anarkhis oleh aparat
selama ini akan menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut
dibenarkan dan akan menjurus kepada tindak pidana
terorisme. Oleh karena itu diperlukan aturan tentang
pelarangan terhadap organisasi yang berperilaku radikal dan
anarkhis agar Pemerintah dapat bertindak tegas melarang
organisasi yang mengembangkan perilaku radikal dan
anarkhis.
22 Sementara ini barang bukti tidak sebagai alat bukti, alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa.
40
2.3. EFEKTIFITAS LAPORAN INTELIJEN
Upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme
memerlukan laporan intelijen yang efektif. Permasalahan
yang dihadapi yaitu masih kuatnya resistensi terhadap
peranan intelijen akibat trauma masa lalu yang dialami oleh
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kurang dapat
dimanfaatkannya laporan intelijen secara langsung sebagai
bukti permulaan yang cukup dalam upaya mencegah dan
menangani terorisme berakibat menurunnya kinerja aparat
intelijen yang dapat menjadi hambatan dalam proses
peradilan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan normatif
yang mengatur tentang penggunaan laporan intelijen sebagai
alat bukti tindak pidana terorisme. Ketentuan normatif
tersebut harus menjadi bagian dari penguatan Undang-
undang No. 15 tahun 2003.
Penguatan Undang-Undang No.15 tahun 2003 diperlukan
juga untuk mengaktualisasikan Instruksi Presiden No. 5 tahun
2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sehubungan
dengan terorisme untuk melakukan pengkordinasian
penyusunan perencanaan umum dan pengkoordinasian
pelaksanaan operasional kegiatan Intelijen seluruh instansi
lainnya, yang menyelenggarakan fungsi tersebut sebagai
bagian atau untuk mendukung penyelenggaraan tugas
masing-masing.
41
2.4. PENYESUAIAN HUKUM NASIONAL TERHADAP HUKUM
INTERNASIONAL DAN KONVENSI INTERNASIONAL
MELAWAN TERORISME
Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban
dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatan tiap negara. Terorisme sudah merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu
dilakukan pencegahan dan penanganan secara berencana dan
berkesinambungan serta dengan melaksanakan
kerjasama internasional.
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah
dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam
berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa
terorisme merupakan kejahatan yang mengancam
perdamaian dan keamanan umat manusia.
Kerjasama internasional di bidang intelejen, kepolisian,
bantuan hukum, dan kerjasama teknis lainnya adalah
bentuk-bentuk kerjasama internasional melawan
terorisme. Meskipun kerjasama internasional dilakukan,
Pemerintah Indonesia tetap harus independen dalam
mengambil tindakan dan membuat keputusan sehingga
tidak di dikte oleh kekuatan asing manapun, tapi tetap
42
berdasarkan pada temuan akurat dan professional melalui
proses dan mekanisme yang akuntabel. Selama ini
Pemerintah Indonesia baru meratifikasi beberapa dari
sejumlah konvensi internasional dan resolusi Dewan
Keamanan PBB di bidang pemberantasan terorisme.
3. ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA
Aspek kultural mencakup pembahasan tentang tata laku
aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan
terorisme sebagai musuh bersama (common enemy) sehingga
diharapkan dapat menciptakan bentuk-bentuk partisipasi
masyarakat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan tindak
pidana terorisme. Dalam membahas temuan lapangan dari aspek
kultural ini, difokuskan pada butir-butir masalah yang
dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan
solusi pemecahan masalah.
3.1. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TERORISME SEBAGAI
MUSUH BERSAMA
Kembali kepada anggapan bahwa terorisme adalah
suatu bentuk extra ordinary crime, maka perlu pula kiranya
dilihat seberapa jauh masyarakat secara empiris memandang
terorisme. Tim Penelitian, melalui kegiatan survei,
memperoleh data sebagai berikut :
43
Sebagian besar responden (57,8%) berpendapat bahwa
terorisme adalah suatu masalah sosial yang sangat besar.
Sementara kelompok responden lainnya menganggap bahwa
terorisme itu adalah masalah yang cukup besar (30,2%). Hal
yang menarik adalah bahwa cukup banyak pula responden
yang menganggap bahwa terorisme itu bukanlah suatu
masalah sosial yang besar (5,3%) bahkan ada yang
menganggap terorisme sebagai suatu masalah yang dibesar-
besarkan saja (6,4%).
Tabel 3. Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar
Apakah terorisme di Indonesia masalah yang besar Frekuensi Persen
Terorisme adalah masalah yang sangat besar 318 57,8 Terorisme adalah masalah yang cukup besar 166 30,2 Terorisme bukanlah masalah besar 29 5,3 Terorisme hanya masalah yang di besar2 kan 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 2 ,4
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,
Denpasar, Makasar), 2007
Mereka yang menganggap bahwa terorisme adalah
suatu masalah yang sangat besar memiliki berbagai macam
alasan. Namun alasan yang terbanyak dikemukakan oleh
responden adalah bahwa terorisme itu adalah suatu
perbuatan yang melanggar HAM, mengancam masyarakat
umum, dan menyangkut nyawa orang yang tidak berdosa
(12,0%) serta bahwa terorisme itu adalah suatu perbuatan
44
yang mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi
(15,3%) (lihat Tabel di bawah).
Tabel 4. Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar
Alasan terorisme masalah yang sangat besar Frekuensi Persen
Melanggar HAM, mengancam masyarakat, menyangkut nyawa 82 14,9
Mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi 65 11,8 Menimbulkan rasa tidak aman 21 3,8 Mengganggu stabilitas dan meresahkan masyarakat 19 3,5 Menjatuhkan martabat Indonesia / Indonesia sarang teroris 12 2,2
Makan banyak korban dan nyawa 10 1,8 Merugikan bangsa, pemerintah, dan masyarakat 9 1,6 Merusak Citra Indonesia 8 1,5 Mengacaukan keamanan dan ancam nyawa 8 1,5 Memecahbelah bangsa / NKRI, dan disintegrasi bangsa 8 1,5
Merusak perekonomian masyarakat 7 1,3 Memecah belah agama 6 1,1 Mengganggu perekonomian Indonesia dan membahayakan nyawa 6 1,1
Berbahaya dan merusak fasilitas 5 ,9 Merusak hubungan diplomatik dan meresahkan masyarakat 4 ,7
Karena teroris membentuk jaringan 4 ,7 Menyangkut negara dan mengancam negara 4 ,7 Membahayakan masyarakat 4 ,7 Melibatkan beberapa negara 3 ,5 Membahyakan nyawa dan memecah belah NKRI 3 ,5 Merugikan banyak orang dan dikecam dunia 3 ,5 Membuat masyarakat takut dan merusak perekonomian 3 ,5
Merusak posisi RI dan mengganggu perekonomian 2 ,4 Banyak korbannya dan meresahkan masyarakat 2 ,4 Tujuannya tidak jelas 2 ,4
45
Mengganggu keamanan negara dan merusak perekonomian 2 ,4
Banyak korban, mengancam keamanan, paham yang sesat 2 ,4
Jaringan luas dan merugikan banyak orang 2 ,4 Gembong teroris belum tertangkap 1 ,2 Karena kebijakan AS yang terlalu mencampuri negara Islam 1 ,2
Menghilangkan banyak nyawa dan intimidasi umat agama tertentu 1 ,2
Mengintimidasi umat agama tertentu dan propaganda media massa 1 ,2
Menelan korban nyawa, proses hukum tidak maximal, punya jaringan kuat 1 ,2
Menyangkut ideologi dan memiliki jaringan yang terlatih dan terorganisir 1 ,2
Teroris tidak perduli pada orang lain 1 ,2 Mengganggu kenyamanan masyarakat dan merusak citra negara 1 ,2
Memecahbelah agama 1 ,2 Tidak relevan 235 42,7
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Sementara itu ada juga responden yang menganggap
bahwa terorisme itu bukanlah suatu masalah yang besar,
antara lain adalah : selain terorisme masih banyak lagi
masalah sosial yang perlu mendapatkan prioritas perhatian
pemerintah dan masyarakat (31.0%) serta bahwa sasaran dari
terorisme itu hanyalah orang asing dan orang tertentu saja
(24,1%). Pendapat sementara responden bahwa terorisme
bukanlah suatu masalah yang besar atau memiliki derajat
seriusitas tinggi ini bisa menjadi potensi munculnya sikap
46
masa bodoh dan apatis warga masyarakat terhadap masalah
terorisme. Besar kemungkinan pula bahwa berkembangnya
pendapat tersebut juga terkait dengan kondisi minimnya
program-program penyuluhan oleh lembaga publik tentang
bahaya terorisme sebagai musuh bersama masyarakat.
Tindak pidana teror dimasukkan dalam extra ordinary
crime dengan alasan antara lain sulitnya pengungkapan
karena merupakan kejahatan trans-boundary dan melibatkan
jaringan internasional.
3.2. DEFINISI TERORISME
Walaupun terorisme sebenarnya fenomena lama,
namun hingga saat ini belum terdapat suatu definisi yang
bersifat universal mengenai terorisme yang diterima oleh
semua kalangan. Masih sulitnya mendefinisikan terorisme
secara universal disebabkan biasnya pengertian bagi kalangan
atau negara tertentu. Bagi sebagian kelompok atau negara,
seseorang yang melakukan tindak terorisme disebut dengan
teroris, tapi bagi kelompok tertentu dan negara tertentu,
mereka bisa saja menjadi simbol perjuangan yang lalu
disebut dengan pahlawan atau patriot. Adanya perbedaan
definisi terorisme tersebut mengakibatkan tidak terwujudnya
kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai
musuh bersama.
47
Terlepas dari kenyataan bahwa masih terdapat
perbedaan definisi dan persepsi masyarakat tentang
terorisme, namun dapat dikemukakan beberapa macam
definisi tentang terorisme antara lain:
1. Terorisme adalah suatu tindakan atau aktivitas simbolik
yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku politik
dengan menggunakan cara-cara yang tidak normal.
Seringkali yang digunakan adalah ancaman dan kekerasan
yang terutama ditujukan untuk menimbulkan ketakutan di
kalangan masyarakat yang menjadi sasarannya. Terorisme
seringkali dijadikan taktik oleh mereka yang tidak
mempunyai kekuasaan.
2. Terorisme adalah kegiatan kriminal, ancaman yang
dilakukan oleh individu atau kelompok yang dibentuk
untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi dengan jalan
kekerasan, intimidasi, kekuatan dan kekejaman, termasuk
penculikan, penggunaan bom, sabotase, pembunuhan
terhadap orang penting (very important person/VIP), dan
sebagainya.
3. Terorisme adalah suatu ancaman atau penggunaan
kekerasan untuk maksud-maksud politis, yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku
dari suatu kelompok yang lebih besar. Sasarannya bukan
saja mereka yang langsung menjadi korban, namun lebih
48
jauh misalnya masyarakat internasional agar mengakui
eksistensi mereka yang ingin mendapatkan imbalan politis
dari pihak yang berkuasa.
4. Terorisme adalah kekerasan yang bermotivasi politik yang
direncanakan lebih dahulu. Ia ditujukan terhadap
sasaran-sasaran non tempur oleh agen-agen teroris,
biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi suatu
golongan.
Masalah belum adanya kesamaan persepsi dan definisi
terorisme di masyarakat bisa diminimalisir melalui program
sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat
tentang bahaya terorisme, pencegahan, dan penanganannya.
Ketentuan normatif yang ada tentang terorisme adalah
Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana terorisme, Bab III, Pasal 6 sampai dengan Pasal
19.
3.3. PERS/ MEDIA MASSA SEBAGAI SUMBER INFORMASI
Sumber informasi pengetahuan terbanyak yang
dikonsumsi oleh masyarakat tentang terorisme adalah media
massa. Hal yang harus menjadi perhatian kita bersama
adalah bagaimanakah tingkat efektifitas sumber-sumber
informasi lainnya yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat
tentang pemberitaan, penjelasan dan termasuk pula
49
penyuluhan akan seriusitas terorisme di masyarakat. Lebih
jauh lagi, perlu diwaspadai dominasi media massa dalam
perannya sebagai sumber informasi, yang pemberitaanya
tentang terorisme dapat merugikan upaya pencegahan dan
penanganan terorisme. Sebaliknya perlu disadari bahwa
media massa dapat dimobilisasi untuk keberhasilan upaya
pencegahan dan penanganan terorisme.
Melalui kegiatan survei ditemukan data tentang
pendapat masyarakat mengenai efektifitas pemberitaan
masalah-masalah terorisme di Indonesia. Ternyata lebih dari
separuh responden menganggap bahwa pemberitaan media
massa tentang terorisme itu sudah memberitakan kondisi
yang sebenarnya (44,7%). Sementara itu ada 26,9% responden
yang berpendapat bahwa keadaan sebenarnya tentang
bahaya dan ancaman terorisme tidak seburuk pemberitaan
yang dimuat oleh media massa. Ada pula 12,7% responden
yang berpendapat sebaliknya, yakni bahwa keadaan
sebenarnya tentang bahaya dan ancaman terorisme lebih
buruk dari pemberitaan yang dilakukan oleh media massa.
Tabel 5. Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme
Obyektifkah pemberitaan mengenai
terorisme Frekuensi Persen
Media massa memberitakan apa adanya 246 44,7 Keadaan sebenarnya tidak seburuk pemberitaan 148 26,9
50
Keadaan sebenarnya lebih buruk dari pemberitaan 70 12,7
Tidak tahu 40 7,3 Sebagian kurang berimbang 7 1,3 Tidak obyektif, eksploitasi 5 ,9 Tidak relevan 4 ,7 Standar ganda 4 ,7 Ragu-ragu 4 ,7 Terkadang menjelekkan Islam 3 ,5 Menolak / tidak menjawab 3 ,5 Bisnis berita 3 ,6 Ada yang masih ditutupi 3 ,5 Cenderung memihak teroris 2 ,4 Biasa saja 2 ,4 Rekayasa berita 1 ,2 Memposisikan pelaku sebagai pahlawan 1 ,2 Masih simpang siur beritanya 1 ,2 Masih memerlukan pembenahan 1 ,2 Informasi jaringan tidak dibahas lbh lanjut 1 ,2
Bisnis berita dan bersifat politis 1 ,2 Total 550 100,0
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Media massa, khususnya televisi, memberikan akses
paling baik bagi publik karena daya tariknya yang kuat.
Karena alasan ini, televisi semakin banyak digunakan sebagai
wahana yang terpenting bagi pembenaran sosial dan moral
dari tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan. Perjuangan untuk
melegitimasi dan memperoleh dukungan bagi kepentingan-
kepentingan seseorang dan untuk mendiskreditkan
kepentingan-kepentingan musuh seseorang, sekarang semakin
lebih dilancarkan melalui televisi.
51
Teroris berusaha mempengaruhi para pejabat atau
negara-negara yang menjadi sasaran dengan intimidasi
publik dan membangkitkan simpati bagi kepentingan-
kepentingan yang mereka dukung. Tanpa adanya publisitas
yang meluas, tindakan teroris tidak dapat mencapai dampak-
dampak ini. Oleh karenanya teroris memaksa akses ke media
untuk mempublikasikan keluhan mereka ke masyarakat
internasional. Mereka menggunakan televisi sebagai
instrumen utama untuk memperoleh simpati dan dukungan.
Sementara itu data survei, menunjukkan sumber
informasi yang sering disebut oleh responden, tanpa
menonjolkan variasi jawaban dari responden adalah sebagai
berikut:
Tabel 6. Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia
Sumber Informasi Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan
Media Massa Spt TV, Koran, Radio 544 Orang Lain: Saudara, Teman, Dll 100 Pamflet Dan Selebaran Dari Polisi 52 Internet 12 Pekerjaan 6 Pengalaman 4 Pendidikan (Di Kuliah) 2
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Salah satu bentuk sumber informasi yang dikonsumsi
oleh responden, walaupun tidak terlalu banyak, adalah
52
internet. Dari 12 orang responden yang mendapat informasi
tentang terorisme melalui internet sebagian besar adalah
responden yang berusia 18 tahun hingga 25 tahun dan
berpendidikan tinggi. Kelompok masyarakat berusia muda
dan berpendidikan tinggi ini adalah segmen masyarakat yang
paling banyak mengkonsumsi berita tentang terorisme
melalui internet. Jika melihat karakteristik internet sebagai
sumber informasi yang memiliki aksesibilitas tinggi, sumber
berita tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
maka dikhawatirkan substansi berita akan diserap oleh
pengguna tanpa kontrol yang memadai. Dalam kondisi seperti
ini internet sebagai sumber informasi tentang terorisme
bersifat laten sehingga memungkinkan munculnya pengaruh
negatif bagi pengguna.
Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam rangka
meningkatkan efektifitas pencegahan dan penanganan
terorisme adalah kondisi informasi publik terkait dengan
informasi tentang terorisme dan segala upaya pencegahan
dan penanganannya serta peran dan wewenang instansi
terkait. Dari hasil Survei diperoleh data bahwa lebih dari
separuh responden (53,3%) berpendapat bahwa kondisi
informasi publik terkait dengan informasi Undang-Undang dan
Peran serta Wewenang instansi terkait masih kurang baik.
Sementara itu, 26,4% responden berpendapat bahwa kondisi
53
informasi publik cukup baik. Hanya 6,4% responden yang
mengatakan bahwa kondisi informasi publik sudah baik.
Tabel 7. Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi)
Informasi publik (terkait info UU dan
peran / wewenang instansi) Frekuensi Persen
Kurang baik 293 53,3 Cukup baik 145 26,4 Tidak tahu 74 13,5 Baik 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 3 ,5
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,
Denpasar, Makasar), 2007
3.4. EKSISTENSI KELOMPOK-KELOMPOK RADIKAL MILITAN
Masalah serius terkait dengan terorisme adalah
eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini
penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama. Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh tidak dimilikinya pemahaman
yang benar tentang keyakinan agama oleh anggota dari
kelompok-kelompok tersebut.
Penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama dapat
terjadi pada setiap pemeluk agama manapun. Jika kebetulan
saja aksi-aksi terorisme yang ada sekarang ini dilakukan oleh
orang-orang yang beragama Islam, itu bukan berarti
bahwa Islam mengajarkan melakukan t indakan yang
54
dapat merugikan orang lain tersebut. Hal itu terjadi
akibat penafsiran yang keliru tentang perintah dan
larangan yang ada dalam ajaran agama. Agama Islam
sendiri yang sesungguhnya adalah mengajar umatnya
untuk menebarkan kedamaian di muka bumi. Terorisme
tidak dapat dikaitkan dengan agama apapun. Adanya
pandangan dan pendapat bahwa terorisme terkait
dengan Islam adalah merupakan pandangan yang keliru dan
harus diluruskan.
Dalam usaha meluruskan pandangan yang keliru
tersebut ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara
lain:
1. Perlu dilakukan upaya pencerahan dan peningkatan
pemahaman masyarakat tentang ajaran agamanya secara
benar, karena pemahaman keagamaan secara sempit
dapat melahirkan tindakan yang cenderung radikal dan
anarkis. Salah satu penyebab utama terjadinya sikap
radikal dan anarkis tersebut adalah karena lemahnya
pengetahuan tentang hakikat agama dan kurangnya bekal
untuk memahaminya secara mendalam, ditambah dengan
rendahnya tingkat kesadaran hukum.
2. Pemerintah perlu melakukan inisiasi dan memfasilitasi
dialog terbuka dan komunikasi konstruktif dengan
55
kelompok radikal atau yang diduga berpotensi melakukan
tindakan terorisme.
3. Mendorong berkembangnya forum komunikasi antar
agama untuk upaya pencegahan dan penanganan
terorisme.
4. Melakukan pemantauan terhadap ceramah-ceramah
agama yang cenderung mendukung radikalisme sejalan
dengan upaya deradikalisasi / pencerahan.
3.5. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME
Upaya melawan terorisme tidak mungkin dimenangkan
tanpa partisipasi masyarakat. Aksi teror itu sendiri
berawal dari rangkaian kegiatan yang dilakukan di
tengah-tengah aktifitas masyarakat sehari-hari. Bila
gejala awal terorisme dapat dieliminir, maka tindakan
terorisme dapat dicegah. Oleh karena itu Pemerintah
dituntut untuk mendorong partisipasi publik seoptimal
mungkin agar masyarakat dengan cara sendiri-sendiri ataupun
bersama-sama melawan terorisme dalam batas-batas
kerangka hukum yang berlaku. Upaya pencegahan dan
penanganan terorisme bukan hanya tugas pemerintah tetapi
juga menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat.
56
Partisipasi masyarakat tidak datang dengan sendirinya,
tetapi merupakan suatu kesadaran yang dibina oleh
masyarakat sendiri untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Untuk itu penting kiranya diketahui seberapa jauh
masyarakat memahami arti penting dari partisipasi mereka
dalam meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan
terorisme di Indonesia.
Melalui kegiatan survei, ketika ditanyakan perlu tidaknya
partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan
penanganan terorisme, hampir seluruh responden (96,4%)
berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam upaya
pencegahan dan penanganan terorisme diperlukan. Hanya
2,2% responden menjawab bahwa partisipasi masyarakat
dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme tidak
perlu.
Tabel 8. Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat
Perlukah ada partisipasi masyarakat Frekuensi Persen
Tidak tahu 4 ,7 Perlu 530 96,4 Tidak perlu 12 2,2 Menolak / tidak menjawab 4 ,7
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
57
Sementara itu, ketika ditanyakan apakah bentuk-
bentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan bagi upaya
pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia, jawaban
terbanyak berkisar pada keamanan swakarsa; pelaporan dan
pemantauan hal / peristiwa yang mencurigakan serta
pengenalan warga lingkungan komunitas.
Tabel 9. Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat
Alasan perlu ada partisipasi masyarakat Freku-ensi Persen
Bisa memberi informasi dan melaporkan keberadaan teroris 139 25,3
Masyarakat paling dekat atau berinteraksi dengan pelaku teror 83 15,1
Mempermudah kinerja pemerintah 81 14,7 Upaya preventif 41 7,5 Mempermudah proses penanganan = lebih efektif = lebih fokus 40 7,3
Terorisme adalah masalah bersama, semua harus terlibat 36 6,5
Masyarakat sasaran dan korban terorisme 30 5,5 Tidak Relevan 20 3,6 Agar masyarakat waspada terhadap hal ini 16 2,9 Keamanan merupakan kepentingan masyarakat 14 2,5 Masyarakat bagian tak terpisahkan dan pusat informasi 11 2,0 Masalah bersama, masyarakat adalah korbannya 9 1,6 Menyangkut nyawa orang banyak dan teroris ada di masyarakat 7 1,3
Masyarakat jadi tahu tentang teroris untuk preventif dan menjaga keamanan 4 ,7
Menyangkut jiwa masyarakat yang dirugikan 3 ,5 Polisi tidak dapat menjangkau semua wilayah 3 ,5 Mempersempit ruang gerak teroris 2 ,4 Masyarakat wajib menjaga keamanan negara 2 ,4 Masyarakat harus dilibatkan dalam kebijakan negara 2 ,4
58
Informasi keamanan 2 ,4 Informasi lebih cepat dan waspada lingkungan 2 ,4 Seluruh penanganan tindak kejahatan memerlukan partisipasi masyarakat 1 ,2
Agar ketakutan tidak menyebar luas 1 ,2 Teroris mencari daerah terpencil dan jauh dari jangkauan pemerintah 1 ,2
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar,
Makasar), 2007
Pelaporan dan pemantauan hal atau peristiwa yang
mencurigakan serta keamanan swakarsa ternyata merupakan
bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang paling banyak
disebut oleh responden.
Tabel 10. Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat
Bentuk partisipasi masyarakat Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan
Tidak tahu 2 Pelaporan dan pemantauan hal atau peristiwa yang mencurigakan 390
Keamanan Swakarsa 132 Pengenalan warga lingkungan komunitas 111 Pendataan warga 5 Mewaspadai orang-orang asing 3 Tidak lindungi teroris = berpihak pd pem 1 Kerjasama aktif masyarakat – pemerintah 1 Peningkatan nilai-nilai etika dan moral 1 Lapor diri masuk daerah lain 1 Jangan gampang menilai sesuatu 1 Pengawasan dan usaha preventif 1 Saling menjaga 1 Mengadakan forum informasi 1
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
59
Walaupun hampir responden menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan
terorisme adalah perlu namun dalam kesempatan kegiatan
FGD di hampir semua kota terungkap adanya keseganan
masyarakat dalam berurusan dengan aparat penegak hukum
terkait dengan peristiwa terorisme. Keengganan masyarakat
berpartispasi, diungkapkan oleh beberapa narasumber,
terutama disebabkan karena enggan menjadi saksi dan
ditambah pula adanya ketidak percayaan dan kedekatan
hubungan antara masyarakat yang bersangkutan dengan
aparat.
3.6. KEMAMPUAN MOBILITAS TERORIS
Dari berbagai peristiwa terorisme yang terjadi baik di
Indonesia maupun di luar negeri terungkap bahwa kegiatan
terorisme memiliki mobilitas yang tinggi, tak terbatas dalam
lintas batas ruang dan waktu, memiliki jaringan internasional
sehingga dapat mengancam keamanan domestik, regional
maupun internasional.
Mobilitas yang tinggi dari terorisme dapat terjadi
antara lain karena kemudahan untuk melakukan perpindahan
tempat dan kemudahan untuk merubah atau duplikasi
identitas kependudukan. Terkait dengan hal tersebut, maka
upaya memutuskan jaringan terorisme tersebut harus dengan
60
melakukan penguatan pengawasan serta pendataan secara
ketat dan efektif terhadap keberadaan dan kegiatan Warga
Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia yang keluar
masuk wilayah Indonesia serta penguatan penataan
administrasi kependudukan.
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 23
Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan23 yang
didalamnya mengatur tentang diberlakukannya NIK (Nomer
Induk Kependudukan). Agar penerapan NIK dapat berfungsi
sebagai Single Identification System disarankan NIK memuat
rumus sidik jari dari penduduk yang bersangkutan karena
rumus sidik jari manusia bersifat permanen dan tidak ada
yang sama. Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan
taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat
terlaksana sesuai amanat undang-undang).
23 Lihat Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 3 : “Setiap, penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran pendudukan dan pencatatan sipil”; Pasal 13, Ayat (1) : “setiap penduduk wajib mempunyai Nomor Kependudukan Indonesia (NIK)”; Ayat (2) NIK sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya yang diberikan pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dialakukan pencatatan biodata; Ayat (3) : “NIK sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, Surat Ijin Mengemudi, NPWP, Polis Asuransi, sertifikat atas tanah dan penerbitan dokumen Identitas lainya”; Ayat (4) : “ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen identitas lainya, serta pencatuman NIK diatur dalam peraturan pemerintah”; Pasal 101 : “pada saat undang-undang ini berlaku pemerintah memberi NIK kepada setiap penduduk paling lambat 5 Tahun serta semua Instansi wajib menjadika NIK sebagi dasar dalam menerbitkan dokumen sebagiaman yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 paling lambat 5 Tahun”.
61
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 23 tahun
2006 ini maka Pemerintah beserta masyarakat diharapkan
dapat mendeteksi gerak mobilitas keberadaan para
terorisme.
3.7. TERORISME DAN TUJUAN POLITIK
Dari segi politik yang perlu diwaspadai adalah
berkembangnya ideologi yang bertentangan dengan ideologi
negara dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran yang
memotivasi sikap-sikap dan perilaku radikal dan anarkis.
Para teroris memiliki pengetahuan tentang peperangan
dan membawa ideologi baru yang menggunakan terorisme
untuk mencapai tujuannya, antara lain seperti pengetahuan
yang dimiliki dan ideologi yang dibawa oleh para teroris
alumni Afganistan.
Fenomena terorisme digunakan untuk mencapai tujuan
politik di Indonesia telah terjadi, dalam bentuk gerakan-
gerakan yang mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi
yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud
mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara
serta merebut kekuasaan pemerintahan dengan menggunakan
cara-cara radikal dan anarkis. Contoh antara lain gerakan
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Negara Islam
Indonesia (NII), dan Gerakan 30 September / Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI).
62
Dari fenomena tersebut di atas ternyata bahwa ideologi
yang bertentangan dengan ideologi Pancasila bukan hanya
ideologi Komunisme / Marxisme-Leninisme saja, tetapi ada
ideologi-ideologi lain. Ketentuan normatif yang ada terbatas
pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi
Komunisme / Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27
tahun 1999 j.o. pasal 107a dan 107d KUHP). Ketentuan
penindakan terhadap pengembangan dan penyebarluasan
ideologi lain selain Komunisme / Marxisme-Leninisme baru
dapat dilakukan setelah ada pernyataan keinginan untuk
mengganti atau mengubah Pancasila dan berakibat timbulnya
kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban
jiwa, atau kerugian harta benda (Pasal 107b KUHP).24
24 Lihat Undang-Undang No. 27 tahun 1999, Pasal 107 a : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”; Pasal 107 b : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”; Pasal 107 c : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”; Pasal 107 d : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah
63
Disarankan agar terhadap setiap ideologi yang bertentangan
dengan Pancasila diberlakukan ketentuan normatif yang sama
dengan ketentuan yang berlaku terhadap ideologi Komunisme
/ Marxisme-Leninisme.
3.8. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KERJASAMA INTERNASIONAL
Komitmen masyarakat internasional, termasuk
Indonesia, dalam upaya pencegahan dan penanganan
terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi
internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan
keamanan umat manusia. Namun demikian, walaupun
konsekuensi dari ratifikasi berbagai konvensi internasional ini
adalah adanya Kerjasama internasional, namun masih banyak
masyarakat yang mempunyai persepsi yang negatif terhadap
setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan
pelaku teroris tersebut dan memandang seolah-olah
pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.
Persepsi yang salah dari warga masyarakat tersebut
antara lain karena adanya persepsi global bahwa kekuatan
Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal,
kurang transparannya pemerintah dalam proses pencegahan
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
64
dan penanganan terorisme, terutama dalam bentuk
kerjasama Internasional, yang terkait juga dengan rendahnya
tingkat informasi publik serta masih adanya tingkat
kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap
pemerintah dalam pencegahan dan penanganan terorisme.
3.9. DUKUNGAN LOGISTIK DAN PENDANAAN TERORISME
Teroris memiliki infrastruktur utama: operasi intelijen,
kerjasama dengan kelompok kriminal lainnya, operasi
militer, dan infrastruktur pendukung seperti propaganda,
serta infrastruktur sumber pendanaan yakni bisnis illegal,
hasil tindakan kriminal, yayasan amal, bisnis legal yang
didirikan melalui money laundering (placement, layering,
entering ke bisnis legal), donasi para simpatisan, dana dari
organisasi teroris lain di luar negeri. Jalur penyaluran dana
melalui perbankan tradisional, sistem kurir, sistem money
changer. Selain itu, ada pula Infrastruktur rekrutmen yang
dilakukan melalui kegiatan dakwah, training / pelatihan /
indoktrinasi, logistik, komunikasi HP / Internet. Maka untuk
menghancurkan organisasi teroris haruslah menghancurkan
seluruh infrastruktur tersebut.
Dari sekian infrastruktur yang relevan dengan
terorisme, infrastruktur yang menyangkut logistik dan
pendanaan menduduki peranan yang penting bagi
65
terselenggaranya kegiatan-kegiatan terorisme, oleh karena
itu upaya-upaya menghancurkan infrastruktur logistik dan
pendanaan akan sangat efektif bagi upaya pencegahan dan
penanganan terorisme.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan
berbagai upaya pengawasan keuangan sesuai dengan standar
yang dibuat oleh PBB. Namun diungkapkan masih ada
kesulitan ketika dana tersebut adalah berasal dari sumber
kegiatan yang legal dan disalurkan melalui institusi yang
legal. Ketentuan normatif yang ada yang mengatur tentang
pendanaan teroris dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003
terdapat dalam pasal 13 yaitu “dengan sengaja memberikan
bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme” yang dirasakan tidak memadai. Sebagai
perbandingan, dalam Undang-undang USA PATRIOT ACT 2001
yang terdiri dari sepuluh Bab, memiliki satu Bab yaitu Bab III
yang mengatur tentang Pelacakan Pencucian Uang
Internasional dan Anti Pendanaan Teroris.
Dari perbandingan tersebut diperlukan penguatan
ketentuan normatif yang mengatur tentang pengawasan
pendanaan bagi kegiatan terorisme.
Dari segi infrastruktur logistik yang menonjol adalah
peranan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam
66
dalam aksi-aksi terorisme. Substansi masalah yang berkaitan
dengan infrastruktur logistik dan sangat berpengaruh bagi
mudahnya aksi-aksi terorisme di Indonesia dapat dicatat
antara lain:
1. Lemahnya pengawasan terhadap kepemilikan serta
peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam
termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam organik TNI dan POLRI,
2. Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang,
3. Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan
peledak yang merupakan bahan bebas yang terdapat di
pasaran.
Terkait dengan hal tersebut maka Pemerintah
seyogyanya dapat mengoptimalkan upayanya untuk memberi
pengawasan bagi kondisi-kondisi tersebut di atas. Seperti
yang diungkapkan oleh Jeanne Mandagi25 bahwa perlu ada
peningkatan pengawasan terhadap senjata api dan bahan
peledak yang ternyata dilapangan banyak kendala yang
dihadapi.
Berdasarkan pengungkapan oleh peserta dari Kontras
pada kegiatan FGD di Jakarta dan Makassar, bahwa pada
peristiwa konflik di Poso banyak ditemui senjata api dan
25 Workshop Jakarta
67
amunisi yang dikuasai oleh masyarakat adalah produksi dari
PINDAD, yaitu perusahaan yang membuat dan memasok
senjata api, bahan peledak, dan amunisi untuk kepentingan
TNI dan Polri.
3.10. KETERKAITAN TERORISME DENGAN KONDISI POLITIK, SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, DAN AGAMA
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
munculnya terorisme yaitu:
1. Masalah atau persoalan ekonomi; seperti kemiskinan,
ketidakmerataan kesempatan, pengangguran, harga
barang meningkat, distribusi produk tidak merata, dan
kesenjangan sosial-ekonomi.
2. Ketimpangan struktur sosial; seperti ikatan kekerabatan
yang longgar atau terlalu kuat, tata nilai norma dan
aturan yang berlaku tidak seragam untuk semua lapisan
masyarakat, atau eksklusivisme kelompok tertentu yang
sangat menonjol.
3. Struktur sosial yang diskriminatif; seperti pembedaan
antar ras, suku dan agama, yang tajam, dengan
pembatasan kesempatan pada kelompok tertentu untuk
bisa ikut berperan.
4. Partikularisme pada interpretasi atau pemberian
pengertian dan makna tertentu pada nilai aturan adat
atau agama yang seharusnya berlaku universal;
68
5. Sistem kekuasaan atau penguasaan barang-barang
bergerak dan tak bergerak atau sumber daya yang
seharusnya menjadi milik bersama, tetapi ada ditangan
piliak-pihak tertentu yang terbatas jumlahnya,
melahirkan sistem hegemoni dengan dampak pada adanya
kelompok yang menguasai dan dikuasai;
Kelima masalah ini akan menjadi pemicu konflik jika
bertemu dengan interpretasi, pemaknaan, fanatisme dan
etnosentrisme yang terlalu sempit.
Prof. Dr. Qasim Mathar mengatakan bahwa secara
umum, di dalam masyarakat terdapat dua jenis konflik, yakni
konflik rasial dan konflik agama. Semua jenis konflik
tersebut, baik konflik rasial maupun konflik agama, sama-
sama berpotensi menjadi tindakan teror. Lebih lanjut,
Mathar memberikan beberapa hal yang dapat dianggap
sebagai penyebab konflik ataupun terorisme, yakni :
radikalisme agama/ras/suku; kualitas sumber daya manusia
yang rendah, tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat
yang rendah; permainan politik dan tekanan kepentingan
politik; tingkat yang rendah dari pendidikan dan sosialisasi
yang bermuatan nasionalisme; rendahnya disiplin sosial;
adanya kesenjangan antara negara-negara Timur dan Barat;
rendahnya penyuluhan ciri-ciri konflik dan terorisme;
rendahnya penataan kependudukan (dari tingkat terkecil
69
hingga terbesar), serta rendahnya kontrol dan pembinaan
fungsi pers dan media26.
Tatanan kehidupan bermasyarakat yang menghimpun
berbagai kelompok dan kepentingan, sesungguhnya
mengharuskan keterlibatan semua pihak untuk secara
bersama-sama memelihara dan membangun bangsa dan
negara dengan segala macam keragamannya, karena itu
setiap kelompok masyarakat harus merasa memiliki dan
bertanggung jawab bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara. Tidak boleh terjadi dominasi mayoritas atas
minoritas dan pada saat yang sama tidak boleh terjadi tirani
minoritas atas mayoritas. Jika hal seperti itu tidak bisa
diwujudkan dengan baik, maka pada gilirannya kelompok
minoritas yang merasa tertindas itu berusaha
memberikan perlawanan secara sembunyi-sembunyi karena
mereka tidak memiliki kekuatan27.
26 Prof.Dr. Qasim Mathar, narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion, dalam rangka kegiatan penelit ian Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Managemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) bekerja sama dengan Partnership, pada tanggal 14 Agustus 2007 di Makassar.
27 FGD Makasar.
70
3.11. PERSEPSI MASYARAKAT DAN KINERJA PENEGAK HUKUM
Melalui kegiatan Survei, ditemukan beberapa pendapat
masyarakat tentang kinerja penegak hukum yang tentunya
perlu untuk menjadi bahan rekomendasi peningkatan upaya
penegakan hukum itu sendiri dalam menghadapi terorisme.
Hampir separuh bagian dari jumlah responden
berpendapat bahwa kinerja Polisi dalam mengungkap kasus-
kasus terorisme, termasuk juga upaya-upaya penangkapan
pelaku teroris, sudah baik. Namun demikian, banyak pula
responden (28.5%) memiliki pendapat sebaliknya, bahwa
kinerja Polisi dalam mengungkap kasus-kasus terorisme masih
kurang baik.
Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme
Bagaimana kinerja Polisi dalam mengungkap terorisme Frekuensi Persen
Tidak tahu 9 1,6 Sangat baik 22 4,0 Baik 269 48,9 Kurang baik 157 28,5 Buruk 68 12,4 Ragu-ragu 22 4,0 Menolak / tidak menjawab 3 ,5
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
71
Sementara itu, terdapat suatu pendapat yang
berimbang antara anggapan bahwa kinerja Jaksa sudah baik
(32,9%) dan kurang baik (33,1%) dalam menuntut kasus-kasus
terorisme.
Tabel 12. Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme
Bagaimana kinerja jaksa dalam menuntut pelaku terorisme
Frekuensi Persen
Tidak tahu 66 12,0 Sangat baik 6 1,1 Baik 181 32,9 Kurang baik 182 33,1 Buruk 88 16,0 Ragu-ragu 21 3,8 Menolak / tidak menjawab 6 1,1
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,
Denpasar, Makasar), 2007
Dalam menilai kinerja Hakim, khususnya dalam
menghukum pelaku terorisme, ternyata lebih dari separuh
jumlah responden cenderung menganggap bahwa kinerja
Hakim dalam menghukum pelaku terorisme cenderung kurang
baik bahkan buruk (52%). Sebaliknya, hanya 30,5% responden
mengganggap bahwa kinerja Hakim dalam menghukum
terorisme adalah baik.
72
Tabel 13. Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme
Bagaimana kinerja hakim dalam menghukum pelaku terorisme Frekuensi Persen
Tidak tahu 51 9,3 Sangat baik 8 1,5 Baik 168 30,5 Kurang baik 202 36,7 Buruk 87 15,8 Ragu-ragu 29 5,3 Menolak / tidak menjawab 5 ,9
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,
Denpasar, Makasar), 2007
Selanjutnya, lebih dari separuh responden beranggapan
bahwa Pemerintah telah mengambil sikap tegas terhadap
terorisme (55,6%), sementara responden lainnya ada yang
berpendapat bahwa Pemerintah harus lebih menyiapkan
penanganan yang fleksibel dalam menghadapi terorisme serta
harus memperbanyak dialog dengan berbagai pihak.
Tabel 14. Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme
Sikap Pemerintah hadapi terorisme Frekuensi Jawaban
Yang Disebutkan Mengambil sikap tegas terhadap terorisme 320 Menyiapkan penanganan yang fleksibel 63 Memperbanyak dialog dengan berbagai pihak 53 Belum maksimal 9 Kurang siap dan sigap, kurang tegas 45 Cukup Bagus 4
73
Harus konsisten dalam menangkap teroris 1 Kinerja harus ditingkatkan 3 Meningkatkan kerja intelijen 4 Tuntutan teroris harus dimediasi 1 Mengusut tuntas kejahatan teroris 3 Apatis, meremehkan, tidak ada kemajuan 2 Paranoid, berlebihan 1 Tidak ada intervensi asing 2 Perbaikan perekonomian 2 Kurang strategi 3 Segera memberantas pelaku 2 Meningkatkan keamanan 2 Langsung tanggap 1 Acuh tak acuh 2 UU cukup jelas, alat cukup canggih 1 Kurang terlihat 4 Buruk 1 Koordinasi aparat keamanan 1 Campur tangan pihak asing 2 Waspada 2 Tidak obyektif 4 Kurang adanya pemberitaan 1 Dialog dengan berbagai pihak 1 Biasa 2 Proaktif 2 Tidak tahu 23
Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
3.12. PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL BAGI PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME
Di Indonesia, pemanfaatan budaya lokal bagi
pencegahan dan penanganan terorisme tidak dapat
dilepaskan dari penerapan konsep pencegahan dan
penanggulangan kejahatan secara umum yang menitik
74
beratkan keterlibatan dan peran serta masyarakat, seperti
yang telah dituangkan ke dalam konsep “keamanan
swakarsa”.
Keamanan swakarsa yang mempunyai pengertian
sebagai tatanan secara terpadu dari berbagai aspek secara
sistematis berkelanjutan tentang masalah-masalah
keamanan, mengupayakan hidupnya peran dan tanggung
jawab masyarakat dalam pembinaan keamanan yang tumbuh
dan berkembang atas kehendak dan kemampuan masyarakat
sendiri, untuk mewujudkan daya tangkal, daya cegah dan
daya penanggulangan masyarakat terhadap setiap
kemungkinan gangguan keamanan, serta daya tanggap dan
penyesuaian masyarakat terhadap setiap perubahan dan
dinamika sosial yang membudaya dalam bentuk pola sikap
kebiasaan dan perilaku masyarakat; sehingga gangguan
keamanan dapat di cegah sedini mungkin sejak dari sumber
dasarnya dan kekuatan fisik aparatur keamanan digunakan
seminimal mungkin dan secara selektif28 . Dengan demikian
realisasi konsep keamanan swakarsa ini dapat dikembangkan
budaya lokal yang dapat secara efektif mendukung
pencegahan dan penanganan terorisme.
28 Tadjuddin, N.H., (1988). Sistem Keamanan Swakarsa Konsepsi Dan Penjabarannya, Mabes Polri, Direktorat Bimbingan Masyarakat,.
75
Keamanan swakarsa, dengan demikian, merupakan
pencegahan kejahatan yang sekaligus merupakan upaya
pengembangan komunitas, khususnya di bidang Community
based Crime Prevention, yang segala langkahnya ditujukan
untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi
kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka
untuk menggunakan kontrol sosial informal
Suatu contoh penerapan keamanan swakarsa yang
dapat dimanfaatkan bagi pencegahan dan penanganan
terorisme adalah apa yang dapat dilihat di Bali29, di mana
organisasi adat dan agama dapat membantu pencegahan
teroris untuk melakukan aksinya, melalui tiga kekuatan
otonomi mengatur hal tersebut. Antara lain:
1. Desa adat mempunyai kewenangan menetapkan aturan-
aturan hukum yang berlaku bagi mereka. Melalui
kekuatan ini desa adat/Pekraman menetapkan hukumnya
sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam
wadah desa Pekraman. Aspek hukum tersebut dikenal
dengan awig-awig/perarem yang ditetapkan berdasarkan
musyawarah desa / paruman desa. Kekuasaan ini identik
dengan kekuasaan legislatif.
2. Kekuasaan atau kewenangan menyelenggarakan
kehidupan organisasinya. Kekuasaan menyelenggarakan
29 FGD Denpasar.
76
kehidupan organisasinya ini identik dengan ekskutif dalam
lingkungan negara.
3. Kekuasaan atau kewenangan menyelesaikan persoalan-
persoalan hukum. Pelanggaran hukum yang dihadapi desa
Pekraman dapat berupa pelanggaran hukum (awig-awig,
dresta lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini
dapat diidentikkan dengan yudikatif.
Tugas desa Pekraman antara lain :
1. Membuat awig-awig
2. Mengatur krama desa
3. Mengatur pengelolaan harta, kekayaan desa
4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan
disegala bidang terutama dibidang keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan
5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali
dalam rangka memperkaya, melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan
kebudayaan daerah pada khususnya.
6. Mengayomi krama desa (Sudantra, 1999:98).
Di dalamnya tugas desa pekraman menjaga
keseimbangan antara Manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungannya30 .
30 Sudiana, 2006:92
77
Ditegaskan lagi oleh Wayan P Widya31 bahwa komunitas
tradisional Bali yang dikenal dengan desa pakraman (desa
adat), memiliki sistem organisasi masyarakat yang kuat,
seperti tampak dalam struktur organisasinya, awig-awig dan
perarem desa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Inilah
antara lain yang menyebabkan kenapa Bali menjadi terkenal
keamanan dan kedamaiannya.
31 Wayan P. Widya, 2005:1-2
78
B A B IV
REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. SKEMA HUBUNGAN MASALAH
Merujuk pada uraian Bab terdahulu, maka sebelum
membahas Rekomendasi Kebijakan perlu kiranya diungkapkan
kembali pokok-pokok masalah dalam sebuah Skema Hubungan
Masalah antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi
Pemecahan Masalah.(Bagan Skema Hubungan Masalah terlampir).
Skema Hubungan Masalah merupakan alur pengkajian dan
perumusan dalam rangka mendapatkan berbagai alternatif solusi
masalah yang akan dijadikan bahan masukan untuk penentuan
rekomendasi kebijakan. Alternatif solusi masalah ditujukan untuk
solusi terhadap substansi masalah dan tidak ditujukan kepada
situasi masalahnya. Berbagai alternatif Solusi masalah dalam
rangka rekomendasi kebijakan dikelompokkan kedalam aspek
Struktural/pelembagaan/ keorganisasian; aspek Instrumental/
hukum/peraturan perundang-undangan dan aspek Kultural/
budaya/tata-laku, namun demikian antara ketiga aspek tersebut
tetap dipertahankan keterkaitan hubungannya secara
komprehensif.
79
2. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari uraian mengenai berbagai permasalahan dalam upaya
pencegahan dan penanganan terorisme tampaknya masih banyak
hal yang harus dilakukan. Berbagai permasalahan yang muncul
dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme, secara umum
adalah karena:
1) Belum adanya satu Kebijakan dan Strategi Raya (Grand
Strategy) yang bersifat nasional di bidang Pencegahan dan
Penanganan Terorisme di Indonesia yang dapat dijadikan
acuan kebijakan dan strategi secara komprehensif dan
dapat dijadikan penata normatif bagi kegiatan
pencegahan dan penanganan terorisme yang dilaksanakan
oleh Pemerintah bersama masyarakat;
2) Tidak profesionalnya aparat yang melaksanakan aturan
yang sudah ada yang membawa dampak terhadap sikap
dan perilaku aparat yang tidak mendapatkan kepercayaan
masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan sikap
apatis masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya
pencegahan dan penanganan terorisme.
3) Permasalahan dalam mereposisi atau bahkan membentuk
lembaga yang diberikan kewenangan untuk
mengkoordinasikan kegiatan berbagai instansi Pemerintah
dan masyarakat dalam mensinergikan kegiatan
80
pencegahan dan penanganan terorisme melalui
penyusunan program bersama.
2.1. Rekomendasi kebijakan aspek struktural.
2.1.1. Masalah koordinasi kelembagaan sebagai
dampak adanya beberapa instansi yang memiliki satuan
anti teror tetapi tidak ada koordinasi antar instansi
tersebut dari segi struktural direkomendasikan
kebijakan sebagai berikut :
1). Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti
Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden RI yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang diberi wewenang
mengkoordinasikan kegiatan lintas sektoral dalam
pencegahan dan penanganan terorisme secara
efektif . Badan Koordinas Nasional Anti Terorisme,
tidak mengambil alih fungsi instansi sektoral yang
ada, namun hanya mensinergikannya, memadukan
dan membuat lebih efisien dan efektif,terfokus
pada sasaran program bersama. Tugas pokok Badan
Koordinasi Nasional Anti Terorisme adalah menyusun
program bersama pencegahan dan penanganan
terorisme, termasuk perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
81
pengendalian serta dukungan anggarannya. Unsur
Pelaksana dari program bersama tersebut terdiri
dari instansi sektoral dan atau organisasi
kemasyarakatan.
Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti
Terorisme memerlukan instrumen hukum
/perundang-undangan yang kuat dan diprogram
secara bertahap, sejalan dengan proses sosialisasi
budaya koordinasi antar instansi.
2). Koordinasi kelembagaan dapat juga diciptakan
melalui penyiapan Aturan pelibatan antar instansi
(Rule of enggagement) yang lebih jelas sehingga
tidak terjadi duplikasi pelaksanaan tugas.
2.1.2. Masalah Struktur Pengamanan, Pelabuhan
Laut dan Udara, serta Pengamanan jalur lalu lintas
keluar-masuk wilayah Indonesia Direkomendasikan
kebijakan sebagai berikut:
a. Penggunaan pola pengamanan Pelabuhan Laut dan
Udara yang baku dan dengan standard Internasional
dilengkapi dengan Pengaturan hubungan tata kerja
instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan
TNI kepada Polri, Koordinasi dan Pengawasan serta
Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk-
82
bentuk satuan Pengamanan Swakarsa serta bantuan
dan hubungan Polri dengan Pemda.
b. Penambahan kekuatan dan peningkatan kemampuan
Pengamanan perbatasan wilayah Negara Indonesia
sejalan dengan peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat perbatasan.
2.1.3. Data Base Tentang Pencegahan dan
Penanganan Terorisme.
Upaya pencegahan dan penanganan terorisme
memerlukan informasi yang didukung oleh Data Base
yang komprehensif. Kebijakan yang direkomendasikan
dalam hal ini adalah :
1). Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal
Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun
2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c);
2). Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai
koordinatorsemua kegiatan intelijen.
2.2. Rekomendasi kebijakan aspek instrumental.
Untuk masalah-masalah yang terkait dengan aspek
instrumental direkomendasikan kebijakan sebagai berikut :
2.2.1. Penyiapan payung hukum untuk
pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme
83
yang memuat Hubungan dan Tata-cara Kerja Antar
Instansi dan antara instansi dengan masyarakat yang
jelas.
2.2.2. Penguatan Aturan hukum untuk
mengungkap pelaku teroris dan jaringannya sesuai
dengan masalah terorisme sebagai extra ordinary crime
yang membutuhkan penanganan khusus. Dalam hal ini
direkomendasikan:
1) Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme yaitu
Undang-undang No. 15 tahun 2003 yang menyangkut
antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti
permulaan, keputusan hakim berdasarkan satu alat
bukti dan keyakinan hakim;
2) Vonis hukuman mati yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka
waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acara-
nya).
2.2.3. Penguatan aturan hukum yang mengatur
tentang keberadaan organisasi radikal.
Pembiaran oleh aparat terhadap perilaku radikal dan
anarkhis dapat menurunkan wibawa aparat dan
menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut benar dan
dapat menjurus kepada tindak pidana terorisme.
Kebijakan yang direkomendasikan adalah :
84
1) Penyiapan aturan normatif untuk kegiatan radikal
dan anarkhis.
2) Penyempurnaan Standard Prosedur operasional
berdasarkan kewenangan aparat secara fungsional.
2.2.4. Efektifitas Laporan Intelijen
Masalah lainnya dalam aspek instrumental adalah
kurang efektifnya peran intelijen. Dalam hal ini
direkomendasikan kebijakan penyempurnaan Undang-
undang No.15 Tahun 2003 Tentangh Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan klausul yang
menyatakan laporan intelijen sebagai alat bukti.
2.2.5. Memasyarakatkan Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme), dalam hal ini direkomendasikan kebijakan: Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme yang mengakomodasikan tugas-tugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme.
2.2.6. Perlunya kerjasama Internasional untuk
menangani terorisme. Pemecahan masalah yang dapat
diambil oleh Pemerintah, dan kebijakan yang
direkomendasikan adalah:
85
1) Penyesuaian hukum nasional terhadap hukum
Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi
Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi
Dewan Keamanan PBB.
2) Pemanfaatan kerjasama internasional dan bantuan
teknis yang sudah berjalan
2.3. Rekomendasi kebijakan aspek kultural.
Aspek kultural, mencakup tata-laku aparat dan
masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme
sebagai musuh bersama, Kebijakan yang direkomendasikan
adalah :
2.3.1. Membangun kesamaan persepsi masyarakat
tentang terorisme sebagai musuh bersama yang dapat
dilakukan melalui :
1) Program sosialisasi pencegahan dan penanganan
terorisme yang berkesinambungan dengan sasaran
program bersama yang disusun secara nasional
sebagai bagian dari Strategi Nasional Pencegahan
dan Penanganan Terorisme.
2) Pemanfaatan dan pendayagunaan Badan Koordinasi
Kehumasan antar instansi.
86
2.3.2. Definisi Terorisme.
Upaya sosialisasi definisi terorisme sesuai Hukum Positif
(Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme)
2.3.3. Pers/Media massa sebagai sumber informasi
Mengingat bahwa pemberitaan pers bersifat latent
dapat berdampak positif dan negatif maka dalam hal ini
direkomendasikan kebijakan dalam bentuk :
Optimalisasi peran pemberitaan pers dalam
pencegahqan dan penanganan terorisme sebagai salah
satu program Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme,
2.3.4. Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan
yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran
agama;
Kebijakan yang direkomendasikan adalah Program “Soft
Power Politic” dan atau “Deradikalisasi” melalui
pencerahan oleh tokoh-tokoh agama moderat sebagai
salah satu program Badan Koordinasi Nasional Anti
Terorisme sejalan dengan peningkatan kesadaran
hukum masyarakat.
87
2.3.5. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan terorisme.
Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan terorisme ada kaitannya dengan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap aparat . Oleh karena
itu rekomendasi kebijakan diarahkan kepada upaya
membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat
sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi.Dalam
hal ini bentuknya adalah peningkatan profesionalisme
aparat.
2.3.6. Kemampuan mobilitas Teroris.
Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan
kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit
dilacak. Rekomendasi kebijakan dalam hal ini adalah :
1) Penerapan ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dan
diberlakukannya “Single Identification System”
berdasarkan identitas sidik-jari yang bersifat
permanen dalam NIK(Nomor Induk Kependudukan)
2) Meningkatkan peranan Pusat Identifikasi Polri
sebagai Pusat Identifikasi Nasional.
3) Perencanaan penerapan NIK sesuai ketentuan
Undang - undang (Tahun 2011 sudah dapat
terlaksana).
88
2.3.7. Terorisme dan Tujuan Politik
Terorisme juga digunakan untuk mencapai
tujuan politik antara lain mengembangkan ideologi
yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai
ideologi negara. Kebijakan yang direkomendasikan
adalah :
1) Meningkatkan peran Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa ;
2) Memperluas cakupan ketentuan normatif yang
terdapat dalam UU No.27 Tahun 1999 j.o pasal 107
d KUHP sehingga mencakup larangan terhadap
segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi
Pancasila.
2.3.8 Persepsi masyarakat terhadap kerjasama
internasional.
Adanya persepsi masyarakat yang negatif terhadap
setiap bentuk kerjasama Internasional dalam
penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah
pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.Kebijakan
yang direkomendasikan adalah :
Transparansi dalam program kerjasama Internasional
khususnya mengenai pencegahan dan penanganan
terorisme melalui informasi publik;
89
2.3.9. Dukungan logistik dan pendanaan terorisme
Masalah lain dalam aspek kultural pencegahan dan
penanganan terorisme adalah fakta bahwa kegiatan
terorisme membutuhkan dukungan logistik dan
pendanaan. Untuk menangani masalah ini, maka
kebijakan yang direkomendasikan adalah:
1) Meningkatkan upaya-upaya deteksi dini dari POLRI,
aparat intelijen, dan PPATK;
2) Membangun jaringan informasi antara aparat
intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak
pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan
penyaluran dana untuk terorisme;
3) Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi
intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK
4) Memperketat pelaksanaan perijinan dan pengawasan
senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam
sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
2.3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Politik, Sosial,
Ekonomi, Budaya dan Agama.
Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama
dapat dieksploitasi oleh teroris, maka dapat
direkomendasikan kebijakan sebagai berikut :
90
1) Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri
menciptakan stabilitas politik dan manajemen
nasional) maupun luar negeri (melalui kerjasama
internasional);
2) Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi);
3) Meningkatkan pembinaan kerukunan hidup
bermasyarakat dan bernegara;
4) Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang
dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan
perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965
kaitannya dengan Pasal 156a KUHP).
2.3.11. Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak
Hukum
Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Penegak Hukum
pada umumnya sudah baik namun masih tetap perlu
peningkatan dan penyempurnaan. Kebijakan yang
direkomendasikan adalah :
1) Peningkatan kemampuan profesi SDM aparat
penegak hukum melalui program pelatihan yang
konsisten.
2) Peningkatan koordinasi antar instansi penegak
hukummelalui program yang melembaga.
91
2.3.12. Pemanfaatan budaya lokal bagi pencegahan
dan penanganan terorisme;
Kebijakan yang direkomendasikan adalah : Pelaksanaan
Program”Community Development” Pemerintah Pusat
dan Daerah serta Program “Community Policing” POLRI.
92
LAMPIRAN
BAGAN SITUASI MASALAH-SUBSTANSI MASALAH DAN SOLUSI MASALAH
Skema 1. Hubungan Antara Situasi Masalah dengan Substansi Masalah
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Beberapa instansi punya satuan anti teror
- Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror
- Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas
- Tidak ada badan koordinasi
- Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait
- Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral
Struktural
- Data base mengenai terorisme belum komprehensif
- Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia
93
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya
- Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan khusus
- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acara-nya) belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime
- Peranan Intelijen kurang efektif
- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti
Instrumental
- Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme) belum memasyarakat
- Keterbatasan distribusi naskah kebijakan
- Sosialisasi yang tidak melembaga
94
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara]
- Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme
- Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama
- Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal
- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme
- Masih biasnya pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu
- Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa
- Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif
- Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama
- Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama
- Rendahnya tingkat kesadaran hukum
Kultural
- Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme
- Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat
95
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan-kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.
- Belum diterapkannya ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan
- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara
- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksanakan tugas operasional pembinaan
- Ketentuan normatif yang
ada terbatas pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi Komunisme, Marxisme, serta Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)
96
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.
- Pemilikan senjata api,
bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme
- Adanya persepsi global bahwa kekuatan Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal.
- Kurang transparan-nya pemerintah dlm proses pencegahan dan penanganan terorisme, terutama dlm bentuk kerja- sama Internasional.
- Tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap pemerintah dalam pencegahan & penanganan terorisme.
- Lemahnya pengawasan
terhadap kepemilikan serta peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam organik TNI dan POLRI
- Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang.
- Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan peledak.
97
Situasi Masalah Substansi Masalah
- Kegiatan terorisme membutuhkan dukungan logistik dan pendanaan
- Sumber pendanaan kegiatan teroris bisa bersifat legal (sumbangan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering)
- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris
- Kelemahan-kelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum
- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme
- Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat
98
Skema 2. Hubungan Antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi
ASPEK Situasi
Masalah Substansi Masalah Solusi Pemecahan
Masalah
Struk-tural
- Beberapa instansi punya satuan anti teror
- Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror
- Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas
- Tidak ada badan koordinasi
- Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait
- Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral
- Penguatan Desk Anti Teror yang Sudah ada; atau pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
- Pengaturan hubungan tata kerja instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan TNI kepada Polri; Koordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus; Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk-bentuk satuan Pengamanan Swakarsa – tentang tugas: Pasal 14 ayat 1 huruf f dan tentang wewenang: Pasal 15 ayat 2 huruf f dan g – serta bantuan dan hubungan Polri dengan Pemda) [instrumental]
99
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Data base mengenai terorisme belum komprehensif
- Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia
- Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c)
- Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai koordinator semua kegiatan intelijen
Instrumental
- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya
- Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuh-kan penang-anan khusus
- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acara-nya) belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime
- Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme [Undang-undang No. 15 tahun 2003 antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti permulaan, barang bukti sebagai alat bukti, keputusan hakim berdasarkan satu alat bukti dan keyakinan hakim]
- Vonis hukuman mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acara-nya)
100
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Peranan Intelijen kurang efektif
- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti
- Laporan intel menjadi alat bukti
- Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordi-nasi Pembe-rantasan Terorisme) belum me-masyarakat
- Keterbatasan distribusi naskah kebijakan
- Sosialisasi yang tidak melembaga
- Pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme yang dapat mengakomodir tugas-tugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme
101
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara]
- Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme
- Penyesuaian hukum nasional terhadap hukum Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi Dewan Keamanan PBB
102
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama
- Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal
- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme
- Masih biasnya
pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu
- Pelembagaan gerakan masyarakat dalam kampanye anti terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme
- Peningkatan program sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat tentang bahaya terorisme, pencegahan dan penanganannya
- Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa
- Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif
- Optimalisasi peran pemberitaan pers dalam pencegahan dan penanganan terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme
Kul-tural
- Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama
- Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama
- Rendahnya tingkat kesadaran hukum
- Deradikalisme melalui pencerahan oleh tokoh-tokoh agama moderat sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme sejalan dengan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
103
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme
- Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat
- Membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi
- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan-kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.
- Belum diterapkannya ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan
- Diberlakukannya Single Identification System berdasarkan identitas sidik jari yang bersifat permanen dalam NIK (Nomer Induk Kependudukan)
- Meningkatkan peranan Pusat Identifikasi Polri sebagai Pusat Identifikasi Nasional
- Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat terlaksana sesuai amanat undang-undang)
104
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara
- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksana-kan tugas operasional pembinaan
- Ketentuan normatif yg ada terbatas pd larangan menyebarkan dan mengem-bangkan ideologi Komunisme, Marxisme, & Leninisme dgn maksud mengubah atau mengganti Pancasila sbg dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)
- Meningkatkan peran lembaga pembina kesatuan bangsa dalam rangka pencegahan dan penanganan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
- Ketentuan normatif yang ada [UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP] diperluas untuk mencakup larangan terhadap segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila
105
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.
- Pemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme
- Adanya persepsi global bhw keku-atan Amerika me lawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal.
- Krng transparan pemerintah da-lam proses pen-cegahan dan pe-nanganan teroris-me,terutama dlm bntuk kerjasama Internasional
- Tgkt kepercayaan yang rendah dari masyarakat thdp pemerintah dlm pencegahan & pe nanganan teroris
- Lemahnya peng-awasan terhadap kepemilikan, srt peredaran senja-ta api, bhn pldk, & senjta tjm trmasuk jg kepe-milikan snjta api, bhn peledak, & senjata tjm orga-nik TNI & POLRI
- Transparansi dalam program kerjasama Internasional khususnya mengenai pencegahan dan penanganan terorisme melalui informasi publik.
- Memperketat
pelaksanaan perijinan dan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
106
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Kegiatan terorisme membutuhkan dukungan logistik dan pendanaan
- Masih adanya bhn peledak sisa pen-inggalan perang.
- Mudahnya mem-peroleh bhn baku untuk meramu bahan peledak.
- Sumber pendanaan kegiatan teroris bisa bersifat legal (sumbangan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering)
- Meningkatkan upaya-upaya deteksi dini dari POLRI, aparat intelijen, dan PPATK
- Membangun jaringan informasi antara aparat intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan penyaluran dana untuk terorisme
- Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK
107
ASPEK Situasi Masalah
Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah
- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris
- Kelemahan-kelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum
- Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri {menciptakan stabilitas politik dan manajemen nasional} maupun luar negeri {melalui kerjasama internasional}.
- Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi)
- Meningkatkan pembinaan kerukunan hidup bermasyarakat dan bernegara
- Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965 kaitannya dengan Pasal 156a KUHP).
- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme.
- Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat
- Program community development dan community policing
108
DAFTAR PUSTAKA
Ariyasinghe, Mithra, 2006, Case Handling of Terrorism in Sri Lanka, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Atmasasmita, Romli, 2006, Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Atmasasmita, Romli. 2006. Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia;
Azra, Azyumardi, 2006, Jihad And Suicide Bombing An Indonesian Perspective, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Bafadal, Fadhal AR, Mebendung Terorisme: Perspektif Lektur
Keagamaan (Makalah), Surabaya, 2006
Davies, Barry, BEM., 2003, Terrorism: Inside a World Phenomenon, London Books Ltd.
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme.
109
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme.
Dzulqarnain, Muh, Sanusi, , 2006 M/ 1427 H. Meraih kemuliaan
Melalui Jihad, Pustaka As Sunnah, Klaten,
Euroweek, 2002, Bali Blast Fractures Southeast Asia Economic Hopes, London, Euromoney Institutional Investor PLC, 18th October .
H.S., Baharuddin, 2006. Membangun Msyarakat Islam lewat
Gerakan Kultural (Makalah), Makassar
Harmon, Christoper C., Terrorism Today, (London: Frank Cass, 2000), p. 186-233. See as well his article, Christopher C. Harmon, "Terrorism; A Matter for Moral Judgment", Terrorism and Political Violence 4:1 (Spring 1992), p. 1-21.
Hassan, Riaz. 2006. Suicide Terrorism: Its Nature and Management in Different Countries, dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI). Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Husain, Adian. 2001Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani,
Jakarta,
Kahfi, Syahdarul. (ed.). 2006. Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi. Jakarta : Spectrum.
Keelty, Mick, 2006, Threat Detection And Preventative Efforts Against Terrorism, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus
110
Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6.
Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia. 2006. Makalah Rekomendasi Bagi Penggalangan Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Jakarta.
Mere, Gories, 2006, Case Handlings of Suicide Bombing of Terrorism in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
Qardhawi, Yusuf, 2004Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme
daam Berislam dan Upaya Pemecahannya, diterjemahkan
oleh Hawn Murtadho, Era Intermedia, Solo.
Sudiana. 2003. Pancasila dan Jihad. Jakarta : Sinar Mulia
Widya, Wayan Putera. 2004. Di Tengah Gelombang Teror. Bandung : Mustika Karya.
Wirawan, Sarwono, Sarlito, 2006, What is in their minds? The psychology of suicide bombers in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri
111
Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.
YLBHI : RUU Rahasia Negara Berbahaya. Kompas, 19 Januari 2006.
Yusanto, S, et.al, 2003. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di
Asia Tenggara, EFSThe Ridef Institute, Jakarta.,
112
DAFTAR ISTILAH
Terror: Penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menimbulkan rasa takut dan meniadakan pelawanan.
Terorrism: Penggunaan kekerasan secara sistematis untuk menimbulkan rasa takut dan mengganggu sistem wewenang. Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 2003 terrorisme adalah tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.
Obyek Vital Nasional: Kawasan / lokasi, bangunan / instalasi dan / atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.
Aspek Instrumental: Ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja.
Aspek Struktural: Pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau badan.
Aspek Kultural: Tata laku aparat dan masyarakat.
113
Radikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang mementingkan penanganan drastis untuk mengubah masyarakat sehingga kondisi kehidupan sosial berubah.
Deradikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang bertujuan untuk mengurangi radikalisme.
Anarki: Suatu keadaan dimana tidak ada suatu organisasi sosial yang efektif sehingga timbul kekacauan.
Anarkis: Suatu tindakan pengacauan dengan mangabaikan organisasi sosial yang ada.
Komunisme: Suatu filsafat sosial atau sistem organisasi sosial yang didasarkan pada prinsip pemilikan umum atas sarana produksi dan jasa-jasa ekonomis yang senantiasa dikaitkan dengan doktrin untuk mempertahankan sistem tersebut, yang didasarkan pada ajaran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.
Marxisme: Ajaran yang dikembangkan Karl Marx dan Friedrich Engels yang berintikan pada asumsi bahwa kelas buruh mempunyai peranan penting untuk menghilangkan kapitalisme dan hak-hak istimewa kelas-kelas sosial tertentu, sehingga pada akhirnya terbentuk masyarakat tanpa kelas sosial.
Community Development: Usaha kerja sama yang dengan sengaja dilakukan oleh orang-orang anggota suatu komunitas untuk mengarahkan masa depan komunitasnya dan mengembangkan seperangkat teknik yang tepat untuk membantu orang-orang dalam komunitas dalam menjalani proses.
Community Policing: Suatu model yang secara substansial sipil diberi kewenangan di masing-masing daerah untuk ikut merumuskan, mendukung
114
operasional dan melakukan kontrol atas berbagai bentuk kebijakan sektor keamanan di daerah. Kewenangan ini dapat dirumuskan dalam sistem kelembagaan, regulasi, dan kemampuan praktis, sekaligus juga perlu ditopang oleh pelembagaan perangkat-perangkat kultural sebagai dasar penguat bekerjanya regulasi yang demokratis.
Community based Crime Prevention: Langkah-langkah yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal.
Mastermind: Orang yang sangat terpelajar, terutama dalam membuat suatu perencanaan dan memimpin suatu kegiatan yang rumit.
Spiritual Leader: Orang yang menggunakan sumber-sumber keagamaan untuk menggerakkan atau mempengaruhi orang lain.
Money Laundering Adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU. No. 15 Tahun 2002 jo. UU. No. 25 Tahun 2003). Dari pengertian di ini, paling tidak ada dua elemen penting untuk adanya pencucian uang (money laundering) ialah adanya transaksi keuangan dan adanya tindak pidana (illegal activity).
115