Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

130

description

Laporan hasil penelitian Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dengan Kemitraan (Partnership) tahun 2007

Transcript of Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Page 1: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 2: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 3: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 4: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 5: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Kata Pengantar Ketua Presidium Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia

Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rakhmat dan ridho-NYA sehingga Buku “Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia” dapat diterbitkan sesuai rencana.

Buku ini memuat hasil penelitian dan merupakan laporan rekam jejak kegiatan kerjasama antara Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan Partnership/Kemitraan dalam rangka reformasi tata pemerintahan

(Governance reform) dibidang keamanan yang lebih baik, dan lebih demokratis dan sejalan dengan motto LCKI yaitu ”sejahtera tanpa kejahatan”(prosperity without crime). Kegiatan penelitian dan kajian materi buku ini, dengan restu dari Bapak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, telah melibatkan banyak pihak yang terdiri dari kelompok akademisi, Tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan unsur dari instansi Pemerintah di beberapa kota dalam kegiatan Survey, Focused Group Discussion, Workshop dan Round Table Meeting. Secara khusus kerjasama ini dimungkinkan karena peranan negara Denmark dan Partnership/Kemitraan serta komitmen dari Tim Kerja LCKI. Untuk itu semua, saya selaku Pimpinan LCKI dan selaku pribadi menyampaikan apresiasi dan terima kasih. Semoga kerjasama seperti ini diwaktu yang akan datang dapat terus berlanjut dan berkembang.

i

Page 6: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Disadari bahwa hasil temuan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian, betapapun diharapkan dapat dijadikan masukan bagi penyusunan kebijakan dan strategi pencegahan dan penanganan terorisme yang lebih komprehensif secara nasional.

Mengingat bahwa terorisme menimbulkan korban dan akibat kerusakan yang dahsyat yang menghancurkan peradaban manusia maka setiap warga masyarakat dan aparat Pemerintah seyogianya memandang terorisme sebagai musuh bersama yang perlu dicegah, ditangani dan dilawan secara sungguh-sungguh dan profesional.

Terima kasih.

Jakarta, 19 Desember 2007 Ketua Presidium LCKI Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H

ii

Page 7: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ....................................................... i

Daftar Isi ............................................................... iii

Daftar Tabel ........................................................... vii

Bab I PENDAHULUAN............................................... 1

1. Latar Belakang ........................................... 1 2. Dasar....................................................... 12 3. Maksud dan Tujuan ...................................... 13 4. Lingkup Materi Laporan................................. 13 5. Sistematika Penulisan ................................... 14

Bab II PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK ..................... 15

1. Judul Proyek.............................................. 15 2. Tujuan ..................................................... 15 3. Manfaat.................................................... 16 4. Hasil Yang Diharapkan .................................. 16 5. Pengorganisasian Proyek................................ 17 6. Kegiatan Penelitian dan Pengkajian .................. 18

6.1. Umum............................................. 18 6.2. Pendekatan dan Tipe Penelitian ............. 19

7. Populasi dan Sampel .................................... 23 8. Kegiatan Survey : Teknik Penarikan Sampel......... 23 9. Teknik Pengumpulan Data.............................. 24

9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif................ 24 9.2. Pengumpulan Data Kualitatif ................. 25

Page 8: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

iv

9.3. Perlengkapan Penelitian....................... 26 9.4. Non-Participant Observation.................. 26

10. Analisis Data Kualitatif.................................. 27 11. Teknik Analisis Data Kuantitatif ....................... 28 12. Kendala Penelitian Dan Pengumpulan Data

Kualitatif .................................................. 28 12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara

Mendalam ........................................ 28 12.2. Kendala Dalam Melakukan Focused Group

Discussion Dan Workshop ...................... 29

Bab III Hasil Penelitian .............................................. 31

1. ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 31 1.1. Masalah koordinasi kelembagaan............. 31 1.2. Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut,

Udara dan Jalur Lalu Lintas Keluar Masuk Wilayah Indonesia............................... 35

1.3. Database Tentang Pencegahan Dan Penanganan Terorisme......................... 36

2. ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 37 2.1. Aturan Hukum Tentang Tindak Pidana

Terorisme ........................................ 38 2.2. Aturan Tentang Pelarangan Organisasi

Radikal............................................ 40 2.3. Efektifitas Laporan Intelijen .................. 41 2.4. Penyesuaian Hukum Nasional Terhadap

Hukum Internasional dan Konvensi Internasional Melawan Terorisme ............ 42

Page 9: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

v

3. ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 43 3.1. Persepsi Masyarakat Tentang Terorisme

Sebagai Musuh Bersama........................ 43 3.2. Definisi Terorisme .............................. 47 3.3. Pers/ Media Massa Sebagai Sumber

Informasi ......................................... 49 3.4. Eksistensi Kelompok-Kelompok Radikal

Militan ............................................ 54 3.5. Partisipasi Masyarakat Dalam Pencegahan

dan Penanganan Terorisme ................... 56 3.6. Kemampuan Mobilitas Teroris ................ 60 3.7. Terorisme dan Tujuan Politik ................. 62 3.8. Persepsi Masyarakat Terhadap Kerjasama

Internasional..................................... 64 3.9. Dukungan Logistik Dan Pendanaan

Terorisme ........................................ 65 3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Kondisi

Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama 68 3.11. Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak

Hukum ............................................ 71 3.12. Pemanfaatan Budaya Lokal Bagi

Pencegahan dan Penanganan Terorisme .... 74 BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................. 79

1. Skema Hubungan Masalah .............................. 79 2. Rekomendasi Kebijakan ................................ 80

2.1. Rekomendasi Kebijakan Aspek Struktural... 81 2.2. Rekomendasi Kebijakan Aspek Instrumental 83 2.3. Rekomendasi Kebijakan Aspek Kultural ..... 86

Page 10: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

vi

LAMPIRAN : Bagan Situasi Masalah – Substansi Masalah dan Solusi Masalah ......................................... 93 DAFTAR PUSTAKA .................................................... 109 DAFTAR ISTILAH ..................................................... 113

Page 11: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

vii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus

Anti Teror Di Indonesia .................................... 32

Tabel 2. Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme ...... 33

Tabel 3. Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar ................... 44

Tabel 4. Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar ..........................................

45

Tabel 5. Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme .......................

50

Tabel 6. Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia ... 52

Tabel 7. Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi) .... 54

Tabel 8. Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat .....................................

57

Tabel 9. Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat ................................................... 58

Tabel 10. Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat ...................................................

59

Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme ....................................

71

Tabel 12. Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme ...............................

72

Tabel 13. Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme ............................

73

Tabel 14. Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme ........................................... 73

Page 12: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 13: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional

mengenai definisi tentang terorisme, karena disamping banyak

elemen terkait, juga karena semua pihak berkepentingan melihat

atau menerjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang

dan kepentingan masing-masing. Namun tidak berarti bahwa belum

ada rumusan tentang terorisme. Setiap negara merumuskannya

dalam sistem hukum sesuai dengan karakteristik ancaman yang

dihadapi. Namun demikian apapun rumusan atau definisinya,

terorisme pada hakekatnya adalah kejahatan terhadap

kemanusiaan dalam arti bahwa setiap terjadi ancaman terorisme

dimanapun akan merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia

karena mengancam perdamaian dan kedamaian nasional maupun

internasional1.

Indonesia, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003, memberi definisi tindak pidana terorisme sebagai

setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan

1 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006). Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6.

1

Page 14: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror

atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan

korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan

atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek

vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau

fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat

bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi

yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.

Bagi Indonesia masalah terorisme ini merupakan masalah

serius yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara. Berdasarkan

pengungkapan aksi terror selama ini dapat diketahui bahwa

ternyata Indonesia tidak hanya menjadi target terorisme baik yang

bersifat domestik maupun internasional namun ternyata juga

dijadikan tempat perekrutan pelaku terorisme. Dalam beberapa

kali kesempatan Kepala Negara menyatakan bahwa tiga masalah

serius yang harus dihadapi bersama oleh seluruh komponen dalam

masyarakat adalah Korupsi, Narkotika dan Terorisme. Pernyataan

ini merupakan suatu komitmen dan sekaligus menempatkan ketiga

masalah tersebut pada prioritas yang tinggi dalam agenda bangsa

Indonesia2.

Setelah tragedi bom di Legian Bali, Pemerintah telah

mengambil beberapa langkah strategis untuk menghadapi tindak

2 Ibid. Hal.3.

2

Page 15: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

pidana terorisme ini berupa langkah untuk memperkuat perangkat

hukum dan organisasi yang dapat dijadikan landasan bagi upaya

penindakannya. Satu minggu setelah terjadinya tragedi Bom di

Legian Bali, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun

2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali

tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2

Tahun 2002 kemudian disyahkan oleh DPR RI menjadi Undang-

undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 16 Tahun 2003.

Dalam perkembangannya Undang-undang No. 16 Tahun 2003

dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.

Di samping memperkuat dan menyempurnakan legislasi

nasional mengenai penanganan masalah terorisme, Indonesia juga

mempunyai kewajiban untuk melaksanakan berbagai Konvensi

Internasional. Sejauh ini terdapat 13 Konvensi Internasional yang

menyangkut tindak pidana terorisme. Dari jumlah ini Indonesia

telah meratifikasi 6 Konvensi, sedangkan beberapa konvensi

lainnya masih dalam proses ratifikasi. Selanjutnya sebagai anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia pun terikat oleh berbagai

Deklarasi dan Resolusi yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa dan organisasi-organisasi dimana Indonesia menjadi anggota

3

Page 16: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

seperti Organisasi Konferensi Islam, Gerakan Non-Blok, ASEAN,

APEC dan lain-lain3.

Dalam lingkup penyusunan peraturan perundang-undangan

yang memiliki aspek internasional maka kebijakan legislasi mutlak

mengadopsi substansi konvensi-konvensi internasional yang telah

diakui oleh Pemerintah RI atau mempertimbangkan konvensi

internasional yang belum diakui akan tetapi memiliki filosofi

semangat dan jiwa yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945

serta kebutuhan negara RI.4

Dalam rangka meningkatkan efektifitas pemberantasan

terorisme, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun

2002 yang memerintahkan Menko Polkam untuk menyusun

kebijakan dan langkah-langkah operasional pemberantasan

terorisme. Selanjutnya Menko Polkam dalam melaksanakan

Instruksi Presiden tersebut telah mengeluarkan Keputusan Menko

Polkam nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang

Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)5.

Selain itu Menko Polhukam juga mengeluarkan keputusan

Nomor Kep-45/Menko/Polhukam/6/2006 tentang Kebijakan dan

Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Selanjutnya, oleh

3 Ibid. Hal 1-2. 4 Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH., LL.M. Kapita Selekta Hukum Pidan Internasional,

CV. Utomo, Bandung. 2004, hal. 81. 5 Ibid. Hal. 3.

4

Page 17: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

desk koordinasi pemberantasan terorisme telah dikeluarkan

pedoman operasi terpadu dalam penanganan aksi teror pada tahun

2006.

Sementara itu Presiden, pada tahun 2004, juga mengeluarkan

Keputusan Presiden No. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek

Vital Negara yang bertujuan untuk mencegah semakin

meningkatnya ancaman dan gangguan terhadap Obyek Vital

Nasional termasuk oleh aksi terorisme6.

Penanganan terorisme perlu dilakukan secara terus menerus

dan mutlak memerlukan kerjasama yang terpadu, lintas instansi,

dan lintas negara. Untuk itu diperlukan penanggulangan terorisme

secara komprehensif yang melibatkan peran dan fungsi berbagai

instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan bekerjasama

dengan komunitas internasional dengan dukungan dan partisipasi

segenap komponen bangsa7.

6 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksudkan dengan : (1) Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis; (2) Pengelola Obyek Vital Nasional adalah perangkat otoritas dari Obyek Vital Nasional, (3) Pengamanan adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan serta penegakan hukum terhadap setiap ancaman can gangguan yang ditujukan kepada Obyek Vital Nasional; (4). Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan dengan segala bentuknya balk yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat berpotensi membahayakan kelangsungan berfungsinya Obyek Vital Nasional, (5) Gangguan adalah tindakan yang sudah nyata dan menimbulkan kerugian berupa korban jiwa dan/atau harta benda serta dapat berakibat trauma psikis kepada pegawai/karyawan Obyek Vital Nasional.

7 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006).Loc.cit, hal.4.

5

Page 18: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Terorisme bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan

kejahatan luar biasa bahkan digolongkan kedalam kejahatan

terhadap kemanusiaan. Terorisme mempunyai jaringan yang luas

dan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan

nasional serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga

perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan

berkesinambungan sehingga hak asasi manusia dapat dilindungi dan

dijunjung tinggi8.

Masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional saat ini

sedang dihadapkan dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan

akibat maraknya aksi teror. Bangsa Indonesia telah merasakan

betapa besarnya kerugian akibat aksi teror, karena telah

menimbulkan korban nyawa warga negara Indonesia dalam jumlah

cukup banyak serta kerugian harta benda dan memperparah

keadaan ekonomi bangsa yang sedang terpuruk akibat krisis yang

berkepanjangan. Oleh karena itu pemberantasan terorisme telah

merupakan tekad pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam

rangka mencapai tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana

tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu9 :

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan

8 Ibid. Hal. 29. 9 Ibid. 30.

6

Page 19: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari

masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerjasama

internasional untuk ikut memberantas segala tindakan yang

berkaitan dengan tindak pidana terorisme.

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan

masyarakat yang beradab menegaskan secara sungguh-sungguh

untuk mengecam secara tegas seluruh bentuk, metoda, upaya dan

tindakan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam,

termasuk mereka yang merusak hubungan persahabatan antar

negara dan mengancam integritas teritorial, keamanan, ketertiban

dan pertahanan negara-negara yang berdaulat10.

Untuk mencegah tindak pidana terorisme, diperlukan kerja

sama antar negara yang dilakukan melalui perjanjian, baik

bilateral maupun multilateral. Secara internasional pemberantasan

terorisme adalah bagian dari pelaksanaan komitmen Resolusi

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang

mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk

mencegah dan memberantasnya. PBB melalui United Nations

Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan

merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara

komprehensif, sebagai berikut:

10 Ibid. Hal. 30.

7

Page 20: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1. Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance);

2. Aspek ekonomi dan sosial (economic and social);

3. Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology,

communication, education);

4. Peradilan dan hukum (judicial and law);

5. Aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and

prison system);

6. Aspek intelijen (intelligence);

7. Aspek militer (military);

8. Aspek imigrasi (immigration).

Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan

memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai

konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme

merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan

umat manusia sehingga seluruh negara anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, wajib mendukung dan

melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk

terorisme dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk

mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan

peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Substansi

8

Page 21: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSC) No. 1373 adalah, sebagai

berikut11 :

1. Mencegah dan menindak pendanaan terhadap teroris.

2. Pembekuan dana sumber-sumber keuangan para teroris.

3. Melarang warga negara untuk mendanai teroris.

4. Mencegah warga negara mendukung teroris, termasuk

mencegah rekrutmen dan mengeliminir suplai senjata.

5. Menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke

negara lain melalui pertukaran informasi.

6. Menolak untuk dijadikan tempat persembunyian teroris.

7. Mencegah digunakannya wilayah teritorial untuk

melakukan kegiatan teroris terhadap negara lain atau

warga negaranya.

8. Menjamin bahwa para teroris dan pengikutnya diajukan

ke pengadilan dan di jatuhi hukuman setimpal dengan

kesalahannya.

9. Menyediakan bantuan dalam rangka investigasi kriminal.

10. Menerapkan pengawasan perbatasan secara efektif,

meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap

dokumen perjalanan.

11 Ibid. 30-31.

9

Page 22: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Dalam rangka memperkuat kerjasama internasional dalam

pemberantasan terorisme, perlu diratifikasi berbagai konvensi

internasional yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.

Juga perlu diadakan persetujuan bantuan hukum secara timbal

balik (mutual legal assistance treaties) dengan negara lain,

sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat dalam kerjasama

operasional, pemeriksaan saksi-saksi, pengambilan barang bukti

dan lain-lain12.

Dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 tahun 2002, Perpu No. 2

tahun 2002 yang kemudian telah disahkan masing-masing menjadi

Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor

16 tahun 2003 dan selanjutnya Inpres No. 4 tahun 2002, maka

Pemerintah memberi mandat kepada Menko Polkam untuk

merumuskan kebijakan nasional melawan terorisme dan

mengkoordinasikan langkah-langkah operasional dalam upaya

pencegahan dan penanganan terorisme. Dengan menyadari bahwa

upaya pencegahan dan penanganan terorisme mutlak memerlukan

kerjasama terpadu secara lintas instansi bahkan lintas negara,

maka diperlukan suatu konsep operasi yang komprehensif, dengan

memadukan peran dan fungsi instansi-instansi pemerintah baik di

tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta melibatkan

partisipasi masyarakat.

12 Ibid. 32-33.

10

Page 23: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Secara umum, pencegahan dan penanganan terorisme dapat

dikatakan masih belum efektif. Dalam penindakan terorisme,

hampir semua pelaku teror Bom Bali 12 Oktober 2002 telah

tertangkap dan diproses sesuai ketentuan hukum. Namun demikian

ternyata masih terjadi lagi aksi teror bom di Hotel J.W. Marriot

Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2003 dan teror bom didepan

Kedutaan Besar Australia pada tanggal 9 September 2004. Bahkan

kemudian di Bali terjadi lagi aksi teror bom pada tanggal 1 Oktober

2005 (Bom Bali II). Hal tersebut menuntut untuk terus meningkatan

upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme.

Dalam pencegahan dan penanganan terorisme ternyata tidak

hanya berkait dengan masalah hukum atau undang-undang (aspek

instrumental), tapi mencakup secara komprehensif masalah

pengorganisasian upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana terorisme (aspek struktural) dan budaya (aspek

kultural). Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan antara lain

adalah, membangun kesadaran publik tentang bahaya terorisme,

menciptakan komunitas yang sadar tentang masalah-masalah

keamanan. Dengan demikian, selain meningkatkan sistem hukum

yang mampu merespons terorisme, upaya-upaya prevensi dan

sosialisasi, seperti melakukan program-program edukasi dan

rehabilitasi.

Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan dan pengkajian lebih

lanjut tentang hal-hal yang terkait dengan:

11

Page 24: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1. Penataan normatif (aspek instrumental) pencegahan dan

penanganan terorisme sebagai bagian integral dari

manajemen penyelenggaraan negara / tata

pemerintahan.

2. Pengorganisasian (aspek struktural) upaya-upaya

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme

yang dapat menjamin sinergi upaya pencegahan dan

penanganan terorisme yang dilakukan oleh berbagai

instansi.

3. Nilai-nilai (aspek kultural) yang direfleksikan dalam tata

laku aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan

penanganan terorisme dan persepsi masyarakat tentang

kejahatan terorisme sebagai musuh bersama (common

enemy), sehingga diharapkan bisa menciptakan bentuk-

bentuk partisipasi masyarakat yang efektif dalam

pencegahan dan penanganan tindak pidana terorisme.

2. DASAR

Kerjasama Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia dengan

Kemitraan dalam Proyek Kajian dan Perumusan Mekanisme

Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di

Indonesia, yang dituangkan dalam bentuk Memorandum of

Understanding (MOU) yang ditanda tangani pada tanggal 28 Mei

2007.

12

Page 25: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

3. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dari penulisan laporan ini adalah untuk

menggambarkan hasil penelitian, pengkajian dan perumusan

tentang “Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan

Penanganan Terorisme di Indonesia” yang dilaksanakan oleh

Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia bekerja sama dengan

Kemitraan.

Laporan ini bertujuan untuk:

1. Menyajikan deskripsi Proses Penelitian, Pengkajian dan

Perumusan;

2. Menggambarkan Substansi yang dihasilkan mencakup

Aspek Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Alternatif

Solusi Pemecahannya (Struktural, Instrumental dan

Kultural);

3. Menyajikan rumusan alternatif Rekomendasi Kebijakan.

4. LINGKUP MATERI LAPORAN

Adapun lingkup materi Laporan tentang alternatif

manajemen pencegahan dan penanganan terorisme ini meliputi:

1. Proses Penelitian, Pengkajian dan Perumusan.

13

Page 26: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2. Materi yang dihasilkan mencakup Situasi Masalah,

Substansi Masalah dan Alternatif Solusi Pemecahannya

(Struktural, Instrumental dan Kultural).

3. Rekomendasi Kebijakan.

5. SISTEMATIKA PENULISAN

Sesuai dengan tujuan penulisan Laporan yang telah

disebutkan di atas maka disusun sistematika penulisan sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II :

PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK

BAB III : HASIL PENELITIAN:

1. Aspek Struktural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia

2. Aspek Instrumental Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia

3. Aspek Kultural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia

BAB IV : PENUTUP : REKOMENDASI KEBIJAKAN

14

Page 27: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

BAB II

PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK

1. JUDUL PROYEK

Judul Proyek yang dilakukan oleh Lembaga Cegah Kejahatan

Indonesia bekerja sama dengan Kemitraan adalah: “KAJIAN DAN

PERUMUSAN MEKANISME ALTERNATIF MANAJEMEN PENCEGAHAN

DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA”.

2. TUJUAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan

alternatif manajemen pencegahan dan penanganan terorisme yang

effektif di Indonesia.

Secara khusus, tujuan dari penelitian tentang ini adalah

untuk mengetahui:

1. Gambaran terkini tentang pencegahan dan penanganan

terorisme yang dilakukan oleh berbagai instansi

pemerintah yang terkait.

15

Page 28: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2. Persepsi masyarakat tentang pencegahan dan penanganan

terorisme.

3. Merumuskan alternative policies tentang pencegahan dan

penanganan terorisme.

3. MANFAAT

Adapun manfaat dari Proyek “Kajian dan Perumusan

Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan

Terorisme di Indonesia ini adalah : Terwujudnya pembaharuan Tata

Pememerintahan (Governance Reform) khususnya di bidang

keamanan yang lebih demokratis, legal dan komprehensif untuk

kebijakan publik (legislatif dan eksekutif)

4. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari kegiatan Proyek “Kajian dan

Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan

Penanganan Terorisme di Indonesia ini adalah :

1. Deskripsi kebijakan, implementasi dan tata cara atau

mekanisme pencegahan dan penanganan terorisme yang

dilaksanakan oleh Instansi terkait.

2. Deskripsi pendapat masyarakat tentang terorisme,

pencegahan dan penanganannya.

3. Policy Paper tentang alternatif pencegahan dan

penanganan terorisme di Indonesia.

16

Page 29: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

4. Komitmen Policy Makers untuk menggunakan alternatif

pencegahan dan penanganan terorisme.

5. PENGORGANISASIAN PROYEK

Untuk dapat melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan Proyek

“Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen

Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia”, dilakukan

pengorganisasian pelaksanaan pekerjaan yang meliputi :

Penanggungjawab : Prof. Drs. Da’i Bachtiar, S.H.,

A. Steering Committee :

1. Prof. Drs. Adrianus E. Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D.

(Senior Governance Advisor – Partnership)

2. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A.

(Direktur Jenderal Perlindungan HAM – Departemen Hukum

dan HAM)

3. Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai

(Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko

Polhukam)

4. Brigjen. Pol. Bekto Suprapto

(Kadensus 88/AT Bareskrim Polri)

5. Irjen Pol (Purn) Drs. Ronny Lihawa, M.Si.

(Ketua Desk Antar Instansi DN / LN – LCKI)

6. Warsito Sanyoto, S.H., M.H.

(Ketua Desk Anti Teror – LCKI)

17

Page 30: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

B. Manajemen Proyek :

1. Pimpinan : Irjen Pol (Purn) Drs. Momo Kelana, M.Si.

2. Wakil Pimpinan : Irjen Pol (Purn) Drs. Ketut Astawa

3. Staf Teknis Proyek : Dede Astika Widiana

4. Staf Administrasi : Mohamad Viva, S.Kom.

5. Staf Keuangan : Dra. Sri Purnamawati

6. Peneliti : Drs. M. Kemal Dermawan, M.Si.

Rocky Sistarwanto, S.Sos., MBA.

6. KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGKAJIAN

6.1. UMUM

Metode penelitian merupakan suatu proses yang harus

dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang diinginkan

dapat tercapai. Dalam metode penelitian, cara yang akan

digunakan dalam mengumpulkan data sangat penting karena

akan mempengaruhi hasil penelitian. Jika cara yang

digunakan tidak sesuai atau kurang tepat maka hasil

penelitian bisa saja berbeda dari apa yang diharapkan.

Metode penelitian yang diuraikan dalam Research

Design mencakup beberapa hal yaitu: (a) Pendekatan dan

Tipe penelitian; (b) Populasi dan sampel; (c) Teknik

penarikan sampel; (d) Teknik pengumpulan data; serta (e)

Teknik analisis data.

18

Page 31: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

6.2. PENDEKATAN DAN TIPE PENELITIAN

Pendekatan dan tipe penelitian yang dilakukan dalam

kegiatan ini sangat tergantung pada hasil kegiatan yang

diharapkan. Dalam mencapai hasil kegiatan pertama

(Output I: hasil wawancara mendalam), yakni deskripsi

tentang kebijakan, implementasi dan tata cara atau

mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme yang

selama ini dilaksanakan oleh instansi Primer Tingkat Nasional

yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan

Terorisme, Kemenko Polhukam, Republik Indonesia, maka

dilakukan pendekatan kualitatif, dalam bentuk wawancara

mendalam dengan berpedoman pada variabel dan indikator

penelitian yang dirujuk dari berbagai referensi. Wawancara

mendalam dilakukan kepada informan-informan yang

mewakili instansi yang menangani upaya pencegahan dan

penanganan terorisme dan instansi Primer Tingkat Nasional

yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan

Terorisme (DKPT), Kemenko Polhukam, Republik Indonesia,

yaitu:

1. Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko

Polhukam

2. Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim

Polri

19

Page 32: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

3. Departemen Dalam Negeri

4. Departemen Luar Negeri

5. Departemen Pertahanan

6. Departemen Agama

7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Dalam rangka mencapai hasil kegiatan ke dua (Output

II: Hasil Survei), yakni deskripsi persepsi masyarakat

(Stakeholders: Hotel, Restoran / Kafe, Mal / Pusat

Perbelanjaan, Bandara, Pusat Perkantoran); tentang

terorisme, pencegahan dan penanganannya, dilakukan

dengan pendekatan kuantitatif dalam bentuk survei, yang

mewawancarai para responden.

Untuk memperkaya temuan masalah dari output I dan II

dilaksanakan kegiatan Focused Group Discussion (FGD) di

empat kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makasar) yang

diikuti oleh para peserta yang merupakan perwakilan dari:

I. Instansi Pemerintah antara lain:

1. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi, Lembaga

Pemasyarakatan, Perundangan-undangan, dan Hak

Asasi Manusia)

2. Kejaksaan Agung (di daerah Kejaksaan Tinggi/Negeri)

3. Mahkamah Agung (di daerah Pengadilan Tinggi/Negeri)

20

Page 33: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

4. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

5. Kepolisian Densus 88 dan Gegana (di daerah POLDA)

6. Departemen Keuangan (PPATK)

7. Departemen Perhubungan (Bandara)

8. Badan Intelijen Negara (BIN)

9. Perwakilan dari instansi-instansi pemerintah yang

terkait. (PEMDA dan dinas terkait lainnya antara lain

pemadam kebakaran dan ambulans)

II. Umum/multistakeholders:

1. Asosiasi Hotel dan Restoran (PHRI)

2. Asosiasi Pedagang Retail (Mall / Pusat Perdagangan)

3. Angkasa Pura (Pengelola Bandara)

4. Pelindo (Pengelola Pelabuhan)

5. Organisasi Profesi (Asosiasi Manajer Sekuriti Indonesia)

6. Asosiasi Hiburan / Pariwisata

7. Perbankan (Perbanas)

8. Organisasi Mahasiswa;

9. Organisasi Kepemudaan yang bersifat lokal

III. Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO)

1. Kontras (khusus Jakarta)

2. Organisasi Perlindungan Perempuan

3. Lembaga Bantuan Hukum

4. Majelis Ulama Indonesia

5. Asosiasi Pondok Pesantren

21

Page 34: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

6. Muhammadiyah

7. Nahdlatul Ulama

8. Parisadha Hindu Dharma (Organisasi Hindu)

9. Walubi (Organisasi Budha)

10. Kristen (Organisasi Kristen)

11. Katolik (Organisasi Katolik)

IV. Universitas / Akademisi

1. Universitas-universitas lokal (negeri dan swasta)

Setelah dilakukan Focus Group Discussion (FGD), maka

dilakukan Workshop di empat kota (Medan, Pekanbaru,

Jakarta dan Jogjakarta) yang menghadirkan para peserta dari

unsur yang sama dengan peserta Focus Group Discussion

(FGD).

Hasil dari Workshop dibahas dalam kegiatan Round

Table Meeting (RTM) dengan pakar dari berbagai bidang dan

disiplin ilmu. Setelah kegiatan Round Table Meeting (RTM)

dilakukan kegiatan Diskusi Publik yang diikuti oleh tokoh

masyarakat dan pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan

dan agama dalam rangka uji sahih.

Setelah dilakukan Diskusi Publik, dalam rangka

mendapatkan komitmen dari Policy Makers, hasil Penelitian

dan Kajian dibahas dalam Round Table Meeting dengan para

22

Page 35: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

pejabat dari berbagai instansi terkait dan penyerahan Draft

Policy Paper pada Komisi III DPR-RI.

7. POPULASI DAN SAMPEL13

Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung seluruh

unsur stakeholders, yakni Hotel, Restoran/Kafe, Mal/ Pusat

Perbelanjaan, Airport, Pusat Perkantoran di wilayah tertentu yang

akan dipilih. Sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi

yang diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan

populasinya. Sampel tiap-tiap unsur ditentukan jumlahnya, yakni

bagi survei di Jakarta, setiap unsur diambil 50 responden (sehingga

jumlah keseluruhan adalah 250) Untuk Surabaya, Denpasar dan

Makasar setiap unsur diambil 20 responden (sehingga jumlah

keseluruhan tiap kota 100 responden).

8. KEGIATAN SURVEI : TEKNIK PENARIKAN SAMPEL14

Penarikan sampel dilakukan dengan metode multistages

sampling atau penarikan sampel secara bertahap. Tahap awal

untuk menentukan kriteria sampel/responden berdasarkan metode

penelitian yang dipakai adalah:

Tahap 1: Menentukan wilayah penelitian, misalnya Kota mana,

Hotel, Restoran/Kafe, Mall/Pusat Perbelanjaan,

13 Khusus untuk kegiatan Survei. 14 Khusus untuk kegiatan Survei.

23

Page 36: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Airport, dan Pusat Perkantoran mana saja yang diambil

berdasarkan pertimbangan metodologis tertentu.

Tahap 2: Menentukan jumlah sampel. Jumlah sampel yang

diambil secara keseluruhan di empat kota (Jakarta

250, Surabaya 100, Denpasar 100, dan Makasar 100)

adalah 550 orang, yang ditemui di masing-masing

tempat yang telah ditentukan.

Tahap 3: Menentukan kuota. Dari setiap jumlah responden di

seluruh Kota diambil separuhnya adalah responden

laki-laki dan separuhnya lagi adalah responden

perempuan (Jakarta: 125 perempuan, 125 laki-laki;

Surabaya, Denpasar, dan Makasar: 50 responden laki-

laki dan 50 responden perempuan.

Tahap 4: Menemui responden berdasarkan tahap 2 dan 3 secara

accidental, yaitu dengan memperhatikan kuota

pewawancara dapat menemui setiap pengunjung,

dengan kriteria tambahan bahwa setiap responden

harus berusia 18 tahun ke atas.

9. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif

Data atau keterangan yang diambil untuk menjawab

pertanyaan penelitian diperoleh dengan cara mengumpulkan

informasi dengan teknik wawancara berstruktur dengan

24

Page 37: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

menggunakan kuesioner. Kuesioner dibuat sedemikian

ringkas, padat dan akurat agar menghemat waktu sehingga

tidak mengganggu kepentingan dan agenda responden. Jika

hal ini tidak diwaspadai maka akan menyebabkan tingginya

tingkat penolakan responden.

9.2. Pengumpulan Data Kualitatif

Pendekatan kualitatif (pengumpulan data kualitatif

melalui wawancara mendalam) dilakukan bagi kepentingan

penelusuran data yang lebih mendalam tentang kebijakan,

implementasi dan tata cara atau mekanisme pencegahan dan

pemberantasan terorisme yang selama ini dilaksanakan oleh

instansi Primer Tingkat Nasional yang telah ditetapkan oleh

Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Kemenko

Polhukam, Republik Indonesia, sebagai instansi-instansi

penjuru dalam penanganan terorisme, yaitu: (1) Desk

Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko Polhukam;

(2) Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim Polri;

(3) Departemen Dalam Negeri; (4) Departemen Luar Negeri;

(5) Departemen Pertahanan; (6)Tentara Nasional Indonesia

(TNI); (7) Badan Intelijen Negara (BIN); (8) Departemen

Kesehatan.

Dalam melakukan pengumpulan data, Tim Peneliti

menggunakan metode interview dalam bentuk “personal

25

Page 38: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

interview” dengan mewawancarai beberapa key informan

dari unsur-unsur yang telah disebutkan di atas.

9.3. Perlengkapan Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat dan terfokus, Tim

Peneliti dilengkapi dengan checklist dan pedoman

wawancara tak berstruktur. Checklist merupakan daftar

pertanyaan yang tidak ditanyakan pada informan melainkan

menjadi pedoman bagi peneliti tentang data yang harus

dicari di lapangan. Sedangkan wawancara tak berstruktur

berupa pedoman wawancara yang berisikan poin-poin (garis

besar) yang harus dikembangkan secara mendalam oleh

peneliti di lapangan.

9.4. Non-Participant Observation

Peneliti juga melakukan “Non-participant observation”.

Dalam observasi ini peneliti mengamati kejadian atau situasi

yang sedang berlangsung, tetapi ia sendiri tidak merupakan

bagian dari kelompok dan situasi tersebut, hanya mengamati

dari “jarak tertentu”. Teknik ini banyak dipergunakan dalam

penelitian; biasanya sambil mengamati dulu dan melakukan

pencatatannya kemudian.

26

Page 39: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

10. ANALISIS DATA KUALITATIF

Dalam analisa data (kualitatif) pada dasarnya merupakan

proses pengorganisasian dan pemilahan data ke dalam kategori dan

satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang

dapat menjadi panduan dalam melakukan analisa (interpetasi).

Sebelum melakukan analisa data, dilakukan kegiatan:

1. Mendiskripsikan hasil wawancara secara apa adanya.

2. Melakukan kategorisasi hasil temuan-temuan itu menurut

jenis datanya yang sesuai dengan tujuan penelitian.

3. Dilakukan analisa secara kritis terhadap seluruh hasil

temuan yang ada.

4. Penyajian hasil wawancara secara mendalam, dipisahkan

antara emik (pendapat informan) dengan etik (pendapat

peneliti).

5. Penyajian data menggunakan teknik etnografi modern

yaitu teknik laporan penelitian sudah diimaginasikan

dengan bantuan teori dan referensi lainnya.

Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data

yang dikumpulkan, baik yang diperoleh melalui wawancara,

pengamatan, catatan lapangan dan seterusnya, baru melakukan

reduksi data yang dilakukan dengan cara membuat abstraksi.

Sebelum data ditafsirkan dilakukan evaluasi terhadap keabsahan

data, baru data ditafsirkan dengan bantuan teori yang telah

disediakan.

27

Page 40: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

11. TEKNIK ANALISIS DATA KUANTITATIF

Data yang diperoleh, dianalisis sesuai dengan fokus

penjelasan hubungan antar variabel penelitian. Pengolahan data

melalui SPSS (Statistic Package for Social Science) kemudian akan

dianalisis dengan: descriptive statistics.

12. KENDALA PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA KUALITATIF

12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara Mendalam

Sesuai Research Design yang telah disepakati maka

Informan dari pihak Instansi Pemerintah yang akan di

wawancarai adalah :

1. Komenko Polhukam – Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)

2. POLRI (Bareskrim)

3. Departemen Agama

4. Departemen Dalam Negeri

5. Departemen Luar Negeri (Direktorat Keamanan Negara)

6. Departemen Pertahanan (Ortala)

7. KOMNAS HAM

8. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi)

Ada hambatan birokratis yang dihadapi oleh Tim

Peneliti, yang kemudian mengakibatkan kurang lancarnya

kegiatan wawancara ini dilakukan. Pihak instansi terlihat

sangat berhati-hati dalam merujuk informan yang tepat

28

Page 41: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

untuk diwawancarai masalah Terorisme ini. Perlu kiranya

pihak LCKI mendukung kelancaran permohonan dengan

pendekatan yang lebih khusus lagi, karena surat permohonan

yang diberikan ditanggapi tidak terlalu berbeda dengan surat

permohonan lainnya yang sangat prosedural sifatnya.

12.2. Kendala Dalam Melakukan Focus Group Discussion Dan Workshop

Walaupun Tim Peneliti dan Tim Manajemen telah

merancang dengan seksama kegiatan Focus Group Discussion

dan Workshop namun ada pula kendala-kendala yang

dihadapi dalam pelaksanaannya, antara lain :

1. Dalam kegiatan-kegiatan seperti Focus Group Discussion

dan Workshop, walaupun Tim Peneliti dan Tim

Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal di Kota

di mana kegiatan dilakukan telah mempersiapkan

undangan kepada pihak-pihak yang dinilai kompeten

dalam diskusi, namun dalam pelaksanaannya, Tim Peneliti

dan Tim Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal,

tidak dapat menjamin bahwa peserta yang hadir adalah

benar-benar para undangan yang diharapkan atau

berkompeten untuk memberikan pemikiran yang

diharapkan.

2. Khusus untuk pelaksanaan Workshop, persiapan undangan

dilaksanakan pada bulan puasa mendekati hari Raya Idul

29

Page 42: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Fitri, sehingga kelancaran penyebaran undangan dan

konfirmasi terhambat.

30

Page 43: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

BAB III

HASIL PENELITIAN

1. ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA

Aspek struktural mencakup pembahasan tentang

pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau

badan yang mengemban tugas pencegahan dan penanganan

terorisme. Dalam membahas temuan lapangan dari aspek

Struktural ini, difokuskan pada butir-butir masalah yang

dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan

solusi pemecahan masalah.

1.1. MASALAH KOORDINASI KELEMBAGAAN

Beberapa instansi memiliki satuan anti teror yang

keberadaan dan rumusan tugasnya mengacu kepada undang-

undang dari instansi yang menjadi induk organisasinya.

Sebagai contoh Densus 88 mengacu pada Undang-undang No.

2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Satuan Tugas Anti Teror TNI (Detasemen 81 Kopasus,

Detasemen Jalamangkara/Denjaka Marinir, dan Detasemen

Bravo 90 Paskhas TNI AU) yang mengacu kepada Undang-

31

Page 44: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI dan Desk Koordinasi

Pemberantasan Terorisme (DKPT) pada Kementerian

Koordinator Polhukam yang dibentuk berdasarkan Keputusan

Menko Polkam No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002.

Di masyarakat berkembang juga suatu persepsi tentang

badan yang menangani terorisme yang tercermin dari hasil

penelitian survei. Berikut ini akan disajikan tabel yang

menunjukkan pengetahuan para responden tentang pasukan-

pasukan khusus yang diketahui oleh mereka, tanpa

menonjolkan variasi jawaban dari responden. Kepentingan

penyajian data ini adalah menunjukkan seberapa jauh

eksistensi pasukan-pasukan khusus anti teror yang ada di

masyarakat kita ini sudah tersosialisasi di masyarakat.

Tabel 1. Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus Anti Teror Di Indonesia

Pasukan khusus anti teror Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan

Detasemen 88 Anti Teror 286 Satuan Gegana 131 SAT 81 Counter Terrorist KOPASSUS AD 28 Unit Counter Terrorist Batalion RAIDER 23 Intelijen atau BIN 19 Detasemen Jalamengkara MARINIR AL 13 Detasemen Bravo 90 PASKHAS AU 9 Cyber crime MABES POLRI 1 Tidak Tahu 86

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

32

Page 45: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Selain itu ada persepsi masyarakat tentang unsur

pemerintah dan masyarakat yang seharusnya terkait dengan

upaya pencegahan dan penanganan terorisme sebagaimana

disajikan dalam tabel berikut ini

Tabel 2. Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya

Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme

Unsur Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan

POLRI 529 TNI 373 Departemen Luar Negeri 147 Pemerintah Daerah 136 Departemen Dalam Negeri 126 Kejaksaan 35 BIN 31 Lembaga Pengadilan 27 Masyarakat 21 Departemen Agama 9 Badan intelijen 4 DPR 3 Imigrasi 3 Departemen Perhubungan 2 Lembaga Swadaya Masyarakat 2 Departemen Pertahanan 9 Dinas Pariwisata 2 Presiden 2 Departemen Hukum dan HAM 2 Perguruan tinggi 1 Partai politik 1 Organisasi Keagamaan 1 Kecamatan 1 Kelurahan 1 Aparat Hukum 1 KOMINFO 2

33

Page 46: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

KOMNAS HAM 1 Media informasi 1 Menkopolkam 1

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

Disadari bahwa ancaman terorisme bersifat lintas

sektoral dan lintas negara sehingga upaya

penanggulangannyapun harus bersifat lintas sektoral yang

melibatkan seluruh instansi dengan didukung oleh seluruh

potensi masyarakat dan menggalang kerjasama Internasional.

Dengan demikian, secara nasional harus ada satu

koordinator lintas sektoral yang mempunyai otoritas

melakukan koordinasi dan sinkronisasi semua upaya dan

langkah Pemerintah untuk mencegah dan menangani

terorisme secara efektif dengan harapan bahwa semua sektor

menjalankan fungsinya masing-masing secara profes-

ional. Koordinator tidak mengambil alih fungsi sektoral yang

ada, namun hanya memadukannya, membuatnya lebih

efisien, lebih efektif dan terfokus pada sasaran bersama.15

15 Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme tugas pokoknya adalah menyusun program bersama pencegahan dan penanganan terorisme, termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian serta dukungan anggarannya. Pelaksana dari Program bersama terdiri dari instansi sektoral dan atau organisasi kemasyarakatan. Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang kegiatan sehari-harinya dilaksanakan oleh Menko Polhukam sebagai Pelaksana Harian.

34

Page 47: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1.2 STRUKTUR PENGAMANAN PELABUHAN LAUT, UDARA DAN JALUR LALU LINTAS KELUAR-MASUK WILAYAH INDONESIA

Masalah lain yang ditemui adalah bahwa saat ini,

Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur

lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah,

tidak berpola, dan tidak taat asas. Hal ini disebabkan

petunjuk teknis bagi pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara,

serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia tidak

jelas, bersifat duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional.

Misalnya unsur pengamanan pelabuhan laut yang ditemukan

terdiri dari Syahbandar (KPLP), Polri (KP3), dan TNI Angkatan

Laut yang tugasnya saling bertumpang tindih dan kurang

koordinasi.16

Untuk pengamanan bandara, terdapat perbedaan pola

antara lain pola yang berlaku di bandara Juanda, unsur Polri

tidak diperbolehkan berada di kawasan bandara, sehingga

jika ada masalah keamanan di wilayah bandara Juanda yang

menangani adalah pihak Angkatan Laut17, yang tidak

berkewenangan secara hukum, dan banyak dikeluhkan oleh

masyarakat, karena sangat merugikan hak-hak masyarakat

untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dan efisien.

16 Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya 17 Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya

35

Page 48: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai

pantai yang terpanjang di seluruh dunia, tetapi pengawasan

terhadap pantai sangat kurang, contohnya di Propinsi Riau

Kepulauan ada 42 pintu-pintu masuk yang tidak resmi serta

pintu masuk melalui jalan laut dari Filipina ke Sulawesi dan

Maluku yang tidak dijaga oleh aparat18, oleh karena itu maka

perlu diadakan pengembangan kekuatan Angkatan Laut dan

Pol Air serta membina masyarakat pantai. Hal ini diperberat

lagi dengan banyaknya pintu-pintu masuk wilayah Indonesia

melalui perbatasan darat di Kalimantan dan Papua.

1.3. DATA BASE TENTANG, PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME

Beberapa instansi (Polri, Departemen Luar Negeri,

Departemen Agama, BIN, Imigrasi, TNI, Lembaga

Pemasyarakatan, Departemen Dalam Negeri, dsb.) memiliki

data yang berkait dengan pencegahan dan penanganan

terorisme di bidangnya, tetapi terbatas pada kebutuhan

bidang tugasnya dan belum dipadukan menjadi satu data

base yang komprehensif yang dapat diakses oleh instansi-

instansi yang berkepentingan.

Disadari bahwa data base tentang terorisme yang

komprehensif adalah sangat penting dalam upaya

18 Terungkap dari kegiatan workshop di Jakarta.

36

Page 49: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

pencegahan dan penanganan terorisme baik yang bersifat

strategis, taktis, dan teknis.

Secara yuridis undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf

j, telah memberi kewenangan umum Kepolisian untuk

menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Dalam

hubungan ini maka dengan sendirinya Pusat Informasi

Kriminal Nasional mencakup pula informasi tentang terorisme

sebagai bentuk kejahatan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan

peranan Pusat Informasi Kriminal Nasional, yang saat ini

hanya sebagai unsur pelaksana pada Divisi Telematika Polri,

ke arah posisi suatu lembaga yang mengemban kewenangan

umum kepolisian dan dapat mengakses data base kriminal

termasuk terorisme yang ada di tiap instansi.

2. ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA

Aspek instrumental mencakup pembahasan tentang

ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undang-

undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi

legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja

terkait dengan pencegahan dan penanganan terorisme.

Sebagaimana halnya dengan aspek struktural, pembahasan temuan

lapangan aspek instrumental, difokuskan pada butir-butir masalah

37

Page 50: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

yang dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah,

dan solusi pemecahan masalah.

2.1. ATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA

TERORISME

Aturan hukum yang lemah terhadap pencegahan dan

penanganan terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris

dan jaringannya. Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang

tindak pidana terorisme khususnya bagian yang mengatur

hukum acaranya, belum sepenuhnya mengakomodasikan

kepentingan-kepentingan pengaturan pencegahan dan

penanganan terorisme sebagai extra ordinary crime.

Selama ini kebijakan Pemerintah lebih terfokus hanya

pada upaya penegakan hukum, sementara pasal hukum yang

digunakan untuk mengadili sangat lemah, dan payung hukum

yang dijadikan dasar masih kurang memadai; Upaya

penegakan hukum hanya mampu menindak para pelaku

lapangan (orang suruhan), sementara para master-mind,

provokator dan spiritual leader belum terjangkau19.

Ketentuan tentang jangka waktu penahanan yang

ditentukan di dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 pasal

25 ayat (2) tentang jangka waktu penahanan selama 6 bulan

untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan telah

19 FGD Medan

38

Page 51: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

menimbulkan masalah-masalah penafsiran yang berbeda

terutama apabila dibandingkan dengan ketentuan KUHAP

pasal 24, 25, dan 2920 yang menimbulkan ketidakpastian

hukum baik bagi penyidik dan penuntut umum maupun

tersangka teroris. Selain itu ketentuan pasal 28 Undang-

undang No. 15 tahun 2003 tentang lamanya penangkapan

7x24 jam masih dirasakan kurang untuk memberikan waktu

kepada penyidik melengkapi bukti permulaan yang cukup

menjadi bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya

penahanan. Oleh karena itu perlu ada penyempurnaan dan

penguatan Undang-undang No. 15 tahun 2003 tersebut.

Selain itu kelemahan Undang-undang No. 15 tahun 2003

yang ditemukan melalui penelitian menyangkut perlunya

pengaturan khusus tentang bukti permulaan21, barang bukti

20 Dalam KUHAP, kewenangan Penyidik untuk menahan : menurut Pasal 24 ayat 1, waktu penahanan selama 20 hari, menurut Pasal 24 ayat 2 : waktu penahanan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum selama 40 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2 kali 30 hari (60 hari). Dengan demikian Penyidik dapat menahan paling lama 120 hari (4 bulan). Menurut KUHAP kewenangan Penuntut Umum untuk menahan pada pasal 25 ayat (1) adalah 20 hari, menurut pasal 25 ayat (2) diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2x30 hari dengan demikian Penuntut Umum dapat menahan paling lama 110 hari. Dengan demikian menurut KUHAP terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun tersangka dapat ditahan oleh Penyidik dan Penuntut Umum paling lama 120 hari ditambah 110 hari atau sama dengan 230 hari (8 bulan).

21 Pada pasal 26 ayat (2) Undang-undang No. 15 tahun 2003 laporan intelijen dapat digunakan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup namun harus mendapat penetapan dari Ketua / Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

39

Page 52: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

sebagai alat bukti22, keputusan hakim berdasarkan satu alat

bukti dan keyakinan hakim, serta penentuan jangka waktu

eksekusi dari vonis hukuman mati yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Masalah lain yang ditemukan dalam penelitian adalah

bahwa Undang-undang pemberantasan tindak pidana

terorisme yang dimiliki Indonesia masih lebih lunak dibanding

undang-undang sejenis yang dimiliki negara tetangga seperti

Filipina, Malaysia, Singapura dan Australia. Undang-undang

yang dimiliki Indonesia yaitu Undang-Undang No. 15 tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu

direvisi, dalam arti penguatan Undang-undang tersebut.

2.2. ATURAN TENTANG PELARANGAN ORGANISASI RADIKAL

Pembiaran perilaku radikal dan anarkhis oleh aparat

selama ini akan menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut

dibenarkan dan akan menjurus kepada tindak pidana

terorisme. Oleh karena itu diperlukan aturan tentang

pelarangan terhadap organisasi yang berperilaku radikal dan

anarkhis agar Pemerintah dapat bertindak tegas melarang

organisasi yang mengembangkan perilaku radikal dan

anarkhis.

22 Sementara ini barang bukti tidak sebagai alat bukti, alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa.

40

Page 53: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3. EFEKTIFITAS LAPORAN INTELIJEN

Upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme

memerlukan laporan intelijen yang efektif. Permasalahan

yang dihadapi yaitu masih kuatnya resistensi terhadap

peranan intelijen akibat trauma masa lalu yang dialami oleh

kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kurang dapat

dimanfaatkannya laporan intelijen secara langsung sebagai

bukti permulaan yang cukup dalam upaya mencegah dan

menangani terorisme berakibat menurunnya kinerja aparat

intelijen yang dapat menjadi hambatan dalam proses

peradilan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan normatif

yang mengatur tentang penggunaan laporan intelijen sebagai

alat bukti tindak pidana terorisme. Ketentuan normatif

tersebut harus menjadi bagian dari penguatan Undang-

undang No. 15 tahun 2003.

Penguatan Undang-Undang No.15 tahun 2003 diperlukan

juga untuk mengaktualisasikan Instruksi Presiden No. 5 tahun

2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sehubungan

dengan terorisme untuk melakukan pengkordinasian

penyusunan perencanaan umum dan pengkoordinasian

pelaksanaan operasional kegiatan Intelijen seluruh instansi

lainnya, yang menyelenggarakan fungsi tersebut sebagai

bagian atau untuk mendukung penyelenggaraan tugas

masing-masing.

41

Page 54: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.4. PENYESUAIAN HUKUM NASIONAL TERHADAP HUKUM

INTERNASIONAL DAN KONVENSI INTERNASIONAL

MELAWAN TERORISME

Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban

dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap

kedaulatan tiap negara. Terorisme sudah merupakan

kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan

bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta

merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu

dilakukan pencegahan dan penanganan secara berencana dan

berkesinambungan serta dengan melaksanakan

kerjasama internasional.

Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah

dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam

berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa

terorisme merupakan kejahatan yang mengancam

perdamaian dan keamanan umat manusia.

Kerjasama internasional di bidang intelejen, kepolisian,

bantuan hukum, dan kerjasama teknis lainnya adalah

bentuk-bentuk kerjasama internasional melawan

terorisme. Meskipun kerjasama internasional dilakukan,

Pemerintah Indonesia tetap harus independen dalam

mengambil tindakan dan membuat keputusan sehingga

tidak di dikte oleh kekuatan asing manapun, tapi tetap

42

Page 55: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

berdasarkan pada temuan akurat dan professional melalui

proses dan mekanisme yang akuntabel. Selama ini

Pemerintah Indonesia baru meratifikasi beberapa dari

sejumlah konvensi internasional dan resolusi Dewan

Keamanan PBB di bidang pemberantasan terorisme.

3. ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA

Aspek kultural mencakup pembahasan tentang tata laku

aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan

terorisme sebagai musuh bersama (common enemy) sehingga

diharapkan dapat menciptakan bentuk-bentuk partisipasi

masyarakat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan tindak

pidana terorisme. Dalam membahas temuan lapangan dari aspek

kultural ini, difokuskan pada butir-butir masalah yang

dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan

solusi pemecahan masalah.

3.1. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TERORISME SEBAGAI

MUSUH BERSAMA

Kembali kepada anggapan bahwa terorisme adalah

suatu bentuk extra ordinary crime, maka perlu pula kiranya

dilihat seberapa jauh masyarakat secara empiris memandang

terorisme. Tim Penelitian, melalui kegiatan survei,

memperoleh data sebagai berikut :

43

Page 56: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Sebagian besar responden (57,8%) berpendapat bahwa

terorisme adalah suatu masalah sosial yang sangat besar.

Sementara kelompok responden lainnya menganggap bahwa

terorisme itu adalah masalah yang cukup besar (30,2%). Hal

yang menarik adalah bahwa cukup banyak pula responden

yang menganggap bahwa terorisme itu bukanlah suatu

masalah sosial yang besar (5,3%) bahkan ada yang

menganggap terorisme sebagai suatu masalah yang dibesar-

besarkan saja (6,4%).

Tabel 3. Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar

Apakah terorisme di Indonesia masalah yang besar Frekuensi Persen

Terorisme adalah masalah yang sangat besar 318 57,8 Terorisme adalah masalah yang cukup besar 166 30,2 Terorisme bukanlah masalah besar 29 5,3 Terorisme hanya masalah yang di besar2 kan 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 2 ,4

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,

Denpasar, Makasar), 2007

Mereka yang menganggap bahwa terorisme adalah

suatu masalah yang sangat besar memiliki berbagai macam

alasan. Namun alasan yang terbanyak dikemukakan oleh

responden adalah bahwa terorisme itu adalah suatu

perbuatan yang melanggar HAM, mengancam masyarakat

umum, dan menyangkut nyawa orang yang tidak berdosa

(12,0%) serta bahwa terorisme itu adalah suatu perbuatan

44

Page 57: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

yang mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi

(15,3%) (lihat Tabel di bawah).

Tabel 4. Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar

Alasan terorisme masalah yang sangat besar Frekuensi Persen

Melanggar HAM, mengancam masyarakat, menyangkut nyawa 82 14,9

Mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi 65 11,8 Menimbulkan rasa tidak aman 21 3,8 Mengganggu stabilitas dan meresahkan masyarakat 19 3,5 Menjatuhkan martabat Indonesia / Indonesia sarang teroris 12 2,2

Makan banyak korban dan nyawa 10 1,8 Merugikan bangsa, pemerintah, dan masyarakat 9 1,6 Merusak Citra Indonesia 8 1,5 Mengacaukan keamanan dan ancam nyawa 8 1,5 Memecahbelah bangsa / NKRI, dan disintegrasi bangsa 8 1,5

Merusak perekonomian masyarakat 7 1,3 Memecah belah agama 6 1,1 Mengganggu perekonomian Indonesia dan membahayakan nyawa 6 1,1

Berbahaya dan merusak fasilitas 5 ,9 Merusak hubungan diplomatik dan meresahkan masyarakat 4 ,7

Karena teroris membentuk jaringan 4 ,7 Menyangkut negara dan mengancam negara 4 ,7 Membahayakan masyarakat 4 ,7 Melibatkan beberapa negara 3 ,5 Membahyakan nyawa dan memecah belah NKRI 3 ,5 Merugikan banyak orang dan dikecam dunia 3 ,5 Membuat masyarakat takut dan merusak perekonomian 3 ,5

Merusak posisi RI dan mengganggu perekonomian 2 ,4 Banyak korbannya dan meresahkan masyarakat 2 ,4 Tujuannya tidak jelas 2 ,4

45

Page 58: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Mengganggu keamanan negara dan merusak perekonomian 2 ,4

Banyak korban, mengancam keamanan, paham yang sesat 2 ,4

Jaringan luas dan merugikan banyak orang 2 ,4 Gembong teroris belum tertangkap 1 ,2 Karena kebijakan AS yang terlalu mencampuri negara Islam 1 ,2

Menghilangkan banyak nyawa dan intimidasi umat agama tertentu 1 ,2

Mengintimidasi umat agama tertentu dan propaganda media massa 1 ,2

Menelan korban nyawa, proses hukum tidak maximal, punya jaringan kuat 1 ,2

Menyangkut ideologi dan memiliki jaringan yang terlatih dan terorganisir 1 ,2

Teroris tidak perduli pada orang lain 1 ,2 Mengganggu kenyamanan masyarakat dan merusak citra negara 1 ,2

Memecahbelah agama 1 ,2 Tidak relevan 235 42,7

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

Sementara itu ada juga responden yang menganggap

bahwa terorisme itu bukanlah suatu masalah yang besar,

antara lain adalah : selain terorisme masih banyak lagi

masalah sosial yang perlu mendapatkan prioritas perhatian

pemerintah dan masyarakat (31.0%) serta bahwa sasaran dari

terorisme itu hanyalah orang asing dan orang tertentu saja

(24,1%). Pendapat sementara responden bahwa terorisme

bukanlah suatu masalah yang besar atau memiliki derajat

seriusitas tinggi ini bisa menjadi potensi munculnya sikap

46

Page 59: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

masa bodoh dan apatis warga masyarakat terhadap masalah

terorisme. Besar kemungkinan pula bahwa berkembangnya

pendapat tersebut juga terkait dengan kondisi minimnya

program-program penyuluhan oleh lembaga publik tentang

bahaya terorisme sebagai musuh bersama masyarakat.

Tindak pidana teror dimasukkan dalam extra ordinary

crime dengan alasan antara lain sulitnya pengungkapan

karena merupakan kejahatan trans-boundary dan melibatkan

jaringan internasional.

3.2. DEFINISI TERORISME

Walaupun terorisme sebenarnya fenomena lama,

namun hingga saat ini belum terdapat suatu definisi yang

bersifat universal mengenai terorisme yang diterima oleh

semua kalangan. Masih sulitnya mendefinisikan terorisme

secara universal disebabkan biasnya pengertian bagi kalangan

atau negara tertentu. Bagi sebagian kelompok atau negara,

seseorang yang melakukan tindak terorisme disebut dengan

teroris, tapi bagi kelompok tertentu dan negara tertentu,

mereka bisa saja menjadi simbol perjuangan yang lalu

disebut dengan pahlawan atau patriot. Adanya perbedaan

definisi terorisme tersebut mengakibatkan tidak terwujudnya

kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai

musuh bersama.

47

Page 60: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Terlepas dari kenyataan bahwa masih terdapat

perbedaan definisi dan persepsi masyarakat tentang

terorisme, namun dapat dikemukakan beberapa macam

definisi tentang terorisme antara lain:

1. Terorisme adalah suatu tindakan atau aktivitas simbolik

yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku politik

dengan menggunakan cara-cara yang tidak normal.

Seringkali yang digunakan adalah ancaman dan kekerasan

yang terutama ditujukan untuk menimbulkan ketakutan di

kalangan masyarakat yang menjadi sasarannya. Terorisme

seringkali dijadikan taktik oleh mereka yang tidak

mempunyai kekuasaan.

2. Terorisme adalah kegiatan kriminal, ancaman yang

dilakukan oleh individu atau kelompok yang dibentuk

untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi dengan jalan

kekerasan, intimidasi, kekuatan dan kekejaman, termasuk

penculikan, penggunaan bom, sabotase, pembunuhan

terhadap orang penting (very important person/VIP), dan

sebagainya.

3. Terorisme adalah suatu ancaman atau penggunaan

kekerasan untuk maksud-maksud politis, yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku

dari suatu kelompok yang lebih besar. Sasarannya bukan

saja mereka yang langsung menjadi korban, namun lebih

48

Page 61: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

jauh misalnya masyarakat internasional agar mengakui

eksistensi mereka yang ingin mendapatkan imbalan politis

dari pihak yang berkuasa.

4. Terorisme adalah kekerasan yang bermotivasi politik yang

direncanakan lebih dahulu. Ia ditujukan terhadap

sasaran-sasaran non tempur oleh agen-agen teroris,

biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi suatu

golongan.

Masalah belum adanya kesamaan persepsi dan definisi

terorisme di masyarakat bisa diminimalisir melalui program

sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat

tentang bahaya terorisme, pencegahan, dan penanganannya.

Ketentuan normatif yang ada tentang terorisme adalah

Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana terorisme, Bab III, Pasal 6 sampai dengan Pasal

19.

3.3. PERS/ MEDIA MASSA SEBAGAI SUMBER INFORMASI

Sumber informasi pengetahuan terbanyak yang

dikonsumsi oleh masyarakat tentang terorisme adalah media

massa. Hal yang harus menjadi perhatian kita bersama

adalah bagaimanakah tingkat efektifitas sumber-sumber

informasi lainnya yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat

tentang pemberitaan, penjelasan dan termasuk pula

49

Page 62: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

penyuluhan akan seriusitas terorisme di masyarakat. Lebih

jauh lagi, perlu diwaspadai dominasi media massa dalam

perannya sebagai sumber informasi, yang pemberitaanya

tentang terorisme dapat merugikan upaya pencegahan dan

penanganan terorisme. Sebaliknya perlu disadari bahwa

media massa dapat dimobilisasi untuk keberhasilan upaya

pencegahan dan penanganan terorisme.

Melalui kegiatan survei ditemukan data tentang

pendapat masyarakat mengenai efektifitas pemberitaan

masalah-masalah terorisme di Indonesia. Ternyata lebih dari

separuh responden menganggap bahwa pemberitaan media

massa tentang terorisme itu sudah memberitakan kondisi

yang sebenarnya (44,7%). Sementara itu ada 26,9% responden

yang berpendapat bahwa keadaan sebenarnya tentang

bahaya dan ancaman terorisme tidak seburuk pemberitaan

yang dimuat oleh media massa. Ada pula 12,7% responden

yang berpendapat sebaliknya, yakni bahwa keadaan

sebenarnya tentang bahaya dan ancaman terorisme lebih

buruk dari pemberitaan yang dilakukan oleh media massa.

Tabel 5. Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme

Obyektifkah pemberitaan mengenai

terorisme Frekuensi Persen

Media massa memberitakan apa adanya 246 44,7 Keadaan sebenarnya tidak seburuk pemberitaan 148 26,9

50

Page 63: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Keadaan sebenarnya lebih buruk dari pemberitaan 70 12,7

Tidak tahu 40 7,3 Sebagian kurang berimbang 7 1,3 Tidak obyektif, eksploitasi 5 ,9 Tidak relevan 4 ,7 Standar ganda 4 ,7 Ragu-ragu 4 ,7 Terkadang menjelekkan Islam 3 ,5 Menolak / tidak menjawab 3 ,5 Bisnis berita 3 ,6 Ada yang masih ditutupi 3 ,5 Cenderung memihak teroris 2 ,4 Biasa saja 2 ,4 Rekayasa berita 1 ,2 Memposisikan pelaku sebagai pahlawan 1 ,2 Masih simpang siur beritanya 1 ,2 Masih memerlukan pembenahan 1 ,2 Informasi jaringan tidak dibahas lbh lanjut 1 ,2

Bisnis berita dan bersifat politis 1 ,2 Total 550 100,0

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

Media massa, khususnya televisi, memberikan akses

paling baik bagi publik karena daya tariknya yang kuat.

Karena alasan ini, televisi semakin banyak digunakan sebagai

wahana yang terpenting bagi pembenaran sosial dan moral

dari tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan. Perjuangan untuk

melegitimasi dan memperoleh dukungan bagi kepentingan-

kepentingan seseorang dan untuk mendiskreditkan

kepentingan-kepentingan musuh seseorang, sekarang semakin

lebih dilancarkan melalui televisi.

51

Page 64: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Teroris berusaha mempengaruhi para pejabat atau

negara-negara yang menjadi sasaran dengan intimidasi

publik dan membangkitkan simpati bagi kepentingan-

kepentingan yang mereka dukung. Tanpa adanya publisitas

yang meluas, tindakan teroris tidak dapat mencapai dampak-

dampak ini. Oleh karenanya teroris memaksa akses ke media

untuk mempublikasikan keluhan mereka ke masyarakat

internasional. Mereka menggunakan televisi sebagai

instrumen utama untuk memperoleh simpati dan dukungan.

Sementara itu data survei, menunjukkan sumber

informasi yang sering disebut oleh responden, tanpa

menonjolkan variasi jawaban dari responden adalah sebagai

berikut:

Tabel 6. Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia

Sumber Informasi Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan

Media Massa Spt TV, Koran, Radio 544 Orang Lain: Saudara, Teman, Dll 100 Pamflet Dan Selebaran Dari Polisi 52 Internet 12 Pekerjaan 6 Pengalaman 4 Pendidikan (Di Kuliah) 2

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

Salah satu bentuk sumber informasi yang dikonsumsi

oleh responden, walaupun tidak terlalu banyak, adalah

52

Page 65: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

internet. Dari 12 orang responden yang mendapat informasi

tentang terorisme melalui internet sebagian besar adalah

responden yang berusia 18 tahun hingga 25 tahun dan

berpendidikan tinggi. Kelompok masyarakat berusia muda

dan berpendidikan tinggi ini adalah segmen masyarakat yang

paling banyak mengkonsumsi berita tentang terorisme

melalui internet. Jika melihat karakteristik internet sebagai

sumber informasi yang memiliki aksesibilitas tinggi, sumber

berita tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,

maka dikhawatirkan substansi berita akan diserap oleh

pengguna tanpa kontrol yang memadai. Dalam kondisi seperti

ini internet sebagai sumber informasi tentang terorisme

bersifat laten sehingga memungkinkan munculnya pengaruh

negatif bagi pengguna.

Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam rangka

meningkatkan efektifitas pencegahan dan penanganan

terorisme adalah kondisi informasi publik terkait dengan

informasi tentang terorisme dan segala upaya pencegahan

dan penanganannya serta peran dan wewenang instansi

terkait. Dari hasil Survei diperoleh data bahwa lebih dari

separuh responden (53,3%) berpendapat bahwa kondisi

informasi publik terkait dengan informasi Undang-Undang dan

Peran serta Wewenang instansi terkait masih kurang baik.

Sementara itu, 26,4% responden berpendapat bahwa kondisi

53

Page 66: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

informasi publik cukup baik. Hanya 6,4% responden yang

mengatakan bahwa kondisi informasi publik sudah baik.

Tabel 7. Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi)

Informasi publik (terkait info UU dan

peran / wewenang instansi) Frekuensi Persen

Kurang baik 293 53,3 Cukup baik 145 26,4 Tidak tahu 74 13,5 Baik 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 3 ,5

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,

Denpasar, Makasar), 2007

3.4. EKSISTENSI KELOMPOK-KELOMPOK RADIKAL MILITAN

Masalah serius terkait dengan terorisme adalah

eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini

penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama. Hal tersebut

antara lain disebabkan oleh tidak dimilikinya pemahaman

yang benar tentang keyakinan agama oleh anggota dari

kelompok-kelompok tersebut.

Penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama dapat

terjadi pada setiap pemeluk agama manapun. Jika kebetulan

saja aksi-aksi terorisme yang ada sekarang ini dilakukan oleh

orang-orang yang beragama Islam, itu bukan berarti

bahwa Islam mengajarkan melakukan t indakan yang

54

Page 67: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

dapat merugikan orang lain tersebut. Hal itu terjadi

akibat penafsiran yang keliru tentang perintah dan

larangan yang ada dalam ajaran agama. Agama Islam

sendiri yang sesungguhnya adalah mengajar umatnya

untuk menebarkan kedamaian di muka bumi. Terorisme

tidak dapat dikaitkan dengan agama apapun. Adanya

pandangan dan pendapat bahwa terorisme terkait

dengan Islam adalah merupakan pandangan yang keliru dan

harus diluruskan.

Dalam usaha meluruskan pandangan yang keliru

tersebut ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara

lain:

1. Perlu dilakukan upaya pencerahan dan peningkatan

pemahaman masyarakat tentang ajaran agamanya secara

benar, karena pemahaman keagamaan secara sempit

dapat melahirkan tindakan yang cenderung radikal dan

anarkis. Salah satu penyebab utama terjadinya sikap

radikal dan anarkis tersebut adalah karena lemahnya

pengetahuan tentang hakikat agama dan kurangnya bekal

untuk memahaminya secara mendalam, ditambah dengan

rendahnya tingkat kesadaran hukum.

2. Pemerintah perlu melakukan inisiasi dan memfasilitasi

dialog terbuka dan komunikasi konstruktif dengan

55

Page 68: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

kelompok radikal atau yang diduga berpotensi melakukan

tindakan terorisme.

3. Mendorong berkembangnya forum komunikasi antar

agama untuk upaya pencegahan dan penanganan

terorisme.

4. Melakukan pemantauan terhadap ceramah-ceramah

agama yang cenderung mendukung radikalisme sejalan

dengan upaya deradikalisasi / pencerahan.

3.5. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME

Upaya melawan terorisme tidak mungkin dimenangkan

tanpa partisipasi masyarakat. Aksi teror itu sendiri

berawal dari rangkaian kegiatan yang dilakukan di

tengah-tengah aktifitas masyarakat sehari-hari. Bila

gejala awal terorisme dapat dieliminir, maka tindakan

terorisme dapat dicegah. Oleh karena itu Pemerintah

dituntut untuk mendorong partisipasi publik seoptimal

mungkin agar masyarakat dengan cara sendiri-sendiri ataupun

bersama-sama melawan terorisme dalam batas-batas

kerangka hukum yang berlaku. Upaya pencegahan dan

penanganan terorisme bukan hanya tugas pemerintah tetapi

juga menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat.

56

Page 69: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Partisipasi masyarakat tidak datang dengan sendirinya,

tetapi merupakan suatu kesadaran yang dibina oleh

masyarakat sendiri untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Untuk itu penting kiranya diketahui seberapa jauh

masyarakat memahami arti penting dari partisipasi mereka

dalam meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan

terorisme di Indonesia.

Melalui kegiatan survei, ketika ditanyakan perlu tidaknya

partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan

penanganan terorisme, hampir seluruh responden (96,4%)

berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam upaya

pencegahan dan penanganan terorisme diperlukan. Hanya

2,2% responden menjawab bahwa partisipasi masyarakat

dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme tidak

perlu.

Tabel 8. Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat

Perlukah ada partisipasi masyarakat Frekuensi Persen

Tidak tahu 4 ,7 Perlu 530 96,4 Tidak perlu 12 2,2 Menolak / tidak menjawab 4 ,7

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta,

Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

57

Page 70: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Sementara itu, ketika ditanyakan apakah bentuk-

bentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan bagi upaya

pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia, jawaban

terbanyak berkisar pada keamanan swakarsa; pelaporan dan

pemantauan hal / peristiwa yang mencurigakan serta

pengenalan warga lingkungan komunitas.

Tabel 9. Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat

Alasan perlu ada partisipasi masyarakat Freku-ensi Persen

Bisa memberi informasi dan melaporkan keberadaan teroris 139 25,3

Masyarakat paling dekat atau berinteraksi dengan pelaku teror 83 15,1

Mempermudah kinerja pemerintah 81 14,7 Upaya preventif 41 7,5 Mempermudah proses penanganan = lebih efektif = lebih fokus 40 7,3

Terorisme adalah masalah bersama, semua harus terlibat 36 6,5

Masyarakat sasaran dan korban terorisme 30 5,5 Tidak Relevan 20 3,6 Agar masyarakat waspada terhadap hal ini 16 2,9 Keamanan merupakan kepentingan masyarakat 14 2,5 Masyarakat bagian tak terpisahkan dan pusat informasi 11 2,0 Masalah bersama, masyarakat adalah korbannya 9 1,6 Menyangkut nyawa orang banyak dan teroris ada di masyarakat 7 1,3

Masyarakat jadi tahu tentang teroris untuk preventif dan menjaga keamanan 4 ,7

Menyangkut jiwa masyarakat yang dirugikan 3 ,5 Polisi tidak dapat menjangkau semua wilayah 3 ,5 Mempersempit ruang gerak teroris 2 ,4 Masyarakat wajib menjaga keamanan negara 2 ,4 Masyarakat harus dilibatkan dalam kebijakan negara 2 ,4

58

Page 71: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Informasi keamanan 2 ,4 Informasi lebih cepat dan waspada lingkungan 2 ,4 Seluruh penanganan tindak kejahatan memerlukan partisipasi masyarakat 1 ,2

Agar ketakutan tidak menyebar luas 1 ,2 Teroris mencari daerah terpencil dan jauh dari jangkauan pemerintah 1 ,2

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar,

Makasar), 2007

Pelaporan dan pemantauan hal atau peristiwa yang

mencurigakan serta keamanan swakarsa ternyata merupakan

bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang paling banyak

disebut oleh responden.

Tabel 10. Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat

Bentuk partisipasi masyarakat Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan

Tidak tahu 2 Pelaporan dan pemantauan hal atau peristiwa yang mencurigakan 390

Keamanan Swakarsa 132 Pengenalan warga lingkungan komunitas 111 Pendataan warga 5 Mewaspadai orang-orang asing 3 Tidak lindungi teroris = berpihak pd pem 1 Kerjasama aktif masyarakat – pemerintah 1 Peningkatan nilai-nilai etika dan moral 1 Lapor diri masuk daerah lain 1 Jangan gampang menilai sesuatu 1 Pengawasan dan usaha preventif 1 Saling menjaga 1 Mengadakan forum informasi 1

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

59

Page 72: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Walaupun hampir responden menyatakan bahwa

partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan

terorisme adalah perlu namun dalam kesempatan kegiatan

FGD di hampir semua kota terungkap adanya keseganan

masyarakat dalam berurusan dengan aparat penegak hukum

terkait dengan peristiwa terorisme. Keengganan masyarakat

berpartispasi, diungkapkan oleh beberapa narasumber,

terutama disebabkan karena enggan menjadi saksi dan

ditambah pula adanya ketidak percayaan dan kedekatan

hubungan antara masyarakat yang bersangkutan dengan

aparat.

3.6. KEMAMPUAN MOBILITAS TERORIS

Dari berbagai peristiwa terorisme yang terjadi baik di

Indonesia maupun di luar negeri terungkap bahwa kegiatan

terorisme memiliki mobilitas yang tinggi, tak terbatas dalam

lintas batas ruang dan waktu, memiliki jaringan internasional

sehingga dapat mengancam keamanan domestik, regional

maupun internasional.

Mobilitas yang tinggi dari terorisme dapat terjadi

antara lain karena kemudahan untuk melakukan perpindahan

tempat dan kemudahan untuk merubah atau duplikasi

identitas kependudukan. Terkait dengan hal tersebut, maka

upaya memutuskan jaringan terorisme tersebut harus dengan

60

Page 73: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

melakukan penguatan pengawasan serta pendataan secara

ketat dan efektif terhadap keberadaan dan kegiatan Warga

Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia yang keluar

masuk wilayah Indonesia serta penguatan penataan

administrasi kependudukan.

Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 23

Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan23 yang

didalamnya mengatur tentang diberlakukannya NIK (Nomer

Induk Kependudukan). Agar penerapan NIK dapat berfungsi

sebagai Single Identification System disarankan NIK memuat

rumus sidik jari dari penduduk yang bersangkutan karena

rumus sidik jari manusia bersifat permanen dan tidak ada

yang sama. Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan

taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat

terlaksana sesuai amanat undang-undang).

23 Lihat Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 3 : “Setiap, penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran pendudukan dan pencatatan sipil”; Pasal 13, Ayat (1) : “setiap penduduk wajib mempunyai Nomor Kependudukan Indonesia (NIK)”; Ayat (2) NIK sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya yang diberikan pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dialakukan pencatatan biodata; Ayat (3) : “NIK sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, Surat Ijin Mengemudi, NPWP, Polis Asuransi, sertifikat atas tanah dan penerbitan dokumen Identitas lainya”; Ayat (4) : “ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen identitas lainya, serta pencatuman NIK diatur dalam peraturan pemerintah”; Pasal 101 : “pada saat undang-undang ini berlaku pemerintah memberi NIK kepada setiap penduduk paling lambat 5 Tahun serta semua Instansi wajib menjadika NIK sebagi dasar dalam menerbitkan dokumen sebagiaman yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 paling lambat 5 Tahun”.

61

Page 74: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 23 tahun

2006 ini maka Pemerintah beserta masyarakat diharapkan

dapat mendeteksi gerak mobilitas keberadaan para

terorisme.

3.7. TERORISME DAN TUJUAN POLITIK

Dari segi politik yang perlu diwaspadai adalah

berkembangnya ideologi yang bertentangan dengan ideologi

negara dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran yang

memotivasi sikap-sikap dan perilaku radikal dan anarkis.

Para teroris memiliki pengetahuan tentang peperangan

dan membawa ideologi baru yang menggunakan terorisme

untuk mencapai tujuannya, antara lain seperti pengetahuan

yang dimiliki dan ideologi yang dibawa oleh para teroris

alumni Afganistan.

Fenomena terorisme digunakan untuk mencapai tujuan

politik di Indonesia telah terjadi, dalam bentuk gerakan-

gerakan yang mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi

yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud

mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara

serta merebut kekuasaan pemerintahan dengan menggunakan

cara-cara radikal dan anarkis. Contoh antara lain gerakan

Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Negara Islam

Indonesia (NII), dan Gerakan 30 September / Partai Komunis

Indonesia (G30S/PKI).

62

Page 75: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Dari fenomena tersebut di atas ternyata bahwa ideologi

yang bertentangan dengan ideologi Pancasila bukan hanya

ideologi Komunisme / Marxisme-Leninisme saja, tetapi ada

ideologi-ideologi lain. Ketentuan normatif yang ada terbatas

pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi

Komunisme / Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah

atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27

tahun 1999 j.o. pasal 107a dan 107d KUHP). Ketentuan

penindakan terhadap pengembangan dan penyebarluasan

ideologi lain selain Komunisme / Marxisme-Leninisme baru

dapat dilakukan setelah ada pernyataan keinginan untuk

mengganti atau mengubah Pancasila dan berakibat timbulnya

kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban

jiwa, atau kerugian harta benda (Pasal 107b KUHP).24

24 Lihat Undang-Undang No. 27 tahun 1999, Pasal 107 a : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”; Pasal 107 b : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”; Pasal 107 c : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”; Pasal 107 d : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah

63

Page 76: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Disarankan agar terhadap setiap ideologi yang bertentangan

dengan Pancasila diberlakukan ketentuan normatif yang sama

dengan ketentuan yang berlaku terhadap ideologi Komunisme

/ Marxisme-Leninisme.

3.8. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KERJASAMA INTERNASIONAL

Komitmen masyarakat internasional, termasuk

Indonesia, dalam upaya pencegahan dan penanganan

terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi

internasional yang menegaskan bahwa terorisme

merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan

keamanan umat manusia. Namun demikian, walaupun

konsekuensi dari ratifikasi berbagai konvensi internasional ini

adalah adanya Kerjasama internasional, namun masih banyak

masyarakat yang mempunyai persepsi yang negatif terhadap

setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan

pelaku teroris tersebut dan memandang seolah-olah

pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.

Persepsi yang salah dari warga masyarakat tersebut

antara lain karena adanya persepsi global bahwa kekuatan

Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal,

kurang transparannya pemerintah dalam proses pencegahan

atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

64

Page 77: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

dan penanganan terorisme, terutama dalam bentuk

kerjasama Internasional, yang terkait juga dengan rendahnya

tingkat informasi publik serta masih adanya tingkat

kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap

pemerintah dalam pencegahan dan penanganan terorisme.

3.9. DUKUNGAN LOGISTIK DAN PENDANAAN TERORISME

Teroris memiliki infrastruktur utama: operasi intelijen,

kerjasama dengan kelompok kriminal lainnya, operasi

militer, dan infrastruktur pendukung seperti propaganda,

serta infrastruktur sumber pendanaan yakni bisnis illegal,

hasil tindakan kriminal, yayasan amal, bisnis legal yang

didirikan melalui money laundering (placement, layering,

entering ke bisnis legal), donasi para simpatisan, dana dari

organisasi teroris lain di luar negeri. Jalur penyaluran dana

melalui perbankan tradisional, sistem kurir, sistem money

changer. Selain itu, ada pula Infrastruktur rekrutmen yang

dilakukan melalui kegiatan dakwah, training / pelatihan /

indoktrinasi, logistik, komunikasi HP / Internet. Maka untuk

menghancurkan organisasi teroris haruslah menghancurkan

seluruh infrastruktur tersebut.

Dari sekian infrastruktur yang relevan dengan

terorisme, infrastruktur yang menyangkut logistik dan

pendanaan menduduki peranan yang penting bagi

65

Page 78: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

terselenggaranya kegiatan-kegiatan terorisme, oleh karena

itu upaya-upaya menghancurkan infrastruktur logistik dan

pendanaan akan sangat efektif bagi upaya pencegahan dan

penanganan terorisme.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK) menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan

berbagai upaya pengawasan keuangan sesuai dengan standar

yang dibuat oleh PBB. Namun diungkapkan masih ada

kesulitan ketika dana tersebut adalah berasal dari sumber

kegiatan yang legal dan disalurkan melalui institusi yang

legal. Ketentuan normatif yang ada yang mengatur tentang

pendanaan teroris dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003

terdapat dalam pasal 13 yaitu “dengan sengaja memberikan

bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana

terorisme” yang dirasakan tidak memadai. Sebagai

perbandingan, dalam Undang-undang USA PATRIOT ACT 2001

yang terdiri dari sepuluh Bab, memiliki satu Bab yaitu Bab III

yang mengatur tentang Pelacakan Pencucian Uang

Internasional dan Anti Pendanaan Teroris.

Dari perbandingan tersebut diperlukan penguatan

ketentuan normatif yang mengatur tentang pengawasan

pendanaan bagi kegiatan terorisme.

Dari segi infrastruktur logistik yang menonjol adalah

peranan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

66

Page 79: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

dalam aksi-aksi terorisme. Substansi masalah yang berkaitan

dengan infrastruktur logistik dan sangat berpengaruh bagi

mudahnya aksi-aksi terorisme di Indonesia dapat dicatat

antara lain:

1. Lemahnya pengawasan terhadap kepemilikan serta

peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak,

dan senjata tajam organik TNI dan POLRI,

2. Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang,

3. Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan

peledak yang merupakan bahan bebas yang terdapat di

pasaran.

Terkait dengan hal tersebut maka Pemerintah

seyogyanya dapat mengoptimalkan upayanya untuk memberi

pengawasan bagi kondisi-kondisi tersebut di atas. Seperti

yang diungkapkan oleh Jeanne Mandagi25 bahwa perlu ada

peningkatan pengawasan terhadap senjata api dan bahan

peledak yang ternyata dilapangan banyak kendala yang

dihadapi.

Berdasarkan pengungkapan oleh peserta dari Kontras

pada kegiatan FGD di Jakarta dan Makassar, bahwa pada

peristiwa konflik di Poso banyak ditemui senjata api dan

25 Workshop Jakarta

67

Page 80: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

amunisi yang dikuasai oleh masyarakat adalah produksi dari

PINDAD, yaitu perusahaan yang membuat dan memasok

senjata api, bahan peledak, dan amunisi untuk kepentingan

TNI dan Polri.

3.10. KETERKAITAN TERORISME DENGAN KONDISI POLITIK, SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, DAN AGAMA

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab

munculnya terorisme yaitu:

1. Masalah atau persoalan ekonomi; seperti kemiskinan,

ketidakmerataan kesempatan, pengangguran, harga

barang meningkat, distribusi produk tidak merata, dan

kesenjangan sosial-ekonomi.

2. Ketimpangan struktur sosial; seperti ikatan kekerabatan

yang longgar atau terlalu kuat, tata nilai norma dan

aturan yang berlaku tidak seragam untuk semua lapisan

masyarakat, atau eksklusivisme kelompok tertentu yang

sangat menonjol.

3. Struktur sosial yang diskriminatif; seperti pembedaan

antar ras, suku dan agama, yang tajam, dengan

pembatasan kesempatan pada kelompok tertentu untuk

bisa ikut berperan.

4. Partikularisme pada interpretasi atau pemberian

pengertian dan makna tertentu pada nilai aturan adat

atau agama yang seharusnya berlaku universal;

68

Page 81: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

5. Sistem kekuasaan atau penguasaan barang-barang

bergerak dan tak bergerak atau sumber daya yang

seharusnya menjadi milik bersama, tetapi ada ditangan

piliak-pihak tertentu yang terbatas jumlahnya,

melahirkan sistem hegemoni dengan dampak pada adanya

kelompok yang menguasai dan dikuasai;

Kelima masalah ini akan menjadi pemicu konflik jika

bertemu dengan interpretasi, pemaknaan, fanatisme dan

etnosentrisme yang terlalu sempit.

Prof. Dr. Qasim Mathar mengatakan bahwa secara

umum, di dalam masyarakat terdapat dua jenis konflik, yakni

konflik rasial dan konflik agama. Semua jenis konflik

tersebut, baik konflik rasial maupun konflik agama, sama-

sama berpotensi menjadi tindakan teror. Lebih lanjut,

Mathar memberikan beberapa hal yang dapat dianggap

sebagai penyebab konflik ataupun terorisme, yakni :

radikalisme agama/ras/suku; kualitas sumber daya manusia

yang rendah, tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat

yang rendah; permainan politik dan tekanan kepentingan

politik; tingkat yang rendah dari pendidikan dan sosialisasi

yang bermuatan nasionalisme; rendahnya disiplin sosial;

adanya kesenjangan antara negara-negara Timur dan Barat;

rendahnya penyuluhan ciri-ciri konflik dan terorisme;

rendahnya penataan kependudukan (dari tingkat terkecil

69

Page 82: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

hingga terbesar), serta rendahnya kontrol dan pembinaan

fungsi pers dan media26.

Tatanan kehidupan bermasyarakat yang menghimpun

berbagai kelompok dan kepentingan, sesungguhnya

mengharuskan keterlibatan semua pihak untuk secara

bersama-sama memelihara dan membangun bangsa dan

negara dengan segala macam keragamannya, karena itu

setiap kelompok masyarakat harus merasa memiliki dan

bertanggung jawab bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan

negara. Tidak boleh terjadi dominasi mayoritas atas

minoritas dan pada saat yang sama tidak boleh terjadi tirani

minoritas atas mayoritas. Jika hal seperti itu tidak bisa

diwujudkan dengan baik, maka pada gilirannya kelompok

minoritas yang merasa tertindas itu berusaha

memberikan perlawanan secara sembunyi-sembunyi karena

mereka tidak memiliki kekuatan27.

26 Prof.Dr. Qasim Mathar, narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion, dalam rangka kegiatan penelit ian Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Managemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) bekerja sama dengan Partnership, pada tanggal 14 Agustus 2007 di Makassar.

27 FGD Makasar.

70

Page 83: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

3.11. PERSEPSI MASYARAKAT DAN KINERJA PENEGAK HUKUM

Melalui kegiatan Survei, ditemukan beberapa pendapat

masyarakat tentang kinerja penegak hukum yang tentunya

perlu untuk menjadi bahan rekomendasi peningkatan upaya

penegakan hukum itu sendiri dalam menghadapi terorisme.

Hampir separuh bagian dari jumlah responden

berpendapat bahwa kinerja Polisi dalam mengungkap kasus-

kasus terorisme, termasuk juga upaya-upaya penangkapan

pelaku teroris, sudah baik. Namun demikian, banyak pula

responden (28.5%) memiliki pendapat sebaliknya, bahwa

kinerja Polisi dalam mengungkap kasus-kasus terorisme masih

kurang baik.

Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme

Bagaimana kinerja Polisi dalam mengungkap terorisme Frekuensi Persen

Tidak tahu 9 1,6 Sangat baik 22 4,0 Baik 269 48,9 Kurang baik 157 28,5 Buruk 68 12,4 Ragu-ragu 22 4,0 Menolak / tidak menjawab 3 ,5

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta,

Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

71

Page 84: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Sementara itu, terdapat suatu pendapat yang

berimbang antara anggapan bahwa kinerja Jaksa sudah baik

(32,9%) dan kurang baik (33,1%) dalam menuntut kasus-kasus

terorisme.

Tabel 12. Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme

Bagaimana kinerja jaksa dalam menuntut pelaku terorisme

Frekuensi Persen

Tidak tahu 66 12,0 Sangat baik 6 1,1 Baik 181 32,9 Kurang baik 182 33,1 Buruk 88 16,0 Ragu-ragu 21 3,8 Menolak / tidak menjawab 6 1,1

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,

Denpasar, Makasar), 2007

Dalam menilai kinerja Hakim, khususnya dalam

menghukum pelaku terorisme, ternyata lebih dari separuh

jumlah responden cenderung menganggap bahwa kinerja

Hakim dalam menghukum pelaku terorisme cenderung kurang

baik bahkan buruk (52%). Sebaliknya, hanya 30,5% responden

mengganggap bahwa kinerja Hakim dalam menghukum

terorisme adalah baik.

72

Page 85: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Tabel 13. Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme

Bagaimana kinerja hakim dalam menghukum pelaku terorisme Frekuensi Persen

Tidak tahu 51 9,3 Sangat baik 8 1,5 Baik 168 30,5 Kurang baik 202 36,7 Buruk 87 15,8 Ragu-ragu 29 5,3 Menolak / tidak menjawab 5 ,9

Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya,

Denpasar, Makasar), 2007

Selanjutnya, lebih dari separuh responden beranggapan

bahwa Pemerintah telah mengambil sikap tegas terhadap

terorisme (55,6%), sementara responden lainnya ada yang

berpendapat bahwa Pemerintah harus lebih menyiapkan

penanganan yang fleksibel dalam menghadapi terorisme serta

harus memperbanyak dialog dengan berbagai pihak.

Tabel 14. Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme

Sikap Pemerintah hadapi terorisme Frekuensi Jawaban

Yang Disebutkan Mengambil sikap tegas terhadap terorisme 320 Menyiapkan penanganan yang fleksibel 63 Memperbanyak dialog dengan berbagai pihak 53 Belum maksimal 9 Kurang siap dan sigap, kurang tegas 45 Cukup Bagus 4

73

Page 86: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Harus konsisten dalam menangkap teroris 1 Kinerja harus ditingkatkan 3 Meningkatkan kerja intelijen 4 Tuntutan teroris harus dimediasi 1 Mengusut tuntas kejahatan teroris 3 Apatis, meremehkan, tidak ada kemajuan 2 Paranoid, berlebihan 1 Tidak ada intervensi asing 2 Perbaikan perekonomian 2 Kurang strategi 3 Segera memberantas pelaku 2 Meningkatkan keamanan 2 Langsung tanggap 1 Acuh tak acuh 2 UU cukup jelas, alat cukup canggih 1 Kurang terlihat 4 Buruk 1 Koordinasi aparat keamanan 1 Campur tangan pihak asing 2 Waspada 2 Tidak obyektif 4 Kurang adanya pemberitaan 1 Dialog dengan berbagai pihak 1 Biasa 2 Proaktif 2 Tidak tahu 23

Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007

3.12. PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL BAGI PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME

Di Indonesia, pemanfaatan budaya lokal bagi

pencegahan dan penanganan terorisme tidak dapat

dilepaskan dari penerapan konsep pencegahan dan

penanggulangan kejahatan secara umum yang menitik

74

Page 87: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

beratkan keterlibatan dan peran serta masyarakat, seperti

yang telah dituangkan ke dalam konsep “keamanan

swakarsa”.

Keamanan swakarsa yang mempunyai pengertian

sebagai tatanan secara terpadu dari berbagai aspek secara

sistematis berkelanjutan tentang masalah-masalah

keamanan, mengupayakan hidupnya peran dan tanggung

jawab masyarakat dalam pembinaan keamanan yang tumbuh

dan berkembang atas kehendak dan kemampuan masyarakat

sendiri, untuk mewujudkan daya tangkal, daya cegah dan

daya penanggulangan masyarakat terhadap setiap

kemungkinan gangguan keamanan, serta daya tanggap dan

penyesuaian masyarakat terhadap setiap perubahan dan

dinamika sosial yang membudaya dalam bentuk pola sikap

kebiasaan dan perilaku masyarakat; sehingga gangguan

keamanan dapat di cegah sedini mungkin sejak dari sumber

dasarnya dan kekuatan fisik aparatur keamanan digunakan

seminimal mungkin dan secara selektif28 . Dengan demikian

realisasi konsep keamanan swakarsa ini dapat dikembangkan

budaya lokal yang dapat secara efektif mendukung

pencegahan dan penanganan terorisme.

28 Tadjuddin, N.H., (1988). Sistem Keamanan Swakarsa Konsepsi Dan Penjabarannya, Mabes Polri, Direktorat Bimbingan Masyarakat,.

75

Page 88: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Keamanan swakarsa, dengan demikian, merupakan

pencegahan kejahatan yang sekaligus merupakan upaya

pengembangan komunitas, khususnya di bidang Community

based Crime Prevention, yang segala langkahnya ditujukan

untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi

kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka

untuk menggunakan kontrol sosial informal

Suatu contoh penerapan keamanan swakarsa yang

dapat dimanfaatkan bagi pencegahan dan penanganan

terorisme adalah apa yang dapat dilihat di Bali29, di mana

organisasi adat dan agama dapat membantu pencegahan

teroris untuk melakukan aksinya, melalui tiga kekuatan

otonomi mengatur hal tersebut. Antara lain:

1. Desa adat mempunyai kewenangan menetapkan aturan-

aturan hukum yang berlaku bagi mereka. Melalui

kekuatan ini desa adat/Pekraman menetapkan hukumnya

sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam

wadah desa Pekraman. Aspek hukum tersebut dikenal

dengan awig-awig/perarem yang ditetapkan berdasarkan

musyawarah desa / paruman desa. Kekuasaan ini identik

dengan kekuasaan legislatif.

2. Kekuasaan atau kewenangan menyelenggarakan

kehidupan organisasinya. Kekuasaan menyelenggarakan

29 FGD Denpasar.

76

Page 89: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

kehidupan organisasinya ini identik dengan ekskutif dalam

lingkungan negara.

3. Kekuasaan atau kewenangan menyelesaikan persoalan-

persoalan hukum. Pelanggaran hukum yang dihadapi desa

Pekraman dapat berupa pelanggaran hukum (awig-awig,

dresta lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini

dapat diidentikkan dengan yudikatif.

Tugas desa Pekraman antara lain :

1. Membuat awig-awig

2. Mengatur krama desa

3. Mengatur pengelolaan harta, kekayaan desa

4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan

disegala bidang terutama dibidang keagamaan,

kebudayaan dan kemasyarakatan

5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali

dalam rangka memperkaya, melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan

kebudayaan daerah pada khususnya.

6. Mengayomi krama desa (Sudantra, 1999:98).

Di dalamnya tugas desa pekraman menjaga

keseimbangan antara Manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia dan manusia dengan lingkungannya30 .

30 Sudiana, 2006:92

77

Page 90: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Ditegaskan lagi oleh Wayan P Widya31 bahwa komunitas

tradisional Bali yang dikenal dengan desa pakraman (desa

adat), memiliki sistem organisasi masyarakat yang kuat,

seperti tampak dalam struktur organisasinya, awig-awig dan

perarem desa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Inilah

antara lain yang menyebabkan kenapa Bali menjadi terkenal

keamanan dan kedamaiannya.

31 Wayan P. Widya, 2005:1-2

78

Page 91: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

B A B IV

REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. SKEMA HUBUNGAN MASALAH

Merujuk pada uraian Bab terdahulu, maka sebelum

membahas Rekomendasi Kebijakan perlu kiranya diungkapkan

kembali pokok-pokok masalah dalam sebuah Skema Hubungan

Masalah antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi

Pemecahan Masalah.(Bagan Skema Hubungan Masalah terlampir).

Skema Hubungan Masalah merupakan alur pengkajian dan

perumusan dalam rangka mendapatkan berbagai alternatif solusi

masalah yang akan dijadikan bahan masukan untuk penentuan

rekomendasi kebijakan. Alternatif solusi masalah ditujukan untuk

solusi terhadap substansi masalah dan tidak ditujukan kepada

situasi masalahnya. Berbagai alternatif Solusi masalah dalam

rangka rekomendasi kebijakan dikelompokkan kedalam aspek

Struktural/pelembagaan/ keorganisasian; aspek Instrumental/

hukum/peraturan perundang-undangan dan aspek Kultural/

budaya/tata-laku, namun demikian antara ketiga aspek tersebut

tetap dipertahankan keterkaitan hubungannya secara

komprehensif.

79

Page 92: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Dari uraian mengenai berbagai permasalahan dalam upaya

pencegahan dan penanganan terorisme tampaknya masih banyak

hal yang harus dilakukan. Berbagai permasalahan yang muncul

dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme, secara umum

adalah karena:

1) Belum adanya satu Kebijakan dan Strategi Raya (Grand

Strategy) yang bersifat nasional di bidang Pencegahan dan

Penanganan Terorisme di Indonesia yang dapat dijadikan

acuan kebijakan dan strategi secara komprehensif dan

dapat dijadikan penata normatif bagi kegiatan

pencegahan dan penanganan terorisme yang dilaksanakan

oleh Pemerintah bersama masyarakat;

2) Tidak profesionalnya aparat yang melaksanakan aturan

yang sudah ada yang membawa dampak terhadap sikap

dan perilaku aparat yang tidak mendapatkan kepercayaan

masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan sikap

apatis masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya

pencegahan dan penanganan terorisme.

3) Permasalahan dalam mereposisi atau bahkan membentuk

lembaga yang diberikan kewenangan untuk

mengkoordinasikan kegiatan berbagai instansi Pemerintah

dan masyarakat dalam mensinergikan kegiatan

80

Page 93: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

pencegahan dan penanganan terorisme melalui

penyusunan program bersama.

2.1. Rekomendasi kebijakan aspek struktural.

2.1.1. Masalah koordinasi kelembagaan sebagai

dampak adanya beberapa instansi yang memiliki satuan

anti teror tetapi tidak ada koordinasi antar instansi

tersebut dari segi struktural direkomendasikan

kebijakan sebagai berikut :

1). Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti

Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada

Presiden RI yang diatur dengan peraturan

perundang-undangan yang diberi wewenang

mengkoordinasikan kegiatan lintas sektoral dalam

pencegahan dan penanganan terorisme secara

efektif . Badan Koordinas Nasional Anti Terorisme,

tidak mengambil alih fungsi instansi sektoral yang

ada, namun hanya mensinergikannya, memadukan

dan membuat lebih efisien dan efektif,terfokus

pada sasaran program bersama. Tugas pokok Badan

Koordinasi Nasional Anti Terorisme adalah menyusun

program bersama pencegahan dan penanganan

terorisme, termasuk perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,

81

Page 94: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

pengendalian serta dukungan anggarannya. Unsur

Pelaksana dari program bersama tersebut terdiri

dari instansi sektoral dan atau organisasi

kemasyarakatan.

Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti

Terorisme memerlukan instrumen hukum

/perundang-undangan yang kuat dan diprogram

secara bertahap, sejalan dengan proses sosialisasi

budaya koordinasi antar instansi.

2). Koordinasi kelembagaan dapat juga diciptakan

melalui penyiapan Aturan pelibatan antar instansi

(Rule of enggagement) yang lebih jelas sehingga

tidak terjadi duplikasi pelaksanaan tugas.

2.1.2. Masalah Struktur Pengamanan, Pelabuhan

Laut dan Udara, serta Pengamanan jalur lalu lintas

keluar-masuk wilayah Indonesia Direkomendasikan

kebijakan sebagai berikut:

a. Penggunaan pola pengamanan Pelabuhan Laut dan

Udara yang baku dan dengan standard Internasional

dilengkapi dengan Pengaturan hubungan tata kerja

instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan

TNI kepada Polri, Koordinasi dan Pengawasan serta

Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus,

Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk-

82

Page 95: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

bentuk satuan Pengamanan Swakarsa serta bantuan

dan hubungan Polri dengan Pemda.

b. Penambahan kekuatan dan peningkatan kemampuan

Pengamanan perbatasan wilayah Negara Indonesia

sejalan dengan peningkatan kualitas kehidupan

masyarakat perbatasan.

2.1.3. Data Base Tentang Pencegahan dan

Penanganan Terorisme.

Upaya pencegahan dan penanganan terorisme

memerlukan informasi yang didukung oleh Data Base

yang komprehensif. Kebijakan yang direkomendasikan

dalam hal ini adalah :

1). Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal

Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun

2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c);

2). Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai

koordinatorsemua kegiatan intelijen.

2.2. Rekomendasi kebijakan aspek instrumental.

Untuk masalah-masalah yang terkait dengan aspek

instrumental direkomendasikan kebijakan sebagai berikut :

2.2.1. Penyiapan payung hukum untuk

pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme

83

Page 96: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

yang memuat Hubungan dan Tata-cara Kerja Antar

Instansi dan antara instansi dengan masyarakat yang

jelas.

2.2.2. Penguatan Aturan hukum untuk

mengungkap pelaku teroris dan jaringannya sesuai

dengan masalah terorisme sebagai extra ordinary crime

yang membutuhkan penanganan khusus. Dalam hal ini

direkomendasikan:

1) Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme yaitu

Undang-undang No. 15 tahun 2003 yang menyangkut

antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti

permulaan, keputusan hakim berdasarkan satu alat

bukti dan keyakinan hakim;

2) Vonis hukuman mati yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka

waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acara-

nya).

2.2.3. Penguatan aturan hukum yang mengatur

tentang keberadaan organisasi radikal.

Pembiaran oleh aparat terhadap perilaku radikal dan

anarkhis dapat menurunkan wibawa aparat dan

menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut benar dan

dapat menjurus kepada tindak pidana terorisme.

Kebijakan yang direkomendasikan adalah :

84

Page 97: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1) Penyiapan aturan normatif untuk kegiatan radikal

dan anarkhis.

2) Penyempurnaan Standard Prosedur operasional

berdasarkan kewenangan aparat secara fungsional.

2.2.4. Efektifitas Laporan Intelijen

Masalah lainnya dalam aspek instrumental adalah

kurang efektifnya peran intelijen. Dalam hal ini

direkomendasikan kebijakan penyempurnaan Undang-

undang No.15 Tahun 2003 Tentangh Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan klausul yang

menyatakan laporan intelijen sebagai alat bukti.

2.2.5. Memasyarakatkan Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme), dalam hal ini direkomendasikan kebijakan: Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme yang mengakomodasikan tugas-tugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme.

2.2.6. Perlunya kerjasama Internasional untuk

menangani terorisme. Pemecahan masalah yang dapat

diambil oleh Pemerintah, dan kebijakan yang

direkomendasikan adalah:

85

Page 98: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1) Penyesuaian hukum nasional terhadap hukum

Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi

Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi

Dewan Keamanan PBB.

2) Pemanfaatan kerjasama internasional dan bantuan

teknis yang sudah berjalan

2.3. Rekomendasi kebijakan aspek kultural.

Aspek kultural, mencakup tata-laku aparat dan

masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme

sebagai musuh bersama, Kebijakan yang direkomendasikan

adalah :

2.3.1. Membangun kesamaan persepsi masyarakat

tentang terorisme sebagai musuh bersama yang dapat

dilakukan melalui :

1) Program sosialisasi pencegahan dan penanganan

terorisme yang berkesinambungan dengan sasaran

program bersama yang disusun secara nasional

sebagai bagian dari Strategi Nasional Pencegahan

dan Penanganan Terorisme.

2) Pemanfaatan dan pendayagunaan Badan Koordinasi

Kehumasan antar instansi.

86

Page 99: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3.2. Definisi Terorisme.

Upaya sosialisasi definisi terorisme sesuai Hukum Positif

(Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme)

2.3.3. Pers/Media massa sebagai sumber informasi

Mengingat bahwa pemberitaan pers bersifat latent

dapat berdampak positif dan negatif maka dalam hal ini

direkomendasikan kebijakan dalam bentuk :

Optimalisasi peran pemberitaan pers dalam

pencegahqan dan penanganan terorisme sebagai salah

satu program Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme,

2.3.4. Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan

yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran

agama;

Kebijakan yang direkomendasikan adalah Program “Soft

Power Politic” dan atau “Deradikalisasi” melalui

pencerahan oleh tokoh-tokoh agama moderat sebagai

salah satu program Badan Koordinasi Nasional Anti

Terorisme sejalan dengan peningkatan kesadaran

hukum masyarakat.

87

Page 100: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3.5. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan

penanganan terorisme.

Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan

penanganan terorisme ada kaitannya dengan tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap aparat . Oleh karena

itu rekomendasi kebijakan diarahkan kepada upaya

membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat

sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi.Dalam

hal ini bentuknya adalah peningkatan profesionalisme

aparat.

2.3.6. Kemampuan mobilitas Teroris.

Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan

kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit

dilacak. Rekomendasi kebijakan dalam hal ini adalah :

1) Penerapan ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan dan

diberlakukannya “Single Identification System”

berdasarkan identitas sidik-jari yang bersifat

permanen dalam NIK(Nomor Induk Kependudukan)

2) Meningkatkan peranan Pusat Identifikasi Polri

sebagai Pusat Identifikasi Nasional.

3) Perencanaan penerapan NIK sesuai ketentuan

Undang - undang (Tahun 2011 sudah dapat

terlaksana).

88

Page 101: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3.7. Terorisme dan Tujuan Politik

Terorisme juga digunakan untuk mencapai

tujuan politik antara lain mengembangkan ideologi

yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan

maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai

ideologi negara. Kebijakan yang direkomendasikan

adalah :

1) Meningkatkan peran Lembaga Pembina Kesatuan

Bangsa ;

2) Memperluas cakupan ketentuan normatif yang

terdapat dalam UU No.27 Tahun 1999 j.o pasal 107

d KUHP sehingga mencakup larangan terhadap

segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi

Pancasila.

2.3.8 Persepsi masyarakat terhadap kerjasama

internasional.

Adanya persepsi masyarakat yang negatif terhadap

setiap bentuk kerjasama Internasional dalam

penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah

pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.Kebijakan

yang direkomendasikan adalah :

Transparansi dalam program kerjasama Internasional

khususnya mengenai pencegahan dan penanganan

terorisme melalui informasi publik;

89

Page 102: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3.9. Dukungan logistik dan pendanaan terorisme

Masalah lain dalam aspek kultural pencegahan dan

penanganan terorisme adalah fakta bahwa kegiatan

terorisme membutuhkan dukungan logistik dan

pendanaan. Untuk menangani masalah ini, maka

kebijakan yang direkomendasikan adalah:

1) Meningkatkan upaya-upaya deteksi dini dari POLRI,

aparat intelijen, dan PPATK;

2) Membangun jaringan informasi antara aparat

intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak

pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan

penyaluran dana untuk terorisme;

3) Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi

intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK

4) Memperketat pelaksanaan perijinan dan pengawasan

senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

2.3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Politik, Sosial,

Ekonomi, Budaya dan Agama.

Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama

dapat dieksploitasi oleh teroris, maka dapat

direkomendasikan kebijakan sebagai berikut :

90

Page 103: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

1) Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri

menciptakan stabilitas politik dan manajemen

nasional) maupun luar negeri (melalui kerjasama

internasional);

2) Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi);

3) Meningkatkan pembinaan kerukunan hidup

bermasyarakat dan bernegara;

4) Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang

dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan

perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965

kaitannya dengan Pasal 156a KUHP).

2.3.11. Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak

Hukum

Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Penegak Hukum

pada umumnya sudah baik namun masih tetap perlu

peningkatan dan penyempurnaan. Kebijakan yang

direkomendasikan adalah :

1) Peningkatan kemampuan profesi SDM aparat

penegak hukum melalui program pelatihan yang

konsisten.

2) Peningkatan koordinasi antar instansi penegak

hukummelalui program yang melembaga.

91

Page 104: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

2.3.12. Pemanfaatan budaya lokal bagi pencegahan

dan penanganan terorisme;

Kebijakan yang direkomendasikan adalah : Pelaksanaan

Program”Community Development” Pemerintah Pusat

dan Daerah serta Program “Community Policing” POLRI.

92

Page 105: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

LAMPIRAN

BAGAN SITUASI MASALAH-SUBSTANSI MASALAH DAN SOLUSI MASALAH

Skema 1. Hubungan Antara Situasi Masalah dengan Substansi Masalah

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Beberapa instansi punya satuan anti teror

- Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror

- Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas

- Tidak ada badan koordinasi

- Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait

- Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral

Struktural

- Data base mengenai terorisme belum komprehensif

- Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia

93

Page 106: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya

- Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan khusus

- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acara-nya) belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime

- Peranan Intelijen kurang efektif

- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti

Instrumental

- Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme) belum memasyarakat

- Keterbatasan distribusi naskah kebijakan

- Sosialisasi yang tidak melembaga

94

Page 107: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara]

- Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme

- Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama

- Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal

- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme

- Masih biasnya pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu

- Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa

- Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif

- Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama

- Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama

- Rendahnya tingkat kesadaran hukum

Kultural

- Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme

- Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat

95

Page 108: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan-kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.

- Belum diterapkannya ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan

- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara

- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksanakan tugas operasional pembinaan

- Ketentuan normatif yang

ada terbatas pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi Komunisme, Marxisme, serta Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)

96

Page 109: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.

- Pemilikan senjata api,

bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme

- Adanya persepsi global bahwa kekuatan Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal.

- Kurang transparan-nya pemerintah dlm proses pencegahan dan penanganan terorisme, terutama dlm bentuk kerja- sama Internasional.

- Tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap pemerintah dalam pencegahan & penanganan terorisme.

- Lemahnya pengawasan

terhadap kepemilikan serta peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam organik TNI dan POLRI

- Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang.

- Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan peledak.

97

Page 110: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Situasi Masalah Substansi Masalah

- Kegiatan terorisme membutuhkan dukungan logistik dan pendanaan

- Sumber pendanaan kegiatan teroris bisa bersifat legal (sumbangan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering)

- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris

- Kelemahan-kelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum

- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme

- Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat

98

Page 111: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Skema 2. Hubungan Antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi

ASPEK Situasi

Masalah Substansi Masalah Solusi Pemecahan

Masalah

Struk-tural

- Beberapa instansi punya satuan anti teror

- Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror

- Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas

- Tidak ada badan koordinasi

- Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait

- Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral

- Penguatan Desk Anti Teror yang Sudah ada; atau pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

- Pengaturan hubungan tata kerja instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan TNI kepada Polri; Koordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus; Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk-bentuk satuan Pengamanan Swakarsa – tentang tugas: Pasal 14 ayat 1 huruf f dan tentang wewenang: Pasal 15 ayat 2 huruf f dan g – serta bantuan dan hubungan Polri dengan Pemda) [instrumental]

99

Page 112: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Data base mengenai terorisme belum komprehensif

- Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia

- Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c)

- Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai koordinator semua kegiatan intelijen

Instrumental

- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya

- Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuh-kan penang-anan khusus

- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acara-nya) belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime

- Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme [Undang-undang No. 15 tahun 2003 antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti permulaan, barang bukti sebagai alat bukti, keputusan hakim berdasarkan satu alat bukti dan keyakinan hakim]

- Vonis hukuman mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acara-nya)

100

Page 113: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Peranan Intelijen kurang efektif

- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti

- Laporan intel menjadi alat bukti

- Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordi-nasi Pembe-rantasan Terorisme) belum me-masyarakat

- Keterbatasan distribusi naskah kebijakan

- Sosialisasi yang tidak melembaga

- Pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme yang dapat mengakomodir tugas-tugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme

101

Page 114: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara]

- Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme

- Penyesuaian hukum nasional terhadap hukum Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi Dewan Keamanan PBB

102

Page 115: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama

- Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal

- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme

- Masih biasnya

pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu

- Pelembagaan gerakan masyarakat dalam kampanye anti terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme

- Peningkatan program sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat tentang bahaya terorisme, pencegahan dan penanganannya

- Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa

- Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif

- Optimalisasi peran pemberitaan pers dalam pencegahan dan penanganan terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme

Kul-tural

- Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama

- Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama

- Rendahnya tingkat kesadaran hukum

- Deradikalisme melalui pencerahan oleh tokoh-tokoh agama moderat sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme sejalan dengan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

103

Page 116: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme

- Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat

- Membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi

- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan-kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.

- Belum diterapkannya ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan

- Diberlakukannya Single Identification System berdasarkan identitas sidik jari yang bersifat permanen dalam NIK (Nomer Induk Kependudukan)

- Meningkatkan peranan Pusat Identifikasi Polri sebagai Pusat Identifikasi Nasional

- Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat terlaksana sesuai amanat undang-undang)

104

Page 117: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara

- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksana-kan tugas operasional pembinaan

- Ketentuan normatif yg ada terbatas pd larangan menyebarkan dan mengem-bangkan ideologi Komunisme, Marxisme, & Leninisme dgn maksud mengubah atau mengganti Pancasila sbg dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)

- Meningkatkan peran lembaga pembina kesatuan bangsa dalam rangka pencegahan dan penanganan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara

- Ketentuan normatif yang ada [UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP] diperluas untuk mencakup larangan terhadap segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila

105

Page 118: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.

- Pemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme

- Adanya persepsi global bhw keku-atan Amerika me lawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal.

- Krng transparan pemerintah da-lam proses pen-cegahan dan pe-nanganan teroris-me,terutama dlm bntuk kerjasama Internasional

- Tgkt kepercayaan yang rendah dari masyarakat thdp pemerintah dlm pencegahan & pe nanganan teroris

- Lemahnya peng-awasan terhadap kepemilikan, srt peredaran senja-ta api, bhn pldk, & senjta tjm trmasuk jg kepe-milikan snjta api, bhn peledak, & senjata tjm orga-nik TNI & POLRI

- Transparansi dalam program kerjasama Internasional khususnya mengenai pencegahan dan penanganan terorisme melalui informasi publik.

- Memperketat

pelaksanaan perijinan dan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

106

Page 119: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Kegiatan terorisme membutuhkan dukungan logistik dan pendanaan

- Masih adanya bhn peledak sisa pen-inggalan perang.

- Mudahnya mem-peroleh bhn baku untuk meramu bahan peledak.

- Sumber pendanaan kegiatan teroris bisa bersifat legal (sumbangan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering)

- Meningkatkan upaya-upaya deteksi dini dari POLRI, aparat intelijen, dan PPATK

- Membangun jaringan informasi antara aparat intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan penyaluran dana untuk terorisme

- Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK

107

Page 120: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

ASPEK Situasi Masalah

Substansi Masalah Solusi Pemecahan Masalah

- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris

- Kelemahan-kelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum

- Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri {menciptakan stabilitas politik dan manajemen nasional} maupun luar negeri {melalui kerjasama internasional}.

- Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi)

- Meningkatkan pembinaan kerukunan hidup bermasyarakat dan bernegara

- Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965 kaitannya dengan Pasal 156a KUHP).

- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme.

- Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat

- Program community development dan community policing

108

Page 121: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ariyasinghe, Mithra, 2006, Case Handling of Terrorism in Sri Lanka, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Atmasasmita, Romli, 2006, Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Atmasasmita, Romli. 2006. Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia;

Azra, Azyumardi, 2006, Jihad And Suicide Bombing An Indonesian Perspective, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Bafadal, Fadhal AR, Mebendung Terorisme: Perspektif Lektur

Keagamaan (Makalah), Surabaya, 2006

Davies, Barry, BEM., 2003, Terrorism: Inside a World Phenomenon, London Books Ltd.

Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme.

109

Page 122: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme.

Dzulqarnain, Muh, Sanusi, , 2006 M/ 1427 H. Meraih kemuliaan

Melalui Jihad, Pustaka As Sunnah, Klaten,

Euroweek, 2002, Bali Blast Fractures Southeast Asia Economic Hopes, London, Euromoney Institutional Investor PLC, 18th October .

H.S., Baharuddin, 2006. Membangun Msyarakat Islam lewat

Gerakan Kultural (Makalah), Makassar

Harmon, Christoper C., Terrorism Today, (London: Frank Cass, 2000), p. 186-233. See as well his article, Christopher C. Harmon, "Terrorism; A Matter for Moral Judgment", Terrorism and Political Violence 4:1 (Spring 1992), p. 1-21.

Hassan, Riaz. 2006. Suicide Terrorism: Its Nature and Management in Different Countries, dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI). Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Husain, Adian. 2001Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani,

Jakarta,

Kahfi, Syahdarul. (ed.). 2006. Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi. Jakarta : Spectrum.

Keelty, Mick, 2006, Threat Detection And Preventative Efforts Against Terrorism, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus

110

Page 123: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6.

Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia. 2006. Makalah Rekomendasi Bagi Penggalangan Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Jakarta.

Mere, Gories, 2006, Case Handlings of Suicide Bombing of Terrorism in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

Qardhawi, Yusuf, 2004Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme

daam Berislam dan Upaya Pemecahannya, diterjemahkan

oleh Hawn Murtadho, Era Intermedia, Solo.

Sudiana. 2003. Pancasila dan Jihad. Jakarta : Sinar Mulia

Widya, Wayan Putera. 2004. Di Tengah Gelombang Teror. Bandung : Mustika Karya.

Wirawan, Sarwono, Sarlito, 2006, What is in their minds? The psychology of suicide bombers in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri

111

Page 124: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006.

YLBHI : RUU Rahasia Negara Berbahaya. Kompas, 19 Januari 2006.

Yusanto, S, et.al, 2003. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di

Asia Tenggara, EFSThe Ridef Institute, Jakarta.,

112

Page 125: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

DAFTAR ISTILAH

Terror: Penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menimbulkan rasa takut dan meniadakan pelawanan.

Terorrism: Penggunaan kekerasan secara sistematis untuk menimbulkan rasa takut dan mengganggu sistem wewenang. Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 2003 terrorisme adalah tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.

Obyek Vital Nasional: Kawasan / lokasi, bangunan / instalasi dan / atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.

Aspek Instrumental: Ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja.

Aspek Struktural: Pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau badan.

Aspek Kultural: Tata laku aparat dan masyarakat.

113

Page 126: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

Radikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang mementingkan penanganan drastis untuk mengubah masyarakat sehingga kondisi kehidupan sosial berubah.

Deradikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang bertujuan untuk mengurangi radikalisme.

Anarki: Suatu keadaan dimana tidak ada suatu organisasi sosial yang efektif sehingga timbul kekacauan.

Anarkis: Suatu tindakan pengacauan dengan mangabaikan organisasi sosial yang ada.

Komunisme: Suatu filsafat sosial atau sistem organisasi sosial yang didasarkan pada prinsip pemilikan umum atas sarana produksi dan jasa-jasa ekonomis yang senantiasa dikaitkan dengan doktrin untuk mempertahankan sistem tersebut, yang didasarkan pada ajaran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.

Marxisme: Ajaran yang dikembangkan Karl Marx dan Friedrich Engels yang berintikan pada asumsi bahwa kelas buruh mempunyai peranan penting untuk menghilangkan kapitalisme dan hak-hak istimewa kelas-kelas sosial tertentu, sehingga pada akhirnya terbentuk masyarakat tanpa kelas sosial.

Community Development: Usaha kerja sama yang dengan sengaja dilakukan oleh orang-orang anggota suatu komunitas untuk mengarahkan masa depan komunitasnya dan mengembangkan seperangkat teknik yang tepat untuk membantu orang-orang dalam komunitas dalam menjalani proses.

Community Policing: Suatu model yang secara substansial sipil diberi kewenangan di masing-masing daerah untuk ikut merumuskan, mendukung

114

Page 127: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia

operasional dan melakukan kontrol atas berbagai bentuk kebijakan sektor keamanan di daerah. Kewenangan ini dapat dirumuskan dalam sistem kelembagaan, regulasi, dan kemampuan praktis, sekaligus juga perlu ditopang oleh pelembagaan perangkat-perangkat kultural sebagai dasar penguat bekerjanya regulasi yang demokratis.

Community based Crime Prevention: Langkah-langkah yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal.

Mastermind: Orang yang sangat terpelajar, terutama dalam membuat suatu perencanaan dan memimpin suatu kegiatan yang rumit.

Spiritual Leader: Orang yang menggunakan sumber-sumber keagamaan untuk menggerakkan atau mempengaruhi orang lain.

Money Laundering Adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU. No. 15 Tahun 2002 jo. UU. No. 25 Tahun 2003). Dari pengertian di ini, paling tidak ada dua elemen penting untuk adanya pencucian uang (money laundering) ialah adanya transaksi keuangan dan adanya tindak pidana (illegal activity).

115

Page 128: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 129: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia
Page 130: Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia