Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME
-
Upload
thania-tika -
Category
Documents
-
view
18 -
download
3
description
Transcript of Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME
TINJAUAN PUSTAKA
DENGUE SHOCK SYNDROME
PENDAHULUAN
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia
sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-kadang
disebut juga sebagai demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan
penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola penyebaran penyakit infeksi virus Dengue
sejak 1780 – 1949 memiliki kecenderungan epidemik dan lebih banyak di daerah tropis. (1,2,3,4,5,6)
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan
dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue
sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini
menyebar ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan
di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. (1,2,3,4.5)
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD
dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global. (1,2,3)
SINDROM SYOK DENGUE
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat
menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang
tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). (1,2,3)
15
I. DEFINISI
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai
dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang
berakibat fatal. (1,2,3)
II. ETIOLOGI
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype
terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain sangat kurang, sehingga tidak
dapat memberiikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang
tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan
virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (1,2,3)
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan
A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan
kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat
ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak
di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di
tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 - 7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.(1,2)
16
III. EPIDEMIOLOGI
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka
kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini
DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian
luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga
2% tahun 1999. (1,2,)
Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu
yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya
infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.(2)
IV. FAKTOR RISIKO
DBD dapat menjadi lebih parah dan komplikasinya pada keadaan :
Bayi dan lansia Obesitas
Wanita hamil
Ulkus peptikum
Perempuan yang sedang menstruasi atau adanya perdarahan abnormal pada jalan lahir
Penyakit hemolitik seperti glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G-6PD), thalasemia dan
hemoglobinopati lainnya
17
Penyakit jantung kongenital
Penyakit kronik seperti diabetes melitus, hipertensi, asma, penyakit jantung koroner, gagal ginjal
kronik, sirosis hepar
Pasien yang sedang menjalani terapi dengan steroid atau NSAID
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadi komplikasi penyakit DBD yang tersering
yaitu DSS. Obesitas berarti terjadi penumpukan jaringan lemak akibat peningkatan jumlah dan besar
sel adiposit. Diantara jaringan lemak yang ada, jaringan lemak putih yaitu sel adiposit jaringan lemak
putih yang mensekresikan dan melepaskan sitokin pro-inflamasi TNFα (tumour necrosis factor α) dan
beberapa interleukin (IL) yaitu IL-1, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas akan terjadi peningkatan ekspresi
TNFα dan IL-6 sedangkan pada DSS terjadi produksi TNFα, IL-1, IL-6 dan IL-8. Namun, hubungan
mengenai peningkatan ekspresi TNFα dan Il-6 pada obesitas ikut berperan dalam menyebabkan DBD
menjadi DSS sehingga keadaan obesitas berisiko lebih tinggi mengalami DSS atau tidak masih belum
jelas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP
Sanglah Densapar, didapatkan kesimpulan bahwa obesitas adalah faktor risiko terjadinya syok pada
DBD. Risiko SSD pada anak obese 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak non-obese
(p=0,009).
V. PATOGENESIS
Salah satu teori dasar patogenesis DBD ialah infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection). DBD dapat terjadi pada pasien yang terinfeksi pertama kali, walaupun kebanyakan kasus
DBS terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara terjadinya DBD/SSD dan infeksi
dengue sekunder melibatkan sistem imun pada patogenesis DBD. Baik innate immunity seperti sistem
komplemen dan sel NK dan mediated immunity terlibat dalam proses ini. Peningkatan dari aktivasi
pertahanan tubuh, pada infeksi sekunder, mengakibatkan respon sitokin yang berlebih sehingga
terjadi perubahan pada permeabilitas pembuluh darah. Sebagai tambahan, virus juga menghasilkan
produk seperti NS1 yang berperan dalam mengaktivasi komplemen dan permeabilitas pembuluh
darah.
18
Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue
Efek sitokin yang bervariasi pada permeabilitas pembuluh darah merupakan patogenesis
DBD. Tetapi pengaruh sitokin ini pada DBD masih belum diketahui. Penelitian menggambarkan pola
respon sitokin mungkin berkorelasi dengan pola cross-recognition of dengue-spesific T-cells. Cross-
reactive T-cells menampilkan penurunan menurun secara fungsional pada aktivitas sitolitiknya tetapi
menampilkan peningkatan produksi sitokin termasuk TNF-a, IFN-g dan chemokines. TNF-a
berhubungan dengan manifestasi yang parah seperti perdarahan pada beberapa hewan model.
Peningkatan permeabilitas vaskular dapat juga dimediasi oleh sistem komplemen. Peningkatan level
fragmen komplemen telah diketahui pada DBD. Beberapa komponen seperti C3a dan C5a diketahui
memliki efek dalam meningkatkan permeabilitas.
Karakteristik DBD adalah terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan kebocoran plasma, volume intravaskuler yang berkurang dan syok pada kasus yang
berat. Kebocoran ini unik karena bersifat selektif yaitu di pleura dan cavitas peritoneal dan periode
kebocoran ialah singkat (24 – 48 jam). Pemulihan syok yang singkat tanpa sekuele dan tidak adanya
inflamasi pada pleura dan peritoneum mengindikasikan perubahan fungsional pada integritas vaskular
dibandingkan kerusakan struktural dari endothelium sebagai mekanisme dasar. Hal ini sesuai dengan
hipotesis immune enhancement.
19
Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di-phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial sistem) sehingga terjadi
trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.(2,3)
Gambar 4. Patogenesis pendarahan pada DBD
20
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif
pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat
syok yang terjadi.(2,3)
Penelitian yang terbaru, antigen NS1 dari virus dengue diketahui mengatur aktifasi
komplemen dan memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingkat viral protein, NS1, lebih tinggi
pada pasien DBD. Begitu juga dengan viral load yang didapatkan lebih tinggi pada pasien DBD
dibandingkan dengan pasien DD. derajat viral load diketahui memiliki korelasi dengan derajat
keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan trombositopenia.
VI. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus sehingga dapat bsifat asimptomatik,
atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).(1,2,3)
Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala
prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas.(1)
Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
21
Demam Dengue
Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back
fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan
timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7
terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Pada
keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti :
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. (1,2,3,4)
Demam Berdarah Dengue
Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering
ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah
memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase
awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable
sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam,
pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi
yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang
terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. (1,2,3,4)
Sindrom Syok Dengue
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit
ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai
dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,
hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang. Kebanyakan pasien masih
tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak
adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,
perdarahan hebat saluran cerna. infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over
hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada
masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi
atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan.(1,2,3,4)
22
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG(4)
Hitung jenis sel darah putih dapat normal atau dengan dominan neutorfil pada fase awal demam.
Kemudian, dapat terjadi penurunan jumlah sel darah putih dan neutrofil, pada fase akhir demam.
Perubahan hitung jumlah sel darah putih (≤5000 sel/mm3) dan perbandingan neutrofil dengan
limfosit (neutrofil<limfosit) berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Hal ini
mengawali trombositopenia atau peningkatan hematokrit. Limfositosis relative dengan peningkatan
limfosit atipikal umumnya didapatkan pada fase akhir demam hingga konvaselens. Perubahan ini
juga didapatkan pada DD.
Nilai trombosit biasanya normal selama fase awal febris. Penurunan ringan dapat ditemukan
kemudian. Penurunan mendadak nilai trombosit hingga dibawah 100.000 terjadi pada akhir fase
demam sebelum onset syok. Nilai trombosit berkolerasi dengan keparahan DBD. Fungsi trombosit
pun terganggu. Perubahan ini hanya terjadi dalam durasi pendek dan kembali ke normal selama
konvalesens.
Nilai hematokrit normal pada fase awal febris. Peningkatan ringan dapat terjadi karena demam
tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan mendadak hematokrit terjadi bersamaan atau tak lama
setelah penurunan nilai trombosit. Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit dari 20% nilai
awal, contohnya dari nilai hematokrit 35% menjadi ≥42% ialah bukti objektif adanya kebocoran
plasma.
Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan hasil laboratorium yang selalu ditemukan pada
DBD. Penurunan nilai trombosit hingga 100.000 sel/mm3 biasanya ditemukan antara hari ketiga dan
hari kesepuluh hari sakit. Peningkatan nilai hematokrit terjadi pada semua kasus DBD, khususnya
pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan nilai hematokrit meningkat 20% atau lebih merupakan
bukti yang lebih objektif adanya kebocoran plasma. Hematokrit dapat dipengaruhi dengan resusitasi
volume awal dan dengan perdarahan.
Penemuan tersering lainnya adalah hipoproteinemia/albuminemia (akibat dari kebocoran plasma0,
hiponatremia, dan peningkatan ringan nilai serum aspartate aminotransferase (≤200 U/L) dengan
rasio AST:ALT>2.
Albuminuria ringan yang sementara (transient).
Adanya darah pada feses, terutama jika pada pasien terjadi perdarahan gastrointestinal.
Pada banyak kasus, terjadi penurunan fibrinogen, prothrombin, factor VIII, factor XII dan
antithrombin III. Penurunan antiplasmin (plasmin inhibitor) dapat terjadi pada beberapa kasus. Pada
kaus yang berat dengan disfungsi liver, penurunan didapatkan pada vitamin K-dependent
prothrombin co-factors, seperti factor V,VII,IX dan X.
Partial thromboplastin time dan prothrombin time memanjang pada setengah hingga sepertiga
kasus DBD. Thrmbin time juga memanjang pada kasus yang parah.
Hiponatremia seringkali didapatkan pada kasus DBD dan hiponatremia hebat pada keadaan syok.
23
Hipokalsemia didapatkan pada semua kasus DBD, kadar kalsium lebih rendah pada derajat 3 dan
4.
Asidosis metabolik seringkali ditemukan pada syok yang berkepanjangan. Blood urea nitrogen
(BUN) meningkat pada syok yang berkepanjangan.
Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus dengue (cell culture) atau
deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun
teknik ini rumit. Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik
terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai hari ke-3 sampai ke-5, meningkat
sampai minggu 3, dan menghilang setelah 60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi
primer, dan terdeteksi pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.(1)
Pada pemeriksaan radiologis pada posisi lateral dekubitus kanan bisa ditemukan efusi pleura,
terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit.(1,2)
VIII. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 2011 (4)
Demam Berdarah Dengue & DSS
Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus – menerus 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan, berupa :
Tes rumple leed (+)
Petechie, purpura, ekimosis
Perdarahan mukosa, gusi, epitaksis
Hematemesis melena
3. Hepatomegali
4. Syok, tanda-tandanya :
Nadi < 20 (lemah dan cepat)
TD Sistolik ≤ 80 mmHg
Kulit dingin dan lembab
Gelisah
Mulut sianosis
Laboratorium
1. Trombositopenia < 100.00/ul
2. Peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin.
24
Dua syarat klinis awal ditambah syarat laboratorium sudah cukup untuk mendiagnosis DBD. Adanya
pembesaran hepar dengan dua syarat klinis awal mengarah ke DBD sebelum onset kebocoran plasma.
Adanya efusi pleura (dari foto thoraks atau ultrasound) merupakan bukti paling objektif
selain adanya hipoalbuminemia yang merupakan bukti tambahan. Hal ini berguna untuk diagnosis
DBD pada pasien :
anemia
perdarahan hebat
ketika tidak ada data dasar hematokrit pasien sebelum sakit
kenaikan hematokrit <20% karena terapi intravena awal telah diberikan
Pada kasus dengan syok, nilai hematokrit yang tinggi dan trombositopenia nyata mengarahkan
diagnosis DSS.
Gambar 6. Manifestasi mayor/perubahan patofisiologi pada DBD
Keparahan DBD dibagi menjadi 4 derajat :
25
DERAJAT TANDA & GEJALA LABORATORIUM
DD
Demam 2-7 hari Disertai > 2 tanda : Sakit
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam merah, manifestasi perdarahan
Tidak ada bukti kebocoran plasma
Leukopenia (≤ 5000 sel/mm3)
Trombositopeni (<150.000 sel/mm3)
Hematokrit ↑ (5% - 10%) Kebocoran Plasma (-)
DBD I
Demam Manifestasi perdarahan
(test tourniquet +) Ada bukti kebocoran
plasmaTrombositopeni
(<100.000/ul)
Peningkatan Ht > 20 %
Penurunan Ht > 20 % setelah
pemberian cairan yang
adekuat
II Derajat I dan perdarahan
spontan
DBD / DSS
III
Derajat I atau II kegagalan sirkulasi (nadi
lemah, tekanan darah menyempit (≤20 mmHg), hipotensi, gelisah)
IV
Derajat III Syok hebat (nadi dan
tekanan darah tidak terdeteksi)
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi Demam Dengue
DD dengan perdarahan dapat terjadi jika pasien memiliki penyakit dasar seperti ulkus
peptikum, trombositopenia berat dan trauma.
Komplikasi DHF
Biasanya terjadi karena syok berat/syok berkepanjangan yang mengarah ke asidosis
metabolik dan perdarahan sebagai hasil DIC dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hepar dan
ginjal. Hal yang lebih penting, penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma
dapat menyebabkan efusi pleura yang masif sehingga dapat mengakibatkan gangguan nafas, acute
pulmonary congestion dan/atau gagal jantung. Terapi cairan yang tetap dilanjutkan meskipun periode
kebocoran plasma sudah lewat dapat menyebabkan oedema paru akut atau gagal jantug. Selain itu,
syok berat/syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak tepat dan menyebabkan
26
ketidakseimbangan metabolik/elektrolit. Kelainan metabolik yang sering ditemukan ialah
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan seringkali, hiperglikemi. Kelainan ini dapat mengarah
ke manifestasi lainnya yang jarang terjadi, seperti ensefalopati.
X. PENATALAKSANAAN
Manajemen syok : DHF Grade 3
“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) adalah syok hipovolemik yang
disebabkan kebocoran plasma dan ditandai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik
yang bermanifestasi dengan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik yang sempit. Ketika
terjadi hipotensi, harus dicurigai adanya perdarahan masif dan seringkali ialah perdarahan saluran
cerna yang tidak diketahui.
Resusitasi cairan pada DSS berbeda dengan tipe syok lainnya seperti syok septik. Banyak
kasus DSS akan berespon dengan 10 ml/kg pada anak-anak selama 1 jam. Secara lebih rinci,
pemberian cairan sebaiknya mengikuti grafik dibawah ini.
27
Gambar 7. Laju pemberian infus pada kasus DSS
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) harus dieperiksa pada keadaan syok maupun tidak syok
ketika tidak ada perbaikan setelah pemberian cairan pengganti yang adekuat.
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium (ABCS)
Jumlah cairan IV harus dikurangi ketika perfusi perifer membaik, tetapi tetap dilanjutkan
untuk durasi minimal selama 24 jam dan boleh dihentikan dalam waktu 36 – 48 jam. Pemberian
cairan yang berlebihan dapat menyebabkan efusi masif karena peningkatan permeabilitas kapiler.
Penggantian cairan pada pasien dengan DSS seperti diilustrasikan di bawah.
28
Gambar 8. Alur penanganan pada DSS
Manajemen syok berkepanjangan/ syok hebat: DHF Grade 4
Resusitasi cairan awal pada CHF grade 4 lebih banyak dan lebih cepat dalam mengembalikan
tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secepat mungkin dengan ABCS dan
mencari keterlebitan organ. Hipotensi walaupun minimal harus diatas secara agresif. 10 ml/kg harus
diberikan secepat mungkin, idealnya dalam 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan darah sudah
kembali normal, cairan IV dilanjutkan seperti terapi cairan pada grade 3. Bila syok tidak teratasi
setelah pemberian awal 10 ml/kg, pemberian ulang bolus 10 ml/kg dan hasil laoratorium harus
diperiksa dan dikoreksi secepat mungkin. Transfusi darah segera harus dipertimbangkan sebagai
tahap selanjutnya dan diikuti dengan monitor ketat (kateter urin, central venous pressure).
Penggembalian tekanan darah sangatlah penting untuk menyelamatkan pasien dan jika tidak
dapat dicapai dalam waktu yang singkat maka prognosis sangatlah hebat. Inotropik dapat digunakan
untuk mengembalikan tekanan darah, jika penggantian volume cairan telah diberikan adekuat pada
29
keadaan pasien dengan central venous pressure (CVP) yang tinggi, dengan kardiomegali, atau pada
pasien yang telah diketahui memiliki kontraktilitas kardiak yang jelek.
Jika tekanan darah telah dikembalikan setelah terapi cairan dengan atau tanpa transfusi darah,
tetapi terjadi gangguan organ, pasien harus diberikan terapi secara suportif yang benar (dialysis
peritoneal, continuous renal replacement therapy, ventilasi mekanik).
Jika akses intravena tidak dapat dicapai, coba dengan oral rehydration solution jika pasien
sadar atau dengan rute intraosseus jika sebaliknya. Rute intraosseus dapat menyelamatkan nyawa dan
harus dapat dicapai setelah 2 – 5 menit atau setelah dua kali gagal mecoba akses vena perifer atau
setelah rute oral.
Manajemen pada keadaan perdarahan masif
Jika sumber perdarahan sudah diidentifikasi, penanganan untuk menghentikan perdarahan jika
memungkinkan. Epitaksis yang hebat, sebagai contohnya, dapat diatasi dengan diberikan tampon.
Transfusi darah segera dapat menyelamatkan nyawa dan seharusnya tidak ditunda sampai
hematokrit turun ke nilai rendah. Jika darah yang keluar dapat diketahui kuantitasnya, maka harus
diganti. Namun, jika tidak diketahui kuantitasnya, fresh whole blood 10 ml/kg atau packed red cells
(PRC) 5 ml/kg dapat diberikan dan dievaluasi responnya. Pasien mungkin membutuhkan satu atau
lebih transfusi darah.
Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonists dan proton pump inhibitors (PPI) telah dipakai,
tapi tidak ada penelitian yang membuktikan efikasinya.
Tidak ada bukti dalam menggunakan komponen darah seperti, trombocyte concentrates (TC), fresh
frozen plasma atau cryoprecipitate. Pemakaiannya dapat menyebabkan kelebihan cairan.
Recombinant factor VII dapat membantu pada kradaan pasien tanpa kegagalan organ, tapi sangatlah
mahal dan tidak tersedia.
Manajemen pasien risiko tinggi
Pasien obesitas mempunyai cadangan respiratori yang lebih rendah dan harus lebih hati – hati untuk
menghindari kelebihan cairan infus intravena. Berat badan ideal yang didapatkan dengan memplot
kurva pertumbuhan WHO pada P50 digunakan untuk menghitung resusitasi cairan dan dilakukan
penggantian cairan, koloid dapat dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Jika pasien sudah
stabil, furosemid diberikan untuk menginduksi diuresis.
Bayi juga memiliki cadangan respiratori yang lebih rendah dan lebih rentan untuk gangguan hati
dan ketidakseimbangan elektrolit. Pada pasien bayi, durasi kebocoran plasma lebih singkat dan
30
biasanya berespon cepat pada resusitasi cairan sehingga pada bayi evaluasi harus lebih sering untuk
input cairan oral dan output urin.
Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: pasien ini dalam risiko hemolisis dan membutuhkan
transfusi darah. Pada pasien ini harus lebih waspada karena dapat terjadi hipokalsemia dan
kelebihan cairan bila diberikan cairan dan terapi alkalisasi.
Terapi anti – koagulan harus dihentikan sementara waktu selama periode kritis.
Insulan intravena biasanya dibutuhkan untuk mengkontrol kadar gula darah pada pasien dengue
dengan diabetes mellitus. Kritaloid yang tanpa glukosa dapat digunakan.
Manajemen pada pasien dengan perbaikan
Perbaikan ditandai dengan parameter klinis, nafsu makan dan keadaan umum pasien.
Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda vital yang stabil harus
diobservasi.
Penurunan kadar hemotokrit ke nilai normal batas bawah atau lebih rendah dan diuresis biasanya
diobservasi.
Cairan intravena harus dihentikan.
Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hipervolemia mungkin terjadi dan terapi diuretik harus
diberikan untuk mencegah edem paru.
Hipokalemia dapat terjadi karena stress dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah – buahan
yang kaya dengan ptasium atau suplemen.
Bradikardia biasanya ditemukan dan membutuhkan monitor ketat untuk menghindari kompikasi
yang mungkin terjadi walaupun jarang, seperti heart blok atau ventricular premature contraction
(VPC).
Ruam merah (rash) konvalesens ditemukan pada 20 – 30% pasien.
Tanda – tanda perbaikan
Denyut nadi, tekanan darah dan laju pernapasan yang stabil.
Temperatur normal
Tidak ada tanda perdarahan eksternal maupun internal
Nafsu makan baik
Output urin yang baik
Nilai hematokrit stabil di nilai normal batas bawah
Konvalsens petechie rash atau gatal – gatal, khususnya pada ekstremitas.
Kriteria untuk memulangkan pasien
31
Tidak demam selama 24 jam tanpa terapi antipiretik
Nafsu makan baik
Perbaikan klinis yang keliatan
Output urin yang cukup
Minimum hari ke 2 – 3 sudah lewat setelah perbaikan dari syok
Tidak ada respiratory distress dari efusi pleura dan tidak ada ascites
Nilai trombosit yang lebihdari 50.000/mm3. Jika tidak, pasien direkomendasi untuk menghindari
aktivitas traumatik minimal selama 1 – 2 minggu agar nilai trombosit menjadi normal. Pada
kebanyakan kasus yang tidak kompleks, nilai trombosit naik ke normal dalam 3 – 5 hari
Manajemen komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi ialah kelebihan cairan. Cara mendeteksi kelebihan
cairan :
Tanda dan gejala awalnya ialah edema palpebra, distensi abdomen (ascites), takipnea, dispnea
ringan.
Tanda dan gejala lanjutan termasuk yang disebutkan di atas, dan dengan distress respiratori sedang
sampai berat, nafas yang cepat dan wheezing (bukan dikarenakan asma) yang merupakan tanda
awal edema paru, bersama ditemukannya krepitasi. Pasien gelisah dan pusing adalah tanda hipoksia
dan kegagagalan nafas yang sedang berlangsung.
Manajemen kelebihan cairan
Meninjau jumlah terapi cairan intravena dan keadaan klinis, serta memeriksa dan
memperbaiki ABCS (Acidosis, Bleeding, Calcium, Blood sugar). Semua cairan hipotonik harus
dihentikan.
Pada tahap awal kelebihan cairan, ganti cairan dari kristaloid ke koloid sebagai cairan bolus.
Dextran 40 efektif dengan 10 mg/kg infus bolus, tetapi dosis dibatasi sampai 30 ml/kg/hari karena
efeknya pada ginjal. Dextran 40 diekskresi di urin dan dapat mempengaruhi osmolaritas urin. Pasien
dapat mengeluhkan urin yang ‘lengket’ karena molekul Dextran 40 yang hiperonkotik
(osmolaritasnya dua kali dari plasma). Voluven lebih efektif (osmolaritas = 308 mosmole) dan dosis
maksimal pemberiannya adalah 50 ml/kg/hari. Selain itu, hydrosyethylstarch (HES) 6% dengan berat
molukel sedang (BM 100.000 – 300.000) dapat dipilih sebagai cairan koloid yang mempunyai sealing
effect dan dapat mempertahankan volume intravaskuler lebih lama (4 – 6 jam). Namun, tidak ada
penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan keefektifannya pada kasus DHF/DSS.
32
Pada tahap akhir kelebihan cairan atau pada pasien dengan edem paru yang hebat, furosemid
dapat diberikan jika tanda vital pasien stabil. furosemid diberikan secara IV 1 mg/kg/dosis. Hal –hal
tertentu yang perlu diperhatikan :
Pasien ini harus dipasang kateter kandung kemih untuk monitor output urin tiap jam.
Setelah pemberian furosemid, tanda vital harus dimonitor setiap 15 menit selama satu jam.
Jika setelah pemberian furosemid tidak ada output urin, periksa status volume intravaskular
(CVP). Jika adekuat, sebab karena pre–renal dapat dihilangkan, dan dapat disimpulkan pasien
dalam keadaan acute renal failure. Pasien ini mungkin membutuhkan ventilator. Jika volume
intravaskular tidak adekuat atau tekanan darah tidak stabil, periksa ABCS (Acidosis,
Bleeding, Calcium, Blood Sugar) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
Pada kasus dimana pasien tidak berespon dengan pemberian furosemid (tidak didapatkan
urin), pemberian furosemid ulang atau memberii dosis dua kali dari dosis awal
direkomendasikan. Jika telah terjadi kegagalan ginjal, renal replacement therapy harus
dilakukan secepat mungkin karena memiliki prognosis yang jelek.
Tindakan invasif dengan melakukan pungsi pada pleura dan/atau perut dapat diindikasikan
dan dapat menyelamatkan nyawa pada keadaan dengan distress pernapasan yang berat dan
gagal dalam penanganan seperti yang dijelaskan di atas. Hal ini harus dilakukan dengan
sangat hati–hati karena perdarahan adalah komplikasi yang paling serius dan dapat
menyebabkan kematian. Penjelasan mengenai komplikasi dan prognosis dengan keluarga
harus diberikan sebelum melakukan prosedur ini.
Manajemen ensefalopati
Terkadang demam dengue/ demam berdarah dengue bermanifestasi dengan tanda gejala yang
melibatkan central nevous sistem, walaupun jarang, seperti kejang dan/atau koma. Sekarang ini,
terjadi peningkatan jumlah kasus DHF yang telah dilaporkan dengan infeksi CNS, dibuktikan dengan
isolasi virus dari larutan cerebrospinal (LCS) atau dari otak.
Kebanyakan pasien dengan ensefalopati didapatkan juga hepatic encephalopathy. Dasar
penanganan hepatic ensephalopathy adalah untuk menghindari peningkatan TIK. Pencitraan radilogi
otak (CT-scan atau MRI) direkomendasikan jika tersedia untuk membuktikan tidak adanya
perdarahan intrakranial. Rekomendasi terapi suportif untuk keadaan ini :
Jaga oksigenasi jalan napas dengan terapi oksigen. Mencegah/mengurangi TIK dengan cara:
o Berikan cairan IV minimal untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat; secara ideal
jumlah cairan IV tidak boleh >80% dari cairan rumatan.
o Ganti ke cairan koloid jika nilai hematokrit terus naik dan volume cairan IV dibutuhkan pada
kasus kebocoran plasama yang parah.
33
o Berikan diuretik jika diindikasi pada kasus dengan tanda dan gejala kelebihan cairan.
o Memposisikan pasien berbaring dengan kepala 300.
o Intubasi awal untuk mencegah hiperkapnia dan jaga jalan napas.
o Memepertimbangkan pemberian steroid untuk mengurangi TIK. Berikan dexamethasone 0,15
mg/kg/dosis IV setiap 6-8 jam.
Mengurangi produksi ammonia dengan cara :
o Berikan lactulose 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
o Antibiotik lokal dapat mematikan flora usus; ini tidak wajib diberikan jika antibiotik sistemik
telah diberikan.
Jaga kadar gula darah 80 – 100 mg/dl . Rekomendasi glucose infusion rate (GIR) ialah antara 4 – 6
mg/kg/jam.
Koreksi asam-basa dan ketidakseimbangan elektrolit, contohnya hipo/hipernatremi,
hipo/hiperkalemi, hipokalsemi dan asidosis.
Pemberian vitamin K IV; 3 mg untuk umur < 1 tahun, 5 mg untuk usia < 5 tahun dan 10 mg untuk
usia > 5 tahun.
Antikonvulsi harus diberikan untuk mengkontrol kejang: fenobarbital, dilantin dan IV diazepam
diindikasikan.
Transfusi darah, lebih dipilih packed red cells (PRC), seperti yang diindikasikan. Komponen darah
lainnya seperti trombocyte concentrate (TC) dan fresh frozen plasma (FFP) sebaiknya tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Terapi antibiotik empiris diindikasikan jika dicurigai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.
H-2 blockers atau proton pump inhibitors (PPI) dapat diberikan untuk menanggulangi perdarahan
saluran cerna.
Hindari penggunaan obat berlebih karena umumnya obat dimetabolisme di hati.
Pertimbangkan plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy jika terjadi
perburukan.
Terapi cairan
1. Kristaloid
Larutan Ringer laktat (RL) dan NaCl 0,9% dapat didistribusikan dan mengisi kompartemen
intersisial pada volume yang sama, sehingga kurang efektif untuk ekspansi volume intravaskuler,
jika dibandingkan koloid. RL akan baik hasilnya bila diberikan pada defisit primer air dan
elektrolit dengan tujuan memperbaiki volume ekstravaskuler seperti pada diare akut dengan
dehidrasi. Apabila RL ditujukan untuk memperbaiki volume ekstravaskuler, diperlukan dalam
jumlah besar. Penurunan osmolaritas plasma dan edema serebri dapat terjadi karena terbentuk
34
114 ml air bebas setiap pemberian 1 liter RL. Efek pro-koagulannya juga meningkatkan efek
samping deep vein thrombosis (DVP) dan emboli paru.
2. Koloid
a. Koloid alami
Albumin merupakan koloid alami yang dapat digunakan sebagai koloid pertama untuk
ekspansi volume. Tetapi penggunaannya sangat terbatas karena harganya yang mahal. Meta-
analisis pada penelitian albumin pada penderita sakit kritis menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna terhadap jumlah pasien yang bertahan hidup baik pada golongan yang
mendapatkan albumin maupun dengan golongan kristaloid.
b. Koloid sintetik
Dextran
Terdiri dari campuran polimer glukosa dengan BM rata – rata 40 kD (Dextran 40), 60
kD (Dextran 60), dan 70 kD (Dextran 70). Dextran 40 sering dipakai dan dapat menyebabkan
peningkatan volume plasma 130-200% pada keadaan tidak ada kebocoran vaskuler.
Penggunaan Dextran untuk terapi cairan tidak efektif karena akan keluar dari intravaskuler ke
dalam kompartemen intersisial. Dextran dapat mempengaruhi koagulasidan meningkatkan
risiko perdarahan. Reaksi anafilaksis sampai syok anafilaksis sering terjadi pada pemberian
dextran.
Kanji hidroksietil (Hydroxyethyl Starch = HES)
Famili hidroksietil terdiri dari berbagai kelompok senyawa – senyawa dengan
farmakokinetik dan efek samping yang berbeda, didapatkan dari kanji hidroksietil (diperoleh
dari jagung). Karakteristik kanji ditentukan oleh berat molekul (BM 130 – 450 kD) dan
derajat hidroksietilasi yang ditentukan oleh derajat substitusi (0,45 – 0,7) dan substitusi
karbon pada molekul glukosa (C2, C3, dan C6). Efek samping akan meningkat sebanding
dengan BM. Senyawa – senyawa dengan substitusi tinggi, dieliminasikan lebih banyak oleh
sistem retikuloendotelial dan membawa risiko akumulasi jaringan. Secara keseluruhan
kemampuan ekspansi HES baik, berkisar 100 – 120%.
Efek koloid yang menguntungkan
Efek pada tekanan onkotik koloid
Penelitian membuktikan HES mempunyai kemampuan meningkatkan tekanan
onkotik. Demikian juga dextran 70 dapat meningkatkan tekanan koloid onkotik plasma.
Efek pada volume darah
Semua koloid dapat meningkatkan volume darah, tingkatan dan durasi efek ini
bervariasi tergantung pada tipe koloid.
Efek menyumpal (Sealing effect)
35
Penelitian pada tikus dengan kerusakan endotelial akibat terbakar menunjukkan
bahwa fraksi HES dengan BM 100.000 – 300.000 Dalton, sama seperti HES 200/0,5
memiliki sealing effect yang lebih baik dari pada grup yang menerima albumin 5%, ringer
laktat, HES dengan BM <50.000 atau >300.000 Dalton.
Efek pada aliran darah regional
Mengembalikan aliran darah regional seperti splangnik dan renal.
Efek pada mikrosirkulasi
Dextran 40 memiliki pengaruh yang baik pada mikrosirkulasi karena menurunkan
viskositas, mengganggu formasi rouleux dan menrunkan daya adesif leukosit. HES dengan
BM 130.000 (HES 130/0,4) terbukti dapat memperbaiki mikrosirkulasi melalui peningkatan
perfusi kapiler dan memperbaiki hemoreologi, dan meningkatnya transpor oksigen. Efek HES
130/0,4 lebih aman karena pengaruhnya pada hemostasis sedikit, tidak ada akumulasi dalam
plasma, penimbunan dalam jaringan sangat sedikit dan tidak mempunyai efek terhadap sistem
inflamasi serta tidak mengganggu fungsi ginjal. Dosis maksimal 50 ml/kg/hari.
Efek koloid sintetik yang merugikan
Bergantung pada jenis koloid sintetik dan dosisnya. Pada dextran efek yang merugikan
tergantung dengan BM dan untuk HES tergantung pada derajat substitusi. Efek merugikan yang
utama adalah :
Gelatin (Gelofusin) Kanji (HES) Dextran
Reaksi anafilaktik Tidak biasa Tidak biasa Biasa dan parah
Efek pada koagulasi TidakYa
(tergantung dosis)Ya
Keracuanan ginjal Tidak Ya Ya (dosis tinggi)
Keracunan hati Tidak Mungkin Tidak
Akumulasi jaringan Tidak Ya Tidak
Pembatasan penggunaan pada gagal ginjal
Tidak Ya Tidak
Efek pada sistem koagulasi
Koloid mempengaruhi sistem koagulasi melalui dilusi faktor – faktor koagulasi.
Koloid sintetik dapat memiliki efek tambahan pada koagulasi lewat penurunan vWF dan
kemudian akan menyebabkan penurunan pada daya adhesi trombosit.
36
Dextran akan memperpanjang waktu perdarahan dengan mempengaruhi vWF dan
mengganggu fungsi trombosit. Dextran berinteraksi dengan polimerasi fibrin. Efek pada
hemostasis lebih nyata dengan penggunaan dextran BM tinggi, sehingga pemakaian dextran pada
pasien sakit kritis harus dibatasi.
HES dilaporkan meningkatkan perdarahan berhubungan dengan penurunan vWF. Fibrin
dapat menurun sebagai akibat polimerasi fibrin yang dipercepat. Penggunaan HES berulang
dengan dosis kecil menyebabkan gangguan hemostasis dan dihubungkan dengan manifestasi
perdarahan.
Penelitian pada SSD dengan menggunakan HES 200/0,5 sebagai cairan awal dengan
dosis maksima 30 ml/kgBB tidak menunjukkan gangguan hemostasis yang nyata. Oleh
karenanya, rekomendasi untuk penggunaan kanji biasanya dilengkapi dengan pembatasan dosis
dan durasi.
Efek yang merugikan pada koagulasi lebih sering diamati sesudah penggunaan berulang
HES dengan BM tinggi dan derajat substitusi tinggi.
Efek pada fungsi ginjal
Dextran dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal karena tekanan onkotik yang meningkat
akan menurunkan laju filtrasi glomerular.
Penelitian terhadap HES 200/0,6 pada sepsis berat 33 ml/kgBB pada hari pertama dan 20
ml/kgBB selama 4 hari sampai dosis kumulatif 80 ml/kgBB dapat mengganggu fungsi ginjal.
Penelitian HES pada SSD dengan dosis maksimal 30 ml/kgBB tidak menunjukkan gangguan
fungsi ginjal.
Walaupun penelitian HES terhadap fungsi ginjal berbeda, perlu kewaspadaan yang tinggi
dalam pengguanaan HES terutama dengan derajat substitusi tinggi pada pasien kritis, atau yang
berisiko timbul gangguan fungsi ginjal.
Akumulasi jaringan
Eliminasi gelatin dan dextran dapat tereliminasi sempurna, sedangkan degradasi HES
oleh α-amilae lebih kompleks. Derajat substitusi mempengaruhi eliminasi HES, derajat sunstitusi
yang tinggi akan cenderung berakumulasi pada jaringan retikuloendotel, kulit dan saraf. Risiko
akumulasi jaringan lebih besar pada keadaan gagal ginjal, sehinggan pengguanaan HES tidak
dianjurkan pada gagal ginjal anurik.
37
Efek antiinflamasi HES
HES terbukti menghambat molkul adhesi, seperti endothelial leucocyte ahesion
molecule–1 (ELAM–1), slCAM–1, sVCAM–1 yang dalam proses inflamasi berperan dalam
aktivasi leukosit dan menyebabkan kerusakan endotel, kebocoran vaskuler dan disfungsi/ gagal
organ multipel.
Penggunaan HES 200/0,6 pada anak dengan SSD
Kelompok I(Kel. Kontrol/ RL)
Kelompok II(Kel. Perlakuan/ HES)
Lama syok teratasi 7,9 jam 2,3 jam
Mortalitas (%) 26,67 6,67
Efusi pleura ringan 2 -
Efusi pleura sedang 7 4
Efusi pleura berat 21 -
Acute Lung Injury (ALI) 4 1
ARDS 6 2
Lama rawat di ICU 13,5 6
Transfusi darah 30 8
Kristaloid dibanding koloid
Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang intestisial, sedangakan
koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspani ke volume intravaskuler dengan
menarik cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa
mengurangi volume interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibanding koloid. Pada keadaan
permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke dalam ruang interstisial
dan akan meningkatkan tekanan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat
menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan pengiriman oksigen ke
jaringan (D02) dan konsumsi 02 (V02) serta menurunkn laktat serum. D02 dan V02 dapat menjadi
indikator untuk mengetahui prognosis pasien.
38
Efek terhadap volume intravaskuler
Antara ruang intravaskuler dan interstisial dibatasi oleh dinding kapiler, yang permiabel
terhadap air dan elektrolit tetapi impermeable terhadap molekul makro (protein plasma). Cairan
dapat melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik turun
maka tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intravaskuler ke
interstitial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid karena
kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan ekstravaskuler, hanya sekitar 20% elektrolit
yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering
dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi
hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipervolemia yang tidak sengaja. Khususnya pada pasien
dengan penyakit jantung.
Kristaloid akan menyebabkan hipovolemia pasca resusitasi. Resusitasi dengan kristaloid
dan koloid sampai saat ini masih kontroversi.
Efek terhadap volume interstisial
Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstisial. Pada syok hemoragik
terjadi defisit cairan intertisial. Pendapat lain menyatakan volume cairan hemoragik meningkat
pasca syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini masih dapat diterima, karena pada
syok hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstisial sedang pada syok hemoragik lanjut
atau syok septik akan terjadi perubahan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstisial
meningkat. Pada keadaan cairan interstisial berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk
mengganti defisit volume dibanding koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstisial. Jika volume cairan
interstisial bertambah, maka maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif, karena
caitran interstisial akan berpindah ke ruang intarvaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi
reaksi – reaksi yang tidak diinginkan seperti gangguan hemostatis yang berhubungan dengan
dosis. Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 30ml/kg/hari.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Demam Berdarah Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen
Kesehatan RI. 2006.
3. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews. 1998.Vol 11,
No 3 ;480-496.
4. Comprehensive Guidelines for Prevention and control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
WHO. 2011.
5. Elmy S, BNP Arhana, dkk. Obesitas Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri.
Desember 2009. Vol 11, No. 4.
6. Ery Leksana. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/ Bag. Anastesi dan Terapi Intensif FK Undip
Semarang. 2004.
40