Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

35
TINJAUAN PUSTAKA DENGUE SHOCK SYNDROME PENDAHULUAN Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola penyebaran penyakit infeksi virus Dengue sejak 1780 – 1949 memiliki kecenderungan epidemik dan lebih banyak di daerah tropis. (1,2,3,4,5,6) Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. (1,2,3,4.5) Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah 15

description

Dengue Shock Syndrome

Transcript of Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Page 1: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

TINJAUAN PUSTAKA

DENGUE SHOCK SYNDROME

PENDAHULUAN

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia

sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu

infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-kadang

disebut juga sebagai demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan

penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola penyebaran penyakit infeksi virus Dengue

sejak 1780 – 1949 memiliki kecenderungan epidemik dan lebih banyak di daerah tropis. (1,2,3,4,5,6)

Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan

dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue

sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan

penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini

menyebar ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan

di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. (1,2,3,4.5)

Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam

berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD

dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global. (1,2,3)

SINDROM SYOK DENGUE

Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan

tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat

menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang

tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam

Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). (1,2,3)

15

Page 2: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

I. DEFINISI

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai

dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan

merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang

berakibat fatal. (1,2,3)

II. ETIOLOGI

Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu

DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype

terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang

bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain sangat kurang, sehingga tidak

dapat memberiikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang

tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat

serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan

virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat

serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang

dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (1,2,3)

Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan

A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu

manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada

saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur

berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan

kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat

ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak

di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di

tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 - 7 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk

menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah

demam timbul.(1,2)

16

Page 3: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

III. EPIDEMIOLOGI

Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak

dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka

kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini

DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian

luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi

berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga

2% tahun 1999. (1,2,)

Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu

yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk

jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,

maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya

infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat

pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.(2)

IV. FAKTOR RISIKO

DBD dapat menjadi lebih parah dan komplikasinya pada keadaan :

Bayi dan lansia Obesitas

Wanita hamil

Ulkus peptikum

Perempuan yang sedang menstruasi atau adanya perdarahan abnormal pada jalan lahir

Penyakit hemolitik seperti glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G-6PD), thalasemia dan

hemoglobinopati lainnya

17

Page 4: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Penyakit jantung kongenital

Penyakit kronik seperti diabetes melitus, hipertensi, asma, penyakit jantung koroner, gagal ginjal

kronik, sirosis hepar

Pasien yang sedang menjalani terapi dengan steroid atau NSAID

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadi komplikasi penyakit DBD yang tersering

yaitu DSS. Obesitas berarti terjadi penumpukan jaringan lemak akibat peningkatan jumlah dan besar

sel adiposit. Diantara jaringan lemak yang ada, jaringan lemak putih yaitu sel adiposit jaringan lemak

putih yang mensekresikan dan melepaskan sitokin pro-inflamasi TNFα (tumour necrosis factor α) dan

beberapa interleukin (IL) yaitu IL-1, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas akan terjadi peningkatan ekspresi

TNFα dan IL-6 sedangkan pada DSS terjadi produksi TNFα, IL-1, IL-6 dan IL-8. Namun, hubungan

mengenai peningkatan ekspresi TNFα dan Il-6 pada obesitas ikut berperan dalam menyebabkan DBD

menjadi DSS sehingga keadaan obesitas berisiko lebih tinggi mengalami DSS atau tidak masih belum

jelas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP

Sanglah Densapar, didapatkan kesimpulan bahwa obesitas adalah faktor risiko terjadinya syok pada

DBD. Risiko SSD pada anak obese 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak non-obese

(p=0,009).

V. PATOGENESIS

Salah satu teori dasar patogenesis DBD ialah infeksi sekunder (teori secondary heterologous

infection). DBD dapat terjadi pada pasien yang terinfeksi pertama kali, walaupun kebanyakan kasus

DBS terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara terjadinya DBD/SSD dan infeksi

dengue sekunder melibatkan sistem imun pada patogenesis DBD. Baik innate immunity seperti sistem

komplemen dan sel NK dan mediated immunity terlibat dalam proses ini. Peningkatan dari aktivasi

pertahanan tubuh, pada infeksi sekunder, mengakibatkan respon sitokin yang berlebih sehingga

terjadi perubahan pada permeabilitas pembuluh darah. Sebagai tambahan, virus juga menghasilkan

produk seperti NS1 yang berperan dalam mengaktivasi komplemen dan permeabilitas pembuluh

darah.

18

Page 5: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

Efek sitokin yang bervariasi pada permeabilitas pembuluh darah merupakan patogenesis

DBD. Tetapi pengaruh sitokin ini pada DBD masih belum diketahui. Penelitian menggambarkan pola

respon sitokin mungkin berkorelasi dengan pola cross-recognition of dengue-spesific T-cells. Cross-

reactive T-cells menampilkan penurunan menurun secara fungsional pada aktivitas sitolitiknya tetapi

menampilkan peningkatan produksi sitokin termasuk TNF-a, IFN-g dan chemokines. TNF-a

berhubungan dengan manifestasi yang parah seperti perdarahan pada beberapa hewan model.

Peningkatan permeabilitas vaskular dapat juga dimediasi oleh sistem komplemen. Peningkatan level

fragmen komplemen telah diketahui pada DBD. Beberapa komponen seperti C3a dan C5a diketahui

memliki efek dalam meningkatkan permeabilitas.

Karakteristik DBD adalah terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang

mengakibatkan kebocoran plasma, volume intravaskuler yang berkurang dan syok pada kasus yang

berat. Kebocoran ini unik karena bersifat selektif yaitu di pleura dan cavitas peritoneal dan periode

kebocoran ialah singkat (24 – 48 jam). Pemulihan syok yang singkat tanpa sekuele dan tidak adanya

inflamasi pada pleura dan peritoneum mengindikasikan perubahan fungsional pada integritas vaskular

dibandingkan kerusakan struktural dari endothelium sebagai mekanisme dasar. Hal ini sesuai dengan

hipotesis immune enhancement.

19

Page 6: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan

agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.

Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai

akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan

pengeluaran ADP (adenosin di-phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan

menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial sistem) sehingga terjadi

trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III

mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata),

ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor

pembekuan.(2,3)

Gambar 4. Patogenesis pendarahan pada DBD

20

Page 7: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun

jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan

menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu

peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif

pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan

fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat

syok yang terjadi.(2,3)

Penelitian yang terbaru, antigen NS1 dari virus dengue diketahui mengatur aktifasi

komplemen dan memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingkat viral protein, NS1, lebih tinggi

pada pasien DBD. Begitu juga dengan viral load yang didapatkan lebih tinggi pada pasien DBD

dibandingkan dengan pasien DD. derajat viral load diketahui memiliki korelasi dengan derajat

keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan trombositopenia.

VI. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan

tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus sehingga dapat bsifat asimptomatik,

atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah

dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).(1,2,3)

Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala

prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas.(1)

Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

21

Page 8: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Demam Dengue

Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back

fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan

timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)

kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7

terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Pada

keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti :

epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. (1,2,3,4)

Demam Berdarah Dengue

Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka

kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering

ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah

memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan

tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase

awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna

ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable

sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam,

pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi

yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang

terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. (1,2,3,4)

Sindrom Syok Dengue

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit

ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai

dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,

hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang. Kebanyakan pasien masih

tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak

adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,

perdarahan hebat saluran cerna. infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over

hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada

masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi

atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan

kembalinya nafsu makan.(1,2,3,4)

22

Page 9: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG(4)

Hitung jenis sel darah putih dapat normal atau dengan dominan neutorfil pada fase awal demam.

Kemudian, dapat terjadi penurunan jumlah sel darah putih dan neutrofil, pada fase akhir demam.

Perubahan hitung jumlah sel darah putih (≤5000 sel/mm3) dan perbandingan neutrofil dengan

limfosit (neutrofil<limfosit) berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Hal ini

mengawali trombositopenia atau peningkatan hematokrit. Limfositosis relative dengan peningkatan

limfosit atipikal umumnya didapatkan pada fase akhir demam hingga konvaselens. Perubahan ini

juga didapatkan pada DD.

Nilai trombosit biasanya normal selama fase awal febris. Penurunan ringan dapat ditemukan

kemudian. Penurunan mendadak nilai trombosit hingga dibawah 100.000 terjadi pada akhir fase

demam sebelum onset syok. Nilai trombosit berkolerasi dengan keparahan DBD. Fungsi trombosit

pun terganggu. Perubahan ini hanya terjadi dalam durasi pendek dan kembali ke normal selama

konvalesens.

Nilai hematokrit normal pada fase awal febris. Peningkatan ringan dapat terjadi karena demam

tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan mendadak hematokrit terjadi bersamaan atau tak lama

setelah penurunan nilai trombosit. Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit dari 20% nilai

awal, contohnya dari nilai hematokrit 35% menjadi ≥42% ialah bukti objektif adanya kebocoran

plasma.

Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan hasil laboratorium yang selalu ditemukan pada

DBD. Penurunan nilai trombosit hingga 100.000 sel/mm3 biasanya ditemukan antara hari ketiga dan

hari kesepuluh hari sakit. Peningkatan nilai hematokrit terjadi pada semua kasus DBD, khususnya

pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan nilai hematokrit meningkat 20% atau lebih merupakan

bukti yang lebih objektif adanya kebocoran plasma. Hematokrit dapat dipengaruhi dengan resusitasi

volume awal dan dengan perdarahan.

Penemuan tersering lainnya adalah hipoproteinemia/albuminemia (akibat dari kebocoran plasma0,

hiponatremia, dan peningkatan ringan nilai serum aspartate aminotransferase (≤200 U/L) dengan

rasio AST:ALT>2.

Albuminuria ringan yang sementara (transient).

Adanya darah pada feses, terutama jika pada pasien terjadi perdarahan gastrointestinal.

Pada banyak kasus, terjadi penurunan fibrinogen, prothrombin, factor VIII, factor XII dan

antithrombin III. Penurunan antiplasmin (plasmin inhibitor) dapat terjadi pada beberapa kasus. Pada

kaus yang berat dengan disfungsi liver, penurunan didapatkan pada vitamin K-dependent

prothrombin co-factors, seperti factor V,VII,IX dan X.

Partial thromboplastin time dan prothrombin time memanjang pada setengah hingga sepertiga

kasus DBD. Thrmbin time juga memanjang pada kasus yang parah.

Hiponatremia seringkali didapatkan pada kasus DBD dan hiponatremia hebat pada keadaan syok.

23

Page 10: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Hipokalsemia didapatkan pada semua kasus DBD, kadar kalsium lebih rendah pada derajat 3 dan

4.

Asidosis metabolik seringkali ditemukan pada syok yang berkepanjangan. Blood urea nitrogen

(BUN) meningkat pada syok yang berkepanjangan.

Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus dengue (cell culture) atau

deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun

teknik ini rumit. Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik

terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai hari ke-3 sampai ke-5, meningkat

sampai minggu 3, dan menghilang setelah 60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi

primer, dan terdeteksi pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.(1)

Pada pemeriksaan radiologis pada posisi lateral dekubitus kanan bisa ditemukan efusi pleura,

terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit.(1,2)

VIII. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 2011 (4)

Demam Berdarah Dengue & DSS

Klinis

1. Demam tinggi mendadak dan terus – menerus 2-7 hari

2. Manifestasi perdarahan, berupa :

Tes rumple leed (+)

Petechie, purpura, ekimosis

Perdarahan mukosa, gusi, epitaksis

Hematemesis melena

3. Hepatomegali

4. Syok, tanda-tandanya :

Nadi < 20 (lemah dan cepat)

TD Sistolik ≤ 80 mmHg

Kulit dingin dan lembab

Gelisah

Mulut sianosis

Laboratorium

1. Trombositopenia < 100.00/ul

2. Peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin.

24

Page 11: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Dua syarat klinis awal ditambah syarat laboratorium sudah cukup untuk mendiagnosis DBD. Adanya

pembesaran hepar dengan dua syarat klinis awal mengarah ke DBD sebelum onset kebocoran plasma.

Adanya efusi pleura (dari foto thoraks atau ultrasound) merupakan bukti paling objektif

selain adanya hipoalbuminemia yang merupakan bukti tambahan. Hal ini berguna untuk diagnosis

DBD pada pasien :

anemia

perdarahan hebat

ketika tidak ada data dasar hematokrit pasien sebelum sakit

kenaikan hematokrit <20% karena terapi intravena awal telah diberikan

Pada kasus dengan syok, nilai hematokrit yang tinggi dan trombositopenia nyata mengarahkan

diagnosis DSS.

Gambar 6. Manifestasi mayor/perubahan patofisiologi pada DBD

Keparahan DBD dibagi menjadi 4 derajat :

25

Page 12: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

DERAJAT TANDA & GEJALA LABORATORIUM

DD

Demam 2-7 hari Disertai > 2 tanda : Sakit

kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam merah, manifestasi perdarahan

Tidak ada bukti kebocoran plasma

Leukopenia (≤ 5000 sel/mm3)

Trombositopeni (<150.000 sel/mm3)

Hematokrit ↑ (5% - 10%) Kebocoran Plasma (-)

DBD I

Demam Manifestasi perdarahan

(test tourniquet +) Ada bukti kebocoran

plasmaTrombositopeni

(<100.000/ul)

Peningkatan Ht > 20 %

Penurunan Ht > 20 % setelah

pemberian cairan yang

adekuat

II Derajat I dan perdarahan

spontan

DBD / DSS

III

Derajat I atau II kegagalan sirkulasi (nadi

lemah, tekanan darah menyempit (≤20 mmHg), hipotensi, gelisah)

IV

Derajat III Syok hebat (nadi dan

tekanan darah tidak terdeteksi)

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi Demam Dengue

DD dengan perdarahan dapat terjadi jika pasien memiliki penyakit dasar seperti ulkus

peptikum, trombositopenia berat dan trauma.

Komplikasi DHF

Biasanya terjadi karena syok berat/syok berkepanjangan yang mengarah ke asidosis

metabolik dan perdarahan sebagai hasil DIC dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hepar dan

ginjal. Hal yang lebih penting, penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma

dapat menyebabkan efusi pleura yang masif sehingga dapat mengakibatkan gangguan nafas, acute

pulmonary congestion dan/atau gagal jantung. Terapi cairan yang tetap dilanjutkan meskipun periode

kebocoran plasma sudah lewat dapat menyebabkan oedema paru akut atau gagal jantug. Selain itu,

syok berat/syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak tepat dan menyebabkan

26

Page 13: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

ketidakseimbangan metabolik/elektrolit. Kelainan metabolik yang sering ditemukan ialah

hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan seringkali, hiperglikemi. Kelainan ini dapat mengarah

ke manifestasi lainnya yang jarang terjadi, seperti ensefalopati.

X. PENATALAKSANAAN

Manajemen syok : DHF Grade 3

“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) adalah syok hipovolemik yang

disebabkan kebocoran plasma dan ditandai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik

yang bermanifestasi dengan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik yang sempit. Ketika

terjadi hipotensi, harus dicurigai adanya perdarahan masif dan seringkali ialah perdarahan saluran

cerna yang tidak diketahui.

Resusitasi cairan pada DSS berbeda dengan tipe syok lainnya seperti syok septik. Banyak

kasus DSS akan berespon dengan 10 ml/kg pada anak-anak selama 1 jam. Secara lebih rinci,

pemberian cairan sebaiknya mengikuti grafik dibawah ini.

27

Page 14: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Gambar 7. Laju pemberian infus pada kasus DSS

Pemeriksaan laboratorium (ABCS) harus dieperiksa pada keadaan syok maupun tidak syok

ketika tidak ada perbaikan setelah pemberian cairan pengganti yang adekuat.

Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium (ABCS)

Jumlah cairan IV harus dikurangi ketika perfusi perifer membaik, tetapi tetap dilanjutkan

untuk durasi minimal selama 24 jam dan boleh dihentikan dalam waktu 36 – 48 jam. Pemberian

cairan yang berlebihan dapat menyebabkan efusi masif karena peningkatan permeabilitas kapiler.

Penggantian cairan pada pasien dengan DSS seperti diilustrasikan di bawah.

28

Page 15: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Gambar 8. Alur penanganan pada DSS

Manajemen syok berkepanjangan/ syok hebat: DHF Grade 4

Resusitasi cairan awal pada CHF grade 4 lebih banyak dan lebih cepat dalam mengembalikan

tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secepat mungkin dengan ABCS dan

mencari keterlebitan organ. Hipotensi walaupun minimal harus diatas secara agresif. 10 ml/kg harus

diberikan secepat mungkin, idealnya dalam 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan darah sudah

kembali normal, cairan IV dilanjutkan seperti terapi cairan pada grade 3. Bila syok tidak teratasi

setelah pemberian awal 10 ml/kg, pemberian ulang bolus 10 ml/kg dan hasil laoratorium harus

diperiksa dan dikoreksi secepat mungkin. Transfusi darah segera harus dipertimbangkan sebagai

tahap selanjutnya dan diikuti dengan monitor ketat (kateter urin, central venous pressure).

Penggembalian tekanan darah sangatlah penting untuk menyelamatkan pasien dan jika tidak

dapat dicapai dalam waktu yang singkat maka prognosis sangatlah hebat. Inotropik dapat digunakan

untuk mengembalikan tekanan darah, jika penggantian volume cairan telah diberikan adekuat pada

29

Page 16: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

keadaan pasien dengan central venous pressure (CVP) yang tinggi, dengan kardiomegali, atau pada

pasien yang telah diketahui memiliki kontraktilitas kardiak yang jelek.

Jika tekanan darah telah dikembalikan setelah terapi cairan dengan atau tanpa transfusi darah,

tetapi terjadi gangguan organ, pasien harus diberikan terapi secara suportif yang benar (dialysis

peritoneal, continuous renal replacement therapy, ventilasi mekanik).

Jika akses intravena tidak dapat dicapai, coba dengan oral rehydration solution jika pasien

sadar atau dengan rute intraosseus jika sebaliknya. Rute intraosseus dapat menyelamatkan nyawa dan

harus dapat dicapai setelah 2 – 5 menit atau setelah dua kali gagal mecoba akses vena perifer atau

setelah rute oral.

Manajemen pada keadaan perdarahan masif

Jika sumber perdarahan sudah diidentifikasi, penanganan untuk menghentikan perdarahan jika

memungkinkan. Epitaksis yang hebat, sebagai contohnya, dapat diatasi dengan diberikan tampon.

Transfusi darah segera dapat menyelamatkan nyawa dan seharusnya tidak ditunda sampai

hematokrit turun ke nilai rendah. Jika darah yang keluar dapat diketahui kuantitasnya, maka harus

diganti. Namun, jika tidak diketahui kuantitasnya, fresh whole blood 10 ml/kg atau packed red cells

(PRC) 5 ml/kg dapat diberikan dan dievaluasi responnya. Pasien mungkin membutuhkan satu atau

lebih transfusi darah.

Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonists dan proton pump inhibitors (PPI) telah dipakai,

tapi tidak ada penelitian yang membuktikan efikasinya.

Tidak ada bukti dalam menggunakan komponen darah seperti, trombocyte concentrates (TC), fresh

frozen plasma atau cryoprecipitate. Pemakaiannya dapat menyebabkan kelebihan cairan.

Recombinant factor VII dapat membantu pada kradaan pasien tanpa kegagalan organ, tapi sangatlah

mahal dan tidak tersedia.

Manajemen pasien risiko tinggi

Pasien obesitas mempunyai cadangan respiratori yang lebih rendah dan harus lebih hati – hati untuk

menghindari kelebihan cairan infus intravena. Berat badan ideal yang didapatkan dengan memplot

kurva pertumbuhan WHO pada P50 digunakan untuk menghitung resusitasi cairan dan dilakukan

penggantian cairan, koloid dapat dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Jika pasien sudah

stabil, furosemid diberikan untuk menginduksi diuresis.

Bayi juga memiliki cadangan respiratori yang lebih rendah dan lebih rentan untuk gangguan hati

dan ketidakseimbangan elektrolit. Pada pasien bayi, durasi kebocoran plasma lebih singkat dan

30

Page 17: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

biasanya berespon cepat pada resusitasi cairan sehingga pada bayi evaluasi harus lebih sering untuk

input cairan oral dan output urin.

Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: pasien ini dalam risiko hemolisis dan membutuhkan

transfusi darah. Pada pasien ini harus lebih waspada karena dapat terjadi hipokalsemia dan

kelebihan cairan bila diberikan cairan dan terapi alkalisasi.

Terapi anti – koagulan harus dihentikan sementara waktu selama periode kritis.

Insulan intravena biasanya dibutuhkan untuk mengkontrol kadar gula darah pada pasien dengue

dengan diabetes mellitus. Kritaloid yang tanpa glukosa dapat digunakan.

Manajemen pada pasien dengan perbaikan

Perbaikan ditandai dengan parameter klinis, nafsu makan dan keadaan umum pasien.

Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda vital yang stabil harus

diobservasi.

Penurunan kadar hemotokrit ke nilai normal batas bawah atau lebih rendah dan diuresis biasanya

diobservasi.

Cairan intravena harus dihentikan.

Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hipervolemia mungkin terjadi dan terapi diuretik harus

diberikan untuk mencegah edem paru.

Hipokalemia dapat terjadi karena stress dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah – buahan

yang kaya dengan ptasium atau suplemen.

Bradikardia biasanya ditemukan dan membutuhkan monitor ketat untuk menghindari kompikasi

yang mungkin terjadi walaupun jarang, seperti heart blok atau ventricular premature contraction

(VPC).

Ruam merah (rash) konvalesens ditemukan pada 20 – 30% pasien.

Tanda – tanda perbaikan

Denyut nadi, tekanan darah dan laju pernapasan yang stabil.

Temperatur normal

Tidak ada tanda perdarahan eksternal maupun internal

Nafsu makan baik

Output urin yang baik

Nilai hematokrit stabil di nilai normal batas bawah

Konvalsens petechie rash atau gatal – gatal, khususnya pada ekstremitas.

Kriteria untuk memulangkan pasien

31

Page 18: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Tidak demam selama 24 jam tanpa terapi antipiretik

Nafsu makan baik

Perbaikan klinis yang keliatan

Output urin yang cukup

Minimum hari ke 2 – 3 sudah lewat setelah perbaikan dari syok

Tidak ada respiratory distress dari efusi pleura dan tidak ada ascites

Nilai trombosit yang lebihdari 50.000/mm3. Jika tidak, pasien direkomendasi untuk menghindari

aktivitas traumatik minimal selama 1 – 2 minggu agar nilai trombosit menjadi normal. Pada

kebanyakan kasus yang tidak kompleks, nilai trombosit naik ke normal dalam 3 – 5 hari

Manajemen komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi ialah kelebihan cairan. Cara mendeteksi kelebihan

cairan :

Tanda dan gejala awalnya ialah edema palpebra, distensi abdomen (ascites), takipnea, dispnea

ringan.

Tanda dan gejala lanjutan termasuk yang disebutkan di atas, dan dengan distress respiratori sedang

sampai berat, nafas yang cepat dan wheezing (bukan dikarenakan asma) yang merupakan tanda

awal edema paru, bersama ditemukannya krepitasi. Pasien gelisah dan pusing adalah tanda hipoksia

dan kegagagalan nafas yang sedang berlangsung.

Manajemen kelebihan cairan

Meninjau jumlah terapi cairan intravena dan keadaan klinis, serta memeriksa dan

memperbaiki ABCS (Acidosis, Bleeding, Calcium, Blood sugar). Semua cairan hipotonik harus

dihentikan.

Pada tahap awal kelebihan cairan, ganti cairan dari kristaloid ke koloid sebagai cairan bolus.

Dextran 40 efektif dengan 10 mg/kg infus bolus, tetapi dosis dibatasi sampai 30 ml/kg/hari karena

efeknya pada ginjal. Dextran 40 diekskresi di urin dan dapat mempengaruhi osmolaritas urin. Pasien

dapat mengeluhkan urin yang ‘lengket’ karena molekul Dextran 40 yang hiperonkotik

(osmolaritasnya dua kali dari plasma). Voluven lebih efektif (osmolaritas = 308 mosmole) dan dosis

maksimal pemberiannya adalah 50 ml/kg/hari. Selain itu, hydrosyethylstarch (HES) 6% dengan berat

molukel sedang (BM 100.000 – 300.000) dapat dipilih sebagai cairan koloid yang mempunyai sealing

effect dan dapat mempertahankan volume intravaskuler lebih lama (4 – 6 jam). Namun, tidak ada

penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan keefektifannya pada kasus DHF/DSS.

32

Page 19: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Pada tahap akhir kelebihan cairan atau pada pasien dengan edem paru yang hebat, furosemid

dapat diberikan jika tanda vital pasien stabil. furosemid diberikan secara IV 1 mg/kg/dosis. Hal –hal

tertentu yang perlu diperhatikan :

Pasien ini harus dipasang kateter kandung kemih untuk monitor output urin tiap jam.

Setelah pemberian furosemid, tanda vital harus dimonitor setiap 15 menit selama satu jam.

Jika setelah pemberian furosemid tidak ada output urin, periksa status volume intravaskular

(CVP). Jika adekuat, sebab karena pre–renal dapat dihilangkan, dan dapat disimpulkan pasien

dalam keadaan acute renal failure. Pasien ini mungkin membutuhkan ventilator. Jika volume

intravaskular tidak adekuat atau tekanan darah tidak stabil, periksa ABCS (Acidosis,

Bleeding, Calcium, Blood Sugar) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.

Pada kasus dimana pasien tidak berespon dengan pemberian furosemid (tidak didapatkan

urin), pemberian furosemid ulang atau memberii dosis dua kali dari dosis awal

direkomendasikan. Jika telah terjadi kegagalan ginjal, renal replacement therapy harus

dilakukan secepat mungkin karena memiliki prognosis yang jelek.

Tindakan invasif dengan melakukan pungsi pada pleura dan/atau perut dapat diindikasikan

dan dapat menyelamatkan nyawa pada keadaan dengan distress pernapasan yang berat dan

gagal dalam penanganan seperti yang dijelaskan di atas. Hal ini harus dilakukan dengan

sangat hati–hati karena perdarahan adalah komplikasi yang paling serius dan dapat

menyebabkan kematian. Penjelasan mengenai komplikasi dan prognosis dengan keluarga

harus diberikan sebelum melakukan prosedur ini.

Manajemen ensefalopati

Terkadang demam dengue/ demam berdarah dengue bermanifestasi dengan tanda gejala yang

melibatkan central nevous sistem, walaupun jarang, seperti kejang dan/atau koma. Sekarang ini,

terjadi peningkatan jumlah kasus DHF yang telah dilaporkan dengan infeksi CNS, dibuktikan dengan

isolasi virus dari larutan cerebrospinal (LCS) atau dari otak.

Kebanyakan pasien dengan ensefalopati didapatkan juga hepatic encephalopathy. Dasar

penanganan hepatic ensephalopathy adalah untuk menghindari peningkatan TIK. Pencitraan radilogi

otak (CT-scan atau MRI) direkomendasikan jika tersedia untuk membuktikan tidak adanya

perdarahan intrakranial. Rekomendasi terapi suportif untuk keadaan ini :

Jaga oksigenasi jalan napas dengan terapi oksigen. Mencegah/mengurangi TIK dengan cara:

o Berikan cairan IV minimal untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat; secara ideal

jumlah cairan IV tidak boleh >80% dari cairan rumatan.

o Ganti ke cairan koloid jika nilai hematokrit terus naik dan volume cairan IV dibutuhkan pada

kasus kebocoran plasama yang parah.

33

Page 20: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

o Berikan diuretik jika diindikasi pada kasus dengan tanda dan gejala kelebihan cairan.

o Memposisikan pasien berbaring dengan kepala 300.

o Intubasi awal untuk mencegah hiperkapnia dan jaga jalan napas.

o Memepertimbangkan pemberian steroid untuk mengurangi TIK. Berikan dexamethasone 0,15

mg/kg/dosis IV setiap 6-8 jam.

Mengurangi produksi ammonia dengan cara :

o Berikan lactulose 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.

o Antibiotik lokal dapat mematikan flora usus; ini tidak wajib diberikan jika antibiotik sistemik

telah diberikan.

Jaga kadar gula darah 80 – 100 mg/dl . Rekomendasi glucose infusion rate (GIR) ialah antara 4 – 6

mg/kg/jam.

Koreksi asam-basa dan ketidakseimbangan elektrolit, contohnya hipo/hipernatremi,

hipo/hiperkalemi, hipokalsemi dan asidosis.

Pemberian vitamin K IV; 3 mg untuk umur < 1 tahun, 5 mg untuk usia < 5 tahun dan 10 mg untuk

usia > 5 tahun.

Antikonvulsi harus diberikan untuk mengkontrol kejang: fenobarbital, dilantin dan IV diazepam

diindikasikan.

Transfusi darah, lebih dipilih packed red cells (PRC), seperti yang diindikasikan. Komponen darah

lainnya seperti trombocyte concentrate (TC) dan fresh frozen plasma (FFP) sebaiknya tidak

diberikan karena kelebihan cairan dapat menyebabkan peningkatan TIK.

Terapi antibiotik empiris diindikasikan jika dicurigai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.

H-2 blockers atau proton pump inhibitors (PPI) dapat diberikan untuk menanggulangi perdarahan

saluran cerna.

Hindari penggunaan obat berlebih karena umumnya obat dimetabolisme di hati.

Pertimbangkan plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy jika terjadi

perburukan.

Terapi cairan

1. Kristaloid

Larutan Ringer laktat (RL) dan NaCl 0,9% dapat didistribusikan dan mengisi kompartemen

intersisial pada volume yang sama, sehingga kurang efektif untuk ekspansi volume intravaskuler,

jika dibandingkan koloid. RL akan baik hasilnya bila diberikan pada defisit primer air dan

elektrolit dengan tujuan memperbaiki volume ekstravaskuler seperti pada diare akut dengan

dehidrasi. Apabila RL ditujukan untuk memperbaiki volume ekstravaskuler, diperlukan dalam

jumlah besar. Penurunan osmolaritas plasma dan edema serebri dapat terjadi karena terbentuk

34

Page 21: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

114 ml air bebas setiap pemberian 1 liter RL. Efek pro-koagulannya juga meningkatkan efek

samping deep vein thrombosis (DVP) dan emboli paru.

2. Koloid

a. Koloid alami

Albumin merupakan koloid alami yang dapat digunakan sebagai koloid pertama untuk

ekspansi volume. Tetapi penggunaannya sangat terbatas karena harganya yang mahal. Meta-

analisis pada penelitian albumin pada penderita sakit kritis menunjukkan tidak ada perbedaan

bermakna terhadap jumlah pasien yang bertahan hidup baik pada golongan yang

mendapatkan albumin maupun dengan golongan kristaloid.

b. Koloid sintetik

Dextran

Terdiri dari campuran polimer glukosa dengan BM rata – rata 40 kD (Dextran 40), 60

kD (Dextran 60), dan 70 kD (Dextran 70). Dextran 40 sering dipakai dan dapat menyebabkan

peningkatan volume plasma 130-200% pada keadaan tidak ada kebocoran vaskuler.

Penggunaan Dextran untuk terapi cairan tidak efektif karena akan keluar dari intravaskuler ke

dalam kompartemen intersisial. Dextran dapat mempengaruhi koagulasidan meningkatkan

risiko perdarahan. Reaksi anafilaksis sampai syok anafilaksis sering terjadi pada pemberian

dextran.

Kanji hidroksietil (Hydroxyethyl Starch = HES)

Famili hidroksietil terdiri dari berbagai kelompok senyawa – senyawa dengan

farmakokinetik dan efek samping yang berbeda, didapatkan dari kanji hidroksietil (diperoleh

dari jagung). Karakteristik kanji ditentukan oleh berat molekul (BM 130 – 450 kD) dan

derajat hidroksietilasi yang ditentukan oleh derajat substitusi (0,45 – 0,7) dan substitusi

karbon pada molekul glukosa (C2, C3, dan C6). Efek samping akan meningkat sebanding

dengan BM. Senyawa – senyawa dengan substitusi tinggi, dieliminasikan lebih banyak oleh

sistem retikuloendotelial dan membawa risiko akumulasi jaringan. Secara keseluruhan

kemampuan ekspansi HES baik, berkisar 100 – 120%.

Efek koloid yang menguntungkan

Efek pada tekanan onkotik koloid

Penelitian membuktikan HES mempunyai kemampuan meningkatkan tekanan

onkotik. Demikian juga dextran 70 dapat meningkatkan tekanan koloid onkotik plasma.

Efek pada volume darah

Semua koloid dapat meningkatkan volume darah, tingkatan dan durasi efek ini

bervariasi tergantung pada tipe koloid.

Efek menyumpal (Sealing effect)

35

Page 22: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Penelitian pada tikus dengan kerusakan endotelial akibat terbakar menunjukkan

bahwa fraksi HES dengan BM 100.000 – 300.000 Dalton, sama seperti HES 200/0,5

memiliki sealing effect yang lebih baik dari pada grup yang menerima albumin 5%, ringer

laktat, HES dengan BM <50.000 atau >300.000 Dalton.

Efek pada aliran darah regional

Mengembalikan aliran darah regional seperti splangnik dan renal.

Efek pada mikrosirkulasi

Dextran 40 memiliki pengaruh yang baik pada mikrosirkulasi karena menurunkan

viskositas, mengganggu formasi rouleux dan menrunkan daya adesif leukosit. HES dengan

BM 130.000 (HES 130/0,4) terbukti dapat memperbaiki mikrosirkulasi melalui peningkatan

perfusi kapiler dan memperbaiki hemoreologi, dan meningkatnya transpor oksigen. Efek HES

130/0,4 lebih aman karena pengaruhnya pada hemostasis sedikit, tidak ada akumulasi dalam

plasma, penimbunan dalam jaringan sangat sedikit dan tidak mempunyai efek terhadap sistem

inflamasi serta tidak mengganggu fungsi ginjal. Dosis maksimal 50 ml/kg/hari.

Efek koloid sintetik yang merugikan

Bergantung pada jenis koloid sintetik dan dosisnya. Pada dextran efek yang merugikan

tergantung dengan BM dan untuk HES tergantung pada derajat substitusi. Efek merugikan yang

utama adalah :

Gelatin (Gelofusin) Kanji (HES) Dextran

Reaksi anafilaktik Tidak biasa Tidak biasa Biasa dan parah

Efek pada koagulasi TidakYa

(tergantung dosis)Ya

Keracuanan ginjal Tidak Ya Ya (dosis tinggi)

Keracunan hati Tidak Mungkin Tidak

Akumulasi jaringan Tidak Ya Tidak

Pembatasan penggunaan pada gagal ginjal

Tidak Ya Tidak

Efek pada sistem koagulasi

Koloid mempengaruhi sistem koagulasi melalui dilusi faktor – faktor koagulasi.

Koloid sintetik dapat memiliki efek tambahan pada koagulasi lewat penurunan vWF dan

kemudian akan menyebabkan penurunan pada daya adhesi trombosit.

36

Page 23: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Dextran akan memperpanjang waktu perdarahan dengan mempengaruhi vWF dan

mengganggu fungsi trombosit. Dextran berinteraksi dengan polimerasi fibrin. Efek pada

hemostasis lebih nyata dengan penggunaan dextran BM tinggi, sehingga pemakaian dextran pada

pasien sakit kritis harus dibatasi.

HES dilaporkan meningkatkan perdarahan berhubungan dengan penurunan vWF. Fibrin

dapat menurun sebagai akibat polimerasi fibrin yang dipercepat. Penggunaan HES berulang

dengan dosis kecil menyebabkan gangguan hemostasis dan dihubungkan dengan manifestasi

perdarahan.

Penelitian pada SSD dengan menggunakan HES 200/0,5 sebagai cairan awal dengan

dosis maksima 30 ml/kgBB tidak menunjukkan gangguan hemostasis yang nyata. Oleh

karenanya, rekomendasi untuk penggunaan kanji biasanya dilengkapi dengan pembatasan dosis

dan durasi.

Efek yang merugikan pada koagulasi lebih sering diamati sesudah penggunaan berulang

HES dengan BM tinggi dan derajat substitusi tinggi.

Efek pada fungsi ginjal

Dextran dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal karena tekanan onkotik yang meningkat

akan menurunkan laju filtrasi glomerular.

Penelitian terhadap HES 200/0,6 pada sepsis berat 33 ml/kgBB pada hari pertama dan 20

ml/kgBB selama 4 hari sampai dosis kumulatif 80 ml/kgBB dapat mengganggu fungsi ginjal.

Penelitian HES pada SSD dengan dosis maksimal 30 ml/kgBB tidak menunjukkan gangguan

fungsi ginjal.

Walaupun penelitian HES terhadap fungsi ginjal berbeda, perlu kewaspadaan yang tinggi

dalam pengguanaan HES terutama dengan derajat substitusi tinggi pada pasien kritis, atau yang

berisiko timbul gangguan fungsi ginjal.

Akumulasi jaringan

Eliminasi gelatin dan dextran dapat tereliminasi sempurna, sedangkan degradasi HES

oleh α-amilae lebih kompleks. Derajat substitusi mempengaruhi eliminasi HES, derajat sunstitusi

yang tinggi akan cenderung berakumulasi pada jaringan retikuloendotel, kulit dan saraf. Risiko

akumulasi jaringan lebih besar pada keadaan gagal ginjal, sehinggan pengguanaan HES tidak

dianjurkan pada gagal ginjal anurik.

37

Page 24: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Efek antiinflamasi HES

HES terbukti menghambat molkul adhesi, seperti endothelial leucocyte ahesion

molecule–1 (ELAM–1), slCAM–1, sVCAM–1 yang dalam proses inflamasi berperan dalam

aktivasi leukosit dan menyebabkan kerusakan endotel, kebocoran vaskuler dan disfungsi/ gagal

organ multipel.

Penggunaan HES 200/0,6 pada anak dengan SSD

Kelompok I(Kel. Kontrol/ RL)

Kelompok II(Kel. Perlakuan/ HES)

Lama syok teratasi 7,9 jam 2,3 jam

Mortalitas (%) 26,67 6,67

Efusi pleura ringan 2 -

Efusi pleura sedang 7 4

Efusi pleura berat 21 -

Acute Lung Injury (ALI) 4 1

ARDS 6 2

Lama rawat di ICU 13,5 6

Transfusi darah 30 8

Kristaloid dibanding koloid

Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang intestisial, sedangakan

koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspani ke volume intravaskuler dengan

menarik cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa

mengurangi volume interstisial.

Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibanding koloid. Pada keadaan

permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke dalam ruang interstisial

dan akan meningkatkan tekanan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat

menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.

Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan pengiriman oksigen ke

jaringan (D02) dan konsumsi 02 (V02) serta menurunkn laktat serum. D02 dan V02 dapat menjadi

indikator untuk mengetahui prognosis pasien.

38

Page 25: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

Efek terhadap volume intravaskuler

Antara ruang intravaskuler dan interstisial dibatasi oleh dinding kapiler, yang permiabel

terhadap air dan elektrolit tetapi impermeable terhadap molekul makro (protein plasma). Cairan

dapat melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik turun

maka tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intravaskuler ke

interstitial.

Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid karena

kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan ekstravaskuler, hanya sekitar 20% elektrolit

yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering

dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi

hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipervolemia yang tidak sengaja. Khususnya pada pasien

dengan penyakit jantung.

Kristaloid akan menyebabkan hipovolemia pasca resusitasi. Resusitasi dengan kristaloid

dan koloid sampai saat ini masih kontroversi.

Efek terhadap volume interstisial

Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstisial. Pada syok hemoragik

terjadi defisit cairan intertisial. Pendapat lain menyatakan volume cairan hemoragik meningkat

pasca syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini masih dapat diterima, karena pada

syok hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstisial sedang pada syok hemoragik lanjut

atau syok septik akan terjadi perubahan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstisial

meningkat. Pada keadaan cairan interstisial berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk

mengganti defisit volume dibanding koloid.

Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstisial. Jika volume cairan

interstisial bertambah, maka maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif, karena

caitran interstisial akan berpindah ke ruang intarvaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi

reaksi – reaksi yang tidak diinginkan seperti gangguan hemostatis yang berhubungan dengan

dosis. Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 30ml/kg/hari.

39

Page 26: Tinjauan Pustaka DENGUE SHOCK SYNDROME

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006

2. Pedoman Tatalaksana Klinis Demam Berdarah Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen

Kesehatan RI. 2006.

3. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews. 1998.Vol 11,

No 3 ;480-496.

4. Comprehensive Guidelines for Prevention and control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.

WHO. 2011.

5. Elmy S, BNP Arhana, dkk. Obesitas Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri.

Desember 2009. Vol 11, No. 4.

6. Ery Leksana. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/ Bag. Anastesi dan Terapi Intensif FK Undip

Semarang. 2004.

40