faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

79
TESIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR I MADE SUGANDA YATRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

Page 1: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

i

TESIS

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME

PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG

DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR

I MADE SUGANDA YATRA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

ii

TESIS

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME

PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG

DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR

I MADE SUGANDA YATRA

NIM. 1392161033

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

iii

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME

PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG

DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I MADE SUGANDA YATRA

NIM. 1392161033

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 8 JULI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK

NIP. 195805211985031002

dr. I Wayan Gede Artawan Eka P., M.Epid

NIP. 198104042006041005

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

NIP. 194810101977021001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

NIP. 195902151985102001

Page 5: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji

Tanggal 8 Juli 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor pada

Universitas Udayana, No : 2024/UN14.4/HK/2015 Tanggal 7 Juli 2015

Ketua : Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK

Anggota :

1. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid

2. Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

3. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi

4. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD

Page 6: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

v

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT

Nama : I Made Suganda Yatra

NIM : 1392161033

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul : FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK

SYNDROME PADA PASIEN DEMAM BERDARAH

DENGUE YANG DIRAWAT INAP DI RSUD

WANGAYA KOTA DENPASAR

Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas

plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini,

maka saya bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun

2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Juli 2015

Yang membuat pernyataan,

I Made Suganda Yatra

Page 7: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Perkenankanlah pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebsesar-besarnya kepada Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK,

sebagai pembimbing I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan

motivasi. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. I Wayan

Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, sebagai pembimbing II yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

Ucapan yang sama pula penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan

kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis

sebagai mahasiswa Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Pada kesempatan

ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH,

Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi, dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD.

selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dan, saran. Penulis ingin juga

pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada anakku tercinta

Susmitha Sundari yang selalu memberiku semangat dan kasih sayang yang dalam

untuknya serta terima kasih pada teman teman MIKM V yang saling memberikan

dukungan.

Semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Penulis,

Page 8: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

vii

ABSTRAK

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME PADA

PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG IRAWAT INAP

DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular

yang masih menjadi masalah kesehatan di Provinsi Bali termasuk di Kota Denpasar.

Dalam satu tahun terakhir telah terjadi angka kesakitan DBD sebesar 217,72/100.000

yang sebagian besar kasus DBD di Kota Denpasar dirawat di RSUD Wangaya.

Kematian karena penyakit DBD di Kota Denpasar juga selalu ada setiap tahun.

Kewaspadaan dini terhadap syok membuat rasa ingin tahu peneliti untuk mengetahui

hubungan faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, lama demam sebelum MRS,

riwayat infeksi DBD sebelumnya, jaminan kesehatan, kelas perawatan, peningkatan

hematokrit, penurunan trombosit dengan terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS).

Faktor risiko tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi penegakkan diagnosis

dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat.

Desain penelitian ini adalah penelitian kasus kontrol. Kasus yaitu pasien yang

didiagnosa DSS bertempat tinggal di Kota Denpasar dan berdasarkan hasil

konfirmasi laboratorium. Sedangkan kontrol adalah semua pasien DBD bertempat

tinggal di Kota Denpasar yang dirawat inap namun tidak mengalami kejadian DSS.

Data subjek penelitian diambil dari data rekam medik RSUD Wangaya selama tahun

2013-2014. Analisis secara bivariat dan multivariat dengan ukuran asosiasi dari nilai

Odds Ratio (OR) untuk mengetahui pengaruh faktor risiko terhadap kejadian DSS.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui variabel yang bermakna sebagai faktor

yang meningkatkan risiko kejadian DSS pada penderita DBD adalah umur <15 tahun

dengan OR sebesar 2,5 (95%CI= 0,94-6,88), riwayat pernah infeksi DBD diperoleh

OR= 11,6 (95%CI= 1,83-73,96), lama demam sebelum MRS ≥4 hari OR= 5,5

(95%CI= 2,03-14,96), trombosit MRS <50/cm3 OR= 5,2 (95%CI= 1,88-14,36),

hematokrit MRS ≥42% OR= 2,8 (95%CI= 1,02-7,68), dan perawatan kelas III OR=

2,9 (95%CI= 1,01-8,29). Sedangkan variabel jenis kelamin tidak terbukti

meningkatkan risiko kejadian DSS.

Meningkatkan promosi kesehatan dalam upaya mencegah dan mengendalikan

DSS, perlu lebih waspada jika ada pederita yang pernah terinfeksi DBD sebelumnya

dan agar tidak sampai terlambat berobat ke pelayanan kesehatan atau rumah sakit.

Kata kunci: Faktor risiko, DSS, DBD

Page 9: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

viii

ABSTRACT

RISK FACTORS FOR DENGUE SHOCK SYNDROME

EVENTS IN THE DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER PATIENS

IN WANGAYA HOSPITAL DENPASAR CITY

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease remains a health

problem in Bali Province including in Denpasar City. In the last years there have

been dengue morbidity rate amounted to 217,72/100.000 and the majority of dengue

cases treated in Wangaya Hospital Denpasar City. The dengue mortality in Denpasar

is also always there every year. The clinical manifestations are highly variabel,

complex pathogenicity, and the presence of different areas, make us difficult to

predict the course of the dengue disease moreover assess the occurrence of Dengue

Shock Syndrome (DSS). Early precountions against shock make the curiosity of

researchers to investigate the relationship risk factors of age, sex, duration of fever

before entering hospital, a history of previous dengue infection, health insurance,

nursing class, increased hematocrit, decreased platelet with the DSS. The risk factor

is very important for the diagnosis and beneficial to public health.

The research design is a case-control study. Cases in which patients were

diagnosed with DSS risiding in Denpasar and based on the results of laboratory

confirmation. While the controls are all dengue patients residing in Denpasar who

hospitalized and diagnosed as DHF but no DSS events by the clinicans. Data subjects

were collected from medical record are treated in Wangaya Hospital during 2013-

2014. Univariate and multivariate analysis with the value Odds Ratio (OR) to

determine the effect of risk factors on the incidence of DSS.

The results shows, significant variables as factors that increase the risk of

DSS events in patients with DHF were age <15 years with an OR= 2.5 (95%CI=

0,94-6,88), a history of previous dengue infection OR= 11.6 (95%CI= 1.83-73.96),

duration of fever before entering hospital ≥4 days OR= 5.5 (95%CI= 2.03-14.96),

platelet admission <50/cm3 OR= 5.2 (95%CI= 1.88-14.36), hematocrit admission

≥42% OR= 2.8 (95%CI= 1.02-7.68), and Class III treatment OR= 2.9 (95%CI= 1.01-

8.29). While gender variable is not shown to increase the risk factor of DSS.

Health promotion improvement to prevent and control DSS, it is need to be

more vigilant if there are people who ever infected with dengue and so it was not

until late medical treatment or hospital services.

Keywords: Risk factor, DSS, DHF

Page 10: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

ix

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM................................. . ................................................................. i

PRASYARAT GELAR .......................... .................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN .................... .................................................................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS .............................................................. iv

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT .......................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH .................. .................................................................. vi

ABSTRAK .............................................. .................................................................. vii

ABSTRACT.............................................. ............................................................... viii

DAFTAR ISI…. .................................... ……………………………..................... ix

DAFTAR GAMBAR .............................. .................................................................. xi

DAFTAR TABEL................................... .................................................................. xii

DAFTAR SINGKATAN ........................ ................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................. .................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................ .................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian .............................. .................................................................. 7

1.4 Manfaat Penelitian ............................ .................................................................. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Penyakit DBD ............ .................................................................. 10

2.2 Diagnosis DBD ................................. .................................................................. 12

2.3 Derajat Beratnya DBD/DSS ............. .................................................................. 14

2.4 Tatalaksana DBD/DSS ..................... .................................................................. 16

2.5 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian DSS .................................... 18

2.5.1 Umur ........................................ .................................................................. 19

2.5.2 Jenis Kelamin ........................... .................................................................. 20

2.5.3 Lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS) .................................. 21

2.5.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya .............................................................. 23

2.5.5 Hematokrit ............................... .................................................................. 25

2.5.6 Trombosit ................................. .................................................................. 26

Page 11: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

x

2.5.7 Kelas perawatan ....................... .................................................................. 27

2.5.8 Jaminan kesehatan ................... .................................................................. 28

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir............................. .................................................................. 29

3.2 Konsep Penelitian ............................. .................................................................. 31

3.3 Hipotesis Penelitian .......................... .................................................................. 31

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Disain Penelitian ............................... .................................................................. 33

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......... .................................................................. 34

4.3 Definisi Kasus dan Kontrol............... .................................................................. 34

4.3.1 Definisi dan sumber kasus ....... .................................................................. 34

4.3.2 Definisi dan sumber Kontrol.... .................................................................. 34

4.4 Populasi dan Sampel ......................... .................................................................. 35

4.4.1 Populasi penelitian ................... .................................................................. 35

4.4.2 Besar sampel ............................ .................................................................. 35

4.4.3 Cara pengambilan sampel untuk mendapatkan faktor risiko ...................... 36

4.5 Identifikasi Variabel ......................... .................................................................. 38

4.6 Definisi Operasional Variabel .......... .................................................................. 39

4.7 Sumber, Metode dan Tehnik Pengumpulan Data ................................................ 41

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Tempat Penelitian............ .................................................................. 44

5.2 Karakteristik Sampel Penelitian........ .................................................................. 46

5.3 Penentuan Faktor Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD ............................ 46

5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko Kejadian DSS ............................................... 49

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Hubungan Variabel dengan Kejadian DSS .......................................................... 52

6.2 Keterbatasan Penelitian.................... .................................................................. 60

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ........................................... .................................................................. 61

7.2 Saran ................................................ .................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA ............................. .................................................................. 63

LAMPIRAN

Page 12: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pola demam penyakit DBD .................................................................. 22

Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD ............................................... 24

Gambar 3.1 Konsep Modifikasi Segitiga Epidemiologi ........................................... 30

Gambar 3.2 Kerangka Konsep ................ .................................................................. 31

Gambar 4.1 Design Penelitian Case Control ............................................................. 33

Page 13: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Hasil Analisis Bivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada

Penderita DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar tahun 2013-2014 ...................................................................... 47

Tabel 5.2 Hasil Analisis Multivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada

Penderita DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar tahun 2013-2014 ...................................................................... 50

Page 14: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

xiii

DAFTAR SINGKATAN

Askes : Asuransi Kesehatan

CFR : Case Fatality Rate

CI : Cofidence Interval

DBD : Demam Berdarah Dengue

DD : Demam Dengue

Denv : Dengue Virus

dkk : Dengan Kawan-kawan

DHF : Dengue Haemoragic Fever

Dinkes : Dinas Kesehatan

DSS : Dengue Shock Syndrome

IQR : Inter Quartil Range

JKBM : Jaminan Kesehatan Bali Mandara

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

KLB : Kejadian Luar Biasa

MRS : Masuk Rumah Sakit

OR : Odds Ratio

PCR : Polymerase Chain Reaction

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk

RI : Republik Indonesia

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

US : United State

VIP : Very Important Person

WHO : World Health Organization

Page 15: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

masalah kesehatan masyarakat terutama ditemukan di daerah tropis dan sub-

tropis. DBD banyak ditemukan di wilayah urban dan semi-urban yang

diperkirakan menginfeksi 2,5 milyar sampai 3 milyar orang. Sepanjang perjalanan

penyakit dengue dilaporkan telah menyebar dilebih dari 100 negara di dunia.

Kejadian penyakit DBD semakin tinggi disertai dengan serangan yang lebih berat

(Guha-Sapir & Schimmer, 2005) (WHO, 2011).

Penyakit DBD telah dilaporkan pada permulaan tahun 992 SM di Cina,

namun baru pertama kali dilaporkan tahun 1653 di French West Indies

(Kepulauan Karibia). Serangan penyakit DBD pada tahun 1897 terjadi di

Australia, serta pada tahun 1931 dilaporkan di Italia dan Taiwan. Kejadian Luar

Biasa (KLB) dengue di Asia Tenggara pernah terjadi di tahun 1953 sampai 1954

yang ditemukan di Filipina. Setelah itu menyebar ke banyak negara yang

mencakup di dalam wilayah World Health Organization (WHO) South-East Asia

dan wilayah Western Pacific (WHO, 2011). WHO mencatat terhitung mulai tahun

1968 hingga tahun 2009, di kawasan Asia Tenggara dengan kasus DBD tertinggi

yaitu di Indonesia (Kemenkes RI, 2010a, WHO, 2011).

Di Indonesia, DBD menyebar semakin meningkat dan perjalanan

penyakitnya cepat yang berpotensi menimbulkan kematian dalam waktu singkat,

1

Page 16: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

2

meskipun angka kematiannya dapat ditekan di bawah 1% (Kemenkes RI, 2011).

Penyakit DBD masuk dalam urutan kedua dari 10 besar penyakit yang dirawat

inap di rumah sakit pada tahun 2009 dengan 121.334 kasus dan 898 kematian.

Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi

pergeseran dari kelompok kasus DBD yaitu kelompok umur <15 tahun adalah

yang terbesar, namun pada tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur yang terbesar

yaitu ≥15 tahun. Persentase penderita laki-laki dan perempuan yaitu pada jenis

kelamin laki-laki (53,78%) dan jenis kelamin perempuan (46,23%) (Kemenkes

RI, 2010b). Berdasarkan data dari Kemenkes RI pada tahun 2013 tercatat 112.511

kasus dengan angka kesakitan DBD 45,85/100.000 penduduk dan 871 kematian

dengan angka kamatian atau Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,77% (Kemenkes

RI, 2013).

Provinsi Bali pada tahun 2010 sebagai provinsi dengan angka kesakitan

DBD tertinggi di Indonesia sebesar 323,12/100.000 penduduk. Pada tahun 2013,

Provinsi Bali kembali sebagai provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi di

Indonesia yaitu 172,50/100.000 penduduk dengan angka kematian yaitu 0,08%

(Kemenkes RI, 2013). Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Bali menyebutkan

jumlah kasus DBD terbanyak di Kota Denpasar diantara kabupaten lainnya dari

sembilan kabupaten/kota di Bali. Kota Denpasar merupakan daerah endemis

penyakit DBD karena setiap tahunnya ditemukan kasus DBD selama tiga tahun

berturut-turut atau lebih (Dinkes Provinsi Bali, 2013).

Angka kesakitan DBD di Kota Denpasar berfluktuasi secara beragam dari

tahun ke tahun. Angka kesakitan DBD di Kota Denpasar selama lima tahun

Page 17: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

3

terakhir sebagai berikut : 784,86/100.000 penduduk (2010), 170,98/100.000

penduduk (2011), 132,83/100.000 penduduk (2012), 211,38/100.000 penduduk

(2013), dan 217,72/100.000 penduduk (2014) (Dinkes Kota Denpasar, 2014).

Angka kesakitan tersebut jauh melebihi standar nasional dari tahun 2010 sebesar

55/100.000 penduduk dan diturunkan setiap tahunnya sampai 51/100.000

penduduk pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2013). Kematian karena penyakit DBD

di Kota Denpasar juga selalu ada setiap tahun walaupun masih di bawah target

nasional (CFR <1%) dengan tren secara berfluktuatif, berturut-turut yaitu sebesar

0,54% (2010), 0,20% (2011), 0,29% (2012), 0,16% (2013), dan 0,38% (2014)

(Dinkes Kota Denpasar, 2014).

Kewaspadaan dini terhadap tanda-tanda syok pada penderita DBD sangat

penting oleh karena terjadinya kematian pada DSS 10 kali lebih besar

dibandingkan penderita DBD yang tanpa disertai syok (Kemenkes RI, 2013).

Menurut Hadinegoro (1996) pada hampir di seluruh rumah sakit yang ada di

Indonesia memperoleh prevalensi syok sebesar 16%-40%. Sedangkan penelitian

Raihan dkk. (2010) di RSCM Jakarta disebutkan bahwa syok terjadi pada 103

(37,3%) pasien dari 276 pasien yang diteliti.

Berdasarkan survei pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD Wangaya

yang merupakan rumah sakit pemerintah Kota Denpasar, menunjukkan 2.605

pasien DBD yang rawat inap dari data elektronik rekam medik selama tahun 2013

sampai Agustus 2014. Pasien DBD yang rawat inap pada tahun 2013 terdapat

sebanyak 1.522 dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) sebanyak 31 kasus

(2,04%), sedangkan dari bulan Januari sampai Agustus tahun 2014 terdapat 1.083

Page 18: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

4

pasien DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 28 kasus (2,59%). Kematian

karena DSS ada satu kasus pada tahun 2013, dan terdapat dua kasus kematian

pada tahun 2014 (Rekam Medik RSUD Wangaya, 2014). Hal ini menunjukkan

perkembangan kejadian DSS di RSUD wangaya cendrung meningkat di tahun

2014. Namun dilihat dari tempat RSUD Wangaya sebagai tempat pelayanan

kesehatan yang jaraknya mudah dijangkau dan termasuk rumah sakit grade A,

seharusnya dapat menurunkan angka kejadian DSS.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait faktor risiko yang berpengaruh

dengan kejadian DSS di rumah sakit. Penelitian yang dilakukan di luar negeri

antara lain; penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan DHF atau

DSS pada orang dewasa di Rumah Sakit Tengku Ampuan Afzan Kuantan,

penelitian hubungan faktor epidemiologi dengan DSS dan kematian pada pasien

dengue di Rumah Sakit Kota Ho Chi Minh Vietnam. Sedangkan penelitian yang

dilakukan di dalam negeri antara lain; analisis faktor-faktor risiko terjadinya DSS

pada anak dengan DBD di RSUP Persahabatan, faktor-faktor risiko kejadian DSS

pada pasien DBD di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian DSS pada anak dengan DBD di RSUD

Kota Semarang, hubungan gambaran klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko

syok pada DBD di RS Dr. M. Djamil Padang (Tee dkk., 2009; Anders dkk., 2011;

Mayetti, 2010; Setiawati, 2011; Harisnal, 2012; Silvarianto, 2013). Faktor-faktor

yang diteliti dalam penelitian tersebut antara lain; umur, jenis kelamin, infeksi

sekunder, lama sakit sebelum masuk rumah sakit, status gizi, gejala simtomatik,

hematokrit, trombosit, leukosit, musim, rujukan. Hasil penelitian tersebut

Page 19: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

5

menemukan hasil yang berbeda-beda, dan sesuai pengkajian penulis bahwa

perbedaan hasil itu oleh karena adanya perbedaan daerah dan tipe fasilitas

kesehatan, karakteristik sampel penelitian, perbedaan kriteria inklusi dan ekslusi,

perbedaan jumlah dan jenis variabel yang fokus penelitiannya ada yang lebih

banyak menekankan faktor klinis dan ada yang menekankan faktor bukan klinis.

Penelitian di Bali tentang faktor risiko kejadian DSS masih jarang

dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Elmy dkk., (2009) di RSUP Sanglah

Denpasar, menjelaskan bahwa setelah dilakukan analisis multivariat hanya status

gizi yang bermakna yang mempengaruhi kejadian DSS, sedangkan variabel umur,

jenis kelamin dan jenis infeksi tidak berpengaruh. Namun penelitian itu hanya

mengambil data dari rekam medik di bagian anak dan hasil penelitian tersebut

masih ada kontroversi dengan penelitian lain.

Penelitian lain di RSUP Sanglah juga yang dilakukan oleh Karolina ddk.,

(2013) hanya menekankan faktor klinis yaitu kejadian perdarahan masif pada

pasien DSS dihubungkan dengan jumlah leukosit, trombosit, dan kadar hematokrit

tanpa menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian agar bisa dilakukan

intervensi dan pengembangan program dalam menurunkan kejadian DSS.

Berdasarkan hal tersebut diatas, perlunya kewaspadaan dini terhadap syok

membuat rasa ingin tahu peneliti untuk mengetahui hubungan faktor risiko

terjadinya DSS, dimana sebagian besar dari penderita DBD di Kota Denpasar

tersebut dirawat inap di RSUD Wangaya yang merupakan rumah sakit negeri

kelas B dan menjadi salah satu rumah sakit rujukan. Laporan penelitian ini

diharapkan dapat menjadi informasi epidemiologi dengue yang berhubungan

Page 20: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

6

dengan kejadian DSS dan kemudian dapat menentukan perencanaan program

kesehatan dalam bidang pencegahan DSS pada pasien DBD serta menciptakan

pelayanan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, maka peneliti berpikir bahwa

sangat penting dilakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan masalah

Kota Denpasar merupakan salah satu kota endemis penyakit DBD dan bisa

menimbulkan KLB karena vektor penular DBD tersebar luas dengan penduduk

yang padat dan mobilitasnya tinggi. Kejadian DSS di Kota Denpasar juga selalu

ada setiap tahun dan lebih besar berisiko menimbulkan kematian pada penderita

DBD.

Indikasi adanya keterkaitan kondisi mayarakat yang ekonominya kurang

dapat berhubungan dengan akses pelayanan kesehatan. Manifestasi klinis yang

sangat bervariasi, patogenitas yang kompleks, dan adanya serotipe virus yang

berbeda pada daerah yang berbeda, membuat kita mengalami kesulitan untuk

memprediksi perjalanan penyakit DBD terlebih lagi menilai akan terjadinya DSS

(Kemenkes RI, 2013). Guna mendalami permasalahan itu maka ada beberapa

pertanyaan penelitian berikut ini.

1. Apakah umur merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD

yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?

2. Apakah jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian DSS pada

penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?

Page 21: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

7

3. Apakah lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS) merupakan

faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di

RSUD Wangaya Kota Denpasar?

4. Apakah riwayat infeksi DBD sebelumnya merupakan faktor risiko

kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya

Kota Denpasar?

5. Apakah peningkatan nilai hematokrit merupakan faktor risiko kejadian

DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar?

6. Apakah penurunan jumlah trombosit merupakan faktor risiko kejadian

DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar?

7. Apakah kelas perawatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada

penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?

8. Apakah jaminan kesehatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada

penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor

faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang

dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

Page 22: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

8

1.3.2 Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh berikut ini.

1. Umur terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di

RSUD Wangaya Kota Denpasar.

2. Jenis kelamin terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat

inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

3. Lama demam sebelum MRS terhadap kejadian DSS pada penderita DBD

yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

4. Riwayat infeksi DBD sebelumnya terhadap kejadian DSS pada penderita

DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

5. Peningkatan nilai hematokrit terhadap kejadian DSS pada penderita DBD

yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

6. Penurunan jumlah trombosit terhadap kejadian DSS pada penderita DBD

yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

7. Kelas perawatan terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat

inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

8. Jaminan kesehatan terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang

dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan rujukan

dalam bidang penelitian kesehatan khusunya mengenai studi faktor yang

Page 23: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

9

meningkatkan risiko terhadap kejadian DSS pada penderita DBD, dan diharapkan

dapat menambah pengalaman dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan

penelitian kesehatan terutama dalam bidang pengendalian penyakit DBD.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah wawasan

masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DSS

pada penderita DBD, dan dapat diterapkan untuk menghindari

keterlambatan dalam mendapat pengobatan yang tepat.

2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk Dinas Kesehatan Provinsi Bali

beserta Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dalam upaya pencegahan

kejadian DSS pada penderita DBD berdasarkan faktor risiko yang terbukti

mempengaruhi sehingga dapat dipilih alternatif perencanaan program,

serta sebagai masukan bagi RSUD Wangaya Kota Denpasar untuk

menjadi pertimbangan dalam penegakkan diagnosis dan mendeteksi

kejadian DSS.

3. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk menambah

pengetahuan dalam melaksakan pekerjaan sehari-hari sebagai pemegang

program pengendalian penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

Page 24: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Penyakit DBD

Dengue Haemoragic Fever (DHF) yang lebih sering disebut dengan

penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut menular ke manusia melalui

perantara gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue yang ditandai

dengan demam dua sampai tujuh hari disertai manifestasi perdarahan, penurunan

jumlah trombosit (100.000/mm3 atau kurang), dan peningkatan nilai hematokrit

(20% atau lebih dari nilai baseline) (WHO, 2011) (Kemenkes RI, 2013).

Manusia adalah reservoir utama bagi virus dengue dan setiap individu

rentan mendapat penyakit DBD ini. Penyebab penyakit dengue termasuk dalam

kelompok arbovirosis dengan famili flaviviridae yang terdiri dari empat jenis

serotipe virus antara lain Denv-1, Denv-2, Denv-3, dan Denv-4. Keempat serotipe

virus tersebut mempunyai kemampuan antigenisitas yang sama, tetapi dalam

menimbulkan proteksi silang memiliki kemampuan yang berbeda meskipun baru

beberapa bulan mengalami infeksi dari salah satu virus dengue tersebut (Beaumier

dkk., 2008) (U.S. Department of Health, 2009) (WHO, 2011) (Kemenkes RI,

2013).

Data dari seluruh dunia menunjukkan setiap tahunnya kawasan asia

menempati peringkat pertama dalam jumlah penderita DBD. Penyakit dengue

sebelumnya hanya dinilai menimbulkan masalah pada daerah perkotaan semata,

namun saat ini penyakit tersebut juga menjadi ancaman bagi daerah pinggiran

10

Page 25: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

11

Asia Tenggara. Menurut WHO (2009), diperkirakan bahwa terdapat kurang lebih

seratus juta kasus demam dengue pertahun, dimana infeksi dengue merupakan

salah satu penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan kematian pada anak-

anak (Depkes RI, 2010) (Capeding dkk., 2013).

Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun

1968 ketika terjadi KLB di Surabaya dan Jakarta. Sejak dilaporkan itu, kasus

DBD meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus meningkat sangat tinggi.

Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi

pergeseran dari kelompok kasus DBD terbesar adalah umur <15 tahun, namun

tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur terbesar yaitu ≥15 tahun. Persentase

penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu pada laki-laki (53,78%) dan

perempuan (46,23%) (Depkes RI, 2010).

Penyakit DBD yang ada di Indonesia terutama ditularkan oleh jenis

nyamuk Aedes aegypti sebagai penular atau vektor DBD, namun spesies lain juga

dianggap sebagai vektor sekunder seperti Aedes albopictus, Aedes scutelaris,

Aedes polynesiensis, dan Aedes niveus. Penyebaran penyakit DBD umumnya

dilakukan oleh nyamuk Aedes aegypti yang betina yang mampu mengigit

berulang kali (multiple bite) mulai di pagi hari dan saat petang hari sehingga

sangat efektif sebagai vektor penyakit DBD. Jenis nyamuk penular DBD ini

terdapat pada tempat yang ketinggiannya di bawah dari 1.000 meter dari

permukaan laut (Kemenkes RI, 2013).

Beberapa hal yang mendukung terjadinya penularan dan semakin

bertambahnya perkembangan penyakit DBD adalah pertumbuhan penduduk yang

Page 26: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

12

tinggi, mobilitas penduduk sangat mudah, penyimpanan air bersih, sistem

pengendalian nyamuk yang kurang efektif, perubahan iklim, serta lemahnya

struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan dan perilaku

tersebut, status imunologi individu, serotipe virus, usia dan riwayat genetik juga

berpengaruh terhadap penularan penyakit DBD.

2.2 Diagnosis DBD

Infeksi virus dengue pada umumnya tidak akan semua menunjukkan

manifestasi DBD berat, ada yang hanya mengalami demam yang ringan dan akan

bisa sembuh sendirinya atau bahkan ada yang tidak pernah menunjukkan gejala

sakit (asymtomatic) (Frans, 1991).

Menurut WHO, virus dengue akan mengalami masa inkubasi di dalam

darah seseorang selama tiga sampai tiga sampai empat hari (rata-rata empat

sampai enam hari) dan muncul gejala-gejala awal penyakit yang akut seperti;

meningkatnya suhu badan secara mendadak, kepala pusing, otot dan sendi terasa

nyeri, tidak ada nafsu makan, ruam-ruam pada kulit dan berbagai gejala yang

tidak spesifik. Berat ringan gejala tersebut bervariasi dan biasanya berlangsung

selama beberapa hari (WHO, 2011).

WHO telah merekomendasikan kriteria penegakkan diagnosis dengue

berdasarkan klinis dan laboratorium untuk menjadi acuan para klinisi dalam

mendiagnosis dan mengklasifikasikan kasusnya (WHO, 2009) (Kemenkes RI,

2013). Tidak semua kasus infeksi dengue dapat diketahui dari gejala klinis,

Page 27: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

13

namun konfirmasi laboratorium perlu untuk memastikan penyakit DBD yang

tersangka DBD (Capeding dkk., 2013)

Penegakkan diagnosis dengue seperti berikut ini.

1. Diagnosis suspek infeksi dengue

Diagnosis suspek infeksi dengue ditegakkan apabila ditemukan kriteria

yaitu; demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung

selama dua sampai tujuh hari, serta adanya manifestasi perdarahan

(sekurang-kurangnya uji tourniquet/rumple leede positif).

2. Diagnosis Demam Dengue (DD)

Demam dengue biasanya merupakan demam tinggi mendadak dengan

suhu ≥390C, disertai keluhan nyeri kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri

otot dan tulang, ruam kulit, kadang-kadang ada perdarahan yang tidak

lazim, peningkatan hematokrit 5% sampai 10%. Terdapat sekurang-

kurangnya satu dari kriteria berikut ini yaitu pemeriksaan antibodi IgM

positif, positif antigen virus dengue, positif pemeriksaan PCR, dan kasus

berlokasi di suatu daerah dan dalam waktu bersamaan terdapat kasus

konfirmasi DD atau DBD.

3. Diagnosis DBD

Penegakkan diagnosis DBD diperlukan minimal ada kriteria klinis 1 dan 2,

serta dua kriteria laboratorium (U.S. Department of Health, 2009) (WHO,

2009) (Kemenkes RI, 2013).

Kriteria atau manifestasi klinis DBD antara lain demam mendadak, tinggi

tanpa sebab yang jelas yang secara terus menerus berlangsung selama dua

Page 28: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

14

sampai tujuh hari, terdapat beberapa gejala perdarahan spontan berbentuk

perdarahan bawah kulit, mimisan, perdarahan gusi, perdarahan saluran

cerna. Terdapat uji tourniquet yang positif dan resiko terjadinya syok

ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah serta penyempitan tekanan

nadi (20 mmHg atau kurang) atau nadi tidak teraba, kaki dan tangan terasa

dingin, kulit lembab dan penderita menjadi gelisah.

Kriteria pemeriksaan laboratorium dalam penegakkan diagnosis DBD

yaitu ada penurunan jumlah trombosit (trombositopenia 100.000/mm3 atau

kurang), biasanya terjadi di hari sakit ketiga sampai kedelapan hari,

terjadinya hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau

lebih yang merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan

bocornya plasma, pada kasus berat yang disertai dengan disfungsi hati.

Waktu tromboplastin parsial memanjang pada setengah sampai sepertiga

kasus DBD. Hasil laboratorium lainnya adalah kadar komplemen serum

menurun, hipoproteinemia, hiponatremia, dan peningkatan kadar SGOT

ringan. Asidosis metabolik nitrogen urea darah meningkat sering kali

dijumpai pada kasus penyakit yang disertai syok berkepanjangan

2.3 Derajat Beratnya DBD

Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu.

Masa penyembuhan bisa terjadi cepat, namun seringkali bisa cukup panjang.

WHO pada tahun 1997 membagi derajat DBD dalam empat stadium dan sudah

diperbaharui dengan kriteria dengue WHO tahun 2009 yang manifestasi klinisnya

Page 29: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

15

lebih banyak untuk membantu menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi

penentuan derajat penyakit ini yang bermanfaat secara klinis maupun

epidemiologis dalam penanganan awal di rumah sakit (WHO, 2009) (Kemenkes

RI, 2013).

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat berikut ini.

Derajat I yaitu Demam disertai gejala klinis yang tidak khas dan satu-satunya

gejala perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Derajat II yaitu gejala yang muncul

seperti dialami pada derajat I ditambah adanya perdarahan spontan biasanya di

kulit, perdarahan gusi dan atau perdarahan lainnya. Derajat III yaitu derajat I

ataupun II serta adanya kegagalan sirkulasi, yaitu dengan tanda denyut nadi yang

lemah dan lebih cepat, perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik sama atau

kurang dari 20 mmHg (hipotensi) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab,

sianosis di sekitar mulut, dan kelihatan penderita gelisah. Derajat IV yaitu seperti

dengan derajat III, ditambah juga adanya syok yang berat (profound shock)

dengan nadi tidak dapat teraba dan tidak dapat terukurnya tekanan darah (WHO,

2009) (Kemenkes RI, 2013).

DSS dimasukan pada tingkat DBD derajat III dan derajat IV. DSS

merupakan kasus DBD yang gawat darurat yaitu adanya kegagalan sirkulasi yang

dapat ditunjukan dari denyut nadi yang lemah dan lebih cepat, disertai hipotensi

dengan tanda kulit yang teraba dingin dan lembab serta penderita tampak gelisah

hingga terjadinya syok/renjatan berat (denyut nadi menjadi tidak teraba, dan

tekanan darah tidak terukur) (Sharma SK, 2003) (WHO, 2009) (Kemenkes RI,

2013).

Page 30: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

16

Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkan syok

(shock) dan kematian. Syok pada penderita DBD dikenal dengan sebutan Dengue

Shock Syndrome (DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah karena plasma

darah merembes keluar dari pembuluh darah yang mengakibatkan darah semakin

mengental yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, kulit dingin

dan lembab, serta pasien menjadi gelisah (WHO, 2009).

Pasien yang mengalami syok harus berada dalam pengawasan yang ketat,

karena menghadapi risiko kematian apabila mereka tidak mendapatkan

pengobatan segera yang memadai.

2.4 Tatalaksana DBD/DSS

Obat atau vaksin dengue yang spesifik belum ada hingga sekarang, namun

bila pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya

kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan (Kemenkes RI, 2013). Secara umum,

tidak perlu merawat semua pasien yang dicurigai menderita DBD oleh karena

tergantung dari derajat penyakit infeksi virus dengue. Tatalaksana DBD yang

efektif membutuhkan tenaga medik yang terlatih, serta di tunjang oleh fasilitas

laboratorium, farmasi yang memadai.

Dalam kasus DBD yang derajat I dan II, pemberian terapi cairan intravena

bagi pasien rawat jalan dilakukan selama 12 sampai 14 jam. Pasien yang

menunjukkan kenaikan kadar hematotkrit, jumlah trombosit kurang dari

50.000/mm3 atau menunjukkan perdarahan yang spontan selain dari petekia harus

dirawat. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi dan apabila ditemukan

Page 31: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

17

tanda/gejala syok diperlukan perawatan yang intensif untuk mengurangi angka

kematian (WHO, 2009).

Kunci keberhasilan tatalaksana DBB/DSS terletak pada keterampilan

petugas medik dan paramedik untuk dapat mewaspadai dan menanggulangi masa

peralihan dari fase demam menuju fase kritis, mengingat perjalanan penyakit

DBD sulit diramalkan. Fase perjalanan penyakit DBD menurut (WHO, 2009)

seperti berikut ini.

1. Fase demam

Fase demam bisa terjadi dalam dua sampai tujuh hari dengan suhu tubuh

antara 39oC sampai 40oC. Gejala yang biasanya menyertai fase demam

yaitu penderita mengeluh tidak nafsu makan, mual, nyeri konjungtiva,

wajah kemerahan dan sakit kepala. Pada kasus ringan atau sedang, seluruh

gejala akan berkurang setelah suhu turun. Perubahan tersebut

mengindikasikan berkurangnya secara perlahan gangguan sirkulasi darah

sebagai akibat bocornya plasma.

2. Fase kritis

Fase kritis adalah fase peralihan antara keadaan demam sampai keadaan

tidak demam biasanya saat suhu turun (defervescence), yang umumnya

terjadi pada hari ketiga sampai kelima fase demam dengan suhu tubuh

pada fase ini antara 37,5oC sampai 38oC atau berada dibawahnya.

Pada fase ini bisa terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan kebocoran plasma sehingga kondisi pasien memburuk,

namun apabila tidak terjadi kebocoran plasma maka kondisi penderita

Page 32: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

18

akan semakin baik. Kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan

keterlambatan penanganan dapat menyebabkan penderita mengalami syok.

Syok berlangsung dalam waktu yang singkat, namun apabila syok tidak

tertangani maka kondisi penderita dapat memburuk dan menjadi kompleks

dengan adanya asidosis metabolis, perdarahan saluran cerna atau dari

organ lain.

Pasien yang mengalami syok menghadapi risiko dapat meninggal dalam

waktu 12 sampai 24 jam kemudian apabila mereka tidak mendapat

pengobatan segera yang memadai.

3. Fase penyembuhan

Fase peyembuhan DBD dengan atau tidak disertai syok berlangsung

singkat. Penderita yang telah melewati fase kritis, dan memasuki fase

penyembuhan perembesan plasma berhenti saat terjadi reabsorbsi atau

penyerapan kembali cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravascular.

Pasien akan sembuh dua sampai tiga hari dan secara bertahap kondisi

penderita akan semakin baik, apabila pengeluaran urin cukup, nafsu

makan mulai meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil.

2.5 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian DSS

Potter & Ferry’s menyebutkan bahwa faktor risiko adalah suatu situasi,

kebiasaan, atau variabel yang lain yang dapat menyebabkan seseorang atau

kelompok mengalami kejadian sakit atau mendapatkan kecelakaan (Crisp ddk.,

Page 33: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

19

2012). Beberapa teori dan penelitian terkait dengan faktor risisko kejadian DSS

adalah sebagai berikut ini.

2.5.1 Umur

Umur secara kronologis merupakan satuan waktu yang mengukur

perhitungan usia dimulai dari sejak kelahiran individu sampai dengan waktu

perhitungan umur. Kondisi status kesehatan tidak terlepas dari umur individu

tersebut.

Penyakit DBD bisa terjadi pada semua umur. Tren kasus DBD per

kelompok umur telah mengalami pergeseran dari kasus DBD pada kelompok

umur kurang dari 15 tahun lebih banyak terjadi pada tahun 1993 sampai tahun

1998. Sedangkan dalam 10 tahun terakhir (1999 sampai 2009), DBD memiliki

kecendrungan proporsi yang lebih besar pada kelompok usia produktif karena

mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dan mengikuti arus perkembangan

transportasinya yang lebih lancar pada kelompok ini, sehingga lebih besar

kemungkinannya untuk terjangkit virus dengue (Kemenkes RI, 2010a).

Hasil dari penelitian Harisnal (2012) di RSUD Ulin dan RSUD Ansari

Saleh Banjarmasin, menyatakan bahwa umur ≤5 tahun dan umur 6-14 tahun tidak

berisiko secara signifikan dengan kejadian DSS (OR= 0,84; 95%CI= 0,408-

1,748).

Penelitian yang lain juga menyebutkan umur balita dan umur anak sekolah

tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian DSS (OR= 0,21; 95%CI=

0,018-2,50) (Setiawati, 2011). Hasil penelitian tersebut didukung juga dengan

penelitian lain di RSUD Kota Semarang yang menyatakan tidak ada hubungan

Page 34: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

20

antara umur dan DSS (OR= 0,81; 95%CI= 0,335-1,981) (Silvarianto, 2013).

Anders dkk. (2011) di Ho Chi Minh City Vietnam, menggambarkan bahwa anak

yang pada umur 6 tahun sampai 10 tahun tidak berisiko mengalami DSS (OR=

0,52; 95%CI= 0,36-0,375).

Walaupun demikian kematian karena DBD lebih tinggi terjadi pada anak

yang lebih kecil umurnya, sesuai dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh

Moraes dkk. (2013) bahwa umur <4 tahun merupakan faktor risiko yang

independen berpengaruh terhadap terjadinya DSS (OR= 1,83; 95%CI= 1,17-1,73).

Umur merupakan variabel penting dari seseorang sebagai aspek

fundamental yang berkaitan dengan interaksi virus dengan manusia pada penyakit

DBD. Perbedaan hasil di atas, menggugah saya untuk meneliti pengaruh variabel

umur dengan kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

2.5.2 Jenis kelamin

Berdasarkan data dari Kemenkes Subdit Arbovirosis tahun 2010, terlihat

bahwa jauh lebih banyak kasus DBD pada laki-laki dengan umur >15 tahun

sebanyak 21,13%, sedangkan kematian terbanyak pada perempuan umur >15

tahun pada perempuan (Kemenkes RI, 2010a).

Beberapa peneliti pernah melaporkan infeksi dan keganasan penyakit

DBD pada jenis kelamin laki dengan perempuan, dan banyak jenis kelamin

perempuan dengan DSS menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi daripada

laki-laki. Hasil penelitian (Anders dkk., 2011), yang menggambarkan bahwa anak

perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kejadian DSS sebesar 1,19 kali

dibandingkan anak laki-laki (OR= 1,19; 95%CI= 1,14-1,24) dan anak perempuan

Page 35: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

21

berisiko terjadi kematian akibat mengalami DSS yaitu 1,57 kali dibandingkan

anak laki-laki (OR=1,57; 95%CI= 1,14-2,17). Hasil penelitian tersebut sesuai

dengan hasil penelitian Harisnal (2012) bahwa jenis kelamin perempuan lebih

berisiko 3,2 kali mengalami kejadian DSS (OR= 3,25; 95%CI= 1,178-8,970).

Namun dari hasil penelitian lain, tidak ada perbedaan hubungan yang

signifikan antara jenis kelamin anak perempuan dengan anak laki-laki terhadap

kejadian DSS (OR= 0,36; 95%CI= 0,03-4,24) (Setiawati, 2011). Silvarianto

(2013) juga menyimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan DSS

(OR= 0,74; 95%CI= 0,311-1,178).

Berdasarkan perbedaan data di atas, menarik untuk dilihat lebih lanjut

jenis kelamin apakah yang lebih berhubungan dengan kejadian DSS di RSUD

Wangaya Kota Denpasar.

2.5.3 Lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS)

Perjalanan penyakit DBD tidak spesifik, dan lama sakit sebelum masuk

rumah sakit (pre hospital) menentukan perjalanan penyakit DBD berada pada fase

pasien mengalami demam, fase syok atau kritis, atau fase pemulihan

penyembuhan. Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap

individu, masa penyembuhan bisa terjadi cepat namun sering juga cukup panjang

(Kemenkes RI, 2013).

Pola demam penyakit DBD seperti pelana kuda, orang tua sering

mengasumsikan sudah sembuh saat suhu tubuh menurun dari semula tingi

sehingga pengobatannya terabaikan sehingga dapat memasuki fase kritis.

Purnomo menggambarkan pola demam penyakit DBD seperti berikut ini.

Page 36: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

22

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa demam yang terjadi pada infeksi ini

timbul secara mendadak pada hari ke 1-3 penderita mengalami panas badan dapat

mencapai suhu > 39oC. Hari ke 4-5 demam turun secara mendadak juga yang

sering dikira penderita sudah sembuh, tapi justru pada hari itu penderita memasuki

fase kritis. Penderita DBD yang datang ke rumah sakit sering mengalami

keterlambatan sehingga sudah masuk dalam tahap fase kritis yang kemungkinan

syok menjadi lebih tinggi. Pada tahap kritis penyakit DBD adalah ketika masa

penurunan suhu, munculnya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi

yang mencerminkan kebocoran plasma. Penggantian cairan yang tepat dan segera

dengan pemberian larutan isotonik, plasma adalah tindakan yang dapat

menghindarkan terjadinya syok (Kemenkes RI, 2013).

Hasil penelitian Harisnal (2012), menyebutkan bahwa pasien yang

mengalami lama sakit sebelum dirawat ≥4 hari di rumah sakit sebanyak 59%

mengalami DSS yang secara statistik bermakna (OR= 3,15; 95%CI= 1,179-

8,397). Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh

Gambar 2.1 Pola Demam Penyakit DBD

Sumber: Purnomo, 2010

Page 37: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

23

Hadinegoro (2013) menyampaikan bahwa fase syok terjadi pada sakit hari ketiga

sampai hari kelima. Namun penelitian lain menyebutkan lama demam di rumah

tidak ada hubungan dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 0,001 (Setiawati,

2011).

Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan,

dan secara faktual perjalanan penyakit DBD berlangsung akut yang secara teoritis

dapat melewati fase kritis yang berlangsung cepat juga, oleh karena itu penulis

tertarik untuk mengetahui hubungan riwayat infeksi DBD dengan kejadian DSS

pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

2.5.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya

Infeksi DBD primer dan sekunder dapat mengakibatkan timbulnya

perdarahan gastrointestinal yang berat. Virus yang masuk dalam darah manusia

akan memperbanyak diri dan sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi

sedangkan virus akan menjadi antigennya (Depkes RI, 2004). Menurut U.S.

Department of Health (2009), individu yang sudah terinfeksi virus dengue untuk

pertama kali, maka akan terbentuk zat anti yang spesifik di dalam tubuhnya sesuai

dengan tipe virus dengue yang menginfeksi tetapi tidak kebal dengan serotipe

virus dengue lainnya.

Selama ini diduga bahwa derajat beratnya penyakit DBD dijelaskan

dengan adanya peningkatan dari multiplikasi virus di dalam makrofag sebagai

akibat infeksi dengue sebelumnya. Suvatte merumuskan dugaan infeksi sekunder

dan dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini.

Page 38: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

24

Faktor virus serta respon anti bodi terlibat dalam pathogenesis DBD

(Beaumier dkk., 2008). Menurut WHO (2009), infeksi sekunder atau infeksi

berulang oleh serotipe virus dengue yang lain memperberat keparahan penyakit

DBD.

Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kasus DBD yang berat

sangat berkaitan dengan serotipe virus Dengue 3 dan merupakan serotipe virus

dengue yang paling banyak penyebarannya disusul oleh Dengue 2, Dengue 1, dan

Dengue 4 (Kemenkes RI, 2010a). Penderita yang sudah sembuh dari infeksi salah

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamestic antibody response

Kompleks virus-antibodi

Aktivasi komplemen

Permeabilitas kapiler meningkat

Hipivolemia

Syok

Anoksia Asidosis

Perembesan plasma >30% pada kasus

syok 24-48 jam

Ht meningkat

Natrium menurun

Cairan dalam

rongga serosa

Anafilatoksin (C3, C5a)

Komplemen

Histamin dalam urin

meningkat

Meninggal

Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD

Sumber: Suvatte, 1997

Page 39: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

25

satu jenis virus akan memberi kekebalan seumur hidupnya tapi tidak memberi

kekebalan dari infeksi jenis virus dengue lainnya serta bisa terinfeksi oleh virus

dengue dengan jenis atau tipe yang berbeda (Kemenkes RI, 2011).

Prevalensi dari DSS pada infeksi sekunder di RS Sanglah pada 62 anak

yang DBD adalah 16,7% (Arhana, 2006). Hasil penelitian Silvarianto, (2013) di

RUD Kota Semarang menunjukkan bahwa riwayat pernah terinfeksi penyakit

DBD berhubungan dengan kejadian DSS (OR= 8,23; 95%CI= 2,837-23,909).

Namun hasil berbeda juga secara statistik disebutkan bahwa jenis infeksi

tidak bermakna mempengaruhi kejadian DSS setelah dianalisis multivariat (OR=

1,37; 95%CI= 0,584-3,229) (Elmy dkk., 2009). Penelitian dari (Setiawati, 2011)

dengan desain penelitian cross sectional menyatakan bahwa riwayat menderita

DBD sebelumnya tidak berhubungan signifikan dengan kejadian DSS dengan OR

sebesar 0,001.

2.5.5 Hematokrit

Indikasi adanya kebocoran plasma dapat dilihat dari pemeriksaan

Hematokrit. Peningkatan hematokrit ≥20% mengindikasikan adanya peningkatan

permiabilitas pembuluh darah sebagai bukti sudah dicurigai adanya kebocoran

plasma dari pembuluh darah yang dapat menyebabkan syok, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala (Kemenkes RI, 2010a).

Menurut WHO (2009), yang harus diperhatikan bahwa jumlah

hematokrit dipengaruhi juga oleh penggantian cairan tubuh secara dini dan juga

karena adanya perdarahan. Pada pasien DBD dengan perdarahan dan

hemokonsentrasi akan mengalami tanda syok lebih dini, tetapi dengan manajemen

Page 40: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

26

cairan yang tepat dan adekuat akan dapat mencegah perkembangan ke arah syok

(Anders dkk., 2011).

Harisnal (2012), menyampaikan bahwa penderita DBD yang mengalami

peningkatan hematokrit ≥25,97% dapat terjadi DSS 7,8 kali dibandingkan yang

dengan yang mengalami peningkatan hematokrit <25,97% (OR= 7,8; 95%CI=

2,748-22,500). Penelitian lain yang menunjukkan adanya pengaruh hematokrit

dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 2,46 (95%CI= 1,85-3,28) (Moraes

dkk., 2013).

Berdasarkan data dari rekam medik RSUD Wangaya tahun 2013-2014,

bahwa rata-rata kadar hematokrit pada penderita DBDsebesar 42,11%. Kadar

hematokrit yang tinggi diasosiasikan dengan kebocoran plasma. Kurangnya

penelitian yang menyediakan informasi tentang nilai hematokrit MRS pada

penderita DBD, layak menjadi perhatian dalam penelitian ini agar mengetahui

hubungan indikasinya dengan kejadian DSS.

2.5.6 Trombosit

Hasil pemeriksaan darah untuk penyakit karena infeksi virus dengue yang

perlu diketahui adalah jumlah trombosit darah. Penurunan jumlah trombosit atau

trombositopenia merupakan jumlah trombosit ≤100/cm3. Penurunan jumlah

trombosit darah merupakan indikasi diagnosa DBD sehingga setiap penderita

dilaksanakan pemeriksaan lengkap darah dilihat nilai trombositnya (WHO, 2009).

Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Menurut hasil

penelitian Mayetti (2010), menyampaikan bahwa kadar trombosit <50/cm3

merupakan faktor risiko terjadinya syok pada DBD (RR= 1,81; 95%CI= 1,41-

Page 41: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

27

2,34). Harisnal (2012) menjelaskan bahwa jumlah trombosit ≤50/cm3

berhubungan dengan kejadian DSS dengan OR sebesar 4 (95%CI= 1,85-8,63).

Sedangkan hasil penelitian lain disebutkan trombositopenia tidak selalu

berhubungan dengan derajat DBD (OR= 0,95; 95%CI= 0,44-2,07) (Widajanti

dkk., 2003).

Berdasarkan teori dan dari hasil penelitian-penelitan tersebut di atas, kadar

trombosit juga tidak selalu bisa diandalkan menunjukkan kondisi beratnya penyakit DBD.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui trombosit MRS terhadap kejadian DSS

pada penderita DBD yang rawat inap di RSUD Wangaya.

2.5.7 Kelas perawatan

Kelas perawatan yaitu ruang rawat inap berdasarkan perawatan yang

ditempati pasien DBD di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Jenis pelayanan yang

diberikan pasien rawat inap memiliki standar pelayanan minimal. Menteri

Kesehatan Republik Indonesia (1997), melakukan upaya pengaturan besaran tarif

rumah sakit yang diperhitungkan atas dasar unit cost, dengan memperhatikan

kemampuan ekonomi masyarakat, rumah sakit setempat serta kebijaksanaan

subsidi silang. tentang rumah sakit.

Menurut Fahlafi (1994), karakteristik sosial ekonomi pada pasien rawat

inap berhubungan dengan pemilihan kelas perawatan. Penetapan tarif kelas

perawatan sangat menentukan permintaan dari kelompok berpendapatan rendah

dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Beban ekonomi dan sosial dari

penderita atau keluargannya dapat merupakan hambatan untuk segera berobat atau

mendapat pertolongan di rumah sakit.

Page 42: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

28

Penderita DBD yang dirawat di RSUD Wangaya yang sebagian besar

menggunakan layanan perawatan kelas III, perlu mendapat perhatian untuk

mengurangi resiko terjadinya DSS pada pasien DBD. Sementara peneliti belum

menemukan penelitian tentang pengaruh kelas perawatan terhadap kejadian DSS.

2.5.8 Jaminan kesehatan

Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit berkaitan erat dengan perilaku

pencarian pengobatan, seperti pemanfaatan Jaminan kesehatan di fasilitas

kesehatan yang ada. Proses dalam mencari bantuan pelayanan kesehatan memiliki

kompleksitas yang cukup tinggi karena variasi pengetahuan, biaya yang dapat

dijangkau, keinginan pemenuhan kebutuhan, orientasi kepuasan, tuntutan

masyarakat dan lain-lain.

Menurut penelitian Anny (2012) bahwa akses layanan, persepsi mutu

layanan, dan persepsi manfaat program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM)

tidak berhubungan dengan minat pemanfaatan dengan nilai p >0,05, namun

semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah minat pemanfaatan

program JKBM.

Indikasi adanya keterkaitan secara tidak langsung pemanfaatan jaminan

kesehatan daerah oleh masyarakat yang kondisi ekonominya kurang, membuat

peneliti tertarik untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian DSS pada

penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

Page 43: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

29

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Sesuai teori yang ada diketahui bahwa penyakit DBD berhubungan dengan

banyak faktor, penyakit DBD terjadi sebagai akibat dari berlangsungnya rantai

penularan mulai dari faktor penyebab penyakit (virus dengue) yang dibawa oleh

vektor (nyamuk Aedes aegypti) kepada host penjamu (manusia). Manusia secara

alamiah akan berinteraksi dengan lingkungannya. Kondisi lingkungan yang

kondusif dapat meningkatkan kesehatan manusia, namun sebaliknya apa bila

lingkungannya kurang kondusif atau buruk sebagai akibat dari dampak aktivitas

manusia itu sendiri akan dapat maupun yang terjadi secara alamiah dapat

menurunkan status kesehatan manusia.

Pada kerangka pikir ini menggunakan konsep segita epidemiologi. Hasil

interaksi antara host, agent dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keadaan

derajat kesehatan masyarakat. Host yaitu tubuh manusia yang merupakan

reservoir utama bagi virus dengue dengan karakteristik individu yang berbeda-

beda oleh faktor antara lain umur, jenis kelamin, gizi, lama demam sebelum,

riwayat infeksi dengue, antibodi. Agent yaitu penyebab penyakit DBD/DSS

dalam hal ini virus dengue yang memiliki dari 4 serotipe. Lingkungan dalam

penelitian ini yaitu lingkungan yang secara tidak langsung dapat menjadi faktor

terjadinya DSS antara lain tempat tinggal, kelas perawatan. Apabila interaksi

antara komponen host, agent dan lingkungan yang salah satu atau lebih tidak

29

Page 44: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

30

seimbang akan timbul masalah kesehatan atau host menjadi sakit. Demikian pula

halnya dengan kejadian DSS pada penderita DBD juga dipengaruhi oleh interaksi

ketiga komponen tersebut.

Berdasarkan berbagai sumber dan teori yang sudah dibahas, maka

kerangka berpikir penelitian yang berjudul “Faktor Risiko Kejadian DSS pada

Penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar tahun 2013-

2014 dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini.

Ket :

= Saling mempengaruhi

= Bagian dari

Gambar 3.1 Konsep Modifikasi Segitiga Epidemilogi

Agent

Lingkungan

Karakteristik Individu:

- Umur

- Jenis kelamin

- Status gizi

- Lama demam sebelum

MRS

- Riwayat infeksi DBD

sebelumnya

- Gejala klinis

- Biomarker/laboratorium

- Tempat tinggal

- Jaminan kesehatan

- Kelas perawatan

- Serotipe virus

Host

DSS

Ket :

= Saling mempengaruhi

= Bagian dari

Agent

Lingkungan

Karakteristik Individu:

- Umur

- Jenis kelamin

- Status gizi

- Lama demam sebelum

MRS

- Riwayat infeksi DBD

sebelumnya

- Gejala klinis

- Biomarker/laboratorium

- Tempat tinggal

- Jaminan kesehatan

- Kelas perawatan

- Serotipe virus

Host

DSS

Ket :

= Saling mempengaruhi

= Bagian dari

Agent

Lingkungan

Karakteristik Individu:

- Umur

- Jenis kelamin

- Status gizi

- Lama demam sebelum

MRS

- Riwayat infeksi DBD

sebelumnya

- Gejala klinis

- Biomarker/laboratorium

- Tempat tinggal

- Kelas perawatan

- Jaminan kesehatan

- Serotipe virus

Host

DSS

Page 45: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

31

3.2 Konsep Penelitian

Pada konsep penelitian digambarkan hubungan antara variabel yang

diteliti. Variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat dalam hal ini kejadian

DSS adalah umur, jenis kelamin, lama demam sebelum MRS, riwayat infeksi

DBD sebelumnya, hematokrit MRS, trombosit MRS, kelas perawatan, jaminan

kesehatan. Sedangkan variabel yang di kendalikan adalah tempat tinggal se-

kecamatan di Kota Denpasar.

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Umur merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD yang

dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

VARIABEL

BEBAS

- Umur

- Jenis kelamin

- Lama demam sebelum MRS

- Riwayat infeksi DBD

sebelumnya

- Hematokrit MRS

- Trombosit MRS

- Kelas perawatan

- Jaminan kesehatan

DSS

VARIABEL

TERIKAT

Gambar 3.2 Konsep Penelitian

Keterangan:

= diteliti

Tempat tinggal

VARIABEL

KENDALI

Page 46: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

32

2. Jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD

yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

3. Lama demam sebelum MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada

penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

4. Riwayat pernah infeksi DBD sebelumnya merupakan faktor risiko

terhadap DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya

Kota Denpasar.

5. Hematokrit MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita

DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

6. Trombosit MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita

DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

7. Kelas perawatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita

DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

8. Jaminan kesehatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita

DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

Page 47: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

33

BAB IV

METODA PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian kasus kontrol (case control study)

yaitu suatu penelitian yang mengamati dua kelompok yaitu sejumlah individu

yang mengalami kejadian DSS (kasus) dibandingkan dengan kelompok lain yang

menderita DBD namun tidak mengalami kejadian DSS (kontrol). Kemudian

kedua kelompok ini diamati ke belakang berapa proporsi dari kelompok kasus

maupun kelompok kontrol dengan melakukan analisis multivariat untuk

mengetahui faktor-faktor yang dapat mendeteksi DSS sejak awal. Untuk lebih

jelasnya penelitian case control dapat dilihat pada gambar bagan dibawah ini.

Kasus

Kontrol

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)

Gambar 4.1 Design Penelitian Case Control (Sudigdo, 2002)

33

Page 48: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Wangaya Kota Denpasar, Provinsi Bali.

Tempat penelitian tersebut dipilih karena RSUD Wangaya merupakan salah satu

rumah sakit rujukan di Kota Denpasar dan memiliki rekam medik pasien DBD.

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai April 2015.

4.3 Penentuan Sumber Data Penelitian

4.3.1 Definisi dan sumber kasus

Kasus adalah pasien yang didiagnosis DSS bertempat tinggal di Kota

Denpasar dan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium oleh dokter rumah sakit

yang merawat di RSUD Wangaya Kota Denpasar, dengan mengambil data

kejadian selama tahun 2013-2014 dan tercatat dalam rekam medik.

4.3.2 Definisi dan sumber kontrol

Kontrol adalah semua pasien DBD bertempat tinggal di Kota Denpasar

yang dirawat inap namun tidak mengalami kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota

Denpasar yang diambil dari data rekam medik selama tahun 2013-2014. Kontrol

diupayakan mempunyai karakteristik yang sama dengan kasus yaitu tempat

tinggal se-kecamatan di Kota Denpasar.

Page 49: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

35

4.4 Populasi dan Sampel

4.4.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian untuk kasus dan kontrol dalam penelitian ini adalah

semua penderita DBD dan DSS yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar tahun 2013-2014.

4.4.2 Besar sampel

Jumlah sampel agar representatif maka OR sebesar 3,146 dari penelitian

sebelumnya dihitung dengan proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada

penderita DBD (P2) sebesar 31,6% (Harisnal, 2012). Dalam penelitian ini

menggunakan desain kasus-kontrol sehingga didapatkan proporsi keterlambatan

ke rumah sakit pada kejadian DSS (P1) sebesar 59,22%. Besar sampel penelitian

ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel dari S.K. Lwanga dan S.

Lemeshow dkk., (1997) dalam software version by KC Lun and Peter Chiam

untuk uji hipotesis odds-ratio dengan rumus dan ketentuan yang digunakan seperti

berikut ini.

2

21

2

22111222/1

)(

}1)1()1(2{

PP

PPPPZPPZn

Tingkat kemaknaan (α=) sebesar 5%.

Kekuatan (β) sebesar 80%.

Hipotesa alternatif dua sisi.

Proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada kejadian DSS (P1) sebesar 59,2%.

Proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada penderita DBD (P2) sebesar 31,6%.

Page 50: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

36

Berdasarkan perhitungan dari rumus di atas didapatkan jumlah sampel

minimal yang diperlukan yaitu 46 orang untuk kelompok kasus, sedangkan untuk

kelompok kontrol dipakai 2 kali kasus sehingga jumlahnya sebanyak 92 orang

sehingga total sampel minimal yaitu 138 orang dengan rasio kasus dan kontrol

(1:2). Total sampel tersebut dianggap cukup untuk dapat melakukan analisis

multivariat dengan tujuan mengetahui pengaruh variabel bebas dengan

pertimbangan varibel penelitian.

Namun dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan adalah semua

pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan data dari rekam medik di

RSUD Wangaya Kota Denpasar pada tahun 2013 terdapat sebanyak 1.046 pasien

DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 20 kasus (1,91%), sedangkan tahun

2014 terdapat 989 pasien DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 27 kasus

(2,73%). Jadi pada periode tahun 2013-2014 menunjukkan jumlah kejadian DSS

47 kasus dan 2.035 pasien DBD yang dirawat inap, sehingga jumlah sampel

minimal sudah dapat dipenuhi dengan rasio kasus dan kontrol (1:2).

Penggunaan semua sampel DSS dikarenakan dengan pertimbangan jumlah

kejadian DSS yang kecil 2,41% dari pasien DBD yang rawat inap di RSUD

Wangaya selama tahun 2013-2014 dan mempertimbangkan kemungkinan ada data

missing pada varibel-varibel yang diteliti.

4.4.3 Cara pengambilan sampel untuk mendapatkan faktor risiko

Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dari register pasien di

ruang perawatan dan catatan rekam medik, selanjutnya dilakukan penelusuran

dokumen catatan/les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama

Page 51: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

37

tahun 2013-2014. Setiap satu kasus dipasangkan dengan dua kontrol yang

memiliki kesamaan tempat tinggal berdasarkan kecamatan di Kota Denpasar.

Pemilihan kontrol dilaksanakan dengan cara sistematik random dari data sekunder

yang sudah berurutan sesuai tanggal masuk rumah sakit, selanjutnya dari data

calon responden itu dicari intervalnya pada setiap kecamatan di Kota Denpasar

dan yang menjadi kontrol dari kasus yang ada di kecamatan tersebut.

Pengumpulan data untuk sampel yang jumlahnya cukup besar tersebut

dibantu oleh petugas rekam medik di RSUD Wangaya dan petugas surveilans

Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang sebelumnya dilakukan persamaan persepsi

dalam pengisian formulir ekstrak data sesuai kepentingan data yang dibutuhkan

oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang dipakai sampel yaitu harus memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi seperti berikut ini.

a. Kriteria inklusi.

Kriteria yang diikutkan dalam penelitian untuk kasus yaitu penderita

bertempat tinggal di Kota Denpasar dengan diagnosa DSS yang tercatat

pada les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama tahun

2013-2014. Sedangkan kriteria kontrol adalah penderita bertempat tinggal

se-kecamatan di Kota Denpasar yang dengan diagnosa DBD yang tercatat

pada les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama tahun

2013-2014.

Page 52: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

38

b. Kriteria eksklusi.

Kriteria kasus dan kontrol yang tidak diikutkan dalam penelitian apabila

data tidak lengkap antara lain tidak memiliki data hasil konfirmasi

laboratorium, dan subjek dengan penyakit penyerta.

4.5 Identifikasi Variabel

a. Variabel terikat adalah kejadian DSS.

b. Variabel bebas antara lain yaitu umur, jenis kelamin, lama demam

sebelum MRS, riwayat infeksi DBD sebelumnya, hematokrit MRS,

trombosit MRS, kelas perawatan, jaminan kesehatan.

c. Variabel kendali adalah tempat tinggal.

Page 53: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

39

4.6 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

Status DBD Diagnosis oleh dokter rumah sakit

di RSUD Wangaya berdasarkan

konfirmasi laboratorium selama

tahun 2013-2014

Kasus diperoleh dengan

melihat register perawatan

Kontrol diperoleh dari

data ICD rekam medik

tahun 2013-2014

Data

rekam

medik

0 = DBD (DBD

derajat I dan II)

1= DSS (DBD

derajat III dan IV)

Nominal

Umur Lama hidup subjek sejak

dilahirkan yang dihitung dalam

tahun sampai dengan penelitian

dilakukan

Melihat rekam medik

pada kolom identitas

pasien

Data

rekam

medik

0= ≥ 15 tahun

1= < 15 tahun

Nominal

Jenis kelamin Keadaan tubuh subjek yang

dibedakan secara fisik

Melihat rekam medik

pada kolom identitas

pasien

Data

rekam

medik

0 = perempuan

1= laki-laki

Nominal

Lama demam

sebelum MRS

Jumlah hari waktu mulai demam

>38oC sampai dibawa ke RSUD

Wangaya

Melihat rekam medik

pada kolom riwayat

keperawatan

Data

rekam

medik

0 = < 4 hari

1= ≥ 4 hari

Ordinal

Riwayat infeksi

DBD

Subjek pernah atau tidak

sebelumnya menderita DBD

Melihat rekam medik

pada kolom riwayat

keperawatan

Data

rekam

medik

0 = tidak pernah

1 = pernah

Nominal

Page 54: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

40

Kelas perawatan

Jaminan

kesehatan

Hematokrit

MRS

Trombosit

MRS

Ruang rawat inap berdasarkan

perawatan yang ditempati pasien

DBD di RSUD Wangaya

Jaminan kesehatan perawatan

yang digunakan pasien DBD di

RSUD Wangaya

Nilai hematokrit pada saat pasien

masuk RSUD Wangaya

Nilai trombosit pada saat pasien

masuk RSUD Wangaya

Melihat rekam medik

pada cara masuk

Melihat rekam medik

pada cara masuk

Melihat rekam medik

pada hasil laboratorium

MRS

Melihat rekam medik

pada hasil laboratorium

MRS

Data

rekam

medik

Data

rekam

medik

Data

rekam

medik

Data

rekam

medik

0 = non perawatan

kelas III

1 = perawatan kelas III

0 = non JKBM

1 = JKBM

0 = < 42%

1 = ≥ 42%

0 = ≥ 50/cm3

1 = < 50/cm3

Ordinal

Nominal

Ordinal

Ordinal

Page 55: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

41

4.7 Sumber, Metode dan Tehnik Pengumpulan Data

Sumber dalam pengumpulan data yaitu menggunakan data sekunder

dengan penelusuran dokumen rekam medik yang diperoleh dari RSUD Wangaya

Kota Denpasar selama tahun 2013-2014 yang sesuai dengan kriteria inklusi. Alat

pengumpulan data menggunakan format ekstraksi data sesuai nomor register

pasien untuk mendapatkan informasi beberapa variabel dari subjek penelitian.

Semua data dibuat dalam bentuk soft copy untuk memudahkan dalam

menganalisa. Berdasarkan data tersebut kemudian diambil variabel yang menjadi

perhatian peneliti yang digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian.

Sebelum dilakukan analisis, data yang telah didapatkan selanjutnya

dilakukan proses pengolahan dengan tahapan seperti berikut ini.

1. Editing dilakukan untuk pemeriksaan seluruh data yang terkumpul dengan

melihat kelengkapan catatan rekam medik rumah sakit. Apabila ada

ditemukan data yang kurang jelas atau kurang lengkap maka akan dilihat

lagi hard copy rekam medik pasien sehingga datanya akurat.

2. Coding dilakukan untuk memberi angka-angka atau kode yang telah

ditentukan dalam definisi operasional dengan merubah beberapa data

huruf ke dalam bentuk angka guna memudahkan entry data ke komputer

seperti jenis kelamin yaitu 0= laki, 1= perempuan.

3. Entering dilakukan mulai dari menyiapkan lembar kerja di program excel

kemudian data yang sudah dikategorikan dimasukan untuk masing-masing

variabel sehingga menjadi suatu data dasar dengan memberi nama file

yang khusus dan selanjutnya dipindahkan ke dalam format STATA.

Page 56: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

42

4. Cleaning yaitu data yang telah dimasukan kemudian dilakukan

pengecekan kembali untuk menghindari salah input data dengan cara

membuat tabulasi distribusi frekuensi untuk setiap variabel dengan data

nominal dan ordinal.

5. Tabulating yaitu data yang telah ada di dalam STATA kemudian dianalisis

secara bertahap untuk mengetahui karakteristik subjek, analisa bivariat, uji

korelasi, dan analisa multivariat yang disajikan dalam bentuk tabel.

Analisis bivariat menggunakan tabel silang 2x2 dengan ukuran asosiasi dari

nilai Odds Ratio (OR) dari masing-masing variabel yang diteliti antara variabel

bebas dengan variabel terikat yang dihitung berdasarkan rumus OR= a.d / b.c

dengan hipotesa statistik Ho:OR=1 dan Ha:OR>1 dan diuji dengan Chi Square

menggunakan tingkat kemaknaan 95% (α= 5%). Faktor risiko yang dianalisis

secara bivariat bertujuan untuk menentukan pengaruhnya terhadap kejadian DSS

dan menentukan variabel yang dimasukan ke dalam analisis multivariat. Variabel

yang dinyatakan berhubungan secara signifikan apabila nilai p <0,05.

Semua faktor risiko yang sudah dianalisis secara bivariat dengan

menunjukkan hasil nilai p <0,25 yang bermakna secara substansi dan setelah

melakukan uji korelasi terhadap variabel-variabel yang saling berhubungan, maka

dapat selanjutnya ditentukan variabel yang dimasukkan ke dalam model analisis

multivariat menggunakan metode regresi logistik sesuai variabel yang dianalisis.

Analisis regresi logistik merupakan analisis untuk faktor yang secara

independen berpengaruh terhadap kejadian variabel tergantung. Semua variabel

terikat tersebut dimasukkan secara bersama-sama. Ukuran asosiasi yang

Page 57: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

43

digunakan adalah Adjusted OR dengan menggunakan tingkat kemaknaan 95%CI

(α= 5%). Variabel degan nilai p yang tidak signifikan dikeluarkan mulai dari nilai

p tertinggi. Berdasarkan perhitungan tersebut akan diketahui pengaruh murni dari

variabel tersebut.

Page 58: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

44

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Tempat Penelitian

Kota Denpasar merupakan sebuah kota di Pulau Bali dan sekaligus

menjadi ibu kota Provinsi Bali, Indonesia yang terdiri dari empat kecamatan dan

yang terdiri dari 43 desa/kelurahan. Keempat kecamatan tersebut yaitu

Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar

Timur, dan Kecamatan Denpasar Utara.

RSUD Wangaya terletak di Kota Denpasar dan mudah dijangkau. RSUD

Wangaya adalah rumah sakit negeri kelas B sesuai Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 538/Menkes/SK/IV/2003 dan mampu memberikan

pelayanan rujukan dari puskesmas dan rumah sakit kabupaten. Rumah sakit ini

tersedia 192 tempat tidur inap, 79 tenaga dokter dan 40 diantaranya adalah dokter

spesialis, 252 perawat. Instalasi rawat inap umum disediakan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Pasien yang

dirawat di instalasi rawat inap umum terdiri dari pasien umum, pasien rujukan

puskesmas, pasien Askes, pasien JKBM, maupun pasien miskin.

Tarif yang diberlakukan pada insalasi rawat inap dibedakan berdasarkan

kelas perawatan sesuai Peraturan Daerah Kota Denpasar. Kasus DBD merupakan

10 penyakit terbanyak di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Adapun kelas

perawatannya terdiri dari kelas III, kelas II, kelas I, dan kelas VIP Praja Amerta.

Salah satu indikator yang cukup penting untuk mengukur derajat kesehatan

44

Page 59: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

45

masyarakat yaitu mortalitas. Kejadian DSS di Kota Denpasar selalu ada setiap

tahun dan dapat berisiko kematian pada penderita DBD.

Penelitian penelusuran faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD

yang rawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar tahun 2013-2014

dilaksanakan pada bulan Maret-April 2015. Pengambilan data penelitian ini

dilakukan menggunakan data sekunder dari register pasien dan laporan

International Classification of Diseases (ICD) 10 rekam medik tahun 2013-2014

dengan mencatat sesuai dengan form data yang telah disiapkan.

Setelah melakukan seleksi terhadap subjek data di RSUD Wangaya Kota

Denpasar, pada tahun 2013 terdapat sebanyak 1.046 pasien DBD yang rawat inap

dengan kasus DSS sebanyak 20 orang. Sedangkan tahun 2014 terdapat 989 pasien

DBD yang rawat inap dengan kasus DSS sebanyak 27 orang. Jadi pada periode

tahun 2013-2014 di RSUD Wangaya Kota Denpasar yang memenuhi kriteria

untuk kasus yang diikutkan dalam sampel penelitian sebanyak 47 (2,31%) pasien

DSS dari 2.035 pasien DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya.

Jumlah sampel minimal yang diperlukan yaitu 46 orang untuk kasus,

maka total 47 pasien DSS (33,33%) ditetapkan dalam jumlah kasus dan jumlah

kontrol akan dipakai 2 kali kasus sehingga jumlahnya sebanyak 94 orang

(66,67%) yang dikendalikan berdasarkan tempat tinggal se-kecamatan di Kota

Denpasar. Sehingga jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini yaitu 141

orang dengan perbandingan antara kasus dan kontrol (1:2).

Page 60: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

46

5.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Distribusi prosentase masing-masing karakteristik sampel dari penelitian

ini yang ada pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan hasil berikut ini.

Menurut kelompok umur distribusi sampel dikategorikan menjadi dua yaitu pada

kelompok umur <15 tahun yang menjadi kasus sebanyak 21 (44,68%) dan

kontrolnya berjumlah 26 (27,66%). Sedangkan pada kelompok umur ≥15 tahun

yang menjadi kasus 26 (55,32%) dan kontrolnya sebesar 68 (72,34%). Median

(IQR) umur sampel pada kontrol adalah 19 (27) tahun dan kasus 20 (20) tahun.

Jenis kelamin sampel penelitian ini lebih besar pada laki-laki. Prosentase

laki-laki pada kasus sebesar 55,32% dan yang menjadi kontrol 56,38. Sedangkan

prosentase perempuan pada kasus sebesar 44,68% dan kontrolnya 43,62%,

sehingga secara keseluruhan prosentase sampel lebih banyak jenis kelamin laki-

laki dari pada perempuan (56,03%).

Dilihat dari tempat tinggal sampel se-kecamatan di Kota Denpasar dengan

perbandingan kasus dan kontrol (1:2), bahwa urutan prosentase sampel dari yang

paling besar yaitu di Kecamatan Denpasar Barat (46,81%), Kecamatan Denpasar

Utara (25,53%), Kecamatan Denpasar Timur (14,89%), Kecamatan Denpasar

Selatan (12,77%).

5.3 Penentuan Faktor Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD

Peran masing-masing variabel yang diduga sebagai faktor risiko kejadian

DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar

tahun 2013-2014 dapat dilihat dengan melakukan analisis bivariat. Pada

Page 61: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

47

penelitian ini, hasil analisis bivariat dapat dilihat pada tabel silang 2x2 yang diuji

dengan chi square sebagai berikut ini.

Tabel 5.1

Hasil Analisis Bivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD

yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar Tahun 2013-2014

Karakteristik DBD

n (%)

DSS

n (%)

Crude

OR

95%CI P

Umur

2,11

0,95-4,67

0,043 ≥15 tahun 68 (72,34) 26 (55,32)

<15 tahun 26 (27,66) 21 (44,68)

Jenis kelamin

Perempuan 41 (43,62) 21 (44,68)

Laki-laki 53 (56,38) 26 (55,32) 0,96 0,45-2,06 0.904

Lama demam

sebelum MRS

<4 hari 62 (65,96) 9 (19,15)

≥4 hari 32 (34,04) 38 (80,85) 8,18 3,32-21,38 0,001

Riwayat infeksi DBD

8,05

1,42-81,41

0,003

Tidak Pernah 92 (97,87) 40 (85,11)

Pernah 2 (2,13) 7 (14,89)

Hematokrit MRS

<42%

≥42%

Trombosit MRS

≥50/cm3

<50/cm3

54 (57,45)

40 (42,55)

81 (86,17)

13 (13,83)

13 (27,66)

34 (72,34)

19 (40,43)

28 (59,57)

3,53

1,56-8,21

3,73-22,9

0,001

0,001

Kelas perawatan

Non Kelas III

73 (77,66)

27 (57,45)

2,57

1,12-5,85

0,013 Kelas III 21 (22,34) 20 (42,55)

Jaminan kesehatan

5,33

2,31-12,33

0,001

Non JKBM 75 (79,79) 20 (42,55)

JKBM

19 (20,21)

27 (57,45)

Tabel 5.1 menunjukkan hasil analisis bivariat variabel risiko kejadian DSS

pada penderita DBD dengan crude OR >1 dapat dilihat bahwa umur <15 tahun,

lama demam sebelum MRS ≥4 hari, riwayat infeksi DBD sebelumnya, perawatan

kelas III, jaminan kesehatan daerah atau JKBM, hematokrit MRS ≥42%, dan

Page 62: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

48

trombosit MRS <50/cm3, bermakna secara statistik meningkatkan risiko kejadian

DSS. Sedangkan jenis kelamin tidak bermakna secara statistik sebagai faktor

risiko kejadian DSS. Penderita DBD dengan umur <15 tahun meningkatkan risiko

kejadian DSS dengan OR sebesar 2,11 (95%CI= 0,95-4,67). Lama demam

sebelum MRS ≥4 hari mempunyai risiko terjadi DSS dengan OR sebesar 8,18

(95%CI= 3,32-21,38). Riwayat infeksi DBD sebelumnya meningkatkan risiko

terjadinya DSS pada penderita DBD dengan OR sebesar 8,05 (95%CI= 1,42-

81,41).

Variabel hematokrit MRS ≥42% mempunyai OR sebesar 3,53 (95%CI=

1,56-8,21) yang menunjukkan bahwa penderita DBD dengan hematokrit MRS

≥42% memiliki risiko 3,53 kali lebih besar mengalami DSS. Variabel trombosit

MRS <50/cm3 dengan OR sebesar 9,18 (95%CI= 3,73-22,9) yang berarti bahwa

penderita DBD yang memiliki trombosit MRS <50/cm3 memiliki 9,18 kali lebih

berisiko untuk menjadi DSS.

Variabel lain dari hasil analisis bivariat diketahui bahwa kelas perawatan

pada kelas III dapat memiliki risiko terjadi DSS dengan OR sebesar 2,57

(95%CI= 1,12-5,85) dan pada variabel jaminan kesehatan daerah atau JKBM

diperoleh OR sebesar 5,33 (95%CI=2,31-12,33) sehingga variabel ini bisa

dimasukkan dalam model analisis multivariat.

Ruang perawatan kelas III umumnya lebih banyak untuk perawatan pasien

miskin atau yang memanfaatkan program JKBM sehingga dari segi ekonomi

dapat menghambat akses ke rumah sakit karena masih memikirkan biaya atau

beban lainnya walapun mendapat perawatan gratis yang menyebabkan

Page 63: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

49

keterlambatan berobat dan berhubungan dengan kejadian syok. Prosedur untuk

memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta JKBM ke rumah sakit memerlukan

proses rujukan dimana peserta yang memerlukan pelayanan dasar harus ke

puskesmas dan jaringannya terlebih dahulu, kecuali untuk keadaan gawat darurat

peserta dapat langsung rumah sakit jejaring JKBM terdekat.

Berdasarkan hal itu, maka dua variabel dengan skala ordinal tersebut yaitu

variabel perawatan kelas III dan variabel jaminan kesehatan daerah atau JKBM

sebelum dimasukkan ke dalam model analisis multivariat terlebih dahulu

dilakukan pengukuran korelasi Kendall’s Tau untuk mengukur kekuatan dan arah

hubungannya.

Hubungan antara perawatan kelas III dan JKBM sebesar 0,687 dengan

angka signifikansinya sebesar 0,001 mempunyai makna bahwa hubungannya

kuat, signifikan dan searah. Selanjutnya variabel perawatan kelas III yang

dimasukkan ke dalam model analisis multivariat karena memiliki nilai goodness

of fit test sebesar 0,8104 yang semakin mendekati satu. Disamping itu, variabel

perawatan kelas III dapat menghambat secara langsung akses ke tempat

pelayanan kesehatan daripada variabel jaminan kesehatan program JKBM. Hal ini

sesuai hasil penelitian Anny (2012), semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang

maka minat pemanfaatan layanan program JKBM semakin rendah.

5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko Kejadian DSS

Variabel bebas yang akan diikutkan dalam model awal analisis multivariat

yaitu umur <15 tahun, lama demam sebelum MRS ≥4 hari, riwayat infeksi DBD

Page 64: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

50

sebelumnya, perawatan kelas III, hematokrit MRS ≥42%, dan trombosit MRS

<50/cm3. Semua variabel bebas tersebut di atas merupakan variabel katagorikal

maka analisis yang dipakai adalah regresi logistik dalam analisis multivariat

untuk mendapatkan Adjusted Odd Ratio dengan menggunakan tingkat kemaknaan

95%CI (α= 5%) dengan metode enter. Berdasarkan perhitungan tersebut akan

diketahui pengaruh murni dari variabel tersebut dan dapat diketahui variabel

mana yang paling berpengaruh terhadap kejadian DSS. Analisis multivariat dalam

penelitian ini didapatkan hasil sesuai tabel berikut ini.

Tabel 5.2

Hasil Analisis Multivariat Variabel Risisko Kejadian DSS pada Penderita

DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar

Tahun 2013-2014

Variabel Adjusted

OR

95%CI Nilai p

Lower Upper

Umur <15 tahun 2,5 0,94 6,88 0,067

Lama demam sebelum MRS ≥4 hari 5,5 2,03 14,96 0,001

Riwayat infeksi DBD sebelumnya 11,6 1,83 73,96 0,009

Hematokrit MRS ≥42% 2,8 1,02 7,68 0,001

Trombosit MRS <50/cm3 5,2 1,88 14,36 0,001

Perawatan kelas III 2,9 1,01 8,29 0,049

Berdasarkan hasil analisis multivariat di atas maka dapat diketahui bahwa

enam faktor risiko tersebut yang secara independen atau setelah

mempertimbangkan faktor risiko yang lain meningkatkan risiko terhadap kejadian

DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar, adalah umur <15 tahun merupakan

faktor independen yang meningkatkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar

2,5 (95%CI= 0,94-6,88), lama demam sebelum MRS ≥4 hari secara independen

meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 5,5 (95%CI= 2,03-14,96),

Page 65: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

51

riwayat infeksi DBD sebelumnya secara independen berperan meningkatkan

risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 11,6 (95%CI= 1,83-73,96), hematokrit

MRS ≥42% secara independen berperan meningkatkan risiko kejadian DSS

dengan OR sebesar 2,8 (95%CI= 1,02-7,68), trombosit MRS <50/cm3 secara

independen berperan meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 5,2

(95%CI= 1,88-14,36), dan perawatan kelas III berpeluang secara independen

berperan meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 2,9 (95%CI=

1,01-8,29).

Page 66: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

52

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Hubungan Variabel dengan Kejadian DSS

6.1.1 Umur

Berdasarkan hasil analisis multivariat, ternyata umur <15 tahun

merupakan faktor yang secara independen meningkatkan risiko kejadian DSS

pada penderita DBD dibandingkan dengan umur ≥15 tahun dengan OR sebesar

2,5. Hasil yang mendukung penelitian ini disampaikan oleh Moraes dkk. (2013)

bahwa umur <4 tahun merupakan faktor risiko yang independen berpengaruh

terhadap terjadinya DSS sebesar 1,83 kali.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang menyatakan tidak ada

hubungan antara umur dengan kejadian DSS, dimana hasil penelitian Setiawati

(2011) menyebutkan umur balita dan umur anak sekolah tidak berhubungan

secara statistik dengan kejadian DSS (OR= 0,21 CI= 0,018-2,50). Hasil ini

diperkuat oleh hasil penelitian Harisnal (2012) dan Silvarianto (2013) yang

menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian

DSS.

Menurut WHO (2009), penyakit DBD di Asia Tenggara dan Selatan

merupakan penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan penyebab kematian

tertinggi pada anak-anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori spektrum klinis

DBD disebutkan bahwa penyakit DBD bisa terjadi pada semua umur, namun

lebih banyak kasus ditemukan pada pasien anak-anak yang menunjukkan lebih

52

Page 67: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

53

rentan terhadap kebocoran pembuluh darah (Depkes RI, 2004). Selain itu, risiko

syok lebih banyak ditemukan pada anak-anak oleh karena gejala klinis DBD yang

susah dikenali pada anak-anak sehingga menjadi penyebab renjatan hipovolemik

karena perdarahan (Latief, 2005).

Karakteristik gejala penyakit DBD pada anak perlu difahami dan

dilakukan pemeriksaan secara cepat dan tepat sehingga dapat dilakukan upaya

pencegahan terjadinya DSS. Riset pengembangan vaksin perlu diupayakan untuk

dapat mengurangi kejadian infeksi dengue mulai dari anak-anak yang sangat

bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dan mengurangi beban sosial maupun

ekonomi keluarga.

6.1.2 Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini, tidak ditemukan pengaruh secara signifikan antara

jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dengan kejadian DSS yang sudah

dapat diketahui dari analisis bivariat dengan crude OR sebesar 0,96

(95%CI=0,45-2,06). Hasil ini sesuai dengan penelitian Elmy dkk. (2009),

Setiawati (2011), Silvarianto (2013) yang menyimpulkan tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian DSS.

Hasil penelitian yang berbeda menggambarkan bahwa jenis kelamin

perempuan 3,2 kali lebih berisiko mengalami kejadian DSS dibandingkan laki-

laki (Harisnal, 2012). Selain itu penelitian (Anders dkk., 2011), juga menyebutkan

bahwa anak perempuan berisiko lebih tinggi sebesar 1,19 kali mengalami

kejadian DSS dibandingkan anak laki-laki.

Page 68: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

54

Berdasarkan teori yang diperoleh bahwa penyakit menular dapat

menyerang semua jenis kelamin (Widoyono, 2011). Penyakit DBD termasuk

kejadian DSS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang

dapat menginfeksi setiap orang dengan patogenisis syok yang sama pada jenis

kelamin laki-laki dan perempuan.

6.1.3 Lama demam sebelum MRS

Dalam penelitian ini ditemukan hasil pada variabel lama demam ≥4 hari

sebelum MRS terbukti sebagai faktor risiko yang independen berpengaruh

terhadap terjadinya DSS, dimana lama demam ≥4 hari sebelum MRS

meningkatkan risiko terjadinya DSS sebesar 5,5 pada penderita DBD

dibandingkan penderita dengan lama demam sebelum MRS <4 hari. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Harisnal (2012). Sudjana (2010) juga

menyebutkan bahwa fase syok terjadi pada hari ketiga sampai hari ketujuh.

Namun Setiawati (2011), menyebutkan lama demam di rumah tidak ada

hubungan dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 0,001.

Menurut WHO (2009) penderita DBD dapat berada pada suatu fase dari

tiga fase yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Spektrum klinis

infeksi virus dengue dapat asimtomatis (tidak bergejala) dan simtomatis

(bergejala). DBD ditandai dengan gejala awal demam yang mendadak serta

timbulnya tanda dan gejala klinis yang tidak khas (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan hasil dan teori yang diperoleh membuktikan bahwa

keterlambatan masyarakat datang berobat ke fasilitas kesehatan adalah faktor

yang sering membuat penderita DBD menjadi syok (Depkes RI, 2004). Hasil

Page 69: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

55

penelitian ini tentang faktor lama demam ≥4 hari sebelum MRS berperan

meningkatkan risiko terjadinya syok, oleh karena itu apabila menderita demam

pada hari pertama atau hari kedua demam yang tidak jelas penyebabnya agar

segera memeriksakan diri untuk mengetahui hasil laboratorium dan mendapat

pengobatan yang tepat.

6.1.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya

Pada analisis multivariat untuk mengetahui peranan riwayat infeksi DBD

terhadap kejadian DSS diperoleh adjusted OR sebesar 11,6. Hasil ini

menunjukkan bahwa riwayat infeksi DBD merupakan faktor yang secara

independen meningkatkan risiko terhadap kejadian DSS sebesar 11,6 kali pada

penderita DBD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya seperti penelitian Silvarianto (2013) menunjukkan OR sebesar 8,23.

Namun hasil penelitian yang berbeda disebutkan bahwa riwayat infeksi DBD

sebelumnya tidak bermakna signifikan mempengaruhi kejadian DSS setelah

dianalisis multivariat (Elmy dkk., 2009) dan (Setiawati, 2011).

Sesuai dengan teori bahwa beberapa faktor yang ada pada manusia itu

sendiri dapat menentukan terjangkitnya penyakit DBD maupun keparahannya

untuk menjadi DSS. Secara patogenesis yang dapat menjelaskan hal ini adalah

faktor virus serta respons imun cell-mediated. Penderita yang sembuh dari infeksi

dengan satu jenis serotipe virus akan memberikan imunitas seumur hidup, tetapi

tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi serotipe lain. Pada infeksi kedua

oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda sehingga virus yang masuk tidak

Page 70: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

56

sesuai dengan antibodi hospest maka keadaan penderita akan menjadi parah

karena terjadi antibodi non netralisasi yang memiliki sifat memacu reflikasi virus

(Kemenkes RI, 2011). Variabel riwayat infeksi DBD merupakan variabel yang

dapat berperan mempengaruhi kejadian DSS (Guha dkk., 2005).

Pada penelitian ini diperoleh data sampel sebanyak 141, sebagian besar

tidak pernah mengalami sakit DBD sebelumnya atau tidak pernah ada riwayat

infeksi DBD (93,62%). Data ini kemungkinan dipengaruhi oleh karena

menggunakan data sekunder dan bias pada waktu anamnesa. Namun riwayat

infeksi DBD pada penelitian ini merupakan variabel yang paling berperan

mempengaruhi kejadian DSS yaitu pada penderita DBD yang pernah mengalami

infeksi DBD sebelumnya berpeluang 11,6 kali mengalami DSS dibandingkan

yang tidak pernah mengalami riwayat infeksi DBD.

Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) perlu diupayakan untuk

meningkatkan kewaspadaan dini pada orang yang sudah pernah kena infeksi DBD

dari pada orang yang belum pernah terinfeksi DBD dan apabila mengalami

demam serta gejala lainnya yang mengarah DBD harus dengan segera ke rumah

sakit.

6.1.5 Hematokrit MRS

Data hematokrit yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai

hematokrit pada saat masuk rumah sakit berdasarkan data sekunder rekam medik

RSUD Wangaya Kota Denpasar. Dalam penelitian ini diperoleh hasil tentang

variabel hematokrit MRS ≥42% menunjukkan OR sebesar 2,8 yang berarti

hematokrit MRS ≥42% secara independen dan signifikan meningkatkan risiko

Page 71: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

57

sebesar 2,8 kali mengalami kejadian DSS pada penderita DBD dibandingkan

dengan yang hematokrit MRS <42%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan hematokrit

berhubungan dengan kejadian DSS (Mayetti, 2010; Setiawati, 2011; Harisnal,

2012; Tee dkk., 2009; dan Moraes dkk., 2013). Sedangkan hasil penelitian

Karolina dkk. (2013), syok lebih sering ditemukan pada hematokrit >40% tetapi

hubungannya tidak bermakna (p= 0,25).

Perbedaan hasil tersebut bisa dapat disebabkan oleh karena penentuan cut

of point nilai hematokrit dan intake sebelum MRS. Hemokonsentrasi

mencerminkan hilangnya plasma yang serius yang ditandai dengan peningkatan

nilai hematokrit ≥20%, namun nilai hematokrit juga dapat dipengaruhi oleh

penggantian dini volume, intake kurang, dehidrasi, dan perdarahan. Syok

merupakan hipovolemik yang disebabkan oleh hilangnya plasma. Nilai

hematokrit dapat meningkat biasanya mulai hari ketiga dari perjalanan penyakit

DBD (Kemenkes RI, 2011). Pada kasus DBD parah yang telah disertai

perdarahan, secara umum nilai hematokritnya tidak meningkat dan bahkan

cenderung menurun (Hadinegoro, 2013).

Menurut WHO (2004), pasien biasanya akan sembuh sempurna dengan

segera setelah mendapat pengobatan penggantian cairan atau terapi elektrolit.

Pemeriksaan hematokrit berkala adalah panduan utama untuk memberi

pengobatan. Meskipun terdapat tingkat kebocoran yang masif terutama pada

kasus syok, diharuskan pemberian cairan dalam jumlah yang tepat.

Page 72: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

58

Peningkatan hematokrit saat MRS ≥42% menunjukkan telah terjadi

kehilangan cairan lebih banyak yang sesuai dengan hasil lama demam sebelum

MRS mencerminkan adanya keterlambatan berobat. Penderita DBD perlu segera

periksa darah apabila mengalami demam pada hari pertama atau kedua karena

perubahan patofisiologis hematokrit dapat menentukan derajat penyakit DBD

sehingga perlu diperhatikan untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.

6.1.6 Trombosit MRS

Dalam analisis multivariat menunjukkan variabel trombosit MRS <50/cm3

memiliki 5,2 kali lebih berisiko untuk menjadi DSS dibandingkan dengan

penderita DBD yang memiliki trombosit MRS ≥50/cm3. Hasil temuan yang sama

dijumpai pada penelitian Raihan dkk. (2010) yang menemukan bahwa syok lebih

sering terdapat pada kadar trombosit <50.000/mm3. Hasil penelitian yang

mendukung juga yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh Mayetti (2010), dan

Setiawati (2011).

Sesuai dengan teori bahwa kelainan sistem koagulasi mempunyai peranan

sebagai penyebab perdarahan pada penderita DBD. Trombositopenia dapat mulai

tampak pada penderita DBD beberapa hari setelah demam dan mencapai nilai

terendah pada saat mengalami syok. Pemeriksaan perlu diulang setiap 4-6 jam

sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis

penderita sudah membaik (Kemenkes RI, 2013).

Jumlah trombosit perlu mendapat perhatian khusus untuk mengetahui

indikasi resiko terjadinya keparahan DBD yang menyebabkan kejadian DSS pada

pasien DBD. Hasil jumlah trombosit MRS <50/cm3 hendaknya harus diwaspadai

Page 73: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

59

oleh pederita DBD karena berisiko terjadi DSS oleh karena dengan jumlah

trombosit tersebut dapat mengakibatkan perdarahan spontan. Pemeriksaan

lengkap darah yang disangka menderita DBD perlu dilakukan untuk menegakkan

diagnosis dan pengobatan yang tepat.

6.1.7 Kelas perawatan

Analisis multivariat dalam penelitian ini diperoleh hasil pada variabel

perawatan kelas III secara independen bermakna meningkatkan risiko kejadian

DSS pada penderita DBD dengan OR sebesar 2,9. Sesuai dengan deskripsi Fahlafi

(1994), yang menggambarkan bahwa karakteristik sosial ekonomi pada pasien

rawat inap berhubungan dengan pemilihan kelas perawatan, dimana penetapan

tarif kelas perawatan sangat menentukan permintaan dari kelompok

berpendapatan rendah dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Beban

ekonomi dan sosial dari penderita atau keluargannya dapat merupakan hambatan

untuk segera berobat atau mendapat pertolongan di rumah sakit.

Hasil ini menunjukkan perawatan kelas III walaupun seolah-olah

mempunyai pengaruh terhadap kejadian DSS tetapi ternyata bukan berpengaruh

lansung. Perawatan kelas III terlihat sebagai faktor risiko namun lebih

berhubungan dengan keterlambatan ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan

oleh karena pasien DBD yang dirawat di kelas III cenderung mempunyai ekonomi

yang lemah. Beban ekonomi dan sosial dari penderita atau keluargannya dapat

merupakan hambatan untuk mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan dengan

baik.

Page 74: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

60

Pengembangan pelayanan kesehatan untuk menegakkan diagnosa dini

penyakit DBD ditingkat pelayanan dasar atau puskesmas perlu diupayakan

sehingga masyarakat dengan golongan ekonomi lemah dapat mengakses dan bisa

mendapat pertolongan yang tepat dengan segera.

6.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder atau subjek dari rumah sakit

(hospital based) sehingga data yang diperoleh sangat tergantung dari hasil

pelaporan dan dalam penelitian ini yaitu pencatatan rekam medik sehingga tidak

semua variabel bisa didapatkan untuk keperluan penelitian seperti status gizi yang

mempengaruhi fungsi kinerja berbagai system tubuh, serotipe virus dengue

karena bisa berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh.

Validasi mengenai informasi sukar diperoleh khususnya untuk variabel

riwayat infeksi DBD dan lama demam sebelum MRS karena kemungkinan terjadi

recall bias atau ada bias informasi dari penderita maupun keluarganya sehingga

dapat mengakibatkan kesalahan estimasi besar OR yaitu bisa menjadi lebih tinggi

atau lebih rendah dari hasil penelitian ini. Hasil pemeriksaan serelogi juga tidak

ada datanya yang berguna untuk mengetahui jenis infeksi DBD yang pertama atau

infeksi DBD yang berulang. Arah kesalahan yang sama juga pada pengaruh lama

demam sebelum MRS terhadap risiko kejadian DSS karena gejala DBD juga bisa

asimtomatis.

Page 75: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

61

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pembahasan faktor risiko

kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota

Denpasar tahun 2013-2014 seperti yang diuraikan dibawah ini.

1. Faktor yang secara independen meningkatkan risiko kejadian DSS pada

penderita DBD adalah umur <15 tahun dengan OR sebesar 2,5; riwayat

infeksi DBD sebelumnya diperoleh OR sebesar 11,6; lama demam

sebelum MRS ≥4 hari dengan OR sebesar 5,5; trombosit MRS <50/cm3

dengan OR sebesar 5,2; hematokrit MRS ≥42% dengan OR sebesar 2,8;

dan perawatan kelas III dengan OR sebesar 2,9.

2. Variabel yang tidak bermakna meningkatkan risiko kejadian DSS pada

penderita DBD adalah jenis kelamin.

7.2 Saran

1. Meningkatkan kewaspadaan dini pada orang tua bahwa karakteristik

gejala penyakit DBD pada umur <15 tahun perlu difahami dan apabila

demam yang tidak jelas agar dilakukan pemeriksaan secara cepat dan tepat

sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan terjadinya DSS.

2. Tingkatkan kewaspadaan jika ada pederita yang pernah terinfeksi DBD

sebelumnya untuk mencegah syok atau keparahannya karena berdasarkan

61

Page 76: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

62

hasil analisis didapatkan hubungan pengaruh yang kuat antara riwayat

pernah infeksi DBD dengan kejadian DSS.

3. Segera memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan apabila ada masyarakat

menderita panas dengan penyebab yang tidak jelas karena lama demam

sebelum MRS, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian DSS.

4. Kepada praktisi swasta (dokter atau bidan yang praktik mandiri), apabila

didapatkan pasien dengan menderita demam yang tidak jelas agar merujuk

pasien untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui nilai

hematokrit dan juga trombosit darah.

5. Nilai hematokrit ≥42% dan kadar trombosit <50/cm3 pada saat penderita

DBD masuk rumah sakit harus diwaspadai untuk mengarah terjadinya

syok karena merupakan indikasi telah terjadi perdarahan spontan yang

mempercepat kejadian syok akibat kebocoran plasma yang lebih berat.

6. Menyediakan sarana untuk pemeriksaan hematokrit dan trombosit pada

pelayanan kesehatan masyarakat tingkat dasar (puskesmas) agar bisa

dimanfaatkan oleh masyarakat golongan ekonomi lemah untuk mencegah

keterlambatan diagnosa.

7. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap status riwayat infeksi

DBD berdasarkan hasil serelogi, tipe virus dengue di masyarakat, dan

faktor genetik karena bisa berkaitan dengan keparahan penyakit DBD

tersebut. Penelitian lebih lanjut perlu juga untuk mengetahui peyebab

keterlambatan berobat ke rumah sakit dari segi sosial, budaya dan

ekonomi masyarakat.

Page 77: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

63

DAFTAR PUSTAKA

Anders, K. L., Nguyet, N. M., Chau, N. V. V., Hung, N. T., Thuy, T. T., Lien, L.

B., … Simmons, C. P. (2011). Epidemiological Factors Associated With

Dengue Shock Syndrome And Mortality In Hospitalized Dengue Patients In

Ho Chi Minh City, Vietnam. The American Journal of Tropical Medicine and

Hygiene, 84(1), 127–34. doi:10.4269/ajtmh.2011.10-0476

Anny Eka Pratiwi. (2012). Minat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Bagi

Peserta Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara Studi Di Kabupaten

Karangasem Dan Kabupaten Badung.

Arhana, B. N. P. (2006). Rasio IgM/IgG Fase Akut Untuk Menentukan Infeksi

Dengue Sekunder. Sari Pediatri, 8.

Beaumier, C. M., Mathew, A., Bashyam, H. S., & Rothman, A. L. (2008). Cross-

Reactive Memory Cd8(+) T Cells Alter The Immune Response To

Heterologous Secondary Dengue Virus Infections In Mice In A Sequence-

Specific Manner. The Journal of Infectious Diseases, 197(4), 608–17.

doi:10.1086/526790

Capeding, M. R., Chua, M. N., Hadinegoro, S. R., Hussain, I. I. H. M.,

Nallusamy, R., Pitisuttithum, P., … Wartel, T. A. (2013). Dengue and Other

Common Causes of Acute Febrile Illness in Asia: An Active Surveillance

Study in Children. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(7).

doi:10.1371/journal.pntd.0002331

Crisp, J., Pearson, A., White, J., & Nightingale, F. (2012). Fundamentals of

Nursing Nursing today The history of modern nursing.

Dinkes Kota Denpasar. (2014). Laporan Program P2 DBD. Denpasar.

Dr. Primal Sudjana, S. (2010). Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah

Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Kemenkes RI, 2, 23.

Elmy. (2009). Obesitas Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. 11(4), 238–

243.

Fahlafi, R. (1994). Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Pasien Rawat Inap

Dengan Pemilihan Kelas Perawatan di Rsud Tangerang.

Frans, E. H. (1991). Patogenesis Infeksi Virus Dengue.

Page 78: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

64

Guha-Sapir, D., & Schimmer, B. (2005). Dengue fever: new paradigms for a

changing epidemiology. Emerging Themes in Epidemiology, 2(1), 1.

doi:10.1186/1742-7622-2-1

Hadinegoro, S. R. S. (2013). Clinical Aspect of Dengue in Pediatric Case,

(November), 29–30.

Harisnal. (2012). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Dengue Shock Syndrome Pada

Pasien Demam Berdarah Dengue di Rsud Ulin Dan Rsud Ansari Saleh.

Indonesia, D. K. R. (2003). Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam

Dengue dan Demam Berdarah Dengue.

Karolina Tallo, B N P Arhana, D. L., & Utama. (2013). Kejadian Perdarahan

masif pada pasien DSS dihubungkan dengan jumlah leukosit, trombosit, dan

kadar hematokrit. I(2), 64–73.

Mayetti. (2010). Hubungan Gambaran Klinis dan Lab sebagai Faktor Risiko

DBD. 11(5), 367–373.

Moraes, G. H., Duarte, E. D. F., & Duarte, E. C. (2013). Determinants of

mortality from severe dengue in Brazil: A population-based case-control

study. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 88(4), 670–676.

doi:10.4269/ajtmh.11-0774

Raihan, Hadinegoro, S. R. S., & Tumbelaka, A. R. (2010). Faktor Prognosis

Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue, 12(1), 47–52.

RI, K. (2010a). Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009.

Volume 2 , Agustus 2010.

RI, K. (2010b). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009.

RI, K. (2013). Pedoman Pengendaliann DBD di Indonesia.

RI, K. K. (2011). Modul pengendalian demam berdarah dengue.

Setiawati, S. (2011). Analisis Faktor-faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok

Sindrom pada Anak Dengan Demam Berdarah Dengue di RSUP

Persahabatan dan RSUD Budhi Asih.

Sharma SK, G. A. (2003). Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Shock

Syndrome - Pertinent Issues in Management.

Page 79: faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...

65

Silvarianto, D. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Dengue Syok Syndrome pada Anak dengan Demam Berdarah Dengue.

Universitas Dian Nuswantoro Semarang . 2013, 0–1.

Sudigdo Sastroasmoro. (2002). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (Edisi

5.). Jakarta: Sagung Seto.

Tee, H. P., How, S. H., Jamalludin, A. R., Safhan, M. N. F., Sapian, M. M., Kuan,

Y. C., & Sapari, S. (2009). Risk Factors Associated with Development of

Dengue Haemorrhagic Fever or Dengue Shock Syndrome in Adults in

Hospital Tengku Ampuan Afzan Kuantan. 64(4), 316–320.

U.S. Department of Health. (2009). Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever

Information for Health Care Practitioners. 1–4.

WHO. (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And

Control.

WHO. (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue

and Dengue Haemorrhagic Fever (revised an.).

Widajanti, E., Garna, H., Chairulfatah, A., & Hudaya, D. (2003). Paediatrica

Indonesiana. Paediatrica Indonesiana, 49(6), 158–161.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya (Edisi 2.). Erlangga.