TINJAUAN PUSTAKA Dendeng Sapi - repository.ipb.ac.id · irisan atau gilingan daging sapi segar...

14
TINJAUAN PUSTAKA Dendeng Sapi Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Dendeng sapi digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling yang masing- masing digolongkan dalam dua jenis mutu. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng menurut Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992 ditampilkan pada Tabel 1. Dendeng tergolong dalam produk pangan semi basah, menurut Huang dan Nip (2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai a w berkisar antara 0,60-0,92. Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi No Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu I Mutu II 1 Warna dan bau - Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi 2 Kadar air, (bobot-/bobot) % Maks. 12 Maks. 12 3 Kadar protein (bobot/bobot kering) % Min. 30 Min. 25 4 Abu tak larut dalam asam (bobot/bobot kering) % Maks. 1 Maks. 1 5 Benda asing (bobot/bobot kering) % Maks. 1 Maks. 1 6 Kapang dan serangga - Tidak nampak Tidak nampak Sumber: Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008a). Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Dendeng Sapi - repository.ipb.ac.id · irisan atau gilingan daging sapi segar...

TINJAUAN PUSTAKA

Dendeng Sapi

Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari

irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu

dan dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Dendeng sapi digolongkan

menjadi dua bentuk, yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling yang masing-

masing digolongkan dalam dua jenis mutu. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng

menurut Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992 ditampilkan pada Tabel 1.

Dendeng tergolong dalam produk pangan semi basah, menurut Huang dan Nip

(2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai aw

berkisar antara 0,60-0,92.

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

1 Warna dan bau - Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi

2 Kadar air, (bobot-/bobot) % Maks. 12 Maks. 12

3 Kadar protein

(bobot/bobot kering) % Min. 30 Min. 25

4 Abu tak larut dalam asam

(bobot/bobot kering) % Maks. 1 Maks. 1

5 Benda asing (bobot/bobot

kering) % Maks. 1 Maks. 1

6 Kapang dan serangga - Tidak nampak Tidak nampak

Sumber: Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992.

Daging Sapi

Daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang

aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging

segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008a). Berdasarkan

keadaan fisik, daging dapat dikelompokan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan

4

atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging

dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging

beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 2005).

Bumbu

Garam

Garam dipergunakan manusia secara luas untuk mengawetkan berbagai

macam makanan. Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme

pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk

spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah

sekalipun (yaitu sampai 6%). Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium

botulinum dengan pengecualian pada Staphylococcus aureus, dapat dihambat oleh

konsentrasi garam sampai 10%-12%. Walaupun begitu, beberapa mikroorganisme

terutama jenis Leuconostoc dan Lactobacillus, dapat tumbuh cepat dengan adanya

garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak dikehendaki

(Buckle et al., 2009).

Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan

pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh

racunnya. Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat tumbuh dalam larutan

garam yang hampir jenuh, tetapi mikroorganisme ini membutuhkan waktu

penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan (Buckle

et al., 2009).

Gula Kelapa

Gula kelapa atau gula merah adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama

nira kelapa yang telah diolah. Gula kelapa memiliki ciri khusus baik rasa, aroma dan

bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari bahan tebu (Heri

dan Lukman, 2007). Prinsip pembuatan gula merah adalah penguapan sebagian air

dalam nira sampai mencapai tingkat kekentalan tertentu sehingga gula dapat dicetak.

Kondisi kimia nira sangat menentukan warna gula merah karena pada dasarnya

reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada pembentukan gula merah

melibatkan reaktan-reaktan berupa senyawa-senyawa kimia seperti protein, lemak,

kadar gula, dan kadar air (Nurlela, 2002).

5

Gula merah yang terbuat dari nira kelapa berwarna lebih cerah dibanding gula

merah yang terbuat dari nira aren. Penampakan gula merah yang kering dan berair

sangat ditentukan oleh kondisi keasaman nira sebagai bahan baku. Pada kondisi

asam, kandungan gula pereduksi pada gula merah sangat tinggi. Gula pereduksi

menyebabkan gula merah menjadi lebih higroskopis (mudah menarik uap air)

sehingga penampakan produk menjadi basah dan mudah meleleh. Kekerasan gula

merah disebabkan oleh adanya kristal-kristal sukrosa. Pemanasan yang diperlukan

pada reaksi pencoklatan akan menyebabkan kandungan sukrosa gula dalam gula

merah menurun akibat terdegradasi menjadi gula pereduksi, sehingga kadar kristal

sukrosa dalam gula merah menjadi rendah (Nurlela, 2002).

Gula Pasir

Gula pasir merupakan hasil dari proses rekristalisasi ekstrak cairan tebu

dengan kandungan sukrosa yang sangat tinggi (Fitriadi, 2000). Gula sukrosa

termasuk ke dalam golongan disakarida yang terdiri atas dua unit monosakarida,

yaitu α-glukosa dan fruktosa yang terhubung melalui ikatan glikosida (Rizal et al.,

2007). Menurut Buckle et al. (2009), faktor utama yang mempengaruhi mutu

sukrosa adalah pemanasan. Penggunaan teknik konsentrasi hampa udara dalam

proses penggilingan dan pemurnian mengurangi inversi sukrosa menjadi glukosa dan

fruktosa, serta mengurangi pembentukan warna gelap oleh proses karamelisasi.

Lengkuas

Lengkuas (Alpinia galanga) digunakan untuk menambah citarasa makanan

seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Rimpangnya memiliki berbagai aplikasi dalam

pengobatan tradisional (Yang dan Eilerman, 1999). Lengkuas sebagai minyak

esensial menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif, ragi, dan

dermatofit. Senyawa yang paling aktif adalah terpinen-4-ol (Janssen dan Scheffer,

1985). Selain itu, minyak esensial dari lengkuas dilaporkan berpotensi sebagai

antikarsinogen (Zheng et al., 1993).

Menurut Mahae dan Chaiseri (2009), ekstrak etanol lengkuas menunjukkan

potensi untuk digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk makanan.

Lengkuas memiliki senyawa fenolik dan 1-acetoxychavicol asetate (ACA) dengan

bau ringan, yang membuatnya menguntungkan untuk digunakan dalam berbagai

6

jenis produk makanan bila dibandingkan dengan herbal lain. Menurut Tangkanakul

et al. (2009) lengkuas mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg

vitamin C equivalent (VCE)/100 g dan total fenolat sebesar 216,63 ± 3,33 mg gallic

acid equivalent (GAE)/100 g.

Ketumbar

Ketumbar merupakan tanaman asli dari daratan Eropa Timur, kemudian

menyebar ke India, Morocco, Pakistan, Rumania dan Rusia (Purseglove et al., 1981).

Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia

yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri

berkisar 0,4%-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen,

komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlahnya sekitar 60%-70%

dengan komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,6%-2,6%), geranil

asetat (2%-3%), kamfor (2%-4%), dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon

berjumlah sekitar 20% (α-pinen, β-pinen, dipenten, p-simen, α-terpinen dan γ-

terpinen, terpinolen dan fellandren) (Guenther, 1990). Berdasarkan jenis unsur

penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa

hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak

atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman

dan Yuhono, 2007). Menurut Tangkanakul et al. (2009) biji ketumbar mempunyai

aktivitas antioksidan sebesar 53,54 ± 6,97 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar

97,26 ± 2,50 mg GAE/100 g.

Bawang Putih

Bawang putih mempunyai kadar air sebesar 37,87 ± 0,6%. Ekstrak bawang

putih dapat melindungi lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas yang telah

diuji dengan radiasi larutan asam linoleat (5 mM) dalam campuran etanol : air (1:1

v/v) pada konsentrasi rendah (Leelarungrayub et al., 2006). Umbi bawang putih

mengandung senyawa aktif allicin (diallyl thiosulfinate) yang berperan sebagai

antimikroba. Thiosulfinates memiliki derajat yang berbeda pada penghambatan

antibakteri dan antijamur (Benkeblia dan Lanzotti, 2007). Thiosulfinates mempunyai

sifat antioksidan yang nyata di bawah kondisi tertentu (Rabinkov et al., 1998).

Menurut Tangkanakul et al. (2009) bawang putih mempunyai aktivitas antioksidan

7

sebesar 8,77 ± 1,93 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 63,51 ± 3,67 mg

GAE/100 g.

Suharti et al. (2005) telah menguji aktivitas antibakteri bawang putih dengan

berbagai konsentrasi yaitu, 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%. Gambar 1 menunjukkan

bahwa aktivitas antibakteri bawang putih pada konsentasi 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%

berturut-turut adalah 4,0 mm; 7,0 mm; 7,5 mm; dan 8,0 mm. Aktivitas antibakteri

tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% (P<0,05). Gambar tersebut juga

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bawang putih, maka aktivitasnya

cenderung meningkat. Hal ini diduga dengan semakin tingginya konsentrasi bawang

putih maka kandungan bahan aktif antibakterinya juga meningkat. Namun

konsentrasi bawang putih yang mempunyai aktivitas yang tidak berbeda nyata

(P<0,05) dengan antibiotik tetrasiklin 100 µg/ml adalah pada konsentrasi 5% dan

7,5%.

Aktivitas antibakteri serbuk bawang putih diduga disebabkan oleh dialil

tiosulfinat yang biasa disebut dengan alisin. Alisin tidak ditemukan pada tanaman

utuh tetapi terbentuk oleh aktivitas enzim alliin alkil sulfenat liase pada komponen

asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide/aliin (Feldberg et al., 1998).

Gambar 1. Histogram Aktivitas Antibakteri Bawang Putih dengan Berbagai

Konsentrasi Sumber : Suharti et al. (2005)

4

7

7,5 8

7,23

8

Asam Jawa

Asam jawa biasanya diproduksi di Jawa Timur termasuk Madura, Jawa

Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Bali, dan

Sulawesi Selatan. Tanaman ini biasa tumbuh di dataran rendah dan beriklim tropis.

Klasifikasi ilmiah dari asam jawa menurut Soemardji (2007) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta

Division : Spermatophyta

Sub division : Magniliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Risidae

Ordo : Fabales

Family : Fabaceae

Genus : Tamarindus L.

Species : Tamarindus indica L.

Dalimartha (2006) mengemukakan, bahwa beberapa kandungan dari

Tamrindus indica L. antara lain: kulit kayu mengandung 35% phlobatannine, biji

mengandung selulosa dan albuminoid, buahnya mengandung asam anggur, asam

apel, asam sitrat, asam tartar, gula invert dan pektin. Buah asam yang masak

mempunyai 40%-50% daging buah yang dapat dikonsumsi dan kandungan per 100 g,

yaitu: air 17,8-35,8 g; protein 2-3 g; lemak 0,6 g; karbohidrat 41,1-61,1 g; serat 2,9

g; abu 2,6-3,9 g; kalsium 34-94 mg; fosfor 34-78 mg; besi 0,2-0,9 mg; tiamin 0,33

mg; riboflavin 0,1 mg; niasin 1 mg; dan vitamin C 44 mg. Biji segar mengandung air

13%, protein 20%, lemak 5,5%, karbohidrat 59%, abu 2,4% dan sisanya adalah

amiloid, fitohemaglutinin, dan flavonoid. Daging buah, daun, dan batang dari

Tamrindus indica L. mengandung saponin, flavonoid, dan tannin. Selain itu

Tangkanakul et al. (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa asam jawa yang

sudah berupa jus mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 13,44 ± 0,07 mg VCE/100

g dan total fenolat sebesar 23,84 ± 0,82 mg GAE/100 g.

9

Merica

Merica (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae, yang berasal

dari India dan merupakan rempah-rempah yang paling berharga sejak zaman dahulu.

Merica mengandung minyak volatil yang mempunyai aktivitas antimikroba (Dorman

dan Deans, 2000). Merica memiliki kandungan obat, sehingga sering digunakan

untuk mengobati vertigo, asma, obesitas, sinusitis, gangguan pencernaan kronis,

racun usus, demam, lumpuh, gangguan rematik, diare, dan juga kolera (Sashidhar,

2002).

Merica bubuk pada pembuatan sosis daging babi segar dapat memperpanjang

umur simpan, meskipun pada luasan yang berbeda tergantung pada rempah-rempah

dan konsentrasi yang digunakan. Selain itu, merica tampaknya paling sesuai untuk

memperpanjang umur simpan sosis segar karena efektif menunda perubahan warna

dan off-flavor. Merica juga mempunyai daya hambat yang cukup signifikan terhadap

oksidasi lemak, tergantung dari konsentrasi yang ditambahkan (Martinez et al.,

2006). Menurut Tangkanakul et al. (2009) merica mempunyai aktivitas antioksidan

sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 447,23 ± 10,38 mg

GAE/100 g.

Senyawa Fenolat

Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolat.

Senyawa fenolat merupakan senyawa kimia yang mempunyai satu buah cincin

aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Beberapa penelitian telah

melaporkan hubungan antara kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan.

Beberapa peneliti menemukan korelasi antara kandungan fenolat dan

aktivitas antioksidan (Soong dan Barlow, 2004). Velioglu et al. (1998) melaporkan

adanya hubungan yang kuat antara kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan

pada sayuran, buah-buahan, dan produk biji-bijian. Menurut Ismail et al. (2004)

setiap jenis sayuran memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda, disumbangkan oleh

komponen antioksidan yang berbeda, seperti α-tokoferol, β-karoten, vitamin C,

selenium, atau senyawa fenolat. Struktur kimia beberapa senyawa antioksidan alami

yang bersal dari tanaman ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini:

10

Fenol (Rantai-Rantai Tunggal) Tokoferol

Hidroksi Sinamat Koumarin

Flavonoid

Gambar 2. Struktur Kimia Beberapa Senyawa Antioksidan Alami Sumber : Cahyadi (2008)

Oksidasi Lemak

Salah satu kerusakan pada produk makanan adalah oksidasi lemak dari asam

lemak tidak jenuh. Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui jalan autoksidasi.

Menurut Cahyadi (2008) proses oksidasi lemak pada prinsipnya merupakan proses

pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalam molekul

gliserida penyusun lemak. Proses oksidasi lemak berlangsung dalam suatu seri reaksi

yang disebut mekanisme radikal bebas. Autoksidasi radikal bebas dari lemak ditandai

3

2

4

1

8

5

6

7

o

4’

5’ 6’

3’ 2’

1 6

7

8

9 5

4

3

2

2

3

4

5

6 HO

1

4

3

2

OH 1

2

3

4

5

6

o

11

dengan tiga tahapan utama. Tahap permulaan disebut inisiasi yang kemudian diikuti

oleh tahap propagasi, dan tahap terminasi atau berhentinya reaksi.

Purnomo (1995) menambahkan bahwa inisiasi terjadi dengan ditandai oleh

hilangnya radikal hidrogen pada gugus asam lemak tak jenuh dari molekul lemak

(RH) karena panas, cahaya, atau logam dalam jumlah kecil (trace metal). Pada tahap

propagasi radikal bebas (R*), lemak akan bereaksi dengan oksigen, dan membentuk

radikal peroksi tak stabil (ROO*) yang pada saatnya bereaksi dengan molekul lemak

lainnya untuk membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal hidrokarbon baru

(R*). Radikal baru tersebut kemudian berperan dalam reaksi berantai karena

reaksinya dengan molekul oksigen lain. Tahap selanjutnya adalah terminasi yang

merupakan penggabungan dua radikal. Jika tidak ada lagi radikal yang tersedia untuk

reaksi lebih lanjut dengan oksigen, maka diperlukan reaksi inisiasi yang baru apabila

oksidasi akan berlangsung. Ketiga tahap reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Inisiasi : RH R* + H

*

Propagasi : R* + O2 ROO

*

ROO* + RH ROOH

* + R

*

Terminasi : ROO* + ROO

* ROOR + O2

ROO* + R

* ROOR

R* + R

* R – R (Cahyadi, 2008)

Menurut Purnomo (1995) sejumlah produk akan dihasilkan selama

autoksidasi. Dekomposisi hidroperoksida menghasilkan pembentukan aldehid, keton,

alkohol, hidrokarbon, dan produk-produk lainnya. Hidroperoksida dapat bereaksi

dengan oksigen untuk membentuk produk sekunder seperti epoksihidroperoksida

yang mengalami dekomposisi, dan membentuk produk-produk pecahan yang mudah

menguap. Selanjutnya hidroperoksida dan produk-produknya dapat bereaksi dengan

protein, enzim, dan membran. Menurut Rohman dan Sumantri (2007) senyawa-

senyawa hasil oksidasi dapat diukur dengan melakukan beberapa analisis yang

meliputi: penentuan bilangan peroksida, jumlah karbonil, jumlah oksigen aktif, uji

asam tiobarbiturat, dan uji oven schaal.

12

Air dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi konsentrasi

dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan pereaksi, dan

yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi penggabungan

kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur bahan pangan

juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Penambahan air pada emulsi

yang telah dikeringbekukan dapat meruntuhkan struktur metastabil. Apabila keadaan

ini terjadi, lemak yang tidak terselubung lagi akan mengalir dari matriks bagian

dalam ke permukaan. Jika terpapar udara, lemak pada permukaan telah siap

teroksidasi, dan lemak yang terselubung terlindungi dari oksigen. Kenaikan nilai aw

sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak

yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami

oksidasi (Purnomo, 1995).

Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti

pada bahan pangan setengah basah, oksidasi lemak akan meningkat. Kenaikan

tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah disebabkan oleh mobilitas

logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam sistem dan pemekaran matriks,

yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga tingkatan oksidasi menjadi

lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi pengenceran katalis logam yang

terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya kadar air pada nilai aw yang

sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak (Purnomo, 1995). Pengaruh

aw terhadap tingkat oksidasi bahan pangan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Tingkat Oksidasi Lemak dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai aw Sumber : Leung (1987)

Tin

gkat

Oksi

das

i

0,2 0,4 0,6 0,8

aw

13

Bilangan Peroksida

Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam

bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi

kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi

oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi

biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida (Ketaren,

1986).

Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar

peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.

Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah

mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti

menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa

disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju

degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami

degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Menurut Suharyanto et al.

(2008) bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg.

Peranan Antioksidan

Antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi lemak,

misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari biji-

bijian, dan makanan-makanan lain yang mengandung banyak lemak dan mudah

tengik (Winarno et al., 1980). Antioksidan yang sering digunakan adalah senyawa

fenol atau amina aromatis. Beberapa senyawa belerang digunakan pada beberapa

bahan dan beberapa asam tertentu digunakan sebagai deaktivator logam. Antioksidan

dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada umumnya,

antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1) dengan

donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada radikal

peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi oksidasi

parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan berkaitan

dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008).

Menurut Cahyadi (2008) senyawa sulfur merupakan pemecah peroksida yang

efektif. Peranan ini dapat berupa reaksi transfer satu elektron. Bila mula-mula tidak

ada peroksida, antioksidan yang berupa inhibit radikal bebas pada umumnya dapat

14

mempertahankan stabilitas selama waktu tertentu yang kira-kira sebanding dengan

konsentrasinya. Antioksidan yang berupa pemecah peroksida cenderung memiliki

ketergantungan konsentrasi yang relatif besar. Pada konsentrasi tinggi pemecah

peroksida menjadi relatif lebih efektif daripada inhibitor dan pada konsentrasi yang

rendah relatif kurang efektif. Prinsip kerja dari antioksidan oleh Winarno et al.

(1980) digambarkan sebagai berikut:

HO OH + *R HO −O

* + RH

HO OH + *RO2 HO −O

* + ROOH

Gambar 4. Prinsip Kerja Antioksidan Sumber : Winarno et al. (1980)

Peranan aw dan Kadar Air dalam Pangan

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di

samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air

bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan

atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut.

Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air

terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi.

Aktivitas air pertama kali digunakan oleh Scott (1957) sebagai petunjuk adanya

sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan adanya air dalam bahan

pangan. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak,

khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91 sedangkan

kapang lebih rendah lagi yaitu pada nilai aw 0,80-0,87 (Purnomo, 1995).

Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH)

udara di sekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi,

maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab

atau kadar airnya menjadi lebih tinggi. Bila suhu bahan lebih rendah daripada

sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan dapat

15

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan

bakteri (Winarno et al., 1980) .

Hubungan besarnya aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu

diperlihatkan pada Gambar 5. Bentuk khas kurva sorpsi kadar air isotermis

tergantung pada cara tercapainya kadar air maupun aktivitas air bahan pangan

tersebut, apakah dicapai dengan desorpsi atau adsorpsi. Pengolahan bahan pangan

secara secara desorpsi yaitu bila dimulai dengan kadar air yang tinggi, dimana pada

akhir proses bahan pangan mencapai kadar air dan aktivitas air yang diharapkan,

sedang pada proses adsorpsi adalah sebaliknya.

Gambar 5. Bentuk Umum Kurva Sorpsi Kadar Air Isotermis Sumber: Labuza dan Saltmarch (1981)

Gambar 5 menunjukkan bahwa bahan pangan yang mempunyai nilai aw yang

sama dapat mempunyai kadar air yang berbeda. Daerah A mempunyai nilai aw di

bawah 0,20, daerah B mempunyai nilai aw antara 0,20 sampai 0,60, dan daerah C

mempunyai nilai aw di atas 0,60. Ditinjau dari aspek keterkaitan air, maka di daerah

A air terdapat dalam bentuk satu lapis (monolayer), dengan molekul air terikat sangat

erat. Kadar air bahan pangan di daerah A ini berkisar antara 5%-10%. Pada daerah

ini air sulit sekali diuapkan. Daerah B air terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-

lapisan. Air yang terdapat dalam daerah ini berperan sebagai pelarut, oleh karena itu

aktivitas enzim dan pencoklatan non-enzimatis dapat terjadi. Daerah C disebut juga

Adsorpsi

C

Desorpsi

A

B

Kad

ar A

ir

0,20 0,40 0 0,60 0,80 1,00

aw

16

daerah kondensasi kapiler. Pada daerah ini air terkondensasi pada struktur bahan

pangan hingga kelarutan komponen menjadi lebih sempurna. Keadaan air dalam

kondisi bebas ini dapat membantu proses kerusakan (Purnomo, 1995).