Tinjauan Pustaka Bph
Transcript of Tinjauan Pustaka Bph
BAB 1
PENDAHULUAN
Pertumbuhan kelenjar prostat tidak berhenti pada usia dewasa tetapi terus berlanjut
sepanjang hidup. Pada saat lahir, berat prostat sekitar 1 gram, pada masa pubertas kelenjar
prostat tumbuh secara cepat dan mencapai berat sekitar 20 gram pada usia 20 – 30 tahun.
Adanya tanda-tanda histopatologi BPH sudah dapat dijumpai pada laki-laki berusia 60 tahun
diperkirakan 50% kemungkinan untuk ditemukannya BPH secara histologis dan
kemungkinan ini meningkat menjadi sekitar 80% pada usia 80 tahun bahkan 100% pada usia
90 tahun. Walaupun banyak pada laki-laki dapat ditemukan adanya BPH secara histologis,
hanya pada setengah diantara meraka dapat ditemukan pembesaran prostat secara
makroskopis dan pada akhirnya sekitar 25% dari penderita.1
Kelenjar periuretral yang mengalami hiperplasi akan mendesak jaringan prostat yang
asli ke periper dan menjadi surgical capsul. Menurut teori sel stem, faktor usia dan gangguan
keseimbangan hormonal akan mempercepat proliferasi sel stem sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral, teori reawakening mengatakan jaringan akan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh
lebih cepat dari jaringan sekitarnya.2
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan
untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu
operasi.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2
2.2 Anatomi
uretra merupaka tabug yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli melalui proses
miksi. secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. uretra
dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra.
serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga
pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. sfingter uretra eksterna terdiri atas otot
bergaris yang dipersarafi oleh otot somatik.aktivitas singter uretra eksterna dapat diperintah
sesuai dengan keinginan seseorang. Panjang uretra wanita 3-5 cm, panjang uretra pria dewasa
23-35 cm.12
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika, yakni bagian uretra yang
dilingkupi kelenjar prostat dan uretra pars membranacea. Dibagian posterior lumen uretra
prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. bagian akhir vas deferens, yaitu duktus
ejakulatorius, terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum. sekresi kelenjar prostat
bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.12
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal
uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke
apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
2
3. lobus anterior
4. lobus posterior 8,12
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi
satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak
tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista
kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11
Gambar 2.1 Anatomi Prostat14
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah
belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar
depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat
secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia
endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi
pleksus prostatovesikal.8
Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda 3
spinalis S2-4 dan simpatik dari nevus hipogastrikus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti saat ejakulasi.
Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-
buli. Ditempat itu banyak reseptor adrenergik-α. Rangsangan simpatik menyebabkan
dipertahankan tonus otot polos tersebut.12
Gambar 2.2 Anatomi Prostat14
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland12
Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)
dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada 4
lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan
suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena
sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12
2.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan
luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan
pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan
umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai
sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi
menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan
gejala klinik.7
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
2.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).11
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin
menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu
sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel,
5
testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang
kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”.
Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi
“nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
Gambar 2.3 Patogenesis Prostat13
2. Teori Hormonal (Ketidakseimbangan esterogen-testosteron)
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi
BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya
usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan
hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase,
dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga
6
timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi
kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain
ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi
dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa
dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang
akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen
oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu
sentral seskitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen.
3. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan, interaksi stroma-epitel)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor,
transforming growth factor b 1, transforming growth factor b 2, dan epidermal growth
factor.
Gambar 2.3 Patogenesis Prostat, teori Grow factor 13
4. Teori berkurangnya kematian sel prostat
7
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis
oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-
sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat. Belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat
apoptosis. diduga hormon androgen berperan dalam menghambat kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Esterogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa
berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang
mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan
prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.
Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi
sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding”
kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.
Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio
dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal
8
dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma
during adult hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab
terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-
zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori
peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan
sebab-akibatnya.3,7,8,12
2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli
dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary
tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2,11
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan
adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga
terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi
tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi
pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8
9
Gambar 2.4 Patogfisiologi Prostat
2.6 Gambaran Klinis
2.6.1 Gejala
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos 10
KompensasiDekompensasi
prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi
setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah
miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat
IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa
urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat
hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk
dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal
di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow
rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik,
sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow
rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan
penyulit harus dilakukan secara teratur.1,3,11
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
11
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat
berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat.
Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih
dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini
disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus
spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak
bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus
terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan
spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence).
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat beberapa jenis
klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat
beratnya penyakit, diantaranya adalah score internasional gejala-gejala prostat WHO
(Internasional Prostate Symptom Score, IPSS).
Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan dihubungkan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7. Dari
skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan : skor 0-7, (2)
sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35.
Internasional Prostate Symptom Score, IPSS WHO
12
Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali
Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan
dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam
ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat
dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra
abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia,
hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu
endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya
infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3
2.6.2 Tanda
13
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik
apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat
teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok
pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba
masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah :
Ureum dan Kreatinins
Elektrolit
Blood urea nitrogen
Prostate Specific Antigen (PSA)
Gula darah
14
b. Urin :
Kultur urin + sensitifitas test
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
Sedimen
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
b. Pielografi Intravena (IVP)
pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.
foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
deteksi pembesaran prostat
mengukur volume residu urin
Gambar 2.5 Transrektal Ultrasonografi
e. MRI atau CT jarang dilakukan
15
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam
potongan.
4. Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
daya kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi
semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8
2.7 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang
membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum.
Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
16
4. Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Dengan
trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin yang
meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi).2
2.8 Diagnosis Banding
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. kelainan medula spinalis
b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor
dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
17
6. Prostatitis akut atau kronis 1,2
2.9 Kriteria Pembesaran Prostat
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah :
Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Rektal grading
a. Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
b. Berdasarkan jumlah residual urine
derajat 1 : < 50 ml
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 4 : retensi urin total
c. Intra vesikal grading
derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
d. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm
derajat 4 : kissing >3 cm 8
2.10 Komplikasi
18
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematurias
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal 2
2.11 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan
penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila
ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas
mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan
gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba
dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua,
hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat
empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS
(WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.
Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,2
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya
belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara
konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk
melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara
19
terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih
belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi
yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar
prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada
hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau
memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yan berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah
yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar
periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka
pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasi prostat
benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :
1. Observasi (Watchful waiting)
2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik a
b. Fitoterapi
c. Hormonal
3. Operatif
a. Prostatektomi terbuka
Retropubic infravesika (Terence millin)
Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)
Transperineal
20
b. Endourologi
Trans urethral resection (TUR)
Trans urethral incision of prostate (TUIP)
Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)
Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)
Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)
Teknik koagulasi
4. Invasif minimal
Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)
Trans urethral ballon dilatation (TUBD)
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Stent urethra dengan prostacath 11
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada
leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan
endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan
dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara
operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi.
1. Prostatektomi terbuka
a. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
Mortaliti rate rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama
bila membuka vesika
Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
21
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan
dari dalam vesika
Komplikasi :
Perdarahan
Infeksi
Osteitis pubis
Trombosis
b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungsan :
Baik untuk kelenjar besar
Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
Batu buli
Batu ureter distal
Divertikel
Uretrokel
Adanya sistsostomi
Retropubik sulit karena kelainan os pubis Kerusakan spingter
eksterna minimal
Kerugian :
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
Recurent (10 – 20%)
Carcinoma
22
Ejakulasi retrograde
Impotensi
Fimosis
Deep venous trombosis
c. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat
Merusak diagframa urogenital
2. Prostatektomi Endourologi
a. Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan
bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi
ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil
terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk
keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi.
Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72%
menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-
bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat
ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di
seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan
mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi
tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah
23
berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik
pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah
H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingg cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh
darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan
terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan
sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah,
kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak
segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam
keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah
sebesar 0,99%.
Gambar 2.6 TUR P
Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non
ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah
cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan
memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli
selama reseksi prostat.
Keuntungan :
Luka incisi tidak ada
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Prostat fibrous mudah diangkat
24
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrols
Kerugian :
Tehnik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma spingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus
b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan
pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini
juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti
yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat
penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke
verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan
dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat
prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan
dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan
operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander
(1984). Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG
(Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali
diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi
untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai
penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli. YAG
laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat
oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk
25
prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca
prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc
Nicholas 1990). Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk
melaser prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila
dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser
Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang
dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang
disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser dengan
sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang
membesar.
Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini
tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi
tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG
ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang
dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan
mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek
termal dapat mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan
menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil
yang disebut “pop corn effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh
karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat
akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran
panas keluar dari prostat.
Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser
tersebut dapat dibelokkan 90° dengan menggunakan pembelok dari emas
yangditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan
kejaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari
energilaser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992)
mempeloporipenggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak
menggunakanlaser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi.Waktu yang
diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing
lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan
ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih
26
lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan
menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil
akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi
sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
a. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi
akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
b. Teknik lebih sederhana
c. Waktu operasi lebih cepat
d. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
e. Tidak memerlukan terapi antikoagulan
f. Resiko impotensi tidak ada
g. Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11
27
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
No RM : 00926040
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : Tamat SLTA
Status Pernikahan : Kawin
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Bogor, Cilodong, Sukmajaya, Depok
b. Keluhan Utama
Sulit BAK sejak satu tahun SMRS.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak satu tahun SMRS. Setiap kali ingin
BAK pasien memerlukan waktu lama untuk memulainya, harus mengedan untuk BAK,
menetes pada akhir BAK, tiba-tiba BAK berhenti di tengah-tengah tetapi dapat
dilanjutkan kembali, dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias. Pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri saat BAK. nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk di bawah
perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai BAK. pasien juga
mengatakan belakangan ini BAK nya menjadi lebih sering ±6-8 kali sehari, terutama saat
malam hari, pasien sering terbangun untuk BAK. Pasien belum pernah berobat untuk
keluhan tersebut. Pasien menyangkal BAK berwarna merah, bernanah, kencing batu,
nyeri pada pinggang, maupun demam.
Pada tanggal 4 April 2013pasien masuk ruang rawat RS Fatmawati untuk melakukan
operasi pada kelenjar tiroidnya, beberapa hari sebelum dilakukan operasi tiroid, pasien
mengeluhkan tidak dapat BAK, kemudian pasien dipasangkan kateter untuk
mengeluarkan urinnya. Jumlah urin (?). Setelah itu kateter dilepas dan pasien dibiarkan
28
BAK spontan selama 6 jam tetapi pasien tetap tidak dapat BAK. Setelah itu pasien
dipasangkan kateter kembali dan kemudian di konsulkan ke spesialis urologi.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat operasi pada bagian kemaluan, pemasangan alat
pada bagian kemaluan, infeksi pada kemaluan, DM, asma, alergi, riwayat penyakit paru,
penyakit jantung, riwayat terpapar radiasi/ bekerja di daerah radiasi, trauma pada bagian
perut maupun kemaluan, dan alergi. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak usia 37
tahun, rutin kontrol ke dokter dan meminum nifedipin untuk obat antihipertensinya.
Pasien juga mempunyai riwayat ambeyen sejak 4 tahun yang lalu yang masih dapat
keluar masuk, sampai pada akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi pada awal April 2013.
Pasien tidak pernah berobat untuk ambeyennya.
e. Riwayat kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari dan tidak pernah berolahraga.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat pembesaran prostat,
tumor/kanker, hipertensi (-), penyakit jantung (-), DM (-), maupun alergi.
Internasional Prostate Symptom Score, IPSS WHO
29
Total skor IPSS 17 (derajat sedang)
3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum dan Kesadaran
Tampak sakit ringan. Kesadaran kompos mentis.
b. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Frekuensi napas : 18 x/menit
Suhu : 36,2 C
Berat badan : 65 Kg
Tinggi Badan : 162 cm
GCS = E4M6V5
c. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia +/+
Hidung : Deviasi septum -/-, perdarahan -/-
Tenggorokan : Tidak dapat diperiksa
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB
dan tiroid, JVP 5 - 0 cmH2O
d. Pemeriksaan Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Pernapasan simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : Vocal fremitus simetris kedua hemithoraks.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor
Inspeksi : ictus cordis terlihat di ICS 5
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5, 1 jari lateral linea midklavikula sinistra.
30
Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea parasternal dextra, batas kiri
jantung di ICS 5 1 jari medial linea midklavikula sinistra, pinggang jantung di ICS 2 linea
parasternalis sinistra.
Auskultasi : S1S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
e. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
f. Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, edem (-)
g. Genitalia Eksterna
Terpasang Foley catheter
h. Pemeriksaan fisik khusus
Regio Flank D/S : Balotemen -/-, nyeri ketok CVA -/-
regio suprapubik : diatensi (-), nyeri tekan (-)
i. Pemeriksaan RT
Sekitar anus: terdapat hemorrhoid
Mukosa rectum : licin
Tonus sfingter ani: menjepit kuat
Ampula recti: tidak kolaps
Prostat besar gr.IV,
Konsistensi kenyal,
Sulkus medianus menghilang,
Pole atas tidak teraba
Nodul (-)
Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit
31
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (10-4-2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Leukosit
- Trombosit
- Eritrosit
14.6 g/dl
45 %
15.3 ribu/Ul
246 ribu/ Ul
4.93 juta/Ul
13.2-17.3 g/dl
33-45 %
5-10 ribu/Ul
150-400 ribu/Ul
4.40-5.90 ribu/Ul
VER/HER/KHER/RDW
- VER
- HER
- KHER
- RDW
92.1 fl
29.7 pg
32.2 g/dl
14.5 %
80.0-100.0 fl
26.0-34.00 pg
32.0-36.00 g/dl
11.5-14.5 %
KIMIA KLINIK
a. Fungsi Hati
- SGOT
- SGPT
22 U/l
21 U/l
0-34 U/l
0-40 U/l
b. Fungsi ginjal
- ureum darah
- creatinin darah
36 mg/dl
1.4 mg/dl
20-40 mg/dl
0.6-1.5 mg/dl
c. Diabetes
- Gula darah
sewaktu
122 mg/dl 70-140 mg/dl
Elektrolit darah
- Natrium 122 mmol/l 135-147 mmol/l32
- Kalium
- Klorida
4,53 mmol/l
107 mmol/l 3,10-5,10 mmol/l
95-108 mmol/l
USG Prostat
Vesica urinaria: bentuk dan ukuran dalam batas normal. dinding reguler. batu (-). ukuran
vesica urinaria 7,15 x 4,75 x 4,24 cm, volume urin 159,9 cc, terpasang balon cateter.ipert
Prostat: ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum 54,8 cm3. tepi bagian ireguler,
tidak tampak kalsifikasi, maupun lesi patologis lainnya.
kesan:
hipertrofi prostat
33
3.4 Resume
Pasien Tn. Y, 63 tahun, datang dengan keluhan sulit BAK sejak satu tahun SMRS.
Setiap kali ingin BAK pasien memerlukan waktu lama untuk memulainya, harus
mengedan untuk BAK, menetes pada akhir BAK, tiba-tiba BAK berhenti di tengah-
tengah tetapi dapat dilanjutkan kembali, dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri saat BAK. nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk di
bawah perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai BAK. pasien juga
mengatakan belakangan ini BAK nya menjadi lebih sering ±6-8 kali sehari, terutama saat
malam hari, pasien sering terbangun untuk BAK. Pasien belum pernah berobat untuk
keluhan tersebut. Total skor IPPS 17 (derajat sedang)
PF:
Status generalis: dbn
Status lokalis: Pemeriksaan RT
Sekitar anus: terdapat hemorrhoid
Mukosa rectum : licin
Tonus sfingter ani: menjepit kuat
Ampula recti: tidak kolaps
Prostat besar gr.II/III,
Konsistensi kenyal,
Sulkus medianus menghilang,
Pole atas tidak teraba
Nodul (-)
Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit
PP:
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Leukosit
- Trombosit
- Eritrosit
14.6 g/dl
45 %
15.3 ribu/Ul
246 ribu/ Ul
4.93 juta/Ul
USG Prostat: kesan hipertrofi prostat
34
3.5 Diagnosis
Retensio urin ec BPH
Hemoroid interna gr IV
Riwayat stroma nodusa
3.6 Diagnosis Banding
Batu bulu-buli, ISK, striktur uretra
3.7 Penatalaksanaan
Pro operasi TUR-P
3.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
3.9 Laporan operasi
Nama operator : dr. Asroruddin, SpU
Tanggal : 23 Maret 2013
Lama operasi : 55 menit
Diagnosis sebelum operasi : BPH
Nama Operasi : TUR-P
Diagnosis sesudah operasi : BPH
Jaringan yang dieksisi/insisi : Jaringan prostat
Laporan operasi:
1. Posisi pasien litotomi
2. dilakukan a dan antisepsis daerah genitals dan sekitarnya
3. Sheeat 26 mudah masuk
4. Dilakukan uretroskopi, terlihat uretra tampak normal, bebas. veromuntanum
normal, prostat menonjol, kissing lobe + ± 0,5 cm, bladder neck tinggi, buli-
buli trabekulasi sedang, batu -, tumor -, muara ureter kiri dan kanan normal.
5. dilakukan reseksi prostat hingga bersih.
6. Pasang cateter three way 24F
35
7. drip NaCl 0,9 %
8. operasi selesai.
Instruksi Post operasi
Awasi tanda-tanda vital
IVFD RL 12 jam/kolf
bed erst 24 jam
boleh minum, makan bila tidak mual
drip NaCl 0,9% 30-40-60 tetes/menit
penilaian DL, elektrolit post operasi
Fomycin 2 x 2 amp
ozid 2 x 1 amp
profenid supp 2 x 1
Follow up tanggal 24-04-2013
S : Nyeri pada anogenital vas 3, BAK on cateter
O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup
RR : 18x/mnt
Suhu : 36,5 o C
Status Generalis: dalam batas normal
A : BPH post TUR-P H+1
P : Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ketorolac 3 x 30 mg
Follow up tanggal 25-04-2013
S : Nyeri pada anogenital vas 3, BAK on cateter
O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup
RR : 18x/mnt
Suhu : 36,5 o C
36
Status Generalis: dalam batas normal
A : BPH post TUR-P H+1
P : Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ketorolac 3 x 30 mg
Follow up tanggal 30-04-2013
S : Nyeri pada anogenital (+) saat BAK VAS 2, Aff cateter BAK spontan +, nyeri saat
BAK -, BAK terputus -, lampias.
O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler, isi cukup
RR : 18x/mnt
Suhu : 36,5 o C
Status Generalis: dalam batas normal
A : BPH post TUR-P H+1
P : rencana pulang
37
BAB 4
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala prostatismus baik gejala
obstruktif (harus menunggu pada permulaan miksi, pancaran miksi yang lemah, miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, rasa belum puas sehabis miksi) maupun gejala iritatif
(bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, disuria). Keluhan ini biasanya
disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat
digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya
adalah score internasional gejala-gejala prostat WHO (Internasional Prostate Symptom Score,
IPSS). Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan :
skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35. Pada pasien didapatkan total skor
IPPS 17 yang berarti derajat sedang.
Dari pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinarius bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesika urinaria dapat teraba apabila sudah
terjadi retensi total. Daerah inguinal harus diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi. Pada penderita ini tidak ditemukan tanda-tanda kelainan pada
traktus urinarius bagian atas, daerah inguinal, tetapi didapatkan kelainan pada genitalia
eksterna, yaitu hemorroid. Namun berdasarkan anamnesis, pasien sudah memiliki riwayat
hemorroid sejak 4 tahun yang lalu, yaitu sebelum keluhan pada BAK, sehingga diagnoss
hemoroid dikarenakan BPH akibat pada waktu miksi harus mengedan dapat disingkirkan.
Pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan yang sangat penting. BPH biasanya
dapat diraba sebagai benjolan yang kenyal di dinding depan rektum dengan batas atas yang
dapat diraba dan kalau sudah besar sekali batas atas tidak dapat diraba. Apabila batas atas
masih dapat diraba biasanya berat prostat diperkirakan kurang dari 60 gram.1,3 Pada penderita
ini, dari pemeriksaan colok dubur ditemukan tanda-tanda yang menunjang untuk diagnosa
BPH yaitu teraba benjolan dengan konsistensi kenyal, sulkus medianus menghilang, pole atas
tidak teraba.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini semua dalam batas normal
kecuali leukosit mengalami peningkatan. Hal ini dapat di diagnosis banding dengan ISK,
38
namun pada anamnesis dan PF tidak mendukung kepada ISK. pada ISK dari anamnesis
biasanya didapatkan keluhan Riwayat kelainan/struktur anatomi saluran kemih, penyakit
sistemik, kencing nanah, dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok CVA,
nyeri tekan suprapubik, dan demam. Pada pasien ini tidak ditemukan gejala-gejala tersebut,
sehingga ISK dapat disingkirkan.
Pemeriksaan radiologis yang dapat menunjang diagnosa BPH antara lain BNO, IVP,
sistogram retrograde, USG, CT Scan dan MRI. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah
uroflowmetri.1 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan TRUS (transrectal ultrasonografi) dan
didapatkan jaringan prostat membesar dengan ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum
54,8 cm3, tepi bagian ireguler, tidak tampak kalsifikasi, maupun lesi patologis lainnya,
dengan kesan hipertrofi prostat. pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan uroflowmetri
dan tidak didapatkan data mengenai jumlah residu urin.
Diagnosis banding pada pasien dengan hioerolasia prostat dapat dibedakan atas 1.
Kelemahan detrusor kandung kemih berupa kelainan neurologik seperti kelainan medula
spinalis, neuropatia diabetes mellitus, pasca bedah radikal di pelvis, farmakologik. 2.
Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis. 3. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan
oleh : hiperplasia prostat jinak atau ganas, kelainan yang menyumbatkan uretra, uretralitiasis,
uretritis akut atau kronik, striktur uretra.1,2 Namun beberapa diagnosis yang diarahkan dari
anamnesis, PF, dan PP yaitu batu buli, ISK, dan striktur uretra. Berikut perbedaan masing-
masing:
39
Untuk diagnosis banding ISK sudah disingkirkan diatas. Untuk batu buli dapat
disingkirkan bahwa pasien menyangkal adanya riwayat keluar batu pada saat BAK dan
pemasangan alat di kemaluan dalam jangka waktu lama. Untuk striktur uretra dapat
disingkirkan dengan pasien menyangkal adanya riwayat ISK berulang, dan riwayat trauma
pada bagian kemaluan maupun pemasangan alat/tindakan pada bagian kemaluannya.
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV (colok
dubur dan sisa volume urin) digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita
dengan derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat
diberikan pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya
sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih
dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua
penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba
dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli
urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga
ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar
sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi
terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera
40
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang
kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2
Pada pasien ini pemeriksaan colok dubur didapatkan benjolan dengan konsistensi
kenyal, sulkus medianus menghilang, pole atas tidak teraba, dari pemeriksaan USG
didapatlan prostat: ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum 54,8 cm3, sehingga lebih
mengarah ke derajat 4, sehingga penatalaksanaan yang tepat adalah TUR P, dan pada pasien
ini penatalaksanaannya sudah tepat.
41
BAB 5
KESIMPULAN
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada
lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan
suatu keganasan prostat.
Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda
klinik.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus.
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh
prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau
cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritatif disebabkan oleh karena
pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh
karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan
pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur
Pemeriksaan laboratorium: berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
Pemeriksaan pencitraan: dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat
prostat yang membesar.
Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
42
Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin
yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai
batas indikasi untuk melakukan intervensi).
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV (Derajat
berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis: colok dubur dan sisa volume urin)
digunakan untuk menentukan cara penanganan. Metode pembedahan yang sering digunakan
saat ini adalah TUR karena metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan
penerbit IDI, Jakarta ; 1-5
2. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Bina rupa
aksara, Jakarta ; 161-70
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC,
1997.
4. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
5. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta :
EGC,1994.
6. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.
7. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek –
Efek Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
8. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,
Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
9. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
10. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),
Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
11. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi
RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
12. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
13. A Emil, W Jack. Smith General Urology. Ed 17th. The McGraw-Hill Companies, Inc.
America: 2008.
14. Robin and Cotran’s. Patologic Basis of disease. Ed 7th. Elsevier. America: 2007
44