Tinjauan Pustaka Bph

63
BAB 1 PENDAHULUAN Pertumbuhan kelenjar prostat tidak berhenti pada usia dewasa tetapi terus berlanjut sepanjang hidup. Pada saat lahir, berat prostat sekitar 1 gram, pada masa pubertas kelenjar prostat tumbuh secara cepat dan mencapai berat sekitar 20 gram pada usia 20 – 30 tahun. Adanya tanda-tanda histopatologi BPH sudah dapat dijumpai pada laki-laki berusia 60 tahun diperkirakan 50% kemungkinan untuk ditemukannya BPH secara histologis dan kemungkinan ini meningkat menjadi sekitar 80% pada usia 80 tahun bahkan 100% pada usia 90 tahun. Walaupun banyak pada laki-laki dapat ditemukan adanya BPH secara histologis, hanya pada setengah diantara meraka dapat ditemukan pembesaran prostat secara makroskopis dan pada akhirnya sekitar 25% dari penderita. 1 Kelenjar periuretral yang mengalami hiperplasi akan mendesak jaringan prostat yang asli ke periper dan menjadi surgical capsul. Menurut teori sel stem, faktor usia dan gangguan keseimbangan hormonal akan mempercepat proliferasi sel stem sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral, teori reawakening mengatakan jaringan akan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 2 Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang 1

Transcript of Tinjauan Pustaka Bph

Page 1: Tinjauan Pustaka Bph

BAB 1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan kelenjar prostat tidak berhenti pada usia dewasa tetapi terus berlanjut

sepanjang hidup. Pada saat lahir, berat prostat sekitar 1 gram, pada masa pubertas kelenjar

prostat tumbuh secara cepat dan mencapai berat sekitar 20 gram pada usia 20 – 30 tahun.

Adanya tanda-tanda histopatologi BPH sudah dapat dijumpai pada laki-laki berusia 60 tahun

diperkirakan 50% kemungkinan untuk ditemukannya BPH secara histologis dan

kemungkinan ini meningkat menjadi sekitar 80% pada usia 80 tahun bahkan 100% pada usia

90 tahun. Walaupun banyak pada laki-laki dapat ditemukan adanya BPH secara histologis,

hanya pada setengah diantara meraka dapat ditemukan pembesaran prostat secara

makroskopis dan pada akhirnya sekitar 25% dari penderita.1

Kelenjar periuretral yang mengalami hiperplasi akan mendesak jaringan prostat yang

asli ke periper dan menjadi surgical capsul. Menurut teori sel stem, faktor usia dan gangguan

keseimbangan hormonal akan mempercepat proliferasi sel stem sehingga terjadi hiperplasi

kelenjar periuretral, teori reawakening mengatakan jaringan akan kembali seperti

perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh

lebih cepat dari jaringan sekitarnya.2

Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan

untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang

paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu

operasi.

1

Page 2: Tinjauan Pustaka Bph

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar

periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke

perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2

2.2 Anatomi

uretra merupaka tabug yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli melalui proses

miksi. secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra

anterior. pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. uretra

dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra.

serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.

Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga

pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. sfingter uretra eksterna terdiri atas otot

bergaris yang dipersarafi oleh otot somatik.aktivitas singter uretra eksterna dapat diperintah

sesuai dengan keinginan seseorang. Panjang uretra wanita 3-5 cm, panjang uretra pria dewasa

23-35 cm.12

Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika, yakni bagian uretra yang

dilingkupi kelenjar prostat dan uretra pars membranacea. Dibagian posterior lumen uretra

prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah proksimal dan distal dari

verumontanum ini terdapat krista uretralis. bagian akhir vas deferens, yaitu duktus

ejakulatorius, terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum. sekresi kelenjar prostat

bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.12

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal

uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah

kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke

apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

2

Page 3: Tinjauan Pustaka Bph

3. lobus anterior

4. lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi

satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak

tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista

kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain

adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan

zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang

letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona

periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.

Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11

Gambar 2.1 Anatomi Prostat14

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari

verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan

ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah

belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar

depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat

secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia

endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi

pleksus prostatovesikal.8

Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus

prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda 3

Page 4: Tinjauan Pustaka Bph

spinalis S2-4 dan simpatik dari nevus hipogastrikus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik

meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik

menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti saat ejakulasi.

Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-

buli. Ditempat itu banyak reseptor adrenergik-α. Rangsangan simpatik menyebabkan

dipertahankan tonus otot polos tersebut.12

Gambar 2.2 Anatomi Prostat14

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatous zone

c. Disekitar uretra disebut periurethral gland12

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya

(outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)

dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada 4

Page 5: Tinjauan Pustaka Bph

lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan

suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena

sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12

2.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum

usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir

sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia

akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan

luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan

pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan

umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai

sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi

menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan

gejala klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan

terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,

dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan

menyebabkan gejala dan tanda klinik.1

2.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia

prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya

dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia

prostat adalah:

1. Teori Dihidrotestosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari

kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin

menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan

testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu

sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel,

5

Page 6: Tinjauan Pustaka Bph

testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang

kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”.

Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi

“nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan

menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein

menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda

dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa

reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. hal ini menyebabkan

sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak

terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

Gambar 2.3 Patogenesis Prostat13

2. Teori Hormonal (Ketidakseimbangan esterogen-testosteron)

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi

BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen

(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya

usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan

hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron

menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase,

dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga

6

Page 7: Tinjauan Pustaka Bph

timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi

kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain

ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi

dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran

prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa

dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi

hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin

bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang

akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini

mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen

oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu

sentral seskitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak

bereaksi terhadap estrogen.

3. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan, interaksi stroma-epitel)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor,

transforming growth factor b 1, transforming growth factor b 2, dan epidermal growth

factor.

Gambar 2.3 Patogenesis Prostat, teori Grow factor 13

4. Teori berkurangnya kematian sel prostat

7

Page 8: Tinjauan Pustaka Bph

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk

mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. pada apoptosis terjadi kondensasi dan

fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis

oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.

Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan

kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,

penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.

Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-

sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan

massa prostat. Belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat

apoptosis. diduga hormon androgen berperan dalam menghambat kematian sel karena

setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.

Esterogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor

pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.

5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa

berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang

mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan

prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan

tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.

Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi

sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada

kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding”

kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.

Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio

dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu

jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan

periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal

8

Page 9: Tinjauan Pustaka Bph

dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma

during adult hood.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab

terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-

zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori

peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan

sebab-akibatnya.3,7,8,12

2.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan

menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk

dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa

hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase

penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli

dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary

tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase

dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi

urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli

tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat

menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter.

Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan

akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2,11

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu

komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan

adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga

terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi

tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi

pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun

kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga

tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8

9

Page 10: Tinjauan Pustaka Bph

Gambar 2.4 Patogfisiologi Prostat

2.6 Gambaran Klinis

2.6.1 Gejala

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas

gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena

didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup

kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.

Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih

tergantung tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga

meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos 10

KompensasiDekompensasi

Page 11: Tinjauan Pustaka Bph

prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya

kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara

mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini

dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi

setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah

miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat

IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa

urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya

dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat

hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau

dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk

dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal

di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow

rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada

obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik,

sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow

rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal

ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk

menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan

penyulit harus dilakukan secara teratur.1,3,11

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak

sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena

pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering

berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

11

Page 12: Tinjauan Pustaka Bph

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat

berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat.

Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih

dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini

disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus

spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan

volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga

pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak

bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan

total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus

terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan

intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan

spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence).

Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat beberapa jenis

klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat

beratnya penyakit, diantaranya adalah score internasional gejala-gejala prostat WHO

(Internasional Prostate Symptom Score, IPSS).

Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan

miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap

pertanyaan dihubungkan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5,

sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7. Dari

skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan : skor 0-7, (2)

sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35.

Internasional Prostate Symptom Score, IPSS WHO

12

Page 13: Tinjauan Pustaka Bph

Jumlah nilai :

0 = baik sekali

1 = baik

2 = kurang baik

3 = kurang

4 = buruk

5 = buruk sekali

Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan

dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam

ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal

dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat

dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra

abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia,

hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu

endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan

hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya

infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3

2.6.2 Tanda

13

Page 14: Tinjauan Pustaka Bph

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,

reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam

rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti

meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan

pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus

prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik

apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat

teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok

pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah

inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus

pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan

gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,

fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba

masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan

supra simfisis.

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah :

Ureum dan Kreatinins

Elektrolit

Blood urea nitrogen

Prostate Specific Antigen (PSA)

Gula darah

14

Page 15: Tinjauan Pustaka Bph

b. Urin :

Kultur urin + sensitifitas test

Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran

kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui

adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling

defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter

membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).

mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter

ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya

trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.

foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram

retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

deteksi pembesaran prostat

mengukur volume residu urin

Gambar 2.5 Transrektal Ultrasonografi

e. MRI atau CT jarang dilakukan

15

Page 16: Tinjauan Pustaka Bph

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam

potongan.

4. Pemeriksaan lain

a. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :

daya kontraksi otot detrusor

tekanan intravesica

resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran

mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8

ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi

semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak

dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot

detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan

pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.

Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat

diukur.

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat

sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang

masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)

dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8

2.7 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang

membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum.

Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

16

Page 17: Tinjauan Pustaka Bph

4. Pemeriksaan pencitraan :

Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung

kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Dengan

trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.

5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin yang

meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai batas

indikasi untuk melakukan intervensi).2

2.8 Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor

dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

17

Page 18: Tinjauan Pustaka Bph

6. Prostatitis akut atau kronis 1,2

2.9 Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan

beberapa cara, diantaranya adalah :

Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis

Rektal grading

a. Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

b. Berdasarkan jumlah residual urine

derajat 1 : < 50 ml

derajat 2 : 50-100 ml

derajat 3 : >100 ml

derajat 4 : retensi urin total

c. Intra vesikal grading

derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

d. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

derajat 1 : kissing 1 cm

derajat 2 : kissing 2 cm

derajat 3 : kissing 3 cm

derajat 4 : kissing >3 cm 8

2.10 Komplikasi

18

Page 19: Tinjauan Pustaka Bph

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematurias

4. Sistitis

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal 2

2.11 Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan

penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi

berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila

ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas

mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan

gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba

dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua,

hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat

empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO)

menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS

(WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan

pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.

Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah

dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,2

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV

digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya

belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara

konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk

melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara

19

Page 20: Tinjauan Pustaka Bph

terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih

belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan

pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi

yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar

prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga

reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada

hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah

membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau

memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi

diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yan berkepanjangan. Tindakan

bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).

Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah

yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat

gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar

periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka

pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasi prostat

benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik a

b. Fitoterapi

c. Hormonal

3. Operatif

a. Prostatektomi terbuka

Retropubic infravesika (Terence millin)

Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

Transperineal

20

Page 21: Tinjauan Pustaka Bph

b. Endourologi

Trans urethral resection (TUR)

Trans urethral incision of prostate (TUIP)

Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)

Teknik koagulasi

4. Invasif minimal

Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

Trans urethral needle ablation (TUNA)

Stent urethra dengan prostacath 11

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada

leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan

endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan

dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara

operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi.

1. Prostatektomi terbuka

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

Keuntungan :

Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada

subservikal

Mortaliti rate rendah

Langsung melihat fossa prostat

Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

Perdarahan lebih mudah dirawat

Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama

bila membuka vesika

Kerugian :

Dapat memotong pleksus santorini

Mudah berdarah

Dapat terjadi osteitis pubis

Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

21

Page 22: Tinjauan Pustaka Bph

Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan

dari dalam vesika

Komplikasi :

Perdarahan

Infeksi

Osteitis pubis

Trombosis

b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)

Keuntungsan :

Baik untuk kelenjar besar

Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

Batu buli

Batu ureter distal

Divertikel

Uretrokel

Adanya sistsostomi

Retropubik sulit karena kelainan os pubis Kerusakan spingter

eksterna minimal

Kerugian :

Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica

sembuh

Sulit pada orang gemuk

Sulit untuk kontrol perdarahan

Merusak mukosa kulit

Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

Inkontinensia (<1%)

Perdarahan

Epididimo orchitis

Recurent (10 – 20%)

Carcinoma

22

Page 23: Tinjauan Pustaka Bph

Ejakulasi retrograde

Impotensi

Fimosis

Deep venous trombosis

c. Transperineal

Keuntungan :

Dapat langssung pada fossa prostat

Pembuluh darah tampak lebih jelas

Mudah untuk pinggul sempit

Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

Impotensi

Inkontinensia

Bisa terkena rektum

Perdarahan hebat

Merusak diagframa urogenital

2. Prostatektomi Endourologi

a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir

seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan

bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi

ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil

terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk

keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan

pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi.

Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.

Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72%

menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-

bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat

ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di

seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan

mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi

tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah

23

Page 24: Tinjauan Pustaka Bph

berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik

pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah

H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang

hipotonik sehingg cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh

darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan

terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan

sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah,

kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak

segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam

keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah

sebesar 0,99%.

Gambar 2.6 TUR P

Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non

ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah

cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan

memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli

selama reseksi prostat.

Keuntungan :

Luka incisi tidak ada

Lama perawatan lebih pendek

Morbiditas dan mortalitas rendah

Prostat fibrous mudah diangkat

24

Page 25: Tinjauan Pustaka Bph

Perdarahan mudah dilihat dan dikontrols

Kerugian :

Tehnik sulit

Resiko merusak uretra

Intoksikasi cairan

Trauma spingter eksterna dan trigonum

Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

Alat mahal

Ketrampilan khusus

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran

prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan

pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau

incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini

juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti

yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat

penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke

verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan

dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian

ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat

prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan

dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan

operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander

(1984). Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG

(Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali

diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi

untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai

penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli. YAG

laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat

oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk

25

Page 26: Tinjauan Pustaka Bph

prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca

prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc

Nicholas 1990). Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk

melaser prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila

dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser

Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang

dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang

disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser dengan

sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang

membesar.

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini

tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi

tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG

ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang

dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan

mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek

termal dapat mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan

menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil

yang disebut “pop corn effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh

karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat

akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran

panas keluar dari prostat.

Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser

tersebut dapat dibelokkan 90° dengan menggunakan pembelok dari emas

yangditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan

kejaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari

energilaser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992)

mempeloporipenggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak

menggunakanlaser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi.Waktu yang

diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing

lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan

ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada

permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih

26

Page 27: Tinjauan Pustaka Bph

lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan

menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil

akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi

sehabis TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

a. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi

akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi

b. Teknik lebih sederhana

c. Waktu operasi lebih cepat

d. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

e. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

f. Resiko impotensi tidak ada

g. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11

27

Page 28: Tinjauan Pustaka Bph

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

a. Identitas Pasien

Nama : Tn. Y

No RM : 00926040

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pegawai swasta

Pendidikan : Tamat SLTA

Status Pernikahan : Kawin

Agama : Islam

Alamat : Jl. Raya Bogor, Cilodong, Sukmajaya, Depok

b. Keluhan Utama

Sulit BAK sejak satu tahun SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak satu tahun SMRS. Setiap kali ingin

BAK pasien memerlukan waktu lama untuk memulainya, harus mengedan untuk BAK,

menetes pada akhir BAK, tiba-tiba BAK berhenti di tengah-tengah tetapi dapat

dilanjutkan kembali, dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias. Pasien juga

mengeluhkan adanya nyeri saat BAK. nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk di bawah

perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai BAK. pasien juga

mengatakan belakangan ini BAK nya menjadi lebih sering ±6-8 kali sehari, terutama saat

malam hari, pasien sering terbangun untuk BAK. Pasien belum pernah berobat untuk

keluhan tersebut. Pasien menyangkal BAK berwarna merah, bernanah, kencing batu,

nyeri pada pinggang, maupun demam.

Pada tanggal 4 April 2013pasien masuk ruang rawat RS Fatmawati untuk melakukan

operasi pada kelenjar tiroidnya, beberapa hari sebelum dilakukan operasi tiroid, pasien

mengeluhkan tidak dapat BAK, kemudian pasien dipasangkan kateter untuk

mengeluarkan urinnya. Jumlah urin (?). Setelah itu kateter dilepas dan pasien dibiarkan

28

Page 29: Tinjauan Pustaka Bph

BAK spontan selama 6 jam tetapi pasien tetap tidak dapat BAK. Setelah itu pasien

dipasangkan kateter kembali dan kemudian di konsulkan ke spesialis urologi.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak mempunyai riwayat operasi pada bagian kemaluan, pemasangan alat

pada bagian kemaluan, infeksi pada kemaluan, DM, asma, alergi, riwayat penyakit paru,

penyakit jantung, riwayat terpapar radiasi/ bekerja di daerah radiasi, trauma pada bagian

perut maupun kemaluan, dan alergi. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak usia 37

tahun, rutin kontrol ke dokter dan meminum nifedipin untuk obat antihipertensinya.

Pasien juga mempunyai riwayat ambeyen sejak 4 tahun yang lalu yang masih dapat

keluar masuk, sampai pada akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi pada awal April 2013.

Pasien tidak pernah berobat untuk ambeyennya.

e. Riwayat kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari dan tidak pernah berolahraga.

f. Riwayat Penyakit Keluarga

Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat pembesaran prostat,

tumor/kanker, hipertensi (-), penyakit jantung (-), DM (-), maupun alergi.

Internasional Prostate Symptom Score, IPSS WHO

29

Page 30: Tinjauan Pustaka Bph

Total skor IPSS 17 (derajat sedang)

3.2 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum dan Kesadaran

Tampak sakit ringan. Kesadaran kompos mentis.

b. Tanda Vital

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Frekuensi napas : 18 x/menit

Suhu : 36,2 C

Berat badan : 65 Kg

Tinggi Badan : 162 cm

GCS = E4M6V5

c. Pemeriksaan Kepala dan Leher

Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Telinga : Normotia +/+

Hidung : Deviasi septum -/-, perdarahan -/-

Tenggorokan : Tidak dapat diperiksa

Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB

dan tiroid, JVP 5 - 0 cmH2O

d. Pemeriksaan Thoraks

Pulmo

Inspeksi : Pernapasan simetris saat statis dan dinamis.

Palpasi : Vocal fremitus simetris kedua hemithoraks.

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor

Inspeksi : ictus cordis terlihat di ICS 5

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5, 1 jari lateral linea midklavikula sinistra.

30

Page 31: Tinjauan Pustaka Bph

Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea parasternal dextra, batas kiri

jantung di ICS 5 1 jari medial linea midklavikula sinistra, pinggang jantung di ICS 2 linea

parasternalis sinistra.

Auskultasi : S1S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

e. Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba

membesar.

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

f. Pemeriksaan Ekstremitas

Akral hangat, edem (-)

g. Genitalia Eksterna

Terpasang Foley catheter

h. Pemeriksaan fisik khusus

Regio Flank D/S : Balotemen -/-, nyeri ketok CVA -/-

regio suprapubik : diatensi (-), nyeri tekan (-)

i. Pemeriksaan RT

Sekitar anus: terdapat hemorrhoid

Mukosa rectum : licin

Tonus sfingter ani: menjepit kuat

Ampula recti: tidak kolaps

Prostat besar gr.IV,

Konsistensi kenyal,

Sulkus medianus menghilang,

Pole atas tidak teraba

Nodul (-)

Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit

31

Page 32: Tinjauan Pustaka Bph

3.3 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (10-4-2013)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi

- Hemoglobin

- Hematokrit

- Leukosit

- Trombosit

- Eritrosit

14.6 g/dl

45 %

15.3 ribu/Ul

246 ribu/ Ul

4.93 juta/Ul

13.2-17.3 g/dl

33-45 %

5-10 ribu/Ul

150-400 ribu/Ul

4.40-5.90 ribu/Ul

VER/HER/KHER/RDW

- VER

- HER

- KHER

- RDW

92.1 fl

29.7 pg

32.2 g/dl

14.5 %

80.0-100.0 fl

26.0-34.00 pg

32.0-36.00 g/dl

11.5-14.5 %

KIMIA KLINIK

a. Fungsi Hati

- SGOT

- SGPT

22 U/l

21 U/l

0-34 U/l

0-40 U/l

b. Fungsi ginjal

- ureum darah

- creatinin darah

36 mg/dl

1.4 mg/dl

20-40 mg/dl

0.6-1.5 mg/dl

c. Diabetes

- Gula darah

sewaktu

122 mg/dl 70-140 mg/dl

Elektrolit darah

- Natrium 122 mmol/l 135-147 mmol/l32

Page 33: Tinjauan Pustaka Bph

- Kalium

- Klorida

4,53 mmol/l

107 mmol/l 3,10-5,10 mmol/l

95-108 mmol/l

USG Prostat

Vesica urinaria: bentuk dan ukuran dalam batas normal. dinding reguler. batu (-). ukuran

vesica urinaria 7,15 x 4,75 x 4,24 cm, volume urin 159,9 cc, terpasang balon cateter.ipert

Prostat: ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum 54,8 cm3. tepi bagian ireguler,

tidak tampak kalsifikasi, maupun lesi patologis lainnya.

kesan:

hipertrofi prostat

33

Page 34: Tinjauan Pustaka Bph

3.4 Resume

Pasien Tn. Y, 63 tahun, datang dengan keluhan sulit BAK sejak satu tahun SMRS.

Setiap kali ingin BAK pasien memerlukan waktu lama untuk memulainya, harus

mengedan untuk BAK, menetes pada akhir BAK, tiba-tiba BAK berhenti di tengah-

tengah tetapi dapat dilanjutkan kembali, dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias.

Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri saat BAK. nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk di

bawah perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai BAK. pasien juga

mengatakan belakangan ini BAK nya menjadi lebih sering ±6-8 kali sehari, terutama saat

malam hari, pasien sering terbangun untuk BAK. Pasien belum pernah berobat untuk

keluhan tersebut. Total skor IPPS 17 (derajat sedang)

PF:

Status generalis: dbn

Status lokalis: Pemeriksaan RT

Sekitar anus: terdapat hemorrhoid

Mukosa rectum : licin

Tonus sfingter ani: menjepit kuat

Ampula recti: tidak kolaps

Prostat besar gr.II/III,

Konsistensi kenyal,

Sulkus medianus menghilang,

Pole atas tidak teraba

Nodul (-)

Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit

PP:

- Hemoglobin

- Hematokrit

- Leukosit

- Trombosit

- Eritrosit

14.6 g/dl

45 %

15.3 ribu/Ul

246 ribu/ Ul

4.93 juta/Ul

USG Prostat: kesan hipertrofi prostat

34

Page 35: Tinjauan Pustaka Bph

3.5 Diagnosis

Retensio urin ec BPH

Hemoroid interna gr IV

Riwayat stroma nodusa

3.6 Diagnosis Banding

Batu bulu-buli, ISK, striktur uretra

3.7 Penatalaksanaan

Pro operasi TUR-P

3.8 Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad fungsionam: dubia ad bonam

Ad sanationam: dubia ad bonam

3.9 Laporan operasi

Nama operator : dr. Asroruddin, SpU

Tanggal : 23 Maret 2013

Lama operasi : 55 menit

Diagnosis sebelum operasi : BPH

Nama Operasi : TUR-P

Diagnosis sesudah operasi : BPH

Jaringan yang dieksisi/insisi : Jaringan prostat

Laporan operasi:

1. Posisi pasien litotomi

2. dilakukan a dan antisepsis daerah genitals dan sekitarnya

3. Sheeat 26 mudah masuk

4. Dilakukan uretroskopi, terlihat uretra tampak normal, bebas. veromuntanum

normal, prostat menonjol, kissing lobe + ± 0,5 cm, bladder neck tinggi, buli-

buli trabekulasi sedang, batu -, tumor -, muara ureter kiri dan kanan normal.

5. dilakukan reseksi prostat hingga bersih.

6. Pasang cateter three way 24F

35

Page 36: Tinjauan Pustaka Bph

7. drip NaCl 0,9 %

8. operasi selesai.

Instruksi Post operasi

Awasi tanda-tanda vital

IVFD RL 12 jam/kolf

bed erst 24 jam

boleh minum, makan bila tidak mual

drip NaCl 0,9% 30-40-60 tetes/menit

penilaian DL, elektrolit post operasi

Fomycin 2 x 2 amp

ozid 2 x 1 amp

profenid supp 2 x 1

Follow up tanggal 24-04-2013

S : Nyeri pada anogenital vas 3, BAK on cateter

O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup

RR : 18x/mnt

Suhu : 36,5 o C

Status Generalis: dalam batas normal

A : BPH post TUR-P H+1

P : Ceftriaxone 2 x 1 gr

Ketorolac 3 x 30 mg

Follow up tanggal 25-04-2013

S : Nyeri pada anogenital vas 3, BAK on cateter

O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 90x/menit, reguler, isi cukup

RR : 18x/mnt

Suhu : 36,5 o C

36

Page 37: Tinjauan Pustaka Bph

Status Generalis: dalam batas normal

A : BPH post TUR-P H+1

P : Ceftriaxone 2 x 1 gr

Ketorolac 3 x 30 mg

Follow up tanggal 30-04-2013

S : Nyeri pada anogenital (+) saat BAK VAS 2, Aff cateter BAK spontan +, nyeri saat

BAK -, BAK terputus -, lampias.

O : KU/KS : tampak sakit sedang/ kompos mentis

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 88x/menit, reguler, isi cukup

RR : 18x/mnt

Suhu : 36,5 o C

Status Generalis: dalam batas normal

A : BPH post TUR-P H+1

P : rencana pulang

37

Page 38: Tinjauan Pustaka Bph

BAB 4

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala prostatismus baik gejala

obstruktif (harus menunggu pada permulaan miksi, pancaran miksi yang lemah, miksi

terputus, menetes pada akhir miksi, rasa belum puas sehabis miksi) maupun gejala iritatif

(bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, disuria). Keluhan ini biasanya

disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat

digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya

adalah score internasional gejala-gejala prostat WHO (Internasional Prostate Symptom Score,

IPSS). Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan :

skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35. Pada pasien didapatkan total skor

IPPS 17 yang berarti derajat sedang.

Dari pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinarius bagian

atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai

sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesika urinaria dapat teraba apabila sudah

terjadi retensi total. Daerah inguinal harus diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.

Genitalia eksterna harus diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan lain yang dapat

menyebabkan gangguan miksi. Pada penderita ini tidak ditemukan tanda-tanda kelainan pada

traktus urinarius bagian atas, daerah inguinal, tetapi didapatkan kelainan pada genitalia

eksterna, yaitu hemorroid. Namun berdasarkan anamnesis, pasien sudah memiliki riwayat

hemorroid sejak 4 tahun yang lalu, yaitu sebelum keluhan pada BAK, sehingga diagnoss

hemoroid dikarenakan BPH akibat pada waktu miksi harus mengedan dapat disingkirkan.

Pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan yang sangat penting. BPH biasanya

dapat diraba sebagai benjolan yang kenyal di dinding depan rektum dengan batas atas yang

dapat diraba dan kalau sudah besar sekali batas atas tidak dapat diraba. Apabila batas atas

masih dapat diraba biasanya berat prostat diperkirakan kurang dari 60 gram.1,3 Pada penderita

ini, dari pemeriksaan colok dubur ditemukan tanda-tanda yang menunjang untuk diagnosa

BPH yaitu teraba benjolan dengan konsistensi kenyal, sulkus medianus menghilang, pole atas

tidak teraba.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini semua dalam batas normal

kecuali leukosit mengalami peningkatan. Hal ini dapat di diagnosis banding dengan ISK,

38

Page 39: Tinjauan Pustaka Bph

namun pada anamnesis dan PF tidak mendukung kepada ISK. pada ISK dari anamnesis

biasanya didapatkan keluhan Riwayat kelainan/struktur anatomi saluran kemih, penyakit

sistemik, kencing nanah, dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok CVA,

nyeri tekan suprapubik, dan demam. Pada pasien ini tidak ditemukan gejala-gejala tersebut,

sehingga ISK dapat disingkirkan.

Pemeriksaan radiologis yang dapat menunjang diagnosa BPH antara lain BNO, IVP,

sistogram retrograde, USG, CT Scan dan MRI. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah

uroflowmetri.1 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan TRUS (transrectal ultrasonografi) dan

didapatkan jaringan prostat membesar dengan ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum

54,8 cm3, tepi bagian ireguler, tidak tampak kalsifikasi, maupun lesi patologis lainnya,

dengan kesan hipertrofi prostat. pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan uroflowmetri

dan tidak didapatkan data mengenai jumlah residu urin.

Diagnosis banding pada pasien dengan hioerolasia prostat dapat dibedakan atas 1.

Kelemahan detrusor kandung kemih berupa kelainan neurologik seperti kelainan medula

spinalis, neuropatia diabetes mellitus, pasca bedah radikal di pelvis, farmakologik. 2.

Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis. 3. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan

oleh : hiperplasia prostat jinak atau ganas, kelainan yang menyumbatkan uretra, uretralitiasis,

uretritis akut atau kronik, striktur uretra.1,2 Namun beberapa diagnosis yang diarahkan dari

anamnesis, PF, dan PP yaitu batu buli, ISK, dan striktur uretra. Berikut perbedaan masing-

masing:

39

Page 40: Tinjauan Pustaka Bph

Untuk diagnosis banding ISK sudah disingkirkan diatas. Untuk batu buli dapat

disingkirkan bahwa pasien menyangkal adanya riwayat keluar batu pada saat BAK dan

pemasangan alat di kemaluan dalam jangka waktu lama. Untuk striktur uretra dapat

disingkirkan dengan pasien menyangkal adanya riwayat ISK berulang, dan riwayat trauma

pada bagian kemaluan maupun pemasangan alat/tindakan pada bagian kemaluannya.

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV (colok

dubur dan sisa volume urin) digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita

dengan derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat

diberikan pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya

sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih

dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua

penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba

dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli

urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga

ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar

sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi

terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera

40

Page 41: Tinjauan Pustaka Bph

dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang

kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2

Pada pasien ini pemeriksaan colok dubur didapatkan benjolan dengan konsistensi

kenyal, sulkus medianus menghilang, pole atas tidak teraba, dari pemeriksaan USG

didapatlan prostat: ukuran 5,23 x 4,75 x 4,24 cm, perkiraan volum 54,8 cm3, sehingga lebih

mengarah ke derajat 4, sehingga penatalaksanaan yang tepat adalah TUR P, dan pada pasien

ini penatalaksanaannya sudah tepat.

41

Page 42: Tinjauan Pustaka Bph

BAB 5

KESIMPULAN

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar

periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke

perifer dan menjadi simpai bedah.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada

lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan

suatu keganasan prostat.

Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun

sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda

klinik.

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia

prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya

dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih

sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-

gejala prostatismus.

Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala

obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh

prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau

cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritatif disebabkan oleh karena

pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh

karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan

pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur

Pemeriksaan laboratorium: berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

Pemeriksaan pencitraan: dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat

prostat yang membesar.

Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

42

Page 43: Tinjauan Pustaka Bph

Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin

yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai

batas indikasi untuk melakukan intervensi).

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV (Derajat

berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis: colok dubur dan sisa volume urin)

digunakan untuk menentukan cara penanganan. Metode pembedahan yang sering digunakan

saat ini adalah TUR karena metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna.

43

Page 44: Tinjauan Pustaka Bph

DAFTAR PUSTAKA

1. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan

penerbit IDI, Jakarta ; 1-5

2. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Bina rupa

aksara, Jakarta ; 161-70

3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC,

1997.

4. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,

Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.

5. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta :

EGC,1994.

6. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.

7. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek –

Efek Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

8. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,

Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto

Mangunkusumo, 1993.

9. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK

UNDIP.

10. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),

Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

11. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi

RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

12. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

13. A Emil, W Jack. Smith General Urology. Ed 17th. The McGraw-Hill Companies, Inc.

America: 2008.

14. Robin and Cotran’s. Patologic Basis of disease. Ed 7th. Elsevier. America: 2007

44