TINGKAT PEMOTONGAN DAN BERAT DAGING SAPI · PDF fileYang bertandatangan dibawah ini : Nama :...
Transcript of TINGKAT PEMOTONGAN DAN BERAT DAGING SAPI · PDF fileYang bertandatangan dibawah ini : Nama :...
i
TINGKAT PEMOTONGAN DAN BERAT DAGING SAPI
BALI BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN UMUR
TERNAK DI RPH KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
Oleh :
ST. NUR RAMADHANI
I 111 11 054
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii
TINGKAT PEMOTONGAN DAN BERAT DAGING SAPI
BALI BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN UMUR
TERNAK DI RPH KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
Oleh :
ST. NUR RAMADHANI
I 111 11 054
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : St. Nur Ramadhani
NIM : I 111 11 054
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau
dikenakan sanksi akademik yang berlaku
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, 21 Agustus 2015
TTD
St. Nur Ramadhani
v
ABSTRAK
ST NUR RAMADHANI. I 111 11 054. Tingkat Pemotongan dan Berat Daging Sapi
Bali berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur Ternak di Rumah Pemotongan Hewan
Kota Makassar. Dibimbing oleh SUDIRMAN BACO dan LELLAH RAHIM.
Sapi Bali di Indonesia merupakan salah satu sumber pangan yang sangat
dibutuhkan berupa daging. Produktivitas sapi Bali di Indonesia masih sangat rendah
karena masih jauh dari target yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Sehingga,
pemotongan sapi di Rumah Pemotongan Hewan semakin meningkat untuk
memenuhi permintaan daging tersebut. Tujuan penelitian ini untuk melihat sejauh
mana tingkat pemotongan sapi produktif dan sapi yang sedang bunting serta melihat
berat daging sapi Bali di Rumah Pemotongan Hewan kota Makassar. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Mei - Juni 2015 di Rumah Pemotongan Hewan kota Makassar.
Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif Tingkat pemotongan sapi Bali
betina di Rumah Pemotongan Hewan kota Makassar mencapai 70.34% dan
pemotongan sapi Bali produktif baik jantan dan betina umur 3 - 10 tahun yaitu
64.23%. Tingginya tingkat pemotongan ternak produktif yang sedang bunting akan
berdampak pada populasi yang disebabkan oleh penurunnya tingkat produksi sapi
Bali, sedangkan rata-rata berat daging umur pemotongan 3 - 10 tahun yaitu 83.3 kg ±
10.6. Rendahnya berat daging di RPH disebabkan oleh pemotongan ternak muda.
Kata kunci : Sapi Bali, berat daging, jenis kelamin ternak, betina produktif, umur
pemotongan ternak
vi
ABSTRACT
ST NUR RAMADHANI. I 11 111 054. The Rate Slaughters and Beef Weight cattle
of Bali by Sex and Age Livestock at Slaughterhouse in Makassar. Supervised by
SUDIRMAN BACO and LELLAH RAHIM
Bali cattle in Indonesia is a source of food that needed in the form of meat.
Bali cattle productivity in Indonesia is still very low and still far from the target
required by the people of Indonesia. Therefore, slaughters cattle at slaughterhouse
increased to slaughters the high of meat demand. The objective of the research is to
observe the degree of productive livestock as pregnant and meat weight slaughters of
beef Bali cattle at slaughterhouses in Makassar. This study was conducted in May-
June 2015 at slaughterhouse in Makassar, that used descriptive analysis method. The
rate of slaughter in females Bali cattle reached 70.34% at slaughterhouse in Makassar
and Bali cattle slaughter production in both males and females of 3-10 years is
64.23%. Slaughtering productive livestock the pregnant females, will effect to the
population due to declining level of Bali cattle production. In the other hand average
meat weight of the slaughtering age 3-10 years is 83.3 ± 10.6 kg. The low weight of
beef in slaughterhouse caused by slaughtering young cattle.
Keywords : Bali cattle, Beef weight, sex of the animals, productive female cattle,
age of slaughter.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahiim
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan
taufik-Nya sehingga Skirpsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Skripsi
dengan judul “ tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali berdasarkan jenis
kelamin dan umur ternak di RPH kota Makassar” Sebagai Salah Satu Syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hassanuddin,
Makassar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis hanturkan
dengan penuh rasa hormat kepada
1. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M,Sc sebagai pembimbing utama dan
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan
memberikan nasihat serta motivasi sejak awal penelitian sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
2. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesa-besarnya dengan
segenap cinta dan hormat kepada ayahanda tersayang Alm. Jumain Nage dan
ibunda tercinta Hatijah Tepu atas segala doa, motivasi, kasih sayang, dan
pengorbanan serta materi yang diberikan kepada penulis.
3. Saudara-saudari saya Muh. Nur Fajrin, Muh. Nur Ramadhan, Muh. Arif
Jumain, St Rahmawati, dan Ismarini Nurul Anisa yang senantiasa memberi
canda tawa, bantuan, dan motivasi untuk lebih semangat mengejar cita-cita.
viii
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M, Sc, Bapak Prof. Dr. Ir Syamsuddin
Garantjang, M.Sc dan Bapak Dr. Hikma M Ali, S, Pt, M, Si selaku dosen
penguji/dosen pembahas. Terima kasih atas bimbingan, nasehat-nasehat,
dukungannya kepada penulis.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Penasehat Akademik.
Terima kasih atas bimbingan, saran dan dukungannya kepada penulis.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc selaku Dekan Fakultas
Peternakan, Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc selaku Wakil
Dekan I dan Bapak Andi Lukman, S. Sos, Bapak Natsir, dan Kak Faizah serta
seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Terima
kasih atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswi.
7. Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku ketua jurusan Produksi Ternak
beserta seluruh dosen dan staf jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswi.
8. Bapak dan Ibu dosen tanpa terkecuali yang telah member ilmu pengetahuan,
sumber informasi dan nasehat kepada penulis selama kuliah di Fakultas
Peternakan Universita Hasanuddin.
9. Teman - teman seperjuangan “SOLANDEVEN 011” terima kasih yang
setinggi-tingginya atas segala cinta dan kasih sayang, bantuan, pengertian,
canda tawa serta kebersamaan selama ini.
10. Sahabat seperjuangan Rajma Fastawa, Evy Harjuna Saad, May Rismi Anisa,
Asrianti, Suarti, Andi Nurfaini, Yuliana Padli, Yusri, Mustabsyirah Usman,
Silva Nur Indah Sari, Trianta Tahir, Muh. Ridwan B dan Eko Pramono. Terima
ix
kasih atas segala doa, bantuan, motivasi, kasih sayang, canda tawa, dan
kebersamaan selama ini.
11. Teman dekat penulis Muh Qurnaldy Hakim, S.Pt terima kasih atas segala
doa, bantuan, motivasi, saran, pengorbanan, pengertian, perhatian, dan
kebersamaan, serta kebaikan yang diberikan kepada penulis.
12. Teman – teman “KELAS B” : Nur Amalia, S. Pt, Ayu Prasetya, S.Pt, Azmi
Mangalisu, S.Pt, Nurul Adha, S.Pt, Syahriana Sabil, S.Pt, Evo Tenri Ubba,
S.Pt, Harumi Bunga Kasih, S.Pt, Siti Hardianti, S.Pt, Kiki Rezki, Arfian
Yunanda, Arie Bilman, Hamri, Rifky Rafsanjani, Lohesti Rahayu. Terima
kasih atas canda tawa dan kebersamaan selama ini.
13. Kakanda dan teman-teman asisten Lab. Ternak Potong Kak Ahmad David,
Kak Samsu Alam, S.Pt, Alm Kak Dian Anjanna Putri, S.Pt, Kak Mutmainnah,
S.Pt, Ermi Ulia Utami, Andi Nurul Ainun, Abdi Eriansyah, Darussalam, dan
Erwin Jufri. Terima kasih atas segala bantuan dan motivasi serta kebersaman
selama ini.
14. Terima kasih, Nurmulyaningsih, Mardhatillah Utami, Kurniah Kamaruddin,
Magfirah Nur, dan Andi Pancawati, atas segala bantuan dan informasi selama
ini.
15. Terima kasih kepada Bakteri 08, Merpati 09, Lion 10, Flock Mentality 12,
dan Larva 13.
16. Terima kasih kepada teman KKN Tematik Sumatera Barat Gel 87 : Kak
Pipin, Kak Sita, Kak Mimi, Kak Aswan, Vera, Ina, Raihan, Ficun, Inyol, Rima,
Taufik, Tasya, Sovy, Eka, Vian, Febry, Tony, Iqram, dan Ahmad.
x
17. Terima kasih kepada Bapak Dr. Sawirman sebagai dosen DPL KKN-PPM
UNAND UNHAS. Terima kasih atas bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan
motivasi selama kkn di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
18. Terima kasih kepada teman posko “Toboh Parupuak”, Muh Arifin Fahreza,
Ibrahim Syahputra, Rahmad Danil, Juliana Novita, Chichi Melinda Ayu, Atia
Putri, dan Rani. Terima kasih atas kebersamaan dan arti kekeluargaan selama
KKN dan semua teman KKN-PPM Sintuk Toboh Gadang, Padang Pariaman,
Sumbar.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis sendiri. Aamiin.
Makassar, Agustus 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3
Populasi Sapi Bali ................................................................................. 3
Rumah Pemotongan Potong (RPH) ...................................................... 6
Daging Sapi Potong .............................................................................. 9
METODE PENELITIAN ............................................................................... 13
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 12
Metode Penelitian ................................................................................. 13
Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 13
Teknik Pengumplan Data ..................................................................... 14
Parameter Penelitian ............................................................................. 14
Analisis Data ......................................................................................... 15
xii
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 16
Tingkat Pemotongan Sapi Bali Berdasarkan Jenis Kelamin ................ 16
Tingkat Pemotongan Sapi Bali Berdasarkan Umur Ternak ................. 19
Berat Daging Sapi Bali ......................................................................... 23
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 27
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xiii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Tingkat pemotongan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin ......................... 21
2. Tingkat pemotongan sapi Bali berdasarkan umur ternak ........................... 25
3. Distribusi daging berdasarkan umur ternak dan kelompok berat daging ... 28
4. Rata-rata berat daging sapi Bali berdasarkan umur pemotongan............... 29
1
PENDAHULUAN
Ternak sapi potong (pedaging) di Indonesia merupakan salah satu sumber
pangan yang sangat dibutuhkan berupa daging. Produktivitas sapi potong masih
sangat memprihatinkan karena jumlahnya masih jauh dari target yang diperlukan
konsumen. Hal ini menyebabkan kebutuhan daging di Indonesia belum dapat
terpenuhi. Faktor yang menyebabkan jumlah produksi daging masih rendah
diantaranya populasi sapi dan produktifitas sapi yang masih rendah.
Konsumsi protein hewani di Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan
standar yang ditetapkan badan pangan dunia (FAO). Konsumsi protein hewani
rakyat Indonesia saat ini sebesar 4,19 gram per kapita per hari, atau setara dengan
5,25 kg daging, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun. Sedangkan, standar
konsumsi protein hewani yang ditetapkan FAO, minimal 6 gram/kapita/hari atau
setara daging sebanyak 10,1 kg, telur 3,5 kg, dan susu 6,4 kg/kapita/tahun
(Daryanto, 2014). Kebutuhan permintaan daging secara nasional semakin
meningkat seiring dangan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik,
pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal
ternak semakin meningkat, sehingga menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai
bangsa juga semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut
(Suswono, 2009).
Kebutuhan daging sapi didalam negeri belum mampu terpenuhi oleh
peternak di Indonesia sebagai produsen lokal. Produksi daging sapi di Indonesia
hingga tahun 2012 mencapai 485.330 ton, sedangkan populasi sapi potong di
Indonesia hingga tahun 2012 hanya mencapai 14.824.370 ekor
(Departemen Pertanian, 2012). Produksi dan kebutuhan konsumen daging di
2
Indonesia belum tercukupi, kondisi ini yang menyebabkan Indonesia melakukan
impor ternak sapi maupun daging sapi. Di Indonesia banyak terjadi pemotongan
ternak produktif untuk memenuhi permintaan daging sapi dan akhirnya
menyebabkan populasi sapi pedaging semakin menurun.
3
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai tempat pemotongan hewan,
ditempat ini banyak terjadi pemotongan ternak yang masih produktif karena
kegiatan dan aktivitas di RPH belum dapat di kontrol dengan baik sesuai aturan
yang berlaku (Undang - undang No 18 Tahun 2009). Penurunan populasi sapi
potong diduga disebabkan oleh pemotongan ternak yang masih produktif.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka penelitian ini akan melihat sejauh
mana tingkat pemotongan ternak produktif dan berat daging sapi pedaging
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak di RPH Kota Makassar.
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkat pemotongan tenak
dan berat daging sapi berdasarkan umur dan jenis kelamin di RPH Kota Makassar.
Kegunaan penelitian ini sebagai informasi peternak dan pemerintah untuk
mengambil kebijakan dalam pemotongan ternak sapi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Populasi Sapi Potong
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil
domestikasi dari Banteng (Bos bibos) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi
asli pulau Bali (Sutan, 1988). Sapi Bali menjadi primadona sapi potong di
Indonesia karena mempunyai persentase karkas tinggi dengan daging tanpa lemak
(Pane, 1990).
Sapi potong (pedaging) merupakan salah satu penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber protein berupa daging,
produktivitasnya masih sangat memprihatinkan karena volumenya masih jauh dari
target yang diperlukan konsumen. Permasalahan ini disebabkan oleh produksi
daging masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan volume produksi
daging masih rendah antara lain populasi dan produksi rendah (Sugeng, 2007).
Kebutuhan daging sapi didalam negeri belum mampu dicukupi oleh
peternak di Indonesia sebagai produsen lokal. Produksi daging sapi di Indonesia
hingga tahun 2012 mencapai 485.330 ton, sedangkan populasi sapi potong di
Indonesia hingga tahun 2012 hanya mencapai 14.824.370 ekor (Departemen
Pertanian, 2012). Kondisi ini menyebabkan Indonesia melakukan impor daging
sapi maupun ternak sapi, selain itu banyak terjadi pemotongan ternak produktif
untuk memenuhi permintaan daging sapi, yang akhirnya dapat menyebabkan
populasi ternak sapi semakin menurun, oleh karena itu peningkatan populasi sapi
potong perlu dilakukan (Yuliati, dkk., 2014).
5
Populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai 14,2 juta ekor atau
mengalami penurunan yang cukup drastis dibandingkan dengan hasil pendataan
sapi potong, sapi perah, dan kerbau (Badan Pusat Statistika, 2013).
Populasi sapi dan kerbau hasil sensus ternak mencapai 16,7 juta ekor.
Populasi mengalami penurunan pada tahun ini mencapai 2,5 juta ekor atau sekitar
15% bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2011. Penyebab utama
penurunan populasi sapi potong adalah maraknya pemotongan sapi dalam
beberapa tahun terakhir sebagai dampak naiknya harga di pasaran tanpa
diimbangai dengan upaya pemerintah meningkatkan populasi sapi potong di
dalam negeri secara berkelanjutan (Badan Pusat Stastika, 2011).
Pemotongan sapi betina produktif yang keberadaannya penting untuk
meningkatkan populasi. Hal ini dapat dicegah melalui monitoring yang ketat
dengan memanfaatkan data hasil sensus ternak. Pemotongan sapi di Indonesia 68
persen dari populasi sapi potong adalah sapi betina produktif. Untuk mencegah
pemotongan sapi betina produktif, Undang - undang No. 18 Tahun 2009 tentang
peternakan dan kesehatan hewan yang mengatur mengenai larangan pemotongan
sapi betina produktif serta sanksi hukumnya mestinya juga ditegakkan
(Sudarjat, 2003).
Konsekuensinya, swasembada daging pada 2014 belum dapat dicapai.
berdasarkan terminologi FAO (Food and Agriculture Organization), suatu negara
dianggap telah mencapai swasembada jika impor daging maksimal hanya 10%
dari kebutuhan nasional. Kebutuhan daging nasional saat ini ditaksir sekitar 600
ribu ton dalam setahun dengan populasi sapi potong yang menyusut, tidak dapat
6
tercapai bila 90% dari kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dari sapi potong dalam
negeri (Syamsu, 2011).
Sulawesi Selatan pernah meraih predikat sebagai lumbung ternak sapi
dengan kemampuan memasok kebutuhan pengadaan ternak sapi bibit atau sapi
potong untuk daerah atau provinsi lain. Namun, dewasa ini Sulawesi Selatan
kurang mampu lagi memenuhi permintaan tersebut. Sampai akhir tahun 1990-an,
populasi sapi di Sulawesi Selatan mencapai 1,2 juta ekor, dan merupakan wilayah
dengan populasi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Lima tahun terakhir, populasi sapi hanya 700-an ribu ekor saja atau turun
sekitar 40%. Penyebab kondisi tersebut antara lain in breeding yang berlangsung
cukup lama sehingga produksi ternak bibit rendah dan kurangnya pengendalian
pemotongan betina produktif (Syamsu, 2011).
Pertumbuhan populasi sapi ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah
kelahiran dan kematian, pemotongan serta penjualan ternak sapi ke luar daerah.
Jika hal ini tidak diperhatikan, akan terjadi pengurasan sumber daya ternak.
Pemotongan dan pengiriman ternak bibit atau sapi potong yang tidak terkendali
hanya untuk memenuhi tuntutan pemenuhan kebutuhan konsumsi daging semata
dengan mengabaikan perkembangan populasinya. Dampaknya adalah
menurunnya mutu ternak, karena ternak berkualitas baik tidak tersisakan untuk
pembibitan. Selain itu, terjadinya pemotongan sapi betina produktif sehingga
mengakibatkan tingkat kelahiran ternak menurun pada populasi ternak sapi
(Syamsu, 2011).
7
Rumah Potong Hewan (RPH)
RPH merupakan salah satu unit usaha yang sangat penting dalam menjaga
kehalalan pangan yang beredar di masyarakat (Zarkasi, 2014). Menurut SK
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 23 tahun 2006, RPH adalah suatu bangunan
atau kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi
persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan sebagai tempat
pemotongan hewan, usaha dan kegiatan di RPH meliputi : pemotongan,
pembersihan lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang penampung,
pembersihan kandang isolasi, dan/atau pembersihan isi perut dan air sisa
perendaman.
Menurut Lestari (1994) bahwa RPH mempunyai fungsi antara lain
sebagai :
1. Sarana strategis tata niaga ternak ruminansia, dengan alur dari peternak, pasar
hewan, RPH yang merupakan sarana akhir tata niaga ternak hidup, pasar
swalayan/pasar daging dan konsumen yang merupakan sarana awal tata niaga
hasil ternak.
2. Pintu gerbang produk peternakan berkualitas, dengan dihasilkan ternak yang
gemuk dan sehat oleh petani sehingga mempercepat transaksi yang merupakan
awal keberhasilan pengusaha daging untuk dipotong di RPH terdekat.
3. Menjamin penyediaan bahan makanan hewani yang sehat, karena di RPH hanya
ternak yang sehat yang bisa dipotong.
4. Menjamin bahan makanan hewani yang halal.
8
5. Menjamin keberadaan menu bergizi tinggi, yang dapat memperkaya masakan
khas Indonesia dan sebagai sumber gizi keluarga/rumah tangga.
6. Menunjang usaha bahan makanan hewani, baik di pasar swalayan, pedagang
kaki lima, industri pengolahan daging dan jasa boga.
Syarat – syarat RPH dalam Kesmavet (1993) telah diatur juga di dalam SK
Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986. Persyaratan ini dibagi
menjadi prasyarat untuk RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna
memenuhi kebutuhan lokal di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II,
memenuhi kebutuhan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dalam satu Provinsi Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Provinsi
Daerah Tingkat I dan memenuhi kebutuhan ekspor. Berdasarkan SK Menteri
Pertanian Nomor 13/Permentan /OT.140/1/2010 tentang persyaratan RPH
ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan
persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana
untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama) ;
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk
mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia ;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan,
9
pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan.
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara atau teknik
pemotongan atau penyembelihan ternak, yaitu teknik pemotongan ternak secara
langsung dan teknik pemotongan ternak secara tidak langsung. Pemotongan
ternak secara langsung, dilakukan setelah ternak diperiksa dan dinyatakan sehat,
maka ternak langsung dapat disembelih. Pemotongan ternak secara tidak langsung
ialah ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan dan ternak telah benar -
benar pingsan.
Menurut Nuhriawangsa (1999) bahwa hewan yang disembelih harus
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah.
Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum
(jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher. Menurut Kartasudjana (2011)
pada proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan
hokum - hukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin
masyarakat.
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode
secara Islam (Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat
dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan
dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat
darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999).
Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan
digantung (Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat
10
pada bagian brisket (Smith, dkk., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin
dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung
(Soeparno, 1992). Selanjutnya menurut Blakely dan Bade (1992) bahwa posisi
ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna. Hewan
yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya
dan lain-lain bagian berhenti (Ressang, 1962).
Daging Sapi Potong
Daging merupakan salah satu komoditi peternakan yang menjadi andalan
sumber protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi kebutuhan dasar
bahan pangan di Indonesia. Daging terbagi ke dalam dua jenis, yaitu daging
ternak besar seperti sapi dan kerbau, maupun daging ternak kecil seperti domba,
kambing, dan babi. Meski dengan adanya berbagai ragam jenis daging, produk
utama penjualan komoditi peternakan adalah daging sapi potong (Astawan, 2004).
Daging sapi potong juga telah menjadi salah satu bahan pangan yang
dibutuhkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya konsumsi daging
nasional yang harus dipenuhi. Kebijakan impor dilakukan dalam rangka
mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih
kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton. Kekurangan
pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial
sehingga tidak menjamin kesinambungan padahal, titik kritis dalam
pengembangan sapi potong adalah pembibitan (Prima, 2008).
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
11
pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya
beli masyarakat. Pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia bersumber dari
sapi lokal, sapi bakalan impor dan daging impor (Yosita, dkk., 2011).
Performa seekor ternak merupakan hasil dari pengaruh faktor genetik dan
faktor lingkungan. Seekor sapi yang memiliki genetik tinggi tidak akan
menunjukkan performa produksi yang baik apabila tidak didukung oleh
lingkungan yang baik, begitu juga sebaliknya. Secara genetik, sapi dari Bos
Taurus memiliki pertumbuhan bobot badan yang lebih cepat dari Bos Indicus
begitu pula dengan umur, Bos Taurus memerlukan waktu yang relatif lebih cepat
untuk tumbuh dalam mencapai bobot badan tertentu. Faktor lingkungan seperti
sistem pemeliharaan juga sangat menentukan keberhasilan produksi sapi potong.
Meskipun sapi lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan dengan sapi
impor, namun apabila lingkungan tidak mendukung kemampuan genetik seekor
sapi, maka performa produksinya juga akan rendah (Yosita, dkk., 2011).
Sapi yang memiliki bobot hidup yang tinggi tidak selalu menunjukkan
persentase karkas yang tinggi. Persentase karkas ini dipengaruhi bobot potong
sewaktu disembelih dengan bobot karkas.Indeks perdagingan menentukan
seberapa banyak proporsi daging terhadap panjang karkas sapi. Karkas yang
memiliki panjang karkas sama dengan bobot karkas yang berbeda maka karkas
yang lebih berat akan mempunyai indeks perdagingan lebih tinggi begitu juga
sebaliknya. Efisiensi produksi usaha sapi potong tercermin dari produksi karkas
yang memiliki bobot dan persentase tinggi dan kualitas karkas yang baik
(Yosita, dkk., 2011).
12
Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot hidup dan bobot
karkas dikali 100% (Hafid dan Rugayah, 2009). Metode yang cermat dalam
menentukan berat karkas adalah berdasarkan perut kosong, dimana berat isi perut
diperhitungkan dari selisih antara berat isi penuh dan perut kosong. Faktor yang
turut mempengaruhi persentase karkas adalah volume pakan dan air minum yang
mengisi saluran pencernaan. Artinya bahwa semakin sedikit makanan dan air
minum dalam alat pencernaan dan kantung kemih maka persentase karkas
semakin tinggi (Hafid, 2004).
Seekor sapi dianggap baik bila menghasilkan karkas dengan kuantitas dan
kualitas yang optimal. Parameter penilaian karkas yang umum adalah persentase
karkas, tebal lemak punggung dan indeks perdagingan. Sapi yang memiliki bobot
hidup yang tinggi tidak selalu menunjukkan persentase karkas yang tinggi
(Yosita, dkk., 2011).
Persentase karkas dipengaruhi bobot potong sewaktu disembelih dengan
bobot karkas. Tebal lemak punggung berfungsi melindungi karkas dari kerusakan
dan perubahan warna karkas selama proses pendinginan. Tebal lemak punggung
yang tipis kurang baik, tetapi tebal lemak punggung yang terlalu tebal juga dapat
merugikan produsen daging sebagai perlemakan yang harus dibuang. Indeks
perdagingan menentukan seberapa banyak proporsi daging terhadap panjang
karkas sapi. Karkas yang memiliki panjang karkas sama dengan bobot karkas
yang berbeda maka karkas yang lebih berat akan mempunyai indeks perdagingan
lebih tinggi begitu juga sebaliknya (Santosa, 2009).
13
Efisiensi produksi usaha sapi potong tercermin dari produksi karkas yang
memiliki bobot dan persentase tinggi dan kualitas karkas yang baik. Informasi
tersebut untuk melihat gambaran produksi sapi potong pada sapi lokal maupun
sapi impor (Yosita, dkk., 2011).
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Kota Makassar. Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan dari
bulan Mei - Juni 2015. Pengambilan data dilakukan setiap hari pada saat
pemotongan ternak di RPH yaitu sekitar pukul 03.00 WIB.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif
yaitu jenis penelitian yang mendeskrepsikan atau menggambarkan tingkat
pemotongan dan berat daging sapi (termasuk jeroan dan paru-paru) berdasarkan
jenis kelamin dan umur ternak (berdasarkan kartu ternak) di RPH kota Makassar.
Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Data kuantitatif yaitu data - data yang berbentuk bilangan, nilainya bisa
berubah – ubah atau bersifat variatif yang menggambarkan jumlah pemotongan
dan berat daging sapi yang diamati di RPH.
Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Data primer yaitu data yang bersumber dari hasil wawancara langsung dengan
pegawai RPH, jagal dan pengusaha yang terlibat langsung dengan RPH.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait, biro pusat
statistik, tata ruang, pemerintah setempat dan lain-lain yang telah tersedia,
15
seperti keadaan umum lokasi, meliputi gambaran lokasi kependudukan dan
ketersediaan sarana dan prasarana.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan baik bersifat
terbuka maupun tertutup.
2. Observasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan
pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena yang tampak pada objek -
objek penelitian dilapangan.
3. Dokumentasi yaitu pengumpulan data, pengambilan gambar dilapangan, serta
perolehan data sekunder dari instansi terkait.
Parameter Penelitian
Parameter pada penelitian ini yaitu tingkat pemotongan berdasarkan jenis
kelamin dan umur ternak serta penimbangan berat daging sapi (kg).
Pemotongan berdasarkan jenis kelamin ternak
Jantan
Betina
Pemotongan berdasarkan umur ternak
< 1 tahun (pedet/anak sapi)
1 – 3 tahun (pra produktif/sapi muda)
3 – 10 tahun (produktif)
16
> 10 tahun (afkir)
Analisis Data
Analisis data penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif (statistik
deskriptif) yang berfungsi menggambarkan aktivitas mengenai tingkat
pemotongan dan berat daging sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di
RPH kota Makassar (Arikunto, 1993).
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemotongan hewan di salah satu RPH yang ada di Makassar dilakukan
tiap hari dengan waktu pemotongan dimulai antara jam 01.00 sampai matahari
terbit. Sapi yang akan disembelih di RPH kota Makassar adalah milik pengusaha.
Jumlah sapi yang akan dipotong di RPH tergantung dari pengusaha pemotong dan
permintaan pasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola RPH, jumlah
sapi yang dipotong antara 50 – 100 ekor setiap hari atau antara 5.600 – 7.000 kg
daging sesuai permintaan pengusaha dan permintaan pasar. Tingkat pemotongan
menurun pada minggu pertama dan kedua di bulan ramadhan dan kembali normal
bahkan meningkat pada minggu terakhir di bulan ramadhan atau menjelang idul
fitri.
Tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali berdasarkan jenis kelamin
dan umur ternak di RPH kota Makassar dilakukan dengan observasi langsung di
lapangan. Parameter yang diamati yaitu jenis kelamin dan umur ternak yang
dipotong, serta berat daging sapi Bali.
Tingkat Pemotongan Ternak Sapi Bali Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin ternak pada tingkat pemotongan dapat menentukan
perkembangan populasi ternak sapi Bali di masa akan datang. Jenis kelamin
ternak sangat berpengaruh terhadap struktur populasi ternak sapi Bali. Adapun
jumlah pemotongan ternak sapi Bali berdasarkan jenis kelamin di RPH Kota
Makassar dapat dilihat pada Tabel 1.
18
Tabel 1. Jumlah pemotongan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin (selama
penelitian)
Waktu Pemotongan Jenis Kelamin
Total/Minggu (%) Jantan (%) Betina (%)
Minggu ke I 98 (34.02) 288 (65.98) 386 (23.09)
Minggu ke II 89 (26.96) 330 (73.04) 419 (25.06)
Minggu ke III 150 (42.61) 352 (57.39) 502 (30.02)
Minggu ke IV 116 (46.58) 249 (53.42) 365 (21.83)
Jumlah Pemotongan 453 (27.09) 1219 (70.34) 1672 (100)
Sumber : Data primer penelitian tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak di RPH, Makassar, 2015.
Berdasarkan Tabel 1 tingkat pemotongan sapi betina lebih tinggi dengan
jumlah pemotongan 1219 ekor dibandingkan dengan tingkat pemotongan sapi
jantan yang hanya 453 ekor. Pemotongan sapi betina 70.34% dari total jumlah
pemotongan. Hal ini dikarenakan sapi Bali yang dijual oleh peternak dan masuk di
RPH lebih banyak berjenis kelamin betina. Selama ini, perilaku peternak dalam
menjual sapi betina produktif masih dipahami secara umum yakni karena alasan
desakan kebutuhan ekonomi, seperti untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga (Setyono, 2011), atau membutuhkan dana tunai untuk kebutuhan
hidupnya (Adnan, 2011).
Sapi Bali betina memiliki persentase perlemakan yang tinggi sehingga
pengusaha lebih memilih membeli dan memotong sapi betina dibandingkan sapi
jantan. Perlemakan yang tinggi diketahui akan memberikan keuntungan yang
lebih. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sri Rachma dan Rahim (2007) yang
melaporkan bahwa perbedaan nilai akurasi tersebut dapat disebabkan oleh faktor
laju pertumbuhan dan deposisi lemak yang berbeda antara jantan dan betina.
Kondisi perlemakan yang relatif lebih tinggi pada sapi betina menyebabkan bias
yang lebih besar dan berefek pada nilai akurasi pendugaan berat badan. Selain itu
19
lebar kelangkang, lebar punggung, lebar tulang tapis dan panjang kelangkang
berada pada bagian tengah hingga belakang tubuh dimana pada lokasi tersebut
terdapat organ reproduksi yang turut mempengaruhi deposisi lemak.
Pada Tabel 1 dapat dilihat rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH
diakibatkan karena harga jual sapi Bali jantan lebih mahal dibandingkan dengan
harga jual sapi Bali betina, sehingga peternak tidak mudah menjual sapi jantannya
di RPH kecuali ada hal yang mendesak. Hal ini sesuai dengan pendapat Suardana,
dkk., (2013) yang menyatakan mahalnya harga sapi Bali jantan di luar Bali
sehingga mendorong para petani/peternak untuk menjual sapi jantannya ke luar
daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Terlalu tinggi persentase pemotongan sapi betina meskipun ada
pemotongan betina yang tidak produktif namun tidak wajar apabila pemotongan
betina lebih dari 50% dari jumlah pemotongan. Hal ini dapat menurunkan
populasi sapi Bali dan menurunkan kualitias bibit induk sapi Bali serta
perkembangan peternakan sapi Bali akan semakin memburuk. Akibatnya, jika
tidak ada perubahan akan kesadaran atas larangan pemotongan betina produktif
maka swasembada ternak dan daging sapi tidak akan terealisasi lagi ditahun
berikutnya. Imbangan jumlah pemotongan dengan populasi tidak melampau batas
toleransi yaitu sebesar 12%. Apabila persentase pemotongan melebih batas
toleransi, maka akan mengganggu suplai sapi potong dan upaya peningkatan
populasi sapi potong (Agung, dkk., 1981).
20
Tingkat Pemotongan Sapi Bali Berdasarkan Umur Ternak
Umur merupakan data yang perlu diketahui, dicatat dan diarsipkan ketika
peternak ingin memasukkan atau menjual ternaknya di RPH sebagai syarat dan
bukti kepemilikan ternak tersebut. Umur sapi Bali di RPH pada penelitian ini
dapat diketahui dari kartu ternak/surat pengantar ternak. Adapun tingkat
pemotongan berdasarkan umur ternak sesuai hasil pengamatan dilapangan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Tingkat pemotongan sapi Bali berdasarkan umur ternak.
Umur Ternak (Tahun) Jumlah Pemotongan
Total % Jantan (%) Betina (%)
< 1 3 0.18 14 0.84 17 1.02
1 – 3 206 12.32 344 20.57 550 32.89
3 – 10 242 14.47 832 49.77 1074 64.23
> 10 2 0.12 29 1.73 31 1.85
Total
Pemotongaan/Bulan 453 27.09 1219 72.91 1672 100
Sumber : Data primer penelitian tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak di RPH, Makassar, 2015.
Pada Tabel 2 dapat dilihat tingginya jumlah pemotongan ternak sapi Bali
pada umur produktif di RPH kota Makassar menunjukkan bahwa masih terjadi
pelanggaran yang cukup tinggi. Pemotongan sapi Bali betina produktif di RPH
yaitu 832 ekor (64.23%) dari 1672 ekor ternak yang dipotong. Hal ini sesuai
penelitian Soejosopoetro (2011) yang melaporkan bahwa pemotongan sapi betina
produktif di RPH Malang 44 ekor dari 119 ekor jumlah betina atau sekitar 22.11%
pemotongan betina produktif. Penelitian lain oleh Sukotjo, Soejosopoetro dan
Surjowardojo (1997) sapi umur produktif yang dipotong di RPH Tulungagung
23.69 %. Hal ini menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina umur produktif
masih tinggi. Dengan tingginya pemotongan betina produktif menyebabkan laju
21
pertambahan populasi menjadi lambat. Rendahnya tingkat kelahiran yang tidak
mampu mengimbangi tingkat pemotongan dan kematian serta faktor lain
menyebabkan populasi ternak sapi semakin cepat menurun.
Permintaan konsumen yang semakin meningkat berdampak pada
pemotongan betina produktif dan betina yang sedang bunting. Persentase jumlah
pemotongan betina di atas 50% dari total pemotongan perminggu. Pemotongan
betina sedang bunting yaitu 20% dan 15% pemotongan betina yang masih
produktif yaitu umur 1 - 3 tahun serta 10% pemotongan anak sapi Bali perminggu.
Hal ini sesuai Puslitbangnak (2011) yang melaporkan bahwa di salah satu RPH
resmi dijumpai bahwa 95% sapi yang dipotong setiap harinya adalah betina,
sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya adalah sapi betina dalam
kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar 150 - 200 ribu ekor sapi
betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini sangat besar dan patut
diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging yang berasal dari sapi
lokal.
Berdasarkan Tabel 2 tingkat pemotongan berdasarkan umur dapat dilihat
bahwa umur ternak 3 - 10 tahun merupakan umur ternak yang jumlah
pemotongannya terbanyak yaitu 1074 ekor dari 1672 ekor pemotongan ternak
dalam sebulan. Ternak yang berumur 3 - 10 tahun merupakan ternak yang masih
produktif baik sapi Bali jantan maupun sapi Bali betina. Pemotongan betina pada
umur 3 - 10 tahun terdapat betina yang sedang bunting.
Pemotongan sapi yang berumur 1 - 3 tahun merupakan jumlah
pemotongan ternak yang cukup banyak setelah pemotongan pada umur 3 - 10
22
tahun yaitu 32.89% dari 1672 ekor sapi Bali. Pada umur 1 - 3 tahun merupakan
umur pra produktif atau ternak muda dan ternak ini siap kawin atau dikawinkan
untuk menjadi pejantan dan induk. Sehingga, Pemotongan ternak pada umur 1 - 3
tahun akan berdampak buruk bagi populasi sapi Bali di tahun berikutnya.
Atmadilaga (1983) menyatakan bahwa kurangnya efektivitas dan efisiensi
reproduksi di satu pihak dan arus permintaan yang tinggi dipihak lain mempunyai
implikasi terhadap populasi sapi dan kerbau pada golongan usia produktif.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah pemotongan betina lebih tinggi
dibandingkan jumlah pemotongan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa betina pada
umur produktif yaitu 3 - 10 tahun mengalami tingkat pemotongan yang lebih
tinggi dibandingkan sapi jantan yang jumlah pemotongannya hanya >27.09%
dari total pemotongan ternak sapi Bali. Soejosopoetro (2011) menyatakan
kemungkinan terjadinya pemotongan betina produktif karena adanya faktor -
faktor : 1. atas dasar permintaan pemotongan sapi betina yang lebih muda. 2.
Penjualan sapi betina produktif oleh peternak di pedesaan karena untuk
mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya karena tidak mempunyai
uang cash.
Larangan pemotongan sapi betina produktif sudah ada sejak zaman Hindia
- Belanda pelarangan tersebut juga diatur dalam Undang - Undang Nomor 6
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Namun larangan tersebut tidak dikenai sanksi, sehingga
implementasinya di lapang tidak efektif. Selanjutnya, peraturan baru dikeluarkan
dalam Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
23
Kesehatan pada Juni 2009, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang
lebih kuat untuk mencegah pmotongan sapi betina produktif.
Orang yang melanggar larangan ini diancam sanksi administratif berupa
denda sedikitnya Rp. 5 juta dan ketentuan pidana dengan pidana kurungan paling
singkat 3 bulan (Pasal 85 dan pasal 86). Akan tetapi kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina produktif masih banyak terjadi dan
sulit dikendalikan.
Pelarangan pemotongan sapi betina produktif sudah sangat jelas dan tegas
namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan
mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif
murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga
antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 –
1.000.000/ekor (Litbang Pertanian, 2012). Ketentuan pelarangan tersebut yang
dibarengi dengan pembatasan pengeluaran ternak betina ternyata jutru menekan
harga sapi. Sementara itu hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar
pulau, sehingga jagal tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong
sapi betina produktif. Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah
dianggap sebagai hal yang lumrah.
Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya,
yaitu pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak
akan menjual apasaja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu
pengembangan ternak lain seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah
perlu untuk cadangan bila peternak memerlukan uang dalam jumlah kecil. Selain
24
itu, pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga mikro di tingkat
pedesaan sangat diperlukaan untuk memenuhi kebutuhan finansial masyarakat
dalam jumlah besar untuk mencegah penjualan betina produktif
(Puslitbangnak, 2011).
Berat Daging Sapi Bali
Daging sapi merupakan hasil utama dari pemotongan ternak sapi di RPH.
Daging merupakan salah satu komoditi peternakan yang menjadi andalan sumber
protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi kebutuhan dasar bahan
pangan di Indonesia (Astawan, 2004). Adapun data berat daging berdasarkan
umur ternak sapi Bali dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dan data
berat daging sapi Bali berdasarkan pemotongan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Distribusi ternak sapi Bali berdasarkan umur ternak dan kelompok berat
daging
Umur Ternak Berat daging (kg) Total (ekor) %
(Tahun) 20-50 50-80 80-100 >100
< 1 17 0 0 0 17 1.02
1 - 3 23 490 37 0 550 32.89
3 - 10 0 462 590 22 1074 64.23
> 10 0 0 3 28 31 1.85
Jumlah
(%)
40
(2.4)
952
(57)
630
(37.77)
50
(2.9) 1672 100
Sumber : Data primer penelitian tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak di RPH, Makassar, 2015.
Pengelompokkan berat daging sapi Bali pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa
umur ternak sangat berpengaruh terhadap berat daging. Pemotongan sapi Bali
yang berumur <1 tahun ada 17 ekor memiliki berat daging hanya 20 - 50 kg/ekor,
umur 1 – 3 tahun yang memiliki berat daging 20 - 50 kg/ekor yaitu 23 ekor, berat
daging 50 - 80 kg/ekor yaitu 490 ekor dan 80 - 100 yaitu 37 ekor. Pemotongan
25
ternak terbanyak yaitu pada umur 3-10 tahun yang memiliki berat daging 50 - 80
kg/ekor yaitu 462 ekor, dan berat daging 80 – 100 sebanyak 590 ekor, serta
pemotongan sapi Bali yang memiliki berat daging >100 hanya 22 ekor.
Sedangkan berat daging sapi Bali yang sudah tidak produktif (>10 tahun) yaitu 3
ekor sapi bali yang memiliki berat daging 80 – 100 kg/ekor dan 28 ekor yang
memiliki berat daging >100 kg/ekor.
Berat daging yang diproduksi oleh ternak sapi Bali ditentukan oleh berat
hidup, umur, dan kondisi eksterior ternak. Berat daging akan mempengaruhi
persentase karkas dan nonkarkas dari ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan Razi
(2004) menyatakan bahwa perbedaan berat daging akan sangat berpengaruh
terhadap persentase karkas yang dihasilkannya karena setiap kenaikan berat
potong akan diikuti oleh kenaikan berat karkas.
Tabel 4. Rata-rata berat daging sapi Bali berdasarkan umur pemotongan
Sumber : Data primer penelitian tingkat pemotongan dan berat daging sapi Bali
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak di RPH, Makassar, 2015.
Perbedaan berat daging sapi Bali jantan dan sapi Bali betina dapat dilihat
pada Tabel 4. Rata-rata berat daging sapi Bali jantan lebih tinggi dibandingkan
sapi Bali betina. Hal ini disebabkan karena sapi Bali jantan memiliki aktivitas
yang lebih banyak dibandingkan sapi Bali betina. Aktivitas bekerja dari sapi
jantan akan berdampak terhadap pertumbuhan otot-otot (daging) tertentu serta
dapat mempengaruhi ukuran serat daging (myofilamen) dibandingkan dengan
Umur Ternak Jumlah Pemotongan Rata-rata
(Tahun) Jantan Betina
< 1 39.7±2.1 34.1±3.7 36.9±18.1
1 - 3 75.6±6.2 64.8±6.7 70.2±11.8
3 - 10 84.7±11.9 81.8±8.0 83.3±10.6
> 10 121.0±1.41 100.4±15.4 110.7±10.5
26
ternak yang kurang beraktivitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005)
yang bahwa aktivitas fisik seperti berolahraga akan mempengaruhi pertumbuhan
otot, persentase terhadap karkas serta kualitas karkas dan daging yang dihasilkan
olehh ternak tersebut. Hafid (2005) menambahkan bahwa ternak yang banyak
bergerak atau beraktivitas akan menghasilkan daging yang lebih leaner (daging
yang lemaknya lebih sedikit) sebab cadangan energi dalam lemak dalam otot akan
digunakan selama aktivitas fisik tersebut.
Daging merupakan hasil utama dari sapi pedaging, maka data produksi
daging sangat diperlukan dan bermanfaat untuk merencanakan upaya pemenuhan
permintaan daging dan pengembangan peternakan sapi dimasa yang akan dating.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hafid (2011) yang menyatakan bahwa indikator
produksi daging dari seekor sapi pedaging dapat diukur dari berat dan presentase
karkas yang dihasilkan, sebab pada karkas terkandung otot yang selanjutnya akan
terkonversi menjadi daging. Karkas adalah hasil pemotongan ternak setelah
dikeluarkan bagian non karkas atau offal. Kualitas dan kuantitas karkas sangat
tergantung pada kondisi pemeliharaan, umur, bangsa, jenis kelamin dan makanan.
Hal ini sesuai dengan Berg dan Butterfield (1976) dan hasil penelitan Hafid
(2005) yang menyatakan bahwa perbedaan steroid kelamin diantara ternak jantan
dan betina mempengaruhi komposisi karkas ternak
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Tingkat pemotongan sapi Bali betina di RPH Tamangapa kota Makassar
mencapai 70.34%, dan pemotongan sapi Bali produktif baik jantan dan betina
umur 3 - 10 tahun yaitu 64.23%
2. Rata-rata berat daging umur pemotongan 3 - 10 tahun yaitu 83.3 kg ±10.6
Saran
Bardasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan khususnya kepada Dinas Peternakan Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengambil langkah - langka dalam mengontrol secara
ketat terhadap pemotongan sapi betina produktif di RPH untuk menanggulangi
terjadinya penurunan populasi sapi Bali sekaligus meningkatkan produktivitas
sapi Bali dimasa mendatang.
28
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, S. K, 2011. Penyelamatan betina produktif. www.fedcosierra.com/2011
/12/penyelamatan-betina-produktif.html.
Agung K., Djojowidagdo, S., Arito dan Sunardi. 1981.Inventarisasi polusi supply
ternak potong. Kerjasama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dengan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Astawan, P. D. 2004. Pentingnya mengkonsumsi daging. http://peternakantaurus.
wordpress.com/2010/07/26/pentingnya-mengkonsumsi-daging.
Atmadilaga, D. 1983. Ruminansia besar dalam perspektif sistem pembangunan di
Indonesia. Proceedings. Pertemuan ilmiah ruminansia besar. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Inovasi Teknologi untuk
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. ISBN : 978-602-9462-06-7.
Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis hasil akhir PSPK 2011. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik.2013. Hasil Sensus Pertanian 2013. Berita Resmi Statistik,
No.62/09/th XVI.
Berg RT, Butterfield RM. 1976. New concepts of cattle growth. Sydney
University Press, Sydney
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The science of animal husbandry. Penterjemah:
B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Daryanto, A. 2014. Tulisan untuk AMS (HIPMA IPB). hipma.lk.ipb.ac.id/
files/2014/05/tulisan-untuk-AMS.doc.
Departemen Pertanian. 2012. Populasi dan produksi peternakan di Indonesia.
http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabel-4-pop-prod-nak.pdf.
Hafid, H. 2004. Akurasi Penggunaan Bobot Karkas dan Tebal Lemak Rusuk Ke
12 Untuk Menduga Kandungan Daging dan Lemak Karkas pada Sapi
ACC dan BX. Majalah Ilmiah Agriplus 14(03).
29
Hafid H. 2005. Kajian pertumbuhan dan distribusi daging serta estimasi
produktivitas karkas sapi hasil penggemukan. Disertasi. Program Pasca
Sarjana. IPB. Bogor.
Hafid, H dan N. Rugayah. 2009. Persentase karkas sapi Bali pada berbagai berat
badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. Jurnal Ilmiah. Jurusan
Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Hafid H. 2011. Pengantar evaluasi karkas. Cetakan Pertama. Penerbit Unhalu
Press, Kendari.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kartasudjana, R. 2011. Proses pemotongan ternak di RPH. Departemen
Pendidikan Nasional proyek pengembangan sistem dan standar
pengelolaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Jakarta.Modul
budidaya ternak program keahlian.Jakarta.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminudin P. UI-Press, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. PT.
Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Kesmavet, 1993.Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan
Hewan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar ilmu ternak dalam pandangan islam:
Suatu tinjauan tentang fiqih ternak. Program Studi Produksi Ternak,
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Pane, I. 1990.Upaya meningkatkan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali.
Pros.Seminar Nasional Sapi Bali 20–22 September.hlm: A42
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2011. Selamatkan sapi betina
produktif.http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_
&view=article&id=210%3Aselamatkan-sapi-betina-produktif&Itemid=1
Prima, I. B. 2008. Kebijakan impor daging sapi dan ketahanan pangan.
detikNews.http://news.detik.com/read/2008/05/08/075413/935748/471/ke
bijakan-impordaging-sapi-dan-ketahanan-pangan
Razi, F. 2004. Hubungan antara berat hidup dengan ukuran tubuh dan berat karkas
pada domba ekor tipis di tempat pemotongan hewan kentungan Kabupaten
Sleman DIY. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan. UGM,
Yogyakarta.
30
Ressang, A. 1962. Ilmu Kesehatan Daging (Meat Hygiene). Edisi Pertama. Fak.
Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.
Santosa, U. 2009. Mengelola Peternakan Sapi Secara Professional. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat
Science. 2nd Ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soejosopoetro, B. 2011. Studi tentang pemotongansapi betina produktif di RPH
Malang. J. Ternak Tropika, 12 (1) : 22-26.
Soeparno, 1992.Ilmu dan Teknologi Daging.Cetakan ke-1. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University,
Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sri Rachma dan L. Rahim, 2007. Penggunaan lebar kelangkang, lebar punggung,
lebar tulang tapis dan panjang kelangkang untuk menduga berat badan sapi
bali. Jurnal Sains dan Teknologi, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas
Hasanuddin, Makassar. Vol. 9 (2) ; 119-124.
Suardana, I,W.,I, M, Sukadana.,I, K, Suada.,and D.A Widiasih. 2013. Analisis
jumlah dan umur sapi Bali betina produktif yang dipotong di rumah
pemotongan hewan pesanggaran dan mambal provinsi Bali. J. Sains
Veteriner. ISSN : 0126 - 0421
Sudrajat, S. 2003. Operassional Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging
Sapi Tahun 2005.
Sugeng, Y. B. 2007. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya ; Jakarta.
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, 1997. UU Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sukotjo, Soejosopoetro, dan Surjowardojo. 1997. Studi pemotongan sapi betina
dan persentase karkas di RPH Kabupaten Tulungagung. Fapet UB.Malang.
Suswono. 2009. Pemotongan sapi lokal produktif. Departemen Pertanian. Jakarta.
31
Sutan, SM. 1988. Perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi
Brahman, peranakan Ongole dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta,
Sumatra Selatan. Disertasi.Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Syamsu, J.A. 2011. Reposisi paradigma pengembangan peternakan : pemikiran,
gagasan dan pencerahan public. Absolute Media : Yogyakarta.
Yosita, M. U, Santosa, dan E. Y, Setyowati. 2011. Persentase karkas, tebal lemak
punggung dan indeks perdagingan sapi bali, peranakan ongole dan
Australian commercial cross. Jurnal Ilmiah. Fakultas Peternakan.
Universitas Padjadjaran, Sumedang.
Yuliati.I, Z. Fanani, dan B. Harono. 2014. Analisis proffitabilitas usaha
penggemukan sapi potong. Jurnal Ilmiah. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya.
Zarkasi, T. Z. 2014. Perlindungan hokum terhadap konsumen melalui sertifikasi
halal rumah potong hewan (RPH) di pulau Lombok. Jurnal Ilmiah.
Fakultas Hukum. Universitas Mataram.