Kualitas mikrobiologis dan organoleptik daging sapi yang direndam ...
LAPORAN PRATIKUM 2 UJI KUALITAS DAGING SAPI DAN PENGOLAHAN DAGING SAPI KELOMPOK 1.pdf
-
Upload
fuad-mahpudin -
Category
Documents
-
view
2.413 -
download
14
description
Transcript of LAPORAN PRATIKUM 2 UJI KUALITAS DAGING SAPI DAN PENGOLAHAN DAGING SAPI KELOMPOK 1.pdf
UJI KUALITAS DAGING DAN
PROSES PENGOLAHAN DAGING
LAPORAN PRAKTIKUM 2
diajukkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah teknologi pengolahan
hasil hewani yang diampu oleh Mustika NH, S.TP., M.Si
Disusun oleh :
1. Dawamul Maziddin 1105919
2. Fuad Mahpudin 1105320
3. Purwa Gilang R. 1002356
4. Saeful Imam M. 1104248
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha
Esa, kami dapat menyelesaikan laporan praktikum, Uji Kualitas Daging
Dan Proses Pengolahan Daging berdasarkan salah satu tugas mata kuliah
teknologi pengolahan hasil hewani. Dengan ini semoga laporan pratikum ini
dapat memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah teknologi
pengolahan hasil hewani Kerangka materi yang tersaji dalam laporan pratikum
ini di susun berdasarkan dari hasil pratikum yang dilakukan.
Pratikum yang dilakukan adalah Uji Kualitas Daging maupun Proses
Pengolahan Daging. Adapun materi tambahan di ambil dari referensi lain, baik
buku maupun website yang meliputi adalah Uji Kualitas daging maupun
Proses Pengolahan daging. Serta dalam laporan ini meliputi tentang bagaimana
menguji kualitas daging diantaranya Uji warna, Uji keempukan, dan Uji
Keasaman, Uji susut masak, Uji Water Holding Capacity (WHC) dan Proses
Pengolahan daging diantaranya Pengolahan baso, Pengolahan sosis, dan
pengolahan kornet. Sehingga terwujud laporan tentang Uji Kualitas daging
Dan Proses Pengolahan Daging dan hingga mampu dijadikan sebagai
penambahan tentang pengetahuan tentang mata kuliah teknologi pengolahan
hasil hewani baik bagi penyusun maupun pembaca.
Tujuan utama penulis adalah selain dapat memenuhi salah satu mata
kuliah teknologi pengolahan hasil hewani yaitu dapat juga memberikan
dorongan dan motivasi untuk menggali informasi dan belajar secara pratik
seberapa besar penangangan dan pengolahan.
Meskipun telah berusaha segenap kemampuan, namun kami
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, segala tegur sapa dan kritik yang di berikan akan penulis sambut dengan
kelapangan hati, guna perbaikan pada masa yang akan datang.
iii
Akhir kata, penyusun berharap semoga laporan ini selain dapat
memenuhi salah satu tugas mata kuliah teknologi pengolahan hasil hewani
juga dapat memberikan nilai tambah bagi seseorang yang memanfaatkannya.
Bandung, 12 Oktober 2013
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Tujuan Praktikum ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
BAB III METODE PRAKTIKUM ............................................................ 12
3.1.Uji Kualitas Daging ..................................................................... 12
a. Waktu dan Tempat Praktikum ................................................. 12
b. Alat dan Bahan ........................................................................ 12
c. Prosedur Kerja ......................................................................... 12
3.2.Proses Pengolahan Daging ............................................................ 14
a. Waktu dan Tempat Praktikum ................................................. 14
b. Alat dan Bahan ........................................................................ 14
c. Prosedur Kerja ......................................................................... 14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 18
4.1. Hasil ............................................................................................. 18
a. Uji Kualitas Daging ................................................................. 18
b. Proses Pengolahan Daging ...................................................... 18
4.2. Pembahasan .................................................................................. 19
a. Uji Kualitas Daging ................................................................. 19
b. Proses Pengolahan Daging ...................................................... 24
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 29
5.1.Kesimpulan .................................................................................... 29
5.2.Saran ............................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1 PRODUK OLAHAN DAGING
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daging merupakan salah satu produk yang menjadi penyuplan protein
hewani bagi masyarakat Indonesia. Indonesia yang kaya akan kebudayaan
menyebabkan jenis olehan dari daging berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Beberapa daging yang lazim di konsumsi oleh
masyarakat Indonesia dan diolah menjadi aneka makanan adalah sapi,
kerbau, domba, kambing dan ayam/bebek. Tingkatan konsumsi akan
semakin bertambah mengingat semakin meningkatnya pertumbuhan
penduduk, meningkatnya daya beli dan meningkatnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya protein hewani. Oleh karena itu, untuk menghasilkan
daging dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka perlu adanya
penanganan yang baik.
Penanganan daging sangat perlu dilakukan sedini mungkin setelah
ayam dipotong karena mempengaruhi kualitas daging itu sendiri. Tujuan
dari penanganan daging adalah untuk mencegah penurunan kualitas daging
sehingga memperpendek daya simpan daging. Parubahan fisik (warna dan
bau), perubahan cita rasa, yang kemudian dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan bagi konsumen.
Dading yang beredar dipasaran tentunya memiliki kualitas yang
bervariatif. Beragamnya kondisi ternak, cara pemeliharaan dan umur potong
dari ternak tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan
menjadi beragam. Dengan beragam kondisi tersebut, pelanggan harus teliti
dalam memilih daging yang akan dikonsumsi.
Beberapa hal yang menjadi indicator kualitas daging diantaranya daya
ikat air, tingkat keempukan, besarnya susut masak an PH daging tersebut.
Hal- hal tersebut menjadi indicator akan kualitas daging yyang akan
dikonsmsi. Hal lain yang dapat diaplikasikan dalam memilih daging adalah
2
dengan memperhatikan warna daging dan bau dari daging tersebut agar
terhindar dari tindakan penipuan seperti pengoplosan daging.
1.2. Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui kualitas daging dengan melihat daya mengikat air,
susut masak, pH daging dan tingkat keempukan daging.
2. Mengetahui prosedur pengolahan baso, sosis, kornet dan tahapan penting
yang memerlukan penanganan untuk memperoleh produk yang
berkualitas.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan
termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, dan ginjal.
Soeparno (1994) mendefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan
pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti
corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan
sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot,
meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi
tidaklah sama otot dengan daging (Suharyanto, 2008).
2.1 Uji Kualitas Daging
a. Warna Daging
Contoh penyebab terjadinya perubahan warna diantaranya adalah
lingkungan yang ekstrim ataupun penanganan yang buruk pada ayam,
sehingga mengakibatkan stress. Selain itu, bisa juga akibat memar yang
ditandai dengan pembentukan gumpalan darah pada daerah tertentu.
b. Daya Ikat Air
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut
sebagai Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai
kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption).
Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat
secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan
4
kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%,
dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air
meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas
diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%.
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul
pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang
berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging
mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971).
c. Susut Masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama
pemasakan atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama
waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga mencapai
tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi
daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air
yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan
komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging
(Soeparno, 1992).
d. Nilai pH Daging
Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas
daging, khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan
hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang
sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai
konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena
terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan
merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian
(36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses
glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob
ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat.
Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan
mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot.
5
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang
disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah
hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun
akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot
hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan
berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan
mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6-5,7
dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir
sekitar 5,5-5,6.
Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang
dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak
akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena
pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis
anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010).
e. Keempukan Daging
Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan
daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu
berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara
serabut daging serta rigor mortis daging yang terjadi setelah ternak
dipotong. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan
menjadi faktor antemortem (sebelum pemotongan) seperti genetik
(termasuk bangsa, spesies, dan status fisiologi), umur, manajemen, jenis
kelamin, serta stres, dan faktor postmortem (setelah pemotongan) yang
meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan/pemasakan (aging),
pembekuan (termasuk lama dan temperatur penyimpanan), dan metode
pengolahan (termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan
pengempuk). Keempukan daging dapat diketahui dengan mengukur daya
putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya, semakin empuk daging
tersebut. Tujuan dari tinjauan ini adalah memberikan informasi mengenai
6
keempukan daging dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (
Tambunan, 2010)
2.2 Proses Pengolahan Daging
a. Pengolahan Baso
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging. Pengolahan
daging menjadi bakso bertujuan untuk memperpanjang daya simpan,
meningkatkan nilai estetika, dan meningkatkan nilai ekonomis. Subbab
ini menyajikan tentang pengertian bakso, komponen penyusun bakso,
dan cara pembuatan bakso.
Bakso adalah produk daging yang banyak dikonsumsi dan sangat
populer di kalangan masyarakat. Menurut Standar Nasional Indonesia
(1995) dalam Astiti (2008), bakso daging adalah produk makanan yang
berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak
(kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati (serealia) dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan makanan yang
diijinkan. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas bahan
mentahnya terutama jenis dan mutu daging, macam tepung yang
digunakan serta perbandingannya di dalam adonan (Astiti, 2008).
Berdasarkan jenis daging yang digunakan sebagai bahan untuk
membuat bakso, maka dikenal berbagai jenis bakso seperti bakso ikan,
bakso babi, dan bakso sapi. Penggolongan bakso sapi menjadi tiga
kelompok masing-masing bakso daging, bakso urat, bakso aci.
Penggolongan itu dilakukan atas perbandingan jumlah tepung pati dan
jumlah serta jenis daging yang digunakan dalam pembuatan bakso.
Bakso daging dibuat dengan menggunakan daging dengan jumlah yang
lebih besar dibandingkan tepung pati yang digunakan. Bakso aci dibuat
dengan menggunakan pati dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
jumlah daging yang digunakan. Bakso urat dengan menggunakan daging
dalam jumlah lebih besar dibandingkan jumlah pati, dan daging yang
7
digunakan adalah daging yang banyak mengandung jaringan ikat (Astiti,
2008).
Dalam pembuatan bakso daging, kesegaran dan jenis daging
sangatlah mempengaruhi mutu dari bakso tersebut. Oleh karena itu,
digunakan jenis daging yang baik dan bermutu tinggi. Sebaikknya dipilih
jenis daging yang masih segar, berdaging tebal, dan tidak banyak lemak
sehingga rendemennya tinggi. Selain itu, cara pengolahan bakso juga
sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan, misalnya jika lemak
atau kulit terambil, warna bakso yang dihasilkan kotor atau agak abu-abu
(Astiti, 2008).
Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat dilakukan
dengan menggunakan tangan atau dengan mesin pencetak bola bakso.
Jika memakai tangan, caraya gampang saja, adonan diambil dengan
sendo makan lalu diputar-putar dengan tangan sehingga terbentuk bola
bakso. Bagi orang yang telah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup
dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan ditekan ke
arah ibu jari. Adonan yang keluar dari ibu jari dan telunjuk membentuk
bulatan lalu diambil dengan sendok (Astiti, 2008).
Cara yang paling mudah untuk menilai mutu bakso yaitu dengan
menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Hasil pengujian mutu
sensoris ini dapat diperkuat dengan pengujian fisik, kimiawi, dan
mikrobiologis yang tentu saja memerlukan teknik, peralatan, dan tenaga
khusus. Paling tidak ada lima parameter sensoris yang perlu dinilai, yaitu
penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur (Astiti, 2008).
Tabel 6. Komposisi Kimia Daging Sapi Bakso dalam 100 gram Bahan
Komponen Satuan Jumlah
Kalori Kal 207,00
Protein g 18,80
8
Lemak g
14,00
Kalsium
mg 11,00
Fosfor
mg 170,00
Besi
mg 2,80
Vitamin A
SI 30,00
Vitamin B1
mg 0,08
Air
g 66,00
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan Departemen Kesehatan RI
(1979).
b. Pengolahan Sosis
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang
kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam
pembungkus yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan
atau tidak dimasak. Menurut Kramlich (1971) dalam Fiqhi (2009), sosis
adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui,
umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Fiqhi, 2009).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis
yang baik harus mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal
25% dan karbohidrat maksimal 8%. Jika standar ini terpenuhi, maka
dapat dikatakan bahwa sosis merupakan makanan sumber protein. Hanya
saja, karena kadar lemak dan kolesterol sosis yang cukup tinggi, sosis
sebaiknya tidak dijadikan menu rutin bagi anak-anak guna mencegah
9
masalah obesitas dan penyakit-penyakit yang mengikutinya, dikemudian
hari. Jika anak anda suka makan sosis, sebaiknya anda memilih produk
sosis dengan kandungan lemak yang tidak terlalu tinggi (kurang dari
10%) (Farhan, 2012).
Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi
sua cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu
terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula- globula kecil
disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat
terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-
protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan
membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang
terdispersi (Fiqhi, 2009).
Emulsi terdiri atas tiga fase atau bagian. Satu , fase terdispersi yang
terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat larut. Pada makanan, zat ini
biasanya minyak, meskipun tidak selalu. Fase kedua adalah fase kontinu.
Pada makanan, zat ini biasanya air. Jika air dan minyak dicampur,
keduanya akan langsung memisah dan dan terlihat garis pemisah yang
jelas. Agar partikel-partikel salah satu cairan tersuspensi dalam cairan
lainnya, dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul – molekul yang mempunyai
afinitas untuk kedua cairan diatas. Zat ini dinamakan pengemulsi (Fiqhi,
2009).
Klasifikasi sosis terdiri atas sebagai berikut (Nursiam, 2010) :
1. Sosis segar, yaitu jenis sosis yang dibuat dari daging yang
tidak dimasak, tidak dikuring, umumnya daging babi segar dan
terkadang daging sapi. Sosis jenis ini harus disimpan pada
refrigator dan dimasak dahulu sebelum dihidangkan.
2. Sosis asap tidak dimasak, yaitu sosis yang mempunyai
karakteristik sama dengan sosis segar, namun sosis ini
diselesaikan dengan pengasapan untuk memberikan flavor dan
warna yang berbeda, serta harus dimasak dahulu sebelum
dikonsumsi.
10
3. Sosis masak, yaitu sosis yang dipersiapkan dari satu atau lebih
macam-macam daging skeltal atau daging unggas. Bahan-
bahan penyusunnya dari by product atau variety meats. Sosis
ini biasanya merupakan sosis dengan emulsi yang baik.
Frankfurters, Bologna dan liver sausage merupakan contoh
sosis ini.
4. Sosis kering dan semikering, merupakan sosis yang diproduksi
melalui proses fermentasi dengan persiapan paling rumit
diantara semua jenis sosis. Perhatian penuh sangat dibutuhkan
pada setiap tahap proses pembuataannya, dan harus dilakukan
selama beberapa bulan di bawah kondisi suhu dan kelembabab
yang terkontrol.
5. Daging spesial, merupakan produk yang dibuat dari daging
cacah yang biasanya dimasak atau cendrung dibakat daripada
diasap.
c. Pengolahan Kornet
Kornet merupakan salah satu jenis daging olahan yang berupa
daging giling kasar dengan bahan tambahan bahan pengisi dan bahan
pengikat serta bumbu-bumbu (Romans et al., 1994). Menurut Dewan
Standarisasi Nasional (1995), kornet umumnya dibuat dari daging sapi,
dalam pembuatan kornet daging yang digunakan merupakan potongan
daging segar atau beku (yang telah memenuhi persyratan dan peraturan
yang berlaku),
Bahan dasar pembuatan kornet daging sapi yang telah digiling.dan
selanjutnya bahan tambahan yang diperlukan yaitu garam dapur, nitrit,
alkali fosfat, bahan pengisi, air, lemak gula dan bumbu. Daging sapi yang
sudah digiling dimasukkan ke dalam mixer untuk mencampur daging,
bumbu, dan bahan lainnya menjadi adonan yang homogen. Agar emulsi
tetap terjaga stabilitasnya, pencampuran harus dilakukan pada suhu
rendah (10-16oC).
11
Emulsi daging yang telah terbentuk selanjutnya diisikan ke dalam
kaleng yang sebelumnya telah disterilkan dengan panas. Setelah ditutup,
kaleng beserta isinya disterilisasi dengan cara memasukkan kaleng ke
dalam retort dan dimasak pada suhu 120°C dan tekanan 0,55 kg/cm2,
selama 15 menit. Agar daging tidak mengalami pemanasan yang
berlebihan, kaleng yang telah disterilkan harus segera didinginkan di
dalam bak pendingin yang berisi air
selama 20-25 menit. Setelah permukaan kaleng dibersihkan dengan
lap hingga kering, produk siap untuk diberi label dan dikemas (Astawan,
2007).
12
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1.Uji Kualitas Daging
a. Waktu dan Tempat Praktikum
Waktu : Pukul 13.00-16.00 WIB
Tempat : Laboratorium Agroindustri, Gedung Baru FPTK Lt. 4,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
b. Alat dan Bahan
Alat
1. Kompor
2. Kawat kasa
3. Sentrifuse
4. Beaker glass
5. Thermometer bimetal
6. Incubator
7. Gelas ukur 10 ml
8. Tabung sentrifuse 50 ml
9. Timbangan
10. PH meter
Bahan
1. Daging sapi segar
2. Kertas mm
c. Prosedur Kerja
Nama Kegiatan Prosedur kerja
1. Uji Warna - Amati warna dan flavor
sampel daging
- Nyatakan secara relative
dengan memberi tanda (+)
untuk merah dan (-) untuk
warna keungunan dan flavor
- Amati terhadap daging yang
direbus selama 15 menit
13
2. Uji Keempukan - Tekan dengan jari pada
sampel daging, nyatakan
secara relative (+)
3. Pengukuran WHC dengan
Sentrifuse - Masukan 10 g daging cacah
halus kedalam tabung
sentrifuse 50 ml yang telah
diketahui beratnya.
- Masukan 10 ml akuades
kedalam tabung sentrifuse
- Tutup tabung setelah dikocok,
kemudian inkubasi semalam
pada suhu 0 C
- Sentrifuse tabung dengan
kecepatan 3000 rpm selama
20 menit
- Pisahkan cairan dari
campuran, ukur volumenya. (
% WHC = Volume air yang
terserap / berat daging )
-
4. Pengukuran PH - Ambil kertas PH yang sudah
disediakan,
- Kemudian tempelkan kertas
pH pada daging
- Catat hasilnya
5. Pengukuran Susut Masak - Siapkan sampel daging yang
akan di uji dengan berat 20 g
- Rebus air sampai mendidih
dalam beaker glass
- Rebus sampel daging sampai
14
suhu dalamnya 81 C, lalu
angkat dan dinginkan
- Timbang sampel sampai
beratnya konstan. Persentase
susut masak dihitung dengan
rumus sbb:
Susut Masak (%) = (berat
awal – berat Akhir) / berat
awal x 100%
3.2.Proses Pengolahan Daging
a. Waktu dan Tempat Praktikum
Waktu : Pukul 13.00-16.00 WIB
Tempat : Laboratorium Agroindustri, Gedung Baru FPTK Lt. 4,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
b. Alat dan Bahan
Alat
1. Pisau
2. Talenan
3. Kompor
4. Panci
5. Baskom
6. Chopper/ food processor
Bahan
1. Daging sapi segar
2. Tepung Tapioka
3. Garam
4. Merica bubuk
5. Sendawa
6. Bawang putih
7. Bawang merah
8. Selongsong sosis
9. Susu full cream
10. Pala bubuk
11. Nitrit
12. Tomat
13. STTP
15
c. Prosedur Kerja
Nama Kegiatan Prosedur Kerja
1. Pengolahan Baso - Timbang daging sapi, cuci
sampai bersih dan tiriskan
- Potong menjadi beberapa bagian
- Giling daging dengan
menggunakan food processor
tambahkan 15% air es.
- Campurkan bumbu yang sudah
dihaluskan (garam 4%, merica
2,5%, bawang putih 2%, bawang
merah 6%, STTP 5% tapioca
20%)
- Kemudian lakukan pencetakan
- Rebus dengan air mendidih
hingga mengapung dipermukaan
air (15’)
- Tiriskan dan hitung rendemennya
- Amati sifat sensori (warna,
tekstur, flavor , rasa)
- Buat diagram proses
pembuatannya
2. Pengolahan Sosis - Timbang daging sapi, cuci
sampai bersih
- Potong menjadi beberapa bagian
campurkan dengan sendawa
0.5%
- Giling daging dengan
16
menggunakan food processor
tambahkan 15% air es
- Campurkan bumbu yang sudah
dihaluskan (garam 4%, merica
1%, bawang putih 2%, bawang
merah 2%
- Campurkan juga dengan tapioca
25%, susu krim 10%, minyak
sawit 15%
- Lakukan shapping dengan cara
memasukan adonan sosis
kedalam stuffer, kemudian
kedalam seongsong, ikat per 6
cm
- Rebus dengan air 60 C selama 30
menit
- Tiriskan dan hitung rendemennya
- Amati sifat sensorinya
- Buat diagram prosesnya
3. Pengolahan kornet - Timbang daging sapid an cuci
sampai bersih
- Potong menjadi beberapa bagian,
tamabahkan garam 4% dan nitrit
0.5% (2% garam disuhu ruang
dan 2% garam disuhu dingin)
- Simpan selama 24 jam
- Amati
- Cuci daging hingga bersih,
kemudian tambahkan merica 2%
dan pala bubuk 2%
- Rebus dengan autoclave selama
17
30 menit dalam air 100 C
- Angkat dan tambahakan susu
bubuk 25%, tomat 4%, bawang
merah 6%, garam 2%.
- Rebus kembali hingga homogeny
- Tiriskan dan htung rendemennya
- Amati sifat sensorinya
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
a. Uji Kualitas Daging
Ulangan/
kelompok
Kelompok
1
Kelompok
2
Kelompok
3
Kelompok 4 Rata-rata
Warna Memucat
keunguan
Merah
gelap (++)
+,
yang
direbus
coklat ++
Merah +++ +++-
Flavor Sapi daging
matang +
+ Tidak
seragam
+
Tenderness Empuk + Lembut (+) Empuk + Empuk ++ Empuk +
WHC 0.583% 0.408 0.484% 0.4724% 0,48685%
pH 6 7 6 7 6,5
Susut
masak
Dari 20 g
menjadi
17.7 g
Dari 20.5 g
menjadi
19.7 g
(3.9%)
Dari 20 g
menjadi
19.08 g
Dari 20.01 g
menjadi 19.7
g (1.9%)
0,9 gram
b. Proses Pengolahan Daging
Perlakuan/
kelompok
Kelompok 1
20%
Kelompok 2
40%
Kelompok 3
60%
Kelompok 4
80%
Tapioka Persentase tapioca dihitung dari berat daging yang
digunakan
Warna Coklat Cokelat
pucat
Abu-abu Cokelat
Aroma Wangi
daging pekat
Asin daging Daging sapi Daging,
BTN
(bawang) ++
Rasa Baso Gurih asin Lebih terasa
bawang putih
Daging,
hambar
19
serta kurang
garam
Tekstur Empuk,
lembut
Jika dilihat
oleh mata
(kasar +++)
Jika
dirasakan
oleh mulut
(liat tapi
keras ++)
Ketika
dipegang
(empuk +)
Kenyal
sedikit alot
Empuk, liat
(otot lemak
dalam
daging)
Rendemen 178.7 g
(dari asal
daging sapi
200 g)
340 g
(dari asal
daging sapi
200 g)
313.3 g
(dari asal
daging sapi
170 g)
500 g
(dari asal
daging sapi
419 g)
4.2. Pembahasan
Daging merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki nilai
protein tinggi, baik untuk tubuh manusia maupun untuk pertumbuhan
organisme. Oleh karena itu, untuk mengetahui kesegaran daging tersebut
dilakukan uji sifat fisik terhadap daging segar. Sifat fisik yang diuji tersebut
meliputi pH daging, daya mengikat air, susut masak, dan keempukan
daging. Setelah melakukan pengujian terhadap sifat fisik daging segar, maka
didapatlah hasil yang menggambarkan kualitas daging tersebut diantaranya:
4.2.1 Uji Kualitas Daging
a. Pengamatan Subjektif Terhadap Warna
Berdasarkan hasil pengujian warna yang diperoleh
kelompok 1 yaitu warna merah keunguan, diantaranya yang
peroleh warna sama-sama merah yaitu kelompok 1,2,4
20
sedangkan berbeda dengan kelompok 3 yang peroleh warna
coklat.
Berdasarkan pengamatan perbandingan warna diantara
kelompok lain dikarenakan warna merupakan salah satu
indikator kualitas daging meskipun warna tidak
mempengaruhi nilai gizi. Warna daging dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain faktor pakan, species, bangsa,
umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot),
pH dan oksigen. Penentuan warna tergantung dari konsentrasi
mioglobin. Warna daging tergantung dari tipe molekul
mioglobin, kondisi kimia, fisik serta komponen lain dalam
daging. Pengaruh pigmen kromoprotein, hemoglobin,
sitokrom, flavin dan vitamin B12 relatif sangat kecil. Kualitas
warna tidak mempengaruhi nilai gizi daging, tetapi daging
yang berwarna kuning cenderung berkualitas rendah. Lemak
marbling tidak mempengaruhi mioglobin dan hemoglobin,
tetapi lemak daging segar kadang-kadang berwarna kuning
karena akumulasi pigmen karotenoid di dalam jaringan.
Berdasarkan hasil uji organoleptik daging sapi (mutu
hedonik) yang tertera pada tabel dapat diketahui bahwa
warna pada bagian daging sapi rat-rata merah memucat
keunguan. Aroma yang dihasilkan dari bagian daging sapi
berbau. Tekstur untuk setiap bagian daging yang diuji pun
agak kasar.
Hasil uji organoleptik (hedonik) yang tertera pada tabel
menunjukkan bahwa warna, bau, dan tekstur pada bagian
daging sapi yang diuji disukai oleh para panelis. Warna, bau,
dan tekstur pada bagian daging sapi pun disukai. Begitupun
dengan warna, bau, dan tekstur pada bagian daging sapi
sama-sama disukai oleh para panelis.
21
b. Pengukuran Subjektif Terhadap Keempukan
Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu
paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging
ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur
miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat
dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein
daging serta jus daging.
Nilai keempukan yang diperoleh dari praktikum ini
antara lain rata-rata kelompok 1-4 peroleh data sesuai
pengujian (+) empuk/lembut. Hasil ini diperoleh karena
faktor internal dalam daging, misalnya potongan-potongan
yang berbeda. Selain itu, ptoses pelayuan juga dapat
mempengaruhi keempukan daging tersebut. Pengaruh
pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-
Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan. Keempukan
bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies
yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada
otot yang sama.
Hasil kelompok 1, 2, 3, 4 yang menunjukkan bahwa nilai
keempukan daging adalah memperlihatkan bahwa daging
tersebut memiliki keempukan pada tingkat yang alot. Hasil
ini dapat diperoleh terjadi karena beberapa sebab, misalnya
pada saat pengujian di Warner-Blatzer memotong seratnya
dipinggir, atau pada waktu pemotongan masih panas seratnya
sehinggga seratnya masih mengembang dan menyebabkan
daging empuk. Daging yang alot hasil pengujian kelompok
1,2, 3, dan 4 dapat disebabkan karena kurangnya proses
pelayuan pada daging, karena keterbatasan waktu saat
distribusi ke pedagang.
22
c. Pengukuran WHC/Daya Mengikat Air dengan Metode
Sentrifus
Hasil praktikum pengujian WHC memperoleh data
diantaranya kelompok 1 adalah 0.583%, berbeda dengan
kelompok 2 yaitu 0,408%, kelompok 3 yaitu 0,484% dan
kelompok 4 peroleh 0,006%. Hasil ini memperoleh data yang
sama dengan kelompok 2 dan 3 sedangkan kelompok 1 dan 4
peroleh lebih besar 0,583% dan 006%.
Nilai daya mengikat air ini dipengaruhi oleh protein
daging ditentukan dengan metode pengepresan. Penurunan
nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada saat
penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan
serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami
translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku. Proses
pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein
daging, sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan
semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai daya ikat air.
Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairan yang keluar
pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi
cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai
daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah.
Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan
nilai susut masak.
d. Pengukuran pH daging
Hasil praktikum menunjukkan bahwa secara keseluruhan
dari kelompok 1 sampai 4 memiliki pH daging lebih dari
rata-rata pH 6-7. Hal ini menunjukkan hasil dari keempat
pengujian tersebut tidak berbeda nyata karena berasal dari
sumber yang sama, walaupun potongannya berbeda. Hasil
perhitungan pH dari keempat kelompok tersebut
23
menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh berada dalam
kisaran pH normal daging. Nilai pH daging segar.
Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging.
Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih
tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau
keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih
banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada
oleh status fisik serabut otot.
e. Pengukuran Susut Masak Daging
Hasil pengujian susut masak daging peroleh nilai susut
masak kelompok 1 hingga 17,7 gr berbeda dengan kelompok
dengan kelompok 3 yang lebih kecil 15,7 gr dan kelompok 2,
4 yang memperoleh rata-rata 19 gr. Data ini diperoleh
perbandingan faktor salah satu perlakuan waktu pemanasan
hingga berbeda perolehan nilai susut masak daging.
Susut masak merupakan salah satu indikator sifat fisik
daging yang dihitung dalam praktikum ini. Nilai susut masak
ini juga tergantung dari kadar air dari daging tersebut.
Apabila kualitas daging tersebut bagus, maka susut masak
daging tersebut relatif rendah. Sebaliknya, apabila kualitas
daging buruk misalkan daging glonggongan, maka susut
masaknya akan tinggi. Hal ini tentu akan merugikan bagi
konsumen.
Nilai susut masak yang diperoleh dari praktikum ini
adalah mengalami penurunan dari kelompok 1 sampai 4
mendapatkan hasil 15-19 gr. Nilai-nilai ini termasuk normal,
sehingga dapat dikaterogorikan bahwa nilai susut masak
daging ini tidak terlalu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
daging tersebut masih memiliki kualitas yang bagus. Bahwa
daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki
24
kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi
daging selama pemasakan juga rendah. Susut masak yang
rendah menunjukkan bahwa kadar airnya rendah. Dalam
pengujian ini susut masak daging yang berkurang disebabkan
adanya semakin tinggi daya mengikat air daging semakin
sedikit cairan yang keluar dari dagiing tersebut. Hal ini
mengakibatkan massa dari daging yang berkurang juga
sedikit. Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat
meningkatkan nilai susut masak
4.2.2 Pengolahan Daging sapi
a. Pengolahan Sosis Sapi
Berdasarkan hasil pengolahan daging yaitu pengolahan
sosis sapi diantaranya memperoleh data pengamatan dengan
perlakuan 2:1 dengan warna coklat muda, aroma daging sapi
dan tekstur kenyal, sedangkan diantara kelompok lain yang
berbeda perlakuan kelompok 2, 3 dan 4 memperoleh data
berbeda pula, namun warna sosis kelompok 1-4 peroleh warna
sama-sama cokelat pucat, rasa pun kelompok 1-4 meperoleh
sama-sama seragam dengan rasa asin menyerupai baso, tekstur
juga rata-rata kelompok 1-3 kenyal sedangkan berbeda dengan
kelompok 4 yang tekstur empuk karena dengan perlakuan yang
berbeda jauh antara 1 dan kelompok 4. Sedangkan aroma
kelompok 1, 3, dan 4 yang menyerupai daging sapi matang
berbeda dengan kelompok 2 peroleh aroma daging dan susu.
Hasil pengamatan ini dikarenakan sosis yang dihasilkan
memiliki tekstur yang kurang kenyal, karena saat memasukan
dalam selongsong masih terdapat beberapa udara dalam
selongsongnya. Dibandingkan dengan sosis dari kelompok
lain, sosis ini memiliki warna yang agak merah daging karena
pada adonan sosis tidak ditambahkan bahan-bahan yng
25
memiliki warna yang mencolok. Selain itu, sosis crispy juga
tidak lengket ketika proses membuka sosis dari chasingnya.
Penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi berfungsi
untuk menarik air, memberi warna khas, membentuk tekstur
yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan
penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat
irisan. Bahan pengikat air dibedakan berdasarkan kadar
proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang tinggi,
sedangkan bahan pengisi pada umunya mengandung
karbohidrat saja.
Penggunaan tepung tapioka dimaksudkan sebagai
penambah atau campuran, untuk mengurangi biaya
penggunaan susu skim sebagai bahan pengikat (filler), selain
itu tepung tapioka juga dapat sebagai bahan pengisi dan
perekat (binder) untuk mempertahankan ukuran sosis saat
perebusan, meski kadar airnya tinggi. Penggunaannya tidak
lebih dari 30% dari daging yang digunakan, karena jika
berlebih, sosis akan terasa seperti tepung.
b. Pengolahan Baso Sapi
Hasil pengujian baso berdasarkan data pengamatan yang
diperoleh kelompok 1 warna cokelat, sedangkan kelompok 2
dan 4 sama-sama cokelat, berbeda dengan kelompok 3 yang
peroleh warna abu-abu. Aroma baso sapi kelompok
menghasilkan aroma daging sapi matang dan rata-rata sama
kelompok 2-4 menghasilkan aroma daging sapi matang.
Tekstur kelompok 1 yang empuk sedangkan kelompok 2-4
sama-sama empuk. berbeda dengan rasa yang berbeda-beda
diantara kelompok-kelompok lain, diantaranya kelompok 1
dengan rasa baso yang kental, kelompok 2 yang gurih asin,
kelompok 3 rasa bawang dan kelompok 4 rasa daging hambar.
26
Hasil pengamatan kualitas bakso sangat ditentukan
perlakuan oleh kualitas bahan mentahnya terutama jenis dan
mutu daging, banyaknya macam tepung yang digunakan serta
perbandingannya di dalam adonan. Kualitas bakso ditentukan
oleh banyak sedikitnya campuran tepung tapioka yang
ditambahkan, semakin banyak tepung tepioka yang digunakan
akan membuat kualitas bakso semakin rendah. Pemakaian
tepung dalam pembuatan bakso berfungsi sebagai bahan
pengental dan pengikat adonan, sehingga akan terbentuk
tekstur bakso yang baik. Untuk membuat bakso yang lezat dan
bermutu tinggi jumlah tepung yang dicampurkan sebaiknya
tidak lebih dari 15 % berat dagingnya.
Komposisi kimia bakso ditentukan oleh komposisi kimia
bahan penyusunnya. Bahan penyusun bakso sendiri antara lain
daging sapi, tepung, garam, putih telur, dan bumbu-bumbu
penyedap lainnya. Faktor lain daging yang digunakan untuk
pembuatan bakso haruslah daging yang baik, yang mempunyai
konsistensi padat (gempal), tidak mengandung lemak dan
jaringan ikat seperti daging bagian paha, dada dan punggung.
Hasil emulsi yang baik dapat diperoleh dengan cara
mencacah atau melumatkan daging pre-rigor bersama-sama
dengan es, garam dan bahan curing. Campuran kemudian
disimpan beberapa jam untuk memberi kesempatan ekstraksi
protein yang lebih efisien. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh
temperature selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak,
pH, jumlah dan tipe protein yang larut, serta viskositas emulsi.
Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan
dengan terjadinya denaturasi protein terlarut, penurunan
viskositas emulsi dan melelehnya partikel lemak (Soeparno,
2005).
27
c. Pengolahan Kornet
Praktikum ini adalah mengenai pembuatan kornet, dimana
daging segar sebelum dibuat kornet harus dicuring dulu sehari
sebelumnya. Tujuan dari curing adalah untuk memberikan
warna merah cerah pada produk kornet yang dihasilkan.
Bahan-bahan curing memiliki fungsi masing-masing. Garam
dapur berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air dari protein
dan pembentukan emulsi serta sebagai bahan pengawet karena
dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit atau sendawa
yang ditambahkan memiliki fungsi untuk menstabilkan warna
dan menghambat pertumbuhan bakteri. Gula diberikan untuk
memodifikasi rasa dan dapat sebagai pengawet.
Berdasarkan pengolahan kornet kelompok 1 pada suhu
ruang menghasilkan warna pucat, sedangkan kelompok 2,3 dan
4 sama-sama menghasilkan warna coklat pucat. Warna
dihasilkan dari proses curing yang dilakukan ada yang berhasil
dan ada yang tidak. Curing yang berhasil ditandai dengan
warna daging gelap setelah disimpan pada suhu ruang selama
24 jam,sedangkan curing yang kurang berhasil adalah masih
ada warna merah pada daging.
Adapun aroma yang dihasilkan oleh kelompok 1 ialah
aroma menyengat pala, yang hampir seluruh kelompok 2, 3
dan 4 pun menyerupai sama-sama aroma pala. Timbulnya
aroma pala yang menyengat dengan faktor perlakuan
banyaknya presentase pala. Aroma yang ditimbulkan oleh biji
pala pun tidak kalah khasnya dengan bawang merah. Rasa dan
aroma produk daging berasal dari sejumlah bahan yang ada
dalam lemak dan bersifat menguap ketika dipanaskan. Bau dan
citarasa yang khas pada bawang merah disebabkan oleh adanya
senyawa yang mudah menguap dari jenis sulfur seperti propil
sulfur.
28
Tekstur yang lembut dan empuk dihasilkan oleh seluruh
kelompok 1,2,3 dan 4 disebabkan lamanya proses pemasakan
dan perebusan menghasilkan kornet yang empuk.
Pada pengolahan kornet kelompok 1 pada suhu freezer pun
tidak jauh berbeda dengan suhu ruang, namun hampir
keseluruhan dominan yang terlihat perbedaan dari segi aroma
dan rasa yang dominan ialah pala.
Berdasarkan hasil pengujian, secara umum rasa, aroma,
tekstur, dan warna dari kornet. Rasa, aroma, tekstur, dan warna
ini tentunya merupakan pengaruh dari proses pengolahan, baik
proses curing maupun pada saat pengolahan daging. Rasa dan
aroma yang disukai oleh panelis merupakan dampak dari
penambahan bumbu-bumbu, seperi gula, garam, pala, merica,
susu, bawang merah, tomat, dan penyedap rasa. Hal inilah
yang membuat rasa dan aroma kornet menjadi khas dan
disukai oleh panelis. Sehingga bahwa warna merupakan
parameter kuat yang mempengaruhi gairahnya panelis
menyantap kornet.
29
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa susut masak
dipengaruhi oleh daya ikat air. Selain itu susut masak daging berbanding
lurus dengan pH dari daging tesebut maka pengujian sifat fisik terhadap
kualitas daging dapat dilakukan pada pH daging, daya mengkat air,
keempukan daging dan susut masak daging. Keempat indikator ini saling
berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Tingkat kecerahan wana pada daging bakso, sosis, dan kornet
ditentukan oleh bagian jenis daging, penambahan nitrit ataupun nitrat,
penambahan bumbu, penambahan BTM, pemasakan dan temperatur.
1. Tekstur pada daging bakso, sosis, dan kornet dipengaruhi oleh
kandungan kadar air, kandungan lemak, jenis dan jumlah karbohidrat
serta protein.
2. Aroma daging bakso, sosis, dan kornet dipengaruhi oleh banyak atau
sedikitnya bumbu yang diberikan.
3. Tingkat rasa pada bakso, sosis, dan kornet dipengaruhi oleh
banyaknya penambahan bumbu dan BTM yang diberikan pada
adonan.
4. Tingkat keempukan daging bakso dan sosis dipengaruhi oleh waktu
dan suhu pemasakan.
5. Tingkat keempukan dan kekenyalan daging kornet dipengaruhi oleh
tingkat proses curing yang stabil
6. Tingkat kekenyalan sosis dan bakso dipengaruhi oleh lama pemasakan
daging.
5.2. Saran
Waktu pelaksaan praktikum dilakukan lebih awal dikarenakan waktu
yang terbatas menjelang sore dan dilakukan manajemen waktu yang baik
dikarenakan bermacam proses pengolahan yang memakan waktu lama
DAFTAR PUSTAKA
Intannursiam. 2010. Pengujian-Kualitas-Daging. [Tersedia]. http: //
Intannursiam.wordpress.com/2010/09/22/Pengujian-Kualitas-
Daging. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2013
Suharyanto, 2007. Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak. [Tersedia].
http://suharyanto.wordpress.com. Diakses pada tanggal 14 Oktober
2013
Rahmat. 2011. Daging Segar. [Tersedia]. http://pengolahanpangan.
blogspot.com/2011/07 /mengetahui- kualitas-daging-segar-dari.
html. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2013
Rais, H. 2011. Makanan Olahan Daging. [Tersedia]. http:// harfinad24090112.
wordpress.com/. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2013
Rohman, M. 2010. Bakso. [Tersedia]. http://seputarpanganindustri. blogspot.com/
2010/05/ bakso-oleh-muhammad- rohman-sekitar.html. Diakses
pada tanggal 15 Oktober 2013
Fiqhi, F. 2009. Sosis. [Tersedia]. http://fastasqi.wordpress.com/sosis/. Diakses
pada tanggal 15 Oktober 2013
Puspita, A. Kornet. [Tersedia].
http://anjanipuspita.wordpress.com/2012/03/17/kornet/. Diakses
pada tanggal 15 Oktober 2013
LAMPIRAN 1 PRODUK OLAHAN DAGING
1. Bakso Daging Sapi
2. Sosis Daging Sapi
3. Kornet Daging Sapi
A B
Perlakuan Curing
A : Suhu 0 0C
B : Suhu Ruang