Tinea Pedis

23
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN Referat UNIVERSITAS HASANUDDIN Mei 2006 TINEA PEDIS Oleh : ELFIRA RASYID / C 111 01 180 RAMDLANI YULIARTI A. / C 111 01 091 AHMAD SUHUDI / C 111 01 066 Pembimbing dr. SRI RIMAYANI Supervisor dr. NURELLY N.W., Sp.KK 0

description

kulit

Transcript of Tinea Pedis

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

ReferatUNIVERSITAS HASANUDDIN

Mei 2006

TINEA PEDIS

Oleh :

ELFIRA RASYID / C 111 01 180

RAMDLANI YULIARTI A. / C 111 01 091

AHMAD SUHUDI / C 111 01 066

Pembimbingdr. SRI RIMAYANI

Supervisor

dr. NURELLY N.W., Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2006

TINEA PEDIS

I.PENDAHULUANTinea pedis yang biasa disebut ringworm atau athletes foot merupakan mikosis superfisialis tipe dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki yang ditandai oleh rasa gatal dengan lesi yang berbatas tegas, terdiri atas bermacam-macam effloresensi kulit yaitu adanya eritema, skuama, maserasi, dan pembentukan bula. Bagian tepi lesi lebih aktif daripada bagian tengahnya. 1, 2 Tinea pedis sering menyebabkan kerusakan integritas epidermis sehingga bakteri seperti Staphylococcus aureus ataupun Streptococcus grup A dapat berinvasi dan menyebabkan infeksi lokal ataupun infeksi sistemik seperti selulitis dan limfangitis. 2 Tinea pedis pertama kali diperkenalkan oleh Pellizari* pada tahun 1888. Raymond Sabouroud** membagi dermotafita menjadi 4 genus yaitu: Archorion, Epidermophyton, Mycrosporum, dan Tricophyton. Pada tahun 1934, Chester Emmons*** memodifikasi taksonomi yang dikeluarkan oleh Sabourod** berdasarkan morfologi dan bagian dari dermatofita tersebut. Berdasarkan klasifikasinya, Emmons*** menghilangkan genus Archorionn, dan hanya memperkenalkan tiga genus.3 Tinea pedis terutama mengenai usia 20 50 tahun, jarang mengenai anak-anak prapubertas. Predileksinya sama pada semua ras. Penyakit ini lebih banyak menyerang pria dibanding wanita. 2,4 Berdasarkan gambaran klinisnya, tinea pedis dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe interdigitalis, tipe hiperkeratotik kronik atau tipe moccasin, tipe inflamasi atau tipe vesikuler atau tipe vesikobulosa, dan tipe ulseratif.2,4,5

II. EPIDEMIOLOGI

Tinea pedis merupakan salah satu infeksi jamur superfisialis yang paling banyak. Mengenai kurang lebih 10 % dari populasi dunia untuk setiap tahunnya. Terutama mengenai usia 20-50 tahun. Jarang mengenai anak-anak prepubertas. Predileksi sama pada semua ras. Infeksi ini lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan perempuan. Prevalensi tinea pedis meningkat sesuai pertambahan usia.2,4,6 III. ETIOLOGI Tinea pedis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yaitu Tricophyton, Microsporum dan Epidermophyton. Penyebab tersering adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, dan E. floccosum. 4,5,6 Penyebab pada tiap tipe tinea pedis yaitu: 2,4,7-Tipe interdigitalis lebih sering disebabkan oleh Tricophyton rubrum. Bisa juga disebabkan Tricophyton mentagrophytes varian interdigitalis dan Epidermophyton floccosum.-Tipe hiperkeratotik kronik atau tipe moccasin biasanya disebabkan oleh T. rubrum. Biasa juga disebabkan oleh T. mentagrophytes varian interdigitalis, E. floccosum dan nondermatopfita seperti Scytalidium hyalinum dan Scytalidium dimidiatum.-Tipe inflamasi atau tipe vesikular dan tipe ulseratif sering disebabkan oleh jamur zoofilik yaitu T. mentagrophytes. Adapun beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan seseorang untuk terinfeksi yaitu : 8 Memakai sepatu tertutup, terutama yang terbuat dari bahan plastik.

Kaki basah dalam waktu yang lama

Keringat yang banyak

Adanya cedera kecil pada kulit dan kuku.

Seseorang dapat terinfeksi tinea pedis melalui kontak langsung maupun tidak langsung seperti sepatu, kaos kaki, dan tempat mandi. 8IV. PATOFISIOLOGIPatofisiologi dari tinea pedis belum diketahui secara pasti. Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis, dimana golongan ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Jamur dermatofita menginvasi keratin superfisial pada kulit dan infeksi terbatas pada lapisan ini. Enzim dan beberapa substansi lainnya yang diproduksi oleh dermatofita termasuk leukosit kemotaksis transepidermal, mampu menembus kulit dan menyebabkan respon jaringan terhadap infeksi. Faktor serum seperti beta globulin dan ferritin mungkin memegang peranan penting dalam terbatasnya infeksi. 1,9Namun, enzim keratinisasi yang dihasilkan oleh dermatofita yang mengandung mannan, dapat menghambat kerja sistem imun seluler dan proliferasi keratinosit, sehingga jamur memiliki kemampuan untuk melawan pertahanan alamiah kulit. 4V. GAMBARAN KLINIK

Terdapat empat tipe tinea pedis:

1. Tipe interdigitalis. Tipe ini merupakan tipe tinea pedis yang paling sering ditemukan. Terdapat dua bentuk, yaitu bentuk kering dan bentuk lembab dengan maserasi. Pada bentuk kering terdapat skuama dan erosi,kulit pada daerah interdigitalis kering. Tipe ini bisa asimptomatik atau dapat pula gatal. Pada bentuk yang basah terdapat maserasi, pengelupasan, fisura pada sela-sela jari kaki, terutama antara jari kaki III dengan IV dan IV dengan V. Infeksi dapat menyebar ke area sekitarnya.1,2,4,10,11 Gambar 1. Gambar pasien dengan tinea pedis tipe interdigitalis Dikutip dari kepustakaan 122. Moccasin foot atau tipe hiperkeratotik. Tipe ini dapat mengenai seluruh kaki, dari telapak, sampai tepi punggung kaki. Bisa asimptomatik tetapi dapat pula terasa gatal. Effloresensi yang terlihat berupa eritem dengan papul di bagian tepi, skuama putih halus dan hiperkeratosis. Memberikan gambaran seperti sepatu balet. Biasanya bersifat bilateral, tetapi dapat juga unilateral. 1,2,4,11 Gambar 2. Tinea pedis tipe moccasin. Dikutip dari kepustakaan 133. Tipe vesikuler. Pada tipe ini terlihat vesikel, vesikopustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada sela jari kaki, kemudian meluas ke punggung kaki dan telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yasng berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi pada bentuk ini, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas.2,4,11 Gambar 3. Tinea pedis tipe vesikuler. Dikutip dari kepustakaan 134. Tipe ulseratif. Ditandai oleh adanya lesi vesikopustular, ulkus purulen dan erosi, terutama pada sela jari kaki, yang bisa menyebar luas sampai seluruh permukaan kaki. Biasanya berhubungan dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Tipe ini biasanya terdapat pada pasien yang menggunakan immunosupresan dan penderita diabetes mellitus. 2,4, 6,11 Pada pasien tinea pedis dapat terjadi reaksi id atau reaksi dermatofitid yang merupakan reaksi imunologis sekunder. Biasanya reaksi ini menyebabkan erupsi vesikel atau pustul didekat daerah kaki yang terinfeksi, atau pada telapak dan jari tangan. Lesi sekunder ini tidak berespon baik dengan penanganan topikal, tetapi akan menghilang jika infeksi primernya berhasil ditangani dengan pengobatan topikal ataupun sistemik. 1,2,10,14 Gambar 4. Tinea pedis dengan reaksi id pada kaki kiri. Dikutip dari kepustakaan 15VI. DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinik serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan adanya pruritus, nyeri bila sudah ada infeksi bakteri sekunder. 2,10 Pemeriksaan penunjang berupa :

1. Lampu Wood

Lampu Wood dapat digunakan untuk identifikasi infeksi dermatofita. Infeksi jaringan yang luas oleh Microsporum memperlihatkan fluoresensi berwarna hijau kekuningan. Sementara itu jenis dermatofita yang lain ada juga yang tidak menampakkan fluoresensi.16

2.Pemeriksaan mikroskopik langsung dengan sediaan KOH

Dilakukan untuk melihat elemen jamur. Biasanya elemen jamur mudah diidentifikasi dari kerokan bagian tepi dari lesi bersisik. Bahan yang diperiksa harus menggunakan clearing agent seperti KOH 10 20 %. Blue black ink mungkin diperlukan sebagai bahan kontras antara elemen jamur dengan sel jaringan yang tidak ikut larut. Beberapa ahli menambahkan Dimethyl Sulfokside (DMSO) ke dalam cairan untuk meningkatkan penetrasi pewarna ke dalam jaringan. DMSO sebaiknya tidak digunakan pada rambut dan sisik yang tipis karena specimen bisa larut. Kadang pada pemeriksaan ini didapatkan hasil negatif palsu, khususnya terjadi jika pengobatan telah dilakukan. 10,16 3.Kultur

Kultur dermatofita memerlukan media yang mengandung antibiotik karena spesimen bagian kulit selalu terkontaminasi dengan bakteri flora normal dari kulit, rambut, dan kuku bersama jamur yang diperlihatkan sebagai agen penyebab. Kultur jamur digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengidentifikasi spesies pathogen. Biasanya menggunakan agar dekstrosa sabourod modifikasi Emmon untuk isolasi jamur.16 4. Histopatologik

Biopsi kulit dan studi histopatologik jarang digunakan untuk konfirmasi diagnostik tinea pedis. Elemen jamur dalam stratum korneum biasanya dapat diidentifikasi dengan pewarnaan PAS (periodic Acid-Schiff) atau pewarna Gomori methenamine-silver. Netrofil ditemukan dalam stratum korneum, suatu temuan yang seharusnya ada pada suatu infeksi dermatofita. Pada tinea pedis tipe vesikuler, ditemukan vesikel intradermal yang spongiosis. Pada tipe hiperkeratotik kronik atau tipe moccasin biasanya terdapat hiperkeratosis dan akantosis epidermal. Kedua tipe tersebut dihubungkan dengan suatu dermatitis akut atau kronik yang mengandung eosinofil. 4 VII. DIAGNOSA BANDING

Jika pemeriksaan KOH dan kultur jamur negatif, penyakit yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1.Psoriasis

Tipe hiperkeratotik berbeda dengan psoriasis. Psoriasis merupakan penyakit autoimmun, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis disertai fenomena tetes lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksinya yaitu kulit kepala, ekstremitas bagian ekstensor, dan daerah lombosakral. 1 2. Kandidiasis

Kandidiasis juga merupakan infeksi oleh jamur tetapi oleh Candida sp. Lesinya dikelilingi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang apabila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir kasar. 1 3.Erythrasma

Erythrasma berfluoresesnsi coral red pada pemeriksaan lampu Wood. 1,5 4. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak lebih sering terdapat pada bagian dorsal kaki. 5 5. Pytiariasis rubra pilaris

Infeksi ini dapat dibedakan berdasarkan anamnesis yaitu tempat predileksi yaitu eritema dan skuama pada muka dan kulit kepala umumnya terlihat lebih dahulu. 1 VIII. TERAPI

Nonfarmakologik

Difokuskan pada edukasi pada pasien mengenai faktor predisposisi. 16 - Menjaga agar kaki tetap bersih dan kering terutama sela-sela jari kaki.8 - Mencuci kaki secara teratur dengan sabun dan air lalu mengeringkannya dengan hati-hati paling sedikit 2 kali sehari.8 -Menggunakan kaos kaki dan sepatu yang bersih dan kering.8 Farmakologik

Terapi sistemik

1. Terbinafin (Lamisil, Daskil)

Menghambat epoxidase squalene, yang menekan sintesis ergosterol sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Dosisnya 250 mg/hari selama 1-2 minggu. Pada anak-anak diberikan berdasarkan berat badan. 12-20 kg digunakan 62,5 mg/hari, 20-40 kg digunakan 125 mg/hari, dan > 40 kg digunakan 250 mg/hari. Pada wanita hamil biasanya aman, tapi harus dipertimbangkan antara keuntungan dan resiko pemberian. 4,5 2. Itrakonazol (Sporanox)

Mempunyai sifat fungistatik. Mensintesis materi anti jamur triazole yang memperlambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P450 yang mensintesis ergosterol, suatu komponen penting pada membran sel jamur. Dosis 200 mg 2x1 selama 1 minggu. Bisa juga 200 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama 4 minggu. Untuk anak-anak 5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Keamanan untuk ibu hamil belum dibuktikan. 4,5 3. Fluconazol (Diflucan)

Merupakan jamur oral sintetik (distriazole spektrum luas) yang secara selektif menghambat sitokrom P450 jamur dan sterol C14 alfa-demetilasi. Dosis 150-300 mg/minggu selama 3-4 minggu atau 50 mg/hari selama 30 hari. Untuk anak-anak 3-6 mg/kgBB/minggu selama 14-28 hari. Keamanan untuk ibu hamil belum diuji.4,5 -Topikal

1. Allilamin topikal

a. Naftifin krim 1 % dan gel ( Naftin)

Anti jamur spektrum luas dan mensintesis derifat allilamin yang dapat menekan sintesis jamur. Krim dioleskan 4 kali sehari sedangkan gel dioleskan 2 kali sehari. Biasanya ama untuk ibu hamil.4,5 b. Terbinafin (Lamisil)

Sebaiknya digunakan 2 kali sehari selama lebih dari 1 minggu tetapi tidak lebih dari 4 minggu.4,5 2. Imidazol topikala. Klotrimazole krim 1 % (Mycelex, Lotrimin)

Anti jamur spektrum luas yang menghambat pertumbuhan jamur dengan meningkatkan permeabilitas membran sel. Dioleskan pada daerah lesi dan sekelilingnya 2 kali sehari selama 2-6 minggu. Biasanya aman pada ibu hamil.4,5b. Ekonazol krim 1 % (Spectazole topikal )

Efektif pada infeksi kutaneus. Dapat mempengaruhi sintesis dan metabolisme RNA dan protein. Merusak permeabilitas membran sel. Dioleskan tipis di area lesi 2-4 kali sehari selama 4 minggu. 4,5 c. Mikonazol (Monistat)

Merusak membran sel jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol. Permeabilitas membran meningkat menyebabkan nutrisinya keluar dan jamur mati. Salep miconazole 2 % digunakan pada area intertriginosa dioleskan tipis untuk menghindari efek maserasi. Cream dan salep dioleskan menutupi area lesi 2 kali sehari selama 2-6 minggu, sedangkan bentuk bedak digunakan pada area lesi 2 kali sehari selama 2-4 minggu. 4,5 d. Oksikonazol krim 1 % (Oxistat)

Cara kerjanya sama dengan mikonazole. Digunakan pada area lesi 4 kali sehari selama 2 minggu.4,5 3. Puridon topikalSiklopirox krim 1 % (Loprox)

Mempengaruhi sintesis DNA, RNA dan protein dengan menghambat transport elemen esensial dalam sel jamur. Digunakan 2 kali sehari pada area lesi. Evaluasi kembali diagnosis jika tidak ada perbaikan selama 4 minggu. 4,5 Penangangan tinea pedis berdasarkan tipenya, yaitu :

Tipe interdigitalis, terutama pada bentuk madidans bisa diberikan aluminum klorida hexahidrat 20% atau aluminum asetat untuk mengurangi pengeluaran keringat, serta bisa diberikan ketokonazol 1-2%, selama 2 4 minggu.2,4 Tipe hiperkeratotik atau moccasin foot, merupakan tipe yang paling sulit ditangani. Dalam hal ini bisa dipergunakan zat keratolitik seperti asam salisisilat, asam laktat, asam hidroksi.2 Tipe inflamasi bullosa, yang akut diberikan kompres dingin. Bila memberat bisa diindikasikan pemberian kortikosteroid sistemik.2 IX. PROGNOSIS

Tipe infeksi tinea pedis dan kondisi tertentu (penggunaan immunosupressan, diabetes mellitus) mempengaruhi prognosis penyakit, tetapi bagaimanapun dengan penanganan yang baik, penyakit ini prognosisnya baik.4 X. KESIMPULANTinea pedis merupakan infeksi jamur superficial tipe dermatofitosis yang terdapat pada kaki, terutama telapak kaki dan sela jari kaki. Tinea ini disebabkan oleh jamur golongsan dermatofita yaitu Tricophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Tinea pedis lebih sering menyerang usia 2050 tahun, jarang menyerang anak-anak prapubertas. Berdasarkan gambaran klinisnya, dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe interdigitalis, tipe hiperkeratotik atau moccasin foot, tipe ulseratif serta tipe vesikuler.Penanganan dari tinea pedis bisa berupa penangan nonfarmakologik, dimana difokuskan pada edukasi pasien mengenai faktor predisposisi penyakitnya, serta terapi farmakologik berupa terapi topikal maupun terapi sistemik, tergantung dari kondisi pasien dan perjalanan penyakitnya. Prognosis dari tinea pedis dipengaruhi oleh tipe infeksi dari tinea pedis serta kondisi tertentu dari penderita seperti imunitas serta penyakit sistemik yang dideritanya.DAFTAR PUSTAKA

1.Budimulja Unandar. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: FKUI; 1999. p. 90-1,105,173-4,263,317.

2.Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Color atlas and synopsis of clinical dermatology: common and serious diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2001. p. 688-9.

3.Tyring SK, Lupi O, Hengge UR. Tropical dermatology. China: Elseiver; 2006. p. 193.

4.Robbins CM. Tinea pedis [online] 2005 May 26 [cited 2006 May 16]; [12 screens]. Available from:URL:http://www.emedicine.com/DERM/topic470.htm5.Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus involvement. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 1999-2001.

6.Hay RJ, Moore M. Mycology. In: Champion RH, Burton Jl, Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/wilkinson/ebling textbook of dermatology, 6th ed. Blackwel Science; 1998. p. 1308-9. 7.Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP. Dermatology. London (English): Mosby; 2003. p. 1182.

8.Departement of Dermatology University of Pensylvania Medical Center. Athletes foot [online]. 2005 April 30 [cited 2006 May 16]; [3 screens]. Available from:URL: http://www.umm.edu/ency/article/000875.htm9. Morris B. Tinea pedis [online]. 2004 March 29 [cited 2006 May 16]; [4 screens]. Available from:URL:http://www.podiatry.curtin.edu.au/ancyclopedia/tinea/tinea.html.10.Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing allergist : tine pedis and its complication [online]. 2004 March 29 [cited 2006 May 16]; [11 screens]. Available from:URL:http//www.clinical molecularallergy.com/content/pdf/1476-7961-2-5.pdf.11.Tinea corporis, tine cruris, and tinea pedis. [online] 2006 March 1 [cited 2006 may 16]; [9 screens]. Available from:URL:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000875.htm12.American academy of Pediatrics. Tinea Pedis [online]. 2005 June 27 [cited 2006 May 16]; [2 screens]. Available from:URL:http://aapredbook.aappublications.org/weeb_135-04.jpg13.The University of Adelaide. Dermatophytosis [online]. 2005 February 11 [cited 2006 May 16]; [12 screens]. Available from:URL:http//www.mycology.adelaide.edu.au/mycoses/cutaneus/dermatoiphytosis.14.Salvo AD. Micology [online]. 2005 [cited 2006 May 16]; [30 screens]. Available from:URL: http://pathmicro.med.sc.edu/2005-mycpdf/mycology2005.pdf15.Departement of Dermatology University of Iowa College of Medicine. Tinea pedis - with id reaction left foot [online]. 2002 May [cited 2006 May 16]; [1 screen]. Available from:URL:http://tray.dermatology.uiowa.edu/DIB/TinPed-Id-004.htm16.Rischer F, Cook MB. Fundamentals of diagnostic mycology. USA; W.B. Saunders company; 1998. p. 121, 123.1. Moschella JL, Hurley HJ. Dermatology, 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders company; 1985. p. 356. (Tinea pedis; vol 1)

2. Harahap M, editor. Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates; 2000. p. 79.

* dikutip dari kepustakaan 3

** ibid

*** ibid

11