The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
-
Upload
novianti-lufilah -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
1/13
1
MANAGEMENT OF PEKARANGAN KAMPOONG
FOR SUPPORTING COMMUNITY FOOD SECURITY
IN WEST JAVA PROVINCE
Vivandra Prima Budiman1, Hadi Susilo Arifin2, Nurhayati HS Arifin2, Made Astawan3
1 Mahasiswa Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
e-mail: [email protected]
2Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap IPB
3 Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
Abstract
Pekarangan products has potential resource for supporting food security in household
scale. However some constraints such as small size of pekarangan and microclimate Ade
impacted to limited number of commodity and product. Numbers of pekarangan in one
area of kampoong or community unit was called pekarangan kampoong. Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) program as a driver of pekarangan
management through Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) campaign involving
women farmers group (KWT). This paper will explain about: 1) characteristics of
pekarangan kampoong, 2) economic value of products pekarangan kampoong, and 3)
management of pekarangan kampoong in rural areas. The study was conducted in West
Java Province where sample taken in Bandung Regency, Bogor Regency, and Cirebon
Regency since September 2013 until June 2014. The size category of pekarangan are
dominated by medium (50%) in Bandung, but pekarangan in Bogor and Cirebon are
dominated by narrow size (67% and 60%). The average of annual economic value from
harvesting product of pekarangan is Rp 11 105 per m2 in Bandung, Rp 15 809 per m2in
Bogor, and Rp 10 105 per m2in Cirebon. Product sales activity on the pekarangan samples
of Bandung, Bogor, and Cirebon can contribute 68%, 77%, and 70% from the economic
value Product in each neighbourhood pekarangan. Crops and livestock has contributed
greatly to the economic value of Pekarangan. Management of pekarangan kampoong that
needs attention is the ability of women farmers group, evaluation of yields, seed supply,
and marketing of their products. Majority of members of pekarangan kampoong initiallynot understand about the agriculture. Production process of the pekarangan kampoong is
indirectly supported by nursery. Product of the pekarangan still sold individually by the
owner, but there is a desire to sell collectively as a solution of marketing problems.
Keywords: economic value, marketing, women farmers group
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
2/13
2
Pendahuluan
Perubahan tata guna lahan dari kawasan pertanian menjadi area urbanyang terjadi
di Jawa Barat dalam satu dekade terakhir nampak begitu masif. Kondisi ini sebagai akibat
dari kepadatan penduduk di Jawa Barat yang mana tertinggi kedua di Indonesia setelah
DKI Jakarta, serta didorong oleh laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 2010
sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Peningkatan penduduk akan memerlukan tambahan
tempat tinggal dan secara simultan mengurangi luas areal sawah, ladang, serta kebun yang
merupakan sumber pangan utama untuk penduduk Jawa Barat. Maka tantangan bagi
sektor pertanian sekarang adalah memanfaatkan seoptimal mungkin setiap lahan
pertanian yang ada untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan masyarakat.
Pekarangan sebagai salah satu lahan pertanian, ternyata jumlah luasnya bertambah
seiring penambahan pembangunan perumahan. Hal ini karena hampir di setiap rumah
memiliki pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI tahun 2010, luas
agregat pekarangan mencapai 10.3 juta hektar (Arifin 2013) yang berpotensi sebagai
alternatif sumber bahan pangan. Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP),
merespon dan memfasilitasi terbentuknya manajemen pekarangan dalam suatu kawasan
dengan gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) sejak tahun
2010 (BKP 2012). Program tersebut melalui kampanye Kawasan Rumah Pangan Lestari
(KRPL) melibatkan kelompok wanita tani (KWT) sebagai pengelolanya. Beberapa
pekarangan dalam satu wilayah kampung atau komunitas masyarakat disebut pekarangan
kampung (Arifin 2013).
Penduduk Jawa Barat yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 4.38 juta
jiwa yang sebagian besar tersebar di perdesaan (BPS 2014). Produk hasil pengelolaan
pekarangan memiliki nilai tambah yaitu bisa dikonsumsi oleh rumah tangga atau dijual,
namun tetap mempertahankan manfaat sosial dan ekologisnya (Kehlenbeck et al.2007).
Penggunaan pekarangan untuk tanaman dan/atau hewan ternak akan menghasilkan
produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia (Arifin et al. 2009). Nilai
ekonomi dari produk pekarangan diharapkan bisa menunjang ketahanan pangan rumah
tangga, dengan asumsi uang yang diperoleh dari produk pekarangan digunakan untuk
membeli kebutuhan pangan. Tulisan ini memaparkan tentang: 1) karakteristik pekarangan
penerima program P2KP, 2) manajemen pekarangan kawasan penerima bantuan program
P2KP, dan 3) nilai ekonomi produk pekarangan kawasan.
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
3/13
3
Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon (Gambar 1). Setiap kabupaten tersebut memiliki tiga
sampel desa. Pelaksanaan penelitian ini sejak bulan September 2013 hingga Juni 2014.
Gambar 1 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C)
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Metode Penelitian dan Pengolahan Data
Penentuan sampel menggunakan metodepurposive sampling di mana sampel desa
telah direkomendasikan oleh Badan Ketahanan Pangan tingkat kabupaten. Sampel per
desa berjumlah 10 pekarangan milik anggota KWT, sehingga totalnya ada 90 pekarangan
sampel dalam 9 pekarangan kawasan penerima program P2KP. Metode penelitian yang
digunakan yaitu survei dan wawancara. Survei dilakukan terhadap pekarangan dan harga
komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT.
Analisis karakteristik pekarangan yaitu 1) kondisi wilayah (ketinggian, suhu, dan
curah hujan); 2) klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120400 m2), besar (400
1000 m2), dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas horizontal / fungsi
tanaman (hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya) (Arifin 1998).
Analisis manajemen pekarangan kawasan meliputi: 1) demografi anggota KWT sampel
A
B C
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
4/13
4
(umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan); 2) penyediaan bibit tanaman dan hewan; dan
3) pemasaran produknya. Evaluasi nilai ekonomi produk pekarangan kawasan meliputi:
1) alokasi produk pekarangan untuk dikonsumsi, dibagikan, dan dijual; 2) nilai ekonomi
produk dalam satuan rupiah (Rp); dan 3) produktivitas lahan pekarangan (Rp/m2/tahun).
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Pekarangan Kawasan
1. Analisis Situasional
Pekarangan kawasan di ketiga kabupaten dianalisis aspek lingkungannya yang
berkaitan dengan pertanian (Tabel 1). Jarak desa sampel di Kabupaten Bogor paling dekat
ke kota sehingga urbanisasinya paling tinggi, yang mana akan berpengaruh pada alih
fungsi lahan pertanian. Ketinggian lokasi desa sampel bervariasi di mana yang tertinggi
berada di Kabupaten Bandung sedangkan lokasi desa terendah di Kabupaten Cirebon.
Ketinggian lokasi tersebut berpengaruh terhadap rentang suhu udara, di mana suhu yang
terdingin di Kabupaten Bandung dan suhu terpanas di Kabupaten Cirebon. Lokasi dengan
curah hujan tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor sedangkan yang terendah di Kabupaten
Cirebon. Hujan sebagai salah satu sumber air sangat penting untuk menunjang pertum-
buhan dan perkembangan berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan beberapa variabel
ini, secara umum kondisi lingkungan di lokasi, terutama di Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Bandung, cocok untuk pertanian. Optimalisasi potensi pertanian di lokasi
sampel dapat dilakukan melalui penyesuaian komoditas pertanian yang dibudidayakan di
pekarangan dengan kondisi lingkungannya.
Tabel 1 Kondisi umum lingkungan kawasan sampel penelitian di Jawa Barat
Lokasi DesaJarak ke
Kota (km)Ketinggian
(mdpl)Suhu udara
(oC)Curah hujan(mm/tahun)
Kabupaten Bandung Patrolsari 11.0 835 12.0
24.0 1 500
4 000Girimekar 6.0 750
Bojongemas 8.0 650
Kabupaten Bogor Situ Udik 10.0 460 22.731.2 2 4005 200
Cikarawang 3.0 193
Bantarsari 6.0 165
Kabupaten Cirebon Bakung Lor 8.5 13 24.033.0 1 5003 500
Grogol 4.7 10
Pegagan Lor 12.0 5
Sumber: BPS 2014
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
5/13
5
2. Ukuran Pekarangan
Ukuran pekarangan merupakan salah satu modal pengelolaan pekarangan, dengan
asumsi semakin luas maka akan semakin banyak aktivitas budidaya yang bisa dilakukan.
Berdasarkan rata-rata ukurannya, pekarangan dari yang paling luas yaitu Kabupaten
Bandung, kemudian Bogor, dan Cirebon (Tabel 3). Hasil klasifikasi ukuran menunjukkan
50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, sedangkan 66.7%
pekarangan di Kabupaten Bogor dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk
kategori pekarangan sempit. Ukuran luas pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m2.
Ukuran pekarangan dipengaruhi oleh faktor ketinggian lahan dan urbanisasi (Arifin et al.
1998). Faktor urbanisasi pada kasus ini lebih berpengaruh terhadap ukuran ukuran
pekarangan, di mana lokasi sampel dengan laju urbanisasi lebih tinggi memiliki ukuran
rata-rata pekarangan yang lebih kecil.
Tabel 2 Klasifikasi ukuran pekarangan sampel di Jawa Barat
LokasiLuas Pekarangan (m2) Kategori Luasan Pekarangan
Min Maks Rata-rata Sempit (%) Sedang (%) Besar (%)
Kabupaten Bandung 20.0 950.0 317.1 26.7 50.0 23.3
Kabupaten Bogor 6.0 600.0 142.9 66.7 20.0 13.3
Kabupaten Cirebon 6.0 625.0 144.6 60.0 36.7 3.3
3. Keragaman Horizontal Pekarangan
Keanekaragaman tanaman pekarangan kawasan yang diklasifikasikan berdasarkan
fungsinya menunjukkan bahwa jumlah spesies tanaman hias paling banyak di antara
semua fungsi tanaman pekarangan. Di sisi lain, jenis tanaman pangan (fungsi obat, sayur,
buah, bumbu, pati) lebih banyak daripada non-pangan (fungsi hias, industri, dan lainnya)
(Gambar 2). Keberadaan tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe merah,
dan jahe berkaitan dengan program P2KP.
Gambar 2 Agro-biodiversitas pekarangan berdasarkan keragaman horizontal tanaman
0
10
20
30
40
50
Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cirebon%
Hias Obat Sayur Buah Bumbu Pati Industri Lainnya
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
6/13
6
Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman tetapi juga hewan ternak
besar, ternak kecil, dan ikan yang dibudidayakan. Keberadaan hewan ternak di peka-
rangan Kabupaten Bandung dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5%. Keragaman hewan
ternak yang cukup tinggi di Kabupaten Bandung dan Cirebon (Tabel 3).
Tabel 3 Persentase keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan kawasan
Kabupaten
Persentase keberadaan (%) Jumlah spesies
Ternak
besar
Ternak
kecilIkan Rata-rata
Ternak
besar
Ternak
kecilIkan
Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3
Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4
Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 0 7 3
Manajemen Pekarangan Kawasan
Kegiatan manajemen pekarangan kawasan mencakup pemberdayaan masyarakat,
distribusi bibit ke pekarangan, produksi dari pekarangan, dan juga pemasaran produk
hasil dari pekarangan kawasan. Tidak kalah penting adalah pemberdayaan anggota KWT
sebagai sumberdaya manusia yang mengelola pekarangan kawasan, karena pekarangan
mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan
yang diternaknya (Arifin 2010). Pembahasan berikutnya mengenai demografi anggota
KWT, distribusi bibit, dan penjualan produk dari pekarangan kawasan. Aspek produksi
dari pekarangan akan dibahas bersama penilaian ekonomi pada bagian selanjutnya.
1.
Demografi Kelompok Wanita Tani (KWT)
Demografi anggota KWT sebagai responden menggambarkan kondisi sosial dan
karakter para pengelola pekarangan kawasan sampel (Tabel 4). Umur anggota KWT rata-
rata 47 tahun, dan merupakan identitas yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan
kerja (Purwanti 2007). Meski umur mereka tergolong produktif, mayoritas pendidikannya
hanya lulusan sekolah dasar (52%), padahal tingkat pendidikan memiliki pengaruh pada
kemampuan seseorang dalam memahami pengelolaan pertanian (Adhawati 1997). Status
responden adalah ibu rumah tangga (IRT) yang waktunya lebih banyak berada di rumah.
Waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 530 menit. Selain tugas
utama sebagai IRT, sebagian responden bekerja sebagai petani, pedagang, guru, buruh,
atau karyawan untuk menambah penghasilan keluarga. Rata-rata responden yang bekerja
sebagai petani di hanya 13.3% sehingga banyak anggota KWT yang belum mengetahui
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
7/13
7
aktivitas pertanian. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program
P2KP telah menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindaklanjuti dengan lebih
banyak perhatian dan arahan.
Tabel 4 Demografi responden di lokasi penelitian
KabupatenRata-
rata usia
Pendidikan (%) Jenis Pekerjaan (%)
SD SMP SMAD3 /S1
Tidakbekerja
PetaniWira-usaha
PegawaiLain-lain
Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 0 7Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7
Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3
2. Penyediaan Bibit Tanaman dan Hewan Ternak
Keberlanjutan produksi dari pekarangan kawasan secara tidak langsung ditunjang
oleh kebun bibit yang dikelola oleh kelompok (Gambar 3). Bibit tanaman yang disediakan
oleh kebun bibit, terutama komoditas yang berumur semusim, sangat diperlukan bagi
pekarangan. Benih tanaman biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu
penyediaannya oleh pendamping KWT. Pendamping KWT memberikan rekomendasi
komoditas pertanian untuk dikembangkan di pekarangan kawasan. Komoditas tanaman
yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah.
(a) (b) (c)
Gambar 3 Contoh kondisi kebun bibit milik KWT sampel di Jawa Barat. Kebun bibit di
Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung (a); Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor (b);dan Desa Bakung Lor, Kabupaten Cirebon (c)
Kelemahan pengelolaan modal kebun bibit menjadi masalah yang ditemui pada
beberapa desa, di mana KWT hanya mengandalkan bantuan modal dari pemerintah.
Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman dan pupuk pada pembibitan kesekian
kalinya mengakibatkan kebun bibit tidak berfungsi lagi. Pada saat survei, hanya 67%
kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi, sedangkan 33% kebun bibit sudah rusak.
Kebun bibit yang dibuat dari bambu mudah rusak dan tidak tahan lama. Masalah lain
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
8/13
8
terkait pengelolaan kebun bibit yaitu status kepemilikan lahan karena keberadaan kebun
bibit yang memanfaatkan lahan pribadi sangat tergantung pemilik lahan. Kebun bibit
milik KWT sampel yang berada di atas lahan pribadi sebanyak 78% dan hanya 22% yang
berada di lahan milik desa.
3. Pemasaran produk pekarangan
Manajemen pekarangan kawasan mencakup aktivitas produksi dari pekarangan,
distribusi bibit dari kebun bibit ke pekarangan di sekitarnya, dan juga pemasaran produk
hasil dari pekarangan kawasan. Meskipun fungsi dasar pekarangan, khususnya di area
perdesaan, yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004), tidak
sedikit pemilik pekarangan menjual produk-produk pekarangan berupa barang mentah
maupun hasil olahan. Pemasaran produk tersebut masih didominasi oleh para tengkulak
dengan sistem ijon, yakni membeli buah dari pohonnya sebelum buah masak. Contohnya
pembelian buah jambu biji di Kabupaten Bogor, yang tentu dengan harga sangat murah.
Kondisi demikian karena banyak pemilik pekarangan belum mampu melakukan
pemasaran produknya, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal. Di sisi lain,
keberadaan KWT sebagai pengelola pekarangan kawasan, masih fokus pada usaha
produksi bahan mentah dan produk olahan.
Kendala dalam pemasaran produk hasil pekarangan diantaranya yaitu terbatas pada
produksi dari satu luasan pekarangan, biaya pemasaran apabila lokasi jauh dari pasar, dan
persaingan usaha dengan tengkulak. Penjualan produk menjadi tidak menguntungkan jika
biaya produksi dan transportasinya lebih besar dari harga jual produk. Menjual produk
pekarangan kawasan secara kolektif bisa menjadi alternatif solusi masalah pemasaran
karena kuantitas produk akan bertambah dan biaya distribusinya menjadi lebih rendah.
Pemasaran kolektif dapat dilakukan oleh unit bisnis independen seperti koperasi,
yang bergerak di bidang agribisnis. Selama ini, satu-satunya wadah organisasi formal
yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di bidang ekonomi dan
sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) (Saragih 2010). Meskipun banyak
KUD yang sudah tidak beroperasi, sedangkan yang ada pun belum menjangkau
pekarangan rumah, bukan berarti pemasaran kolektif tidak bisa dilakukan. Mayoritas
responden di ketiga kabupaten sampel mendukung pemasaran produk pekarangan
kawasan secara kolektif (Tabel 11). Dukungan terhadap koperasi pekarangan juga tinggi,
yang mana total 72% responden setuju untuk diadakan koperasi desa yang bergerak di
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
9/13
9
sektor agribisnis khususnya terkait dengan produk pekarangan. Persepsi masyarakat
tersebut memberikan harapan bahwa koperasi dapat kembali diberdayakan di desa atau
kampung untuk memasarkan produk mentah dan olahan dari pekarangan.
Tabel 5 Persentase persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa
Kabupatensampel
Keinginan pemasaran kolektif (%) Dukungan koperasi pekarangan (%)
Tidaksetuju
Biasasaja
Setuju Sangatsetuju
Tidaksetuju
Biasasaja
Setuju Sangatsetuju
Bandung 0 23 47 30 0 17 67 17Bogor 7 43 37 13 7 23 70 0
Cirebon 13 0 65 23 0 10 79 10
Evaluasi Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kawasan
1.
Alokasi Produk Pekarangan
Pekarangan sebagai suatu agroekosistem (Arifin et al. 2009) tumbuh dan dikelola
dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008).
Produk hasil pekarangan sesuai program P2KP ditujukan untuk konsumsi pangan rumah
tangga, namun ternyata lebih banyak hasil panen yang dijual, sedangkan sisanya
diberikan kepada tetangga atau keluarga (Tabel 6). Hasil panen dari pekarangan kawasan
di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak dialokasikan untuk dijual
sebagai pendapatan rumah tangga, yakni 59%, 60%, dan 63%. Ternak besar, ikan, dan
tanaman buah berkontribusi besar pada jumlah hasil panen. Produktivitas pekarangan
kawasan masih rendah, hanya 0.5 kg/m2/tahun untuk Kabupaten Bandung dan Bogor,
sedangkan produktivitas di Kabupaten Cirebon yaitu 0.6 kg/m2/tahun. Hal ini disebabkan
hasil panen yang tidak maksimal dan pemanfaatan lahan pekarangan yang tidak optimal
untuk pertanian. Pekarangan sempit dapat dioptimalkan dengan teknik vertikultur.
Tabel 6 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun
Kabupaten sampelAlokasi hasil panen dari pekarangan (%)
Dikonsumsi Dibagikan Dijual
Bandung 22.4 18.5 59.1
Bogor 29.6 12.3 58.0
Cirebon 20.7 16.7 62.7
Buah merupakan produk pekarangan dengan persentase tertinggi yang dialokasikan
untuk konsumsi dan dibagikan kepada tetangga atau kerabat. Selain angka produksinya
yang paling banyak, ternak besar, ikan, dan tanaman buah, juga merupakan kelompok
komoditas pekarangan yang paling banyak dijual (Tabel 7). Jenis komoditas pekarangan
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
10/13
10
yang paling banyak dijual di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu buah (32%),
ternak besar (39%), dan buah (71%).
Tabel 7 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan
KabupatenAlokasi
hasil
Komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)
obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan
Bandung Konsumsi 1.1 12.0 42.4 4.2 20.2 0.0 1.6 9.2 9.3
Dibagikan 1.0 7.1 54.2 1.5 30.4 0.0 1.3 1.7 2.8
Dijual 0.0 3.4 31.8 4.6 19.0 13.5 8.0 6.6 13.2
Bogor Konsumsi 2.7 16.8 33.1 11.2 7.1 0.0 0.0 9.8 19.2
Dibagikan 8.9 6.5 35.9 11.0 24.8 0.0 0.0 3.9 9.0
Dijual 0.0 1.9 10.0 10.0 5.4 0.0 38.7 7.8 26.2
Cirebon Konsumsi 0.7 0.7 84.1 0.8 0.0 0.0 0.0 6.3 7.4
Dibagikan 0.1 0.7 92.9 1.7 0.0 0.0 0.0 1.3 3.3
Dijual 0.0 4.4 70.8 0.4 0.0 2.2 0.0 4.5 17.8
2. Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kawasan
Berdasarkan nilai ekonominya, produk pekarangan kawasan di ketiga kabupaten
paling banyak menjadi tambahan pendapatan rumah tangga, kemudian penghematan, dan
sisanya untuk kepedulian sosial (Tabel 8). Produktivitas pekarangan kawasan yang paling
baik secara nilai ekonomi yaitu sampel di Kabupaten Bogor yang dapat menghasilkan Rp
15 809 per m
2
per tahun. Nilai tersebut dengan asumsi biaya pemeliharaan pekarangandiabaikan karena menggunakan pupuk organik yang dibuat oleh KWT, dan perlindungan
tanaman dengan tanpa obat kimia buatan. Rendahnya nilai produktivitas disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu pemanfaatan lahan yang belum optimalkan untuk tempat pertanian
dan pemeliharaan komoditas pekarangan yang kurang intensif. Selain itu, komoditas yang
dibudidayakan di pekarangan kawasan belum memperhatikan kebutuhan pasar, sehingga
ada beberapa produk yang harga jualnya kurang menguntungkan. Jenis tanaman pertanian
yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu, dan bahkan pakan ternak (Thakur et
al. 2005). Penjualan hasil panen menghasilkan kontribusi paling besar terhadap total nilai
ekonomi produk pekarangan. Hasil analisis ekonomi di Kabupaten Bandung, Bogor, dan
Cirebon, rata-rata lebih dari 70% nilai ekonomi produk pekarangan diperoleh dari
penjualan produk. Penilaian ekonomi terhadap pangan untuk rumah tangga di Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 17%, 18%, dan 17% dari total nilai ekonomi produk
pekarangan, dan sisanya merupakan nilai ekonomi dari produk yang dibagikan.
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
11/13
11
Tabel 8 Nilai ekonomi dan alokasi dari hasil panen produk pekarangan kawasan per tahun
KabupatenPersentase nilai ekonomi per alokasi (%) Nilai produktivitas
(Rp / m2/ tahun)Penghematan Kepedulian Pendapatan
Bandung 17 12 68 11 105Bogor 18 5 77 15 809
Cirebon 17 13 70 10 105
Nilai ekonomi produk pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga paling
banyak diperoleh dari jenis komoditas buah, sayur, ternak kecil, dan ikan. Hewan ternak
besar seperti sapi dan kambing dipelihara di pekarangan untuk dijual kembali sebagai
investasi. Jenis komoditas yang paling berkontribusi pada pendapatan rumah tangga yaitu
hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan ikan. Secara total, jenis komoditas
pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak
besar, sayur, tanaman industri, dan sayur (Tabel 9).
Tabel 9 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan dalam kawasan
Kabupaten NilaiKelompok komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)
obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan
Bandung Penghematan 0.6 29.7 37.7 6.0 4.2 0.0 0.5 14.8 6.5
Kepedulian 0.4 29.0 54.4 3.0 7.1 0.0 0.4 3.3 2.3
Pendapatan 0.0 6.6 16.0 3.0 4.3 37.6 18.9 7.5 6.2
Bogor Penghematan 1.4 37.1 16.2 13.5 2.6 0.0 0.0 13.2 16.0
Kepedulian 1.1 27.1 17.4 20.2 13.5 0.0 0.0 8.3 12.4Pendapatan 0.0 0.3 5.1 5.0 0.9 0.0 71.7 5.0 12.0
Cirebon Penghematan 1.5 5.4 65.4 2.4 0.0 0.0 0.0 16.2 9.1
Kepedulian 0.2 5.4 80.7 5.9 0.0 0.0 0.0 3.5 4.3
Pendapatan 0.0 17.9 53.8 0.6 0.0 2.7 0.0 8.5 16.4
Simpulan
Ketinggian lokasi sampel pekarangan kawasan bervariasi antara 5 835 mdpl, di
mana tertinggi berada di Kabupaten Bandung sedangkan lokasi sampel terendah di
Kabupaten Cirebon. Pekarangan sampel di Kabupaten Bandung mayoritas berukuran
sedang (50%), sedangkan pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon berukuran sempit
(67% dan 60%). Keberadaan tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe
merah, dan jahe di pekarangan kawasan berkaitan dengan pelaksanaan program P2KP.
Manajemen pekarangan kawasan mencakup sumberdaya manusia, distribusi bibit
ke pekarangan, produksi pekarangan, dan juga pemasaran produk. Tingkat pendidikan
52% responden adalah lulusan sekolah dasar, dan hanya 13.3% yang bekerja di bidang
pertanian, sehingga belum terbiasa dengan aktivitas pertanian, maka KWT perlu dibantu
oleh pendamping. Keberlanjutan pekarangan kawasan ditunjang oleh kebun bibit, namun
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
12/13
12
beberapa diantaranya sudah tidak berfungsi. Penjualan produk pekarangan dalam konteks
pekarangan kawasan, lebih baik pemasaran secara kolektif. Responden yang mendukung
wacana pemasaran produk secara kolektif dan dilakukan oleh koperasi sebanyak 70%,
sehingga koperasi desa berpeluang besar untuk memasarkan produk pekarangan kawasan.
Produktivitas pekarangan kawasan belum optimal, hanya 0.5 kg/m2/tahun untuk
Kabupaten Bandung dan Bogor, sedangkan di Kabupaten Cirebon yaitu 0.6 kg/m2/tahun.
Sebanyak 70% nilai ekonomi produk pekarangan berasal dari aktivitas penjualan. Jenis
komoditas yang paling berkontribusi pada pendapatan rumah tangga yaitu hewan ternak
besar, buah, tanaman industri, dan ikan. Produktivitas pekarangan kawasan yang terbaik
secara nilai ekonomi yaitu sampel di Kabupaten Bogor yang menghasilkan Rp 15 809 per
m2per tahun. Secara total, jenis komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi
terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak besar, sayur, tanaman industri, dan sayur.
Daftar Pustaka
Adhawati SS. 1997.Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi di
Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa[Tesis]. Makassar (ID): Program
Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.
Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekaranganand Its Changes in West
Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate School of
Natural Science and Technology, Okayama University.
Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju
Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan. Pemba-
ngunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID): IPB Press.
Arifin HS. 2013. Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro-Biodiversitas dalam
Mendukung Penganekaragaman dan Ketahanan Pangan di Indonesia [Orasi
Ilmiah Guru Besar IPB].Bogor (ID): IPB Press.
Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998. Effects of Urbanization on the Performance of
the Home Gardens in West Java, Indonesia. Journal JILA., Okayama(JP). Vol:
61(4) p325-333.
-
7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD
13/13
13
Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap Agro-
forestri. Bogor (ID): IPB Press.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012. Pedoman Gerakan Percepatan Penganeka-
ragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Jakarta (ID): Pusat Penganekaragaman
Konsumsi dan Keamanan Pangan
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-
Ekonomi IndonesiaAgustus 2014. Jakarta (ID): BPS.
Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a Socio-
Economic and Agro-Ecological Context. Stability of Tropical Rainforest Margins.
Berlin (GB): Springer.
Kumar BM, Nair PKR. 2004. The Enigma of Tropical Rainforest.Agrofor Syst J. No. 61:
135-152.
Moonen AC, Barberi P. 2008. Functional biodiversity: An agroecosystem approach.
Elsevier AEE J. Vol 127 (2008): 7-21.
Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi Kasus:
Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor (ID): Jurnal Sosial Ekonomi
Kehutanan 4(3):257-269.
Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian. Pambudy R, Dabukke FBM, editor. Bogor (ID): IPB Press.
Thakur PS. Dult V, Shegal S, Kumar R. 2005. Diversification and Improving Productivity
of Mountain Farming System through Agroforestry Practice in Nortwestern India.
Conference Proceeding AFTA 2005: 1-7.