The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

download The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

of 13

Transcript of The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    1/13

    1

    MANAGEMENT OF PEKARANGAN KAMPOONG

    FOR SUPPORTING COMMUNITY FOOD SECURITY

    IN WEST JAVA PROVINCE

    Vivandra Prima Budiman1, Hadi Susilo Arifin2, Nurhayati HS Arifin2, Made Astawan3

    1 Mahasiswa Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

    e-mail: [email protected]

    2Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap IPB

    3 Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

    Abstract

    Pekarangan products has potential resource for supporting food security in household

    scale. However some constraints such as small size of pekarangan and microclimate Ade

    impacted to limited number of commodity and product. Numbers of pekarangan in one

    area of kampoong or community unit was called pekarangan kampoong. Percepatan

    Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) program as a driver of pekarangan

    management through Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) campaign involving

    women farmers group (KWT). This paper will explain about: 1) characteristics of

    pekarangan kampoong, 2) economic value of products pekarangan kampoong, and 3)

    management of pekarangan kampoong in rural areas. The study was conducted in West

    Java Province where sample taken in Bandung Regency, Bogor Regency, and Cirebon

    Regency since September 2013 until June 2014. The size category of pekarangan are

    dominated by medium (50%) in Bandung, but pekarangan in Bogor and Cirebon are

    dominated by narrow size (67% and 60%). The average of annual economic value from

    harvesting product of pekarangan is Rp 11 105 per m2 in Bandung, Rp 15 809 per m2in

    Bogor, and Rp 10 105 per m2in Cirebon. Product sales activity on the pekarangan samples

    of Bandung, Bogor, and Cirebon can contribute 68%, 77%, and 70% from the economic

    value Product in each neighbourhood pekarangan. Crops and livestock has contributed

    greatly to the economic value of Pekarangan. Management of pekarangan kampoong that

    needs attention is the ability of women farmers group, evaluation of yields, seed supply,

    and marketing of their products. Majority of members of pekarangan kampoong initiallynot understand about the agriculture. Production process of the pekarangan kampoong is

    indirectly supported by nursery. Product of the pekarangan still sold individually by the

    owner, but there is a desire to sell collectively as a solution of marketing problems.

    Keywords: economic value, marketing, women farmers group

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    2/13

    2

    Pendahuluan

    Perubahan tata guna lahan dari kawasan pertanian menjadi area urbanyang terjadi

    di Jawa Barat dalam satu dekade terakhir nampak begitu masif. Kondisi ini sebagai akibat

    dari kepadatan penduduk di Jawa Barat yang mana tertinggi kedua di Indonesia setelah

    DKI Jakarta, serta didorong oleh laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 2010

    sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Peningkatan penduduk akan memerlukan tambahan

    tempat tinggal dan secara simultan mengurangi luas areal sawah, ladang, serta kebun yang

    merupakan sumber pangan utama untuk penduduk Jawa Barat. Maka tantangan bagi

    sektor pertanian sekarang adalah memanfaatkan seoptimal mungkin setiap lahan

    pertanian yang ada untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan masyarakat.

    Pekarangan sebagai salah satu lahan pertanian, ternyata jumlah luasnya bertambah

    seiring penambahan pembangunan perumahan. Hal ini karena hampir di setiap rumah

    memiliki pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI tahun 2010, luas

    agregat pekarangan mencapai 10.3 juta hektar (Arifin 2013) yang berpotensi sebagai

    alternatif sumber bahan pangan. Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP),

    merespon dan memfasilitasi terbentuknya manajemen pekarangan dalam suatu kawasan

    dengan gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) sejak tahun

    2010 (BKP 2012). Program tersebut melalui kampanye Kawasan Rumah Pangan Lestari

    (KRPL) melibatkan kelompok wanita tani (KWT) sebagai pengelolanya. Beberapa

    pekarangan dalam satu wilayah kampung atau komunitas masyarakat disebut pekarangan

    kampung (Arifin 2013).

    Penduduk Jawa Barat yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 4.38 juta

    jiwa yang sebagian besar tersebar di perdesaan (BPS 2014). Produk hasil pengelolaan

    pekarangan memiliki nilai tambah yaitu bisa dikonsumsi oleh rumah tangga atau dijual,

    namun tetap mempertahankan manfaat sosial dan ekologisnya (Kehlenbeck et al.2007).

    Penggunaan pekarangan untuk tanaman dan/atau hewan ternak akan menghasilkan

    produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia (Arifin et al. 2009). Nilai

    ekonomi dari produk pekarangan diharapkan bisa menunjang ketahanan pangan rumah

    tangga, dengan asumsi uang yang diperoleh dari produk pekarangan digunakan untuk

    membeli kebutuhan pangan. Tulisan ini memaparkan tentang: 1) karakteristik pekarangan

    penerima program P2KP, 2) manajemen pekarangan kawasan penerima bantuan program

    P2KP, dan 3) nilai ekonomi produk pekarangan kawasan.

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    3/13

    3

    Metodologi

    Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Kabupaten

    Bandung, Bogor, dan Cirebon (Gambar 1). Setiap kabupaten tersebut memiliki tiga

    sampel desa. Pelaksanaan penelitian ini sejak bulan September 2013 hingga Juni 2014.

    Gambar 1 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C)

    Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat

    Metode Penelitian dan Pengolahan Data

    Penentuan sampel menggunakan metodepurposive sampling di mana sampel desa

    telah direkomendasikan oleh Badan Ketahanan Pangan tingkat kabupaten. Sampel per

    desa berjumlah 10 pekarangan milik anggota KWT, sehingga totalnya ada 90 pekarangan

    sampel dalam 9 pekarangan kawasan penerima program P2KP. Metode penelitian yang

    digunakan yaitu survei dan wawancara. Survei dilakukan terhadap pekarangan dan harga

    komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT.

    Analisis karakteristik pekarangan yaitu 1) kondisi wilayah (ketinggian, suhu, dan

    curah hujan); 2) klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120400 m2), besar (400

    1000 m2), dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas horizontal / fungsi

    tanaman (hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya) (Arifin 1998).

    Analisis manajemen pekarangan kawasan meliputi: 1) demografi anggota KWT sampel

    A

    B C

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    4/13

    4

    (umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan); 2) penyediaan bibit tanaman dan hewan; dan

    3) pemasaran produknya. Evaluasi nilai ekonomi produk pekarangan kawasan meliputi:

    1) alokasi produk pekarangan untuk dikonsumsi, dibagikan, dan dijual; 2) nilai ekonomi

    produk dalam satuan rupiah (Rp); dan 3) produktivitas lahan pekarangan (Rp/m2/tahun).

    Hasil dan Pembahasan

    Karakteristik Pekarangan Kawasan

    1. Analisis Situasional

    Pekarangan kawasan di ketiga kabupaten dianalisis aspek lingkungannya yang

    berkaitan dengan pertanian (Tabel 1). Jarak desa sampel di Kabupaten Bogor paling dekat

    ke kota sehingga urbanisasinya paling tinggi, yang mana akan berpengaruh pada alih

    fungsi lahan pertanian. Ketinggian lokasi desa sampel bervariasi di mana yang tertinggi

    berada di Kabupaten Bandung sedangkan lokasi desa terendah di Kabupaten Cirebon.

    Ketinggian lokasi tersebut berpengaruh terhadap rentang suhu udara, di mana suhu yang

    terdingin di Kabupaten Bandung dan suhu terpanas di Kabupaten Cirebon. Lokasi dengan

    curah hujan tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor sedangkan yang terendah di Kabupaten

    Cirebon. Hujan sebagai salah satu sumber air sangat penting untuk menunjang pertum-

    buhan dan perkembangan berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan beberapa variabel

    ini, secara umum kondisi lingkungan di lokasi, terutama di Kabupaten Bogor dan

    Kabupaten Bandung, cocok untuk pertanian. Optimalisasi potensi pertanian di lokasi

    sampel dapat dilakukan melalui penyesuaian komoditas pertanian yang dibudidayakan di

    pekarangan dengan kondisi lingkungannya.

    Tabel 1 Kondisi umum lingkungan kawasan sampel penelitian di Jawa Barat

    Lokasi DesaJarak ke

    Kota (km)Ketinggian

    (mdpl)Suhu udara

    (oC)Curah hujan(mm/tahun)

    Kabupaten Bandung Patrolsari 11.0 835 12.0

    24.0 1 500

    4 000Girimekar 6.0 750

    Bojongemas 8.0 650

    Kabupaten Bogor Situ Udik 10.0 460 22.731.2 2 4005 200

    Cikarawang 3.0 193

    Bantarsari 6.0 165

    Kabupaten Cirebon Bakung Lor 8.5 13 24.033.0 1 5003 500

    Grogol 4.7 10

    Pegagan Lor 12.0 5

    Sumber: BPS 2014

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    5/13

    5

    2. Ukuran Pekarangan

    Ukuran pekarangan merupakan salah satu modal pengelolaan pekarangan, dengan

    asumsi semakin luas maka akan semakin banyak aktivitas budidaya yang bisa dilakukan.

    Berdasarkan rata-rata ukurannya, pekarangan dari yang paling luas yaitu Kabupaten

    Bandung, kemudian Bogor, dan Cirebon (Tabel 3). Hasil klasifikasi ukuran menunjukkan

    50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, sedangkan 66.7%

    pekarangan di Kabupaten Bogor dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk

    kategori pekarangan sempit. Ukuran luas pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m2.

    Ukuran pekarangan dipengaruhi oleh faktor ketinggian lahan dan urbanisasi (Arifin et al.

    1998). Faktor urbanisasi pada kasus ini lebih berpengaruh terhadap ukuran ukuran

    pekarangan, di mana lokasi sampel dengan laju urbanisasi lebih tinggi memiliki ukuran

    rata-rata pekarangan yang lebih kecil.

    Tabel 2 Klasifikasi ukuran pekarangan sampel di Jawa Barat

    LokasiLuas Pekarangan (m2) Kategori Luasan Pekarangan

    Min Maks Rata-rata Sempit (%) Sedang (%) Besar (%)

    Kabupaten Bandung 20.0 950.0 317.1 26.7 50.0 23.3

    Kabupaten Bogor 6.0 600.0 142.9 66.7 20.0 13.3

    Kabupaten Cirebon 6.0 625.0 144.6 60.0 36.7 3.3

    3. Keragaman Horizontal Pekarangan

    Keanekaragaman tanaman pekarangan kawasan yang diklasifikasikan berdasarkan

    fungsinya menunjukkan bahwa jumlah spesies tanaman hias paling banyak di antara

    semua fungsi tanaman pekarangan. Di sisi lain, jenis tanaman pangan (fungsi obat, sayur,

    buah, bumbu, pati) lebih banyak daripada non-pangan (fungsi hias, industri, dan lainnya)

    (Gambar 2). Keberadaan tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe merah,

    dan jahe berkaitan dengan program P2KP.

    Gambar 2 Agro-biodiversitas pekarangan berdasarkan keragaman horizontal tanaman

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cirebon%

    Hias Obat Sayur Buah Bumbu Pati Industri Lainnya

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    6/13

    6

    Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman tetapi juga hewan ternak

    besar, ternak kecil, dan ikan yang dibudidayakan. Keberadaan hewan ternak di peka-

    rangan Kabupaten Bandung dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5%. Keragaman hewan

    ternak yang cukup tinggi di Kabupaten Bandung dan Cirebon (Tabel 3).

    Tabel 3 Persentase keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan kawasan

    Kabupaten

    Persentase keberadaan (%) Jumlah spesies

    Ternak

    besar

    Ternak

    kecilIkan Rata-rata

    Ternak

    besar

    Ternak

    kecilIkan

    Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3

    Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4

    Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 0 7 3

    Manajemen Pekarangan Kawasan

    Kegiatan manajemen pekarangan kawasan mencakup pemberdayaan masyarakat,

    distribusi bibit ke pekarangan, produksi dari pekarangan, dan juga pemasaran produk

    hasil dari pekarangan kawasan. Tidak kalah penting adalah pemberdayaan anggota KWT

    sebagai sumberdaya manusia yang mengelola pekarangan kawasan, karena pekarangan

    mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan

    yang diternaknya (Arifin 2010). Pembahasan berikutnya mengenai demografi anggota

    KWT, distribusi bibit, dan penjualan produk dari pekarangan kawasan. Aspek produksi

    dari pekarangan akan dibahas bersama penilaian ekonomi pada bagian selanjutnya.

    1.

    Demografi Kelompok Wanita Tani (KWT)

    Demografi anggota KWT sebagai responden menggambarkan kondisi sosial dan

    karakter para pengelola pekarangan kawasan sampel (Tabel 4). Umur anggota KWT rata-

    rata 47 tahun, dan merupakan identitas yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan

    kerja (Purwanti 2007). Meski umur mereka tergolong produktif, mayoritas pendidikannya

    hanya lulusan sekolah dasar (52%), padahal tingkat pendidikan memiliki pengaruh pada

    kemampuan seseorang dalam memahami pengelolaan pertanian (Adhawati 1997). Status

    responden adalah ibu rumah tangga (IRT) yang waktunya lebih banyak berada di rumah.

    Waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 530 menit. Selain tugas

    utama sebagai IRT, sebagian responden bekerja sebagai petani, pedagang, guru, buruh,

    atau karyawan untuk menambah penghasilan keluarga. Rata-rata responden yang bekerja

    sebagai petani di hanya 13.3% sehingga banyak anggota KWT yang belum mengetahui

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    7/13

    7

    aktivitas pertanian. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program

    P2KP telah menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindaklanjuti dengan lebih

    banyak perhatian dan arahan.

    Tabel 4 Demografi responden di lokasi penelitian

    KabupatenRata-

    rata usia

    Pendidikan (%) Jenis Pekerjaan (%)

    SD SMP SMAD3 /S1

    Tidakbekerja

    PetaniWira-usaha

    PegawaiLain-lain

    Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 0 7Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7

    Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3

    2. Penyediaan Bibit Tanaman dan Hewan Ternak

    Keberlanjutan produksi dari pekarangan kawasan secara tidak langsung ditunjang

    oleh kebun bibit yang dikelola oleh kelompok (Gambar 3). Bibit tanaman yang disediakan

    oleh kebun bibit, terutama komoditas yang berumur semusim, sangat diperlukan bagi

    pekarangan. Benih tanaman biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu

    penyediaannya oleh pendamping KWT. Pendamping KWT memberikan rekomendasi

    komoditas pertanian untuk dikembangkan di pekarangan kawasan. Komoditas tanaman

    yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah.

    (a) (b) (c)

    Gambar 3 Contoh kondisi kebun bibit milik KWT sampel di Jawa Barat. Kebun bibit di

    Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung (a); Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor (b);dan Desa Bakung Lor, Kabupaten Cirebon (c)

    Kelemahan pengelolaan modal kebun bibit menjadi masalah yang ditemui pada

    beberapa desa, di mana KWT hanya mengandalkan bantuan modal dari pemerintah.

    Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman dan pupuk pada pembibitan kesekian

    kalinya mengakibatkan kebun bibit tidak berfungsi lagi. Pada saat survei, hanya 67%

    kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi, sedangkan 33% kebun bibit sudah rusak.

    Kebun bibit yang dibuat dari bambu mudah rusak dan tidak tahan lama. Masalah lain

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    8/13

    8

    terkait pengelolaan kebun bibit yaitu status kepemilikan lahan karena keberadaan kebun

    bibit yang memanfaatkan lahan pribadi sangat tergantung pemilik lahan. Kebun bibit

    milik KWT sampel yang berada di atas lahan pribadi sebanyak 78% dan hanya 22% yang

    berada di lahan milik desa.

    3. Pemasaran produk pekarangan

    Manajemen pekarangan kawasan mencakup aktivitas produksi dari pekarangan,

    distribusi bibit dari kebun bibit ke pekarangan di sekitarnya, dan juga pemasaran produk

    hasil dari pekarangan kawasan. Meskipun fungsi dasar pekarangan, khususnya di area

    perdesaan, yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004), tidak

    sedikit pemilik pekarangan menjual produk-produk pekarangan berupa barang mentah

    maupun hasil olahan. Pemasaran produk tersebut masih didominasi oleh para tengkulak

    dengan sistem ijon, yakni membeli buah dari pohonnya sebelum buah masak. Contohnya

    pembelian buah jambu biji di Kabupaten Bogor, yang tentu dengan harga sangat murah.

    Kondisi demikian karena banyak pemilik pekarangan belum mampu melakukan

    pemasaran produknya, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal. Di sisi lain,

    keberadaan KWT sebagai pengelola pekarangan kawasan, masih fokus pada usaha

    produksi bahan mentah dan produk olahan.

    Kendala dalam pemasaran produk hasil pekarangan diantaranya yaitu terbatas pada

    produksi dari satu luasan pekarangan, biaya pemasaran apabila lokasi jauh dari pasar, dan

    persaingan usaha dengan tengkulak. Penjualan produk menjadi tidak menguntungkan jika

    biaya produksi dan transportasinya lebih besar dari harga jual produk. Menjual produk

    pekarangan kawasan secara kolektif bisa menjadi alternatif solusi masalah pemasaran

    karena kuantitas produk akan bertambah dan biaya distribusinya menjadi lebih rendah.

    Pemasaran kolektif dapat dilakukan oleh unit bisnis independen seperti koperasi,

    yang bergerak di bidang agribisnis. Selama ini, satu-satunya wadah organisasi formal

    yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di bidang ekonomi dan

    sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) (Saragih 2010). Meskipun banyak

    KUD yang sudah tidak beroperasi, sedangkan yang ada pun belum menjangkau

    pekarangan rumah, bukan berarti pemasaran kolektif tidak bisa dilakukan. Mayoritas

    responden di ketiga kabupaten sampel mendukung pemasaran produk pekarangan

    kawasan secara kolektif (Tabel 11). Dukungan terhadap koperasi pekarangan juga tinggi,

    yang mana total 72% responden setuju untuk diadakan koperasi desa yang bergerak di

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    9/13

    9

    sektor agribisnis khususnya terkait dengan produk pekarangan. Persepsi masyarakat

    tersebut memberikan harapan bahwa koperasi dapat kembali diberdayakan di desa atau

    kampung untuk memasarkan produk mentah dan olahan dari pekarangan.

    Tabel 5 Persentase persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa

    Kabupatensampel

    Keinginan pemasaran kolektif (%) Dukungan koperasi pekarangan (%)

    Tidaksetuju

    Biasasaja

    Setuju Sangatsetuju

    Tidaksetuju

    Biasasaja

    Setuju Sangatsetuju

    Bandung 0 23 47 30 0 17 67 17Bogor 7 43 37 13 7 23 70 0

    Cirebon 13 0 65 23 0 10 79 10

    Evaluasi Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kawasan

    1.

    Alokasi Produk Pekarangan

    Pekarangan sebagai suatu agroekosistem (Arifin et al. 2009) tumbuh dan dikelola

    dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008).

    Produk hasil pekarangan sesuai program P2KP ditujukan untuk konsumsi pangan rumah

    tangga, namun ternyata lebih banyak hasil panen yang dijual, sedangkan sisanya

    diberikan kepada tetangga atau keluarga (Tabel 6). Hasil panen dari pekarangan kawasan

    di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak dialokasikan untuk dijual

    sebagai pendapatan rumah tangga, yakni 59%, 60%, dan 63%. Ternak besar, ikan, dan

    tanaman buah berkontribusi besar pada jumlah hasil panen. Produktivitas pekarangan

    kawasan masih rendah, hanya 0.5 kg/m2/tahun untuk Kabupaten Bandung dan Bogor,

    sedangkan produktivitas di Kabupaten Cirebon yaitu 0.6 kg/m2/tahun. Hal ini disebabkan

    hasil panen yang tidak maksimal dan pemanfaatan lahan pekarangan yang tidak optimal

    untuk pertanian. Pekarangan sempit dapat dioptimalkan dengan teknik vertikultur.

    Tabel 6 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun

    Kabupaten sampelAlokasi hasil panen dari pekarangan (%)

    Dikonsumsi Dibagikan Dijual

    Bandung 22.4 18.5 59.1

    Bogor 29.6 12.3 58.0

    Cirebon 20.7 16.7 62.7

    Buah merupakan produk pekarangan dengan persentase tertinggi yang dialokasikan

    untuk konsumsi dan dibagikan kepada tetangga atau kerabat. Selain angka produksinya

    yang paling banyak, ternak besar, ikan, dan tanaman buah, juga merupakan kelompok

    komoditas pekarangan yang paling banyak dijual (Tabel 7). Jenis komoditas pekarangan

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    10/13

    10

    yang paling banyak dijual di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu buah (32%),

    ternak besar (39%), dan buah (71%).

    Tabel 7 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan

    KabupatenAlokasi

    hasil

    Komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)

    obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan

    Bandung Konsumsi 1.1 12.0 42.4 4.2 20.2 0.0 1.6 9.2 9.3

    Dibagikan 1.0 7.1 54.2 1.5 30.4 0.0 1.3 1.7 2.8

    Dijual 0.0 3.4 31.8 4.6 19.0 13.5 8.0 6.6 13.2

    Bogor Konsumsi 2.7 16.8 33.1 11.2 7.1 0.0 0.0 9.8 19.2

    Dibagikan 8.9 6.5 35.9 11.0 24.8 0.0 0.0 3.9 9.0

    Dijual 0.0 1.9 10.0 10.0 5.4 0.0 38.7 7.8 26.2

    Cirebon Konsumsi 0.7 0.7 84.1 0.8 0.0 0.0 0.0 6.3 7.4

    Dibagikan 0.1 0.7 92.9 1.7 0.0 0.0 0.0 1.3 3.3

    Dijual 0.0 4.4 70.8 0.4 0.0 2.2 0.0 4.5 17.8

    2. Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kawasan

    Berdasarkan nilai ekonominya, produk pekarangan kawasan di ketiga kabupaten

    paling banyak menjadi tambahan pendapatan rumah tangga, kemudian penghematan, dan

    sisanya untuk kepedulian sosial (Tabel 8). Produktivitas pekarangan kawasan yang paling

    baik secara nilai ekonomi yaitu sampel di Kabupaten Bogor yang dapat menghasilkan Rp

    15 809 per m

    2

    per tahun. Nilai tersebut dengan asumsi biaya pemeliharaan pekarangandiabaikan karena menggunakan pupuk organik yang dibuat oleh KWT, dan perlindungan

    tanaman dengan tanpa obat kimia buatan. Rendahnya nilai produktivitas disebabkan oleh

    beberapa faktor, yaitu pemanfaatan lahan yang belum optimalkan untuk tempat pertanian

    dan pemeliharaan komoditas pekarangan yang kurang intensif. Selain itu, komoditas yang

    dibudidayakan di pekarangan kawasan belum memperhatikan kebutuhan pasar, sehingga

    ada beberapa produk yang harga jualnya kurang menguntungkan. Jenis tanaman pertanian

    yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi

    tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu, dan bahkan pakan ternak (Thakur et

    al. 2005). Penjualan hasil panen menghasilkan kontribusi paling besar terhadap total nilai

    ekonomi produk pekarangan. Hasil analisis ekonomi di Kabupaten Bandung, Bogor, dan

    Cirebon, rata-rata lebih dari 70% nilai ekonomi produk pekarangan diperoleh dari

    penjualan produk. Penilaian ekonomi terhadap pangan untuk rumah tangga di Kabupaten

    Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 17%, 18%, dan 17% dari total nilai ekonomi produk

    pekarangan, dan sisanya merupakan nilai ekonomi dari produk yang dibagikan.

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    11/13

    11

    Tabel 8 Nilai ekonomi dan alokasi dari hasil panen produk pekarangan kawasan per tahun

    KabupatenPersentase nilai ekonomi per alokasi (%) Nilai produktivitas

    (Rp / m2/ tahun)Penghematan Kepedulian Pendapatan

    Bandung 17 12 68 11 105Bogor 18 5 77 15 809

    Cirebon 17 13 70 10 105

    Nilai ekonomi produk pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga paling

    banyak diperoleh dari jenis komoditas buah, sayur, ternak kecil, dan ikan. Hewan ternak

    besar seperti sapi dan kambing dipelihara di pekarangan untuk dijual kembali sebagai

    investasi. Jenis komoditas yang paling berkontribusi pada pendapatan rumah tangga yaitu

    hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan ikan. Secara total, jenis komoditas

    pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak

    besar, sayur, tanaman industri, dan sayur (Tabel 9).

    Tabel 9 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan dalam kawasan

    Kabupaten NilaiKelompok komoditas tanaman (%) Hewan ternak (%)

    obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan

    Bandung Penghematan 0.6 29.7 37.7 6.0 4.2 0.0 0.5 14.8 6.5

    Kepedulian 0.4 29.0 54.4 3.0 7.1 0.0 0.4 3.3 2.3

    Pendapatan 0.0 6.6 16.0 3.0 4.3 37.6 18.9 7.5 6.2

    Bogor Penghematan 1.4 37.1 16.2 13.5 2.6 0.0 0.0 13.2 16.0

    Kepedulian 1.1 27.1 17.4 20.2 13.5 0.0 0.0 8.3 12.4Pendapatan 0.0 0.3 5.1 5.0 0.9 0.0 71.7 5.0 12.0

    Cirebon Penghematan 1.5 5.4 65.4 2.4 0.0 0.0 0.0 16.2 9.1

    Kepedulian 0.2 5.4 80.7 5.9 0.0 0.0 0.0 3.5 4.3

    Pendapatan 0.0 17.9 53.8 0.6 0.0 2.7 0.0 8.5 16.4

    Simpulan

    Ketinggian lokasi sampel pekarangan kawasan bervariasi antara 5 835 mdpl, di

    mana tertinggi berada di Kabupaten Bandung sedangkan lokasi sampel terendah di

    Kabupaten Cirebon. Pekarangan sampel di Kabupaten Bandung mayoritas berukuran

    sedang (50%), sedangkan pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon berukuran sempit

    (67% dan 60%). Keberadaan tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe

    merah, dan jahe di pekarangan kawasan berkaitan dengan pelaksanaan program P2KP.

    Manajemen pekarangan kawasan mencakup sumberdaya manusia, distribusi bibit

    ke pekarangan, produksi pekarangan, dan juga pemasaran produk. Tingkat pendidikan

    52% responden adalah lulusan sekolah dasar, dan hanya 13.3% yang bekerja di bidang

    pertanian, sehingga belum terbiasa dengan aktivitas pertanian, maka KWT perlu dibantu

    oleh pendamping. Keberlanjutan pekarangan kawasan ditunjang oleh kebun bibit, namun

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    12/13

    12

    beberapa diantaranya sudah tidak berfungsi. Penjualan produk pekarangan dalam konteks

    pekarangan kawasan, lebih baik pemasaran secara kolektif. Responden yang mendukung

    wacana pemasaran produk secara kolektif dan dilakukan oleh koperasi sebanyak 70%,

    sehingga koperasi desa berpeluang besar untuk memasarkan produk pekarangan kawasan.

    Produktivitas pekarangan kawasan belum optimal, hanya 0.5 kg/m2/tahun untuk

    Kabupaten Bandung dan Bogor, sedangkan di Kabupaten Cirebon yaitu 0.6 kg/m2/tahun.

    Sebanyak 70% nilai ekonomi produk pekarangan berasal dari aktivitas penjualan. Jenis

    komoditas yang paling berkontribusi pada pendapatan rumah tangga yaitu hewan ternak

    besar, buah, tanaman industri, dan ikan. Produktivitas pekarangan kawasan yang terbaik

    secara nilai ekonomi yaitu sampel di Kabupaten Bogor yang menghasilkan Rp 15 809 per

    m2per tahun. Secara total, jenis komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi

    terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak besar, sayur, tanaman industri, dan sayur.

    Daftar Pustaka

    Adhawati SS. 1997.Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi di

    Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa[Tesis]. Makassar (ID): Program

    Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.

    Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekaranganand Its Changes in West

    Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate School of

    Natural Science and Technology, Okayama University.

    Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju

    Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan. Pemba-

    ngunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID): IPB Press.

    Arifin HS. 2013. Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro-Biodiversitas dalam

    Mendukung Penganekaragaman dan Ketahanan Pangan di Indonesia [Orasi

    Ilmiah Guru Besar IPB].Bogor (ID): IPB Press.

    Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998. Effects of Urbanization on the Performance of

    the Home Gardens in West Java, Indonesia. Journal JILA., Okayama(JP). Vol:

    61(4) p325-333.

  • 7/21/2019 The Management of Pekarangan Kampoong 2015 Rev 4 - InD

    13/13

    13

    Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap Agro-

    forestri. Bogor (ID): IPB Press.

    [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012. Pedoman Gerakan Percepatan Penganeka-

    ragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Jakarta (ID): Pusat Penganekaragaman

    Konsumsi dan Keamanan Pangan

    [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-

    Ekonomi IndonesiaAgustus 2014. Jakarta (ID): BPS.

    Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a Socio-

    Economic and Agro-Ecological Context. Stability of Tropical Rainforest Margins.

    Berlin (GB): Springer.

    Kumar BM, Nair PKR. 2004. The Enigma of Tropical Rainforest.Agrofor Syst J. No. 61:

    135-152.

    Moonen AC, Barberi P. 2008. Functional biodiversity: An agroecosystem approach.

    Elsevier AEE J. Vol 127 (2008): 7-21.

    Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi Kasus:

    Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor (ID): Jurnal Sosial Ekonomi

    Kehutanan 4(3):257-269.

    Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis

    Pertanian. Pambudy R, Dabukke FBM, editor. Bogor (ID): IPB Press.

    Thakur PS. Dult V, Shegal S, Kumar R. 2005. Diversification and Improving Productivity

    of Mountain Farming System through Agroforestry Practice in Nortwestern India.

    Conference Proceeding AFTA 2005: 1-7.