tesis

download tesis

of 67

description

hyperbilirubinemia

Transcript of tesis

  • 1HUBUNGAN ANTARA BAYI BERAT LAHIR RENDAHDENGAN KEJADIAN IKTERUS, HIPOGLIKEMI DANINFEKSI NEONATORUM DI RSUP NTB TAHUN 2012

    SINOPSIS TESIS

    Untuk Memenuhi PersyaratanMencapai Derajat S-2

    Oleh :Rosa Mutianingsih

    KEPADAPROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG2014

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dimulai sejak janin

    dalam kandungan dan sangat tergantung kepada kesehatan ibu termasuk

    kesehatan reproduksinya. Pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa

    ini masih diwarnai oleh rawannya derajat kesehatan ibu dan anak,

    terutama pada kelompok yang paling rawan yaitu ibu hamil, ibu bersalin

    dan bayi pada masa perintal. 1

    Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih

    rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun sebelum survei,

    angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000

    kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000

    kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat

    dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak

    dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. 2

    Penyebab langsung kematian bayi di Indonesia diantaranya

    disebabkan oleh Asfiksia (44-46%), infeksi ( 24 25 % ), BBLR (15

    20%), trauma persalinan (2 7% ), dan cacat bawaan ( 1-3 % ). 3

    Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012

    memperlihatkan angka kematian bayi di NTB 57 per 1.000 kelahiran

    hidup. Angka ini lebih dari angka nasional, sebab rata-rata secara

    nasional 34 kematian bayi. 2

    Jumlah kematian bayi di NTB mengalami penurunan dari tahun

    2008 sampai 2012. Tahun 2008 jumlah kematian bayi berada pada

    1

  • 2kisaran 1.383 kasus, tahun 2009 jumlah kematian bayi 1.218 kasus,

    tahun 2010 kematian bayi sejumlah 1.338 kasus, tahun 2011 jumlah

    kematian bayi yaitu kisaran 1.318 kasus sementara tahun 2012 kematian

    bayi menurun menjadi 1.058 kasus. 4

    Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2012

    angka kematian bayi sebanyak 1058 kasus, dimana yang menjadi

    penyebab kematian bayi secara langsung antara lain BBLR 47%, asfiksia

    20%, infeksi 5%, cacat bawaan 11%, dan lain-lain 17%. 4

    Berdasarkan data di RSUP NTB, diketahui data kasus neonatal di

    ruang NICU RSUP NTB sebagai berikut jumlah bayi yang masuk NICU

    tahun 2012 yaitu 2193 kasus diantaranya yang mengalami BBLR 26%,

    ikterus 9%, hipoglikemi 0,8% dan yang mengalami infeksi neonatorum

    1,8%. 5

    Kematian perinatal yang disebabkan oleh bayi BBLR 8 kali lebih

    besar dari bayi normal. Angka kematian sering disebabkan komplikasi

    neonatal seperti, asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intracranial,

    hipoglikemia, infeksi dan ikterus. BBLR dibagi menjadi 2 yaitu BBLR

    kurang bulan dan BBLR cukup bulan. BBLR kurang bulan atau prematur

    lebih mudah terkena komplikasi karena alat tubuh bayi prematur belum

    berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, bayi prematur mengalami

    lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus. Makin pendek masa

    kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam

    tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya komplikasi dan makin

    tingginya angka kematiannya. Sedangkan BBLR cukup bulan memiliki

    kemampuan untuk bertahan hidup lebih baik dari pada bayi prematur

    karena alat tubuh sudah terbentuk sempurna. Sehingga ada penurunan

    pada kematian bayi yang lahir setelah usia 36 minggu tanpa memandang

  • 3berat badan lahir bayi. Prognosis BBLR dengan berat lebih dari 1800

    gram (4 pon) lebih baik dari pada bayi dengan berat antara 1500 sampai

    1800 gram (3-4 pon). Mortalitas BBLR kurang dari 5% jika kehamilan

    berlangsung sampai usia 35 minggu dan berat janin lebih dari 2000 gram

    (4,5 pon). 6,7

    Masalah-masalah yang dapat terjadi pada bayi BBLR yang cukup

    bulan (aterm) yaitu asfiksia perinatal, hipoglikemia, polisitemia-

    hiperviskositas, hipotermi, dan dismorfologi. Sedangkan masalah-

    masalah yang lazim terjadi pada bayi BBLR kurang bulan (prematur) yaitu

    displasia bronkopulmorial, apnea, duktus arteriosus paten, bradikardi,

    hiperbilirubin, perdarahan subkutan, fungsi saluran pencernaan jelek,

    hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipotermia, perdarahan

    intraventrikular, hipotonia, hiponatremia, hipernatremia, dan

    hiperkalsemia. 7

    Bayi BBLR kurang bulan mengalami peningkatan risiko terhadap

    infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun, kemampuan

    untuk membentuk antibodi rusak dan sistem integumen rusak (kulit tipis

    dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur dan yang

    mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang

    lebih rendah sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi

    aterm normal selama periode segera setelah lahir dan bayi prematur

    memiliki respons hormon dan enzim yang imatur, dan hiperbilirubin

    disebabkan oleh faktor kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin

    indirek menjadi direk belum sempurna. Ikterus dapat diperberat oleh

    polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hiperbilirubin

    dapat menyebabkan kernikterus maka warna kulit bayi harus sering

  • 4dicatat dan bilirubin diperiksa, bila ikterus muncul dini atau lebih cepat

    bertambah coklat. 7,8

    Sedangkan pada bayi BBLR cukup bulan lebih rentan mengalami

    hipoglikemia karena cadangan glikogen telah ada pada awal trimester

    ketiga dan, akibat perubahan transpor nutrien melalui plasenta selama

    masa ini, bayi yang tumbuh secara asimetris mengalami penurunan

    cadangan glikogen pada hati dan otot skeletal. Otak bayi yang lebih besar

    proporsinya daripada masa tubuh dan kecendrungan terhadap polisitemia

    meningkatkan kebutuhan energi dan karena otak dan sel darah merah

    adalah pengguna glukosa obligatorik, faktor ini dapat meningkatkan

    kebutuhan glukosa. Dan bayi BBLR cukup bulan dapat mengalami

    hiperbilirubinemia disebabkan gangguan pertumbuhan hepar. 8

    Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di

    RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012 tentang Hubungan Antara

    Berat Bayi Lahir dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir, menyatakan

    bahwa dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai

    kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar

    bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%)

    mempunyai kadar bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar

    bilirubin tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir

    berhubungan dengan kadar bilirubin. Menurut penelitian Hany Aly, MD;

    dkk yang dilakukan di NICU the George Wash-ington University Hospital

    pada tahun januari 2001 sampai desember 2003 tentang infeksi aliran

    darah dapat dicegah pada bayi prematur. Menyatakan bahwa insiden

    terjadinya infeksi pada bayi berat badan lahir rendah yaitu 25,4 % dan

    pada bayi berat badan lahir sangat rendah yaitu 46,7% pada tahun 2001.

    Dan angka kejadian infeksi nosokomial menjadi menurun pada tahun

  • 52003 menjadi 2,2% pada bayi berat lahir rendah dan 5,6% pada bayi

    berat badan lahir sangat rendah karena menerapkan sistem pengobatan

    yang tertutup dan steril. Dan penelitian yang dilakukan oleh Abdelwaheb

    Mejri, dkk pada tahun 2010 tentang Hipoglykemi pada bayi baru lahir

    cukup bulan dengan berat badan dibawah persentil 10, menyatakan

    bahwa pada bayi yang berat lahir normal (2500 2900 gram) insiden

    terjadinya hipoglikemia adalah 22% dari 85 kasus dan pada bayi BBLR ( 1500 cm)

    f. Sebelumnya BBLR

    g. Penyakit kronis

    h. Faktor yang rnempengaruhi dan oksigenasi plasenta. penyakit

    jantung

    i. Penyakit ginjal

    j. Hipertensi / HDK / REB

    k. Merokok

    l. Kelainan eritrosit (sickle cell anemia / hemoglobinopathie)

    m. Penyakit paru-paru

    n. Penyakit collagen vaskuler DM (clas D,E,F,R)

    o. Lebih bulan

    p. Kehamilan multipel

    q. Anomali rahim

    r. Penyakit vaskuler ibu

    s. Antibodi anti fosfolipid

    2. Lesi plasenta

    a. Sekunder terhadap penyakit

    b. Kembar

    c. Malformasi

    d. Tumor

  • 13

    3. Faktor janin

    a. Konstitusi, normal ukuran bayi kecil genetik

    b. Chromosom abnormal

    c. Infeksi kongenital (TORCH)

    d. Rubela 60% bayi KMK

    e. CMV : 40% bayi KMK

    f. Malformasi

    g. Kembar

    4. Karakteristik/pemeriksaan Fisik

    a. Berat kurang dari 2500 gram

    b. Panjang kurang dari 45 cm

    c. Lingkar dada kurang dari 30 cm.

    d. Lingkar kepala kurang dari 33cm.

    e. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu

    f. Kepala relatif lebih besar

    g. Kulit tipis transparan, rambut lanugo banyak,lemak kulit kurang.

    h. Otot hipotonik lemah.

    i. Pernafasan tidak teratur dapat terjadi apnu atau gagal nafas.

    j. Ekstrimitas,: paha abduksi, sendi lutut atau kaki fleksi-lurus.

    k. Kepala mampu tegak.

    l. Pernafasan sekitar 45 sampai 50 kali per menit.

    m. Frekuwensi nadi 100-140 kali per menit.

    5. Patofisiologi Terjadinya BBLR

    BBLR merupakan keadaan dimana bayi baru lahir mengalami

    berat badan kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa

    faktor yaitu dari ibu dan janin sendiri seorang ibu yang memiliki

  • 14

    kelainan pada fungsi organ dan sistem peredaran darah akan

    menyebabkan sirkulasi ibu ke janin terganggu sehingga akan

    mengakibatkan pasokan nutrisi, volume darah dan cairan dari ibu

    kejanin akan sangat minim ini akan mengakibatkan pertumbuhan janin

    dalam rahim akan terganggu dengan demikian akan mengakibatkan

    berat badan bayi kurang dari normal.

    Faktor janin sangat mempengaruhi kemugkinan berat badan

    lahir bayi dimana jika ada gangguan pada fungsi plasenta, liquor amni,

    tali pusat dan fungsi organ tubuh janin akan mengakibatkan

    penerimaan terhadap kebutuhan yang diperoleh dari ibu tidak optimal

    sehingga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan organ

    menjadi terhambat yang akan mengakibatkan bayi lahir dengan berat

    badan rendah. selain itu juga bayi-bayi yang lahir pada usia kehamilan

    preterm juga akan lahir dengan berat badan rendah.

    6. Komplikasi BBLR

    Komplikasi lansung yang terjadi pada bayi berat lahir rendah

    antara lain: Hypotermia, hypoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit,

    hyperbilirubinemia (ikterus), sindrom gawat nafas, paten duktus

    arteriosus, infeksi, perdarahan intravaskuler, Apnea of prematury,

    anemia .11

    7. Diagnosa BBLR

    Diagnosa BBLR dengan menentukan usia kehamilan berdasarkan

    a. Perhitungan HPHT (hari pertama haid terakhir).

  • 15

    Untuk perhitungan HPHT harus ingat betul tanggal dari

    pertama menstruasi misalnya HPHTnya 1-4-2000, maka hari

    persangkaan lahirnya dapat dihitung dengan rumus

    HPHS : 1-04-2000 +7-3+1HPLB: 8-01-2001

    b. Maturitas fisik dan neurologis bayi paska natal dengan skor

    Dubowitz, Ballard maupun simplifed Dubowitz.

    Baik berdasarkan HPHT maupun skor Dubowitz dan

    modifikasinya. jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu (< 259

    hari) disebut bayi kurang bulan (BKB).Diagnosis BBLR, apabila BL

    (berat lahir) < 2500 gram / 2499 gram).

    8. Upaya Pencegahan

    a. Melakukan ANC yang baik

    b. Meningkatkan gizi masyarakat

    c. Tingkat penerimaan gerakan KB

    d. Anjurkan ibu untuk lebih banyak istirahat, bila kehamilan

    mendekati aterm atau istirahat baring bila terjadi keadaan yang

    menyimpang peraturan normal kehamilan.

    e. Tingkat kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat

    kepercayaan masyarakat.

    B. Ikterus Neonatorum

    1. Definisi

    Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain

    akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin

    dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan

  • 16

    terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliari, atau sistem

    hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin

    indirek (unconjugated) dan direk (conjugated).

    a. Ikterus Fisiologis

    Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam

    serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat

    dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian

    ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai

    puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk

    selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl

    antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini

    dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat

    hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan

    sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.

    Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum

    cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi

    aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya

    mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara

    hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu

    yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan

    mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar

    8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang

    ikterus ditemukan setelah hari ke-10.

    Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm,

    dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus

    berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium.

  • 17

    IkterusFisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:

    1) Timbul pada hari kedua ketiga

    2) Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi

    prematur

    3) Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg

    % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada

    kurang bulan

    4) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg %

    perhari

    5) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %

    6) Ikterushilang pada 10 hari pertama

    7) Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan

    kata lain tidak ditemukan dasar patologis.

    b. Ikterus Patologis

    Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting

    untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus

    patologis dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan

    oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang

    lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10

    mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya

    disebabkan oleh penyakit hemolitik.

    1) Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi

    patologik:

    2) Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

    3) Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau

    lebih setiap 24 jam

  • 18

    4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah,

    defisiensi G6PD, atau sepsis)

    5) Ikterus yang disertai oleh:

    6) Berat lahir 8 hari (pada

    NCB) atau >14 hari (pada NKB).

    c. Kernicterus

    Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu

    kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak

    terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus

    hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel

    IV.Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata

    berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus

    otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus.Bila berlanjut dapat

    terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai

    ketegangan otot.Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi,

    gangguan bicara dan retardasi mental.

    2. Metabolisme Bilirubin

  • 19

    Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :

    a. Produksi

    Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat

    degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial

    (RES).Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih

    tinggi dari pada bayi yang lebih tua.Satu gram hemoglobin dapat

    menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin

    yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi

    hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi

    larut dalam lemak.

    b. Transportasi

    Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim

    hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil

    bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke

    dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel, bilirubin

    akan terikat terutama pada ligandin, glutation S-transferase B) dan

    sebagian kecil pada(protein glutation S-transferase lain danprotein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari

    konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam

    hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di

    konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.

    c. Konjugasi

    Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi

    bilirubin diglukosonide.Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk

    monoglukoronide.Glukoronil transferase merubah bentuk

    monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu

  • 20

    uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang

    mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.

    Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran

    kanilikulus.Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen

    seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam

    empedu tanpa konjugasi.Misalnya isomer yang terjadi sesudah

    terapi sinar (isomer foto).

    d. Ekskresi

    Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang

    larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu

    kemudian ke usus.Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi;

    sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek

    dan direabsorpsi.Siklus ini disebut siklus enterohepatis.Pada

    neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,

    bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah

    bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan

    tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.

    e. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonates

    Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama

    besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari

    sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk

    mengkonjugasi.Dengan demikian hampir semua bilirubin pada

    janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke

    sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.Dalam keadaan

    fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi

    akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%.Hal ini menunjukkan

  • 21

    bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada

    masa neonatus.Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar

    ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan

    bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena

    fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam

    fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat

    kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan

    glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.

    Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada

    kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya

    kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar

    bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat

    berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat

    melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan

    kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar

    bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas

    maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai

    kadar albumin normal telah tercapai.

    Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin

  • 22

    3. Etiologi

    Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri

    ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar

    etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :

    a. Produksi yang berlebihan

    Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,

    misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas

    darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,

    piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

    b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

    Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan

    fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak

    terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar).

    Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang

    berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

    c. Gangguan transportasi

    Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian

    diangkat ke hepar.Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat

    dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.Defisiensi

    albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek

    yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

    d. Gangguan dalam ekskresi

    Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar

    atau diluar hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh

    kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi

    atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

  • 23

    Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.

    Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu,

    memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup

    berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi

    maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka

    terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan

    menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu

    dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan

    menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat,

    biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari. Penghentian

    menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan

    cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai

    timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti

    sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain

    dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari

    beberapa ibu mengandung 5 -diol dan asam lemak rantai

    panjang,, 2-pregnan-3 tak-teresterifikasi, yang secarakompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase,

    pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu

    yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin

    bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus

    dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang

    didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang

    diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan

    menyusu pada ibu.

  • 24

    4. Patofisiologi

    Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa

    keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat

    penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu

    berlebihan.Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan

    penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit

    janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya

    peningkatan sirkulasi enterohepatik.

    Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan

    peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar

    protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat

    oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan

    anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan

    kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar

    (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita

    gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau

    sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.

    Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan

    merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada

    bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut

    dalam lemak.Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel

    otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan

    yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.

    Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat

    tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari

    20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata

    tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung

  • 25

    pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah

    melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan

    imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan

    kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

    5. Manifestasi Klinis

    Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar

    matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin

    serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1

    mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL

    secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut

    Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-

    tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan

    lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.

    Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut

    disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

    Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.

    Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:

    1) Dehidrasi

    2) Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-

    muntah)

    3) Pucat

    4) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan

    golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan

    darah ekstravaskular.

    5) Trauma lahir

  • 26

    6) Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan

    tertutup lainnya.

    7) Pletorik (penumpukan darah)

    8) Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan

    memotong tali pusat, bayi KMK

    9) Letargik dan gejala sepsis lainnya

    10) Petekiae (bintik merah di kulit)

    11) Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau

    eritroblastosis

    12) Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)

    13) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital,

    penyakit hati

    14) Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)

    15) Omfalitis (peradangan umbilikus)

    16) Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)

    17) Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus

    koledokus)

    18) Feses dempul disertai urin warna coklat

    19) Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke

    bagian hepatologi.3

    Penentuan kadar bilirubin secara nonlab bisa dilakukan dengan cara

    Kramer sesuai gambar dan tabel berikut :4

  • 27

    Gambar 2.2. Pembagian ikterus menurut Kramer4

    Tabel 2.1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterusmenurut Kramer

    Daerah

    ikterus

    Penjelasan Kadar bilirubin

    (mg/dL)

    Prematur Aterm

    1

    2

    3

    4

    5

    Kepala dan leher

    Dada sampai pusat

    Pusat bagian bawah sampai lutut

    Lutut sampai pergelangan kaki dan

    bahu sampai pergelangan tangan

    Kaki dan tangan termasuk telapak kaki

    dan telapak tangan

    4 8

    5 12

    7 15

    9 18

    > 10

    4 8

    5 12

    8 16

    11 18

    > 15

  • 28

    6. Diagnosis

    a. Anamnesis

    Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya

    sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia

    pada bayi.Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat

    inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar

    pada bayi sebelumnya.Disamping itu faktor risiko kehamilan dan

    persalinan juga berperan dalam diagnosis dini

    ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara

    lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan

    tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama

    hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin,

    malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.

    b. Pemeriksaan Fisik

    Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi,

    namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat.Pemeriksaan

    ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya

    bias penilaian.Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak

    direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat

    masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan

    skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana

    lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara

    menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

    1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di

    siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa

  • 29

    terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan

    dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

    2) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk

    mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

    3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan

    bagian tubuh yang tampak kuning.

    Tabel 2.2.Klasifikasi Ikterus

    Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi

    Mulai kapan ikterus?

    Daerah mana yang ikterus?

    Bayinya kurang bulan?

    Warna tinja?

    Ikterus segera setelah lahir

    Ikterus pada 2 hari pertama

    Ikterus pada usia > 14 hari

    Ikterus lutut/ siku/ lebih

    Bayi kurang bulan

    Tinja pucat

    Bilirubin total > 15 mg/dL

    Ikterus patologis

    Ikterus usia 3-13 hari

    Tanda patologis (-)

    Bilirubin total 13 15 mg/dL

    Ikterus fisiologis

    Tidak ikterus

    Bilirubin total 1 12 mg/dL

    Normal

    (Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan IkterusPatologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu BayiMuda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan danDokter. Depkes RI, 2001)

    Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera

    setelah lahir atau beberapa hari kemudian.Ikterus yang tampak

    pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri.Pada

  • 30

    bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna

    kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan

    gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak

    kehijauan.Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus

    berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis

    karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit

    lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain

    kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal

    misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain

    yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie,

    pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas,

    gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya

    ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.

    c. Pendekatan Menentukan Kemungkinan Penyebab

    Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan

    membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga

    dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan

    penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu

    yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang

    dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :

    1) Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

    Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut

    besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :

    a) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

  • 31

    b) Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan

    kadang-kadang bakteri).

    c) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.

    Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :

    a) Kadar bilirubin serum berkala

    b) Darah tepi lengkap

    c) Golongan darah ibu dan bayi

    d) Uji coombs

    e) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan

    darah atau biopsi hepar bila perlu.

    2) Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir

    a) Biasanya ikterus fisiologis

    b) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau

    Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau

    peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5

    mg%/24 jam.

    c) Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin

    d) Polisitemia

    e) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan

    subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-

    lain).

    f) Hipoksia.

    g) Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.

    h) Dehidrasi asidosis.

    i) Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

  • 32

    Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah bila keadaan bayi

    baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan

    pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,

    pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan

    lainnya bila perlu.

    3) Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir

    minggu pertama

    a) Biasanya karena infeksi (sepsis).

    b) Dehidrasi asidosis.

    c) Difisiensi enzim G-6-PD.

    d) Pengaruh obat.

    e) Sindrom Criggler-Najjar.

    f) Sindrom Gilbert.

    4) Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan

    selanjutnya

    a) Biasanya karena obstruksi.

    b) Hipotiroidisme.

    c) breast milk jaundice

    d) Infeksi.

    e) Neonatal hepatitis.

    f) Galaktosemia.

    g) Lain-lain.

    Pemeriksaan yang perlu dilakukan :

    a) Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.

    b) Pemeriksaan darah tepi.

    c) Pemeriksaan penyaring G-6-PD.

  • 33

    d) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.

    e) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan

    penyebab.

    7. Penatalaksanaan

    Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi;

    pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.

    Strategi pencegahan hiperbirubinemia

    1) Pencegahan primer

    a) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12

    kali per hari untuk beberapa hari pertama.

    b) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti

    dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak

    mengalami dehidrasi.

    2) Pencegahan sekunder

    a) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan

    rhesus serta penyaringanserum untuk antibodi isoimun yang

    tidak biasa.

    i. Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, di

    lakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs),

    golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi.

    ii. Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan

    untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada

    darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jikan

    dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko

    sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.

  • 34

    b) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor

    terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap

    penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital

    bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

    3) Evaluasi laboratorium

    a) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi

    yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.

    b) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus

    yang berlebihan.

    c) Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan

    umur bayi dalam jam.

    4) Penyebab kuning

    a) Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugas

    i harus dilakukan analisis dan kultur urin

    b) Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu

    harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk

    mengidentifikasi adanya kolestatis.

    c) Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan

    evaluasi tambahan mencari penyebab kolestatis.

    d) Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi

    ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga

    atau asal geografis yang menunjukkan kecenderungan

    defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi

    buruk.

  • 35

    5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan

    Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya

    hiperbilirubinemia berat.

    6) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI

    a) Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk meran

    gsang pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam

    b) Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.

    Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif

    dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi

    yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.

    c) Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula

    pengganti.

    d) Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan de

    ngan pola menyusui

    e) Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberia

    n minum, rangsang pengeluaran atau produksi ASI dengan

    cara memompa, dan menggunakan protokol penggunaan

    fototerapi yang dikeluarkan AAP.

    f) Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan

    dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui

    sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap

    lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu

    memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

    a. Mengatasi hiperbilirubinemia (farmakologi)

    Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan

    pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai enzyme

    inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan

  • 36

    dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48

    jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih

    bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum

    melahirkan.

    Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi

    atau konjugasi.Contohnya yaitu pemberian albumin untuk

    mengikat bilirubin yang bebas.Albumin dapat diganti dengan

    plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya

    diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin

    akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke

    vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah

    dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu

    untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

    Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi.

    Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan

    cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada

    proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra

    dan pasca-tranfusi tukar.

    b. Fototerapi

    Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali

    diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu

    rumah sakit di Inggris.Perawat Ward melihat bahwa bayi bayi

    yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata

    ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi bayi

    lainnya.Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut

    mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar

    terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti

  • 37

    bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lamputertentu

    juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin

    pada bayi bayi prematur lainnya.

    Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di

    dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus menjadi

    isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa

    metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti

    bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat

    perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan

    foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul

    obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama

    dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

    C. Hipoglikemia

    1. Pengertian

    Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar gula

    darah kurang dari 45mg/dL (2,6 mmol/L). 12

    Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab

    yang sangat luas, sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa

    plasma yang akhirnya menyebabkan neuroglikopenia. 13

    2. Insiden

    Insiden hipoglikemia bervariasi menurut definisi, populasi,

    metode dan waktu pemberian makan, dan tipe pemeriksaan glukosa

    (kadar dalam serumlebih tinggi daripada kadar dalam darah lengkap).

    Pemberian makan lebih awal menurunkan insiden.Sedangkan

    prematuritas, hipotermia, hipoksia, diabetes ibu, infus glukosa pada ibu

    dalam persalinan dan retardasi pertumbuhan intrauteri menambah

  • 38

    insiden hipoglikemia. Pada bayi cukup bulan yang sehat kadar glukosa

    serumnya jarang kurang dari 35 mg/dL (1,9 mmol/L) antara usia 1-3

    jam dan kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dari usia 3 samapi 24 jam

    dan kurang dari 45 mg/dL (2,5 mmol/L) sesudah 24 jam. Bayi prematur

    maupun bayi cukup bulan mempunyai resiko yang sama untuk

    mengalami defisit perkembangan saraf yang serius karena kadar

    glukosa yang rendah. Risiko ini terkait dengan berat dan lama

    hipoglikemia.6

    3. Patofisiologi

    Empat kelompok patofisiologi bayi neonatus yang berisiko tinggi untuk

    hipoglikemia:

    a. Bayi-bayi dari ibu yang menderita diabetes melitus atau diabetes

    selama kehamilan, bayi dengan eritroblastosis foetalis berat,

    imsulinoma, nesidioblastosis sel , hiperplasia sel fungsional,

    muatasi gen reseptor sulfonilurea, sindrom Beckwith dan

    panhipopituitarisme yang tampaknya menderita hiperinsulinisme.

    b. Bayi-bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterin atau bayi-bayi

    preterm mungkin mengalami malnutrisi intrauteri sehingga

    mengakibatkan penurunan penyimpanan glikogen hati dan lemak

    tubuh total, bayi kembar discordant yang lebih kecil (terutama jika

    discordant 25% atau lebih dengan berat badan kurang dari 2 kg),

    bayi polisitemia, bayi dari ibu toksemia, dan bayi dengan kelainan

    plasenta adalah yang terutama rentan hipoglikemia (faktor-faktor

    lain yang menimbulkan hipoglikemia pada kelompok ini meliputi

    glukoneogenesis terganggu, berkurangnya oksidasi asam lemak

    bebas, kecepatan produksi kortisol rendah dan kemungkinan

  • 39

    kenaikan kadar insulin danpenurunan curah epineprin dalam

    responnya terhadap hipoglikemia).

    c. Bayi yang amat imatur atau sakit berat dapat menderita

    hipoglikemia karena kenaikan kebutuhan matebolik yang tidak

    seimbang dalam menyimpan substrat dan kalori yang tersedia,

    bayi dengan berat badanlahir rendah yang menderita sindrom

    kegawatan pernafasan, asfiksia perinatal, polisitemia, hipotermi

    dan infeksi sistemik, juga bayi gagal jantung dengan penyakit

    jantung kongenital sianosis, berada pada resiko tinggi. Infus intra

    vena yang terganggu, terutama pada mereka yang kadar

    glukosanya tinggi, juga dapat mengakibatkan terjadinya

    hipoglikemia yang sangat cepat.

    d. Kadang-kadang bayi dengan metabolik genetik atau primer, seperti

    galaktosemia, penyakit penyimpanan glikogen, intoletansi fruktosa,

    asidemia propionat, asidemia metilmalonat, tirosinemia, penyakit

    urin sirup maple, dan defisiensi asetil-CoA dehidrogenase rantai-

    panjang atau medium juga mungkin terjadi.6

    4. Klasifikasi

    Klasifikasi hipoglikemi menurut kadar glukosa dalam darah:

    a. Kadar glukosa < 25 mg/dL

    b. Kadar glukosa 25 45 mg/dL

    c. Kadar glukosa > 45 mg/dL17

    5. Manifestasi klinis

    Berbeda dengan kekerapan terjadinya hipoglikemia, insiden

    hipoglikemia simtopatik paling tinggi pada bayi kecil menurut umur

    kehamilan.Bayi ini biasanya dimasukkan dalam kategori 2 atau 3 dan

    kelompok patofisiologi dan beberapa diantara dianggap menderita

  • 40

    hipoglikemia neonatus idiopatik simtomatik yang sementara. Karena

    banyak dari gejala tersebut juga terjadi bersamaan dengan keadaan

    lain seperti infeksi terutama sepsis dan meningitis, anomali sistem

    saraf sentral, perdarahan atau edema, hipokalsemia atau

    hipomagnesemia, asfiksia, gejala putus obat, apne prematur, penyakit

    jantung kongenital, atau polisitemia dan karena beberapa keadaan

    tersebut dapat ditemukan pada bayi sehat normoglikema, insiden

    hipoglikemia yang pasti sukar ditegakkan. Hipoglikemia ini mungkin

    bervariasi antara 1 3 per 1.000 kelahiran hidup dan mengenai

    sekitaran 5-15% bayi mengalami retardasi pertumbuhan. Karena

    manifestasi klinis ini dapat disebabkan oleh berbagai penyebab maka

    penting untuk mengukur glukosa serum dan menentukan apakah

    hipoglikemia menghilang dengan pemberian glukosa yang cukup untuk

    menaikkan kadar gula darah menjadi normal, jika tidak, diagnosa lain

    harus dipikirkan.6

    6. Pengobatan

    Bila tidak ada serangan kejang, bolus glukosa 10% intravena

    200mg/kg (2mL/kg) efektif untuk menaikkan kadar glukosa darah. Bila

    kejang, 4 Ml/kg injeksi bolusglukosa 10% terintegrasi.

    Pasca terapi pertama harus diberi infus glukosa 8

    mg/kg/menit.Jika hipoglikemia terjadi lagi, kecepatan infus harus

    ditambah sampai menggunakan glukosa 15-20%. Jika infus glukosa

    20% intravena tidak cukup untuk melenyapkan gejala dan

    mempertahankan kadar glukosa serum normal, hidrokortison (2,5

    mg/kg/6 jam) atau prednison (1 mg/kg/24 jam) harus diberikan.

    Glukosa serum harus diukur setiap 2 jam setelah terapi dimulai sampai

    beberapa pengukuran berada diatas 40 mg/dL. Selanjutnya, kadar

  • 41

    harus diperiksa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap

    dikurangi dan akhirnya dihentikan bila glukosa serum telah berada

    pada kisaran normal dan bayi tidak menampakkan gejala selama 24-

    48 jam.8

    Bila kadar glukosa dalam darah mencapai > 45 mg/dL tindakan

    yang dilakukan yaitu ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah

    infus diturunkan secara perlahan, jangan hentikan infus secara tiba-

    tiba dan periksa kadar glukosa tiap 12 jam. Bila bayi sudah tidk

    mendapatkan infus, periksa kadar glukosa setiap 12 jam, bila 2 kali

    pemeriksaan dalambatas normal, pengukuran dihentikan. 17

    7. Prognosis

    Hipoglikemia kambuh pada 10-15% bayi sesudah pengobatan

    adekuat. Beberapa bayi telah dilaporkan selambatnya timbul pada usia

    8 bulan. Kumat lebih sering terjadi jika cairan intavena keluar dari

    pembuluh darah atau jika cairan dihentikan terlalu cepat sebelum

    makanan oral ditoleransi dengan baik.Anak yang kemudian hari

    menderita hipoglikemia ketotik mengalami peningkatan insiden

    hipoglikemi neonatus.Prognosis untuk fungsi intelektual yang normal

    harus ditentukan dengan hati-hati, karena hipoglikemia yang lama dan

    berat dapat disertai dengan sekuele neurologis.Bayi hipoglikemi yang

    simtomatik, terutama bayi dengan berat badan lahir rendah danyi dari

    ibu diabetes, mempunyai prognosis lebih jelek untuk kelanjutan

    perkembangan intelektual yang normal daripada prognosis bayi yang

    asimtomatik.

  • 42

    D. Infeksi Neonatorum

    1. Pengertian

    Infeksi neonatal merupakan sindrom klinis dari penyakit sistemik akibat

    infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur dan

    protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir.12

    Sepsis neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah

    bayi selama empat minggu pertama kelahiran. 7

    2. Patofisiologi

    Infeksi dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.

    Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi

    miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen,

    terhambatnya fungsi mitokondria dan kekacauan metabolik yang

    progresif. Pada infeksi yang tiba-tiba dan hebat, complement cascade

    menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah

    penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang

    mengakibatkan disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan

    kematian.7

    Infeksi organisme akan melepaskan toksin mikrobial yang merangsang

    suatu kompleks kaskade untuk menimbulkan respon

    inflamasisistemik.28Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif

    dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari

    dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting

    pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting

    dalam menginduksi sepsis.Lipopolisakarida mengikat protein spesifik

    dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).Selanjutnya

  • 43

    kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada

    membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-

    like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga

    terjadi aktivasi makrofag.Bakteri gram positif dapat menimbulkan

    sepsis melalui dua mekanisme, yakni dengan menghasilkan

    eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen danmelepaskan

    fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.Superantigen

    mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin

    proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif

    yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan

    merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama

    dengan bakteri gram negatif.28-30 31

    Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang

    imulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis .Mediator inflamasi

    primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan

    mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan

    komplemenSitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi

    organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator

    sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor

    (PAF), prostaglandin), dan komplemen.33

    Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

    selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan

    mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.13

    Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada

    permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang

    mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan

    gangguan fibrinolisis.Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah

  • 44

    reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul

    antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan

    vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.

    3. Klasifikasi

    Klasifikasi infeksi

    a. Infeksi berat bila kadar leukosit kurang dari 5.000 L

    b. Infeksi ringan bila kadar leukosit lebih dari 20.000 L18

    4. Kerentanan terhadap infeksi

    Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih besar dan dewasa,

    tanggap imun bayi baru lahir rendah dan cenderung memiliki insiden

    infeksi yang lebih tinggi.Bayi prematur bahkan lebih rentan karena bayi

    ini memiliki mekanisme pertahanan yang kurang terbentuk dengan

    baik (pemindahan IgG terutama terjadi setelah 32 minggu gestasi),

    dan lebih cenderung mengalami prosedur invasif.Imunokompetensi

    penuh memerlukan respons imun bawaan dan di dapat.

    Imunitas bawaan.Respons bawaan (alami) tidak emerlukan pemajanan

    sebelumnya terhadap mikroorganisme dan bekerja sebagai

    pertahanan kini pertama terhadap infeksi.Respons ini meliputi kulit

    utuh, membran mukosa dan asam lambung, serta enzim pencernaan.

    Namun, segera setelah lahir,kulit menjadi lebih mudah teriritasi dan

    rusak, serta usus bayi tidak segera terkolonisasi dengan flora protektif

    normal.

    Imunitas didapat.Respons didapat (imun spesifik) terbentuk dan

    meningkat seiring dengan pemajanan yang terus menerus terhadap

    patogen atau organisme.Pada saat lahir, bayi memiliki beberapa

    proteksi imun dari ibu, tetapi kekurangan imunolgobulin. Pemajanan

  • 45

    dan pemindahan igG maternal melintasi plasenta membatasi kadar

    antibodi dansampai derjat tertentu, respon imun ini akan secara aktif di

    dapat setelah lahir. Menyusu meningkatkan proteksi imun bayi melalui

    transmisi sekresi IgA dalam ASI. Selama beberapa minggu awal

    kehidupan,bayi juga mengalami defisiansi kuantitas dak kualitas

    neutrofil (askin 1995, Lowson 2001, Yancey et al 1996).

    5. Faktor Penyebab Infeksi Neonatorum

    c. Ada beraneka ragam penularan agen penyebab infeksi dari ibu ke

    janin atau ke bayi baru lahir. Penyebaran hematogen

    transplasenta dapat terjadi pada begrbagai waktu selama

    kehamilan. Manifestasi infeksi kongenital dapat tampak pada saat

    lahir atau terlambat selama beberapa bulan bahkan beberapa

    tahun. Penularan infeksi secara vertikal dapat terjadi selama di

    dalam uterus, tepat sebelum kelahiran, atau selama proses

    kelahiran. Setelah dilahirkan, bayi baru lahir dapat terpapar

    penyakit infeksi dalam ruang perawatan atau dipermukiman.

    Sehubungan dengan semakin kompleksnya perawatan intensif

    neonatus, bayi baru lahir kurang bulan dan yang lahir dengan

    berat badan kurang akan dapat tetap hidup dan dapat bertahan

    lebih lama dalam lingkungan dengan risiko infeksi lebih tinggi.

    d. Bayi baru lahir mungkin kurang mampu berespon terhadap infeksi,

    karena penderita defisiensi satau atau lebih faktor imunologis yang

    melibatkan sistem retikuloendotelial, komplemen, leukosit

    polimorfonuklear, sitokin, antibodi atau imunitas seluler.

    e. Penyakit penyerta pada bayi baru lahir sering mempersulit

    diagnosis dan penatalaksanaan infeksi neonatus. Gangguan

  • 46

    respirasi seperti penyakit membran hialindapat menyertai

    pneumonia bakteri. Asidosis mengganggu fungsi leukosit

    polimorfonuklear.

    f. Manifestasi infeksi pada bayi baru lahir sangat beragam. Dapat

    saja terjadi infeksi subklinis, malformasi kongenital, penyakit

    setempat dan infeksi sistemik parah yang bersifat lokal. Lamanya

    pemaparan dalam uterus, besarnya inokulum, status imun, dan

    agen etiologi mempengaruhi ekspresi penyakit pada janin atau

    bayi baru lahir. 8

    (Nelson, 2011)

    6. Penatalaksanaan

    a. Pencegahan infeksi pada bayi baru lahir

    Strategi kebidanan berdasarkan bukti lain yang membantu

    mengurangi infeksi di semua lingkungan meliputi :

    1) Mendorong dan membantu wanita saat menyusui sehingga

    meningkatkan proteksi imun bayi

    2) Melarang pengunjung yang menderita infeksi atau yang

    telah terpajan penyakit menular

    3) Menghindari setiap iritasi atau trauma di kulit dan membran

    mukosa bayi.

    4) Diagnosis dini dan terapi infeksi

    5) Penyuluhan kesehatan yang berkelanjutan untuk

    memastikan praktik pengendalian infeksi berdasarkan bukti.

    Di rumah sakit, praktik ini meliputi (Bott 1999, Lawson 2001, Senior

    2001)

    1) Rawat gabung bayi dengan ibu

  • 47

    2) Memberi jarak pelbet yang memadai jika bayi di ruang

    perawatan

    3) Selalu menggunakan peralatan tersendiri untuk setiap bayi

    4) Isolasi bayi yang terinfeksi jika mutlak diperlukan.

    b. Diagnosis

    Faktor risiko individu terhadap infeksi. Hal ini meliputi :

    1) Riwayat pecah ketuban lama pada maternal

    2) Korioamnionitis

    3) Demam selama persalinan

    4) Cairan amniotik bau

    Pengkajian fisik. Pengkajian dapat meliputi pengamatan berikut :

    1) Ketidaksatbilan suhu

    2) Letargi atau tidak mau menyusu, dehidrasi, kelaparan,

    hiptermi, asidosis atau hipoksia

    3) Bradikardia atau takikardia dan adanya spasme

    4) Haluaran urine dan feses dan adanya muntah

    5) Tanda-tanda sistem saraf pusat yang memerlukan

    pemeriksaan neurodevelopmental lengkap.

    Pemeriksaan. Hal ini meliputi:

    1) Hitung sel darah merah

    2) Uji spesimen urin dan mekonium untuk organisme spesifik

    3) Apusan hidung, tenggorokan dan umbilikus, serta dari ruam

    kulit, pustula atau vesikel untuk uji organisme spesifik.

    4) MRI,CT scan dan sina-X dada

  • 48

    5) Fungsi lumbal untuk memungkinkan

    6) pemeriksaan CSS

    7) Uji cairan amniotik, jaringan plasenta dan datah tali pusat

    untuk organisme spesifik.

    c. Terapi

    Keseluruhan tujuan penatalaksanaan adalah memberikan terapi

    yang tepat danefektif yang mengurangi risiko sptikemia dan syok

    septik yang mengancam nyawa pada kelompok rentan ini.

    Penatalaksanaan yang baik meliputi (Askin 1995, Wrigt Lott et al

    1994):

    1) Merawat bayi di lingkungan termonetral yang hangat dan

    mengamati ketidakstabilan suhu.

    2) Hidrasi yang baik dan koreksi ketidak seimbangan elektrolit,

    dengan pemenuhan kebutuhan menyusu jika mungkin dan

    cairan intravena jika diperlukan

    3) Antibiotik sistematik yang diberikan secara cepat atau terapi

    obat lain dan terapi lokal infeksi

    4) Memantau secara terus menerus status neurobehavioural

    bayi

    5) Mengurangi pemisahan ibu dan bayi, jika bayi perlu masuk

    unit perawatan intensif neonatus, bidan harus

    menganjurkan orang tua untuk berada bersama dengan

    bayinya

    6) Memberikan informasi berdasarkan bukti, dukungan dan

    penenangan untuk orang tua

  • 49

    7) Mendorong untuk menyusui atau memeras ASI, dan

    menginformasikan pada wanita mengenai pentingnya peran

    ASI dalam melawan ASI dalam melawan infeksi.

    E. Hubungan antara bayi BBLR dengan kejadian ikterus, hipoglikemi dan

    infeksi neonatorum

    1. Hubungan BBLR dengan ikterus

    Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa

    keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat

    penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan.Hal

    ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,

    polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya

    bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi

    enterohepatik.

    Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan

    peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar

    protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat

    oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan

    anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan

    kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar

    (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita

    gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau

    sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.

    Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak

    jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek

    yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.Sifat

    ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila

    bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi

  • 50

    pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada

    umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut

    mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.

    Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya

    tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada

    keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar

    daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir

    rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf

    pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

    2. Hubungan BBLR dengan hipoglikemia

    Insiden hipoglikemia bervariasi menurut definisi, populasi, metode dan

    waktu pemberian makan, dan tipe pemeriksaan glukosa (kadar dalam

    serumlebih tinggi daripada kadar dalam darah lengkap). Pemberian

    makan lebih awal menurunkan insiden.Sedangkan prematuritas,

    hipotermia, hipoksia, diabetes ibu, infus glukosa pada ibu dalam

    persalinan dan retardasi pertumbuhan intrauteri menambah insiden

    hipoglikemia. Pada bayi cukup bulan yang sehat kadar glukosa

    serumnya jarang kurang dari 35 mg/dL (1,9 mmol/L) antara usia 1-3

    jam dan kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dari usia 3 samapi 24 jam

    dan kurang dari 45 mg/dL (2,5 mmol/L) sesudah 24 jam. Bayi prematur

    maupun bayi cukup bulan mempunyai resiko yang sama untuk

    mengalami defisit perkembangan saraf yang serius karena kadar

    glukosa yang rendah. Risiko ini terkait dengan berat dan lama

    hipoglikemia

    3. Hubungan BBLR dengan infeksi neonatorum

    Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih besar dan dewasa,

    tanggap imun bayi baru lahir rendah dan cenderung memiliki insiden

  • 51

    infeksi yang lebih tinggi.Bayi prematur bahkan lebih rentan karena bayi

    ini memiliki mekanisme pertahanan yang kurang terbentuk dengan baik

    (pemindahan IgG terutama terjadi setelah 32 minggu gestasi), dan lebih

    cenderung mengalami prosedur invasif.Imunokompetensi penuh

    memerlukan respons imun bawaan dan di dapat.

    Imunitas bawaan.Respons bawaan (alami) tidak emerlukan pemajanan

    sebelumnya terhadap mikroorganisme dan bekerja sebagai pertahanan

    kini pertama terhadap infeksi.Respons ini meliputi kulit utuh, membran

    mukosa dan asam lambung, serta enzim pencernaan. Namun, segera

    setelah lahir,kulit menjadi lebih mudah teriritasi dan rusak, serta usus

    bayi tidak segera terkolonisasi dengan flora protektif normal.

    Imunitas didapat.Respons didapat (imun spesifik) terbentuk dan

    meningkat seiring dengan pemajanan yang terus menerus terhadap

    patogen atau organisme.Pada saat lahir, bayi memiliki beberapa

    proteksi imun dari ibu, tetapi kekurangan imunolgobulin. Pemajanan

    dan pemindahan igG maternal melintasi plasenta membatasi kadar

    antibodi dansampai derjat tertentu, repons imun ini akan secara aktif di

    dapat setelah lahir. Menyusu meningkatkan proteksi imun bayi melalui

    transmisi sekresi IgA dalam ASI. Selama beberapa minggu awal

    kehidupan,bayi juga mengalami defisiansi kuantitas dak kualitas

    neutrofil (askin 1995, Lowson 2001, Yancey et al 1996)

  • 52

    F. Kerangka Teori

    Gambar 2.3 Kerangka Teori.11

    FAKTOR PREDISPOSISI:

    1. Status sosial ekonomi.2. Ras.3. Umur ibu.4. Aktifitas ibu5. Penyakit kronis/Akut6. Paritas.7. Riwayat Persalinan.8. Faktor-Faktor

    Kebidanan.9. Faktor Janin.10. Umur kehamilan

    BBLRR

    KOMPLIKASI:

    1. Hypotermia2. Hypoglikemi3. Gangguan cairan

    dan Elektrolit4. Ikterus Neonatoru5. Syndrom Gawat

    nafas.6. Paten Duktus

    Arteriosus.7. Infeksi, perdarahan

    dan Anemia

  • 53

    BAB III

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kerangka Konsep

    Keterangan :

    : Diteliti

    Gambar 3.1 Kerangka Konsep.11

    Bayi berat lahir rendah (BBLR) Ikterus neonatorum

    Hipoglikemi

    Infeksi neonatorum

    53

  • 54

    B. Hipotesis

    1. Ada hubungan antara berat bayi lahir rendah dengan kejadian

    ikterus neonatorum

    2. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian

    hipoglikemi

    3. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian

    infeksi neonatorum.

    4. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian

    ikterus neonatorum

    5. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian

    hipoglikemi

    6. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian

    infeksi neonatorum

    7. Ada pengaruh antara berat badan lahir rendah dengan kejadian

    ikterus neonatorum

    8. Ada pengaruh antara berat badan lahir rendah dengan kejadian

    infeksi neonatorum

  • 55

    BAB IV

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Ruang Lingkup Penelitian

    1. Waktu

    Penelitian akan dilaksanakan pada tahun 2015

    2. Tempat

    Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa

    Tenggara Barat di Ruang Rekam Medik, penelitian lokasi tersebut

    dengan alasan :

    a. Tersedianya data ibu yang mengalami BBLR yaitu sebanyak 573

    kasus, ikterus sebanyak 199 kasus, hipoglikemi sebanyak 17

    kasus, infeksi neonatorum sebanyak 39 kasus dan jumlah bayi

    yang masuk di ruang NICU sebanyak 2193 kasus di RSUP NTB

    (tahun 2012).

    b. Merupakan rumah sakit Rujukan dan pendidikan.

    B. Rancangan Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan observasional analitik karena peneliti

    hanya mengobservasi tanpa melakukan perlakuan terhadap obyek

    yang akan diteliti.15

    2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data

    Berdasarkan waktu pengumpulan data pada penelitian ini

    bersifat cross sectional dimana pengambilan data untuk variabel

    57

  • 56

    dependen dan independen dilakukan secara bersamaan dalam satu

    waktu.15

    3. Metode Pengumpulan Data

    Cara pengumpulan data yaitu secara kuantitatif dengan

    melakukan penelusuran dibuku register dan format rekam medik

    pasien periode Januari sampai Desember 2012.

    4. Populasi Penelitian

    Adapun populasi pada penelitian ini adalah semua bayi berat

    lahir rendah yang di rawat di Ruang NICU RSUP NTB periode

    Januari sampai dengan Desember 2012 yaitu sebanyak 2193 kasus.

    5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian

    Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek

    yang akan diteliti dan dianggap mewakili populasi.19

    Sampel dalam penelitian ini adalah semua BBLR yang sesuai

    dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang pernah dirawat di Ruang

    NICU RSUP NTB periode Januari sampai dengan Desember 2012

    yaitu sebanyak 167 kasus dan kontrol sejumlah 167 kasus.

    a. Kriteria Sampel

    1) Kriteria Inklusi

    Merupakan penentuan sampel yang didasarkan atas

    karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target

    yang terjangkau yang akan diteliti. 27

    a) Bayi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu dan lebih

    dari 37 minggu

    b) Bayi yang mengalami ikterus

    c) Bayi yang mengalami hipoglikemia

    d) Bayi yang mengalami infeksi neonatorum

  • 57

    2) Kriteria Eksklusi

    Merupakan kriteria untuk menghilangkan/mengeluarkan

    subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi. 27

    a) Bayi dengan kelainan kongenital

    b) Bayi kembar

    c) Rekam medik yang datanya tidak lengkap

    b. Cara Pengambilan Sampel

    1) Kelompok Kasus

    Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini

    adalah dengan mengunakan total sampling yaitu dengan

    menggunakan sebagian populasi yang sesuai dengan kriteria

    inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sebagai sampel sejumlah

    167 kasus.15

    6. Variabel Penelitian

    Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat

    atau ukuran yang dimiliki atau ukuran yang didapatkan oleh satuan

    penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu.15

    Pada penelitian ini menggunakan 2 variabel (Bivariat) yaitu:

    a. Variabel independen adalah variabel bebas, sebab atau yang

    mempengaruhi. Dalam penelitian ini variabel independen adalah

    Bayi Berat Lahir Rendah

    b. Variabel dependen adalah variabel yang tergantung, akibat,

    terpengaruh atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel

    independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

    ikterus, hipoglikemi dan infeksi neonatorum.

  • 58

    7. Definisi Operasional

    Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    Tabel 3.1 Definisi Operasional

    Variabel DefinisiOperasional

    CaraUkur

    AlatUkur

    Hasil Ukur/Kategori

    SkalaUkur

    Bayi beratlahir rendah(BBLR)

    Bayi lahir denganberat badankurang dari atausama dengan2500 gr. Dibagimenjadi 2 yaituBBLR denganmasa gestasi 20.000 L

    Registerdanrekammedik

    Form/statuspasien

    1. WBC>25.000 Latau WBC< 5.000 L

    2. WBC5.000-25.000 L

    Interval

    8. Intrumen Penelitian Dan Cara Penelitian

    a. Instrumen Penelitian

    Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah

    Data rekam medik BBLR yang pernahdirawat di ruang NICU

    RSUP NTB periode Januari sampai dengan Desember 2012.

    b. Cara Penelitian

    Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan

    mengolah data skunder yang diperoleh dari form, register, ataupun

    rekam medik pasien yang memiliki indikator, yang diperlukan

    dalam penelitian.

    9. Tehnik Pengolahan Dan Analisa Data

    a. Cara Pengolahan Data

    Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini

    terkumpul, maka dilakukan tahap pengolahan data yang melalui

    beberapa tahapan sebagai berikut:

    1) Editing

    Pada tahap ini pengumpulan dan pemeriksaan data

    yang ada lalu diperiksa apakah data yang ada sudah sesuai

    dengan jumlah sampel dan apakah cara pengisiannya sudah

    benar atau terdapat kekeliruan. Untuk data berat bayi lahir

  • 60

    rendah (BBLR), ikterus, hipoglikemi, infeksi neonatorum di

    kelompokkan menurut berat badan, kemudian memilah berat

    bayi lahir rendah (BBLR) yang disertai dengan hiperbilirubin,

    hipoglikemi dan infeksi. Dan hitung jumlah sampel berdasarkan

    jumlah yang telah ditentukan yaitu 167 neonatus.

    2) Coding

    Setelah data diedit penulis memberikan kode tertentu

    pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan

    analisa data. Data kejadianhiperbilirubin untuk memudahkan

    dalam penghitungannya, pada hiperbilirubin untuk bilirubin total

    >9 mg/dl dikode dengan angka 1 dan bilirubin < 9 mg/dl dikode

    dengan angka 2, pada kejadian hipoglikemia untuk kadar gula

    darah < 45 mg/dl dikode dengan angka 1, dan kadar gula darah

    >45 mg/dl dikode dengan angka 2, pada kejadian infeksi

    neonatorum untuk WBC > 20.000 L atau WBC < 5.000 L

    diberi kode 1, WBC 5.000- 20.000 L diberi kode 2, Kemudian

    kejadian BBLR diberi kode berdasarkan BBLR dengan masa

    gestasi < 37 minggu (premature)diberi kode 1, dan BBLR

    dengan masa gestasi 37 minggu (dismatur) diberi kode 2.

    3) Tabulating

    Data yang sama dikelompokan dengan teliti dan teratur

    kemudian dihitung dan dijumlahkan, setelah itu dituliskan dalam

    bentuk tabel-tabel. Setelah data klasifikasi BBLR diberikan

    kode, BBLR kemudian dikelompokkan berdasarkan kode yang

    telah ditentukan secara tersendiri kemudian dijumlahkan, untuk

    BBLR dengan masa gestasi < 37 minggu (Prematur) berapa,

    dan BBLR dengan masa gestasi 37 minggu (dismatur)

  • 61

    berapa. Begitu pula dengan kejadian hiperbilirubin,

    hipoglikemia dan infeksi yaitu berdasarkan kode yang telah

    diberikan kemudian dikelompokkan dan dijumlahkan. Kemudian

    membuat tabel 2x2 untuk mengklasifikasikan

    kejadianhiperbilirubin, hipoglikemi dan infeksi berdasarkan

    kejadian BBLR, dimana pada tabel distribusi ini melakukan

    penjumlahan secara silang untuk menentukan berapa BBLR

    masa gestasi < 37 minggu yang mengalamihiperbilirubin

    dengan bilirubin total >9 mg/dl danbilirubin total < 9 mg/dl,

    hipoglikemi dengankadar gula darah < 45 mg/dl, dan kadar gula

    darah >45 mg/dl serta infeksi neonatorum dengan WBC >

    20.000 L atau WBC < 5.000 L, WBC 5.000 - 20.000 L,

    kemudian BBLR masa gestasi 37 minggu (dismatur) yang

    mengalamihiperbilirubin dengan bilirubin total >9 mg/dl dan

    bilirubin total < 9 mg/dl, hipoglikemi dengan kadar gula darah 45 mg/dl serta infeksi

    neonatorum dengan WBC > 25.000 L atau WBC < 5.000 L,

    WBC 5.000 - 25.000 L.

    4) Analisis

    Pada tahap ini data dianalisis dengan bantuan komputer

    untuk mengetahui adanya hubungan. Setelah data

    hiperbilirubin, hipoglikemi dan infeksi neonatorum

    diklasifikasikan menurut BBLR, peneliti dengan bantuan

    komputer dengan menggunakan SPSS akan menganalisa

    hubungan antara BBLR dengan kejadian ikterus, hipoglikemia

    dan infeksi neonatorum pada neonatus yang dirawat diruang

    NICU RSUP NTB Tahun 2012.

  • 62

    b. Analisa Data

    Data diolah dan dianalisis dengan tehnik-tehnik tertentu,

    yaitu dengan menggunakan tehnik analisis kuantitatif, melalui

    proses komputerisasi. Dalam pengolahan ini mencangkup tabulasi

    data dan perhitungan-perhitungan statistik bila diperlukan uji

    statistik:

    1) Univariat

    Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat

    distribusi frekuensi baik dari variabel independen maupun

    variabel dependen.

    Pada analisa univariat data yang diperoleh dari hasil

    pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi

    frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik, kemudian

    dilakukan uji Normalitas menggunakan Kolmogorov-smirnov

    dengan batas kemaknaan jika signifikansi> 0.05.

    2) Bivariat

    Analisis bivariat untuk mencari hubungan variabel bebas dan

    variabel terikat dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan

    adalah Uji Korelasi Pearsondengan menggunakan batas

    kemaknaan 0,05 dan nilai pearson korelasi (r) mendekati

    angka 1.Mengingat bahwa syarat dari uji korelasi person yaitu

    data harus berdistribusi normal maka data variabel yang

    bersifat interval sebelumnya harus di uji normalitas.

    3) Multivariat

    Analisis multivariat untuk memahami struktur data dalam

    dimensi tinggi, yang melibatkan lebih dari satu atau

  • 63

    duavariabel secara bersamaan dimana variabel-variabel itu

    saling terkait (berkorelasi) satu sama lain.

    Pada penelitian ini untuk menganalisa pengaruh antara BBLR

    dengan kejadian ikterus dan infeksi neonatorum dianalisis

    dengan uji regresi linier sederhana. Mengingat bahwa

    syarat/asumsi dari uji regresi linier sederhana yaitu

    dilakukannya uji asumsi klasik regresi dimana data harus

    melalui uji normalitas, uji linieritas, uji autokorelasi dan uji

    heteroskedastisitas. Jika data memenuhi syarat tersebut maka

    data dapat di uji dengan regresi linier sederhana. Untuk

    mempermudah dalam analisa data digunakan alat bantu

    komputer dengan program SPSS yaitu dengan cara variabel

    yang ada di uji asumsi klasik terlebih dahulu sebelum diuji

    regresi linier sederhana setelah variabel memenuhi syarat uji

    regresi linier kemudian diuji satu per satu dengan uji regresi

    linier untuk melihat pengaruh yang terjadi antara variabel

    independen dan variabel dependen.

  • 64

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Saifudin AB, Dkk. Panduan Praktis Kebidanan Maternal Dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirihardjo. Jakarta. 2009.

    2. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Laporan Pendahuluan SDKI2012.http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/Hasil%20Penelitian/SDKI%202012/Laporan%20Pendahuluan%20SDKI%202012.pdf. 2012.

    3. Depkes. RI. Manejement Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Untuk BidanDesa: Buku Acuan : Depkes RI . Jakarta. 2008.

    4. Dinas Kesehatan Provinsi NTB. Laporan Tahunn Seksi Kesehatan IbuDan Anak Bidang Bina Kesehatan Masyarakat 2012. Dikes Prov NTB .Mataram. 2012.

    5. Register Ruang Nicu. Laporan Bulanan Ruang Nicu. RSUP NTB.Mataram. 2012.

    6. Fraser, Diane M, dkk. Buku Ajar Bidan Mayles Edisi 14. EGC. Jakarta.2011

    7. Bobak, Irene M, dkk. Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. EGC.Jakarta. 2005.

    8. Nelson, Waldo E, dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. EGC.Jakarta. 2011.

    9. Tutiek H., Suparji, dan Rizki A. Hubungan Anatara Berat Bayi LahirRendah dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir di Ruang PerinatologiRSUD Dr. Harjono Ponorogo. 2012.

    10. Hany Aly, Victor Herson, Anne Duncan, Jill Herr, Jean Bender, KantilalPatel and Ayman A. E. El-Mohandes. Is Bloodstream InfectionPreventable Among Premature Infants? A Tale of Two.http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/115/6/1513. 2006.

    11. PONED. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Dep.Kes. RI.2008

    12. Service FJ. Hypoglycemic disorders. The New England Journal ofMedicine.1995;332:1144 -52

    13. FK UI. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Jakarta. FK UI. 1985

  • 65

    14. Abdelwaheb Mejri, Veronique G Dorval, Anne Monique Nuyt, and AnaCarceller. Hypoglycemia in term newborns with a birth weight below the10th percentile. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. 2010.

    15. Arikunto. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. 2002.

    16. Cantika Safitri, Analisys Komplikasi Dominanyang Timbul Pada BBLR.AKBID Singaraja Bali. Singaraja, Bali.2007

    17. Desi. F. S. Hubungan BBLR Dengan Derajat Ikterus Neonatorum FIKUNW Mataram. Mataram. 2009

    18. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDIA). Bayi Berat Lahir Rendah danStandar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta. 2004

    19. Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures5th edition. Saunders-Elsevier, 2008

    20. Notoatmodjo, Soekidjo. Metodelogi Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.2005.

    21. Perkumpulan perinatologi indonesia (PERINASIA). Petunjuk PraktisPerawatan Metode Kanguru. Depatement of reproductive and ResearchWorld health Organization. Jakarta.2003.

    22. Khosim S, Indarso, dkk. Buku Acuan Pelatihan Pelayanan ObstetriNeonatal Emergensi Dasar. Dep.Kes. RI. 2006

    23. Subramnian, KS. Low Birt Weigh Infant. http///www.eMedicine.com. 2006.

    24. Surasmi. A dan Kususma. HN. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. EGC.Jakarta. 2003

    25. Sukardi, abdurrahman, Dkk. Perinatologi. Bagian/SMF Ilmu KesehatanAnak FKUP/RSHS. Bandung. 2000.

    26. Tarigan, M. Asuhan Keperawatan Dan Aplikasi Discarge Planning PadaKlien Dengan Hyperbilirubin. FK Program Study Ilmu KeperawatanBagian Keperawatan Medikal Bedah USU. Medan. 2003.

    27. Wikjosastro, H., Dkk.Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo. Jakarta. 2006.

    28. WHO. Low Birth Weight. UNICEF, New York. http///www.childinfo.org.2005.

    29. Herlina, Tutik, dkk. Hubungan Antara Berat Bayi Lahir Dengan KadarBilirubin Bayi Baru Lahir Di Ruang Perinatologi RSUD dr HarjonoPonorogo. http://suaraforikes.webs.com/volume3%20nomor3.pdf. 2012.Diundung tanggal 24-08-2013

  • 66

    30. Srinivasa, B. S, dkk. A Study of Prevalence, Risk Factors and ClinicalProfile of Neonatal Hypoglycemia. India.http://connection.ebscohost.com/c/articles/79997042/study-prevalence-risk-factors-clinical-profile-neonatal-hypoglycemia. 2012. Diundungtanggal 24-08-2013

    31. Jennifer S. Read, dkk. Moderate Low Birth Weight and Infectious DiseaseMortality during Infancy and Childhood. America.http://aje.oxfordjournals.org/content/140/8/721.abstract. 2011. Diundungtanggal 24-08-2013

    32. Miftahul Munir. Hubungan antara Bayi Prematur dengan Kejadian IkterusNeonatorum di Ruang Perinatologi RSUD dr. R. Koesma. Tuban.http://www.kopertis7.go.id/jurnal_lengkap-Sainmed-4-1-01%2006%202012. 2012. Diundung tanggal 24-08-2013

    33. Narasky Syarif Raden. Pengaruh Antara Berat Badan Bayi DenganTerjadinya Sepsis. Jakarta.http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=9854. 2007.Diunduh tanggal 24-08-2013