1HUBUNGAN ANTARA BAYI BERAT LAHIR RENDAHDENGAN KEJADIAN IKTERUS, HIPOGLIKEMI DANINFEKSI NEONATORUM DI RSUP NTB TAHUN 2012
SINOPSIS TESIS
Untuk Memenuhi PersyaratanMencapai Derajat S-2
Oleh :Rosa Mutianingsih
KEPADAPROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG2014
1BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dimulai sejak janin
dalam kandungan dan sangat tergantung kepada kesehatan ibu termasuk
kesehatan reproduksinya. Pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa
ini masih diwarnai oleh rawannya derajat kesehatan ibu dan anak,
terutama pada kelompok yang paling rawan yaitu ibu hamil, ibu bersalin
dan bayi pada masa perintal. 1
Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih
rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun sebelum survei,
angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000
kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000
kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat
dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak
dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. 2
Penyebab langsung kematian bayi di Indonesia diantaranya
disebabkan oleh Asfiksia (44-46%), infeksi ( 24 25 % ), BBLR (15
20%), trauma persalinan (2 7% ), dan cacat bawaan ( 1-3 % ). 3
Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012
memperlihatkan angka kematian bayi di NTB 57 per 1.000 kelahiran
hidup. Angka ini lebih dari angka nasional, sebab rata-rata secara
nasional 34 kematian bayi. 2
Jumlah kematian bayi di NTB mengalami penurunan dari tahun
2008 sampai 2012. Tahun 2008 jumlah kematian bayi berada pada
1
2kisaran 1.383 kasus, tahun 2009 jumlah kematian bayi 1.218 kasus,
tahun 2010 kematian bayi sejumlah 1.338 kasus, tahun 2011 jumlah
kematian bayi yaitu kisaran 1.318 kasus sementara tahun 2012 kematian
bayi menurun menjadi 1.058 kasus. 4
Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2012
angka kematian bayi sebanyak 1058 kasus, dimana yang menjadi
penyebab kematian bayi secara langsung antara lain BBLR 47%, asfiksia
20%, infeksi 5%, cacat bawaan 11%, dan lain-lain 17%. 4
Berdasarkan data di RSUP NTB, diketahui data kasus neonatal di
ruang NICU RSUP NTB sebagai berikut jumlah bayi yang masuk NICU
tahun 2012 yaitu 2193 kasus diantaranya yang mengalami BBLR 26%,
ikterus 9%, hipoglikemi 0,8% dan yang mengalami infeksi neonatorum
1,8%. 5
Kematian perinatal yang disebabkan oleh bayi BBLR 8 kali lebih
besar dari bayi normal. Angka kematian sering disebabkan komplikasi
neonatal seperti, asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intracranial,
hipoglikemia, infeksi dan ikterus. BBLR dibagi menjadi 2 yaitu BBLR
kurang bulan dan BBLR cukup bulan. BBLR kurang bulan atau prematur
lebih mudah terkena komplikasi karena alat tubuh bayi prematur belum
berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, bayi prematur mengalami
lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus. Makin pendek masa
kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam
tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya komplikasi dan makin
tingginya angka kematiannya. Sedangkan BBLR cukup bulan memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup lebih baik dari pada bayi prematur
karena alat tubuh sudah terbentuk sempurna. Sehingga ada penurunan
pada kematian bayi yang lahir setelah usia 36 minggu tanpa memandang
3berat badan lahir bayi. Prognosis BBLR dengan berat lebih dari 1800
gram (4 pon) lebih baik dari pada bayi dengan berat antara 1500 sampai
1800 gram (3-4 pon). Mortalitas BBLR kurang dari 5% jika kehamilan
berlangsung sampai usia 35 minggu dan berat janin lebih dari 2000 gram
(4,5 pon). 6,7
Masalah-masalah yang dapat terjadi pada bayi BBLR yang cukup
bulan (aterm) yaitu asfiksia perinatal, hipoglikemia, polisitemia-
hiperviskositas, hipotermi, dan dismorfologi. Sedangkan masalah-
masalah yang lazim terjadi pada bayi BBLR kurang bulan (prematur) yaitu
displasia bronkopulmorial, apnea, duktus arteriosus paten, bradikardi,
hiperbilirubin, perdarahan subkutan, fungsi saluran pencernaan jelek,
hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipotermia, perdarahan
intraventrikular, hipotonia, hiponatremia, hipernatremia, dan
hiperkalsemia. 7
Bayi BBLR kurang bulan mengalami peningkatan risiko terhadap
infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun, kemampuan
untuk membentuk antibodi rusak dan sistem integumen rusak (kulit tipis
dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur dan yang
mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang
lebih rendah sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi
aterm normal selama periode segera setelah lahir dan bayi prematur
memiliki respons hormon dan enzim yang imatur, dan hiperbilirubin
disebabkan oleh faktor kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin
indirek menjadi direk belum sempurna. Ikterus dapat diperberat oleh
polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hiperbilirubin
dapat menyebabkan kernikterus maka warna kulit bayi harus sering
4dicatat dan bilirubin diperiksa, bila ikterus muncul dini atau lebih cepat
bertambah coklat. 7,8
Sedangkan pada bayi BBLR cukup bulan lebih rentan mengalami
hipoglikemia karena cadangan glikogen telah ada pada awal trimester
ketiga dan, akibat perubahan transpor nutrien melalui plasenta selama
masa ini, bayi yang tumbuh secara asimetris mengalami penurunan
cadangan glikogen pada hati dan otot skeletal. Otak bayi yang lebih besar
proporsinya daripada masa tubuh dan kecendrungan terhadap polisitemia
meningkatkan kebutuhan energi dan karena otak dan sel darah merah
adalah pengguna glukosa obligatorik, faktor ini dapat meningkatkan
kebutuhan glukosa. Dan bayi BBLR cukup bulan dapat mengalami
hiperbilirubinemia disebabkan gangguan pertumbuhan hepar. 8
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di
RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012 tentang Hubungan Antara
Berat Bayi Lahir dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir, menyatakan
bahwa dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai
kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar
bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%)
mempunyai kadar bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar
bilirubin tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir
berhubungan dengan kadar bilirubin. Menurut penelitian Hany Aly, MD;
dkk yang dilakukan di NICU the George Wash-ington University Hospital
pada tahun januari 2001 sampai desember 2003 tentang infeksi aliran
darah dapat dicegah pada bayi prematur. Menyatakan bahwa insiden
terjadinya infeksi pada bayi berat badan lahir rendah yaitu 25,4 % dan
pada bayi berat badan lahir sangat rendah yaitu 46,7% pada tahun 2001.
Dan angka kejadian infeksi nosokomial menjadi menurun pada tahun
52003 menjadi 2,2% pada bayi berat lahir rendah dan 5,6% pada bayi
berat badan lahir sangat rendah karena menerapkan sistem pengobatan
yang tertutup dan steril. Dan penelitian yang dilakukan oleh Abdelwaheb
Mejri, dkk pada tahun 2010 tentang Hipoglykemi pada bayi baru lahir
cukup bulan dengan berat badan dibawah persentil 10, menyatakan
bahwa pada bayi yang berat lahir normal (2500 2900 gram) insiden
terjadinya hipoglikemia adalah 22% dari 85 kasus dan pada bayi BBLR ( 1500 cm)
f. Sebelumnya BBLR
g. Penyakit kronis
h. Faktor yang rnempengaruhi dan oksigenasi plasenta. penyakit
jantung
i. Penyakit ginjal
j. Hipertensi / HDK / REB
k. Merokok
l. Kelainan eritrosit (sickle cell anemia / hemoglobinopathie)
m. Penyakit paru-paru
n. Penyakit collagen vaskuler DM (clas D,E,F,R)
o. Lebih bulan
p. Kehamilan multipel
q. Anomali rahim
r. Penyakit vaskuler ibu
s. Antibodi anti fosfolipid
2. Lesi plasenta
a. Sekunder terhadap penyakit
b. Kembar
c. Malformasi
d. Tumor
13
3. Faktor janin
a. Konstitusi, normal ukuran bayi kecil genetik
b. Chromosom abnormal
c. Infeksi kongenital (TORCH)
d. Rubela 60% bayi KMK
e. CMV : 40% bayi KMK
f. Malformasi
g. Kembar
4. Karakteristik/pemeriksaan Fisik
a. Berat kurang dari 2500 gram
b. Panjang kurang dari 45 cm
c. Lingkar dada kurang dari 30 cm.
d. Lingkar kepala kurang dari 33cm.
e. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
f. Kepala relatif lebih besar
g. Kulit tipis transparan, rambut lanugo banyak,lemak kulit kurang.
h. Otot hipotonik lemah.
i. Pernafasan tidak teratur dapat terjadi apnu atau gagal nafas.
j. Ekstrimitas,: paha abduksi, sendi lutut atau kaki fleksi-lurus.
k. Kepala mampu tegak.
l. Pernafasan sekitar 45 sampai 50 kali per menit.
m. Frekuwensi nadi 100-140 kali per menit.
5. Patofisiologi Terjadinya BBLR
BBLR merupakan keadaan dimana bayi baru lahir mengalami
berat badan kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
faktor yaitu dari ibu dan janin sendiri seorang ibu yang memiliki
14
kelainan pada fungsi organ dan sistem peredaran darah akan
menyebabkan sirkulasi ibu ke janin terganggu sehingga akan
mengakibatkan pasokan nutrisi, volume darah dan cairan dari ibu
kejanin akan sangat minim ini akan mengakibatkan pertumbuhan janin
dalam rahim akan terganggu dengan demikian akan mengakibatkan
berat badan bayi kurang dari normal.
Faktor janin sangat mempengaruhi kemugkinan berat badan
lahir bayi dimana jika ada gangguan pada fungsi plasenta, liquor amni,
tali pusat dan fungsi organ tubuh janin akan mengakibatkan
penerimaan terhadap kebutuhan yang diperoleh dari ibu tidak optimal
sehingga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan organ
menjadi terhambat yang akan mengakibatkan bayi lahir dengan berat
badan rendah. selain itu juga bayi-bayi yang lahir pada usia kehamilan
preterm juga akan lahir dengan berat badan rendah.
6. Komplikasi BBLR
Komplikasi lansung yang terjadi pada bayi berat lahir rendah
antara lain: Hypotermia, hypoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit,
hyperbilirubinemia (ikterus), sindrom gawat nafas, paten duktus
arteriosus, infeksi, perdarahan intravaskuler, Apnea of prematury,
anemia .11
7. Diagnosa BBLR
Diagnosa BBLR dengan menentukan usia kehamilan berdasarkan
a. Perhitungan HPHT (hari pertama haid terakhir).
15
Untuk perhitungan HPHT harus ingat betul tanggal dari
pertama menstruasi misalnya HPHTnya 1-4-2000, maka hari
persangkaan lahirnya dapat dihitung dengan rumus
HPHS : 1-04-2000 +7-3+1HPLB: 8-01-2001
b. Maturitas fisik dan neurologis bayi paska natal dengan skor
Dubowitz, Ballard maupun simplifed Dubowitz.
Baik berdasarkan HPHT maupun skor Dubowitz dan
modifikasinya. jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu (< 259
hari) disebut bayi kurang bulan (BKB).Diagnosis BBLR, apabila BL
(berat lahir) < 2500 gram / 2499 gram).
8. Upaya Pencegahan
a. Melakukan ANC yang baik
b. Meningkatkan gizi masyarakat
c. Tingkat penerimaan gerakan KB
d. Anjurkan ibu untuk lebih banyak istirahat, bila kehamilan
mendekati aterm atau istirahat baring bila terjadi keadaan yang
menyimpang peraturan normal kehamilan.
e. Tingkat kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat
kepercayaan masyarakat.
B. Ikterus Neonatorum
1. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin
dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan
16
terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliari, atau sistem
hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin
indirek (unconjugated) dan direk (conjugated).
a. Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam
serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat
dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai
puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk
selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl
antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini
dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat
hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan
sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum
cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi
aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara
hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu
yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan
mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar
8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang
ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm,
dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus
berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium.
17
IkterusFisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Timbul pada hari kedua ketiga
2) Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi
prematur
3) Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg
% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada
kurang bulan
4) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg %
perhari
5) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
6) Ikterushilang pada 10 hari pertama
7) Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan
kata lain tidak ditemukan dasar patologis.
b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting
untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus
patologis dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan
oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang
lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10
mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya
disebabkan oleh penyakit hemolitik.
1) Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi
patologik:
2) Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
3) Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau
lebih setiap 24 jam
18
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah,
defisiensi G6PD, atau sepsis)
5) Ikterus yang disertai oleh:
6) Berat lahir 8 hari (pada
NCB) atau >14 hari (pada NKB).
c. Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu
kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel
IV.Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata
berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus
otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus.Bila berlanjut dapat
terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai
ketegangan otot.Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi,
gangguan bicara dan retardasi mental.
2. Metabolisme Bilirubin
19
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
a. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat
degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial
(RES).Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih
tinggi dari pada bayi yang lebih tua.Satu gram hemoglobin dapat
menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin
yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi
hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi
larut dalam lemak.
b. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim
hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil
bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke
dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel, bilirubin
akan terikat terutama pada ligandin, glutation S-transferase B) dan
sebagian kecil pada(protein glutation S-transferase lain danprotein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari
konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di
konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
c. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukosonide.Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk
monoglukoronide.Glukoronil transferase merubah bentuk
monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu
20
uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran
kanilikulus.Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen
seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam
empedu tanpa konjugasi.Misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto).
d. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang
larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu
kemudian ke usus.Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi;
sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek
dan direabsorpsi.Siklus ini disebut siklus enterohepatis.Pada
neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,
bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah
bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan
tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
e. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonates
Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari
sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk
mengkonjugasi.Dengan demikian hampir semua bilirubin pada
janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke
sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi
akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%.Hal ini menunjukkan
21
bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada
masa neonatus.Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar
ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan
bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam
fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan
glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada
kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya
kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar
bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat
melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan
kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar
bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas
maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai
kadar albumin normal telah tercapai.
Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin
22
3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri
ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar
etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan
fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar).
Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkat ke hepar.Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau diluar hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
23
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.
Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu,
memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup
berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi
maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka
terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan
menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu
dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan
menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat,
biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari. Penghentian
menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan
cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai
timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti
sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain
dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari
beberapa ibu mengandung 5 -diol dan asam lemak rantai
panjang,, 2-pregnan-3 tak-teresterifikasi, yang secarakompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase,
pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu
yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin
bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus
dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang
didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang
diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan
menyusu pada ibu.
24
4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan.Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat
oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada
bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak.Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan
yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari
20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung
25
pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan
kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.
5. Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1
mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL
secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut
disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1) Dehidrasi
2) Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-
muntah)
3) Pucat
4) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan
darah ekstravaskular.
5) Trauma lahir
26
6) Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
7) Pletorik (penumpukan darah)
8) Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan
memotong tali pusat, bayi KMK
9) Letargik dan gejala sepsis lainnya
10) Petekiae (bintik merah di kulit)
11) Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau
eritroblastosis
12) Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
13) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital,
penyakit hati
14) Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
15) Omfalitis (peradangan umbilikus)
16) Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
17) Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus
koledokus)
18) Feses dempul disertai urin warna coklat
19) Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke
bagian hepatologi.3
Penentuan kadar bilirubin secara nonlab bisa dilakukan dengan cara
Kramer sesuai gambar dan tabel berikut :4
27
Gambar 2.2. Pembagian ikterus menurut Kramer4
Tabel 2.1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterusmenurut Kramer
Daerah
ikterus
Penjelasan Kadar bilirubin
(mg/dL)
Prematur Aterm
1
2
3
4
5
Kepala dan leher
Dada sampai pusat
Pusat bagian bawah sampai lutut
Lutut sampai pergelangan kaki dan
bahu sampai pergelangan tangan
Kaki dan tangan termasuk telapak kaki
dan telapak tangan
4 8
5 12
7 15
9 18
> 10
4 8
5 12
8 16
11 18
> 15
28
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia
pada bayi.Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat
inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar
pada bayi sebelumnya.Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara
lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan
tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin,
malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi,
namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat.Pemeriksaan
ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya
bias penilaian.Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana
lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara
menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di
siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa
29
terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk
mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan
bagian tubuh yang tampak kuning.
Tabel 2.2.Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi
Mulai kapan ikterus?
Daerah mana yang ikterus?
Bayinya kurang bulan?
Warna tinja?
Ikterus segera setelah lahir
Ikterus pada 2 hari pertama
Ikterus pada usia > 14 hari
Ikterus lutut/ siku/ lebih
Bayi kurang bulan
Tinja pucat
Bilirubin total > 15 mg/dL
Ikterus patologis
Ikterus usia 3-13 hari
Tanda patologis (-)
Bilirubin total 13 15 mg/dL
Ikterus fisiologis
Tidak ikterus
Bilirubin total 1 12 mg/dL
Normal
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan IkterusPatologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu BayiMuda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan danDokter. Depkes RI, 2001)
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera
setelah lahir atau beberapa hari kemudian.Ikterus yang tampak
pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri.Pada
30
bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna
kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan
gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak
kehijauan.Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus
berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis
karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain
kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal
misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain
yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie,
pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas,
gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya
ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
c. Pendekatan Menentukan Kemungkinan Penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan
membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga
dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan
penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu
yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang
dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
1) Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
a) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
31
b) Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan
kadang-kadang bakteri).
c) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Kadar bilirubin serum berkala
b) Darah tepi lengkap
c) Golongan darah ibu dan bayi
d) Uji coombs
e) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan
darah atau biopsi hepar bila perlu.
2) Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir
a) Biasanya ikterus fisiologis
b) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau
Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau
peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5
mg%/24 jam.
c) Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
d) Polisitemia
e) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan
subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-
lain).
f) Hipoksia.
g) Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
h) Dehidrasi asidosis.
i) Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
32
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah bila keadaan bayi
baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan
pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan
lainnya bila perlu.
3) Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir
minggu pertama
a) Biasanya karena infeksi (sepsis).
b) Dehidrasi asidosis.
c) Difisiensi enzim G-6-PD.
d) Pengaruh obat.
e) Sindrom Criggler-Najjar.
f) Sindrom Gilbert.
4) Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan
selanjutnya
a) Biasanya karena obstruksi.
b) Hipotiroidisme.
c) breast milk jaundice
d) Infeksi.
e) Neonatal hepatitis.
f) Galaktosemia.
g) Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a) Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
b) Pemeriksaan darah tepi.
c) Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
33
d) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
e) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan
penyebab.
7. Penatalaksanaan
Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi;
pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.
Strategi pencegahan hiperbirubinemia
1) Pencegahan primer
a) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali per hari untuk beberapa hari pertama.
b) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti
dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak
mengalami dehidrasi.
2) Pencegahan sekunder
a) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan
rhesus serta penyaringanserum untuk antibodi isoimun yang
tidak biasa.
i. Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, di
lakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs),
golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi.
ii. Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan
untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada
darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jikan
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko
sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.
34
b) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
3) Evaluasi laboratorium
a) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi
yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.
b) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus
yang berlebihan.
c) Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan
umur bayi dalam jam.
4) Penyebab kuning
a) Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugas
i harus dilakukan analisis dan kultur urin
b) Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu
harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk
mengidentifikasi adanya kolestatis.
c) Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan
evaluasi tambahan mencari penyebab kolestatis.
d) Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi
ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga
atau asal geografis yang menunjukkan kecenderungan
defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi
buruk.
35
5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya
hiperbilirubinemia berat.
6) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI
a) Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk meran
gsang pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam
b) Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.
Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif
dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi
yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.
c) Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula
pengganti.
d) Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan de
ngan pola menyusui
e) Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberia
n minum, rangsang pengeluaran atau produksi ASI dengan
cara memompa, dan menggunakan protokol penggunaan
fototerapi yang dikeluarkan AAP.
f) Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan
dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui
sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap
lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu
memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
a. Mengatasi hiperbilirubinemia (farmakologi)
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan
pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai enzyme
inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
36
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48
jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih
bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi
atau konjugasi.Contohnya yaitu pemberian albumin untuk
mengikat bilirubin yang bebas.Albumin dapat diganti dengan
plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya
diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin
akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke
vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah
dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu
untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi.
Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan
cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada
proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca-tranfusi tukar.
b. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali
diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu
rumah sakit di Inggris.Perawat Ward melihat bahwa bayi bayi
yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata
ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi bayi
lainnya.Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut
mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar
terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti
37
bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lamputertentu
juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin
pada bayi bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di
dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus menjadi
isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat
perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan
foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul
obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
C. Hipoglikemia
1. Pengertian
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar gula
darah kurang dari 45mg/dL (2,6 mmol/L). 12
Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab
yang sangat luas, sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa
plasma yang akhirnya menyebabkan neuroglikopenia. 13
2. Insiden
Insiden hipoglikemia bervariasi menurut definisi, populasi,
metode dan waktu pemberian makan, dan tipe pemeriksaan glukosa
(kadar dalam serumlebih tinggi daripada kadar dalam darah lengkap).
Pemberian makan lebih awal menurunkan insiden.Sedangkan
prematuritas, hipotermia, hipoksia, diabetes ibu, infus glukosa pada ibu
dalam persalinan dan retardasi pertumbuhan intrauteri menambah
38
insiden hipoglikemia. Pada bayi cukup bulan yang sehat kadar glukosa
serumnya jarang kurang dari 35 mg/dL (1,9 mmol/L) antara usia 1-3
jam dan kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dari usia 3 samapi 24 jam
dan kurang dari 45 mg/dL (2,5 mmol/L) sesudah 24 jam. Bayi prematur
maupun bayi cukup bulan mempunyai resiko yang sama untuk
mengalami defisit perkembangan saraf yang serius karena kadar
glukosa yang rendah. Risiko ini terkait dengan berat dan lama
hipoglikemia.6
3. Patofisiologi
Empat kelompok patofisiologi bayi neonatus yang berisiko tinggi untuk
hipoglikemia:
a. Bayi-bayi dari ibu yang menderita diabetes melitus atau diabetes
selama kehamilan, bayi dengan eritroblastosis foetalis berat,
imsulinoma, nesidioblastosis sel , hiperplasia sel fungsional,
muatasi gen reseptor sulfonilurea, sindrom Beckwith dan
panhipopituitarisme yang tampaknya menderita hiperinsulinisme.
b. Bayi-bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterin atau bayi-bayi
preterm mungkin mengalami malnutrisi intrauteri sehingga
mengakibatkan penurunan penyimpanan glikogen hati dan lemak
tubuh total, bayi kembar discordant yang lebih kecil (terutama jika
discordant 25% atau lebih dengan berat badan kurang dari 2 kg),
bayi polisitemia, bayi dari ibu toksemia, dan bayi dengan kelainan
plasenta adalah yang terutama rentan hipoglikemia (faktor-faktor
lain yang menimbulkan hipoglikemia pada kelompok ini meliputi
glukoneogenesis terganggu, berkurangnya oksidasi asam lemak
bebas, kecepatan produksi kortisol rendah dan kemungkinan
39
kenaikan kadar insulin danpenurunan curah epineprin dalam
responnya terhadap hipoglikemia).
c. Bayi yang amat imatur atau sakit berat dapat menderita
hipoglikemia karena kenaikan kebutuhan matebolik yang tidak
seimbang dalam menyimpan substrat dan kalori yang tersedia,
bayi dengan berat badanlahir rendah yang menderita sindrom
kegawatan pernafasan, asfiksia perinatal, polisitemia, hipotermi
dan infeksi sistemik, juga bayi gagal jantung dengan penyakit
jantung kongenital sianosis, berada pada resiko tinggi. Infus intra
vena yang terganggu, terutama pada mereka yang kadar
glukosanya tinggi, juga dapat mengakibatkan terjadinya
hipoglikemia yang sangat cepat.
d. Kadang-kadang bayi dengan metabolik genetik atau primer, seperti
galaktosemia, penyakit penyimpanan glikogen, intoletansi fruktosa,
asidemia propionat, asidemia metilmalonat, tirosinemia, penyakit
urin sirup maple, dan defisiensi asetil-CoA dehidrogenase rantai-
panjang atau medium juga mungkin terjadi.6
4. Klasifikasi
Klasifikasi hipoglikemi menurut kadar glukosa dalam darah:
a. Kadar glukosa < 25 mg/dL
b. Kadar glukosa 25 45 mg/dL
c. Kadar glukosa > 45 mg/dL17
5. Manifestasi klinis
Berbeda dengan kekerapan terjadinya hipoglikemia, insiden
hipoglikemia simtopatik paling tinggi pada bayi kecil menurut umur
kehamilan.Bayi ini biasanya dimasukkan dalam kategori 2 atau 3 dan
kelompok patofisiologi dan beberapa diantara dianggap menderita
40
hipoglikemia neonatus idiopatik simtomatik yang sementara. Karena
banyak dari gejala tersebut juga terjadi bersamaan dengan keadaan
lain seperti infeksi terutama sepsis dan meningitis, anomali sistem
saraf sentral, perdarahan atau edema, hipokalsemia atau
hipomagnesemia, asfiksia, gejala putus obat, apne prematur, penyakit
jantung kongenital, atau polisitemia dan karena beberapa keadaan
tersebut dapat ditemukan pada bayi sehat normoglikema, insiden
hipoglikemia yang pasti sukar ditegakkan. Hipoglikemia ini mungkin
bervariasi antara 1 3 per 1.000 kelahiran hidup dan mengenai
sekitaran 5-15% bayi mengalami retardasi pertumbuhan. Karena
manifestasi klinis ini dapat disebabkan oleh berbagai penyebab maka
penting untuk mengukur glukosa serum dan menentukan apakah
hipoglikemia menghilang dengan pemberian glukosa yang cukup untuk
menaikkan kadar gula darah menjadi normal, jika tidak, diagnosa lain
harus dipikirkan.6
6. Pengobatan
Bila tidak ada serangan kejang, bolus glukosa 10% intravena
200mg/kg (2mL/kg) efektif untuk menaikkan kadar glukosa darah. Bila
kejang, 4 Ml/kg injeksi bolusglukosa 10% terintegrasi.
Pasca terapi pertama harus diberi infus glukosa 8
mg/kg/menit.Jika hipoglikemia terjadi lagi, kecepatan infus harus
ditambah sampai menggunakan glukosa 15-20%. Jika infus glukosa
20% intravena tidak cukup untuk melenyapkan gejala dan
mempertahankan kadar glukosa serum normal, hidrokortison (2,5
mg/kg/6 jam) atau prednison (1 mg/kg/24 jam) harus diberikan.
Glukosa serum harus diukur setiap 2 jam setelah terapi dimulai sampai
beberapa pengukuran berada diatas 40 mg/dL. Selanjutnya, kadar
41
harus diperiksa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap
dikurangi dan akhirnya dihentikan bila glukosa serum telah berada
pada kisaran normal dan bayi tidak menampakkan gejala selama 24-
48 jam.8
Bila kadar glukosa dalam darah mencapai > 45 mg/dL tindakan
yang dilakukan yaitu ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah
infus diturunkan secara perlahan, jangan hentikan infus secara tiba-
tiba dan periksa kadar glukosa tiap 12 jam. Bila bayi sudah tidk
mendapatkan infus, periksa kadar glukosa setiap 12 jam, bila 2 kali
pemeriksaan dalambatas normal, pengukuran dihentikan. 17
7. Prognosis
Hipoglikemia kambuh pada 10-15% bayi sesudah pengobatan
adekuat. Beberapa bayi telah dilaporkan selambatnya timbul pada usia
8 bulan. Kumat lebih sering terjadi jika cairan intavena keluar dari
pembuluh darah atau jika cairan dihentikan terlalu cepat sebelum
makanan oral ditoleransi dengan baik.Anak yang kemudian hari
menderita hipoglikemia ketotik mengalami peningkatan insiden
hipoglikemi neonatus.Prognosis untuk fungsi intelektual yang normal
harus ditentukan dengan hati-hati, karena hipoglikemia yang lama dan
berat dapat disertai dengan sekuele neurologis.Bayi hipoglikemi yang
simtomatik, terutama bayi dengan berat badan lahir rendah danyi dari
ibu diabetes, mempunyai prognosis lebih jelek untuk kelanjutan
perkembangan intelektual yang normal daripada prognosis bayi yang
asimtomatik.
42
D. Infeksi Neonatorum
1. Pengertian
Infeksi neonatal merupakan sindrom klinis dari penyakit sistemik akibat
infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur dan
protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir.12
Sepsis neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah
bayi selama empat minggu pertama kelahiran. 7
2. Patofisiologi
Infeksi dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi
miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen,
terhambatnya fungsi mitokondria dan kekacauan metabolik yang
progresif. Pada infeksi yang tiba-tiba dan hebat, complement cascade
menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah
penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang
mengakibatkan disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan
kematian.7
Infeksi organisme akan melepaskan toksin mikrobial yang merangsang
suatu kompleks kaskade untuk menimbulkan respon
inflamasisistemik.28Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif
dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari
dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting
pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting
dalam menginduksi sepsis.Lipopolisakarida mengikat protein spesifik
dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).Selanjutnya
43
kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-
like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga
terjadi aktivasi makrofag.Bakteri gram positif dapat menimbulkan
sepsis melalui dua mekanisme, yakni dengan menghasilkan
eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen danmelepaskan
fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif
yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan
merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama
dengan bakteri gram negatif.28-30 31
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang
imulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis .Mediator inflamasi
primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan
mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan
komplemenSitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi
organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor
(PAF), prostaglandin), dan komplemen.33
Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.13
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang
mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan
gangguan fibrinolisis.Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
44
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul
antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan
vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
3. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi
a. Infeksi berat bila kadar leukosit kurang dari 5.000 L
b. Infeksi ringan bila kadar leukosit lebih dari 20.000 L18
4. Kerentanan terhadap infeksi
Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih besar dan dewasa,
tanggap imun bayi baru lahir rendah dan cenderung memiliki insiden
infeksi yang lebih tinggi.Bayi prematur bahkan lebih rentan karena bayi
ini memiliki mekanisme pertahanan yang kurang terbentuk dengan
baik (pemindahan IgG terutama terjadi setelah 32 minggu gestasi),
dan lebih cenderung mengalami prosedur invasif.Imunokompetensi
penuh memerlukan respons imun bawaan dan di dapat.
Imunitas bawaan.Respons bawaan (alami) tidak emerlukan pemajanan
sebelumnya terhadap mikroorganisme dan bekerja sebagai
pertahanan kini pertama terhadap infeksi.Respons ini meliputi kulit
utuh, membran mukosa dan asam lambung, serta enzim pencernaan.
Namun, segera setelah lahir,kulit menjadi lebih mudah teriritasi dan
rusak, serta usus bayi tidak segera terkolonisasi dengan flora protektif
normal.
Imunitas didapat.Respons didapat (imun spesifik) terbentuk dan
meningkat seiring dengan pemajanan yang terus menerus terhadap
patogen atau organisme.Pada saat lahir, bayi memiliki beberapa
proteksi imun dari ibu, tetapi kekurangan imunolgobulin. Pemajanan
45
dan pemindahan igG maternal melintasi plasenta membatasi kadar
antibodi dansampai derjat tertentu, respon imun ini akan secara aktif di
dapat setelah lahir. Menyusu meningkatkan proteksi imun bayi melalui
transmisi sekresi IgA dalam ASI. Selama beberapa minggu awal
kehidupan,bayi juga mengalami defisiansi kuantitas dak kualitas
neutrofil (askin 1995, Lowson 2001, Yancey et al 1996).
5. Faktor Penyebab Infeksi Neonatorum
c. Ada beraneka ragam penularan agen penyebab infeksi dari ibu ke
janin atau ke bayi baru lahir. Penyebaran hematogen
transplasenta dapat terjadi pada begrbagai waktu selama
kehamilan. Manifestasi infeksi kongenital dapat tampak pada saat
lahir atau terlambat selama beberapa bulan bahkan beberapa
tahun. Penularan infeksi secara vertikal dapat terjadi selama di
dalam uterus, tepat sebelum kelahiran, atau selama proses
kelahiran. Setelah dilahirkan, bayi baru lahir dapat terpapar
penyakit infeksi dalam ruang perawatan atau dipermukiman.
Sehubungan dengan semakin kompleksnya perawatan intensif
neonatus, bayi baru lahir kurang bulan dan yang lahir dengan
berat badan kurang akan dapat tetap hidup dan dapat bertahan
lebih lama dalam lingkungan dengan risiko infeksi lebih tinggi.
d. Bayi baru lahir mungkin kurang mampu berespon terhadap infeksi,
karena penderita defisiensi satau atau lebih faktor imunologis yang
melibatkan sistem retikuloendotelial, komplemen, leukosit
polimorfonuklear, sitokin, antibodi atau imunitas seluler.
e. Penyakit penyerta pada bayi baru lahir sering mempersulit
diagnosis dan penatalaksanaan infeksi neonatus. Gangguan
46
respirasi seperti penyakit membran hialindapat menyertai
pneumonia bakteri. Asidosis mengganggu fungsi leukosit
polimorfonuklear.
f. Manifestasi infeksi pada bayi baru lahir sangat beragam. Dapat
saja terjadi infeksi subklinis, malformasi kongenital, penyakit
setempat dan infeksi sistemik parah yang bersifat lokal. Lamanya
pemaparan dalam uterus, besarnya inokulum, status imun, dan
agen etiologi mempengaruhi ekspresi penyakit pada janin atau
bayi baru lahir. 8
(Nelson, 2011)
6. Penatalaksanaan
a. Pencegahan infeksi pada bayi baru lahir
Strategi kebidanan berdasarkan bukti lain yang membantu
mengurangi infeksi di semua lingkungan meliputi :
1) Mendorong dan membantu wanita saat menyusui sehingga
meningkatkan proteksi imun bayi
2) Melarang pengunjung yang menderita infeksi atau yang
telah terpajan penyakit menular
3) Menghindari setiap iritasi atau trauma di kulit dan membran
mukosa bayi.
4) Diagnosis dini dan terapi infeksi
5) Penyuluhan kesehatan yang berkelanjutan untuk
memastikan praktik pengendalian infeksi berdasarkan bukti.
Di rumah sakit, praktik ini meliputi (Bott 1999, Lawson 2001, Senior
2001)
1) Rawat gabung bayi dengan ibu
47
2) Memberi jarak pelbet yang memadai jika bayi di ruang
perawatan
3) Selalu menggunakan peralatan tersendiri untuk setiap bayi
4) Isolasi bayi yang terinfeksi jika mutlak diperlukan.
b. Diagnosis
Faktor risiko individu terhadap infeksi. Hal ini meliputi :
1) Riwayat pecah ketuban lama pada maternal
2) Korioamnionitis
3) Demam selama persalinan
4) Cairan amniotik bau
Pengkajian fisik. Pengkajian dapat meliputi pengamatan berikut :
1) Ketidaksatbilan suhu
2) Letargi atau tidak mau menyusu, dehidrasi, kelaparan,
hiptermi, asidosis atau hipoksia
3) Bradikardia atau takikardia dan adanya spasme
4) Haluaran urine dan feses dan adanya muntah
5) Tanda-tanda sistem saraf pusat yang memerlukan
pemeriksaan neurodevelopmental lengkap.
Pemeriksaan. Hal ini meliputi:
1) Hitung sel darah merah
2) Uji spesimen urin dan mekonium untuk organisme spesifik
3) Apusan hidung, tenggorokan dan umbilikus, serta dari ruam
kulit, pustula atau vesikel untuk uji organisme spesifik.
4) MRI,CT scan dan sina-X dada
48
5) Fungsi lumbal untuk memungkinkan
6) pemeriksaan CSS
7) Uji cairan amniotik, jaringan plasenta dan datah tali pusat
untuk organisme spesifik.
c. Terapi
Keseluruhan tujuan penatalaksanaan adalah memberikan terapi
yang tepat danefektif yang mengurangi risiko sptikemia dan syok
septik yang mengancam nyawa pada kelompok rentan ini.
Penatalaksanaan yang baik meliputi (Askin 1995, Wrigt Lott et al
1994):
1) Merawat bayi di lingkungan termonetral yang hangat dan
mengamati ketidakstabilan suhu.
2) Hidrasi yang baik dan koreksi ketidak seimbangan elektrolit,
dengan pemenuhan kebutuhan menyusu jika mungkin dan
cairan intravena jika diperlukan
3) Antibiotik sistematik yang diberikan secara cepat atau terapi
obat lain dan terapi lokal infeksi
4) Memantau secara terus menerus status neurobehavioural
bayi
5) Mengurangi pemisahan ibu dan bayi, jika bayi perlu masuk
unit perawatan intensif neonatus, bidan harus
menganjurkan orang tua untuk berada bersama dengan
bayinya
6) Memberikan informasi berdasarkan bukti, dukungan dan
penenangan untuk orang tua
49
7) Mendorong untuk menyusui atau memeras ASI, dan
menginformasikan pada wanita mengenai pentingnya peran
ASI dalam melawan ASI dalam melawan infeksi.
E. Hubungan antara bayi BBLR dengan kejadian ikterus, hipoglikemi dan
infeksi neonatorum
1. Hubungan BBLR dengan ikterus
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan.Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat
oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.Sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila
bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi
50
pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf
pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.
2. Hubungan BBLR dengan hipoglikemia
Insiden hipoglikemia bervariasi menurut definisi, populasi, metode dan
waktu pemberian makan, dan tipe pemeriksaan glukosa (kadar dalam
serumlebih tinggi daripada kadar dalam darah lengkap). Pemberian
makan lebih awal menurunkan insiden.Sedangkan prematuritas,
hipotermia, hipoksia, diabetes ibu, infus glukosa pada ibu dalam
persalinan dan retardasi pertumbuhan intrauteri menambah insiden
hipoglikemia. Pada bayi cukup bulan yang sehat kadar glukosa
serumnya jarang kurang dari 35 mg/dL (1,9 mmol/L) antara usia 1-3
jam dan kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dari usia 3 samapi 24 jam
dan kurang dari 45 mg/dL (2,5 mmol/L) sesudah 24 jam. Bayi prematur
maupun bayi cukup bulan mempunyai resiko yang sama untuk
mengalami defisit perkembangan saraf yang serius karena kadar
glukosa yang rendah. Risiko ini terkait dengan berat dan lama
hipoglikemia
3. Hubungan BBLR dengan infeksi neonatorum
Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih besar dan dewasa,
tanggap imun bayi baru lahir rendah dan cenderung memiliki insiden
51
infeksi yang lebih tinggi.Bayi prematur bahkan lebih rentan karena bayi
ini memiliki mekanisme pertahanan yang kurang terbentuk dengan baik
(pemindahan IgG terutama terjadi setelah 32 minggu gestasi), dan lebih
cenderung mengalami prosedur invasif.Imunokompetensi penuh
memerlukan respons imun bawaan dan di dapat.
Imunitas bawaan.Respons bawaan (alami) tidak emerlukan pemajanan
sebelumnya terhadap mikroorganisme dan bekerja sebagai pertahanan
kini pertama terhadap infeksi.Respons ini meliputi kulit utuh, membran
mukosa dan asam lambung, serta enzim pencernaan. Namun, segera
setelah lahir,kulit menjadi lebih mudah teriritasi dan rusak, serta usus
bayi tidak segera terkolonisasi dengan flora protektif normal.
Imunitas didapat.Respons didapat (imun spesifik) terbentuk dan
meningkat seiring dengan pemajanan yang terus menerus terhadap
patogen atau organisme.Pada saat lahir, bayi memiliki beberapa
proteksi imun dari ibu, tetapi kekurangan imunolgobulin. Pemajanan
dan pemindahan igG maternal melintasi plasenta membatasi kadar
antibodi dansampai derjat tertentu, repons imun ini akan secara aktif di
dapat setelah lahir. Menyusu meningkatkan proteksi imun bayi melalui
transmisi sekresi IgA dalam ASI. Selama beberapa minggu awal
kehidupan,bayi juga mengalami defisiansi kuantitas dak kualitas
neutrofil (askin 1995, Lowson 2001, Yancey et al 1996)
52
F. Kerangka Teori
Gambar 2.3 Kerangka Teori.11
FAKTOR PREDISPOSISI:
1. Status sosial ekonomi.2. Ras.3. Umur ibu.4. Aktifitas ibu5. Penyakit kronis/Akut6. Paritas.7. Riwayat Persalinan.8. Faktor-Faktor
Kebidanan.9. Faktor Janin.10. Umur kehamilan
BBLRR
KOMPLIKASI:
1. Hypotermia2. Hypoglikemi3. Gangguan cairan
dan Elektrolit4. Ikterus Neonatoru5. Syndrom Gawat
nafas.6. Paten Duktus
Arteriosus.7. Infeksi, perdarahan
dan Anemia
53
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep
Keterangan :
: Diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konsep.11
Bayi berat lahir rendah (BBLR) Ikterus neonatorum
Hipoglikemi
Infeksi neonatorum
53
54
B. Hipotesis
1. Ada hubungan antara berat bayi lahir rendah dengan kejadian
ikterus neonatorum
2. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian
hipoglikemi
3. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian
infeksi neonatorum.
4. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian
ikterus neonatorum
5. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian
hipoglikemi
6. Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian
infeksi neonatorum
7. Ada pengaruh antara berat badan lahir rendah dengan kejadian
ikterus neonatorum
8. Ada pengaruh antara berat badan lahir rendah dengan kejadian
infeksi neonatorum
55
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
1. Waktu
Penelitian akan dilaksanakan pada tahun 2015
2. Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa
Tenggara Barat di Ruang Rekam Medik, penelitian lokasi tersebut
dengan alasan :
a. Tersedianya data ibu yang mengalami BBLR yaitu sebanyak 573
kasus, ikterus sebanyak 199 kasus, hipoglikemi sebanyak 17
kasus, infeksi neonatorum sebanyak 39 kasus dan jumlah bayi
yang masuk di ruang NICU sebanyak 2193 kasus di RSUP NTB
(tahun 2012).
b. Merupakan rumah sakit Rujukan dan pendidikan.
B. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan observasional analitik karena peneliti
hanya mengobservasi tanpa melakukan perlakuan terhadap obyek
yang akan diteliti.15
2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data
Berdasarkan waktu pengumpulan data pada penelitian ini
bersifat cross sectional dimana pengambilan data untuk variabel
57
56
dependen dan independen dilakukan secara bersamaan dalam satu
waktu.15
3. Metode Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yaitu secara kuantitatif dengan
melakukan penelusuran dibuku register dan format rekam medik
pasien periode Januari sampai Desember 2012.
4. Populasi Penelitian
Adapun populasi pada penelitian ini adalah semua bayi berat
lahir rendah yang di rawat di Ruang NICU RSUP NTB periode
Januari sampai dengan Desember 2012 yaitu sebanyak 2193 kasus.
5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek
yang akan diteliti dan dianggap mewakili populasi.19
Sampel dalam penelitian ini adalah semua BBLR yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang pernah dirawat di Ruang
NICU RSUP NTB periode Januari sampai dengan Desember 2012
yaitu sebanyak 167 kasus dan kontrol sejumlah 167 kasus.
a. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
Merupakan penentuan sampel yang didasarkan atas
karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target
yang terjangkau yang akan diteliti. 27
a) Bayi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu dan lebih
dari 37 minggu
b) Bayi yang mengalami ikterus
c) Bayi yang mengalami hipoglikemia
d) Bayi yang mengalami infeksi neonatorum
57
2) Kriteria Eksklusi
Merupakan kriteria untuk menghilangkan/mengeluarkan
subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi. 27
a) Bayi dengan kelainan kongenital
b) Bayi kembar
c) Rekam medik yang datanya tidak lengkap
b. Cara Pengambilan Sampel
1) Kelompok Kasus
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah dengan mengunakan total sampling yaitu dengan
menggunakan sebagian populasi yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sebagai sampel sejumlah
167 kasus.15
6. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat
atau ukuran yang dimiliki atau ukuran yang didapatkan oleh satuan
penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu.15
Pada penelitian ini menggunakan 2 variabel (Bivariat) yaitu:
a. Variabel independen adalah variabel bebas, sebab atau yang
mempengaruhi. Dalam penelitian ini variabel independen adalah
Bayi Berat Lahir Rendah
b. Variabel dependen adalah variabel yang tergantung, akibat,
terpengaruh atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel
independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
ikterus, hipoglikemi dan infeksi neonatorum.
58
7. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel DefinisiOperasional
CaraUkur
AlatUkur
Hasil Ukur/Kategori
SkalaUkur
Bayi beratlahir rendah(BBLR)
Bayi lahir denganberat badankurang dari atausama dengan2500 gr. Dibagimenjadi 2 yaituBBLR denganmasa gestasi 20.000 L
Registerdanrekammedik
Form/statuspasien
1. WBC>25.000 Latau WBC< 5.000 L
2. WBC5.000-25.000 L
Interval
8. Intrumen Penelitian Dan Cara Penelitian
a. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah
Data rekam medik BBLR yang pernahdirawat di ruang NICU
RSUP NTB periode Januari sampai dengan Desember 2012.
b. Cara Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan
mengolah data skunder yang diperoleh dari form, register, ataupun
rekam medik pasien yang memiliki indikator, yang diperlukan
dalam penelitian.
9. Tehnik Pengolahan Dan Analisa Data
a. Cara Pengolahan Data
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini
terkumpul, maka dilakukan tahap pengolahan data yang melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Editing
Pada tahap ini pengumpulan dan pemeriksaan data
yang ada lalu diperiksa apakah data yang ada sudah sesuai
dengan jumlah sampel dan apakah cara pengisiannya sudah
benar atau terdapat kekeliruan. Untuk data berat bayi lahir
60
rendah (BBLR), ikterus, hipoglikemi, infeksi neonatorum di
kelompokkan menurut berat badan, kemudian memilah berat
bayi lahir rendah (BBLR) yang disertai dengan hiperbilirubin,
hipoglikemi dan infeksi. Dan hitung jumlah sampel berdasarkan
jumlah yang telah ditentukan yaitu 167 neonatus.
2) Coding
Setelah data diedit penulis memberikan kode tertentu
pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan
analisa data. Data kejadianhiperbilirubin untuk memudahkan
dalam penghitungannya, pada hiperbilirubin untuk bilirubin total
>9 mg/dl dikode dengan angka 1 dan bilirubin < 9 mg/dl dikode
dengan angka 2, pada kejadian hipoglikemia untuk kadar gula
darah < 45 mg/dl dikode dengan angka 1, dan kadar gula darah
>45 mg/dl dikode dengan angka 2, pada kejadian infeksi
neonatorum untuk WBC > 20.000 L atau WBC < 5.000 L
diberi kode 1, WBC 5.000- 20.000 L diberi kode 2, Kemudian
kejadian BBLR diberi kode berdasarkan BBLR dengan masa
gestasi < 37 minggu (premature)diberi kode 1, dan BBLR
dengan masa gestasi 37 minggu (dismatur) diberi kode 2.
3) Tabulating
Data yang sama dikelompokan dengan teliti dan teratur
kemudian dihitung dan dijumlahkan, setelah itu dituliskan dalam
bentuk tabel-tabel. Setelah data klasifikasi BBLR diberikan
kode, BBLR kemudian dikelompokkan berdasarkan kode yang
telah ditentukan secara tersendiri kemudian dijumlahkan, untuk
BBLR dengan masa gestasi < 37 minggu (Prematur) berapa,
dan BBLR dengan masa gestasi 37 minggu (dismatur)
61
berapa. Begitu pula dengan kejadian hiperbilirubin,
hipoglikemia dan infeksi yaitu berdasarkan kode yang telah
diberikan kemudian dikelompokkan dan dijumlahkan. Kemudian
membuat tabel 2x2 untuk mengklasifikasikan
kejadianhiperbilirubin, hipoglikemi dan infeksi berdasarkan
kejadian BBLR, dimana pada tabel distribusi ini melakukan
penjumlahan secara silang untuk menentukan berapa BBLR
masa gestasi < 37 minggu yang mengalamihiperbilirubin
dengan bilirubin total >9 mg/dl danbilirubin total < 9 mg/dl,
hipoglikemi dengankadar gula darah < 45 mg/dl, dan kadar gula
darah >45 mg/dl serta infeksi neonatorum dengan WBC >
20.000 L atau WBC < 5.000 L, WBC 5.000 - 20.000 L,
kemudian BBLR masa gestasi 37 minggu (dismatur) yang
mengalamihiperbilirubin dengan bilirubin total >9 mg/dl dan
bilirubin total < 9 mg/dl, hipoglikemi dengan kadar gula darah 45 mg/dl serta infeksi
neonatorum dengan WBC > 25.000 L atau WBC < 5.000 L,
WBC 5.000 - 25.000 L.
4) Analisis
Pada tahap ini data dianalisis dengan bantuan komputer
untuk mengetahui adanya hubungan. Setelah data
hiperbilirubin, hipoglikemi dan infeksi neonatorum
diklasifikasikan menurut BBLR, peneliti dengan bantuan
komputer dengan menggunakan SPSS akan menganalisa
hubungan antara BBLR dengan kejadian ikterus, hipoglikemia
dan infeksi neonatorum pada neonatus yang dirawat diruang
NICU RSUP NTB Tahun 2012.
62
b. Analisa Data
Data diolah dan dianalisis dengan tehnik-tehnik tertentu,
yaitu dengan menggunakan tehnik analisis kuantitatif, melalui
proses komputerisasi. Dalam pengolahan ini mencangkup tabulasi
data dan perhitungan-perhitungan statistik bila diperlukan uji
statistik:
1) Univariat
Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat
distribusi frekuensi baik dari variabel independen maupun
variabel dependen.
Pada analisa univariat data yang diperoleh dari hasil
pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik, kemudian
dilakukan uji Normalitas menggunakan Kolmogorov-smirnov
dengan batas kemaknaan jika signifikansi> 0.05.
2) Bivariat
Analisis bivariat untuk mencari hubungan variabel bebas dan
variabel terikat dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan
adalah Uji Korelasi Pearsondengan menggunakan batas
kemaknaan 0,05 dan nilai pearson korelasi (r) mendekati
angka 1.Mengingat bahwa syarat dari uji korelasi person yaitu
data harus berdistribusi normal maka data variabel yang
bersifat interval sebelumnya harus di uji normalitas.
3) Multivariat
Analisis multivariat untuk memahami struktur data dalam
dimensi tinggi, yang melibatkan lebih dari satu atau
63
duavariabel secara bersamaan dimana variabel-variabel itu
saling terkait (berkorelasi) satu sama lain.
Pada penelitian ini untuk menganalisa pengaruh antara BBLR
dengan kejadian ikterus dan infeksi neonatorum dianalisis
dengan uji regresi linier sederhana. Mengingat bahwa
syarat/asumsi dari uji regresi linier sederhana yaitu
dilakukannya uji asumsi klasik regresi dimana data harus
melalui uji normalitas, uji linieritas, uji autokorelasi dan uji
heteroskedastisitas. Jika data memenuhi syarat tersebut maka
data dapat di uji dengan regresi linier sederhana. Untuk
mempermudah dalam analisa data digunakan alat bantu
komputer dengan program SPSS yaitu dengan cara variabel
yang ada di uji asumsi klasik terlebih dahulu sebelum diuji
regresi linier sederhana setelah variabel memenuhi syarat uji
regresi linier kemudian diuji satu per satu dengan uji regresi
linier untuk melihat pengaruh yang terjadi antara variabel
independen dan variabel dependen.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifudin AB, Dkk. Panduan Praktis Kebidanan Maternal Dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirihardjo. Jakarta. 2009.
2. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Laporan Pendahuluan SDKI2012.http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/Hasil%20Penelitian/SDKI%202012/Laporan%20Pendahuluan%20SDKI%202012.pdf. 2012.
3. Depkes. RI. Manejement Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Untuk BidanDesa: Buku Acuan : Depkes RI . Jakarta. 2008.
4. Dinas Kesehatan Provinsi NTB. Laporan Tahunn Seksi Kesehatan IbuDan Anak Bidang Bina Kesehatan Masyarakat 2012. Dikes Prov NTB .Mataram. 2012.
5. Register Ruang Nicu. Laporan Bulanan Ruang Nicu. RSUP NTB.Mataram. 2012.
6. Fraser, Diane M, dkk. Buku Ajar Bidan Mayles Edisi 14. EGC. Jakarta.2011
7. Bobak, Irene M, dkk. Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. EGC.Jakarta. 2005.
8. Nelson, Waldo E, dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. EGC.Jakarta. 2011.
9. Tutiek H., Suparji, dan Rizki A. Hubungan Anatara Berat Bayi LahirRendah dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir di Ruang PerinatologiRSUD Dr. Harjono Ponorogo. 2012.
10. Hany Aly, Victor Herson, Anne Duncan, Jill Herr, Jean Bender, KantilalPatel and Ayman A. E. El-Mohandes. Is Bloodstream InfectionPreventable Among Premature Infants? A Tale of Two.http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/115/6/1513. 2006.
11. PONED. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Dep.Kes. RI.2008
12. Service FJ. Hypoglycemic disorders. The New England Journal ofMedicine.1995;332:1144 -52
13. FK UI. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Jakarta. FK UI. 1985
65
14. Abdelwaheb Mejri, Veronique G Dorval, Anne Monique Nuyt, and AnaCarceller. Hypoglycemia in term newborns with a birth weight below the10th percentile. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. 2010.
15. Arikunto. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. 2002.
16. Cantika Safitri, Analisys Komplikasi Dominanyang Timbul Pada BBLR.AKBID Singaraja Bali. Singaraja, Bali.2007
17. Desi. F. S. Hubungan BBLR Dengan Derajat Ikterus Neonatorum FIKUNW Mataram. Mataram. 2009
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDIA). Bayi Berat Lahir Rendah danStandar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta. 2004
19. Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures5th edition. Saunders-Elsevier, 2008
20. Notoatmodjo, Soekidjo. Metodelogi Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.2005.
21. Perkumpulan perinatologi indonesia (PERINASIA). Petunjuk PraktisPerawatan Metode Kanguru. Depatement of reproductive and ResearchWorld health Organization. Jakarta.2003.
22. Khosim S, Indarso, dkk. Buku Acuan Pelatihan Pelayanan ObstetriNeonatal Emergensi Dasar. Dep.Kes. RI. 2006
23. Subramnian, KS. Low Birt Weigh Infant. http///www.eMedicine.com. 2006.
24. Surasmi. A dan Kususma. HN. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. EGC.Jakarta. 2003
25. Sukardi, abdurrahman, Dkk. Perinatologi. Bagian/SMF Ilmu KesehatanAnak FKUP/RSHS. Bandung. 2000.
26. Tarigan, M. Asuhan Keperawatan Dan Aplikasi Discarge Planning PadaKlien Dengan Hyperbilirubin. FK Program Study Ilmu KeperawatanBagian Keperawatan Medikal Bedah USU. Medan. 2003.
27. Wikjosastro, H., Dkk.Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo. Jakarta. 2006.
28. WHO. Low Birth Weight. UNICEF, New York. http///www.childinfo.org.2005.
29. Herlina, Tutik, dkk. Hubungan Antara Berat Bayi Lahir Dengan KadarBilirubin Bayi Baru Lahir Di Ruang Perinatologi RSUD dr HarjonoPonorogo. http://suaraforikes.webs.com/volume3%20nomor3.pdf. 2012.Diundung tanggal 24-08-2013
66
30. Srinivasa, B. S, dkk. A Study of Prevalence, Risk Factors and ClinicalProfile of Neonatal Hypoglycemia. India.http://connection.ebscohost.com/c/articles/79997042/study-prevalence-risk-factors-clinical-profile-neonatal-hypoglycemia. 2012. Diundungtanggal 24-08-2013
31. Jennifer S. Read, dkk. Moderate Low Birth Weight and Infectious DiseaseMortality during Infancy and Childhood. America.http://aje.oxfordjournals.org/content/140/8/721.abstract. 2011. Diundungtanggal 24-08-2013
32. Miftahul Munir. Hubungan antara Bayi Prematur dengan Kejadian IkterusNeonatorum di Ruang Perinatologi RSUD dr. R. Koesma. Tuban.http://www.kopertis7.go.id/jurnal_lengkap-Sainmed-4-1-01%2006%202012. 2012. Diundung tanggal 24-08-2013
33. Narasky Syarif Raden. Pengaruh Antara Berat Badan Bayi DenganTerjadinya Sepsis. Jakarta.http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=9854. 2007.Diunduh tanggal 24-08-2013
Top Related