Nasichin_SINOPSIS TESIS

46
0 M. Nasichin Al Mu’iz REKONSTRUKSI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Komparatif Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid) SINOPSIS TESIS Oleh : Mochamad Nasichin Al Mu'iz NIM : 3241074034 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA (S2) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

Transcript of Nasichin_SINOPSIS TESIS

Page 1: Nasichin_SINOPSIS TESIS

0M. Nasichin Al Mu’iz

REKONSTRUKSIPENDIDIKAN PESANTREN

(Studi Komparatif Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid)

SINOPSIS TESIS

Oleh :

Mochamad Nasichin Al Mu'izNIM : 3241074034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

TULUNGAGUNG

2009

Page 2: Nasichin_SINOPSIS TESIS

1M. Nasichin Al Mu’iz

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN PESANTREN(Studi Komparatif Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid)

Oleh : Mochamad Nasichin Al Mu’iz

ABSTRACT

The background of the research is the phenomenon of Pesantren (school for koranic studies for people, most of whom are boarders). In the national education structure, Pesantren holds a very significant part. This is not only because of its history which has been existing for so long, but also because of its important role in the effort of enriching nation’s intelligent. In its history, Pesantren is a kind of society based education. In facts, Pesantren has been rooted and grown from society, then developed by society it self, and finally become an educational tradition which is admitted as an organization having vital role on the transmission of science.

Key Words : Rekonstruksi Pendidikan Pesantren, Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Semakin kompleks dan pesatnya perkembangan masyarakat, baik yang

menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi modern maupun kehidupan beragama,

maka pendidikan yang sedang berlangsung saat ini semakin memperoleh perhatian yang

lebih besar dari semua pihak. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pendidikan adalah

upaya untuk membentuk manusia seutuhnya dan jelas membutuhkan waktu yang relatif

panjang bahkan berlangsung seumur hidup.

Tentang pendidikan di Indonesia, tidak bisa terlepas dari peran dan eksistensi

pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Dalam sejarah

perkembangannya, fungsi pokok pesantren adalah mencetak ulama' dan ahli agama.1

Hingga saat ini fungsi tersebut tetap terpelihara dan dipertahankan. Sebab harus diakui

bahwa pesantren selain sebagai lembaga kelembagaan Islam juga telah membuktikan

dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki peran besar dalam upaya

mencerdaskan kehidupan bangsa.

1Depag RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), 6

Page 3: Nasichin_SINOPSIS TESIS

2M. Nasichin Al Mu’iz

Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya

masing-masing yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik,

sosio-kultural, sosio-ekonomik maupun sosio-religious. Dengan demikian pesantren

menjadi lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah

lama, tetapi juga karena kultur, metode dan penyajian yang diterapkan oleh lembaga

pendidikan agama ini yang khas, itulah sebabnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa

dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga

mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).2 Pesantren juga dianggap sebagai

satu-satunya sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem tradisional3

(konservatif). Sebagaimana dikatakan Ulil Abshar Abdala : "Bahwa Pesantren

merupakan satu-satunya lembaga pendidikan islam di Indonesia yang mewarisi tradisi

intelektual tradisional."4 Asumsi ini mengukuhkan bahwa pesantren dengan segala

infrastrukturnya merupakan lembaga pendidikan yang masih menjunjung tinggi tradisi

dan budaya otentik bangsa.

Menurut pandangan Mastuhu, sebagai sebuah lembaga pendidikan islam

tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol yaitu : memberikan

pelajaran agama versi kitab-kitab islam klasik yang berbahasa arab, mempunyai tehnik

pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan dan bandongan atau

weton, mengedepankan hafalan dan menggunakan sistem halaqoh.5

2Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 59

3Pengertian tradisional dalam arti bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah

menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat, bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.4

Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning : Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren, dalam Marzuki Wahid, et al, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 2875

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 143 - 144

Page 4: Nasichin_SINOPSIS TESIS

3M. Nasichin Al Mu’iz

Menurut Iqbal sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto mengkritik

pendidikan tradisional hanya mengajarkan otak dan jiwa manusia di dalam kurungan

yang ketat, sehingga tidak mampu mencetak manusia intelek yang dapat menyelesaikan

berbagai persoalan keduniaan.6 Sementara bila dibandingkan dengan pendidikan barat

lebih cenderung kepada materialistik, suatu kecenderungan yang nantinya akan merusak

nilai-nilai spiritual manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Iqbal bahwa pendidikan

barat hanya dapat mencetak manusia menjadi out put dengan intelektual tinggi, tetapi

tanpa memiliki hati nurani yang berkualitas.7 Sistem pendidikan ini akhirnya akan

menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan manusia tanpa keseimbangan antara

aspek lahiriyah dengan aspek bathiniyah.

Kemudian pada perkembangan akhir, sistem tersebut diseimbangkan dengan

sistem pembelajaran modern yaitu tidak hanya menjalankan materi-materi keislaman

saja melainkan memasukkan materi kemodernan diantaranya, bahasa arab, bahasa

inggris sejarah, tehnologi dan lain-lain. Meskipun demikian keseimbangan tersebut

sama sekali tidak mencerabut pesantren akan kulturalnya, secara umum pesantren tetap

memiliki fungsi-fungsi sebagai Lembaga pendidikan sebagaimana Azyumardi Azro’

merumuskan tiga peranan pesantren, yaitu transmission of knowledge (penyampaian

ilmu-ilmu keislaman), maintenance of islamic tradition (pemeliharaan tradisi islam) dan

reproduction of ulama (pembinaan calon-calon ulama’)8

Fenomena perkembangan abad mutakhir ini menghendaki adanya suatu sistem

pendidikan yang komprehensif, karena perkembangan masyarakat dewasa ini

menghendaki adanya pembinaan siswa / santri yang dilaksanakan secara seimbang,

6Abdullah Idi, Toto Suharto, Revitalitas Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiwa Wacana, 2006), 93

7Ibid., 92

8Azyumardi Azro’, Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 89

Page 5: Nasichin_SINOPSIS TESIS

4M. Nasichin Al Mu’iz

antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan, kemampuan komunikasi,

dan kesadaran akan ekologi lingkungan. Dengan kata lain menurut Ridlwan Nashir

seimbang antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi) dan IMTAQ (Iman dan

Taqwa), yakni meliputi IQ (Intelectual Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ

(Spiritual Quotient)9.

Dengan demikian perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi

terhadap sistem pendidikan yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini

sebetulnya telah dimaklumi. Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan kaidah

yang sangat popular yaitu “Al-Muhafazatu ‘ala al-qadiim al-asalih wa al-akhdhu bi al-

jadid al-aslah”.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah orientasi atau

mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin dalam

pengertian luas yakni diharapkan para santri dan alumninya tidak hanya memahami

pengetahuan agama saja, namun sekaligus memahami muatan ilmu-ilmu umum atau

modern. Sebab Pelajaran agama tidak hanya bisa diartikan dengan ilmu-ilmu

keagamaan dan apriori terhadap ilmu pengetahuan dan tehnologi, sehingga diharapkan

pesantren mampu melahirkan ulama' intelek yang mampu menjawab tantangan zaman

dengan tanpa meninggalkan ciri khas dunia kepesantrenan yang lebih lekat dengan

dunia ukhrowi.

Awal munculnya pesantren timbul dari usaha pribadi seorang kyai, yang

mengakibatkan kepemimpinannya secara kukuh dan turun temurun berpusat pada

seorang kyai. Sehingga sistem alih kepemimpinan seperti ini kerap kali mengundang

sindiran bahwa pesantren layaknya "kerajaan kecil". Ujung-ujungnya dalam

9Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal : Pondok Pesantren di Tengah Arus

Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 1

Page 6: Nasichin_SINOPSIS TESIS

5M. Nasichin Al Mu’iz

manajemen, semua kebijakan dan keputusan diukur dengan pemikiran kyai. Dan lebih

dari itu, akan berimplikasi seorang kyai menjadi otoriter. Maka dalam perkembangan

selanjutnya, seorang pengasuh atau kyai sangat menentukan hitam-putihnya, maju-

mundurnya, dan berkualitas atau tidaknya pesantren. Pola semacam ini akan berdampak

pada manajemen pendidikan otoritarianistik. Akhirnya, reformasi dan pembaharuhan di

bidang pendidikan akan sulit dicapai.

Dan juga perlu diakui, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak

memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler maupun

instruksional umum dan khusus. Sehingga dapat disinyalir bahwa yang menyebabkan

kurangnya kemampuan pesantren mengikuti dan menguasai perkembangan zaman

terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pesantren. Akibatnya kurikulum

pendidikannya pun kurang terawasi dengan baik. Kemudian pesantren kurang terbuka

dan kurang dinamis untuk mengadopsi metode pengajaran modern. Metodologi yang

diterapkan lebih banyak berpegang teguh pada warisan-warisan jaman dulu, yang

sebagaian besar sudah tidak relevan dengan era modern.

Maka dalam penelitian ini penulis menfokuskan pada dua orang tokoh dari

sekian banyak pemikir-pemikir tentang Pendidikan Islam (pesantren) di Indonesia.

Mereka adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dus) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur). Gus

Dur dan Cak Nur adalah contoh tokoh nasional yang berlatarbelakang pesantren

sekaligus untuk menggambarkan bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga yang

menjunjung tinggi normativitas.

Kemudian dari uraian di atas, penulis kemukakan rumusan masalah sebagai

berikut : Pertama, Bagaimana Modernisasi Pesantren menurut Abdurrahman Wahid dan

Nurcholis Madjid ? dan Kedua, Bagaimana Rekonstruksi Pendidikan Islam (Tujuan,

Page 7: Nasichin_SINOPSIS TESIS

6M. Nasichin Al Mu’iz

Kurikulum dan Metode) di Pesantren dalam analisis komparatif pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid ?

Sesuai dengan beberapa rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini

memiliki tujuan sebagai berikut ; Pertama, Untuk mengetahui Modernisasi Pesantren

menurut Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid. Kedua, Untuk mengetahui

Rekonstruksi Pendidikan Pesantren (Tujuan, Kurikulum dan Metode) menurut

Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan berguna bagi Pesantren dapat

dijadikan bahan acuan pengembangan pesantren, pada khususnya para pimpinan

pesantren dan para pengurus/asaatidz pendidikan pesantren. Bagi Masyarakat dan

stakeholder ialah dapat dijadikan bahan untuk memahami sistem pendidikan pesantren

dan dapat dijadikan bahan masukan oleh pihak-pihak terkait. Bagi Pemerintah kiranya

hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan-

kebijakan terhadap proses pembelajaran di pesantren dalam perkembangan zaman,

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagai subsistem pendidikan nasional.

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Berkaitan dengan jenis penelitian, dari mana asal tempat penelitian

dilaksanakan, yaitu penelitian perpustakaan dan beberapa argumen ilmuwan serta

informasi dari beberapa sumber pustaka terkait. Maka penelitian ini menggunakan

“Penelitian Kepustakaan” atau “Library Reseach”. Selain itu biasa disebut Kajian

Pustaka atau literature. Yaitu telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu

masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam

terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian yang terkait dengan masalah

kajian, yang disajikan dengan cara dan keperluan baru.

Page 8: Nasichin_SINOPSIS TESIS

7M. Nasichin Al Mu’iz

Adapun penelitian ini jika diklasifikasi menurut aspek metodenya disebut

penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada

obyek tertentu secara jelas dan sistematis. Artinya peneliti melakukan eksplorasi,

menggambarkan dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi

terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh.10 Dengan

menggunakan jenis pendekatan hermeneutik, yaitu pendekatan yang menggunakan

logika linguistik dan telaah makna kata pada suatu hasil karya.11

2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah merupakan subyek

dari mana data dapat diperoleh atau dihimpun.12 Kemudian penelitian ini jika dilihat

dari bahan pustaka atau sumber penelitian digolongkan menjadi dua,13 yaitu :

Sumber Primer, sebagai acuan utama penelitian dan Sumber Skunder, sebagai bahan

tambahan dan pendukung. Kemudian agar hasil dari penelitian ini benar-benar valid

dan sesuai dengan yang diharapkan, maka penulis menggunakan metode

dokumentasi.

3. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengumpulkan data ke

dalam kategori satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis yang disarankan oleh data tersebut.14 Dengan ini, dalam

menganalisis suatu permasalahan dalam penelitian ilmiah dibutuhkan cara berfikir

10Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetisi dan Prakteknya, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2007), 1411

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), 31412

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. XI, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 11413

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 50 - 5114

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 103

Page 9: Nasichin_SINOPSIS TESIS

8M. Nasichin Al Mu’iz

yang tepat, valid, tajam dan mendalam, untuk itu analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

Pertama, Content Analisis atau disebut dengan analisis isi. Yaitu bahwa

analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks

dan situasi.15 Sehingga analisis ini juga disebut analisis dokumenter, yaitu analisis

tidak terbatas pada perhitungan sederhana saja melainkan dapat juga digunakan

untuk menyelidiki variabel sosiologis dan psikologis.16 Kemudian dalam penelitian

ini penulis akan menggunakan kalimat-kalimat untuk membuat suatu pernyataan

koheren sehingga orang lain dapat mengerti dan memahami serta mampu

menanggapi pesan-pesan dari orang lain yang menjadi obyek kajian penelitian

dengan cara-cara yang logis dan alami serta tidak mengacaukan arus bahasan.

Kedua, Analisis Logika Reflektif yaitu Tehnik analisis data yang berpedoman

pada cara berfikir reflektif, artinya cara berfikir dalam proses mondar-mandir secara

cepat antara induksi dan deduksi. Logika induksi umumnya memerlukan penyajian

data empirik yang cukup untuk membuat abstraksi, sedangkan logika deduksi

memerlukan penjabaran sistematik spesifik yang luas menyeluruh.17 Kemudian

peneliti akan memecahkan dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk

dibandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literature atau alternatif tersebut

kemudian melakukan dengan interpretif, artinya peneliti melakukan simpulan kajian

yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatupaduan temuan ke dalam bangunan

pengetahuan.

15Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan

Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 4916

Donal Ary, et.al., Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, ter. Arief Furchan, (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 42817

Ibid., 6

Page 10: Nasichin_SINOPSIS TESIS

9M. Nasichin Al Mu’iz

Ketiga, Analisis Komparasi yaitu merupakan sebuah metode yang dipakai

untuk membandingkan terhadap beberapa segi yang meliputi data, situasi dan

konsepsi filosofis.18 Sehingga metode komparasi ini digunakan untuk analisis guna

membandingkan kejadian yang terjadi di saat peneliti menganalisa dan dilakukan

secara terus menerus sepanjang penelitian itu dilakukan.19 Kemudian peneliti akan

membandingkan beberapa pendapat atau kajian-kajian yang ada dengan

memperhatikan esensi dan penyebab-penyebabnya.20 Analisis komparatif ini penulis

fungsikan dalam simpulan akhir daripada kajian analisa beberapa data, artinya

dilakukan setelah menganalisa dengan refleksi dari dua obyek penelitian. Kemudian

dikomparasikan atau disinergikan atas pemikiran Abdurrahman Wahid dan

Nurcholis Madjid.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Dinamika Pendidikan Pesantren

Istilah pesantren dalam pemakaian kesehari-hariannya biasa disebut dengan

pondok saja atau kedua kata itu digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial

kedua kata ini mengandung makna yang sama kecuali sedikit perbedaan. Asrama

yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara

pondok dan pesantren.

Namun dalam perkembangannya perbedaan ini ternyata mengalami

kekaburan. Asrama (pemondokan) yang seharusnya sebagai penginapan santri-santri

yang belajar di pesantren untuk memperlancar proses belajarnya dan menjalin

hubungan antara guru-murid secara lebih akrab, tetapi yang terjadi di beberapa

18Anton Bekker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogjakarta: Kanisius, 1990),

111 - 11219

Burhan Bengin, Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 100 - 101 20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, 236 - 237

Page 11: Nasichin_SINOPSIS TESIS

10M. Nasichin Al Mu’iz

pondok justru hanya sebagai tempat tidur semata bagi pelajar-pelajar sekolah umum.

Mereka menempati pondok bukan untuk tholabul 'ilmi al-diniy, melainkan karena

alasan ekonomis. Istilah pondok juga sering kali digunakan bagi perumahan-

perumahan kecil di sawah atau ladang sebagai tempat peristirahatan sementara bagi

para petani yang sedang bekerja.21

Sehingga penyebutan pondok pesantren dianggap kurang jami'u mani'

(singkat padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, para

penulis lebih cenderung mempergunakannya dan meninggalkan istilah yang panjang.

Maka pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok

pesantren. kemudian dalam penelitian ini, pesantren didefinisikan sebagai suatu

tempat pendidikan agama dan pengajaran yang menekankan pada pelajaran agama

islam yang di dukung dengan asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat

permanen dan mendapat pengawasan secara penuh dari pengasuh atau pengurus

pesantren.

Mastuhu mengelompokkan terhadap unsur sistem pendidikan pesantren

terdiri dari dua yaitu pertama unsur organik, diantaranya para pelaku pendidikan,

pimpinan, guru, murid dan pengurus. Kedua, unsur anorganik yang meliputi tujuan,

filsafat dan tata nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar

mengajar, penerimaan murid dan tenaga pendidikan, tehnologi pendidikan, dana,

sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem

pendidikan.22

Sehingga dalam tataran idealisme dengan sistem pendidikan pesantren yang

begitu teratur, dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan pesantren adalah lembaga

21Mujamil Qomar, Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrastisai Institusi, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, t.t.), 222Mastuhu, Dinamika Sistem, 19

Page 12: Nasichin_SINOPSIS TESIS

11M. Nasichin Al Mu’iz

pendidikan yang sistematik. Namun demikian, akan kelengkapan unsur-unsur

tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dan pesantren yang lain. Hal ini

disebabkan karena ada pesantren yang secara lengkap dengan jumlah besar memiliki

unsur-unsur tersebut, dan juga ada pesantren hanya memiliki unsur-unsur tersebut

dalam jumlah yang kecil dan belum lengkap.

Adapun dalam ranah pendekatan pendidikan pesantren yang digunakan

dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi / lembaga pendidikan

sekaligus sebagai lembaga keagamaan, pesantren menggunakan pendekatan

holistik.23 Artinya dalam pesantren semua kegiatan pembelajaran dan aktivitas

kehidupan termasuk aktivitas keagamaan merupakan kesatupaduan utuh dalam

totalitas kehidupan sehari-hari. Namun pada subtansinya orientasi tujuan pesantren

secara general lebih mengutamakan dan menekankan pendidikannya pada aspek-

aspek akhlak atau moral dalam membentuk kepribadian santri untuk menjadi muslim

yang sejati.

Menurut Mastuhu, nilai yang mendasari pesantren di golongkan menjadi dua

golongan, yaitu pertama nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak yang

bersifat fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrowi. Kedua nilai-nilai

agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk

memecahkan berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama.24 Kedua nilai

ini mempunyai hubungan vertikal dan hierarkis. Dalam kaitan ini kyai menjaga

nilai-nilai agama kelompok pertama, sedangkan ustadz dan santri menjaga nilai-

nilai kelompok kedua. Hal inilah yang menyebabkan dalam sistem pendidikan

pesantren sosok kyai menjadi sosok yang menentukan setiap perjalanan dan

23Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan, 20. Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem, 5824Mastuhu, Dinamika Sistem, 58

Page 13: Nasichin_SINOPSIS TESIS

12M. Nasichin Al Mu’iz

aktivitas pesantren (individual enterprise), bahkan juga mempengaruhi masyarakat

sekitar pesantren.

Dalam terminologi UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, inti tujuan

Pendidikan Nasional adalah tercapainya bangsa Indonesia yang bermartabat.

Indikator bangsa yang bermartabat di antaranya adalah : beriman, bertakwa,

berakhlak mulia, sehat jasmani dan ruhani, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan

bertanggung jawab.25

Secara fungsional pesantren telah memerankan multifungsi yaitu sebagai

lembaga pendidikan keagamaan Islam, sebagai lembaga pengembangan intelektual,

sosial ekonomi dan iptek, sebagai lembaga pendidikan kesetaraan dan pesantren

sebagai lembaga pertahanan moral dan wawasan kebangsaan. Sehingga peranan

pendidikan pesantren dalam pelaksanaan pendidikan nasional dapat dilihat dalam

kaitannya sebagai sub-sistem pendidikan nasional.26

2. Modernisasi Pendidikan Pesantren

Modernisasi yang dalam bentuk umum di Indonesia dalam dasawarsa

terakhir lebih dikenal dengan istilah pembangunan (development) yaitu proses multi-

dimensional yang kompleks. Dalam dunia pendidikan, menurut Azyumardi Azra

bahwa modernisasi umumnya dilihat dari dua segi. Pada satu segi, pendidikan

dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Artinya tanpa pendidikan yang

memadai akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk mencapai tujuan. Pada segi

lain, pendidikan dipandang sebagai objek modernisasi.27 Dalam konteks ini,

pendidikan pesantren pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai

25UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 200326Dedi Djubaedi, Pemaduan Pendidikan Pesantren - Sekolah : Telaah Teoritis dalam Perspektif Pendidikan Nasional, dalam Marzuki Wahid, et. al, Pesantren Masa Depan :Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 18427

Azyumardi Azra, Pembaharuan Pendidikan Islam : Sebuah Pengantar, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Amissco, 1996), 2

Page 14: Nasichin_SINOPSIS TESIS

13M. Nasichin Al Mu’iz

hal, karena itulah pendidikan harus diperbarui, dibangun kembali sehingga dapat

memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Adapun menurut

Abdurrahman Wahid modernisasi adalah merupakan proses daripada dinamisasi,

yang pada asasnya dinamisasi mencangkup dua buah proses yaitu penggalakan

kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, di samping mencangkup pula

pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih

sempurna.28

Secara umum modernisasi sering dikonotasikan dengan dunia Barat. Dalam

pernyataan ini menurut Nurcholis Madjid meskipun tidak benar mutlak akan

pernyataan tersebut, tetapi tidak bisa disalahkan lahirnya anggapan seperti ini, sebab

masih banyak orang beranggapan bahwa modernisasi masih didominasi oleh nilai-

nilai dari Barat, bahkan ada yang beranggapan modernisasi adalah penghalusan dari

pengertian westernisasi.29 Namun dalam pandangan Nurcholis Madjid sendiri

modernisasi memiliki sifat universal, sedangkan westernisasi lebih bersifat regional,

simbol universal itu sendiri menurutnya ditunjukkan dengan ilmu pengetahuan dan

tehnologi sebagai motor penggerak modernisasi.30

Sehingga modernisasi yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan orang,

kadang-kadang disalah tafsirkan, sebab orang sering melihat bahwa modernisasi itu

identik dengan westernisasi, padahal tidak selalu demikian, dalam permasalahan ini

Nurcholis Madjid berpendapat bahwa modernisasi adalah pengertian yang identik

atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Dalam hal itu berarti proses

28Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren, Cet. II (Yogyakarta: LKiS, 2007), 53. Lihat Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1399 H), 5229Abudin Nata, Tokoh - Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 8930Ibid.,

Page 15: Nasichin_SINOPSIS TESIS

14M. Nasichin Al Mu’iz

perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah (irasional) dan

menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang akliyah (rasional).31

Dengan demikian, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa modernisasi adalah

rasionalisasi dan bukan westernisasi, jadi menurutnya sesuatu dapat disebut dengan

modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum

yang berlaku dalam alam. Artinya terkandung suatu proses penghilangan pola-pola

pikir tidak rasionalistik dan menggantinya dengan pola baru yang lebih rasionalistik.

Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kegunaan maksimal dan efisiensi sebuah

pekerjaan.32

Kemudian dalam penegasan selanjutnya Nurcholis Madjid berpendapat

bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Sebab

modernisasi merupakan pelaksanaan daripada perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha

Esa. Dalam hal ini Nurcholis Madjid menggunakan dasar islami yaitu beberapa ayat

al-Qur’an,33 diantaranya : (Q.S. An Nahl : 3), (Q.S. As Shaad : 27), (Q.S. Al A’raaf :

54), (Q.S. Al Furqaan : 2), (Q.S. Al Anbiyaa’ : 7), (Q.S. Al Mulk : 3), (Q.S. Yunus :

101), (Q.S. Al Jaatsiyah : 13), (Q.S. Al Baqarah : 170) dan (Q.S. Az Zukhruf : 22-

25). Dengan beberapa dalil ayat al-Qur’an di atas, kiranya menjadi mantap akan

keyakinan kita bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya

guna dalam berfikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan manusia adalah

perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.

Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren adalah upaya

menggalakkan nilai-nilai hidup yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren dan

menggantikan nilai-nilai lama yang kurang relevan dengan perkembangan zaman

31Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. XI (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 17232Ibid.33Ibid.

Page 16: Nasichin_SINOPSIS TESIS

15M. Nasichin Al Mu’iz

dengan nilai-nilai yang lebih baik. Namun pembaharuan sistem pendidikan pesantren

tidak datang dengan sendirinya, tetapi upaya inovasi tersebut harus selalu

diupayakan.

Sehubungan dengan hal di atas, Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid

menuturkan peranan pesantren masa kini, apalagi masa mendatang adalah peranan

dalam menjawab tantangan yang membuatnya berada di persimpangan jalan, 34 yaitu

persimpangan antara meneruskan peranan yang telah diembannya selama ini atau

menempuh jalan menyesuaikan diri sama sekali dengan keadaan. Maksud dari pada

menyesuaikan diri dengan keadaan itu, menurut dia adalah keikutsertaan sepenuhnya

dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan modern, termasuk di dalamnya bagian

yang merupakan ciri utama kehidupan abad ini, yaitu tehnologi.

Sebagai suatu proses, pendidikan membutuhkan lembaga (institusi) yang

salah satu artinya adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan

keilmuan atau melakukan suatu usaha.35 Oleh sebab ini, lembaga pendidikan

merupakan organisasi yang bertugas menyelenggarakan kegiatan proses belajar

mengajar.

Sebagaimana lembaga pendididikan yang lain pendidikan pesantren dalam

perkembangannya, mengalami perubahan yang pesat, bahkan ada kecenderungan

menunjukkan tren. Di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya

dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan diantaranya ada yang

membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian,

peternakan, teknik, dan sebagainya.36 Sehingga pendidikan pesantren dalam

34Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pikiran-Pikiran Nurcholis Muda, Agus Edi Santoso (ed.), (Bandung: Mizan, 1990), 226. Lihat Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), 5835Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 58036Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 190

Page 17: Nasichin_SINOPSIS TESIS

16M. Nasichin Al Mu’iz

perubahan dan perkembangannya mencakup beberapa format mulai dari masjid,

madarasah, sekolah dan lembaga pendidikan tinggi.

3. Rekonstruksi Pendidikan Pesantren

a. Tujuan Pendidikan Pesantren

Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor

pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-

faktor lainnya yang terkait, misalnya pendidik, peserta didik, alat pendidikan,

lingkungan pendidikan dan lain sebagainya. Keberadaan fator-faktor tersebut

tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tidak dapat dipungkiri

lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan,

sehingga materi, metode dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan.

Tujuan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek-aspek tersebut.

Dengan menghadapi tuntutan perkembangan zaman, maka tujuan

pendidikan pesantren juga harus mengalami perubahan, bahkan pembentukan

baru yang lebih dianggap sesuai dengan kebutuhan zaman. Abdurrahman Wahid

memberikan pernyataan perubahan itu harus disesuaikan dengan kebutuhan-

kebutuhan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Yaitu pesantren

harus menitik beratkan akan tujuan pendidikan pesantren pada arah kerja atau

karir. Abdurrahman Wahid menuturkan tujuan pesantren berubah menjadi

pendalaman-pendalaman agama untuk dijadikan landasan menempuh karir

tertentu, pada umumnya sebagai pengajar agama.37

Namun kemudian Nurcholis Madjid mengingatkan dalam

pelaksanaannya, bahwa pesantren-pesantren tidak perlu kehilangan

kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan, bahkan

37Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, 106

Page 18: Nasichin_SINOPSIS TESIS

17M. Nasichin Al Mu’iz

menurutnya tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh pesantren-pesantren itu

sebenarnya lebih merupakan ciri khusus yang harus dipertanhan.38

Kemudian dalam tulisan Nurcholis Madjid menuturkan bahwa tujuan

pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesandaran

tinggi bahwa ajaran Islam merupakan "weltanchaung" yang bersifat menyeluruh.

Selain itu pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan

responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang

dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).39

b. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di

dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal, sistem dan

kelembagaan pesantren telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan

pembangunan, terutama dalam aspek kelembagaan yang secara otomatis akan

mempengaruhi penetapan kurikulum yang mengacu pada tujuan institusional

lembaga tersebut.

Salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan yang digunakan

sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses

mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan,

adalah kurikulum.40 Namun dalam perjalanannya kurikulum telah mengalami

perluasan makna, sehingga meliputi kegiatan-kegiatan intra-kurikuler maupun

ekstra-kurikuler, dan bisa melibatkan di samping aktivitas yang diperankan

santri juga diperankan kyai. Demikian juga kegiatan-kegiatan yang memiliki

bobot wajib diikuti maupun sekedar anjuran juga termasuk pada liputan

38Nurcholis Madjid, Bilik - Bilik Pesantren, 539Ibid., 1840S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 13

Page 19: Nasichin_SINOPSIS TESIS

18M. Nasichin Al Mu’iz

kurikulum.41 Dengan demikian cakupan daripada kurikulum sangatlah luas,

sehingga menuntut untuk melakukan rancangan dan perencanaan yang benar-

benar mendasar sesuai dengan kebutuhan atas perkembangan zaman.

Dalam pandangan Abdurrahman Wahid kurikulum yang berkembang di

pesantren selama ini masih memperlihatkan sebuah pola yang tetap.42 Pola tetap

ini Abdurrahman Wahid merincinya secara ringkas ke dalam pokok-pokok

sebagai berikut ; 1). Kurikulum ditunjukkan untuk mencetak ulama’ di kemudian

hari. 2). Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama

dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan

kepada santri secara pribadi oleh kyai/guru. 3). Secara keseluruhan kurikulum

yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan

menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuannya.43

Sehingga Abdurrahman Wahid menyatakan dengan kurikulum-

kurikulum yang ada pada pesantren selama ini masih menimbulkan efek pada

tata nilai yang lebih ditekankan pada pembentukan nilai-nilai praktis yang

dipergunakan guna mengatur kehidupan sehari-hari sehingga ia kehilangan nilai

spekulatifnya.44

Senada dengan hal di atas, dalam analisis Nurcholis Madjid dalam

aspek kurikulum pendidikan pesantren terlihat pelajaran agama masih dominan

di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam

berbahasa Arab. Mata pelajaran meliputi fiqih (paling utama), aqoid nahmu

shorof (juga mendapatkan kedudukan yang penting), dan lain-lain. Sedangkan

41Mujamil Qomar, Pesantren : dari Transformasi, 10942Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, 145 43Ibid. 44Ibid., 29

Page 20: Nasichin_SINOPSIS TESIS

19M. Nasichin Al Mu’iz

tasawuf dan semangat serta rasa agama (religious) yang merupakan inti dari

kurikulum keagamaan cenderung terabaikan.45

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, dalam penunggalan kajian fiqih ni

masih dipertayakan tentang relevansinya dengan keadaan zaman sekarang, sebab

menurutnya awal semaraknya orang mengkaji fiqih pada sekitar abad kedua

hijriyah adalah hubungannya erat dengan kekuasaan, yang mengakibatkan

meningkatnya orang yang mengkajinya demi menuju pada status sosial politik

yang lebih tinggi.46 Maka terjadilah dominasi fiqh, dan dalam perjalannya

seseorang yang merasa ahli dalam bidang fiqih menempati posisi kepemimpinan

keagamaan Islam.47

Dengan kesadaran atas analisis kurikulum di atas, dapat diyakini bahwa

integritas pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren,

sebagaimana tampak dewasa ini, merupakan kecenderungan positif yang

diharapkan bisa menepis beberapa kelemahan masing-masing. Bagi pendidikan

pesantren, integrasi semacam itu merupakan peluang yang sangat strategis untuk

mengembangkan tujuan pendidikan secara lebih aktual dan kontekstual.

Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah

antara sisi konstitusi yang sudah menjadi bagian dari ciri khas pesantren dan sisi

kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur

dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah

menjadikan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang telah mampu

melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam

45Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 7946Nurcholis Madjid, Bilik - Bilik Pesantren, 847Ibid.

Page 21: Nasichin_SINOPSIS TESIS

20M. Nasichin Al Mu’iz

sekaligus siap pakai dalam dunia kerja, sehingga penataan struktur kurikulum

pesantren yang representatif dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi

c. Metodologi Pengajaran Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai sistem pendidikan Islam yang telah berpengalaman

begitu lama, dengan adanya perubahan zaman, membuat pesantren telah

mengalami pergeseran dan perubahan baik terkait dengan kelembagaan maupun

tujuan serta kurikulum sebagaimana telah dijabarkan di atas. Oleh karena itu

dalam bahasan ini perlu juga untuk mengetahui perkembangan atas rekonstruksi

metode pengajaran pesantren sebagai sistem dari pendidikan dan pengajaran itu

sendiri. Sebab sebagai sistem pembelajaran, metode menempati urutan susudah

materi (kurikulum). Karena metode selalu mengikuti materi yang ada, dalam arti

penyesuaian dengan bentuk dan coraknya, sehingga metode mengalami

perubahan bila materi yang disampaikan berubah. Namun dengan materi yang

sama bisa digunakan dengan beberapa metode yang berbeda-beda.

Pesantren sering kali disebut dengan model pendidikan Islam yang

tradisional. Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di

pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya

dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang kyai kepada santrinya dan

metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem sorogan,

wetonan, lalaran, bandongan, halaqoh dan sejenisnya.

Dalam hal ini Abdurrahman Wahid memberikan tawaran solutif untuk

memberikan landasan yang kokoh pada usaha penyempurnaan sistem pengajaran

pesantren selama ini, yaitu harus dirumuskan sebuah filsafat pendidikan agama

yang tradisional, jelas dan terperinci.48 Yang kemudian dari filsafat pendidikan

48Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, 77

Page 22: Nasichin_SINOPSIS TESIS

21M. Nasichin Al Mu’iz

yang sedemikian itu dapat disusun dalam kurikulum dan silabus sebuah sistem

pendidikan dan selanjutnya dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan

kebutuhannya.

Implementasi daripada tawaran Abdurrahman Wahid tersebut adalah

dengan memberikan ruang pada santri dan anak didik untuk berfikir lebih bebas,

tidak hanya menerima ajaran-ajaran yang bersifat doktrinal belaka. Artinya

metode yang digunakan yaitu merangsang santri untuk berfikir dengan tanpa

dibatasi oleh keadaan (cara guru memberikan materi).

Menurut Nurcholis Madjid tentang perlunya dipikirkan kembali metode

dan cara penyampaian dalam pengajaran di pesantren. Memang agaknya

Nurcholis Madjid berkesimpulan bahwa pemikiran mengenai metode dalam

pembelajaran jauh lebih penting dari hal-hal yang berkaitan dengan isi atau

materi.49 Pendidikan pesantren masa lampau tidak mementingkan metode atau

cara, karena lebih mementingkan hal-hal yang bersifat normatif. Dengan tidak

menutup mata atas keberhasilan pendidikan tempo dulu, maka dunia pendidikan

pesantren sekarang harus merelevankan atau bahkan merekonstruksi metode

pendidikannya kepada tuntutan zaman di era tehnologi dan industri ini.

Seiring dengan tawaran Abdurrahman Wahid di atas, Nurcholis Madjid

juga memberikan kritik konstruktif berkenaan dengan metodologi pendidikan

pesantren, bahwa kajian pesantren lebih lekat dengan kitab kuning maka apresisi

warisan intelektualnya lebih bersifat doktrinal dan dokmatik, dengan ini secara

wajar perlu mengapresiasikan warisan intelektual dari luar Islam sejalan dengan

49Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pikiran-Pikiran Nurcholis Muda, Agus Edi Santoso (ed.), (Bandung: Mizan, 1990), 229

Page 23: Nasichin_SINOPSIS TESIS

22M. Nasichin Al Mu’iz

pentunjuk agama sendiri dalam hal sikap terhadap hikmah atau ilmu

pengetahuan dari manapun datangnya.50

Dengan demikian, sikap yang diharapkan adalah mengindikasikan

pengintegrasian kelimuan dalam wacana pendidikan Islam. Yaitu pada tataran

tertentu bidang yang menekankan pada pemikiran juga harus ditekankan. Hal ini

pada hakikatnya adalah untuk menarik pesantren agar lebih membuka diri dalam

sistem pengajaran yang mengacu pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik

secara seimbang. Sehingga metode pengajaran yang digunakan pesantren adalah

metode yang mampu memancing gaya tarik untuk berfikir untuk

mengembangkan materi dan berfikir dalam aplikasi materi terhadap kehidupan

sehari-hari.

D. Kesimpulan

Sebagai penutup dalam penelitian ini, yang berdasar pada uraian sebelumnya,

maka dapat penulis kemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. Modernisasi Pesantren

Modernisasi pesantren dalam konsep Abdurrahman Wahid adalah adalah

merupakan proses daripada dinamisasi, yang pada asasnya dinamisasi mencangkup

dua buah proses yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada,

(tradisi-tradisi pesantren) di samping mencangkup pula pergantian nilai-nilai lama

itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna (nilai yang sesuai dengan

kebutuhan zaman).

Modernisasi pesantren dalam konsep Nurcholis Madjid adalah pesantren

diharapkan mampu memberikan responsi atas tantangan-tantangan perkembangan

kontemporer, maka kaitannya ini ialah dengan dua aspek, yaitu ilmu dan tehnologi,

50Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), 157

Page 24: Nasichin_SINOPSIS TESIS

23M. Nasichin Al Mu’iz

dan nasional yaitu pembangunan di Indonesia. Artinya pesantren harus mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan tehnologi dan perkembangan akan kebutuhan

masyarakat dalam setiap zamannya.

Dari dua konsep di atas, dapat di simpulkan bahwa keduanya sama-sama

mengambil konsep pembaharuan pesantren yaitu kaidah yang berbunyi, “Al-

Muhafazatu ‘ala al-qadiim al-asalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-aslah”, artinya :

melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang

lebih baik.

Kemudian untuk menjaga keeksisannya pendidikan pesantren dalam

perkembangan zaman, pesantren dituntut untuk membuka dan menerima institusi

pengembangan pendidikan pesantren yaitu dengan membuka dan menerima

institusi madrasah (di bawah lindungan Departemen Agama), maupun Sekolah

Umum (di bawah lindungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) bahkan

perguruan-perguruan tinggi Islam.

Selanjutnya kepemimpinan pesantren juga harus mengalami pembaharuan

dari yang sentralistik dan kharismatik menuju yang lebih kooperatif dengan

perkembangan zaman. Menurut Abdurrahman Wahid pesantren saat ini perlu

adanya pemimpin yang dinamis yaitu pemimpin muda yang mempunyai semangat

baru serta kemampuan di berbagai bidang, baik kepesantrenan maupun bidang

pengembangan dengan dunia luar. Sedangkan Nurcholis Madjid memberikan

statemen bahwa pesantren seharusnya dipimpin oleh seorang pimpinan yang

legitimate dan mempunyai skill dalam proses perubahan yang tanggap dengan

persoalan dan pemecahannya.

2. Rekontruksi Pendidikan Pesantren

a. Tujuan Pendidikan Pesantren

Page 25: Nasichin_SINOPSIS TESIS

24M. Nasichin Al Mu’iz

Tujuan pendidikan pesantren dalam konsep Abdurrahman Wahid adalah

integrasi antara pengetahuan agama dan non agama sehingga lulusan yang

dihasilkan akan memiliki suatu kepribadian yang utuh dan bulat yang

menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur keimanan yang kuat dan penguasaan

atas ilmu pengetahuan secara berimbang. Hal ini semata-mata karena

menunjukkan bahwa tujuan pendidikan pesantren menurut Abdurrahman Wahid

harus lebih mengarah pada dunia kerja atau karir.

Tujuan pendidikan pesantren dalam konsep Nurcholis Madjid adalah

membentuk manusia yang memiliki kesandaran tinggi bahwa ajaran Islam

merupakan "weltanchaung" yang bersifat menyeluruh. Selain itu pesantren

diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap

tantangan-tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang

ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).

Dari dua konsep di atas, dapat di simpulkan bahwa keduanya sama-sama

mengharapkan kemajuan pendidikan pesantren di zaman global ini, dengan

merumuskan tujuan pendidikan pesantren. Namun Abdurrahman Wahid lebih

pada pendekatan kultural yaitu dengan melalui pembentukan keahlian karir atau

lebih jelasnya pada keahlian bekerja setelah pulangnya dari pesantren. Adapun

Nurcholis Madjid lebih menekankan pada intelektual pemikiran, yaitu dengan

pengembangann keilmuan dalam tingkatan pendidikan tertentu.

b. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Kurikulum pendidikan pesantren dalam konsep Abdurrahman Wahid

adalah terbagi menjadi dua kurikulum yang berkaiatan dengan materi

keagamaan dan materi ketrampilan, dengan perincian sebagai berikut ;

Page 26: Nasichin_SINOPSIS TESIS

25M. Nasichin Al Mu’iz

Dalam kaitannya dengan materi keagamaan Abdurrahman Wahid

menggambagarkan kurikulum yang seharusnya dilaksanakan adalah dengan

rumusan sebagai berikut : pertama, pemberian waktu terbanyak dilakukan pada

unsur Nahwu-sharaf dan fiqih karena kedua unsur ini masih memerlukan

ulangan (tikror), setidak-tidaknya untuk separo dari masa berlakunya kurikulum.

Kedua, mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang pada

tahun-tahun berikutnya. Dan ketiga, kalau diperlukan, pada tahun-tahun terakhir

dapat diberikan buku-buku utama (kutubu al-Muthowwalah) seperti shohih

bukhori atau Muslim untuk hadits dan ihya’ al-ulumuddin untuk tasawuf. Kajian-

kajian ini masuk pada materi intra-kurikuler.

Selanjutnya kaitannya dengan ketrampilan Abdurrahman Wahid

memberikan tawaran dengan memberikan pembinaan ketrampilan bagi para

santri, baik meliputi pembinaan kejuruan tehnik maupun pendidikan karakter

yang mampu menyandang beban penyebaran ide ketrampilan itu sendiri dengan

baik. Hal ini dapat dilaksanakan dalam program periodik atau mungkin dijadikan

jadwak ekstra-kurikuler.

Kurikulum pendidikan pesantren dalam konsep Nurcholis Madjid adalah

dengan tetap mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat

penyelenggaraan pendidikan agama, tetapi perlu tinjauan kembali sedemikian

rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi santri

merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan

weltanschauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya

tentang kewajiban-kewajiban prakis Muslim sehari-hari.

Dari dua konsep di atas, dapat di simpulkan bahwa keduanya sama-sama

melakukan pembaharuan kurikulum. Namun Abdurrahman Wahid lebih

Page 27: Nasichin_SINOPSIS TESIS

26M. Nasichin Al Mu’iz

terperinci yaitu yang berorientasi pada tugas pokok agama Islam dan orientasi

pada pengembangan pesantren dengan zaman kontemporer (dunia karier).

Sedangkan Nurcholis Madjid memberikan pembaharuan kurikulum secara

general dengan orientasi pada tantangan dalam perkembangan zaman.

c. Metodologi Pengajaran Pesantren

Metodologi pendidikan pesantren dalam konsep Abdurrahman Wahid

adalah dengan memberikan ruang pada santri dan anak didik untuk berfikir lebih

bebas, tidak hanya menerima ajaran-ajaran yang bersifat doktrinal belaka.

Artinya metode yang digunakan yaitu merangsang santri untuk berfikir dengan

tanpa dibatasi oleh keadaan (cara guru memberikan materi).

Metodologi pendidikan pesantren dalam konsep Nurcholis Madjid adalah

metode dengan menekankan pengembangan wawasan berfikir dan keilmuan di

kalangan pesantren dengan memperkaya basis metodologi keilmuan (manhaj al-

fikr), disamping basis materi yang selama ini telah dikembangkan.

Dari dua konsep di atas, dapat di simpulkan bahwa keduanya sama-sama

melakukan pembaharuan metode pengajaran pesantren. Dengan demikian, sikap

yang diharapkan adalah mengindikasikan pengintegrasian kelimuan dalam

wacana pendidikan Islam. Yaitu pada tataran tertentu bidang yang menekankan

pada pemikiran juga harus ditekankan. Hal ini pada hakikatnya adalah untuk

menarik pesantren agar lebih membuka diri dalam sistem pengajaran yang

mengacu pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang.

E. Daftar Rujukan

Abshar Abdalla, Ulil, Humanisasi Kitab Kuning : Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren, dalam Marzuki Wahid, et al, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Page 28: Nasichin_SINOPSIS TESIS

27M. Nasichin Al Mu’iz

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. XI, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Ary, Donal, et.al., Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, ter. Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional, t.t.

Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Azra, Azyumardi, Pembaharuan Pendidikan Islam : Sebuah Pengantar, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV. Amissco, 1996.

________, Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Bekker, Anton, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogjakarta: Kanisius, 1990.

Bengin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Djubaedi, Dedi, Pemaduan Pendidikan Pesantren - Sekolah : Telaah Teoritis dalam Perspektif Pendidikan Nasional, dalam Marzuki Wahid, et. al, Pesantren Masa Depan :Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Idi, Abdullah, Toto Suharto, Revitalitas Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiwa Wacana, 2006.

J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997.

________, Bilik-Bilik Pesantren ; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997.

________, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. XI, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

________, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pikiran-Pikiran Nurcholis Muda, Agus Edi Santoso (ed.), Bandung: Mizan, 1990.

________, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan Pikiran-Pikiran Nurcholis Muda, Agus Edi Santoso (ed.), Bandung: Mizan, 1990.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.

Muthohar , Ahmad, Ideologi Pendidikan Pesantren : Pesantren di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.

Page 29: Nasichin_SINOPSIS TESIS

28M. Nasichin Al Mu’iz

Nashir, Ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal : Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Nata, Abudin, Tokoh - Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Qomar, Mujamil, Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrastisai Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t.

RI, Depag, Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2003.

Sobur, Alex, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetisi dan Prakteknya, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

Wahid, Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1399 H.

________, Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren, Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2007.

________, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1995.

________, Prisma Pemikiran Gus Dur, Editor Moh. Sholih Isre, Yogyakarta: LKiS, 2000.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching, 2005, 79