Terjemahan Jurnal Tika Tht

20
Jurnal Perspektif Terkini tentang Refluks Laringitis Daisuke Asaoka, Akihito Nahagara, Kenshi Matsumoto, Mariko Hojo, Sumio Watanabe Jurnal Klinik Gastroenterologi, Volume 7, 2014 Disadur Oleh: Kartika Tya Rachmani 102011101059 Pembimbing: dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT

description

jurnal tht tht esofageal refluks

Transcript of Terjemahan Jurnal Tika Tht

Page 1: Terjemahan Jurnal Tika Tht

JurnalPerspektif Terkini tentang Refluks Laringitis

Daisuke Asaoka, Akihito Nahagara, Kenshi Matsumoto, Mariko Hojo, Sumio Watanabe

Jurnal Klinik Gastroenterologi, Volume 7, 2014

Disadur Oleh:

Kartika Tya Rachmani

102011101059

Pembimbing:

dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT

SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

RSD DR. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNEJ

2015

Page 2: Terjemahan Jurnal Tika Tht

Perspektif Terkini tentang Refluks Laringitis

Daisuke Asaoka, Akihito Nahagara, Kenshi Matsumoto, Mariko Hojo, Sumio Watanabe

Jurnal Klinik Gastroenterologi, Volume 7, 2014

Abstrak

Refluks laringofaringeal merupakan manifestasi dari penyakit di luar esofagus pada penyakit refluks gastroesofageal. Meningkatnya insiden kasus refluks gastroesofageal membuat keadaan refluks laringofaringeal makin diakui secara luas. Namun patofisiologi refluks laringofaringeal belum dapat dipahami secara komplit dan kriteria diagnosis dari penyakit ini masih kontroversial. Sayangnya, tidak ada pemeriksaan standar utama dalam melakukan diagnosis refluks laringitis. Saat ini, terdapat penelitian eksperimental terhadap hewan yang digunakan untuk lebih memahami patofisiologi dari refluks laringitis. Suatu percobaan empiris berupa modifikasi gaya hidup dan penggunaan obat golongan penghambat pompa proton dianggap merupakan pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi gejala dari refluks laringofaringeal. Alternatif yang dapat dilakukan jika terapi dengan pengobatan secara agresif gagal masih terbatas dan impedansi intraluminal serta evaluasi berkala pH merupakan cara alternatif yang dianggap terbaik saat ini untuk mendeteksi refluks non asam. Diharapkan akan adanya tambahan riset prospektif dan riset berdasarkan kasus.

Kata kunci Refluks laringitis, impedansi intraluminal dan evaluasi berkala pH, manifestasi klinik diluar esofagus pada penyakit refluks gastroesofageal, refluks laringofaringeal

Pendahuluan

Saat ini, angka kejadian penyakit refluks gastroesofageal dilaporkan meningkat di Jepang sebagaimana halnya terjadi di negara – negara barat. Jumlah pasien yang merasakan sensasi yang tidak biasanya pada daerah laringofaring pada kasus penyakit refluks gastroesofageal juga dikabarkan meningkat. Refluks laringofaringeal didefinisikan sebagai varian dari penyakit refluks gastroesofageal. Pada suatu studi, terdapat sekitar 10 % total pasien yang berkunjung ke klinik otolaringologi dan 50 % pasien dengan keluhan utama yang berhubungan dengan suara didiagnosis terkena refluks laringofaringeal. Refluks laringofaringeal dihubungkan dengan beberapa penyakit, termasuk refluks laringitis dan batuk refluks. Gejala yang berhubungan

Page 3: Terjemahan Jurnal Tika Tht

dengan refluks laringitis adalah suara serak, berdehem, sensasi tercekik, disfagi, disfoni, globus, nyeri tenggorokan, dan spasme laring. Namun refluks laringofaringeal jarang dihubungkan dengan kejadian esofagitis, rasa terbakar pada dada, maupun regurgitasi. Sejak gejala dari tipikal refluks laringfaringeal dianggap non spesifik dan dapat disebabkan karena infeksi, penyalahgunaan suara, alergi, merokok, menghirup bahan yang mengiritasi, konsumsi alcohol, sinusitis kronik, tumor laring, gangguan tiroid, penggunaan obat – obatan, masalah psikosomatis, dan depresi membuat peningkatan kewaspadaan terhadap refluks laringofaringeal yang sering berujung pada diagnosis yang salah. Saat ini, terdapat riset eksperimental yang dikembangkan pada hewan untuk mempelajari patofisiologi dari refluks laringitis. Jurnal ini berlandaskan bahwa refluks laringitis merupakan manifestasi diluar esofagus pada kasus penyakit refluks gastroesofageal.

Patofisiologi

Hampir semua sumber mengusulkan mekanisme patofisiologi pada refluks laringofaringeal dapat dijelaskan menggunakan teori refluks atau teori refleks. Teori refluks merupakan mekanisme langsung yang melibatkan aspirasi yang memberi stimulasi langsung pada faring atau laring. Gejala pada refluks laringofaringeal terjadi akibat kontak langsung antara epitel laring dan faring dengan aliran balik dari isi gaster. Dibandingkan dengan mukosa esofagus, epitel laring dan faring jauh lebih mudah mengalami cedera, dan hanya perlu sedikit saja kontak langsung dengan cairan gaster untuk menimbulkan cedera pada laringofaringeal. Walau seringkali sfingter esofagus bagian bawah sering dibobol oleh isi lambung baik pada keadaan fisiologis atau tidak, masih terdapat mekanisme yang mencegah refluks gastroesofageal seperti sfingter esofagus bagian atas maupun bawah, fungsi motorik esofagus dengan klirens asam, dan resistensi jaringan esofagus terhadap asam. Sfingter esofagus bagian atas meningkat pada beberapa keadaan yaitu refluks esofagus distal, refleks penutupan esofagus – glotis, menelan,dan batuk yang melindungi faring dan laring kontak dengan bahan refluks. Pepsin dianggap memiliki peranan pada patogenesis dari refluks laringofaringeal. Pepsin akan aktif secara maksimal pada pH 2, tapi sudah mampu merusak jaringan pada pH dibawah 6,5. Penelitian oleh Johnson dan kawan – kawan menunjukan bahwa pepsin ditemukan pada epitel laring manusia yang dikumpulkan dari pasien dengan refluks laringofaringeal. Namun kemudian studi yang lain menonjolkan terdapatnya peran asam, pepsin, dan asam empedu.

Teori refleks termasuk refluks esofagus distal dapat menimbulkan gejala refluks laringofaringeal. Terdapat 2 refleks potensial yang dianggap mempengaruhi

Page 4: Terjemahan Jurnal Tika Tht

mekanisme refleks. Yang pertama adalah kemorefleks pada faring, yaitu refleks yang jarasnya terdiri dari serabut aferen yang dibentuk oleh rangsangan pada saraf laringeal superior dan serabut eferen yang dibentuk oleh nervus laringeal rekuren. Sedangkan mekanisme refleks yang kedua yaitu refleks yang dimediasi oleh sistem vagal. Bauman dan kawan – kawan menunjukan bahwa stimulasi sensor pada esofagus distal ditambah dengan tidak adanya stimulasi laring dapat menyebabkan spasme laring lewat serabut aferen dari nervus vagus. Pasien dapat merasakan gejala refluks laringofaringeal lewat mekanisme refleks tersebut.

Eksperimen menggunakan Hewan

Karena terbatasnya kemampuan untuk dapat memeriksa patofisiologi refluks laringofaringeal pada manusia, diperlukannya eksperimen menggunakan hewan sebagai model kasus refluks laringitis. Pada masa lampau, beberapa eksperimen dengan hewan digunakan untuk menegakkan serta mengklarifikasi hubungan antara refluks asam lambung dengan lesi pada laringofaring. Adhami dan kawan – kawan menunjukan bahwa refluks asam, pepsin, dan asam empedu yang terkonjugasi merupakan agen kimia yang paling mencederai jaringan laring. Namun penelitian ini kurang fisiologis karena eksperimen menggunakan hewan membuat faring terkena paparan langsung dari asam lambung. Sedikit laporan yang menginvestigasi apakah asam lambung endogen dapat mengalir keatas ke laring supraglotis pada hewan coba dengan esofagitis refluks kronis.

Shimazu dan kawan – kawan menggunakan model hewan tikus dengan esofagitis karena Omura dan kawan – kawan menggunakan metode berdasarkan teori refluks. Pada keadaan fisiologis, esofagitis karena refluks merupakan akibat dari refluks asam lambung endogen, dan secara klinis, hewan coba dapat dijadikan sebagai model. Pada tikus dengan esofagitis kronik karena refluks asam, studi melaporkan bahwa terdapat penebalan mukosa dan infiltrasi sel inflamasi pada hipofaring 8 minggu setelah percobaan, dan dengan berjalannya waktu ditemukan inflamasi kronik dengan proliferasi fibroblas, deposisi serat kolagen, dan dilatasi dan proliferasi dari kapiler. Namun pada model hanya ditemukan sedikit perubahan secara makroskopik pada mukosa hipofaring. Tidak ada konsensus yang berfokus pada gambaran histopatologis di laring subglotis pada kasus refluks laringitis, dan Simazu dan kawan – kawan juga gagal menunjukan bukti adanya inflamasi laring segera setelah operasi. Tidak ditemukan juga laporan mengenai investigasi apakah cedera pada epitel laring akibat refluks asam lambung endogen dapat diperbaiki dengan terapi menggunakan obat penghambat pompa proton.

Page 5: Terjemahan Jurnal Tika Tht

Kita juga menemukan bahwa refluks esofagolaringitis seekor tikus disebabkan oleh refluks asam lambung endogen karena ketiadaan penggunaan penghambat pompa proton dengan memodifikasi model asli dari refluks esofagitis kronis. Hewan coba kami berkembang menjadi refluks esofagolaringitis 2 minggu setelah percobaan. Angka bertahan hidup selama 14 hari setelah pembedahan adalah 80 % dan semua tikus model mengalami perubahan makroskopik berupa ulkus esofagus. Pada studi kami, tikus yang mengalami keadaan refluks esofagolaringitis menunjukan gambaran penebalan epitel laring dan infiltrasi leukosit baik pada subglotis maupun supraglotis. Namun tidak terdapat gambaran ulkus makroskopik baik pada supraglotis maupun subglotis. Hasil ini menunjukan bahwa refluks asam lambung endogen dapat mengalir melewati glotis dan mencapai supraglotis. Perbedaan pertahanan epitel esofagus dan laring menjadi perhatian dalam penelitian lebih lanjut untuk memahami patofisiologi dari refluks laringitis menggunakan hewan coba.

Diagnosis

Laringoskopi

Laringoskopi merupakan alat penyaring yang penting dalam diagnosis dari refluks laringitis. Namun, hasil laringoskopi seringkali sangat subjektif dan mungkin gambaran refluks laringofaringitis ada pada orang normal tanpa penykait gastroesofageal refluks. Belafsky dan kawan – kawan membuat sistem skoring refluks, yang terdiri dari sistem penilaian yang terstandar yang berisi 8 hal yang menjadi patokan nilai keparahan berdasarkan pemeriksaan laringoskopi. 8 komponen tersebut adalah edema subglotis, obliterasi ventrikuler, eritema, edema plika vokalis, edema laring difus, hipertrofi komisura posterior, granulooma, dan mukus endolaring yang berlebihan. Hasil skala skor dari 0 – 26. Berdasarkan analisis mereka, pasien dengan skor minimal 7 memiliki kemungkinan terkena refluks laringofaringeal sebesar 95 %. Walaupun skor refluks makin luas digunakan untuk membantu proses diagnosis refluks laringofaringeal, beberapa menilai tentang subjektifitas dari skor tersebut. Namun, penemuan laringoskopi seringkali berhubungan erat dengan refluks laringofaringeal. Salah satu penemuan pada laringoskopi adalah pseudosulkus vocalis yang terjadi karena edema infraglotis yang melewati bagian posterior menuju prosesus vokalis dari kartilago aritenoid. Gambaran pseudosulkus pada pemeriksaan laringoskopi memiliki hubungan yang erat dengan kejadian refluks laringofaringeal. Setelah melihat hasil dari gambaran endoskopi faring dan laring baik yang sebelum maupun sesudah mendapat terapi penghambat pompa proton, Oridate dan kawan – kawan mengusulkan bahwa penemuan mukus endolaring berguna untuk diagnosis dari refluks laringofaring.

Page 6: Terjemahan Jurnal Tika Tht

Tabel 1. Diagnosis dan terapi refluks laringofaringeal

Diagnosis Terapi LaringoskopiEvaluasi pH 24 jamEvaluasi pH impedansi intraluminalEvaluasi pH orofaringDeteksi pepsinTes penghambat pompa proton

Modifikasi gaya hidupMedikamentosaPembedahan

Pengawasan pH 24 jam

Standar emas untuk mendiagnosis penyakit refluks gastroesofageal adalah menggunakan evaluasi pH dalam 24 jam. Ajuk dapat meraskan fluktuasi pH antara 2 sampai 7. Selama tes, pasien menggunakan alat perekam data yang dihubungkan dengan ajuk dan mencatat kejadian tiap saatnya. Pada akhir studi, catatan pH dibandingkan dengan catatan untuk membandingkan korelasi dengan gejala yang dialami. Namun, pengaruh monitoring pH dalam menegakan hubungan antara penyakit refluks gastroesofageal dengan sindroma refluks laringitis masih tidak jelas. Awalnya terpikir bahwa pasien dengan gejala laringitis karena refluks memiliki kejadian mengalami refluks pada regio esofagus bagian atas dan hipofaring. Namun penelitian Joniau dan kawan – kawan melaporkan bahwa terdapat 43 % pasien normal memiliki catatan monitor pH yang abnormal tapi tidak ada gejala refluks laringofaring, dan secara statistik tidak ada perbedaan prevalensi refluks faringeal antara pasien dengan gejala refluks maupun pada individu yang normal. Studi lain juga menunjukan bahwa hanya 54 % pasien yang dicurigai refluks laringofaringeal memiliki gambaran abnormal pada esofagus karena paparan asam. Walaupun masuk akal jika menghubungkan pH faring dengan aspirasi, tapi terdapat keterbatasan dalam melakukan pengecekan pH di faring. Tidak ada patokan yang diterima secara universal seperti batasan pH normal, jumlah kejadian, serta peletakan ajuk dalam melakukan monitoring pH hipofaring. Selain itu, kejadian refluks bisa tidak terdeteksi pada faring yang besar dan terisi udara, serta bisa timbul dilusi dan penyangga dari refluks, sehingga pH bisa lebih dari 4. Selain itu juga sering ditemukan bayangan karena sensor yang kering dan akumulasi mukus atau makanan yang menempel di sensor.

Page 7: Terjemahan Jurnal Tika Tht

Impedansi intraluminal dan pengawasan pH

Pengenalan dan penghitungan refluks non asam penting dalam pasien yang tetap merasakan gejala walau sudah mendapat terapi penekan asam lambung secara agresif. Alat diagnosis yang terbaru untuk mendiagnosis refluks laringofaringeal adalah kombinasi antara pengawasan pH dan impedansi intraluminal. Teknik ini mengidentifikasikan apakah ada refluks fisiologis yang tersisa yang tidak bergantung pada pH. Teknik ini juga dapat mendeteksi frekuensi, lokasi, dan arah dari refluks baik gas atau cairan di sepanjang esofagus seperti halnya hipofaring. Setelah 24 jam dilakukan impedansi faring dan pengawasan pH pada pasien batuk kronik akibat refluks laringofaringeal, Kawamura dan kawan – kawan mengusulkan bahwa hampir semua pasien dengan batuk kronik akibat refluks laringofaringeal memiliki refluks esofagofaringeal berbentuk gas dengan keasaman yang lemah. Namun tidak ada nilai patokan terhadap semua parameter yang dibutuhkan dalam tes ini. Dan juga diperlukan studi lebih lanjut untuk melihat gambaran impedansi abnormal pada pasien dengan refluks laringofaringeal.

Pengawasan pH Orofaring

Ajuk dari (korporasi teknologi respirasi di San Diego USA; The Restech pH) merupakan alat pengawasan pH orofaring yang tidak terlalu invasif. Alat ini dapat mendeteksi pH baik yang berbentuk cairan atau aerosol. Diameter dari ajuk sekitar 1 mm, dan penempatan alat ini tidak memerlukan endoskopi. Alat ini memiliki kecepatan deteksi lebih cepat dibanding kateter pH tradisional. Studi terbaru menunjukan bahwa pengawasan pH orofaring lebih sensitif dibanding pengawasan pH secara tradisional pada pasien dengan refluks ekstra esofageal. Ayazi dan kawan – kawan mempelajari alat baru ini pada sukarelawan yang tidak mengeluhkan gejala, dan mengatakan perbedaan pH dan nilai normalnya menunjukkan pasien dengan lingkungan pH yang abnormal. Namun, diperlukan studi kontrol yang lebih mendalam untuk menilai peran alat ini pada pasien dengan refluks laringofaring.

Deteksi Pepsin

Pepsin, yang aktif dalam suasana asam, penting untuk mendiagnosis dari refluks laringofaringeal. Pepsin adalah enzim proteolitik yang merupakan bentuk aktif dari pepsinogen yang dihasilkan dari sel gaster. Pepsinogen diaktifkan oleh asam hidroklorit di perut. Tes cepat pepsin digunakan sebagai alat diagnosis non invasif untuk mendiagnosa refluks laringitis. Saritas dan kawan – kawan mengusulkan bahwa alat untuk mengecek pepsin dapat menjadi patokan pada pasien

Page 8: Terjemahan Jurnal Tika Tht

dengan penyakit refluks gastroesofageal. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai alat ini.

Tes Penghambat Pompa Proton

Akibat rendahnya spesifisitas dari pemeriksaan laringoskopi dan rendahanya sensitifitas dari evaluasi pengawasan pH, metode yang paling dapat diterima pada praktek klinis dalam mendiagnosis refluks laringofaringeal adalah dengan percobaan empiris menggunakan obat penghambat pompa proton. Sebagai terapi diagnostik, tes ini tetap dilakukan meskipun gejala pada pasien membaik. Altman dan dan kawan – kawan menganjurkan terapi empiris dengan penghambat pompa proton selama 1 – 2 bulan merupakan pendekatan awal yang cukup beralasan pada pasien dengan gejala refluks laringofaringeal. Pasien yang tidak membaik dengan terapi ini bisa saja memiliki penyebab yang berhubungan dengan non refluks atau mungkin memiliki komponen fungsional dari gejala yang timbul.

Terapi

Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan hal yang krusial dalam penanganan refluks laringitis. Pasien yang dicurigai refluks laringofaringeal dianjurkan untuk menghindari hal – hal yang merangsang refluks asam, seperti minum alkohol, merokok, makanan berlemak, cokelat, makanan asam, makanan pedas, dan kafein. Suatu percobaan acak menunjukan bahwa modifikasi gaya hidup selama 2 bulan memperbaiki gejala refluks laringofaringeal secara signifikan, baik dengan atau tanpa penghambat pompa proton. Koufman dan kawan – kawan menganjurkan diet rendah asam mungkin memiliki efek menguntungkan dengan mengurangi gejala yang timbul pada refluks laringofaringeal yang membandel. Modifikasi gaya hidup dengan cara meletakkan posisi kepala lebih tinggi dari badan saat tidur dan menghindari makan dalam waktu 3 jam sebelum tidur.

Terapi Medikamentosa

Terapi penghambat pompa proton merupakan penanganan standart pada kasus penyakit refluks ekstra esofageal, seperti sindroma refluks laringitis. Studi acak kontrol plasebo menunjukan bahwa terapi rabeprazole selama 12 minggu memperbaiki gejala refluks secara signifikan pada pasien dengan refluks

Page 9: Terjemahan Jurnal Tika Tht

laringofaringeal. Namun studi meta analisis terbaru pada pasien refluks laringofaringeal menunjukan bahwa terapi obat penghambat pompa proton mungkin menawarkan keuntungan, tapi tidak signifikan dibandingkan dengan plasebo pada kasus yang dicurigai laringitis kronik terkait penyakit refluks gastroesofageal. Pada pasien yang tidak berespon dengan pemberian obat 2 kali sehari, perlu dicari penyebab lain dari laringitis.

Pembedahan

Pembedahan merupakan pilihan terapi pada pasien dengan refluks laringofaringeal yang gagal dengan pengobatan medikamentosa. Pembedahan anti refluks membuat mekanisme katup baru di perbatasan gaster – esofagus untuk mencegah refluks. Metode tersering adalah metode Nissen. Pada metode ini, fundus gaster dimobilisasikan dan aspek posterior dari fundus dilewatkan ke belakang dari esofagus. Deveney dan kawan – kawan menunjukan bahwa 73 % pasien dengan lesi inflamasi pada laring karena refluks dan gangguan bersuara mengalami perbaikan setelah dilakukan pembedahan. Namun Swoger dan kawan – kawan menganjurkan bahwa terapi operasi tidak memperbaiki keluhan laring pada pasien yang tidak memberikan respon walau sudah di terapi dengan penghambat pompa proton secara agresif.

Kesimpulan

Refluks laringitis merupakan keadaan penting dari gejala ekstra esofagus dari penyakit refluks laringofaringeal. Patofisiologi dari refluks laringofaringeal masih belum jelas dan kriteria diagnostik penyakit ini masih kontroversial. Peralatan diagnostik seperti endoskopi gastrointestinal bagian atas dan pengawasan pH merupakan penanda yang buruk untuk diagnosis pasien dengan refluks laringitis. Sebuah percobaan empiris meunjukan bahwa modifikasi gaya hidup dan terapi penghambat pompa proton merupakan pendekatan terapi yang dapat diterima pada pasien dengan gejala refluks laringofaringeal. Kasus yang tidak membaik setelah diterapi secara agresif memerluka penilaian definitif. Walau terdapat keterbatasan, pengawasan pH dan impedansi intraluminal merupakan cara alternatif terbaik untuk mendeteksi refluks non asam. Diperlukan riset – riset tambahan berdasarkan bukti.

Page 10: Terjemahan Jurnal Tika Tht

REFERENSI

1. Fujiwara Y, Arakawa T. Epidemiology and clinical characteristics of GERD in the Japanese population. J Gastroenterol. 2009;44(6):518–34.2. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R. Global Consensus Group. The Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol. 2006;101:1900–20.3. Koufman JA. The otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux disease (GERD): a clinical investigation of 225 patients using ambulatory 24-hour pH monitoring and an experimental investigation of the role of acid and pepsin in thedevelopment of laryngeal injury. Laryngoscope. 1991;101:1–78.4. Koufman J, Sataloff RT, Toohill R. Laryngopharyngeal reflux: consensus conference report. J Voice. 1996;10:215–65. Ing AJ, Ngu MC, Breslin AB. Pathogenesis of chronic persistent cough associated with gastroesophageal reflux. Am J Respir Crit Care Med. 1994;149:160–7.6. Adhami T, Goldblum JR, Richter JE, Vaezi MF. The role of gastric and duodenal agents in laryngeal injury: an experimental canine model. Am J Gastroenterol. 2004;99:2098–106.7. Galli J, Calo` L, Agostino S, Cadoni G, Sergi B, Cianci R, Cammarota G. Bile reflux as possible risk factor in laryngopharyngeal inflammatory and neoplastic lesions. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2003;23:377–82.8. Johnston N, Knight J, Dettmar PW, Lively MO, Koufman J. Pepsin and carbonic anhydrase isoenzyme III as diagnostic markers for laryngopharyngeal reflux disease. Laryngoscope. 2004;114:2129–34.9. Jadcherla SR, Gupta A, Coley BD, Fernandez S, Shaker R. Esophago-glottal closure reflex in human infants: a novel reflex elicited with concurrent manometry and ultrasonography. Am J Gastroenterol. 2007;102:2286–93.10. Schoeman MN, Tippett MD, Akkermans LM, Dent J, Holloway RH. Mechanisms of gastroesophageal reflux in ambulant healthy human subjects. Gastroenterology. 1995;108:83–91.11. Piper DW, Fenton BH. pH stability and activity curves of pepsin with special reference to their clinical importance. Gut. 1965;6:506–8.12. Loughlin CJ, Koufman JA. Paroxysmal laryngospasm secondary to gastroesophageal reflux. Laryngoscope. 1996;106:1502–5.13. Wright RA, Miller SA, Corsello BF. Acid-induced esophagobronchial- cardiac reflexes in humans. Gastroenterology. 1990;99:71–3.14. Sasaki CT, Suzuki M. Laryngeal spasm: a neurophysiologic redefinition. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1977;86:150–7.15. Bauman NM, Sandler AD, Schmidt C, Maher JW, Smith RJ. Reflex laryngospasm induced by stimulation of distal esophageal afferents. Laryngoscope. 1994;104:209–14.

Page 11: Terjemahan Jurnal Tika Tht

16. Delahunty JE, Cherry J. Experimentally produced vocal cord granulomas. Laryngoscope. 1968;78:1941–7.17. Roh JL, Yoon YH. Effect of acid and pepsin on glottic wound healing: a simulated reflux model. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;132:995–1000.18. Gaynor EB. Gastroesophageal reflux as an etiologic factor in laryngeal complications of intubation. Laryngoscope. 1988;98:972–9.19. Shimazu R, Kusano K, Kuratomi Y, Inokuchi A. Histological changes of the pharynx and larynx in rats with chronic acid reflux esophagitis. Acta Otolaryngol. 2009;129:886–92.20. Omura N, Kashiwagi H, Chen G, Suzuki Y, Yano F, Aoki T. Establishment of surgically induced chronic acid reflux esophagitis in rats. Scand J Gastroenterol. 1999;34:948–53.21. Asaoka D, Nagahara A, Oguro M, Mori H, Nakae K, Izumi Y, Osada T, Hojo M, Otaka M, Watanabe S. Establishment of a reflux esophago-laryngitis model in rats. Dig Dis Sci. 2011;56:1299–308.22. Asaoka D, Miwa H, Hirai S, Ohkawa A, Kurosawa A, Kawabe M, Hojo M, Nagahara A, Minoo T, Ohkura R, Ohkusa T, Sato N. Altered localization and expression of tight-junction proteins in a rat model with chronic acid reflux esophagitis. J Gastroenterol. 2005;40:781–90.23. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the reflux finding score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313–7.24. Kelchner LN, Horne J, Lee L, Klaben B, Stemple JC, Adam S, Kereiakes T, Levin L. Reliability of speech-language pathologist and otolaryngologist ratings of laryngeal signs of reflux in an asymptomatic population using the reflux finding score. J Voice. 2007;21:92–100.25. Hickson C, Simpson CB, Falcon R. Laryngeal pseudosulcus as a predictor of laryngopharyngeal reflux. Laryngoscope. 2001;111:1742–5.26. Oridate N, Tokashiki R, Watanabe Y, Taguchi A, Kawamura O, Fujimoto K. Endoscopic laryngeal findings in Japanese patients with laryngopharyngeal reflux symptoms. Int J Otolaryngol. 2012;2012:908154.27. Joniau S, Bradshaw A, Esterman A, Carney AS. Reflux and laryngitis: a systematic review. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;136:686–92.28. Johnson DA. Medical therapy of reflux laryngitis. J Clin Gastroenterol. 2008;42:589–93.29. Vaezi MF, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE. Laryngeal signs and symptoms and gastroesophageal reflux disease (GERD): a critical assessment of cause and effect association. Clin Gastroenterol Hepatol. 2003;1:333–44. 30. Agrawal A, Castell DO. Clinical importance of impedance measurements. J Clin Gastroenterol. 2008;42:579–83.31. Carroll TL, Fedore LW, Aldahlawi MM. pH Impedance and high-resolution manometry in laryngopharyngeal reflux disease high-dose proton pump inhibitor failures. Laryngoscope. 2012;122:2473–81.

Page 12: Terjemahan Jurnal Tika Tht

32. Kawamura O, Shimoyama Y, Hosaka H, Kuribayashi S, Maeda M, Nagoshi A, Zai H, Kusano M. Increase of weakly acidic gas esophagopharyngeal reflux (EPR) and swallowing-induced acidic/weakly acidic EPR in patients with chronic cough responding to proton pump inhibitors. Neurogastroenterol Motil. 2011;23:411–8.33. Yuksel ES, Slaughter JC, Mukhtar N, Ochieng M, Sun G, Goutte M, Muddana S. Gaelyn Garrett C, Vaezi MF. An oropharyngeal pH monitoring device to evaluate patients with chronic laryngitis. Neurogastroenterol Motil. 2013;25:e315–23.34. Ayazi S, Lipham JC, Hagen JA, Tang AL, Zehetner J, Leers JM, Oezcelik A, Abate E, Banki F, DeMeester SR, DeMeester TR. A new technique for measurement of pharyngeal pH: normal values and discriminating pH threshold. J Gastrointest Surg. 2009;13:1422–9.35. Saritas Yuksel E, Hong SK, Strugala V, Slaughter JC, Goutte M, Garrett CG, Dettmar PW, Vaezi MF. Rapid salivary pepsin test: blinded assessment of test performance in gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2012;122(6):1312-6. doi:10.1002/lary.23252. Epub 2012 Mar 23.36. Vaezi MF. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux disease. Clin Cornerstone. 2003;5:32–8. 37. Altman KW, Prufer N, Vaezi MF. The challenge of protocols for reflux disease: a review and development of a critical pathway. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;145:7–14.38. Steward DL, Wilson KM, Kelly DH, Patil MS, Schwartzbauer HR, Long JD, Welge JA. Proton pump inhibitor therapy for chronic laryngo-pharyngitis: a randomized placebo-control trial. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;131:342–50.39. Koufman JA. Low-acid diet for recalcitrant laryngopharyngeal reflux: therapeutic benefits and their implications. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2011;120:281–7.40. Lam PK, Ng ML, Cheung TK, Wong BY, Tan VP, Fong DY, Wei WI, Wong BC. Rabeprazole is effective in treating laryngopharyngeal reflux in a randomized placebo-controlled trial. Clin Gastroenterol Hepatol. 2010;8:770–6.41. Qadeer MA, Phillips CO, Lopez AR, Steward DL, Noordzij JP, Wo JM, Suurna M, Havas T, Howden CW, Vaezi MF. Proton pump inhibitor therapy for suspected GERD-related chronic laryngitis: a meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Gastroenterol. 2006;101:2646–54.42. Deveney CW, Benner K, Cohen J. Gastroesophageal reflux and laryngeal disease. Arch Surg. 1993;128:1021–5. 43. Swoger J, Ponsky J, Hicks DM, Richter JE, Abelson TI, Milstein C, Qadeer MA, Vaezi MF. Surgical fundoplication in laryngopharyngeal reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a controlled study. Clin Gastroenterol Hepatol. 2006;4:433–41.