Terapi Rumatan Metadone Pada Ibu Hamil Dan Menyusui

28
TERAPI RUMATAN METADON PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI PUTU AGUS GRANTIKA NIM 0814058102 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1

description

Psikiatri

Transcript of Terapi Rumatan Metadone Pada Ibu Hamil Dan Menyusui

15TERAPI RUMATAN METADONPADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

PUTU AGUS GRANTIKANIM 0814058102

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1ILMU KEDOKTERAN JIWABAGIAN/ STAF MEDIK FUNGSIONALILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini sebagai tugas ilmiah residen PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa yang sedang stage di Divisi Psikiatri Adiksi.Dalam penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis banyak memperoleh bimbingan-bimbingan, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:1. dr. Nyoman Hanati, SpKJ(K), selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan untuk penyelesaian tinjauan pustaka ini.2. dr. Wayan Westa, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNUD yang telah mendorong saya untuk menyelesaikan tinjauan pustaka ini.3. Rekan-rekan residen dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Denpasar, September 2012PenulisDAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiBAB I PENDAHULUAN 1BAB II TINJAUAN PUSTAKA 32.1 Sejarah Opiat 32.2Epidemiologi Penggunaan Opioid42.3 Efek Penggunaan Opioid selama Kehamilan 52.4Terapi Rumatan Metadon selama Kehamilan52.5Efek Terapi Rumatan Metadon Ibu terhadap Neonatus 102.6Metadon dan Menyusui12BAB IIIRINGKASAN 13DAFTAR PUSTAKA 14

iiBAB IPENDAHULUAN

Penggunaan obat terlarang selama kehamilan merupakan faktor risiko utama terjadinya morbiditas maternal dan komplikasi neonatal, tetapi meskipun terdapat fakta ini, prevalensi penggunaan zat terlarang oleh wanita usia subur di Amerika Serikat meningkat tajam selama tiga dekade terakhir (Kuczkowski, 2007).Meskipun penyalahgunaan zat selama kehamilan meningkat, tetapi hal ini sering tidak terdiagnosis. Sebuah survei pelaporan diri terbaru oleh National Survey on Drug Use and Health pada tahun 2002-2003 memperkirakan bahwa 4,3% wanita hamil berusia 15 sampai 44 tahun melaporkan penggunaan obat terlarang dalam waktu sebulan sebelum diberikan kuesioner (Kuczkowski, 2007). Sekitar 250.000 wanita di Amerika Serikat, dimana 90% di antaranya merupakan wanita usia subur, memenuhi kriteria untuk penyalahgunaan obat intravena (Kuczkowski, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 225.000 bayi yang lahir setiap tahun terpapar oleh obat-obatan terlarang dalam jangka waktu prenatal atau postpartum (Keegan dkk, 2010).Pada survei prevalensi nasional, 14% wanita Kanada menggunakan alkohol selama akhir kehamilan, dan 17% merokok selama kehamilan (Health Canada, 2003; Statistics Canada, 2002). Prevalensi penggunaan obat terlarang pada wanita usia subur di Kanada lebih sedikit tetapi tidak signifikan. Pada survei populasi di Amerika Serikat, 5% wanita hamil menggunakan obat-obatan terlarang (Rockville, 2008). Ganja merupakan obat-obatan terlarang yang paling sering 1digunakan, diikuti oleh kokain. Tingkat penggunaan obat-obatan pada wanita lebih tinggi daripada pria, termasuk obat penghilang rasa sakit (23,1%), analgesik opiat (2,1%), pil tidur (1,7%), obat penenang (1.1%) dan antidepresan (2.1%) (Statistics Canada, 2002).Prevalensi penggunaan opiat pada wanita hamil berkisar antara 1% sampai 21% (Kandel dkk, 2009). Heroin adalah opiat terlarang yang paling sering disalahgunakan dan melintasi plasenta dengan mudah. Heroin memasuki jaringan janin dalam waktu satu jam setelah pemakaian oleh ibu (Briggs dkk, 2008). Wanita yang menggunakan heroin cenderung menggunakan zat berbahaya lainnya, seperti tembakau, alkohol, dan kokain, yang semuanya memiliki efek merugikan terhadap kehamilan. Oleh karena itu, sulit untuk memisahkan efek heroin dari zat-zat lainnya. Heroin dapat dicampur dengan zat lain, termasuk amfetamin, yang dapat memiliki efek merugikan independen terhadap kehamilan dan janin. Selain itu, penggunaan obat suntikan merupakan faktor risiko untuk penularan penyakit menular, termasuk selulitis, endokarditis, korioamnionitis, dan human immunodeficiency virus (HIV), yang selanjutnya dapat mempersulit kehamilan (Keegan dkk, 2010).

2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah OpiatOpiat telah lama dikenal sebagai zat alami yang ditemukan dalam ekstrak biji poppy, Papaver somniferous. Ekstrak yang dikeringkan dikenal sebagai Opium dan berisi campuran dari opiate-alkaloid. Pada tahun 1806, ahli kimia Jerman, Sertrner Morphine, berhasil mengisolasi konstituen utama dari Opium, dalam bentuk murni. Melalui beberapa perubahan kimia, opiat semi-sintetik bisa dihasilkan. Sejak 50 tahun, telah mampu dihasilkan opiat yang sepenuhnya sintetis, secara kimiawi tidak terkait tetapi mempunyai efek yang sama sebagai morfin. Hughes, pada tahun 1975, menjelaskan peptida dari tubuh manusia yang memiliki efek yang sama untuk morfin (Schaffer, 2005).

Heroin dijual secara ilegal, sering terikat di ujung balon kecil. Nama-nama jalanan yang sering dipakai untuk heroin adalah smack, ganja, "H," China white, black tar, dan junk. Heroin dapat digunakan sebagai rokok, disedot melalui hidung, atau disuntikkan intravena atau intramuskuler. Setelah penyuntikan, pengguna akan merasakan euforia, relaksasi, kehangatan, dan tidak adanya kecemasan. Karena waktu kerjanya antara 4-6 jam, pengguna cenderung menggunakannya dua sampai tiga kali sehari (Schaffer, 2005). Tanda-tanda penggunaan heroin meliputi mengantuk, gatal, pupil pinpoint, kehilangan nafsu makan, bernapas melambat, dan sembelit. Kematian pada penggunaan heroin secara intravena yang kronis sering menyebabkan overdosis. Pengguna heroin 3juga berisiko untuk mengalami pembuluh darah yang kolaps, endokarditis, abses, selulitis, HIV, AIDS dan hepatitis (NIDA, 2004).Tanda-tanda dari ketergantungan opiat adalah adanya toleransi dan gejala putus zat setelah penghentian pemakaian. Beberapa wanita menggunakan heroin dalam kombinasi dengan resep obat-obatan opioid untuk menghindari gejala putus zat, sedangkan yang lain hanya menggunakan resep obat opioid. Penilaian untuk rasa sakit dapat memberikan informasi tambahan kepada petugas perawatan kesehatan profesional tentang potensi penyalahgunaan zat. Gejala putus zat dari resep obat opiat adalah sama dengan gejala putus zat pada pemakainan heroin. Onset dan durasi gejala bervariasi tergantung dari waktu paruh obat. Wanita yang mengalami kecanduan mengalami tanda-tanda dan gejala seperti kecemasan yang berat, muntah, menggigil, berkeringat, perut kram, tubuh sakit, beringus, peningkatan tingkat respirasi, depresi, dan iritabel (NIDA, 2004).

2.2 Epidemiologi Penggunaan OpioidPada tahun 2002, Drug Enforcement Administration melaporkan bahwa sekitar 1,2% penduduk di Amerika Serikat melaporkan penggunaan heroin setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka. Heroin merupakan salah satu di antara empat obat-obatan yang paling sering dilaporkan dalam kasus kematian akibat obat-obatan pada tahun 2002. Terdapat informasi yang terbatas pada penggunaan resep obat opioid oleh ibu, meskipun penggunaan resep obat opiat meningkat di Amerika Serikat (Leshner, 2001).

2.3Efek Penggunaan Opioid selama KehamilanWanita hamil yang menggunakan heroin dapat mengalami peningkatan komplikasi kebidanan sebanyak enam kali lipat, termasuk pembatasan pertumbuhan intrauterin, perdarahan pervaginam pada trimester ketiga, malpresentasi, kelahiran prematur, dan morbiditas nifas. Selain itu, lahir mati, penurunan lingkar kepala bayi, penurunan skor Apgar, keracunan mekonium pada janin, dan korioamnionitis meningkat pada penggunaan heroin. Neonatal abstinence syndrome (NAS) terlihat pada 50% sampai 95% bayi yang terpapar oleh heroin (Creasy dkk, 2009). Gejala putus zat pada neonatal dapat dijelaskan dengan baik dan merupakan temuan yang paling umum pada neonatus yang terpapar oleh opiat yaitu iritabilitas pada susunan saraf pusat (SSP). Terapi suportif merupakan hal yang paling penting untuk para bayi ini (Brigss dkk, 2008).

2.4Terapi Rumatan Metadon selama KehamilanPengobatan untuk ketergantungan heroin selama kehamilan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing wanita (Finnegan dkk, 2005). Pengujian untuk infeksi menular seksual, seperti HIV, sifilis, gonore, klamidia trachomatis, dan hepatitis B dan C, harus dimasukkan dalam perawatan rutin dan diulang secara berkala selama kehamilan. Penyedia pelayanan kesehatan harus memberikan konseling kepada pasien mengenai efek heroin terhadap dirinya dan janin. Selain itu, dokter perlu memberikan konseling kepada pasien tentang manfaat potensial terapi pengganti penggunaan heroin (Creasy dkk, 2009).Perlakuan farmakologis pilihan untuk ketergantungan heroin pada wanita adalah terapi rumatan metadon, yang memberikan pengawasan yang baik terhadap wanita untuk ketergantungannya, kehamilannya, dan kesehatan medis umum dan psikososial (Finnegan dkk, 2005). Metadon adalah opiat sintetis yang dapat diberikan peroral, dan strategi pengobatan ini memiliki beberapa keuntungan. Metadon harganya murah dan secara dramatis dapat mengurangi timbulnya perilaku kriminal. Terapi ini juga dapat mengurangi paparan terhadap infeksi needleborn, termasuk HIV dan hepatitis (Keegan dkk, 2010). Selama tiga dekade, terapi rumatan metadon telah mengurangi kematian ibu dan angka kematian janin, morbiditas janin, dan komplikasi yang terkait kehamilan (Finnegan dkk, 2005). Metadon digolongkan sebagai obat Kehamilan Kategori C karena memiliki potensi risiko depresi pernafasan terhadap neonatus dan kemungkinan sindrom gejala putus zat pada neonatal. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa depresi pernafasan bukan merupakan masalah yang signifikan untuk bayi yang lahir dari ibu yang ketergantungan opioid yang menerima terapi rumatan metadon (NSW Health, 2006).Wanita yang sudah dalam terapi rumatan metadon dan hamil dapat terus mengikuti terapi. Bioavailabilitas metadon menurun pada tahap akhir kehamilan karena peningkatan volume plasma, peningkatan protein plasma yang mengikat metadon, dan metabolisme plasenta terhadap metadon. Diperlukan untuk membagi dosis harian dan mungkin untuk meningkatkan dosis pada akhir trimester kedua atau ketiga kehamilan untuk menghindari gejala putus zat dan meminimalkan penggunaan obat tambahan (NSW Health, 2006).Ketika metadon pertama kali digunakan untuk wanita hamil, keputusan dosis dibuat dengan menggunakan kriteria yang sama dengan wanita yang tidak hamil. Dosis didasarkan pada pencapaian efek terapi yang diinginkan yaitu mencegah gejala putus zat, menghilangkan craving dan memblokir efek euforia. Dengan demikian, pasien hamil sering diberikan dosis pemeliharaan pada dosis 100 mg atau lebih. Pada beberapa penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dosis ibu dan keparahan abstinen neonatal. Rekomendasi dosis yang muncul adalah dosis untuk wanita hamil harus dipertahankan pada dosis rendah, yaitu 20 mg, untuk mengurangi atau menghilangkan abstinen neonatal. Sementara rekomendasi tersebut mungkin memiliki manfaat bagi neonatus, rekomendasi tersebut juga bertentangan dengan manfaat perawatan bahwa dosis non-terapi ibu yang rendah dapat memicu penggunaan obat terlarang tambahan sehingga meningkatkan risiko terhadap janin. Dosis rejimen rumatan metadon bervariasi, dosis pemberian metadon yang adekuat berkisar antara 60-150 mg/hari dan berkaitan dengan kejadian penggunaan obat terlarang yang lebih rendah dan tingkat efektivitas pengobatan yang lebih tinggi (Finnegan dkk, 2005). Pemberian dosis metadon antara 60-150 mg/hari di awal kehamilan dilaporkan berhubungan dengan pertumbuhan janin lebih normal (Finnegan dkk, 2009).Dole dan Nyswander menetapkan bahwa dosis efektif metadon bersifat terapeutik biasanya dalam kisaran 80-120 mg dengan level plasma darah yang diperlukan >200 g/ml. Sebuah penelitian oleh Drozdick dkk. menunjukkan bahwa selama kehamilan tingkat terapeutik sangat bervariasi. Untuk sekelompok wanita hamil (n = 20) dengan efek terapeutik pada level plasma >200 g/ml, rata-rata dosis metadon yang diperlukan adalah 128 mg dengan kisaran 80-190 mg. Namun, sekelompok wanita hamil (n = 25) dengan efek sub-terapeutik pada level plasma