Teori tentang low vision

25
13 BAB II OPTIMALISASI FUNGSI SISA PENGLIHATAN ANAK LOW VISION A. Indra Penglihatan Pengetahuan umum tentang mata dan bagaimana mata bekerja akan membantu memahami tentang gangguan penglihatan dan bagaimana membantu siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Mason, 1997). Pengetahuan umum tersebut mencakup bagian-bagian mata, fungsi mata, dan kelainan penglihatan yang sering terjadi. Secara sederhana, mata dan bagian-bagian mata dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.1. Mata dan Bagian-Bagian Mata Diadopsi dari Keeffe (1994 : 55) Bagian-bagian mata yang penting untuk diketahui setidaknya mencakup : satu, kelopak mata yang bertugas melindungi dan mempertahankan permukaan depan mata agar tetap basah. Dua, kornea yang merupakan “jendela penglihatan” yang letaknya di bagian depan mata. Bentuknya yang melengkung membantu

Transcript of Teori tentang low vision

Page 1: Teori tentang low vision

13

BAB II

OPTIMALISASI FUNGSI SISA PENGLIHATAN ANAK LOW VISION

A. Indra Penglihatan

Pengetahuan umum tentang mata dan bagaimana mata bekerja akan

membantu memahami tentang gangguan penglihatan dan bagaimana membantu

siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Mason, 1997). Pengetahuan umum

tersebut mencakup bagian-bagian mata, fungsi mata, dan kelainan penglihatan

yang sering terjadi.

Secara sederhana, mata dan bagian-bagian mata dapat digambarkan

sebagai berikut :

Gambar 2.1. Mata dan Bagian-Bagian Mata

Diadopsi dari Keeffe (1994 : 55)

Bagian-bagian mata yang penting untuk diketahui setidaknya mencakup :

satu, kelopak mata yang bertugas melindungi dan mempertahankan permukaan

depan mata agar tetap basah. Dua, kornea yang merupakan “jendela penglihatan”

yang letaknya di bagian depan mata. Bentuknya yang melengkung membantu

Page 2: Teori tentang low vision

14

untuk memfokuskan cahaya yang masuk. Tiga, konjungtiva yang merupakan

lapisan tipis dan bening yang menutupi sclera (lapisan kuat berwarna putih yang

menyelimuti mata) dan bagian dalam kelopak mata. Empat, iris adalah bagian

mata yang berwarna dan mudah berganti ukuran untuk mengendalikan jumlah

cahaya yang masuk ke dalam pupil. Lima, pupil yaitu bagian tengah dari iris.

Pupil akan menjadi kecil jika cahaya yang masuk terang, dan akan membesar jika

cahaya yang masuk remang-remang karena untuk memberi kesempatan agar

cahaya yang masuk bisa lebih banyak. Enam, lensa yang berbentuk oval dan

bening. Lensa ini mudah mencembung atau memipih karena untuk memfokuskan

cahaya ke retina dari benda-benda jauh atau dekat. Tujuh, Retina adalah lapisan

bagian dalam mata yang berfungsi untuk menerima cahaya dan meneruskan pesan

sepanjang syaraf mata ke otak. Bagian kecil di tengah retina adalah macula yang

dapat melihat perincian (Keeffe, 1994).

Mata berfungsi sebagai alat untuk menerima informasi dari luar yang

bersifat visual. Dalam menjalankan fungsinya, mata tidak dapat bekerja sendiri.

Mata bekerja bersama otak untuk membentuk bayangan gambar yang dilihat oleh

mata melalui proses melihat. Secara sederhana proses melihat adalah sebagai

berikut : pertama-tama cahaya masuk melalui kornea, kemudian diteruskan ke

lensa melalui bola mata yang berisi cairan bening (vitreous). Lensa berakomodasi

agar cahaya yang masuk dapat diteruskan ke retina dengan tepat. Dari retina

bayangan benda dieruskan ke syaraf penglihatan untuk kemudian dibawa ke otak.

Oleh otak bayangan tersebut diartikan.

Page 3: Teori tentang low vision

15

Secara garis besar, mata mempunyai dua kemampuan melihat yaitu

penglihatan sentral dan penglihatan lapang pandang (Mason, 1997). Yang

dimaksud dengan penglihatan sentral (visual acuity) adalah kemampuan mata

untuk melihat benda secara focus. Kemampuan mata ini sering digunakan untuk

membaca atau melihat benda secara detail. Sedangkan yang dimaksud dengan

penglihatan lapang pandang (visual field) adalah kemampuan mata untuk melihat

sekitar (melihat kanan/kiri, atas, dan bawah tanpa mata memfokuskan/

mengarahkan ke obyek). Kemampuan mata ini sering digunakan untuk

mempercepat membaca, medeteksi benda/kejadian sekitar selain yang dilihat

secara focus dan untuk mobilitas.

Secara normal, mata mempunyai kemampuan melihat jauh (distance

vision) dan melihat dekat (near vision) (Mason, 1997). Kemampuan melihat jauh

dan melihat dekat sangat terkait dengan kemampuan refraksi lensa mata untuk

memfokuskan cahaya ke retina. Pada waktu melihat jauh lensa mata akan

mencembung dan pada waktu melihat dekat lensa mata akan memipih. Seperti

yang terlihat dalam gambar berikut:

Distance vision Near vision

Gambar 2.2. Refraksi Lensa Mata Memfokuskan Cahaya ke Retina

Diadopsi dari Mason (1997 : 33)

Page 4: Teori tentang low vision

16

Adakalanya penglihatan seseorang mengalami gangguan atau kelainan.

Akibat dari kelainan tersebut mata dapat menjadi low vision bahkan menjadi buta.

B. Low Vision

1. Pengertian Low Vision

Kecacatan penglihatan dibagi menjadi dua jenis yaitu buta dan low vision.

Anak cacat penglihatan dalam kategori low vision tidak sama dengan anak buta.

Penderita low vision hanya kehilangan sebagian dari fungsi penglihatannya dan

masih mempunyai sisa penglihatan yang masih bisa difungsikan. Tingkat

kehilangan fungsi penglihatannya mempunyai gradasi dari yang ringan sampai

berat. Sedangkan anak buta yaitu tidak memiliki sisa penglihatan yang cukup atau

tidak sama sekali untuk dapat membaca tulisan cetak atau untuk kebutuhan

orientasi dan mobilitas meskipun dibantu dengan alat bantu yang paling efektif

yang tersedia.

Menurut WHO (1992), kategori kerusakan penglihatan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 2.1. Klasifikasi Ketajaman Penglihatan

Kategori Tajam penglihatan setelah koreksi (mata terbaik) Standar definisi WHO Definisi WHO secara

fungsional (th. 1992) 0 6/6 – 6/18 Normal Normal 1 < 6/18 – 6/60 Kerusakan penglihatan Low vision 2 < 6/60 – 3/60 Kerusakan penglihatan berat Low vision 3 < 3/60 – 1/60 Buta Low vision 4 < 1/60 – Persepsi cahaya Buta Low vision 5 Tidak ada persepsi cahaya Buta Buta (Dijk : 2004)

Dari kategori kerusakan penglihatan tersebut di atas maka yang disebut

low vision adalah suatu keadaan mata setelah koreksi optimal dengan kacamata

Page 5: Teori tentang low vision

17

atau lensa kontak, visus mata terbaik kurang dari 6/18 hingga persepsi cahaya atau

luas penglihatannya kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi namun secara

potensial dapat menggunakan penglihatannya untuk merencanakan atau

melakukan suatu pekerjaan (WHO, 1992). Yang dimaksud dengan visus 6/18

adalah ketajaman penglihatan anak low vision untuk melihat obyek dalam jarak 6

meter, sedangkan obyek tersebut dapat dilihat oleh mata normal dalam jarak 18

meter. Persepsi cahaya maksudnya penglihatan anak masih bisa mengenali

sorotan cahaya, misalnya sorotan cahaya lampu senter. Sedangkan luas

penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi maksudnya penglihatan mata

kanan kurang dari 10 derajat dan penglihatan mata kiri kurang dari 10 derajat dari

titik fiksasi (penglihatan lurus/visual acuity).

Definisi yang lebih mendekati fungsional adalah dikemukakan oleh

Barraga dalam Widdjajantin (1997 : 200-201), yaitu : ‘Anak kurang lihat memiliki

keterbatasan-keterbatasan dalam penglihatan jauh, tetapi dapat melihat benda-

benda dan bahan-bahan dalam jarak beberapa inci’. Sedangkan Corn dalam

Widdjajantin (1997 : 200) mengemukakan yang disebut low vision adalah:

Orang yang masih kurang sekali kemampuan lihatnya meskipun telah dikoreksi, akan tetapi orang ini masih bisa meningkatkan fungsi penglihatannya melalui penggunaan alat-alat bantu optikal dan non optikal serta memodifikasi lingkungan dan atau teknik-teknik.

Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud low

vision adalah orang yang mempunyai keterbatasan kemampuan penglihatannya

baik ketajaman penglihatannya yang kurang dari 6/18 dan atau lapang

pandangnya yang kurang dari 10 derajat walaupun setelah mendapat koreksi

matanya, namun dari kondisi tersebut anak masih dapat difungsikan

Page 6: Teori tentang low vision

18

penglihatannya baik dengan alat optik maupun non optik, serta memerlukan

modifikasi lingkungan dan atau teknik-teknik.

Seorang anak perlu diduga menyandang gangguan penglihatan yang mungkin

sampai kepada taraf low vision apabila anak tersebut mempunyai tampilan mata dan atau

tingkah laku penglihatan yang berbeda dengan orang lain. Diantara tampilan mata dan

tingkah laku penglihatan yang perlu mendapat dugaan bahwa seorang anak mungkin

menyandang low vision dapat dilihat di tabel 2.2 dan 2.3.

Tabel 2.2. Tampilan Mata Tabel 2.3. Tingkah Laku Penglihatan

- Mata sangat kecil - Mata tertutup atau

setengah tertutup - Bulu mata tumbuh ke

dalam - Mata tampak tidak ada

pupil - Mata tampak seperti

susu - Mata tampak

menjelajah atau terus bergerak

- Mata tampak tergores atau rusak

- Mata sering terinfeksi atau mata lengket

- Terus menerus berkerut- Kejulingan yang parah- Gerakan mata sangat

cepat (dari sisi ke sisi atau dari atas ke bawah)

- Gerakan mata tidak seperti orang pada umumnya

- Terus menerus berkedip

- Sering menyentuh mata (misalnya mengucak, menggosok, dll.)

- Tatapan mata tampak terpesona oleh cahaya

- Mengepakkan jari (senang mengepakkan tangan di depan mata)

- Gerakan kepala yang tidak biasa (misalnya sering menggelengkan kepala)

- Kepala berputar (gerakan kepala memutar)

- Meletakkan tangan menutupi mata - Mengedipkan mata kalau ada cahaya - Menghindari cahaya terangmenghindari

pekerjaan jarak dekat - Tampak melihat beberapa warna lebih

baik dari warna lainnya - Tampak jelas mempunyai masalah

memfokuskan (misalnya obyek jauh ke dekat, obyek besar ke kecil)

- Rentang perhatian pendek - Kemampuan merawat diri sendiri rendah- Kemampuan komunikasi rendah - Perubahan perilaku yang dramatis

menjadi sedih atau marah tanpa alas an yang jelas)

- Tubuh kaku dan jarang kelihatan rileks - Terkejut oleh suara-suara

(Dijk, 2004)

Page 7: Teori tentang low vision

19

Tidak semua low vision mempunyai tampilan mata dan tingkah laku

penglihatan yang sama. Setiap anak low vision mempunyai karakteristik individu

yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan untuk menduga bahwa seorang

anak menyandang low vision sifatnya kasuistik. Maka dari itu setelah guru

mendeteksi atau menduga bahwa seorang anak menyandang low vision, langkah

selanjutnya adalah mengindentifikasi secara seksama sebelum anak dirujuk ke

dokter mata untuk mendapatkan penanganan medis.

2. Penyebab dan Jenis-Jenis Low Vision

Beberapa penyebab terjadinya low vision yang sering dijumpai diantaranya

: kerusakan kornea, katarak, glukoma, sindrom rubella, distropi retina, diabetes,

kesalahan refraksi, kecelakaan, praktek pengobatan mata yang berbahaya, dan

sebagainya (Keeffe, 1994). Penyebab dari low vision tersebut tidak selalu

menimbulkan jenis low vision yang sama. Secara garis besar low vision dapat

digolongan menjadi 4 kelompok yaitu (1) central scotoma, (2) nystagmus, (3)

limited peripheral visual field, dan (4) amblyopia (Backman and Inde, 1979 : 8-

11). Setiap golongan low vision, dijelaskan oleh Backman dan Inde sebagai

berikut :

Golongan low vision yang termasuk central scotoma adalah gangguan

penglihatan detail. Penderita ini mengalami kesulitan untuk membaca dan melihat

secara detail pada jarak tertentu.

Anak yang tergolong nystagmus tidak dapat mengontrol gerakan matanya.

Pada penderita ini mata selalu bergerak-gerak sehingga sulit untuk memfokuskan

Page 8: Teori tentang low vision

20

penglihatannya. Kecacatan ini bisa terjadi pada masa kanak-kanak atau sejak

lahir, pada penderita katarak sejak lahir, atau pada albinism. Anak yang

nystagmus membutuhkan metode membaca khusus, yaitu penyesuaian pergerakan

kepala daripada pergerakan mata untuk menemukan posisi yang enak dimana

gerakan mata (nistagmus) bisa sekecil mungkin (Backman dan Inde, 1979).

Limited peripheral visual field merupakan jenis low vision yang

mengakibatkan keterbatasan lapang pandang dimana penyandang low vision

hanya bisa melihat ke samping. Mereka mengalami kesulitan mobilitas secara

mandiri jika tanpa menggunakan tongkat putih, anjing penuntun, atau alat

mobilitas lainnya. Akan tetapi mereka relatif lebih bisa mengakses tulisan standar

atau dengan pembesaran tulisan yang terkecil baik dengan alat optik maupun

tanpa alat optik, tergantung dari besar kecilnya sisa penglihatan pusat. Problem

yang sering dihadapi yaitu pada waktu membaca hanya terlihat sebagian huruf

dari kata, sehingga sering kali dalam membaca lambat dan lebih sering

menghentikan pada setiap baris pada teks (Backman dan Inde, 1979).

Amblyopia adalah gangguan penglihatan yang disebabkan oleh kesalahan

pembiasan (refraksi) karena lensa mata yang tidak normal, sehingga cahaya yang

masuk ke mata tidak tepat jatuh di retina. Jenis amblyopia antara lain yaitu

Hyperopia (kesulitan melihat dekat), myopia (kesulitan melihat jauh), dan

astigmatism (kesulitan melihat vertikal dan horisontal, dan mungkin disertai

dengan hyperopia dan myopia) (Dijk, 2004).

Page 9: Teori tentang low vision

21

C. Optimalisasi Fungsi Sisa Penglihatan Anak Low Vision

Anak low vision merupakan anak tunanetra yang masih mempunyai sisa

penglihatan. Sisa penglihatan yang dimilikinya dapat dimanfaatkan untuk

membantu aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan penglihatan. Karena

penglihatan merupakan media untuk menerima informasi dari lingkungannya

yang sangat penting, maka anak low vision walaupun hanya memiliki fungsi sisa

penglihatan sekecil apapun sebaiknya pemanfaatan fungsi sisa penglihatannya

dioptimalkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Brohier dalam Keeffe (1994 : 41)

yaitu : ‘Biarkan anak itu melihat dan melihat lagi, dan bantu dia mengerti apa

yang dilihatnya’.

Optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision adalah pemberian

kesempatan kepada anak low vision untuk memanfaatkan sisa penglihatannya

semaksimal mungkin baik dengan menggunakan optik maupun non optik dan

bantuan lainnya untuk kelancaran anak low vision dalam belajar (Oppegaard,

2000). Upaya optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision meliputi

penanganan medis dan penanganan fungsional. Penanganan medis merupakan

tanggung jawab dokter mata atau petugas kesehatan lainnya. Sedangkan

penanganan fungsional merupakan tanggung jawab guru dan orang tua. Guru

mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan pendidikan yang

sesuai dengan kondisi penglihatan anak low vision terutama yang berhubungan

dengan bagaimana mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan anak low vision.

Penanganan untuk mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan anak low

vision meliputi tahap-tahap sebagai berikut : (1) Deteksi atau dugaan oleh guru

Page 10: Teori tentang low vision

22

atau orang tua bahwa seorang anak diduga mengalami gangguan penglihatan. (2)

Identifikasi gangguan penglihatan. (3) Rujukan ke dokter mata untuk

mendapatkan kepastian. (4) Asesmen klinis dan penanganan secara medis yang

dilakukan oleh dokter mata. (5) Rujukan kembali ke guru yang mengajar anak low

vision. (6) Asesmen fungsional yang dilakukan guru. (7) Latihan penggunaan

fungsi sisa penglihatan efektif. (8) Pemanfaatan fungsi sisa penglihatan dalam

pembelajaran. (Dijk, 2004). Dari delapan tahap tersebut diatas yang bisa

dilakukan oleh guru adalah deteksi, identifikasi, asesmen fungsional, latihan

penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif, dan pemanfatan fungsi sisa

penglihatan.

Pembahasan tentang deteksi dan identifikasi telah disinggung di halaman

18 – 19. Untuk memperoleh pengetahuan secara lengkap tentang optimalisasi

fungsi sisa penglihatan anak low vision yang menjadi wewenang guru, maka

berikut ini secara berturut-turut akan dibahas tentang asesmen fungsional, latihan

penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif, dan pemanfaatan fungsi sisa

penglihatan dalam pembelajaran anak low vision.

1. Asesmen Fungsional

Asesmen fungsional yang dilakukan bagi anak low vision dimaksudkan

untuk mengetahui seberapa baik penggunaan penglihatan untuk tujuan tertentu

yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari, terutama untuk keperluan

pembelajaran bagi anak low vision. Secara garis besar tujuannya adalah : untuk

menentukan apa yang bisa dilihat, bagaimana melihatnya/menggunakan

Page 11: Teori tentang low vision

23

penglihatannya, dan kondisi/situasi yang bagaimana penglihatannya dapat

digunakan. (Dijk, 2004).

Beberapa informasi pendukung tentang anak low vision yang perlu

diketahui oleh guru sebelum melakukan asesmen fungsional adalah tentang

masalah mata dan sejarahnya, ketajaman penglihatan anak baik penglihatan jauh

maupun dekat, luas pandang penglihatan anak, penglihatan warna, tingkat

kekontrasan, pencahayaan yang disukai dan tidak disukai anak (Dijk, 2004).

Informasi tersebut dapat diperoleh dari orang tua, dokter mata atau guru

melakukan sendiri terhadap anak pada beberapa hal kecuali informasi tentang

masalah mata dan sejarahnya. Informasi tentang masalah mata dan sejarahnya

biasanya didapat dari orang tua dan atau dokter mata yang menangani anak low

vision secara medis. Informasi ini terutama tentang kondisi penglihatan anak

apakah progresif atau stabil.

Asesmen fungsional yang perlu dilakukan kepada anak low vision meliputi

(1) Kesadaran dan perhatian terhadap benda (fiksasi). (2) Kontrol gerakan mata

tracking. (3) Kontrol gerakan mata scanning. (4) Membedakan benda. (5)

Membedakan perincian untuk mengenali tindakan dan mencocokkan benda. (6)

Membedakan perincian pada gambar. (7) Mengenali dan persepsi pola huruf,

angka dan kata (Keeffe, 1994). Selain ke tujuh materi asesmen tersebut di atas,

WHO dalam Dijk (2004) menambahkan satu materi asesmen yaitu kemampuan

koordinasi mata dan tangan anak low vision.

Asesmen fungsional dapat dilakukan guru secara dikondisikan atau

melalui pengamatan aktifitas anak sehari-hari dan mencari informasi dari orang

Page 12: Teori tentang low vision

24

tua atau dokter mata yang pernah menangani anak low vision. Secara garis besar

asesmen ada dua macam, yaitu asesmen formal dan asesmen informal (Taylor :

2000). Asesmen formal adalah asesmen yang sudah terstandar baik alatnya

maupun prosedur pelaksanaannya, contohnya tes penglihatan Snellen. Sedangkan

asesmen informal adalah asesmen yang dikembangkan sendiri oleh guru.

Asesmen yang biasanya dilakukan oleh guru adalah asesmen informal. Asesmen

ini biasanya dilakukan pada awal anak masuk sekolah. Semua hasil asesmen

dicatat dan dijadikan pedoman untuk melakukan pelatihan penggunaan fungsi sisa

penglihatan efektif, menentukan alat bantu penglihatan yang sesuai, menentukan

media belajar anak low vision yang sesuai, dan dijadikan dasar untuk memberikan

bantuan yang sesuai dalam kegiatan belajar anak low vision dan aktifitas lainnya.

Asesmen fungsional selain dilakukan pada saat anak masuk sekolah, juga

harus dilaksanakan pada saat anak mengikuti pembelajaran di sekolah. Hal ini

untuk mengetahui perkembangan fungsi penglihatannya dan menentukan program

selanjutnya. Proses asesmen tersebut dikenal dengan dynamic assessment

(asesmen yang berkelanjutan) (Vigotsky dalam krauss : 1996). Semua hasil

asesmen dijadikan dasar untuk menyusun Program Pengajaran Individual (PPI).

2. Latihan Penggunaan Fungsi Sisa Penglihatan Efektif

Atas dasar pernyataan Brohier dalam Keeffe (1994) : 41 yaitu : “Biarkan

anak itu melihat dan melihat lagi, dan bantu dia mengerti apa yang dilihatnya”,

maka anak low vision seyogyanya diberikan latihan keterampilan penggunaan

fungsi sisa penglihatan efektif agar penglihatan anak dapat dimanfaatkan dan jika

Page 13: Teori tentang low vision

25

memungkinkan ditingkatkan kemampuannya untuk membantu anak dalam

kegiatan belajar serta aktifitas lainnya.

Latihan keterampilan penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif dilakukan

setelah mengetahui kondisi sebenarnya penglihatan anak dan dari hasil asesmen

fungsional yang telah dilakukan. Tujuan memberikan latihan keterampilan

penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif adalah untuk memberi semangat dan

membantu setiap anak untuk menggunakan penglihatannya dengan cara terbaik

dan juga untuk memberi berbagai kesempatan pada anak untuk belajar dan

mengerti lingkungannya (Keeffe, 1994).

Lebih lanjut Keeffe (1994 : 41) mengemukakan tiga hal pokok untuk

melatih penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif yaitu:

(1) Stimulasi penglihatan. Orang yang kurang awas atau yang tidak pernah menggunakan penglihatannya, perlu mengetahui bahwa mereka dapat menggunakan penglihatan mereka. Mereka memerlukan dorongan untuk melakukannya. (2) Efisiensi penglihatan. Cara menggunakan penglihatan dapat ditingkatkan dengan latihan. Ukuran penglihatan tidak berubah setelah latihan, yaitu visus atau luas penglihatan tidak akan berubah karena latihan. (3) Mengetahui kapan dan cara menggunakan penglihatan dapat memberi pengertian tentang cara merubah lingkungan (contohnya cahaya), memilih bahan yang sesuai dan menggunakan alat-alat bantu kurang awas jika diperlukan. Materi latihan keterampilan penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif

sama dengan materi asesmen fungsional, yaitu: fiksasi, tracking, scanning,

membedakan benda, membedakan perincian untuk mengenali tindakan dan

mencocokkan benda, membedakan perincian pada gambar, mengenali dan

persepsi pola huruf, angka dan kata, dan koordinasi mata dan tangan anak low

vision (Oppegaard, 2000). Selain itu alat bantu penglihatan baik optik maupun

non optik yang akan digunakan anak low vision juga perlu dilatihkan bagaimana

Page 14: Teori tentang low vision

26

cara menggunakan dan merawatnya agar alat-alat tersebut betul-betul bermanfaat

untuk membantu penglihatan anak low vision.

3. Optimalisasi Fungsi Sisa Penglihatan Anak Low Vision dalam Pembelajaran di Ruang Kelas.

Pembelajaran bagi anak low vision mempunyai ciri khas tersendiri.

Pembelajarannya sedapat mungkin mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan yang

masih dimilikinya. Beberapa prinsip pembelajaran bagi anak low vision yaitu:

a. Pendekatan Pembelajaran Anak Low Vision

Ada tiga pendekatan dalam pembelajaran anak low vision yang

hubungannya dengan optimalisasi fungsi sisa penglihatan, yaitu : (1) Pendekatan

stimulasi (vision stimulation). Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan

rangsangan penglihatan dan menumbuhkan kesadaran penglihatan. (2) Pendekatan

efisiensi penglihatan (vision eficiency). Pendekatan ini diwujudkan dengan cara

membimbing anak agar melakukan efisiensi penggunakaan penglihatan. (3)

Pendekatan pelayanan pendidikan dengan menggunakan sisa penglihatan (vision

utilization instruction), yaitu dorongan bagi anak agar menggunakan sisa

penglihatan semaksimal mungkin untuk mengamati obyek. (Corn, 1996).

b. Strategi Pembelajaran

Semua bentuk pembelajaran bagi anak low vision bermuara pada 3

orientasi, yaitu: (1) Berorientasi pada fungsional, yaitu meningkatkan fungsi sisa

penglihatan, seperti meningkatkan ketajaman penglihatan, mengurangi silau,

Page 15: Teori tentang low vision

27

memperluas lapang pandang, meningkatkan sensitifitas terhadap kekontrasan. (2)

Berorientasi pada tujuan, yaitu agar penyandang low vision dapat merencanakan

dan melaksanakan tugas sehari-hari seperti belajar dan bepergian. (3) Berorientasi

pada sikap, yaitu membantu anak low vision agar dapat beradaptasi dan

bersosialisasi secara wajar, tumbuh percaya diri, dan sadar akan kondisi

penglihatannya. (Hosni et al, 2004).

c. Modifikasi Pembelajaran

Pembelajaran kepada anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus

termasuk di dalamnya anak low vision sedikit banyak memerlukan modifikasi

pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Mr. Lindquist dalam Johnsen &

Skorten (2003 : 59) bahwa “bukan sistem pendidikan kita yang memiliki hak atas

anak-anak tertentu, melainkan sistem yang berlaku di sebuah negara yang harus

disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan semua anak.” Lebih lanjut dipertegas

oleh Johnsen (2003 : 289) yang menyatakan bahwa : “Di setiap kelas diperlukan

tingkat fleksibilitas yang tinggi untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan

tingkat penguasaan, kemungkinan dan hambatan belajar semua anak.”

Modifikasi pembelajaran dilakukan untuk memperkecil hambatan bagi

anak low vision dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar yang standar pada

sebagian atau keseluruhan kurikulum yang ada. Modifikasi tidak terbatas pada

materinya saja, akan tetapi bisa kepada perencanaan, metode, alat peraga, setting

kelas, dan sebagainya tergantung pada kebutuhan anak. Hal ini diperkuat oleh

pendapatnya Corn (1988 : 100) yang dikenal dengan “Corn’s model of visual

Page 16: Teori tentang low vision

28

funcsioning”. Salah satu dari model Corn dinyatakan bahwa faktor lingkungan

(environmental coes) turut mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bagi anak

low vision. Ada lima komponen lingkungan yang perlu diperhatikan, yaitu warna

(color), kekontrasan (contrast), waktu (time), jarak (space), dan

cahaya/penerangan (illumination). Beberapa modifikasi yang sering dilakukan

oleh guru adalah sebagai berikut:

1) Program Pengajaran Individual (PPI) Anak Low Vision

PPI atau yang sering dikenal dengan Individual Educational Plans (IEPs)

adalah program yang diperuntukkan bagi anak yang mempunyai kebutuhan

khusus (Dempsey, 2001). Program ini merupakan sebuah konsekuensi bagi

pendidik yang mempunyai anak didik berkelainan seperti low vision atau

mempunyai kebutuhan khusus lainnya baik di pendidikan khusus maupun di

pendidikan reguler. PPI dibuat oleh lintas disipliner. Artinya program ini

walaupun dibuat oleh guru yang mengajar anak, namun tetap melibatkan pihak-

pihak lain yang mengetahui dan mempunyai wewenang terhadap anak

berkebutuhan khusus. Untuk membuat PPI bagi anak low vision, orang-orang

yang terlibat contohnya guru yang mengajar anak low vision, orang tua, kepala

sekolah, dokter mata, guru pembimbing khusus (GPK).

2) Penggunaan Alat Peraga

Pada umumnya, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran sangat

membantu anak memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Begitu

juga dalam pembelajaran bagi anak low vision, alat peraga merupakan salah satu

penentu yang mendukung suksesnya pembelajaran. ada beberapa hal yang perlu

Page 17: Teori tentang low vision

29

diperhatikan dalam menyediakan dan menggunakan alat peraga yang

diperuntukkan untuk membantu pemahaman anak low vision terhadap materi yang

disampaikan oleh guru. Pengelolaan alat peraga yang diperuntukkan bagi anak

low vision, setidaknya memenuhi lima persyaratan, yaitu: visibilitas (keleluasaan

pandangan), aksesibilitas (mudah digunakan/dicapai), fleksibilitas (keluwesan),

kenyamanan/aman, dan memenuhi unsur keindahan (Luisell, 1992 dalam

Winataputra :1998). Pendapatnya Luisell tersebut sebenarnya lebih tertuju kepada

pengelolaan fisik kelas, akan tetapi pendapatnya dapat dipakai dalam pengelolaan

alat peraga, karena pengelolaan alat peraga sangat terkait dengan pengelolaan fisik

kelas.

Unsur-unsur di atas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan alat peraga

setidaknya ada tiga unsur yang relevan. Secara singkat keterkaitannya adalah

sebagai berikut: (1) Unsur visibilitas, yaitu alat peraga agar bisa dilihat oleh anak

low vision harus memenuhi jarak yang tepat, pembesaran, kekontrasan, warna

yang tidak menyilaukan, dan pencahayaan yang cukup. (2) Unsur aksesibilitas,

yaitu alat-alat peraga yang ada seyogyanya mudah digunakan dan dijangkau oleh

anak low vision. (3) Unsur fleksibilitas, yaitu alat-alat peraga dapat digunakan

tidak hanya untuk mengajar anak low vision saja, akan tetapi bisa digunakan untuk

anak lain. Kriteria lainnya yaitu alat-alat peraga sebaiknya juga mudah ditata dan

bisa digunakan pada berbagai situasi.

3) Penggunaan Alat Bantu Penglihatan

Secara garis besar alat bantu penglihatan untuk low vision dibagi menjadi

dua jenis, yaitu alat bantu optik dan alat bantu non optik. Suatu alat dikatakan alat

Page 18: Teori tentang low vision

30

bantu optik jika alat tersebut menggunakan lensa atau sistem lensa untuk

membantu penglihatan seseorang (Jose, 1997). Sedangkan suatu alat dikatakan

alat bantu non optik apabila alat tersebut digunakan untuk membantu penglihatan

seseorang akan tetapi tidak menggunakan lensa atau sistem lensa.

Seorang low vision memerlukan alat bantu optik dan atau non optik

sifatnya sangat individual. Artinya tidak semua jenis low vision memerlukan alat

bantu optik dan atau non optik. Keperluan alat bantu tersebut sangat tergantung

dari kondisi penglihatan, jenis low vision, tingkat low vision dan hal-hal lainnya.

Untuk mengetahui seorang low vision memerlukan alat bantu penglihatan yang

sesuai atau tidak memerlukan alat bantu penglihatan, maka hal tersebut

memerlukan asesmen yang tepat baik secara medis maupun secara fungsional.

Alat optik mempunyai dua jenis yaitu alat untuk pembesaran/magnifier

dan alat yang digunakan untuk ketepatan penglihatan/refraction (Jose, 1997).

Beberapa jenis alat optik yang sering digunakan untuk low vision antara lain

kacamata pembesar, stand magnifier, hand magnifier, dan teleskop. Semua alat

optik tersebut mempunyai jenis, bentuk, dan ukuran yang bermacam-macam.

Penggunaannyapun disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya kacamata pembesar

digunakan untuk membantu membaca, menulis dan mengamati obyek dalam jarak

dekat. Teleskop digunakan oleh beberapa low vision untuk membantu melihat

jarak jauh.

Alat bantu non optik digunakan oleh low vision bersamaan dengan

penggunaan alat optik atau digunakan secara sendiri tanpa alat optik. Tujuan

penggunaan alat bantu non optik adalah untuk membantu memperjelas obyek

Page 19: Teori tentang low vision

31

yang dilihat. Beberapa jenis alat bantu non optik yang sering digunakan oleh low

vision antara lain: typoscope (alat berlubang sebesar tulisan yang akan dibaca),

posisi di kelas (dekat cahaya/papan tulis), penyangga membaca/menulis, tulisan

yang diperbesar, kacamata filter/topi, buku bergaris tebal, pensil warna hitam,

merubah tehnik membaca, warna, kontras, pencahayaan, jarak, dll (Dijk, 2004).

Selain itu perkembangan teknologi juga menyumbang alat bantu low vision seperti

CCTV (close circuit television) dan pembesaran tulisan dengan menggunakan

komputer.

4) Media Belajar Anak Low Vision

Media yang sering digunakan low vision untuk belajar secara garis besar

ada empat macam yaitu : tulisan standar (standard print), tulisan yang diperbesar

(enlarge print), media belajar braille (braille text), dan media alat dengar

(auditory learning) (Erin, 2003).

Beberapa ketentuan anak low vision dalam menggunakan media belajar

adalah sebagai berikut : (1) Tulisan standar (standard print), jika anak low vision

masih bisa menggunakannya untuk membaca atau menulis secara nyaman yaitu

dengan cara diatur jarak obyek (tulisan) dengan mata atau dibantu dengan

menggunakan alat optik maupun non optik. (2) Tulisan yang diperbesar (enlarge

print), jika anak sudah tidak mampu lagi membaca tulisan standar secara efisien

dengan menggunakan alat dan adaptasi lainnya. Ada kemungkinan penggunaan

tulisan yang diperbesar tetap memerlukan alat optik dan atau alat bantu non optik.

(3) Media belajar braille, jika anak low vision sudah tidak mampu lagi

menggunakan tulisan standar ataupun diperbesar secara efisien atau tidak nyaman

Page 20: Teori tentang low vision

32

lagi membaca dalam waktu sedang. Dan (4) alat dengar (auditory learning).

Media ini digunakan secara kombinasi dengan salah satu dari ketiga media di atas

atau merupakan media utama. Dikatakan sebagai media utama jika anak low

vision sudah tidak mampu lagi menggunakan ketiga media di atas karena suatu

kondisi tertentu.

d. Pelatihan Orientasi Mobilitas (OM) Anak Low Vision di Ruang Kelas

Walaupun anak low vision mempunyai sisa penglihatan yang masih dapat

difungsikan, tidak berarti anak low vision tidak membutuhkan latihan orientasi

dan mobilitas. Program pelatihan OM bagi anak low vision sangat terkait dengan

kondisi penglihatannya. Namun pada intinya program OM anak low vision tetap

mempertimbangkan penggunaan penglihatan semaksimal mungkin untuk

membantu mengamati lingkungan. Disamping itu juga aspek-aspek lainnya juga

turut memberikan masukan terhadap program yang akan dijalankan oleh

instruktur OM seperti latar belakang pendidikan, kondisi kehidupan, kondisi

kesehatan, saat terjadi kelainan, penglihatan terbaiknya, alat bantu penglihatan

yang dipakai, persepsi dirinya tentang lingkungan, dsb. (Rahardja, 2004).

Latihan orientasi dan mobilitas di dalam ruang kelas untuk anak low vision

tetap diajarkan bagaimana menggunakan sisa penglihatan. Tujuan dari latihan OM

di ruang kelas adalah agar anak low vision dapat mengakses dan beraktifitas di

ruang kelas dengan lancar, aman, dan tepat.

Pada prinsipnya latihan OM dilakukan dengan menempuh langkah-

langkah sebagai berikut : Pertama yang perlu dilatihkan adalah menumbuhkan

kesadaran penglihatan. Langkah ini membantu anak menyadari penglihatannya.

Page 21: Teori tentang low vision

33

Langkah kedua yaitu latihan identifikasi benda/simbol yang ada di ruang kelas

dengan sisa penglihatannya. Langkah ketiga yaitu menyusun komponen

benda/gambar. Langkah ini untuk melatih ciri-ciri obyek yang ada di ruang kelas.

Langkah ketiga yaitu melatih menata sumber cahaya agar anak dapat menjaga

posisi dirinya terhadap datangnya cahaya. Langkah keempat yang merupakan

langkah terakhir yaitu melatih anak mengidentifikasi simbol abstrak, seperti huruf,

angka, kata, dan kalimat (Rahardja, 2004).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan orientasi

dan mobilitas bagi anak low vision adalah sebagai berikut:

1) Asesmen Anak Low Vision untuk OM

walaupun anak low vision sudah diketahui kondisi penglihatannya, sudah

diasesmen baik secara klinis maupun fungsional, dan diketahui faktor-faktor

lainnya, namun untuk membuat program OM tetap dilakukan asesmen khusus

yang dijadikan dasar untuk memberikan latihan orientasi dan mobilitas bagi anak

low vision. Asesmen khusus untuk OM dapat ditempuh baik dengan wawancara

maupun pengamatan terhadap kemampuan OM anak low vision (Dijk, 2001).

Setting asesmen setidaknya mencakup aktifitas anak di rumah, di sekolah, dan

lingkungan tempat tinggal anak yang hubungannya dengan aktifitas orientasi dan

mobilitas anak.

2) Prinsip-Prinsip Latihan OM bagi Anak Low Vision

Untuk memberikan latihan OM kepada anak low vision tetap berpedoman

pada bagaimana mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan yang masih dimiliki

Page 22: Teori tentang low vision

34

anak low vision. Dijk (2001 : 25) mengemukakan lima prinsip untuk latihan

orientasi dan mobilitas bagi anak low vision, yaitu :

(1) Mengajarkan menggunakan penglihatan sisa. (2) Menggunakan penerangan/cahaya untuk memperoleh manfaat yang maksimal. (3) Belajar mengetahui dimana benda-benda seharusnya berada. (4) Menggunakan petunjuk dari indera lainnya untuk membantu memecahkan masalah penglihatan. (5) Menggunakan titik penglihatan terbaik untuk menyesuaikan kondisi mata dan situasi tertentu.

Kelima prinsip tersebut sebagai pegangan bagi instruktur OM untuk

merancang program, melaksanakan latihan, dan melakukan evaluasi. Namun yang

perlu diingat bahwa tidak semua anak low vision mempunyai sisa penglihatan

yang cukup untuk melakukan orientasi dan mobilitas. Hal ini tentu memerlukan

penyesuaian latihan baik materi, metode, alat, waktu dan sebagainya.

3) Melatih Kesadaran Tubuh Anak Low Vision

Kesadaran tubuh merupakan prasyarat penting untuk perkembangan

keterampilan orientasi dan mobilitas (Keeffe et al, 1988). Lebih lanjut Keeffe et al

(1988 : 87-88) mengemukakan bahwa kesadaran tubuh yang perlu dilatihkan ada

tujuh, yaitu: “The head, the body, movement, positions, directional concepts, size

concepts, and shape conceps”.

4) Materi OM di dalam Ruang Kelas

Menurut Keeffe et al (1988 : 90), ada beberapa materi OM yang perlu

dilatihkan kepada anak low vision di ruang kelas antara lain:

Locate door, determine posision of door (open, closed), avoid stationary object before contact, avoid moving obstructions before contact,

Page 23: Teori tentang low vision

35

locate unoccupied chair in classroom, locate teacher in classroom, determine the number of people in the classroom (from desk), locate wall clock, differentiate between large and small hands on the clock, read watch face, identify chalkboar in room, walk along white line on floor, identify school equipment items, locate equipment storage areas, collect equipment for a given task, identify without touch eating utensils on desk or table.

Benda-benda atau aktifitas yang telah dikemukakan oleh Keeffe, et al

tersebut tidak semua ada di kelas atau obyeknya tidak sama atau tidak semuanya

dialami oleh anak low vision atau bahkan melakukan aktifitas lainnya. Maka dari

itu pelatihan OM harus disesuaikan dengan keadaan, benda-benda yang ada, dan

aktifitas yang biasa dilakukan anak low vision. Yang paling penting harus diingat

dan dipertimbangkan dalam pelaksanaan latihan OM tentang empat buah kata

yaitu : warna, kontras, jarak, dan ukuran (Hosni et al, 2004).

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian tentang

optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision ini adalah sebagai berikut:

Judul penelitian: Impact of Optical Devices on Reading Rates and

Expectations forVvisual Functioning. Penelitian ini dilakukan oleh Bell, J. K. et al

pada tahun 2002 di Amerika Serikat. Penelitian ini menggambarkan penerapan

sebuah program yang bernama PAVE (Providing Access to the Visual

Enviroment). Program ini ditujukan untuk kebutuhan literasi dan akses visual

untuk lingkungan low vision, salah satunya dengan memanfaatkan alat-alat optik

(optical devices). Temuan penelitian menunjukkan bahwa PAVE dapat

mengurangi jarak kecepatan membaca antara anak low vision dengan teman

Page 24: Teori tentang low vision

36

sebayanya yang awas. PAVE juga meningkatkan harapan terhadap siswa dan guru

untuk memfungsikan penglihatannya.

Judul penelitian: Program Bimbingan Optimalisasi Penggunaan Sisa

Penglihatan Anak Low Vision Tingkat Dasar SLB-A di Bandung. Penelitian yang

telah dilakukan oleh Ehan pada tahun 2002 ini menunjukkan bahwa kemampuan

anak low vision dalam menggunakan sisa penglihatan untuk belajar sangat

beragam, begitu pula kemampuan akademiknya berbeda-beda. Sarana pendukung

terciptanya suatu layanan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak low vision sangat

kurang.

Judul penelitian: Head Teacher’s Perception Regarding the Needs of

Teachers to Work in Inclusive Education with Low Vision Students. Penelitian ini

dilakukan oleh Gasparetto, M.E.R.F. et al (1999) kepada 23 kepala sekolah di

kota Campinas negara bagian Sao Paulo Brazil. Temuan penelitian menunjukkan

bahwa para guru yang mengajar anak low vision memerlukan literatur khusus.

95,7% berpendapat bahwa para guru memerlukan program orientasi pada awal

mengajar anak low vision dan memerlukan program kursus pendek sebagai

program kelanjutannya secara teratur.

Judul penelitian : Visually Impaired - Activity Abilities, Limitations,

Change Goals and Quality of Life the Prospect of Rehabilitation. Penelitian ini

dilakukan oleh Lutteman, B. dari lembaga The Centra of Low Vision, Örebro,

Sweden pada tahun 1997 dan dipublikasikan pada tahun 2002. Temuan penelitian

menunjukkan bahwa beberapa aktifitas yang menyebabkan problem bagi low

vision adalah mobilitas, membaca, menulis, menonton TV, bekerja dengan piranti

Page 25: Teori tentang low vision

37

dan peralatan komunikasi, dan bekerja dengan piranti komputer dan aktifitas yang

berhubungan dengan hobi/kegemaran. Komparasi dari kemampuan beraktifitas,

tujuan dan kualitas hidup yang berubah, menunjukkan tidak ada hubungannya dan

tidak signifikan (insignificant).

Judul penelitian: Visual Fatigue in Children with Low Vision. Penelitian

ini dilakukan oleh Fitzmaurice, K. et al di Melbourne Australia. Temuannya

dipublikasikan pada tahun 2002. Fitzmaurice at.al meneliti tingkat kelelahan mata

pada 39 siswa low vision di SD dan SLTP. Temuan penelitian menunjukkan

bahwa ada tujuh akibat pada waktu anak low vision melakukan pekerjaan melihat

dekat, menulis, menggunakan komputer, dan menggunakan papan kerja. Dua

diantara tujuh akibat tersebut yaitu pada gejala penghindaran (73,7%) dan

kelelahan (73%). Kedua gejala inilah yang paling sering muncul pada saat anak

low vision melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas. Akibat lainnya (selain

dua gejala di atas) yaitu penglihatan kabur (remang-remang), hilangnya

konsentrasi, sakit kepala dan mata, meningkatnya nistagmus, dan hilangnya

konsentrasi disertai sakit mata.