Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik.docx

47
Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik. Teori ini membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangkan teori-teori sosiologi. Namun untuk mempermudah pemahaman kita maka perlu dibahas tiga paradigma sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial, sebagai permulaan sebelum membahas teori sosiologi modern. Pertama-tama yang akan dibahas adalah tokoh teori fungsionalisme yakni Talcott Parsons dan Robert K. Merton. Teori fungsionalisme menekankan pemikirannya pada analogi antara struktur masyarakat dengan organisme biologis, sedangkan tokoh dari teori konflik yang akan dibahas adalah pemikiran teori konflik dari Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser. Teori konflik lebih menekankan pada pertentangan antarkelas untuk memperebutkan sumber daya yang langka. Kemudian mengenai teori pertukaran sosial dari George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori pertukaran menekankan pada prinsip pertukaran yang terjadi dalam proses interaksi sosial di masyarakat. Selain itu, teori interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial. Teori interaksionisme ini mulai dari teori dari William James, Charles Horton Cooley, dan John Dewey, teori interaksionisme menurut George Herbet Mead, dan teori interaksionisme simbolik menurut William Issac Thomas dan Herbert Blumer. Pembahasan teori interaksionisme simbolik diakhiri dengan teori interaksionisme dari Erving Goffman dan Peter L. Berger.

Transcript of Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik.docx

Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik. Teori ini

membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangkan teori-teori sosiologi.

Namun untuk mempermudah pemahaman kita maka perlu dibahas tiga paradigma sosiologi,

yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial,

sebagai permulaan sebelum membahas teori sosiologi modern.

Pertama-tama yang akan dibahas adalah tokoh teori fungsionalisme yakni Talcott

Parsons dan Robert K. Merton. Teori fungsionalisme menekankan pemikirannya pada analogi

antara struktur masyarakat dengan organisme biologis, sedangkan tokoh dari teori konflik

yang akan dibahas adalah pemikiran teori konflik dari Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser.

Teori konflik lebih menekankan pada pertentangan antarkelas untuk memperebutkan sumber

daya yang langka. Kemudian mengenai teori pertukaran sosial dari George C. Homans dan

Peter M. Blau. Teori pertukaran menekankan pada prinsip pertukaran yang terjadi dalam

proses interaksi sosial di masyarakat.

Selain itu, teori interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan simbol-

simbol dalam interaksi sosial. Teori interaksionisme ini mulai dari teori dari William James,

Charles Horton Cooley, dan John Dewey, teori interaksionisme menurut George Herbet

Mead, dan teori interaksionisme simbolik menurut William Issac Thomas dan Herbert

Blumer. Pembahasan teori interaksionisme simbolik diakhiri dengan teori interaksionisme

dari Erving Goffman dan Peter L. Berger.

Sebagai penutup pembahasan akan diakhiri dengan pemikiran postmodernisme dan

teori feminisme kontemporer. Pembahasan postmodernisme membahas mengenai batasan

pemikiran postmodernisme, aspek budaya masyarakat postmodern, dan tokoh-tokoh

pemikiran postmodernisme, sedangkan teori feminisme kontemporer membahas mengenai

teori-teori sosiologi yang berkaitan dengan masalah gender dan teori-teori feminisme yang

berkembang dalam masyarakat.

Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebagai langkah awal pembahasan untuk

mempermudah pemahaman kita mengenai teori sosiologi modern adalah kita harus

mengetahui mengenai paradigma terlebih dahulu. Istilah paradigma kali pertama diintrodusir

oleh Thomas S. Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolution” tahun 1962 yang

diterjemahkan “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains” tahun 1989. Kuhn tdk menjelaskan

makna paradigma dengan jelas, baru oleh Mastermann konsep paradigma Kuhn diklasifikasi

menjadi tiga hal, yaitu:

Pertama, Paradigma metafisik (metaphisical paradigm). Paradigma Metafisik

memerankan fungsi, menunjuk kepada sesuatu yang pusat perhatian komunitas ilmuwan,

menunjuk kepada komunitas ilmuwan yang memusatkan perhatian untuk menemukan sesuatu

yang ada, serta menunjuk pada ilmuwan yang berharap menemukan sesuatu yang sungguh-

sungguh ada. Kedua, Paradigma sosiologis (sociological paradigm), yakni paradigma

sosiologi yang mengacu pada pengertian keragaman fenomena yang menjadi kajian ilmuwan

yang hasilnya diterima oleh ilmuwan dibidangnya. Ketiga, Paradigma konstruk (construct

paradigm). Paradigma konstruk ialah konsep yang paling sempit berkaitan dengan ilmu

tertentu.

Oleh karena ketidakjelasan Kuhn dalam menjelaskan Paradigma, maka Robert

Friedrichs kali pertama menjelaskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu

disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari “a fundamental image a dicipline has of

its subject matter”.

Secara umum, paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar,

prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu

pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang

yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan,

baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban

yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu :

a)      Paradigma fakta sosial, menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat

mempengaruhi individu dan dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules of

Sociological Method” tahun 1895 dan “Suicide” tahun 1897. Ia mengkritik sosiologi yang

didominasi Auguste Comte dengan positivismenya bahwa sosiologi dikaji berdasarkan

pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian

sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research) bukan dengan penalaran murni.

Teori-teori dlm paradigma ini adalah: teori Fungsional Struktural, teori Konflik, teori

Sosiologi Makro, dan teori Sistem.Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah:

Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial mencakup jaringan hubungan sosial

dimana interaksi terjadi & terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-

kelompok dibedakan. Sedangkan pranata sosial mencakup norma & pola nilai Empat

Proposisi yg mendukung kelompok sbg fakta sosial

1.      Kelompok dilihat melalui sekumpulan individu.

2.      Kelompok tersusun atas beberapa individu.

3.      Fenomena sosial hanya memiliki realitas dlm individu, dan

4.      Tujuan mempelajari kelompok utk membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu.

b.      Paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat

mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga

berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan

pemikirannya. Tokohnya adalah Max Weber yg menganalisis tindakan social (social action).

Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna untuk

dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya “tindakan yang penuh arti”. Weber tidak

memisahkan antara struktur dan pranata sosial karena keduanya membantu manusia

membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk mengkajinya digunakan metode “analisis

pemahaman” (interpretative understanding). Teori-teori yg tergabung dalam paradigma ini

adalah Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, Etnometodologi, dan Dramaturgi.

c.       Paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang

terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi

antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang

bersangkutan. Tokohnya B.F. Skinner. Obyek Sosiologi adalah perilaku manusia yg tampak

serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu & lingkungannya). Perilaku

sosial (X) tindakan sosial. Perilaku sosial: mekanisme stimulus dan respon, tindakan sosial:

aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung yakni

Sosiologi Behavioral dengan konsep “reinforcement” dan proposisi “reward and

punishment”, serta teori Exchange dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam dunia

sosial.

Aktor (Perilaku Sosial): hanya sekedar memproduksi kelakuan.

Agen (Definisi Sosial): mereproduksi & memproduksi tindakan

Paradigma dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan

adanya berbagai macam teori dan metode dalam pendekatannya.

Pengertian Sosiologi

Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam

masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-

aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh.

Dalam hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik yang

menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya. Untuk mengetahui

kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.

Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa

Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial

politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan

modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun

Revolusi Perancis.

Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan

senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap

pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat

akan melahirkan pemikiran sosiologis.

Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran

sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan dengan adanya industrialisasi, urbanisasi,

kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.

Pengertian Teori

Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan

atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang

saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada

dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud

memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori

adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari

kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi

teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara

konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus

terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-

definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.

Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang

menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu

kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila

mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan

antara konsep dan proposisi.

Pembahasan :

1.      Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang

menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut

fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat

yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim,

Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori

Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat

terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan

tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat

tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu

keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem

sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan

mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur

sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat

tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.

Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif

Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh

para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal.

Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu

didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang

disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan

tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang

dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu

diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya

sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan

tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai

kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan,

situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu

individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam

cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih

tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa

selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi

subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula

bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya

unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.

Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural

Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural

beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke

dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi

persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut

struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan

lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.

Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian

sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan

fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal

tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup

pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.

Perlu diketahui pula bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun

suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak

sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-

hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip

keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem yang

umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat

proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya

Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk

menganalisis proses perubahan.

Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu

teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput

dari serangkaian kritikan, baik dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog

lain, yaitu George Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah

dikemukakan dalam uraian di muka.

2.      Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton

Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional

Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata

memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu

Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi

subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada konsekuensi-

konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku.

Menurut Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam

perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan

tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang tidak

dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-

konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada

pula yang bersifat disfungsional.

Anggapan yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara

pendekatan Robert K. Merton dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang lainnya.

perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia cetuskan tersebut,

merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan

bersifat empiris dalam sosiologi.

Disfungsi dan Perubahan Sosial

Menurut Robert K. Merton dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari

individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional.

Konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan

keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat

disfungsional akan memperlemah integrasi.

Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan

timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul

akibat adanya saling berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan

adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat

alternatif sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.

Perlu diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya

struktur-struktur baru tersebut akan berarti bahwa konsekuensi objektif yang bersifat

disfungsional itu akan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Di samping itu

disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya anomie dan masalah sosial. Kenyataan tersebut

juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya menunjukkan

adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam masyarakat.

Kelompok Referensi (Reference Group)

Teori Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif

dari individu dalam berperilaku. Keharusan adanya konsekuensi objektif baik fungsional

maupun disfungsional dan harus adanya konsep-konsep alternatif fungsional dalam

pelaksanaan analisisnya, tepat apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki perbedaan-

perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu, Robert K. Merton

mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai penilaian dirinya

dan pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori Kelompok Referensi (Reference

Group Theory) yang terdiri dari Kelompok Referensi Normatif, Kelompok Referensi

Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu kelompok keanggotaan (Membership Reference

Group). Kelompok Referensi Normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan individu-

individu mengambil standar normatif dan standar moral, sedangkan Kelompok Referensi

Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka

berpikir untuk menilai posisi sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain.

Sementara Kelompok Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang

menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya.

3.      Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Pemikiran tentang Otoritas dan Konflik Sosial

Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus.

Dasar Teori Konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan

kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola

sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut. Pendapat yang

demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi pemisahan antara

pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu,, pada akhir abad ke-19 telah

menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang

dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan

status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula

kelompok kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar

pemikiran Karl Marx.

Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan

selanjutnya akan lahir serikat buruh dengan segenap mobilitas sosialnya, yang mampu

meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan

ada para pekerja yang pada suatu saat dapat saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya

pengurus dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan perundingan dengan

pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.

Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa

semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang

mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang

mendasari semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem

sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak

atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah

bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.

Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf

kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent

maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent

yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan

kelompok yang dikuasai.

Intensitas dan Kekerasan

Teori Konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf juga membahas tentang

intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas

diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau

kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi

intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.

Selain itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf juga membicarakan tentang kekerasan dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat

yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya.

Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara

yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.

Perlu diketahui bahwa menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa

salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam

konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan

diatur. Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka

merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-

tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-

menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di

atas maka perlu dibentuk saluran-saluran yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.

Pengertian Konflik

Konflik dapat mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial,

apabila kondisi-kondisi tertentu telah dipenuhi. Teori Konflik Ralf Dahrendorf menyatakan

bahwa konsekuensi atau fungsi konflik, yaitu dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial,

khusus yang berkaitan dengan struktur otoritas. Ada tiga tipe perubahan struktur, yaitu (1)

perubahan keseluruhan personil dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian personil

dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat

dalam kebijaksanaan kelas yang mendominasi.

Selain itu menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan

struktural itu dapat digolongkan berdasarkan tingkat ekstremitasnya dan berdasarkan tingkat

mendadak atau tidaknya. Dalam hal ini Ralf Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang

menekankan pada konflik dan perubahan sosial merupakan perspektif kenyataan sosial yang

berat sebelah. Hal tersebut karena meskipun Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori

Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid dalam menghampiri

kenyataan sosial, akan tetapi hanya mencakup sebagian saja dari kenyataan sosial yang

seharusnya. Kedua teori tersebut tidak lengkap apabila digunakan secara terpisah, dan oleh

karena itu harus digunakan secara bersama-sama, agar dapat memperoleh gambaran

kenyataan sosial yang lengkap.

4.      Teori Konflik Lewis A. Coser

Konflik dan Solidaritas

Semula Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan

fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya

struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan

adanya proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis

A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel.

Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau

tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang

persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan

antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat

menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar

(out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.

Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas

anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan

sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi

merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala

kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu

kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh

dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.

Konflik dan Solidaritas Kelompok

Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan

kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung

antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi

kelompok dalam, (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih

bersifat parsial.

Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan

itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka mengungkapkannya untuk

mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan

yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik

meledak, mungkin akan sangat keras.

Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya.

Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan,

apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping

itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat

perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in

group) mempunyai kesamaan-kesamaan.

Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat

pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu

bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota

kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka

konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam

suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika

dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.

Konsekuensi Konflik

Konflik merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam

kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak usah dilenyapkan, akan tetapi perlu

dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal tersebut karena dalam

masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut dikandung maksud bahwa apabila di suatu

pihak bertambah otoritasnya maka di lain pihak akan berkurang otoritasnya. Selain itu juga

karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.

Konflik dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat

menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping

itu juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan sosial

yang bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan

maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu

dan merupakan tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya

hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka putusnya hubungan tersebut dapat

meledak secara tiba-tiba. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran

alternatif sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak merusak

solidaritas.

5.      Teori Pertukaran Sosial George C. Homans dan Teori Pertukaran Perilaku Peter M.

Blau

Pendekatan Perilaku

Semula George C. Homans tidak menaruh perhatian masalah pertukaran sosial dalam

mengadakan pendekatan terhadap masyarakat karena pada awalnya ia mengarahkan perhatian

pada pendekatan fungsionalisme struktural. Pendekatan fungsionalisme struktural ternyata

mempunyai arti yang sangat penting karena mampu memberi masukan terhadap teori

sosiologi, terutama dalam hubungannya dengan struktur, proses dan fungsi kelompok

sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group. Menurut

pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat untuk menemukan dan

memberikan uraian, akan tetapi pendekatan tersebut tidak mampu menjelaskan. Selanjutnya,

berhubung pendekatan fungsionalisme struktural itu tidak dapat menjelaskan berbagai macam

hal maka menurut pendapatnya dianggap sebagai suatu kegagalan.

Berhubung pendekatan fungsionalisme struktural dianggap gagal dalam memberikan

fenomena-fenomena baru yang muncul dalam interaksi sosial di masyarakat maka ia

berusaha menyempurnakannya dengan prinsip-prinsip pertukaran sosial. Berkenaan dengan

hal tersebut maka ia tinggalkan pendekatan fungsionalisme struktural dan selanjutnya

menyatakan tentang pentingnya pendekatan psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala sosial.

Menurut pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang

menghubungkan sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara sebab dan akibat

hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui pendekatan perilaku. Namun, pada

mulanya ia juga menggunakan pendekatan ilmu ekonomi karena diasumsikan bahwa orang

yang berperilaku itu memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga

berpendapat bahwa perilaku orang itu tidak semata-mata alasan ekonomi, melainkan juga

karena adanya rasa kepuasan, harga diri dan persahabatan.

Perlu diketahui bahwa George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku

sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun

proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran sosial, yaitu (1) proposisi sukses,

artinya semakin perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku

tersebut; (2) proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka

pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus yang serupa;

(3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang orang

melaksanakan; (4) proposisi deprivasi satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran

tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; (5) proposisi restu-

agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah

dan kecewa serta dapat menyebabkan perilaku yang agresif.

Pendekatan Pertukaran Perilaku

George C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial.

Namun, tidak seperti George C. Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi

mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada jenjang sosiologi makro dan mikro dari

jenjang analisis sosiologi. Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau

menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter M. Blau melanjutkan analisisnya

dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau menunjukkan

bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang berupa struktur sosial

yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi

dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun

spiritual yang berupa pujian.

Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus

dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-

tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau

tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang

dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik

yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik

yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa.

Harapan-harapan yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Peter M.

Blau, yaitu (a) ganjaran atau penghargaan; (b) lahirnya diferensiasi kekuasaan; (c) kekuasaan

dalam kelompok; dan (d) keabsahan kekuasaan dalam kelompok.

Untuk jelasnya dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam

dua kategori, yaitu didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang bersifat intrinsik dan

ekstrinsik. Peter M. Blau berpendapat bahwa (1) individu-individu dalam kelompok-

kelompok yang sederhana (mikro) satu sama lain dalam pertukaran sosial mempunyai

keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun penghargaan; dan (2) tidak semua transaksi

sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial yang seimbang.

Pertukaran sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan

diferensiasi kekuasaan karena dalam pertukaran tersebut ada pihak yang merasa lebih

berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di lain pihak ada yang dikuasai serta

merasa ditekan. Kekuasaan menurut Peter M. Blau adalah kemampuan orang atau kelompok

untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain.

Adapun strategi atau cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan

terhadap orang lain yaitu memberikan sebanyak mungkin kepada pihak lain yang

membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan statusnya yang lebih tinggi dan berkuasa,

agar mereka yang dikuasai merasa berutang budi dan mempunyai ketergantungan.

Dalam pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang

terjadi pula dalam suatu kelompok. Dalam kelompok akan terjadi persaingan antarindividu,

dan tiap individu akan berusaha memperoleh kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang

lain. Agar orang itu terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian

orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau orang yang dapat

menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan. Kelebihan orang

yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan karena kepandaiannya,

kejujurannya, kesopanannya ataupun kebijaksanaannya. Dari tiap-tiap kelompok akan ada

yang menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan muncul satu orang yang paling menarik

perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut maka muncullah kekuasaan, dalam arti

ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin (pemegang kekuasaan) akan

memperoleh penghargaan sebagai akibat tanggung jawab yang dapat dipenuhinya. Sementara

orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena tugas yang

diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan yang ada.

Perintah yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh pemimpin yang sah. Agar

perintah dipatuhi maka pemimpin (pemegang kekuasaan) harus mempunyai wewenang.

Wewenang yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan digunakan untuk merekrut anggota

dalam kelompok.

6.      Interaksionisme Simbolik William James dan Charles Horton Cooley serta John Dewey

Interaksionisme Simbolik menurut William James

Teori interaksionisme yang dikemukakan oleh William James dilandasi oleh aliran

Pragmatisme. Ia berpendapat bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya

sebagai benar dengan akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Adapun mengenai

pandangan William James dapat dirangkum dalam suatu uraian sebagai, berikut.

1. Manusia dapat memperoleh sendiri sebagian apa yang diperlukan oleh pengalaman

kita yang sesuai dengan yang dikehendaki karena sebagai bagian dari dunia adalah

hasil dari perbuatan manusia itu sendiri.

2. Agama merupakan suatu kepercayaan yang mampu memberikan kepuasan rohani,

rasa aman, damai, dan rasa kasih sayang terhadap sesama.

3. Kebenaran gagasan-gagasan dan ucapan-ucapan tidaklah berada dalam kesesuaian

antara gagasan-gagasan dan fakta-fakta yang dapat ditemukan secara objektif

melainkan dalam kegunaan yang dimiliki gagasan-gagasan tersebut bagi tindakan;

4. Manusia mempunyai naluri-naluri meskipun naluri tersebut peranannya kurang

penting. Adapun yang dianggap penting adalah kebiasaan-kebiasaan yang

dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya.

5. Dalam interaksi, manusia mengembangkan suatu "diri", dan tidak hanya terdapat satu

diri saja melainkan lebih dan satu diri, yang dibedakan menjadi diri materiil dan diri

sosial yang diberikan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang terus

berinteraksi dengan seseorang.

Perlu diketahui bahwa William James terkenal karena meneruskan dan

mengembangkan konsep dan (self). Selain itu, ia juga berpendapat, bahwa perasaan

seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari interaksinya dengan orang lain.

Interaksionisme menurut Charles Horton Cooley

Menurut Charles Horton Cooley hidup ini tidak ada perbedaan secara biologis antara

manusia satu dengan yang lain. Individu dengan masyarakat terjalin suatu hubungan yang

organis sehingga antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu

dan masyarakat ada saling ketergantungan secara organis.

Konsep diri menurut Charles Horton Cooley disebut looking glass self karena dalam

setiap interaksi sosial, seseorang yang terlibat merupakan cerminan dan yang disatukan dalam

identitas orang itu sendiri. Analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, ia

mengembangkan "diri sosial" menurut William James. Dalam looking glass self ada tiga

unsur yang dapat dibedakan, yaitu (1) bayangan mengenai orang-orang lain melihat kita; (2)

bayangan mengenai pendapat yang dipunyai orang tentang kita, dan (3) rasa diri yang dapat

berarti positif atau negatif.

Tingkah laku orang seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu

yang mempunyai tiga elemen, yaitu (1) imajinasi tentang bagaimana seseorang tampil; (2)

imajinasi tentang bagaimana orang lain menilai terhadap penampilan itu; dan (3) reaksi-

reaksi emosional terhadap penilaian orang lain.

Menurut Charles Horton Cooley konsep diri dibentuk oleh apa yang dinamakan

kelompok primer. Dalam kelompok ini terdapat hubungan yang bersifat muka berhadapan

dengan muka atau "wawanmuka" dan di sinilah terbentuknya watak manusia. Hubungan

antara anggota sangat erat. Dalam anggota saling membaur sehingga tujuan yang akan

dicapai akan ada kesamaan.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya hubungan yang mesra, yaitu (1) adanya rasa

solidaritas yang tinggi di antara para anggatanya dan mereka merasa membutuhkan

kepentingan yang sama; dan (2) ada perasaan senasib dan sepenanggungan karena merasa

mempunyai latar belakang sejarah yang sama.

Syarat yang harus dimiliki kelompok primer, yaitu (1) para anggota kelompok secara

baik berdekatan antara yang satu dengan yang lainnya; (2) jumlah anggota sedikit dan (3)

hubungan antara anggota kelompok bersifat langsung.

Menurut Samuel Stouffen fungsi kelompok primer, yaitu membantu individu dalam

perkembangan dan pendewasaannya mempunyai sifat; (1) memberi bantuan motivasi dan

landasan kuat kepada anggota; (2) kelompok mempunyai nilai praktikal untuk individu; dan

(3) loyalitas dapat menyebabkan adanya hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok.

Sementara keuntungan bagi kelompok primer, yaitu (1) menunjang sifat-sifat baik manusia

dan menghindari sifat-sifat lemahnya, dan memberikan kekuatan batin serta dorongan kepada

individu; (2) mempertebal ketergantungan individu dari kelompoknya; (3) menyerap individu

dan kepribadiannya dalam kehidupan yang bersifat kolektif; dan (4) memperlihatkan reaksi

yang didasarkan pada perasaan. Adapun jasa yang pokok dari kelompok primer, yaitu (1)

memenuhi kepentingan naluriah manusia; (2) memberi rasa aman kepadanya dan (3)

memberi perlindungan dan memungkinkan pembentukan kepribadian individu.

Interaksionisme Simbolik menurut John Dewey

John Dewey adalah seorang pragmatisme ia menyebut sistem pemikirannya dengan

istilah instrumentalisme, yaitu suatu upaya untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat

dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, pengumpulan-pengumpulan dalam bentuk-

nya yang bermacam-macam. Menurut John Dewey pemikiran manusia bertolak dari

pengalaman-pengalaman, dan penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin

dari suatu keadaan yang tidak pasti menjadi keadaan yang pasti, sedang makna yang

terkandung dalam pikiran manusia itu senantiasa berada dalam interaksi yang bersifat

dialektik, baik dengan pengalaman maupun dengan tindakan manusia.

Instrumentalisme menekankan pada kemajuan, pandangan ke depan dan usaha-usaha

manusia, serta menekankan pada hasil-hasil atau akibat-akibat, dalam hal ini akibat tersebut

sesuatu yang memuaskan. Adapun yang disebut memuaskan adalah:

1. sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia,

2. sesuatu itu dianggap benar apabila dapat dibuat eksperimen dan dapat dibuktikan

kebenarannya, serta

3. sesuatu itu benar apabila membantu perjuangan makhluk untuk mempertahankan

kebenarannya.

Pandangan John Dewey menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang

berarti semua tindakannya diberi cap masyarakatnya. Sumbangan John Dewey terletak pada

pandangannya bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka untuk

menyesuaikan dan dengan lingkungan. Pandangannya mengenai pendidikan ia menganggap

ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dengan filsafat. Menurutnya filsafat adalah teori umum

dari pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah untuk mem-bangkitkan sikap hidup demokratis

dan mengembangkannya.

Dalam filsafat pendidikan dikenal aliran progresivisme. Aliran ini menentang sistem

pendidikan yang otoriter dan absolut. Adapun ciri-ciri sistem pendidikan Progresivisme,

yaitu:

1. pendidikan harus bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat serta kepentingan anak;

2. anak didik harus diberi latihan-latihan untuk memecahkan persoalan-persoalan;

3. pendidikan adalah pembudayaan hidup itu sendiri dan bukan mempersiapkan untuk

dapat hidup. Peranan guru dalam pendidikan adalah membimbing dan memberi

nasihat kepada anak didik dalam memecahkan persoalan,

4. sekolah merupakan tempat untuk melatih kerja sama dengan orang lain;

5. pendidikan harus bersifat demokratis.

Pendapatnya mengenai pengetahuan dinyatakan bahwa fakta, dan arti dari sesuatu

dapat dianggap baik atau tidak baik dengan mencari sampai seberapa jauh watak

operasionalnya. Pendapatnya mengenai nilai berkembang secara kontinu karena adanya

saling pengaruh-mempengaruhi antara pengalaman baru di antara individu-individu dengan

nilai-nilai yang telah tersimpan dalam kebudayaan.

7. Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead

Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead

Pemikiran-pernikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi

Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia

merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di samping

itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa

dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-

dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga

sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi

dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey.

Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan

pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia

mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan

tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya

terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-

olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang.

Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang

mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama

dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu

membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini

menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud

menghadirkan respon tertentu dari pihak lain.

Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan

simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan

peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran

(mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.

Konsep diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban

individu atas pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai

keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung.

Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu

itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik pandang orang

lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat Goerge Herbert Mead tentang pikiran,

menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah

percakapan antara "aku" dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam pikiran saya

memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.

"Kedirian" (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri

dan konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri" dinyatakan bahwa individu

adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu tidaklah semata-mata

pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja.

Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan

diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari determinisme

soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan membedakan di dalam

"diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut "me" atau "daku" yang lain "I" atau

"aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead

tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu "I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat

rumit dan sulit untuk di pahami.

Perkembangan Konsep Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial

Konsep diri George Herbert Mead menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui anak-

anak itu secara bertahap mereka memperoleh konsep diri yang menghubungkan anak-anak

dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok- kelompok

yang lain. Identitas anak akan selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan

rekan-rekannya. Pengembangan identitas sosial harus dicapai lewat proses belajar

bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.

Menurut Soejono Dirdjosisworo sosialisasi mengandung tiga pengertian dan menurut

Kamanto Sunarto dinyatakan bahwa salah satu teori peranan yang dikaitkan dengan

sosialisasi, yaitu teori yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead

menguraikan mengenai tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia, yaitu (1) tahap play-

stage (tahap bermain), (2) tahap game-stage (tahap permainan), dan (3) generalized other

(orang lain yang digeneralisasikan). Pada tahap ini seseorang dianggap telah mampu

mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Apabila

seseorang anak berhasil mengambil peranan orang lain yang digeneralisasikan itu maka

"diri"nya akan dapat mencapai perkembangan penuh, dan kelakuan individu dikendalikan

orang lain yang digeneralisasikan tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap generalized

other adalah sikap masyarakat. Proses sosial mempengaruhi perilaku individu yang terlibat di

dalamnya dan menjalankan proses itu yaitu masyarakat mengontrol tingkah laku anggotanya.

Teori Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat

terbentuk lewat proses interaksi dan komunikasi antarindividual dan antarkelompok dengan

menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Konsep

George Herbert Mead tentang masyarakat menekankan pada kekhususan model praxis

manusia di mana dengan menjembatani interaksi manusia dengan alam dan interaksi manusia

dengan manusia lain.

Menurut George Herbert Mead sesungguhnya beberapa jenis aktivitas kerja sama

telah menyebabkan adanya kedirian. Di sana terdapat penghilangan keorganisasian di mana

organisasi itu bekerja sama, dan dengan jenis kerja sama ini maka isyarat individual akan

menjadi stimulasi bagi dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk

stimulus yang lain sehingga dengan demikian perbincangan isyarat dapat menghilangkan

karakter individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan kedirian (self).

Manusia secara aktif menentukan lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang

bersamaan lingkungannya juga menentukan manusia. Menurut George Herbert Mead yang

lebih penting yaitu tidak ada bentuk organisasi sosial yang perlu dianggap sebagai sesuatu

yang final.

8. William Issac Thomas dan Herbert Blumer

William Issac Thomas

William Issac Thomas adalah tokoh Sosiologi Amerika yang terkenal sangat

kontroversial, tetapi juga dianggap sebagai orang yang mempunyai pemikiran cemerlang

pada masanya. Teoremanya yang sangat terkenal yang berbunyi 'if men define situations as

real, they are real in their consequences', dianggap menawarkan pendekatan baru dalam

memahami perilaku manusia dalam berinteraksi. Pendekatan yang ditawarkan adalah dalam

rangka keluar dari pendekatan positivistik dan juga pendekatan yang sifatnya individualis dan

subjektif ke dalam data-data yang sifatnya sosiologis di mana interpretasinya bersifat

objektif.

Karya Thomas sangat banyak, tetapi yang dianggap monumental adalah The Polish

Peasant in Europe and America yang berisi penjelasan tentang masalah identitas etnik

sehubungan dengan masalah perubahan sosial. Karya ini juga dianggap sebagai perbaikan

atas karya pertamanya yang berjudul Sex and Society: Studies in the Social Psychology of

Sex yang dianggap banyak mengandung bias biologi maupun bias psikologi. Selanjutnya,

tulisannya yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang 'definisi situasi'

dianggap memberi sumbangan yang sangat penting dalam bidang teori terhadap

perkembangan pendekatan interaksionisme simbolik.

Berdasarkan teori 'definisi situasi', perilaku bukan hanya merupakan respon refleksif terhadap

stimulus yang datang dari lingkungan. Perilaku merupakan buah dari proses definisi subjektif

aktor terhadap stimulus tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung tahap

pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang akan dimunculkan.

Herbert Blumer

Herbert Blumer merupakan salah seorang tokoh teori interaksionisme simbolik yang

mewakili aliran pragmatis. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya George Herbert

Mead, tetapi pada akhirnya dia tetap mampu membangun teorinya sendiri. Dia termasuk

orang yang sangat aktif, tidak saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga

dalam urusan-urusan administrasi di universitas tempatnya mengajar. Herbert Blumer

termasuk sangat produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya baik yang berupa buku

maupun artikel. Simbolic Interactionism: Perspective and Method yang ditulisnya tahun 1969

sampai saat ini tetap menjadi acuan bagi kajian-kajian interaksionisme simbolik. Dalam

bukunya ini, Blumer menekankan tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana aktor

tersebut mendefinisikan situasinya dan bertindak berdasarkan rasa kepemilikan terhadap

dirinya sendiri.

Interaksionisme simbolik itu sendiri menurut Blumer bertumpu pada tiga premis,

yaitu sebagai berikut.

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu

itu bagi mereka;

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain;

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang

berlangsung.

Dalam bentuk ketiga premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide dasar

pemikiran Blumer, yaitu apa yang disebutnya 'root images'. Images ini merupakan dasar dari

cara pandang interaksionisme simbolik tentang tingkah laku manusia dan masyarakat

manusia, serta kerangka dari pembentukan teori interaksionisme dan interpretasi.

9. Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman dan Peter L. Berger

Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman

Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi

sosial yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep

interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang

berhubungan dengan interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan

penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian

yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman

memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan

secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the

other tadi. Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu

interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam

analisis sosiologisnya.

Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy

yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung

sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi

yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman

menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas

sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan

cerita) yang telah ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang

disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di

mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan fungsi backstage

terhadap keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di

luar perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua

bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli

sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi

antara orang-orang yang menjadi kajian mereka.

Interaction Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum

ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Goffman secara konsisten tetap menyoroti

masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah

menuju skala terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters,

platform performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian besar analisis Goffman

tidak menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu self interaction, namun

bagi Goffman, seorang aktor yang berada 'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan,

memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu

manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang

aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal

inilah yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan

analisis secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.

Teori Interaksionisme Peter L. Berger

Peter L. Berger sebenarnya bukanlah tokoh interaksionisme simbolik murni.

Ajarannya memang lebih condong ke arah fenomenologi meskipun di dalamnya, konsep-

konsep dramaturgi, realitas sosial, dan hubungan tatap muka (face-to-face interaction) masih

menjadi sorotannya di mana hal ini konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar

acuan di dalam interaksionisme simbolik.

Dramaturgi Berger memang 'agak sedikit' berbeda dengan miliknya Goffman. Para

pelaku atau aktor di dalam dramaturgi Berger 'menciptakan' dan 'mengembangkan' sendiri

skrip atau jalan cerita yang akan 'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman

para pelaku atau aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan cerita), di

mana skrip itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh orang lain. Realitas sosial bagi Berger

haruslah terdiri dari unsur-unsur subjektif dan objektif di mana keseimbangan kedua unsur itu

harus tercipta demi keseimbangan realitas sosial itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger

juga menerapkan konsep hubungan antarmanusia yang disebutnya sebagai hubungan inter

subjektif. Bagi Berger, face-to-face interaction atau hubungan tatap muka merupakan

hubungan manusia yang sesungguhnya. Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada

realitas subjektif dan objektif yang keduanya itu dijadikan kerangka pemikiran untuk

melakukan pendekatan secara mikrososiologis.

Proses dialektik, bagi Berger dan Luckman, adalah moments yang diawali dengan

externalization atau eksternalisasi, kemudian proses itu menjadi objektivation atau

objektivasi, dan diakhiri dengan internalization atau internalisasi. Ada dua hal penting dalam

proses eksternalisasi, yaitu penciptaan suatu realitas yang baru serta pemeliharaan atau

pembaharuan kembali realitas yang sudah ada, sedangkan objektivasi maksudnya adalah

suatu proses di mana orang-orang itu dapat menangkap dan memahami realitas. Di sini

peranan bahasa sangat penting karena bahasa merupakan alat untuk memahami realitas sosial.

Sedangkan internalisasi artinya (proses) melihat setiap orang sebagaimana adanya, sebagai

orang itu sendiri. Di dalam internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses reifikasi yang

secara konseptual memiliki makna a dehumanized world artinya dunia yang (sudah)

dimanusiawikan.

10. Postmodernisme

Dari Modernisme ke Postmodernisme

Postmodernisme lahir sebagai gugatan atau penolakan terhadap modernisme.

Postmodernisme menganggap modernisme gagal mewujudkan pencerahan umat manusia.

Rasio yang didewakan oleh kalangan modernisme sebagai subjek yang menentukan dalam

upaya menyejahterakan umat manusia ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan.

Modernisme telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan

teori-teori besarnya, modernisme memang telah mampu menciptakan kesejahteraan sebagian

umat manusia, tetapi modernisme ternyata juga memiskinkan sebagian besar umat manusia

yang lain. Modernisme telah menyebabkan manusia kehilangan harkat kemanusiaannya

secara utuh. Semua itu menjadi sumber gugatan postmodernisme terhadap modernisme.

Karena penggugatan tersebut maka ada pula yang menyebut post- modernisme dengan

dekonstruksi, yang sebenarnya merupakan sifat dari postmodernisme.

Paling tidak ada lima alasan penggugatan postmodernisme terhadap modernisme.

Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan

yang lebih baik sebagaimana dicita-citakan para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan

modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan

otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara

teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa ilmu

pengetahuan modern mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia ternyata

keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu pengetahuan modern kurang

memperhatikan dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu memperhatikan atribut

fisik individu.

Sifat lain postmodernisme selain penggugatan adalah bersifat bebas, lokal, penolakan

terhadap universalisme, dan penolakan terhadap kontinuitas. Wacana pemikiran

postmodernisme kini telah merambah ke berbagai disiplin ilmu.

Postmodernisme dalam Sosiologi

Perkembangan pemikiran postmodernisme banyak mempengaruhi perkembangan

ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial yang banyak menghasilkan teori-teori sosial besar Untuk

menghadapi masalah itu, ada yang berpendapat sebaiknya sosiolog melepaskan daya tarik

sosiologi postmodern dan bekerja keras lewat perbincangan sosiologis tentang

postmodernisme. Hal itu perlu dilakukan mengingat sosiologi postmodern mengandung risiko

adanya kontradiksi dalam istilah-istilahnya, terutama jika kita memahami sosiologi sebagai

ilmu sosial yang sistematis dan menghasilkan dalil-dalil umum. Akar pemikiran mengenai

postmodernisme bersumber mulai dari pemikiran modernisme Weber, teori kelas Marxis

yang disebut dengan strukturalis, dilanjutkan oleh Teori Kritis mazhab Frankfurt yang juga

dikenal dengan Teori Kritik Ideologi, kemudian terakhir pemikiran Foucault yang lebih

dikenal sebagai poststrukturalis.

Dalam masyarakat postmodern dapat dilihat dari perubahan perilaku ekonomi dari

masyarakat yang mengutamakan asas manfaat menjadi masyarakat yang lebih mengutamakan

simbol atau tanda. Suatu benda dimiliki bukan karena benda itu bermanfaat dalam kehidupan

sehari-hari, tetapi lebih karena benda tersebut melambangkan simbol, tanda, dan status

tertentu. Karena lebih mengutamakan simbol maka masyarakat postmodern lebih

mengagungkan citra. Citra yang sebenarnya merupakan realitas semu dianggap seolah-olah

realitas yang sebenarnya yang ditampilkan melalui iklan dan tontonan. Karena itu,

masyarakat postmodernisme juga disebut masyarakat hiperrealis dan masyarakat konsumer.

Tokoh-tokoh Postmodernisme

Postmodernisme lahir dari pergolakan pemikiran para ahli dengan latar belakang

berbeda sehingga menghasilkan berbagai ragam pemikiran, dengan gaya dan bahasa yang

berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip dasar postmodernisme yang menolak penyeragaman.

Kita akan mengalami kesulitan untuk mencapai kesimpulan tunggal tentang postmodernisme

dan tatanan masyarakat yang digambarkannya. Derrida menekankan penolakan terhadap

kebenaran tunggal; dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara mendekonstruksi

bangunan pemikiran modernisme. Foucault menyoroti banyak aspek tentang masyarakat

postmodern. Ia menolak pandangan tentang kekuasaan yang sentralistik. Ia berpendapat

kekuasaan tidak berada di tangan orang yang berkuasa, tetapi menyebar dan ada di mana-

mana. Kekuasaan melekat dalam ilmu pengetahuan. Sementara itu Baudrillard menyoroti

perkembangan budaya dan perilaku ekonomi dari masyarakat modern kapitalis yang lebih

mengutamakan nilai produksi dan nilai guna ke masyarakat postmodernisme yang lebih

menekankan nilai simbol. Seperti halnya Derrida, Lyotard menolak kebenaran tunggal ilmu

pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sekarang ini, tidak mungkin ada penjelasan tunggal atau

ganda tentang ilmu pengetahuan. Legitimasi kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat

bersandar pada satu narasi besar sehingga menurut Lyotard ilmu pengetahuan saat sekarang

ini lebih baik dipahami dalam pengertian teori permainan bahasa.

Pemikiran postmodernisme akan terus bebas berkembang. Ia akan mengalir dalam diskusi

yang tanpa henti.

11. Teori Feminisme Kontemporer

Teori Sosiologi Gender

Konsep sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu dalam

masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan perilaku laki-laki dan

perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau

kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut

menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.

Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional struktural,

konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai

dengan prinsip konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap

pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling

sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi.

Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau perempuan

dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan

properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam

masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang

selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap

telah mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan

pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.

Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi bahwa

individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami

bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi

menganggap bahwa identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai

situasi. Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran

gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.

Teori Feminisme Kontemporer

Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat

telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Perbedaan sosial

budaya yang melatarbelakangi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai tempat

telah sejak lama diamati dan dianalisis menjadi teori-teori feminisme yang beragam. Teori

ketidaksetaraan gender mencakup teori feminisme liberal dan feminisme Marxist.

Feminisme liberal memfokuskan perhatiannya pada ketidaksetaraan kedudukan antara

laki-laki dan perempuan. Diskriminasi gender berupa pemisahan domain privat dan publik,

pengutamaan laki-laki dibanding perempuan, menurut feminis ini menyebabkan terbatasnya

gerak perempuan sehingga peranan perempuan menjadi mengecil, sedangkan feminisme

Marxist menganggap bahwa akar dari ketidaksetaraan perempuan adalah sistem kelas dalam

masyarakat kapitalis. Perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan di antara kelas sosial,

tetapi di dalam kelas sosialnya sendiri mereka merupakan subordinasi dari laki-laki.

Termasuk dalam teori penindasan gender adalah feminisme psikoanalis, feminisme

radikal, dan feminisme sosialis. Feminisme psikoanalitis berpandangan bahwa ketidakadilan

yang dialami oleh perempuan adalah akibat dari sistem patriarki di mana maskulinitas

dianggap lebih baik daripada femininitas. Sementara itu, feminisme radikal berpendapat

sistem patriarki merupakan bentuk praktik kekerasan dan penindasan oleh laki-laki dan

organisasi yang dikuasai laki-laki terhadap perempuan. Penindasan tersebut dalam bentuk

kekerasan fisik dan non-fisik. Penindasan menurut feminisme radikal adalah akibat dari

perbedaan biologis, dan basis dari subordinasi adalah institusi keluarga. Penindasan tersebut

membentuk hubungan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Pembentukan persaudaraan perempuan dan hubungan homoseksual adalah beberapa

cara yang disarankan oleh feminis radikal untuk menghapuskan penindasan gender.

Sedangkan feminisme sosialis menganggap bahwa penyebab penindasan perempuan adalah

ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki. Dalam keluarga, suami tidak hanya

menjadi pemilik properti keluarga, tetapi juga sebagai pemilik istri. Istri tidak lebih dari

properti. Kedudukan perempuan yang inferior terhadap kedudukan laki-laki ini terkait dan

menentukan kedudukan perempuan dalam sistem kelas keluarga dan kapitalisme.

Teori feminisme lain yang telah dikembangkan antara lain adalah feminisme

postmodern, feminisme multikultural/global, serta ekofeminisme. Ekofeminisme memi-liki

pandangan yang berbeda dengan aliran feminisme lain, di mana teori ini justru mengajak

manusia untuk mengembalikan dan menambah kualitas feminin pada kegiatan manusia dalam

pembangunan. Tujuan ekofeminisme ini adalah menumbuhkan rasa cinta kelembutan,

keibuan, dan pengasuhan kepada dunia, yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat

kegiatan manusia yang terlalu maskulin.