TEORI DISONANSI
-
Upload
veve-love-manchesterunited -
Category
Documents
-
view
47 -
download
0
description
Transcript of TEORI DISONANSI
TEORI DISONANSI KOGNITIF
Latar belakang
Sebagai salah satu teori yang “terkenal” di bidang psikologi sosial, teori disonansi kognitif ( Theory of Cognitive Dissonance) digunakan untuk berusaha mengerti dan menjelaskan fenomena yang luas tetapi teori ini berbeda dari teori-teori yang lain karena ciri yang berikut ini:
1. Teori ini bertujuan untuk menjelaskan tingkah laku kognitif yang
secara umum dan bukan teori dari tingkah laku sosial
2. Teori ini memengaruhi penelitian pada psikologi sosial dengan
lebih “dramatis” daripada teori-teori lainnya. Hal ini mungkin
disebabkan karena kepandaian Festinger dalam
memformulasikan hipotesis daripada karena karakteristik dari
teori itu sendiri.
Dasar teori ketidaksesuaian kognisi sangat sederhana yaitu :
1. Mungkin ada hubungan yang “tidak sesuai” antara elemen
kognisi yang menyebabkan ketidaksesuaian kognisi.
2. Ketidaksesuaian kognisi menghasilkan tekanan untuk
mengurangi ketidaksesuaian dan untuk menghindari
perkembangannya.
3. Akibat dari tekanan tersebut diwujudkan dengan mengadakan
perubahan dalam kognisi, perubahan tingkah laku danmenyeleksi
serta opini baru.
Bagaimanapun masalahyang berhubungan dengan jenis dari hubungan yang “tidak sesuai”, jenis dari ketidaksesuaian dan cara mereduksi ketidaksesuaian adalah masalah yang kompleks.
Definisi Ketidaksesuaian
LEON FESTINGER
Menyadari bahwa istilah ‘consistency’ dan ‘inconsistency’ mempunyai konotasi yang tidak diinginkan, Festinger menggantinya dengan istilah ‘consonance’ (sesuai) dan ‘dissonance’ (ketidaksesuaian). Istilah tersebut telah digunakan untuk menunjukkan hubungan yang ada antara pasangan-pasangan elemen. Elemen-elemen didefinisikan sebagai kognisi, di mana istilah kognisi itu mengacu pada pengetahuan, opini , kepercayaan dan peradaan tentang diri dan lingkungan seseorang. Jadi, elemen adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang dunia psikologisnya.
Dalam perspektif komunikasi teori Festinger ini nampak pada gagasan bahwa pelaku komunikasi memiliki beragam elemen kognitif, seperti sikap, persepsi, pengetahuan dan perilaku. Elemen elemen tersebut tidak terpisahkan, tetapi saling menghubungkan satu sama lain dalam sebuah sistem serta setiap elemen dari sistem tersebut akan memiliki satu dari tiga macam hubungan dengan setiap elemen dari sistem lainnya. Jenis hubungan yangpertama adalah kosong atau tidak
berhubungan: tidak ada elemen yang benar-benar memengaruhi elemen yang lain. Jenis hubungan yang kedua adalah cocok atau sesuai, dengan salahsatu elemen yang menguatkan atau mendukung elemen yang lain. Jenis hubungan yang ketiga adalah tidak cocok atau disonansi. Ketidaksesuaian terjadi ketika salah satu elemen tidak dapat diharapkan untuk mengikuti yang lain. Percaya bahwa lemak jenuh berbahaya bagi kesehatan anda tidak sesuai dengan memakan daging merah dalam jumlah yang banyak. Namun, apa yang sesuai atau tidak sesuai untuk seseorang bisa saja terjadi pada orang lain, sehingga pertanyaannya adalah apa yang sesuai atau tidak sesuai dalam sistem psikologis seseorang. Sebagai contoh, Anda mungkin berpikir bahwa daging memberikan protein yang berharga yang menghilangkan pengaruh-pengaruh berbahaya dari lemak dalam daging.
Festinger menggambarkan beberapa metode untuk menghadapi disonansi kognitif. Pertama, anda dapat mengubah salah satu atau beberapa elemen kogntitif – mungkin sebuah perilaku atau sikap. Sebagai contoh, anda bisa menjadi seorang vegetarian atau setidaknya berhenti mengonsumsi daging setiap hari atau anda dapat mulai yakin bahwa lemak tidak lebih penting dibandingkan genetis, untuk mengubah disonansi antara mengonsumi daging dan kegemukan. Kedua, elemen-elemen baru dapat ditambahkan pada salah satu sisi tekanan atau pada sisi yang lain. Misalnya, anda dapat beralih untuk menggunakan minyak zaitun. Ketiga, anda mungkin dapat melihat bahwa elemen-elemen yang tidak sesuai sebenarnya tidak sepenting biasanya. Sebagai contoh, anda dapat memutuskan bahwa apa saja yang anda makan tidak sepenting pandangan anda mengenai hidup sehat. Keempat, anda dapat melihat informasi yang sesuai, seperti bukti manfaat daging, dengan membaca kajian-kajian terbaru mengenai topik tersebut. Akhirnya , anda dapat mengurangi disonansi dengan mengubah atau menafsirkan informasi yang ada dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat terjadi jika anda memutuskan bahwa walaupun banyak daging memberikan resiko kesehatan, daging tidak begitu berbahaya dibanding kan kehilangan bahan-bahan nutrisi yang penting, seperti zat besi dan protein.
Disonansi dan komunikasi persuasi
Orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari dalih untuk mengurangi disonansinya itu. Pada umumnya orang berperilaku ajeg atau konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu.
Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi perilaku. Apabila disonansi tersebut terjadi, maka orang akan berupaya mengurangi dengan jalan mengubah perilakunya, kepercayaannya atau opininya.
Untuk memperjelas teorinya itu, Festinger memberikan contoh bagaimana mengurangi disonansi. Banyak orang yang percaya akan adanya orang yang membersihkan giginya tiga kali sehari. Tetapi banyak pula orang yang mungkin paling banyak yang percaya akan adanya orang tidak menggosok gigi sesering itu. Jadi disonansi terjadi antara kepercayaan dan perilakunya. Orang-orang seperti itu akan mudah dipengaruhi oleh komunikasi yang menyatakan bahwa sungguh-sungguh berbahaya jika menggosok gigi terlalu sering, atau oleh komunikasi yang menyatakan bahwa sebuah merk pasta gigi sedemikian tinggi mutunya sehingga bila ‘orang menggunakannya cukup satu kali saja’
Jadi kedua jenis komunikasi itu diterima dan dipercaya, maka pengurangan disonansi terjadi. Tetapi sebaliknya, kalau ada seseorang yang berupaya mempersuasi orang lain dengan menyatakan bahwa sebenarnya demi kesehatan gigi hendaknya digosok lima kali sehari, maka komunikasi seperti itu akan ditentangnya, dalam arti kata orang itu tidak dapat dipengaruhinya. Jelaslah bahwa jika orang itu menerima komunikasi tersebut akan meningkatkan disonansi antara kepercayaan dengan perilaku.
Jadi komunikasi persuasif akan sangat efektif, apabila mengurangi disonansi, dan tidak efektif jika meningkatkan disonansi.
Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai
perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku
yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi
ketidaknyamanan tersebut.
Pernahkah kamu merasa terbebani dengan orientasi seksualmu?[1] Kamu bingung
mengapa bisa memiliki rasa suka kepada sesama jenis dan berusaha menyangkalnya?
Tidakkah saat itu kamu merasa sangat takut jika orang lain tahu sehingga kamu berusaha
menyembunyikan dan tidak menginginkannya? Gejala-gejala seperti ini menunjukkan bahwa
kamu sedang mengalami dilema. Dalam dunia LGBT, keadaan semacam ini populer dengan
istilah denial. Namun, ditinjau dari segi psikologis, kamu mungkin mengalami apa yang disebut
sebagai cognitive dissonance atau disonansi kognitif.
Defenisi Disonansi Kognitif
Apa sih disonansi kognitif itu? Wibowo (dalam Sarwono, S.W., 2009) mendefinisikannya
sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih
serta antara sikap dan tingkah laku. Festinger (1957), berpendapat bahwa disonansi terjadi
apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang, yang diakibatkan oleh penyangkalan dari
satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu.
Hubungan yang bertolak belakang tersebut, terjadi bila ada penyangkalan antara elemen
kognitif yang satu dengan yang lain, misalnya antara sikap positif A terhadap B (A mencintai
suaminya B) dan sikap A terhadap perilaku B (berselingkuh).
Seorang lesbian, misalnya, dapat mengalami disonansi ketika menyadari orientasi
seksualnya karena dia tahu agama dan norma sosial menganggap orientasinya sebagai
penyimpangan. Akibatnya, lesbian tersebut berusaha menyangkal orientasinya untuk tetap
berpegang pada norma agama dan norma sosial, atau justru menyangkal norma tersebut untuk
dan berusaha merasa nyaman dengan orientasi seksualnya.
Namun, perlu diingat, bahwa istilah disonansi tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan orientasi seksual. Ketika seseorang bingung karena sangat ingin pergi ke
luar kota bersama teman tetapi juga tidak ingin melanggar larangan orang tua, dia juga bisa
disebut mengalami disonansi kognitif. Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dan
membentuk penyangkalan pada keinginannya untuk pergi.
Disonansi kognitif tidak hanya bisa timbul dari diri seseorang saja, tetapi juga dapat
timbul akibat pengaruh faktor eksternal di luar dirinya. Seorang lesbian yang sudah merasa
keluar dari masa denial dan bisa menerima orientasi seksualnya, misalnya, masih dapat
mengalami disonansi kognitif akibat sikap atau perkataan orang lain. Dalam sebuah penelitian,
seorang lesbian mengaku, ”The tension I experience comes from trying to answer ordained
clergy’s questions about ‘ a sin of being openly avowing as a lesbian Christian” (Mahaffy, 1996).
Bila terjadi disonansi, ada sesuatu yang harus dilepas, atau ada ketidaksesuaian antara
suatu keyakinan dengan keyakinan-keyakinan atau sikap yang penting. Bersikeras
mempertahankan kedua-duanya, akan terasa sangat menyiksa.
Asumsi-Asumsi Teoritis
Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar
diantaranya adalah[3]:
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia
yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus
tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi
kognitif.
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi.
Menurut Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal
ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai
pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(1957, hal 4).
Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa
disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil
langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.
Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan
hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu
sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa
disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotifasi seseorang untuk berusaha
mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif
menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam
berkomunikasi.
Dalam teori disonansi kognitif ada tiga elemen yang menjadi sorotan, yaitu :
1. Tidak relevan satu sama lain.
2. Konsisten satu sama lain (harmoni).
3. Tidak konsisten satu sama lain (disonansi).
Roger brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang
cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman
psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”.
Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk
keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga
hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi
(dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan konsonan (consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen
tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, jika bahwa kesehatan
dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima
kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesehatan dan perilaku anda sendiri
akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Atau pada kasus kaum lesbian.
Jika perilaku lesbian dan norma agama atau sosial tidak ada pertentangan, berarti lesbian
dengan norma agama dan sosial merupakan hubungan yang konsonan.
Hubungan disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak
seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang
penganut agama yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam
kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai
aborsi. Atau kasus kaum lesbian, mengenai perilakunya yang lesbi dengan konflik dengan
norma agama atau sosial yang bertentangan, membuat hubungan ini disonan.
Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen
tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi
peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang
disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.
Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak
ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep
tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah
kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan
yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi
disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi
dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi.
Tingkat Disonansi
Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang, ada tiga faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang(Zimbardo, ebbsen&Maslach,
1977):
1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat
disonansi yang dirasakan.
2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang
konsonan.
3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini
merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah
inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi
kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.
Disonansi Kognitif dan Persepsi
Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan
perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan
retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari
informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari
penghindaran ini.
a. Terpaan Selektif (Selective Exposure)
Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi
disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan
disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
b. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)
Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang
memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya
sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
c. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten.
Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman
dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya
terjadi(Bescheid&Walster,1978).
d. Retensi Selektif (Selective Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan
kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang
konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap
informasi yang tidak konsisten.
Cara Mengatasi Disonansi Kognitif
Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif
untuk ditempuh adalah:
a. Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.
b. Menambahkan keyakinan yang konsonan.
c. Menghapus disonansi dengan cara tertentu.
Aronson dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan tiga
mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu:
1. Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain. Seorang lesbian yang
tinggal di lingkungan yang sangat keras menentang homoseksualitas, misalnya, dapat
mengaplikasikan mekanisme ini dengan dua cara, yaitu: (1) mengubah orientasi
seksualnya atau setidaknya berpura-pura menjadi heteroseksual; atau (2) pindah ke
lingkungan lain yang lebih bisa menerima diri dan orientasinya.
2. Mekanisme yang kedua adalah mencari informasi baru yang mendukung sikap atau
perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan. Misalnyanya
seorang lesbian mencari informasi tentang perilakunya yang menyimpang di lihat dari
sudut sosial, mencari pembenaran dengan hal yang serupa. Misalnya, sebut aja disini
artikel SepociKopi, membaca artikel ini, mungkin kamu tanpa sadar sedang
menjalankan mekanisme tersebut. Atau cari info lain yang juga bisa menemukan
beberapa artikel argumentatif yang mengemukakan bahwa homoseksualitas
sebenarnya tidak bertentangan dengan agama tertentu. Berusaha mencari artikel
sejenis untuk menenangkan diri atau dijadikan dasar argumen ketika berdiskusi dengan
orang lain juga merupakan aplikasi dari mekanisme di atas.
3. Mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau
menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai
hal yang biasa. Kamu menjalankan mekanisme ini ketika kamu berusaha tidak peduli,
dan tetap berusaha menjalani hari-hari sesuai dengan norma yang ada, meskipun tetap
menjalankan kehidupan sebagai lesbian misalnya.
Kritik Terhadap Teori Disonansi
1. Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara
menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi
disonansi.
2. Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan
pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau
salah.
3. Proses adopsi perilakuMenurut Roger, seseorang akan mengikuti atau menganut perilaku baru melalui tahapan sebagai berikut:a. Sadar (Awareness) : seseorang sadar akan adanya informasi baru. Misalnya menggosok gigi.b. Tertarik (Interest) : seseorang mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai manfaat menggosok gigi sehingga orang tersebut mencari informasi lebih lanjut pada orang lain yang dianggap tahu, membaca atau mendengarkan dari sumber yang dianggap tahu.c. Evaluasi (Evaluasion) : pada tahap ini seseorang mulai menilai, apakah akan memulai menggosok gigi atau tidak, dengan mempertimbangkan berbagai sudut misalnya, kemampuan membeli sikat gigi, pasta gigi, atau melihat orang lain yang rajin menggosoki gigi.d. Mencoba (Triad) : orang tersebut mulai menggosok gigi. Dengan mempertimbangkan untung ruginya, orang tersebut akan terus mencoba atau menghentikannya. Misalnya, apabila orang tersebut setelah menggosok gigi merasa mulutnya nyaman, giginya bersih sehingga menambah rasa percaya diri, ia kan melanjutkan menggosok gigi secara teratur. Namun, jila menggosok gigi membuat gigi ngilu kegiatan menggosok gigi tidak akan dilanjutkan atau diberhentikan sementara.e. Adopsi (Adopsion) : pada tahap ini, orang yakin dan telah menerima bahwa informasi baru berupa menggosok gigi memberi keuntungan bagi dirinya sehingga menggosok gigi menjadi kebutuhan.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2271908-proses-perubahan-perilaku/#ixzz2tkTu4Tzx