Teori-teori Antropologi

39
Pokok-pokok Teori Antropologi Hadisaputra/ P1900212006 Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme

description

Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan

Transcript of Teori-teori Antropologi

Page 1: Teori-teori Antropologi

Pokok-pokok Teori AntropologiHadisaputra/ P1900212006

Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme

Page 2: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

DAFTAR ISI

1. Teori Evolusi Kebudayaan.................................................................................

Hal. 3

2. Teori Difusi

Kebudayaan....................................................................................Hal. 6

3. Teori Fungsionalisme

Budaya............................................................................Hal. 9

4. Teori Strukturalisme Radcliffe

Brown...............................................................Hal. 11

5. Teori Strukturalisme Levi

Strauss.....................................................................Hal 13

6. Teori Materialisme

Kebudayaan........................................................................Hal. 18

7. Teori Interpretivisme

Simbolik.........................................................................Hal. 19

8. Teori

Poststrukturalisme...................................................................................Hal.

21

9. Teori

Postmodernisme.......................................................................................Hal.

23

10.Contoh Penerapan

Teori....................................................................................Hal. 25

2

Page 3: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 1

EVOLUSI KEBUDAYAAN

1. Paradigma evolusi kebudayaan dikemukakan pertama kali oleh Edward

Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari

Inggris. Salah satu bukunya berjudul Researches into the Early History of

Mankind (1871), mengulas bahwa tujuan sesungguhnya dari kajian

kebudayaan yang dilakukan oleh seorang antropolog adalah untuk

mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya, kemudian

dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses

klasifikasi.1

2. Dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the

Development of Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom

(1874), Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah

evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing

tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka

gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut

adalah Savagery, barbarian dan civilization. 2

1Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 48.

3

Page 4: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

a. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan

cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka

ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu,

tulang dan batu.

b. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai

dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai

memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar

tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga

mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan

kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari

yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi

terbuat dari logam.

c. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau

peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan,

kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-

bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat

mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan

dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan

adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.

3. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan

oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan,

seorang antropolog Amerika. Dalam bukunya, berjudul Ancient Society, ia

menyatakan bahwa semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan

proses evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu:

1) Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,

2) Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan

senjata,

3) Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat

tembikar dan masih berprofesi sebagai pemburu,

4) Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok

tanam,

2Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.8.

4

Page 5: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

5) Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat

peralatan dari logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia

mengenal tulisan,era peradaban purba, dan era masa kini. 3

4. Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan

kebudayaan Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia,

generasi selanjutnya teori evolusi memunculkan dua teori evolusi baru:

a. Teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie

White. Teori ini disebut demikian karena paparan teori yang

dikemukakan White tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di

dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu saja. White

mengemukakan teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria

yang bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh

Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang

diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena

menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang

melakukan transformasi energi. White mengemukakan sebuah

rumusan ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya

adalah C  merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy)

sedangkan T adalah teknologi (technology).Sebuah kebudayaan yang

ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak

atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi

yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase

perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai

‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah

kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam

sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan

dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan

teknologi yang ada saat itu. 4

b. Teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian

Steward. Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan

berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap

3Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 44-45.4Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.9.

5

Page 6: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi

kerja.5 Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan

ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan

tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya

teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga

memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada

sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi

kerja.

5. Contoh proses evolusi social budaya:

Evolusi Hukum (H. Spencer) : Hukum Keramat - hukum sekuler –

hukum keramat raja – hukum formal perundang-undangan yang

kompleks

Evolusi keluarga (j.j.Bachofen) : Promiskuitas – matriarchate –

patriarchate – parental.

Evolusi Religi / Agama ( E.B. Taylor) : Animisme – dinamisme –

politeisme – monoteisme

Evolusi Budaya Tekhnologi (L.H. Morgan ): Zaman liar (tua,

madya, muda) – zaman barbar (tua, madya, muda) – zaman

peradaban purba – zaman peradaban masa kini.

Evolusi budaya tekhnologi penggunaan energy (L. White):

Penggunaan tenaga manusia – penggunaan api – penggunaan

tenaga hewan – penggunaan tenaga mesin.6

TEORI 2

Teori Difusi Kebudayaan

1. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G.

Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli

5Ibid. hlm.10. 6 Dikutip dari Slide Presentasi Mata Kuliah “Teori-teori Antropologi”, DR. Munsi Lampe, MA.

6

Page 7: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan

sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan

besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu

tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic

Theory.7 Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini,

peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan

hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian

keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa

lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini

kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh

seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-

orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini

melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut

dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti

emas, perak dan permata.8

2. Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh

para penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan

teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori

evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya

kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat

menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut.9 Akan tetapi,

keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori

evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke

permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.

Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi

perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para

pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.

3. Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang  hidup antara

tahun 1858-1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar

ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-

wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi

7Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 119-120.8Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2011), hlm.11. 9Ibid,-

7

Page 8: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai

kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai

kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus

diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang

mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus

diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin.10 Model Boas ini

kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di

dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian

kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan

kulturschichten atau lapisan kebudayaan.11 Dalam kajian kebudayaan ala

difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah

kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan

ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang

dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-

unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.

4. Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas

kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika.

Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas

adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai

seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History.

Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan

atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan.

Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari

kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang

merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di

dalamnya.12 Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan

beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman

Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan

menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan

antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam

tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap

10Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 125. 11Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 12. 12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 127.

8

Page 9: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan

puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan

berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam

kebudayaan-kebudayaan tersebut.

5. Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL

Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh

penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat

mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung

dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam

bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya

dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling

tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya

diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat

tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa

yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan

yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

9

Page 10: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 3

FUNGSIONALISME

1. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi

inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya

keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan

adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun,

berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model

organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap

evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk

mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi

suatu organ dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti

tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau

unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks kehidupan

masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang

berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama,

tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena

mempunyai fungsi tertentu. 13

2. Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang 

mengembangkan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional

theory of culture 14. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa

segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu

rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang

13Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 15. 14 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1987). Hal 162.

10

Page 11: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi

kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul

dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Kesenian misalnya yang

merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula

manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu

pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di

samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi

dari beberapa kebutuhan masyarakat.15

3. Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural)

berlangsung tidak hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga

pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya

dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian

lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul

hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka

(lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal

sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan menjadi

salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural)

memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang

lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan

memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat

yang diteliti.

15 Ibid. Hal 171.

11

Page 12: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 4

STRUKTURALISME RADCLIFFE-BROWN

Dalam pidato Radcliffe Brown yang berjudul On Social Structure, ia menerangkan

bahwa: 16

1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri

dari serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial. Demikian

juga bbanyak hal lain dalam alam semesta ini, seperti planet-planet yang

beredar, organisme-organisme yang hidup, molekul-molekul yang bergerak;

sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian gejala alam.

2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas dari gejala-

gejala di antara gejala-gejala alam yang lain, dan dapat juga dipelajari

dengan metodologi yang sama seperti metodolog yang dipergunakan untuk

mempelajari gejala-gejala alam semesta lain tadi.

16 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 180-183.

12

Page 13: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu

sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisme,

makhluk atau molekul.

4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, yang mempelajari

struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi

yang mempelajari struktur kulit bumi, atau ilmu biologi yang mempelajari

struktur dari organisme-organisme, ilmu kimia yang mempelajari struktur

dari molekul-molekul.

5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara

individu-individu atau lebih baik person-person17 dan kelompok-kelompok

person. Dimensinya ada dua, yaitu: hubungan diadik, artinya antara pihak

(yaitu person atau kelompok) kesatu dengan pihak kedua, tetapi juga

diferensial, antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda

atau sebaliknya.

6. Bentuk dari “struktur sosial” adalah tetap, dan kalau toh berubah, proses itu

biasanya berjalan lambat, sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud

dari struktur sosial yaitu person-person atau kelompok yang ada di

dalamnya, selalu berobah dan berganti. Tentu saja ada beberapa peristiwa

yang dapat juga membuat bentuk dari struktur sosial itu mendadak berubah,

misalnya peristiwa perang atau revolusi.

7. Dalam penelitian masyarakat di lapangan, seorang peneliti mengobservasi

wujud dari struktur sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada

pengertian tentang bentuknya yang bersifat lebih abstrak. Bentuk struktur

sosial dapat dideskripsi dalam dua keadaan. Hal itu sama dengan cara

seorang ahli anatomi mendeskripsi suatu organisme dalam keadaan

berhenti, menjadi morfologi dari organisma itu, tetapi juga dapat dalam

keadaan berproses (hidup), menjadi fisiologi dari organisma itu. Sebagai

analoginya, seorang ahli ilmu sosial dapat mendeskripsi bentuk dari suatu

struktur sosial dalam keadaan seolah-olah berhenti menjadi morfologi sosial,

tetapi juga dalam keadaan berproses menjadi fisologi sosial.

8. Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada

dimensii diadik maupun difernsialnya, serta morfologi sosial maupun

17 Radcliffe-Brown mengusulkan untuk membedakan antara “individu” dan “Person”. Individu adalah manusia sebagai organisma, sedangkan person adalah orang yang mempunyai kedudukan dalam struktur sosial.

13

Page 14: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

fisiologi sosialnya, dapat mengerti latar belakang kehidupan kekerabatan,

ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat

yang menjadi pokok perhatiannya.

9. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan

batas suatu sistem sosial atau suatu kesatuuan masyarakat sebagai

organisme. Hal itu telah menjadi maslaah bagi para ahli ilmu sosial sejak

lama. Apakah kerajaan Inggris itu suatu masyarakat, ataukah suatu

gabungan dari banyak masyarakat? Apakah suatu desa di China itu suatu

masyarakat, atau hanya suatu bagian saja dari masyarakat yang lebih besar?

Menurut Radcliffe Brown batas jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang

merupakan batas suatu masyarakat.

10.Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas

mempelajari struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat

sebagai kesatuan-kesatuan dan membandingkannya dengan metode analisa

komparatif untuk mencarii azas-azasnya. Dengan demikian dapat

dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang

ada di dunia, kedalam beberapa tipe dan sub tipe struktur sosial yang

terbatas.

11.Klasifikasi dari aneka-aneka gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk

kemajuan ilmu alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika klasifikasi dari

beribu-ribu jenis bentuk makhluk hidup di dunia ini menjadi beberapa suku,

infrasuku, keluarga, jenis dan ras yang terbatas. Demikian pula ilmu

antropologi sosial akan maju dan mampu mengembangkan hipotesa-hipotesa

yang setelah diuji dapat dikembangkan menjadi kaidah-kaidah sosial atau

social laws, atau suatu klasifikasi besar mengeenai aneka warna struktur

sosial tersusun.

TEORI 5

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

1. Asumsi Dasar Strukturalisme

14

Page 15: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan

pendekatan yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa

menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang

berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut

adalah sebagai berikut18:

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-

sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan

sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-

bahasa.

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia

terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga

kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan

untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau

menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang

dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan

saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi

perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud

secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam

bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu

istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu

tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para

penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu

fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu

tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum

transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang

tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi

konfigurasi struktural yang lain.

4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau

disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).

Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya

pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan

18 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 66-71

15

Page 16: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai

fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan

strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa

strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur

bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga

Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam

bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

2. Kritik Terhadap Strukturalisme Levi-Strauss

Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah

kekurangan dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme

Levi-Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli

antroplogi itu sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme

Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan perangkat dan metode analisis,

data etnografi dan interpretasi, serta hasil analisis dan kesimpulan dari hasil

analisis teori tersebut.

a. Perangkat dan Metode Analisis

Ahimsa menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode

analisis dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-

konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi dalam

proses analisis. Marry Douglas mengkritik mengenai cara penggunaan

konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-Strauss tidak selalu

menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan

itu, Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap

terlalu jauh. Douglas menyebutkan bahwa Levi-Strauss sering

memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam

pikirannya. 19

Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang

dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk

memahami sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi

19 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 162

16

Page 17: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

cerita. Namun dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang

digambarkan. Dalam beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada

tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis yang berarti isinya

juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk

tidak bisa dipisahkan.

Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist

(reduksionis). Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos

sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis

menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena

akan mengalami kelemahan makna (a lesser meaning). Douglas

menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss yaitu

pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam

analisis wacana.20

b. Interpretasi Data Etnografi

Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini

dikarenakan mitos tidak pernah lepas dari konteks budaya masyarakat

setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini,

Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para

antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data

etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung

dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini

melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh

teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis

Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian

tersebut. 21

Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik

mengenai hasil analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku

Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu

diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana

dan bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi

konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini

20 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 16421 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 168

17

Page 18: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga

didukung oleh tiga ahli antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ.

Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis

Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-

generalisasi etnografi yang sangat diragukan kebenarannya. Bahkan

analsisnya dianggap mengalami ke-salahrepresentasi-an

(misrepresentasions of story).

c. Hasil Analisis

Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya

dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun

masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para

ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik

dapat dibedakan dalam beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural

menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran struktur mitos yang

dikemukakan.

Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-

Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada

aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang

terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap

realitas sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa

makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap

biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.

Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis

mitos menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda

ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan

Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-

Strauss terlalu banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu

bahasa (linguistik) yang menurut Douglas tidak cocok jika diterapkan

dalam analisis mitos.

3. Tanggapan Terhadap Kritik

Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat

dalam Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat menjadi

kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori ini masih

18

Page 19: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak

penyesuaian dan pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak

yang menghujat sekaligus memuja teori ini.

Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-

Strauss ini. Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang

berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang

telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak

melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari

Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu

mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam,

yang tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu. 22

Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh

Levi-Strauss kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu dengan

yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis dalam mitos. Dan inilah

yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat

yang terdapat dalam mitos tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli

antropologi melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss

mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih payah

Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode

struktural ini dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan

mampu memberikan wawasan atau wacana tentang mitos yang sangat

penting itu.

22 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 176.

19

Page 20: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 6

MATERIALISME KEBUDAYAAN

1. Materialisme Kebudayaan sering dikaitkan dengan nama Marvin Harris,

yang mengusulkan nama pendekatan itu sendiri. Pendekatan ini didasarkan

pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan

kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Harris sangat dipengaruhi gagasan

Marxis tentang Basis dan Suprastruktur. Ia menyebut Basis dengan

“Infrastruktur”, ia juga memasukkan unsur reproduksi manusia

kedalamInfrastruktur. Harris juga membuat kategori antara, selain

infrastruktur dan suprastruktur, yaitu Struktur. Kategori ini tidak terdapat

dalam kategori Marxis.

2. Harris menganggap pendekatan etik (dari sudut pandang ilmu sosial)

sebagai strategi penelitian prioritas untuk mengembangkan penjelasan

fenomena sosial manusia. Ia tidak menolak bahwa eksplanasi mental,

suprastruktur, yaitu emik, memiliki otonomi pada tingkat tertentu terpisah

dari eksplanasi etik. Ia juga memberikan prioritas pertama pada penelitian

tentang basis atau infrastruktur, karena ia yakin bahwa analisis basis akan

menghasilkan keteraturan dasar dalam hubungan interaksi antara

20

Page 21: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

kebudayaaan dan alam. Dalam pandangan Harris, keuntungan strategis

mengenai analisis etik atau analisis infrastruktur terletak pada keterbukaan

pada pengukuran dan kuantifikasi, yang unsur ini selalu memberikan nilai

tambah dalam kajian ilmiah.

3. Materialisme kebudayaan cenderung memusatkan perhatian pada fenomena

obyektif. Berkali-kali materialisme kebudayaan mengemukakan hipotesis

bahwa perilaku manusia dikontrol oleh persyaratan kebutuhan protein,

energi atau faktor-faktor alamiah lainnya.

4. Metedologi materialisme kebudayaan terletak padametode ilmiah dan

aturan-aturannya dalam menghimpun data, memverifikasi hipotesis, dan

mengembangkan analisis logika dan pembuktian yang tepat. Materialisme

kebudayaan sependapat bahwa realitas empiris independen dari kesadaran

manusia. Dengan sejumlah kasus yang mencukupi, generalisasi dapat

dikembangkan.

5. Materialisme kebudayaan dapat menjelaskan dan mengisolasi alasan-alasan

kesamaan dan perbedaan di antara berbagai masyarakat dengan

memusatkan perhatian pada kajian infrastruktur materi masyarakat yang

bersangkutan.23

TEORI 7

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

Beberapa karekteristik paradigma interpretivisme simbolik diuraikan sebagai

berikut:24

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia

2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paliing mampu

menggunakan dan memaknai simbol.

3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar: (a) apa makna (signifikansi)

identitas manusia; (b) apa signifikansi makna dari operatsional sistem sosial

manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki

bersama yang terkandung dalam simbol-siimbol, yang dengan simbol-simbol

23 Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 235-237.24 Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 320-321.

21

Page 22: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

tersebut manusia mengembbangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan

mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.

4. Paradigma ini dodorong oleh suatu isu sentral: masalah univesal yang

konkret. Paradigma mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari

yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi

ilustrasi dari yang universal.

5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk

memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota

masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh

manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagai mode kehidupan.

6. Mengacu kepada konsep perseptual dari pengalaman-yakni cara-cara

manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-

cara yang digunakan oleh manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh

pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri mamupun dunia

mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini merepresentasi upaya untuk

mengungkapkan diversitas cara-cara manusia mengonstruksi kehidupan

mereka dalam tindakan.

7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini

adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

8. Membandingkan realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini.

Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan

dalam penelitian, melainkan “mempersiapkan diri kita untuk menjawab

pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga

masyarakat yang kita kaji, yang berarti melibatkan mereka, pandangan

mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral

dalam jawaban kita.”

9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami

pemahaman yang bukan pemahaman kita.

10.Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban

mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia- termasuk

hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana

identitas manusia didefenisikan dan dipelihara.

22

Page 23: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 8

POSTRUKTURALISME

1. Awal postrukturalisme adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966,

dimana dalam pidato tersebut ia mengumumkan terbitnya zaman

postrukturalisme. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang

mengikuti peralihan linguistik dan yang melihat orang dikekang oleh

struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak

23

Page 24: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

mengekang subyek. Lebih jauh lagi Derrida melihat institusi sosial hanya

sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang.25

2. Postrukturalisme dapat dikatakan merupakan antitesis dari strukturalisme.

Berseberangan dengan strukturalisme yang mengutamakan pemikiran

mengenai bahasa, postrukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan

pada tulisan, yang kemudian tercipta yang dinamakan grammatology.26

3. Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial, dan ketika

dekonstruksi ini telah dilakukan, yang ditemukan hanyalah tulisan. Kendati

dalam hal ini masih terdapat fokus pada bahasa, tulisan bukanlah struktur

yang mengekang orang. Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas

dalam sistem bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak

teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang

berbeda pada kata. Akibatnya sistem bahasa tidak memiliki kekuatan untuk

mengekang orang sebagaimana pandangan strukturalis. Derrida

melanjutkan, tidak mungkin ilmuwan mencari hukum-hukum yang

mendasari bahasa. Derrida menawarkan perspektif subversif dan

dekonstruktif. Poststrukturalisme inilah yang menjadi dasar bagi lahirnya

posmodernisme. Obyek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencarian

sistem pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat,

cantik dan lain sebagainya) yang telah mendominasi pemikiran sosial barat. 27

4. Ide-ide dasar Derrida mengenai postrukturalisme, mulai dari writing

(tulisan), trace (jejak), differance (perbedaan) arche-writing (pergerakan

differance). Dan dari ide-ide dasar tersebut, Derrida menarik kesimpulan,

bahwa selalu ada suatu realitas yang bersembunyi di belakang tanda; selalu

ada sesuatu yang tersembunyi di balik apa yang hadir. Ia adalah realitas dan

hubungan dalam realitas, dan dua hal itulah yang merupakan titik sentral

kajian Derrida.28

5. Ketika realitas dan hubungan dalam realitas itu muncul dalam penerapan,

yaitu dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal yang kecil.

Ketika misalnya hikayat diceritakan dalam teks, hal itu tidak menjadi

25 Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 65026 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 20227 Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 65028 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 204

24

Page 25: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

masalah. Tetapi yang kemudian perlu dipertimbangkan kembali adalah

makna lanjutan dari dekonstruksi dari Derrida, mengenai dekonstruksi yang

tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran dan akan terjadi

dekonstruksi terus menerus. Ritzer menjabarkan lebih lanjut pikiran

dekonstruksi Derrida, sebagai berikut:

Tetapi dekonstruksi tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran. Ia mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi lagi dan lagi secara terus menerus; bukan berarti menghancurkan yang paling bawah, untuk menemukan kebenaran. Walaupun dekonstruksi berjalan terus, ia hanya akan memberi jalan pada dekonstruksi selanjutnya. 29

6. Hal ini kemudian yang menggiring pada terma kunci lainnya, yaitu

decentering, yang ingin meninggalkan strukturalisme dari fokusnya tentang

tanda (sign) dan menitikberatkan pada proses “menjadi tanda” (becoming

sign); meninggalkan struktur objektif beralih pada hubungan antar struktur

subjektif dan objektif. Pada terma yang sangat luas, decentering diarahkan

pada dekonstruksi masalah sentrisme, seperti hasrat manusia untuk

menempatkan ‘pusat’ kehadiran pada ‘awal’ dan ‘akhir’; juga berkaitan

dengan penolakan linieritas dan penyelidikan terhadap yang origin. 30

29 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 20530 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 206

25

Page 26: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

TEORI 9

POSMODERNISME

Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan

epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis.

Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat

komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on

Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern

semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip

kesatuan ontologis.31 Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh 

kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi.

Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi.

Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip

paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur,

permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau

menguasai.32 Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan

langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini,

seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni  merupakan indikasi lahirnya

sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan

menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau

menaklukan realitas lain.

Baudrillard menyatakan  kebudayaan postmodern  memiliki beberapa ciri

menonjol:

1. Kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture.

Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat

postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna

uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar,

melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama

berlangsungnya kebudayaan.

31 Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 158.32 Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 161.

26

Page 27: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

2. Kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier)

ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message),

fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs)

ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic)

ketimbang etika (ethic).

3. Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang

terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi

maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Dalam

dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan

model-model. Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi,

Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna

sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia

mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi,

yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland,

Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi

model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk

menggambarkan keadaan ini.

4. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai

dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu

ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra)

mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta).

5. Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa,

budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang

bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah

memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi

kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen

27

Page 28: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

CONTOH PENERAPAN TEORI

Dalam politik, khususnya dalam meraih kekuasaan, orang dapat

menempuh segala cara, tak peduli soal-soal etika dan moral. Dalam politik

tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Mungkin

berangkat dari logika itulah sehingga lahir instrumen-instrumen politik

seperti tim sukses, lembaga survey dan konsultan politik, mesin pencitraan

melalui media massa (mass media) dan media sosial (social media) serta

berbagai perangkat lainnya. Selain perangkat politik modern tersebut,

ternyata terdapat pula perangkat politik yang bersifat metafisik. Sebutlah

maraknya fenomena “Paranormal Politik” dalam pentas pesta demokrasi di

negeri ini.

Wakil Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar juga mensinyalir hal

tersebut, menurutnya di era reformasi dan globalisasi dewasa ini ada

fenomena yang makin menguat di tanah air bahwa menjelang pemilihan

kepala daerah (Pilkada) praktik perdukunan makin menguat.33

Dukun/paranormal semakin laris. Fungsi dan peran mereka yang dulu

ditutup-tutupi kini sengaja dibuka lebar-lebar. Kini mereka berani tampil di

muka umum dan pasang iklan di media cetak atau elektronik. Praktik

paranormal/dukun kini menjadi profesi.

Sinyalemen Nasaruddin tersebut menemukan bukti pembenarannya

dalam penelitian Antropolog Jerman Prof. Judith Schlehe, dengan tajuk

“Paranormal Practitioners  and Popular Religion in Contemporary Java”.34 33Harian Haluan, Edisi 12 Januari 2012: http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11782:jelang-pilkada-dukun-laris&catid=21:khas&Itemid=9134Lihat Website Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gajah Mada: http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum/334/Paranormal-Seks-dan-Pilkada.html

28

Page 29: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

Salah satu hasil temuan dari penelitian guru besar Universitas Freiburg ini

menunjukkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada), 80 persen penghasilan para paranormal berasal dari

momentum tersebut. Inilah momen ketika paranormal disibukkan oleh

konsultasi para calon yang akan berlaga di Pemilukada.  Mereka yang

berkompetisi dalam Pemilukada, notabene memiliki gelar-gelar akademis

mentereng, meminta bantuan paranormal untuk memudahkan langkah

mereka melenggang menuju kursi pemerintahan eksekutif. Berbagai ritual

dan amalan mereka kerjakan agar kharisma mereka semakin memancar

dan rasa percaya diri mereka semakin membesar. Harapannya, jalan

menuju kursi pemerintahan elit menjadi semakin terbuka lebar dan mudah.

Berikut salah satu contoh iklan paranormal Pemilukada:35

Gambar 1

35 Sumber: http://padepokan-cirebon.blogspot.com/

29

Page 30: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

Berangkat dari penggambaran realitas diatas, penulis tertarik untuk

mengkajinya dengan menggunakan salah satu teori dalam antropologi,

yaitu teori fungsionalisme. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah

bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan

suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang

berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi

kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul

dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. 

Magi bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki

daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak

dikendalikan. Dan dengan agama, magi dikembangkan dan berfungsi dalam

situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magi adalah “ritualisasi

optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan

atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan

bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu

berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.

Jika teori ini dikaitkan dengan maraknya praktik magi dalam

Pemilukada, maka kita bisa melihat kehadiran magi sebagai salah satu

artikulasi kebudayaan untuk memuaskan kebutuhan naluriahnya untuk

merengkuh kekuasaan. Secara lebih operasional, magi sebenarnya sekadar

berfungsi untuk menumbuhkan optimisme sang kontestan Pemilukada untuk

menang, sekaligus mengatasi rasa takut atas bayang-bayang kekalahan.

Aspek fungsionalisme dari Praktik Magi dalam Pemilukada semakin

menemukan titik terang tatkala Raymond Firth membuat klasifikasi magi

berdasarkan tujuan praktisnya, yakni:

(1) Magi Produktif: Semua ini dilakukan entah dari orang

perorangan untuk kepentingan mereka sendiri atau oleh para ahli

magi untuk orang lain dalam komunitas secara keseluruhan.

Secara sosial mereka menyetujui karena semua ini merupakan

suatu rangsangan untuk berusaha dan suatu faktor dalam

organisasi kegiatan ekonomis. Misalnya, magi untuk berburu, magi

untuk menyuburkan tanah, magi untuk menurunkan hujan, magi

untuk menangkap ikan, dan lain-lain.

30

Page 31: Teori-teori Antropologi

Teori Antropologi

(2) Magi Protektif: Semua ini dilakukan sama seperti diatas dan

secara sosial juga disetujui. Rangsangan untuk berusaha dan daya

untuk kontrol sosial. Misalnya, magi untuk membayar hutang,

magi untuk mengobati orang sakit, magi untuk keselamatan

perjalanan dan lain-lain.

(3) Magi Destruktif: terdiri atas sihir dan guna-guna. Sihir dilakukan

seperti diatas, kadang diterima secara sosial, kadang juga tidak.

Sering sebagai daya untuk kontrol sosial. Sedangkan guna-guna

kadang-kadang dicoba, sering meragukan bila sungguh-sungguh

dijalankan, kadang-kadang merupakan kegiatan imajinatif;

termasuk dalam moral yang buruk; melengkapi teori pribumi

tentang kegagalan, nasib malang dan kematian. 36

36 Raymond Firth dalam Dharvamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal. 58.

31