Teori-teori Antropologi
-
Upload
hadi-saputra -
Category
Documents
-
view
4.088 -
download
17
description
Transcript of Teori-teori Antropologi
Pokok-pokok Teori AntropologiHadisaputra/ P1900212006
Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme
Teori Antropologi
DAFTAR ISI
1. Teori Evolusi Kebudayaan.................................................................................
Hal. 3
2. Teori Difusi
Kebudayaan....................................................................................Hal. 6
3. Teori Fungsionalisme
Budaya............................................................................Hal. 9
4. Teori Strukturalisme Radcliffe
Brown...............................................................Hal. 11
5. Teori Strukturalisme Levi
Strauss.....................................................................Hal 13
6. Teori Materialisme
Kebudayaan........................................................................Hal. 18
7. Teori Interpretivisme
Simbolik.........................................................................Hal. 19
8. Teori
Poststrukturalisme...................................................................................Hal.
21
9. Teori
Postmodernisme.......................................................................................Hal.
23
10.Contoh Penerapan
Teori....................................................................................Hal. 25
2
Teori Antropologi
TEORI 1
EVOLUSI KEBUDAYAAN
1. Paradigma evolusi kebudayaan dikemukakan pertama kali oleh Edward
Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari
Inggris. Salah satu bukunya berjudul Researches into the Early History of
Mankind (1871), mengulas bahwa tujuan sesungguhnya dari kajian
kebudayaan yang dilakukan oleh seorang antropolog adalah untuk
mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya, kemudian
dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses
klasifikasi.1
2. Dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the
Development of Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom
(1874), Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah
evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing
tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka
gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut
adalah Savagery, barbarian dan civilization. 2
1Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 48.
3
Teori Antropologi
a. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan
cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka
ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu,
tulang dan batu.
b. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai
dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai
memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar
tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga
mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan
kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari
yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi
terbuat dari logam.
c. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau
peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan,
kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-
bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat
mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan
dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan
adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.
3. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan,
seorang antropolog Amerika. Dalam bukunya, berjudul Ancient Society, ia
menyatakan bahwa semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan
proses evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu:
1) Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,
2) Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan
senjata,
3) Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat
tembikar dan masih berprofesi sebagai pemburu,
4) Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok
tanam,
2Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.8.
4
Teori Antropologi
5) Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat
peralatan dari logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia
mengenal tulisan,era peradaban purba, dan era masa kini. 3
4. Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan
kebudayaan Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia,
generasi selanjutnya teori evolusi memunculkan dua teori evolusi baru:
a. Teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie
White. Teori ini disebut demikian karena paparan teori yang
dikemukakan White tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di
dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu saja. White
mengemukakan teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria
yang bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh
Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang
diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena
menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang
melakukan transformasi energi. White mengemukakan sebuah
rumusan ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya
adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy)
sedangkan T adalah teknologi (technology).Sebuah kebudayaan yang
ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak
atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi
yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase
perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai
‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam
sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan
dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan
teknologi yang ada saat itu. 4
b. Teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian
Steward. Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap
3Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 44-45.4Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.9.
5
Teori Antropologi
kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi
kerja.5 Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan
ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan
tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya
teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga
memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada
sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi
kerja.
5. Contoh proses evolusi social budaya:
Evolusi Hukum (H. Spencer) : Hukum Keramat - hukum sekuler –
hukum keramat raja – hukum formal perundang-undangan yang
kompleks
Evolusi keluarga (j.j.Bachofen) : Promiskuitas – matriarchate –
patriarchate – parental.
Evolusi Religi / Agama ( E.B. Taylor) : Animisme – dinamisme –
politeisme – monoteisme
Evolusi Budaya Tekhnologi (L.H. Morgan ): Zaman liar (tua,
madya, muda) – zaman barbar (tua, madya, muda) – zaman
peradaban purba – zaman peradaban masa kini.
Evolusi budaya tekhnologi penggunaan energy (L. White):
Penggunaan tenaga manusia – penggunaan api – penggunaan
tenaga hewan – penggunaan tenaga mesin.6
TEORI 2
Teori Difusi Kebudayaan
1. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G.
Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli
5Ibid. hlm.10. 6 Dikutip dari Slide Presentasi Mata Kuliah “Teori-teori Antropologi”, DR. Munsi Lampe, MA.
6
Teori Antropologi
antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan
sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan
besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu
tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic
Theory.7 Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini,
peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan
hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian
keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa
lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini
kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh
seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-
orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini
melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut
dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti
emas, perak dan permata.8
2. Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh
para penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan
teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori
evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya
kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat
menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut.9 Akan tetapi,
keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori
evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke
permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.
Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi
perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para
pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.
3. Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang hidup antara
tahun 1858-1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar
ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-
wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi
7Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 119-120.8Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2011), hlm.11. 9Ibid,-
7
Teori Antropologi
yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai
kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai
kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus
diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang
mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus
diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin.10 Model Boas ini
kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di
dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian
kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan
kulturschichten atau lapisan kebudayaan.11 Dalam kajian kebudayaan ala
difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah
kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan
ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang
dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-
unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.
4. Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas
kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika.
Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas
adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai
seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History.
Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan
atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan.
Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari
kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang
merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di
dalamnya.12 Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan
beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman
Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan
menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan
antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam
tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap
10Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 125. 11Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 12. 12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 127.
8
Teori Antropologi
beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan
puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan
berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut.
5. Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL
Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh
penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat
mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung
dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam
bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya
dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling
tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya
diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat
tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa
yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan
yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
9
Teori Antropologi
TEORI 3
FUNGSIONALISME
1. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi
inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya
keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan
adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun,
berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model
organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap
evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk
mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi
suatu organ dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti
tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau
unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks kehidupan
masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang
berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama,
tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena
mempunyai fungsi tertentu. 13
2. Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang
mengembangkan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional
theory of culture 14. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa
segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
13Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 15. 14 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1987). Hal 162.
10
Teori Antropologi
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi
kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul
dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Kesenian misalnya yang
merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula
manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu
pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di
samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi
dari beberapa kebutuhan masyarakat.15
3. Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural)
berlangsung tidak hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga
pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya
dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian
lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul
hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta mempelajari bahasa mereka
(lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal
sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan menjadi
salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural)
memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang
lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan
memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat
yang diteliti.
15 Ibid. Hal 171.
11
Teori Antropologi
TEORI 4
STRUKTURALISME RADCLIFFE-BROWN
Dalam pidato Radcliffe Brown yang berjudul On Social Structure, ia menerangkan
bahwa: 16
1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri
dari serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial. Demikian
juga bbanyak hal lain dalam alam semesta ini, seperti planet-planet yang
beredar, organisme-organisme yang hidup, molekul-molekul yang bergerak;
sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian gejala alam.
2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas dari gejala-
gejala di antara gejala-gejala alam yang lain, dan dapat juga dipelajari
dengan metodologi yang sama seperti metodolog yang dipergunakan untuk
mempelajari gejala-gejala alam semesta lain tadi.
16 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 180-183.
12
Teori Antropologi
3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu
sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisme,
makhluk atau molekul.
4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, yang mempelajari
struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi
yang mempelajari struktur kulit bumi, atau ilmu biologi yang mempelajari
struktur dari organisme-organisme, ilmu kimia yang mempelajari struktur
dari molekul-molekul.
5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara
individu-individu atau lebih baik person-person17 dan kelompok-kelompok
person. Dimensinya ada dua, yaitu: hubungan diadik, artinya antara pihak
(yaitu person atau kelompok) kesatu dengan pihak kedua, tetapi juga
diferensial, antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda
atau sebaliknya.
6. Bentuk dari “struktur sosial” adalah tetap, dan kalau toh berubah, proses itu
biasanya berjalan lambat, sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud
dari struktur sosial yaitu person-person atau kelompok yang ada di
dalamnya, selalu berobah dan berganti. Tentu saja ada beberapa peristiwa
yang dapat juga membuat bentuk dari struktur sosial itu mendadak berubah,
misalnya peristiwa perang atau revolusi.
7. Dalam penelitian masyarakat di lapangan, seorang peneliti mengobservasi
wujud dari struktur sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada
pengertian tentang bentuknya yang bersifat lebih abstrak. Bentuk struktur
sosial dapat dideskripsi dalam dua keadaan. Hal itu sama dengan cara
seorang ahli anatomi mendeskripsi suatu organisme dalam keadaan
berhenti, menjadi morfologi dari organisma itu, tetapi juga dapat dalam
keadaan berproses (hidup), menjadi fisiologi dari organisma itu. Sebagai
analoginya, seorang ahli ilmu sosial dapat mendeskripsi bentuk dari suatu
struktur sosial dalam keadaan seolah-olah berhenti menjadi morfologi sosial,
tetapi juga dalam keadaan berproses menjadi fisologi sosial.
8. Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada
dimensii diadik maupun difernsialnya, serta morfologi sosial maupun
17 Radcliffe-Brown mengusulkan untuk membedakan antara “individu” dan “Person”. Individu adalah manusia sebagai organisma, sedangkan person adalah orang yang mempunyai kedudukan dalam struktur sosial.
13
Teori Antropologi
fisiologi sosialnya, dapat mengerti latar belakang kehidupan kekerabatan,
ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat
yang menjadi pokok perhatiannya.
9. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan
batas suatu sistem sosial atau suatu kesatuuan masyarakat sebagai
organisme. Hal itu telah menjadi maslaah bagi para ahli ilmu sosial sejak
lama. Apakah kerajaan Inggris itu suatu masyarakat, ataukah suatu
gabungan dari banyak masyarakat? Apakah suatu desa di China itu suatu
masyarakat, atau hanya suatu bagian saja dari masyarakat yang lebih besar?
Menurut Radcliffe Brown batas jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang
merupakan batas suatu masyarakat.
10.Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas
mempelajari struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat
sebagai kesatuan-kesatuan dan membandingkannya dengan metode analisa
komparatif untuk mencarii azas-azasnya. Dengan demikian dapat
dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang
ada di dunia, kedalam beberapa tipe dan sub tipe struktur sosial yang
terbatas.
11.Klasifikasi dari aneka-aneka gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk
kemajuan ilmu alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika klasifikasi dari
beribu-ribu jenis bentuk makhluk hidup di dunia ini menjadi beberapa suku,
infrasuku, keluarga, jenis dan ras yang terbatas. Demikian pula ilmu
antropologi sosial akan maju dan mampu mengembangkan hipotesa-hipotesa
yang setelah diuji dapat dikembangkan menjadi kaidah-kaidah sosial atau
social laws, atau suatu klasifikasi besar mengeenai aneka warna struktur
sosial tersusun.
TEORI 5
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
1. Asumsi Dasar Strukturalisme
14
Teori Antropologi
Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan
pendekatan yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa
menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang
berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut
adalah sebagai berikut18:
1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-
bahasa.
2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia
terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga
kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan
untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau
menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang
dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan
saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi
perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud
secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam
bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.
3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu
istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu
tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para
penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu
fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu
tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum
transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang
tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi
konfigurasi struktural yang lain.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau
disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).
Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya
pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan
18 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 66-71
15
Teori Antropologi
metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai
fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan
strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa
strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur
bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga
Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam
bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.
2. Kritik Terhadap Strukturalisme Levi-Strauss
Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah
kekurangan dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme
Levi-Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli
antroplogi itu sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme
Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan perangkat dan metode analisis,
data etnografi dan interpretasi, serta hasil analisis dan kesimpulan dari hasil
analisis teori tersebut.
a. Perangkat dan Metode Analisis
Ahimsa menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode
analisis dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-
konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi dalam
proses analisis. Marry Douglas mengkritik mengenai cara penggunaan
konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-Strauss tidak selalu
menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan
itu, Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap
terlalu jauh. Douglas menyebutkan bahwa Levi-Strauss sering
memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam
pikirannya. 19
Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang
dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk
memahami sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi
19 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 162
16
Teori Antropologi
cerita. Namun dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang
digambarkan. Dalam beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada
tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis yang berarti isinya
juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk
tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist
(reduksionis). Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos
sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis
menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena
akan mengalami kelemahan makna (a lesser meaning). Douglas
menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss yaitu
pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam
analisis wacana.20
b. Interpretasi Data Etnografi
Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini
dikarenakan mitos tidak pernah lepas dari konteks budaya masyarakat
setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini,
Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para
antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data
etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung
dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini
melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh
teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis
Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian
tersebut. 21
Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik
mengenai hasil analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku
Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu
diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana
dan bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi
konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini
20 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 16421 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 168
17
Teori Antropologi
kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga
didukung oleh tiga ahli antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ.
Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis
Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-
generalisasi etnografi yang sangat diragukan kebenarannya. Bahkan
analsisnya dianggap mengalami ke-salahrepresentasi-an
(misrepresentasions of story).
c. Hasil Analisis
Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya
dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun
masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para
ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik
dapat dibedakan dalam beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural
menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran struktur mitos yang
dikemukakan.
Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-
Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada
aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang
terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap
realitas sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa
makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap
biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.
Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis
mitos menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda
ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan
Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-
Strauss terlalu banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu
bahasa (linguistik) yang menurut Douglas tidak cocok jika diterapkan
dalam analisis mitos.
3. Tanggapan Terhadap Kritik
Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat
dalam Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat menjadi
kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori ini masih
18
Teori Antropologi
baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak
penyesuaian dan pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak
yang menghujat sekaligus memuja teori ini.
Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-
Strauss ini. Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang
berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang
telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak
melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari
Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu
mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam,
yang tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu. 22
Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh
Levi-Strauss kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu dengan
yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis dalam mitos. Dan inilah
yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat
yang terdapat dalam mitos tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli
antropologi melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss
mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih payah
Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode
struktural ini dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan
mampu memberikan wawasan atau wacana tentang mitos yang sangat
penting itu.
22 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 176.
19
Teori Antropologi
TEORI 6
MATERIALISME KEBUDAYAAN
1. Materialisme Kebudayaan sering dikaitkan dengan nama Marvin Harris,
yang mengusulkan nama pendekatan itu sendiri. Pendekatan ini didasarkan
pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan
kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Harris sangat dipengaruhi gagasan
Marxis tentang Basis dan Suprastruktur. Ia menyebut Basis dengan
“Infrastruktur”, ia juga memasukkan unsur reproduksi manusia
kedalamInfrastruktur. Harris juga membuat kategori antara, selain
infrastruktur dan suprastruktur, yaitu Struktur. Kategori ini tidak terdapat
dalam kategori Marxis.
2. Harris menganggap pendekatan etik (dari sudut pandang ilmu sosial)
sebagai strategi penelitian prioritas untuk mengembangkan penjelasan
fenomena sosial manusia. Ia tidak menolak bahwa eksplanasi mental,
suprastruktur, yaitu emik, memiliki otonomi pada tingkat tertentu terpisah
dari eksplanasi etik. Ia juga memberikan prioritas pertama pada penelitian
tentang basis atau infrastruktur, karena ia yakin bahwa analisis basis akan
menghasilkan keteraturan dasar dalam hubungan interaksi antara
20
Teori Antropologi
kebudayaaan dan alam. Dalam pandangan Harris, keuntungan strategis
mengenai analisis etik atau analisis infrastruktur terletak pada keterbukaan
pada pengukuran dan kuantifikasi, yang unsur ini selalu memberikan nilai
tambah dalam kajian ilmiah.
3. Materialisme kebudayaan cenderung memusatkan perhatian pada fenomena
obyektif. Berkali-kali materialisme kebudayaan mengemukakan hipotesis
bahwa perilaku manusia dikontrol oleh persyaratan kebutuhan protein,
energi atau faktor-faktor alamiah lainnya.
4. Metedologi materialisme kebudayaan terletak padametode ilmiah dan
aturan-aturannya dalam menghimpun data, memverifikasi hipotesis, dan
mengembangkan analisis logika dan pembuktian yang tepat. Materialisme
kebudayaan sependapat bahwa realitas empiris independen dari kesadaran
manusia. Dengan sejumlah kasus yang mencukupi, generalisasi dapat
dikembangkan.
5. Materialisme kebudayaan dapat menjelaskan dan mengisolasi alasan-alasan
kesamaan dan perbedaan di antara berbagai masyarakat dengan
memusatkan perhatian pada kajian infrastruktur materi masyarakat yang
bersangkutan.23
TEORI 7
INTERPRETIVISME SIMBOLIK
Beberapa karekteristik paradigma interpretivisme simbolik diuraikan sebagai
berikut:24
1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia
2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paliing mampu
menggunakan dan memaknai simbol.
3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar: (a) apa makna (signifikansi)
identitas manusia; (b) apa signifikansi makna dari operatsional sistem sosial
manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki
bersama yang terkandung dalam simbol-siimbol, yang dengan simbol-simbol
23 Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 235-237.24 Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 320-321.
21
Teori Antropologi
tersebut manusia mengembbangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan
mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.
4. Paradigma ini dodorong oleh suatu isu sentral: masalah univesal yang
konkret. Paradigma mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari
yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi
ilustrasi dari yang universal.
5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk
memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh
manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagai mode kehidupan.
6. Mengacu kepada konsep perseptual dari pengalaman-yakni cara-cara
manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-
cara yang digunakan oleh manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh
pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri mamupun dunia
mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini merepresentasi upaya untuk
mengungkapkan diversitas cara-cara manusia mengonstruksi kehidupan
mereka dalam tindakan.
7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini
adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.
8. Membandingkan realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini.
Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan
dalam penelitian, melainkan “mempersiapkan diri kita untuk menjawab
pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga
masyarakat yang kita kaji, yang berarti melibatkan mereka, pandangan
mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral
dalam jawaban kita.”
9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami
pemahaman yang bukan pemahaman kita.
10.Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban
mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia- termasuk
hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana
identitas manusia didefenisikan dan dipelihara.
22
Teori Antropologi
TEORI 8
POSTRUKTURALISME
1. Awal postrukturalisme adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966,
dimana dalam pidato tersebut ia mengumumkan terbitnya zaman
postrukturalisme. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang
mengikuti peralihan linguistik dan yang melihat orang dikekang oleh
struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak
23
Teori Antropologi
mengekang subyek. Lebih jauh lagi Derrida melihat institusi sosial hanya
sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang.25
2. Postrukturalisme dapat dikatakan merupakan antitesis dari strukturalisme.
Berseberangan dengan strukturalisme yang mengutamakan pemikiran
mengenai bahasa, postrukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan
pada tulisan, yang kemudian tercipta yang dinamakan grammatology.26
3. Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial, dan ketika
dekonstruksi ini telah dilakukan, yang ditemukan hanyalah tulisan. Kendati
dalam hal ini masih terdapat fokus pada bahasa, tulisan bukanlah struktur
yang mengekang orang. Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas
dalam sistem bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak
teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang
berbeda pada kata. Akibatnya sistem bahasa tidak memiliki kekuatan untuk
mengekang orang sebagaimana pandangan strukturalis. Derrida
melanjutkan, tidak mungkin ilmuwan mencari hukum-hukum yang
mendasari bahasa. Derrida menawarkan perspektif subversif dan
dekonstruktif. Poststrukturalisme inilah yang menjadi dasar bagi lahirnya
posmodernisme. Obyek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencarian
sistem pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat,
cantik dan lain sebagainya) yang telah mendominasi pemikiran sosial barat. 27
4. Ide-ide dasar Derrida mengenai postrukturalisme, mulai dari writing
(tulisan), trace (jejak), differance (perbedaan) arche-writing (pergerakan
differance). Dan dari ide-ide dasar tersebut, Derrida menarik kesimpulan,
bahwa selalu ada suatu realitas yang bersembunyi di belakang tanda; selalu
ada sesuatu yang tersembunyi di balik apa yang hadir. Ia adalah realitas dan
hubungan dalam realitas, dan dua hal itulah yang merupakan titik sentral
kajian Derrida.28
5. Ketika realitas dan hubungan dalam realitas itu muncul dalam penerapan,
yaitu dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal yang kecil.
Ketika misalnya hikayat diceritakan dalam teks, hal itu tidak menjadi
25 Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 65026 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 20227 Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 65028 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 204
24
Teori Antropologi
masalah. Tetapi yang kemudian perlu dipertimbangkan kembali adalah
makna lanjutan dari dekonstruksi dari Derrida, mengenai dekonstruksi yang
tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran dan akan terjadi
dekonstruksi terus menerus. Ritzer menjabarkan lebih lanjut pikiran
dekonstruksi Derrida, sebagai berikut:
Tetapi dekonstruksi tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran. Ia mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi lagi dan lagi secara terus menerus; bukan berarti menghancurkan yang paling bawah, untuk menemukan kebenaran. Walaupun dekonstruksi berjalan terus, ia hanya akan memberi jalan pada dekonstruksi selanjutnya. 29
6. Hal ini kemudian yang menggiring pada terma kunci lainnya, yaitu
decentering, yang ingin meninggalkan strukturalisme dari fokusnya tentang
tanda (sign) dan menitikberatkan pada proses “menjadi tanda” (becoming
sign); meninggalkan struktur objektif beralih pada hubungan antar struktur
subjektif dan objektif. Pada terma yang sangat luas, decentering diarahkan
pada dekonstruksi masalah sentrisme, seperti hasrat manusia untuk
menempatkan ‘pusat’ kehadiran pada ‘awal’ dan ‘akhir’; juga berkaitan
dengan penolakan linieritas dan penyelidikan terhadap yang origin. 30
29 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 20530 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 206
25
Teori Antropologi
TEORI 9
POSMODERNISME
Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan
epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis.
Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat
komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern
semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip
kesatuan ontologis.31 Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi.
Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi.
Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip
paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur,
permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau
menguasai.32 Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan
langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini,
seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya
sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan
menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau
menaklukan realitas lain.
Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri
menonjol:
1. Kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture.
Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna
uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar,
melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama
berlangsungnya kebudayaan.
31 Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 158.32 Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 161.
26
Teori Antropologi
2. Kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier)
ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message),
fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs)
ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic)
ketimbang etika (ethic).
3. Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi
maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Dalam
dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan
model-model. Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi,
Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna
sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia
mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi,
yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland,
Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi
model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk
menggambarkan keadaan ini.
4. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai
dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu
ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra)
mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta).
5. Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa,
budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang
bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah
memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi
kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
27
Teori Antropologi
CONTOH PENERAPAN TEORI
Dalam politik, khususnya dalam meraih kekuasaan, orang dapat
menempuh segala cara, tak peduli soal-soal etika dan moral. Dalam politik
tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Mungkin
berangkat dari logika itulah sehingga lahir instrumen-instrumen politik
seperti tim sukses, lembaga survey dan konsultan politik, mesin pencitraan
melalui media massa (mass media) dan media sosial (social media) serta
berbagai perangkat lainnya. Selain perangkat politik modern tersebut,
ternyata terdapat pula perangkat politik yang bersifat metafisik. Sebutlah
maraknya fenomena “Paranormal Politik” dalam pentas pesta demokrasi di
negeri ini.
Wakil Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar juga mensinyalir hal
tersebut, menurutnya di era reformasi dan globalisasi dewasa ini ada
fenomena yang makin menguat di tanah air bahwa menjelang pemilihan
kepala daerah (Pilkada) praktik perdukunan makin menguat.33
Dukun/paranormal semakin laris. Fungsi dan peran mereka yang dulu
ditutup-tutupi kini sengaja dibuka lebar-lebar. Kini mereka berani tampil di
muka umum dan pasang iklan di media cetak atau elektronik. Praktik
paranormal/dukun kini menjadi profesi.
Sinyalemen Nasaruddin tersebut menemukan bukti pembenarannya
dalam penelitian Antropolog Jerman Prof. Judith Schlehe, dengan tajuk
“Paranormal Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java”.34 33Harian Haluan, Edisi 12 Januari 2012: http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11782:jelang-pilkada-dukun-laris&catid=21:khas&Itemid=9134Lihat Website Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gajah Mada: http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum/334/Paranormal-Seks-dan-Pilkada.html
28
Teori Antropologi
Salah satu hasil temuan dari penelitian guru besar Universitas Freiburg ini
menunjukkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada), 80 persen penghasilan para paranormal berasal dari
momentum tersebut. Inilah momen ketika paranormal disibukkan oleh
konsultasi para calon yang akan berlaga di Pemilukada. Mereka yang
berkompetisi dalam Pemilukada, notabene memiliki gelar-gelar akademis
mentereng, meminta bantuan paranormal untuk memudahkan langkah
mereka melenggang menuju kursi pemerintahan eksekutif. Berbagai ritual
dan amalan mereka kerjakan agar kharisma mereka semakin memancar
dan rasa percaya diri mereka semakin membesar. Harapannya, jalan
menuju kursi pemerintahan elit menjadi semakin terbuka lebar dan mudah.
Berikut salah satu contoh iklan paranormal Pemilukada:35
Gambar 1
35 Sumber: http://padepokan-cirebon.blogspot.com/
29
Teori Antropologi
Berangkat dari penggambaran realitas diatas, penulis tertarik untuk
mengkajinya dengan menggunakan salah satu teori dalam antropologi,
yaitu teori fungsionalisme. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah
bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi
kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul
dari perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Magi bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki
daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak
dikendalikan. Dan dengan agama, magi dikembangkan dan berfungsi dalam
situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magi adalah “ritualisasi
optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan
atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan
bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu
berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.
Jika teori ini dikaitkan dengan maraknya praktik magi dalam
Pemilukada, maka kita bisa melihat kehadiran magi sebagai salah satu
artikulasi kebudayaan untuk memuaskan kebutuhan naluriahnya untuk
merengkuh kekuasaan. Secara lebih operasional, magi sebenarnya sekadar
berfungsi untuk menumbuhkan optimisme sang kontestan Pemilukada untuk
menang, sekaligus mengatasi rasa takut atas bayang-bayang kekalahan.
Aspek fungsionalisme dari Praktik Magi dalam Pemilukada semakin
menemukan titik terang tatkala Raymond Firth membuat klasifikasi magi
berdasarkan tujuan praktisnya, yakni:
(1) Magi Produktif: Semua ini dilakukan entah dari orang
perorangan untuk kepentingan mereka sendiri atau oleh para ahli
magi untuk orang lain dalam komunitas secara keseluruhan.
Secara sosial mereka menyetujui karena semua ini merupakan
suatu rangsangan untuk berusaha dan suatu faktor dalam
organisasi kegiatan ekonomis. Misalnya, magi untuk berburu, magi
untuk menyuburkan tanah, magi untuk menurunkan hujan, magi
untuk menangkap ikan, dan lain-lain.
30
Teori Antropologi
(2) Magi Protektif: Semua ini dilakukan sama seperti diatas dan
secara sosial juga disetujui. Rangsangan untuk berusaha dan daya
untuk kontrol sosial. Misalnya, magi untuk membayar hutang,
magi untuk mengobati orang sakit, magi untuk keselamatan
perjalanan dan lain-lain.
(3) Magi Destruktif: terdiri atas sihir dan guna-guna. Sihir dilakukan
seperti diatas, kadang diterima secara sosial, kadang juga tidak.
Sering sebagai daya untuk kontrol sosial. Sedangkan guna-guna
kadang-kadang dicoba, sering meragukan bila sungguh-sungguh
dijalankan, kadang-kadang merupakan kegiatan imajinatif;
termasuk dalam moral yang buruk; melengkapi teori pribumi
tentang kegagalan, nasib malang dan kematian. 36
36 Raymond Firth dalam Dharvamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal. 58.
31