Teori-Teori Antroplogi

27
Pokok-pokok Teori Antropologi Hadisaputra/ P1900212006 Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme

description

Mengenai Teori - Teori Antropologi

Transcript of Teori-Teori Antroplogi

Page 1: Teori-Teori Antroplogi

Pokok-pokok Teori Antropologi Hadisaputra/ P1900212006 Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme

Page 2: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

2

DAFTAR ISI

1. Teori Evolusi Kebudayaan................................................................................. Hal. 3

2. Teori Difusi Kebudayaan....................................................................................Hal. 6

3. Teori Fungsionalisme Budaya............................................................................Hal. 9

4. Teori Strukturalisme Radcliffe Brown...............................................................Hal. 11

5. Teori Strukturalisme Levi Strauss.....................................................................Hal 13

6. Teori Materialisme Kebudayaan........................................................................Hal. 18

7. Teori Interpretivisme Simbolik.........................................................................Hal. 19

8. Teori Poststrukturalisme...................................................................................Hal. 21

9. Teori Postmodernisme.......................................................................................Hal. 23

10. Contoh Penerapan Teori....................................................................................Hal. 25

Page 3: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

3

TEORI 1

EVOLUSI KEBUDAYAAN

1. Paradigma evolusi kebudayaan dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor

(1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari Inggris. Salah satu bukunya

berjudul Researches into the Early History of Mankind (1871), mengulas bahwa tujuan

sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang antropolog adalah

untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya, kemudian dicarikan

unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses klasifikasi.1

2. Dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the Development

of Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom (1874), Tylor

memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga

tahap perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur

ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan

kebudayaan manusia tersebut adalah Savagery, barbarian dan civilization. 2

a. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara

berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari

benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu.

b. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan

mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam,

maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan

dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman

tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka

dari yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari

logam.

c. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang

ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan

kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar yang sebelumnya

belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan

ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh

terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.

1Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 48.

2Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008),

hlm.8.

Page 4: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

4

3. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor

sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog

Amerika. Dalam bukunya, berjudul Ancient Society, ia menyatakan bahwa semua bangsa

di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang melalui delapan

tingkatan, yaitu:

1) Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,

2) Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,

3) Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar

dan masih berprofesi sebagai pemburu,

4) Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,

5) Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari

logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan,era

peradaban purba, dan era masa kini. 3

4. Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan

Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori

evolusi memunculkan dua teori evolusi baru:

a. Teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie White.

Teori ini disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White

tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan

untuk budaya tertentu saja. White mengemukakan teori evolusinya sendiri

berdasarkan sebuah kriteria yang bersifat objektif dan tidak seperti model yang

dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria

yang diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena menurutnya

pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan transformasi

energi. White mengemukakan sebuah rumusan „hukum‟ evolusi kebudayaan,

yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C merupakan kebudayaan (culture), E

adalah energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology).Sebuah

kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah

dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi

yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase

perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai „hukum‟ evolusi

kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah

3Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 44-45.

Page 5: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

5

evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari

mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi

dengan bantuan teknologi yang ada saat itu. 4

b. Teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian Steward.

Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat

dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core,

berupa teknologi dan organisasi kerja.5 Dengan demikian, terjadinya evolusi

dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara

kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya

teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga memunculkan

konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan,

culture core, adaptasi dan organisasi kerja.

5. Contoh proses evolusi social budaya:

Evolusi Hukum (H. Spencer) : Hukum Keramat - hukum sekuler – hukum

keramat raja – hukum formal perundang-undangan yang kompleks

Evolusi keluarga (j.j.Bachofen) : Promiskuitas – matriarchate – patriarchate

– parental.

Evolusi Religi / Agama ( E.B. Taylor) : Animisme – dinamisme – politeisme –

monoteisme

Evolusi Budaya Tekhnologi (L.H. Morgan ): Zaman liar (tua, madya, muda) –

zaman barbar (tua, madya, muda) – zaman peradaban purba – zaman

peradaban masa kini.

Evolusi budaya tekhnologi penggunaan energy (L. White): Penggunaan

tenaga manusia – penggunaan api – penggunaan tenaga hewan –

penggunaan tenaga mesin.6

4Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008),

hlm.9. 5Ibid. hlm.10.

6 Dikutip dari Slide Presentasi Mata Kuliah “Teori-teori Antropologi”, DR. Munsi Lampe, MA.

Page 6: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

6

TEORI 2

Teori Difusi Kebudayaan

1. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot

Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal

Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda

arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi,

kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka

namakan Heliolithic Theory.7 Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka

ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan

hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya,

pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di

Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang

meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai

Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan „putra-putra dewa matahari‟ ini

melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam

usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan

permata.8

2. Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para

penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang

munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan

Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia

tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat

penyebaran tersebut.9 Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai

penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan

mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.

Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan

mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi

terhadap teori evolusi.

3. Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang hidup antara tahun 1858-

1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi

Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan

7Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 119-120.

8Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2011),

hlm.11. 9Ibid,-

Page 7: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

7

mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam

karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya

mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus

diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam

komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti

mungkin.10 Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’

dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian

kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau

lapisan kebudayaan.11 Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur

persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat

untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua

istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-

unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.

4. Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian

dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya

yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-

1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum

of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai

lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan.

Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-

kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan

mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.12 Hal ini dilakukannya karena

Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku

yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya.

Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan

antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-

tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan

budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-

beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat

mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.

5. Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-

1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini.

10

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 125. 11

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 12. 12

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 127.

Page 8: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

8

Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara

komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan

selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya

dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama

setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan

memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian,

seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan

mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

Page 9: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

9

TEORI 3

FUNGSIONALISME

1. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang

menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan

(Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown

1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga

menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi

tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk

mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ

dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada

upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada

fungsinya dalam konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu

unsur kebudayaan yang berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa

budaya lama, tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena

mempunyai fungsi tertentu. 13

2. Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang mengembangkan teori

fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture 14. Inti dari teori

fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya

bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk

manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi

kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari

perkembangan kebudayaan itu sendiri. Kesenian misalnya yang merupakan salah satu

unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan

nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri

manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena

kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat.15

3. Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak

hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode

penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski.

Malinowskilah yang memulai penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari

satu tahun), dan betul-betul hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta

13

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 15. 14

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1987). Hal 162. 15

Ibid. Hal 171.

Page 10: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

10

mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah

yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan

menjadi salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural)

memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang lama dan

mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami saling keterkaitan

fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.

Page 11: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

11

TEORI 4

STRUKTURALISME RADCLIFFE-BROWN

Dalam pidato Radcliffe Brown yang berjudul On Social Structure, ia menerangkan bahwa: 16

1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri dari

serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial. Demikian juga bbanyak hal

lain dalam alam semesta ini, seperti planet-planet yang beredar, organisme-organisme

yang hidup, molekul-molekul yang bergerak; sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian

gejala alam.

2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas dari gejala-gejala di

antara gejala-gejala alam yang lain, dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang

sama seperti metodolog yang dipergunakan untuk mempelajari gejala-gejala alam

semesta lain tadi.

3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu sistem sosial

mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisme, makhluk atau molekul.

4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, yang mempelajari struktur dan

sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur

kulit bumi, atau ilmu biologi yang mempelajari struktur dari organisme-organisme, ilmu

kimia yang mempelajari struktur dari molekul-molekul.

5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individu-individu

atau lebih baik person-person17 dan kelompok-kelompok person. Dimensinya ada dua,

yaitu: hubungan diadik, artinya antara pihak (yaitu person atau kelompok) kesatu

dengan pihak kedua, tetapi juga diferensial, antara satu pihak dengan beberapa pihak

yang berbeda-beda atau sebaliknya.

6. Bentuk dari “struktur sosial” adalah tetap, dan kalau toh berubah, proses itu biasanya

berjalan lambat, sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud dari struktur sosial

yaitu person-person atau kelompok yang ada di dalamnya, selalu berobah dan berganti.

Tentu saja ada beberapa peristiwa yang dapat juga membuat bentuk dari struktur sosial

itu mendadak berubah, misalnya peristiwa perang atau revolusi.

7. Dalam penelitian masyarakat di lapangan, seorang peneliti mengobservasi wujud dari

struktur sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya

yang bersifat lebih abstrak. Bentuk struktur sosial dapat dideskripsi dalam dua keadaan.

16

Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 180-183. 17

Radcliffe-Brown mengusulkan untuk membedakan antara “individu” dan “Person”. Individu adalah manusia

sebagai organisma, sedangkan person adalah orang yang mempunyai kedudukan dalam struktur sosial.

Page 12: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

12

Hal itu sama dengan cara seorang ahli anatomi mendeskripsi suatu organisme dalam

keadaan berhenti, menjadi morfologi dari organisma itu, tetapi juga dapat dalam

keadaan berproses (hidup), menjadi fisiologi dari organisma itu. Sebagai analoginya,

seorang ahli ilmu sosial dapat mendeskripsi bentuk dari suatu struktur sosial dalam

keadaan seolah-olah berhenti menjadi morfologi sosial, tetapi juga dalam keadaan

berproses menjadi fisologi sosial.

8. Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada dimensii diadik

maupun difernsialnya, serta morfologi sosial maupun fisiologi sosialnya, dapat mengerti

latar belakang kehidupan kekerabatan, ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor lain

dalam kehidupan masyarakat yang menjadi pokok perhatiannya.

9. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas suatu

sistem sosial atau suatu kesatuuan masyarakat sebagai organisme. Hal itu telah menjadi

maslaah bagi para ahli ilmu sosial sejak lama. Apakah kerajaan Inggris itu suatu

masyarakat, ataukah suatu gabungan dari banyak masyarakat? Apakah suatu desa di

China itu suatu masyarakat, atau hanya suatu bagian saja dari masyarakat yang lebih

besar? Menurut Radcliffe Brown batas jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang

merupakan batas suatu masyarakat.

10. Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari

struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan

dan membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencarii azas-

azasnya. Dengan demikian dapat dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis

struktur sosial yang ada di dunia, kedalam beberapa tipe dan sub tipe struktur sosial

yang terbatas.

11. Klasifikasi dari aneka-aneka gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk kemajuan ilmu

alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika klasifikasi dari beribu-ribu jenis bentuk

makhluk hidup di dunia ini menjadi beberapa suku, infrasuku, keluarga, jenis dan ras

yang terbatas. Demikian pula ilmu antropologi sosial akan maju dan mampu

mengembangkan hipotesa-hipotesa yang setelah diuji dapat dikembangkan menjadi

kaidah-kaidah sosial atau social laws, atau suatu klasifikasi besar mengeenai aneka

warna struktur sosial tersusun.

Page 13: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

13

TEORI 5

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

1. Asumsi Dasar Strukturalisme

Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan

yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa menyebutkan bahwa

strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep

pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut18:

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem

kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara

formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa.

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat

kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada

semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk

menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu

pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita

dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi

perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial

pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah

wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah

ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu

secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme

berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-

fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna

fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan

(regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti

menjadi konfigurasi struktural yang lain.

4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi

menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda

dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan

cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang

18

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press,

2001), hlm. 66-71

Page 14: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

14

ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih

utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme.

Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss

menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial

masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana

yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

2. Kritik Terhadap Strukturalisme Levi-Strauss

Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah kekurangan

dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss ini.

Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli antroplogi itu sendiri. Kritik

yang berkenaan dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan

perangkat dan metode analisis, data etnografi dan interpretasi, serta hasil analisis dan

kesimpulan dari hasil analisis teori tersebut.

a. Perangkat dan Metode Analisis

Ahimsa menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode analisis

dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-konsep analisis. b).

Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi dalam proses analisis. Marry Douglas

mengkritik mengenai cara penggunaan konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-

Strauss tidak selalu menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena

ketidaktepatan itu, Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang

dianggap terlalu jauh. Douglas menyebutkan bahwa Levi-Strauss sering

memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. 19

Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang

dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami sebuah

mitos lebih penting memahami struktur daripada isi cerita. Namun dalam

prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang digambarkan. Dalam beberapa

analisisnya ia tidak hanya menlaah pada tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran

semantis yang berarti isinya juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos

isi dan bentuk tidak bisa dipisahkan.

19

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press,

2001), hlm. 162

Page 15: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

15

Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist (reduksionis).

Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos sebagai produk budaya

manusia yang sangat kompolek. Cara analisis menggunakan sistem ini akan

mengurangi kesempurnaan analisis karena akan mengalami kelemahan makna (a

lesser meaning). Douglas menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-

Strauss yaitu pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam

analisis wacana.20

b. Interpretasi Data Etnografi

Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini dikarenakan

mitos tidak pernah lepas dari konteks budaya masyarakat setempat dimana lahirnya

mitos tersebut. Dalam persoalan ini, Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa

kelemahan. Menurut para antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam

keakuratan data etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya

mendukung dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini

melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh teori

Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis Strauss justru

menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian tersebut. 21

Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik mengenai hasil

analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku Asdiwal. Menurut Adam gagasan

Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini

yang sebenarnya sederhana dan bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai

apa yang menjadi konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini

kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga

ahli antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld.

Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss dianggap

penuh dengan generalisasi-generalisasi etnografi yang sangat diragukan

kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-salahrepresentasi-an

(misrepresentasions of story).

c. Hasil Analisis

Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya dipersoalkan

dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun masih banyak mendapat

20

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press,

2001), hlm. 164 21

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press,

2001), hlm. 168

Page 16: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

16

kritikan dari berbagai kalangan terutama para ahli antropologi. Ahimsa (2006)

menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat dibedakan dalam beberapa hal; a).

Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran

struktur mitos yang dikemukakan.

Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-Strauss ditolak

oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada aspek-aspek positif mengenai

makna mitos. Tema-tema mitos yang terdapat dalam suatu masyarakat masih

banyak yang mengungkap realitas sosial yang positif. Selanjutnya Douglas

menyatakan bahwa makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss

dianggap biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.

Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis mitos

menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini justru

dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan Ahimsa dalam tulisannya.

Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu banyak mencontoh model

yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang menurut Douglas tidak cocok

jika diterapkan dalam analisis mitos.

3. Tanggapan Terhadap Kritik

Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam

Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat menjadi kelebihan dari

teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori ini masih baru dalam bidang

antropologi, sehingga tentunya masih banyak penyesuaian dan pendalaman

(penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak yang menghujat sekaligus memuja teori

ini.

Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-Strauss ini.

Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang berhasil membuka

perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss.

Douglas yang sebelumnya banyak melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa

kemanfaatan dari Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu

mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tidak

terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu. 22

22

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press,

2001), hlm. 176.

Page 17: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

17

Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh Levi-Strauss

kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu dengan yang lain. Ada susunan,

struktur dan koherensi logis dalam mitos. Dan inilah yang menunjukan pada kita akan

keterkaitan mitos dan budaya masyarakat yang terdapat dalam mitos tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli antropologi

melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss mereka masih mengakui

beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang

digagas oleh Levi-Strauss melalui metode struktural ini dapat dikatakan banyak

benarnya. Masuk akal, menarik dan mampu memberikan wawasan atau wacana tentang

mitos yang sangat penting itu.

Page 18: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

18

TEORI 6

MATERIALISME KEBUDAYAAN

1. Materialisme Kebudayaan sering dikaitkan dengan nama Marvin Harris, yang

mengusulkan nama pendekatan itu sendiri. Pendekatan ini didasarkan pada konsep

bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan kesadaran manusia, bukan

sebaliknya. Harris sangat dipengaruhi gagasan Marxis tentang Basis dan Suprastruktur.

Ia menyebut Basis dengan “Infrastruktur”, ia juga memasukkan unsur reproduksi

manusia kedalamInfrastruktur. Harris juga membuat kategori antara, selain

infrastruktur dan suprastruktur, yaitu Struktur. Kategori ini tidak terdapat dalam

kategori Marxis.

2. Harris menganggap pendekatan etik (dari sudut pandang ilmu sosial) sebagai strategi

penelitian prioritas untuk mengembangkan penjelasan fenomena sosial manusia. Ia

tidak menolak bahwa eksplanasi mental, suprastruktur, yaitu emik, memiliki otonomi

pada tingkat tertentu terpisah dari eksplanasi etik. Ia juga memberikan prioritas

pertama pada penelitian tentang basis atau infrastruktur, karena ia yakin bahwa analisis

basis akan menghasilkan keteraturan dasar dalam hubungan interaksi antara

kebudayaaan dan alam. Dalam pandangan Harris, keuntungan strategis mengenai

analisis etik atau analisis infrastruktur terletak pada keterbukaan pada pengukuran dan

kuantifikasi, yang unsur ini selalu memberikan nilai tambah dalam kajian ilmiah.

3. Materialisme kebudayaan cenderung memusatkan perhatian pada fenomena obyektif.

Berkali-kali materialisme kebudayaan mengemukakan hipotesis bahwa perilaku

manusia dikontrol oleh persyaratan kebutuhan protein, energi atau faktor-faktor

alamiah lainnya.

4. Metedologi materialisme kebudayaan terletak padametode ilmiah dan aturan-aturannya

dalam menghimpun data, memverifikasi hipotesis, dan mengembangkan analisis logika

dan pembuktian yang tepat. Materialisme kebudayaan sependapat bahwa realitas

empiris independen dari kesadaran manusia. Dengan sejumlah kasus yang mencukupi,

generalisasi dapat dikembangkan.

5. Materialisme kebudayaan dapat menjelaskan dan mengisolasi alasan-alasan kesamaan

dan perbedaan di antara berbagai masyarakat dengan memusatkan perhatian pada

kajian infrastruktur materi masyarakat yang bersangkutan.23

23

Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma,

(Jakarta: Kencana). Hal 235-237.

Page 19: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

19

TEORI 7

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

Beberapa karekteristik paradigma interpretivisme simbolik diuraikan sebagai berikut:24

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia

2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paliing mampu menggunakan dan

memaknai simbol.

3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar: (a) apa makna (signifikansi) identitas manusia;

(b) apa signifikansi makna dari operatsional sistem sosial manusia? Makna berarti pola-

pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbol-

siimbol, yang dengan simbol-simbol tersebut manusia mengembbangkan dan

mengkomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.

4. Paradigma ini dodorong oleh suatu isu sentral: masalah univesal yang konkret.

Paradigma mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari yang spesifik, tanpa

mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi ilustrasi dari yang universal.

5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang

diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan bagaimana

istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia untuk membangun diri mereka

sendiri sebagai mode kehidupan.

6. Mengacu kepada konsep perseptual dari pengalaman-yakni cara-cara manusia

membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara yang digunakan

oleh manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai

diri mereka sendiri mamupun dunia mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini

merepresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara manusia

mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.

7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini adalah

tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

8. Membandingkan realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini. Paradigma

ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan dalam penelitian,

melainkan “mempersiapkan diri kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban

yang seharusnya diberikan oleh warga masyarakat yang kita kaji, yang berarti

melibatkan mereka, pandangan mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi

bagian yang sentral dalam jawaban kita.”

24

Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma,

(Jakarta: Kencana). Hal 320-321.

Page 20: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

20

9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami pemahaman

yang bukan pemahaman kita.

10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai

masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia- termasuk hakikat dan makna

kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia didefenisikan dan

dipelihara.

Page 21: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

21

TEORI 8

POSTRUKTURALISME

1. Awal postrukturalisme adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966, dimana dalam

pidato tersebut ia mengumumkan terbitnya zaman postrukturalisme. Bertolak belakang

dengan strukturalis, khususnya yang mengikuti peralihan linguistik dan yang melihat

orang dikekang oleh struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang

tidak mengekang subyek. Lebih jauh lagi Derrida melihat institusi sosial hanya sebagai

tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang.25

2. Postrukturalisme dapat dikatakan merupakan antitesis dari strukturalisme.

Berseberangan dengan strukturalisme yang mengutamakan pemikiran mengenai

bahasa, postrukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan pada tulisan, yang

kemudian tercipta yang dinamakan grammatology.26

3. Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial, dan ketika dekonstruksi ini telah

dilakukan, yang ditemukan hanyalah tulisan. Kendati dalam hal ini masih terdapat fokus

pada bahasa, tulisan bukanlah struktur yang mengekang orang. Kalau strukturalis

melihat tatanan dan stabilitas dalam sistem bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai

sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna

yang berbeda pada kata. Akibatnya sistem bahasa tidak memiliki kekuatan untuk

mengekang orang sebagaimana pandangan strukturalis. Derrida melanjutkan, tidak

mungkin ilmuwan mencari hukum-hukum yang mendasari bahasa. Derrida

menawarkan perspektif subversif dan dekonstruktif. Poststrukturalisme inilah yang

menjadi dasar bagi lahirnya posmodernisme. Obyek kebencian Derrida adalah

logosentrisme (pencarian sistem pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang

benar, tepat, cantik dan lain sebagainya) yang telah mendominasi pemikiran sosial

barat. 27

4. Ide-ide dasar Derrida mengenai postrukturalisme, mulai dari writing (tulisan), trace

(jejak), differance (perbedaan) arche-writing (pergerakan differance). Dan dari ide-ide

dasar tersebut, Derrida menarik kesimpulan, bahwa selalu ada suatu realitas yang

bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu yang tersembunyi di balik apa yang

hadir. Ia adalah realitas dan hubungan dalam realitas, dan dua hal itulah yang

merupakan titik sentral kajian Derrida.28

25

Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 650 26

Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 202 27

Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 650 28

Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 204

Page 22: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

22

5. Ketika realitas dan hubungan dalam realitas itu muncul dalam penerapan, yaitu

dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal yang kecil. Ketika misalnya

hikayat diceritakan dalam teks, hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi yang kemudian

perlu dipertimbangkan kembali adalah makna lanjutan dari dekonstruksi dari Derrida,

mengenai dekonstruksi yang tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran dan

akan terjadi dekonstruksi terus menerus. Ritzer menjabarkan lebih lanjut pikiran

dekonstruksi Derrida, sebagai berikut:

Tetapi dekonstruksi tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran. Ia mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi lagi dan lagi secara terus menerus; bukan berarti menghancurkan yang paling bawah, untuk menemukan kebenaran. Walaupun dekonstruksi berjalan terus, ia hanya akan memberi jalan pada dekonstruksi selanjutnya. 29

6. Hal ini kemudian yang menggiring pada terma kunci lainnya, yaitu decentering, yang

ingin meninggalkan strukturalisme dari fokusnya tentang tanda (sign) dan

menitikberatkan pada proses “menjadi tanda” (becoming sign); meninggalkan struktur

objektif beralih pada hubungan antar struktur subjektif dan objektif. Pada terma yang

sangat luas, decentering diarahkan pada dekonstruksi masalah sentrisme, seperti hasrat

manusia untuk menempatkan „pusat‟ kehadiran pada „awal‟ dan „akhir‟; juga berkaitan

dengan penolakan linieritas dan penyelidikan terhadap yang origin. 30

29

Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 205 30

Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 206

Page 23: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

23

TEORI 9

POSMODERNISME

Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan

epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya

yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide

dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh

prinsip kesatuan ontologis.31 Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh

kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi.

Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu

prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti

prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-

masing tanpa harus saling menindas atau menguasai.32 Persis permainan catur, dimana setiap

bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain.

Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya

sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas

secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain.

Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol:

1. Kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang

mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda

dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern

tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda

dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.

2. Kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda

(signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang

fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects),

serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic).

3. Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun

dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara

31

Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika).

Hal. 158. 32

Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika).

Hal. 161.

Page 24: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

24

tumpang tindih dan berjalin kelindan. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang

menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model. Boneka Barbie, tokoh Rambo,

telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai

dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia

mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan

palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China

Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah

representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini.

4. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat

hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang

sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya

(fakta).

5. Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer

serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan

pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan

konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan

parlemen

Page 25: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

25

CONTOH PENERAPAN TEORI

Dalam politik, khususnya dalam meraih kekuasaan, orang dapat menempuh

segala cara, tak peduli soal-soal etika dan moral. Dalam politik tidak ada kawan yang

abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Mungkin berangkat dari logika itulah sehingga

lahir instrumen-instrumen politik seperti tim sukses, lembaga survey dan konsultan

politik, mesin pencitraan melalui media massa (mass media) dan media sosial (social

media) serta berbagai perangkat lainnya. Selain perangkat politik modern tersebut,

ternyata terdapat pula perangkat politik yang bersifat metafisik. Sebutlah maraknya

fenomena “Paranormal Politik” dalam pentas pesta demokrasi di negeri ini.

Wakil Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar juga mensinyalir hal tersebut,

menurutnya di era reformasi dan globalisasi dewasa ini ada fenomena yang makin

menguat di tanah air bahwa menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) praktik

perdukunan makin menguat.33 Dukun/paranormal semakin laris. Fungsi dan peran

mereka yang dulu ditutup-tutupi kini sengaja dibuka lebar-lebar. Kini mereka berani

tampil di muka umum dan pasang iklan di media cetak atau elektronik. Praktik

paranormal/dukun kini menjadi profesi.

Sinyalemen Nasaruddin tersebut menemukan bukti pembenarannya dalam

penelitian Antropolog Jerman Prof. Judith Schlehe, dengan tajuk “Paranormal

Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java”.34 Salah satu hasil temuan

dari penelitian guru besar Universitas Freiburg ini menunjukkan bahwa, menjelang

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), 80 persen penghasilan para

paranormal berasal dari momentum tersebut. Inilah momen ketika paranormal

disibukkan oleh konsultasi para calon yang akan berlaga di Pemilukada. Mereka yang

berkompetisi dalam Pemilukada, notabene memiliki gelar-gelar akademis mentereng,

meminta bantuan paranormal untuk memudahkan langkah mereka melenggang

menuju kursi pemerintahan eksekutif. Berbagai ritual dan amalan mereka kerjakan

agar kharisma mereka semakin memancar dan rasa percaya diri mereka semakin

membesar. Harapannya, jalan menuju kursi pemerintahan elit menjadi semakin

terbuka lebar dan mudah.

33

Harian Haluan, Edisi 12 Januari 2012:

http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11782:jelang-pilkada-dukun-

laris&catid=21:khas&Itemid=91 34

Lihat Website Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gajah Mada:

http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum/334/Paranormal-Seks-dan-Pilkada.html

Page 26: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

26

Berikut salah satu contoh iklan paranormal Pemilukada:35

Gambar 1

Berangkat dari penggambaran realitas diatas, penulis tertarik untuk

mengkajinya dengan menggunakan salah satu teori dalam antropologi, yaitu teori

fungsionalisme. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas

kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah

kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar

yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri.

Magi bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya

kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan

agama, magi dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan

fungsi magi adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam

kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan

35

Sumber: http://padepokan-cirebon.blogspot.com/

Page 27: Teori-Teori Antroplogi

Teori Antropologi

27

akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal

dari ketakutan manusia akan kematian.

Jika teori ini dikaitkan dengan maraknya praktik magi dalam Pemilukada, maka

kita bisa melihat kehadiran magi sebagai salah satu artikulasi kebudayaan untuk

memuaskan kebutuhan naluriahnya untuk merengkuh kekuasaan. Secara lebih

operasional, magi sebenarnya sekadar berfungsi untuk menumbuhkan optimisme sang

kontestan Pemilukada untuk menang, sekaligus mengatasi rasa takut atas bayang-

bayang kekalahan.

Aspek fungsionalisme dari Praktik Magi dalam Pemilukada semakin menemukan

titik terang tatkala Raymond Firth membuat klasifikasi magi berdasarkan tujuan

praktisnya, yakni:

(1) Magi Produktif: Semua ini dilakukan entah dari orang perorangan untuk

kepentingan mereka sendiri atau oleh para ahli magi untuk orang lain dalam

komunitas secara keseluruhan. Secara sosial mereka menyetujui karena

semua ini merupakan suatu rangsangan untuk berusaha dan suatu faktor

dalam organisasi kegiatan ekonomis. Misalnya, magi untuk berburu, magi

untuk menyuburkan tanah, magi untuk menurunkan hujan, magi untuk

menangkap ikan, dan lain-lain.

(2) Magi Protektif: Semua ini dilakukan sama seperti diatas dan secara sosial

juga disetujui. Rangsangan untuk berusaha dan daya untuk kontrol sosial.

Misalnya, magi untuk membayar hutang, magi untuk mengobati orang sakit,

magi untuk keselamatan perjalanan dan lain-lain.

(3) Magi Destruktif: terdiri atas sihir dan guna-guna. Sihir dilakukan seperti

diatas, kadang diterima secara sosial, kadang juga tidak. Sering sebagai daya

untuk kontrol sosial. Sedangkan guna-guna kadang-kadang dicoba, sering

meragukan bila sungguh-sungguh dijalankan, kadang-kadang merupakan

kegiatan imajinatif; termasuk dalam moral yang buruk; melengkapi teori

pribumi tentang kegagalan, nasib malang dan kematian. 36

36

Raymond Firth dalam Dharvamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal. 58.