TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

63
TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin) R E V I S I M A K A L A H Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah " Metode dan Pendekatan Kajian Islam" Dosen Pengampu : Dr. Maftukhin, M.Ag Disusun Oleh : AFIFUL IKHWAN 2841104002 (PI A – SMT 2) PROGRAM PASCASARJANA 1

Transcript of TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Page 1: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM

(Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

R E V I S I M A K A L A H

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

" Metode dan Pendekatan Kajian Islam"

Dosen Pengampu : Dr. Maftukhin, M.Ag

Disusun Oleh :

AFIFUL IKHWAN2841104002

(PI A – SMT 2)

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) TULUNGAGUNG

JULI 2011

1

Page 2: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan . Studi keislaman

pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan

doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari

rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai

kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik,

ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak

lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan

interdisipliner.

Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana

Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah

agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam

perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat

sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang,

yang kemudian memunculkan orientalisme. Bahkan oleh Muhammad Abdul Raouf, Islamic

Studies disebut dengan oriental studies.

Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian

terhadap fenomena Islam dari berbagai aspek: sosiologis, cultural, perilaku politik, doktrin,

ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan,

perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya. Salah satu sarjana Barat yang

mencurahkan perhatian intelektualnya untuk mengkaji Islam dengan menggunakan

diversifikasi metode dan pendekatan adalah Charles Joseph Adams. Tulisan ini akan

memaparkan tawaran pemikiran Charles Adams secara detail tentang bagaimana metode

dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam.

2

Page 3: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

B. Rumusan Masalah

1. Pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam mendefinisikan Islam?

2. Bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles J.Adams?

3. Bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi Islam dalam

perspektif Richard C. Martin?

4. Apakah pendekatan fenomenologi “Richard C. Martin” dapat mendekati fenomena

keagamaan?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam

mendefinisikan Islam.

2. Untuk mengetahui bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles

J.Adams.

3. Untuk mengetahui bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi

Islam dalam perspektif Richard C. Martin.

4. Untuk mengetahui apakah pendekatan fenomenologi Richard C. Martin dapat

mendekati fenomena keagamaan.

3

Page 4: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

BAB II

PEMBAHASAN

TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM

(Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

A. Biografi Charles J. Adams

Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas.

Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di

sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari Sekolah

Menangah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor University di

Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari

tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun

1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate

School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi Adams

adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi

director Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima

Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan

disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian of Religions”.

Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang

dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader’s Guide to the

Great Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The Encyclopedia

Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa

karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic

Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to

Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and

Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam Leonard

Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).

Burning issues and questions yang mengganggu nurani akademik Adams mengenai

metode dan pendekatan studi Islam adalah adanya kegagalan ahli sejarah agama

memperluas pengetahuan dan pemahaman kita tentang Islam sebagai agama, dan ahli

tentang Islam (Islamists) juga telah gagal untuk menjelaskan secara tepat fenomena

4

Page 5: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

keberagamaan Islam1. Untuk menjawab kegelisahan akademik itu adalah dengan

menggunakan dua disiplin yaitu sejarah agama dan studi Islam sebagai kerangka teoritis

atau kerangka fikir (conceptual tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan

untuk memperoleh pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara unsur yang

bermacam-macam termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya2. Hal mendasar

yang penting dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam dan Agama.

Bagi Adams sangat sulit dicapai sebuah rumusan yang dapat diterima secara umum

mengenai apakah yang disebut Islam itu? Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai

sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi

dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah “an on

going process of experience and its expression, which stands in historical continuity with

the message and influence of the Prophet. Sedangkan konsep agama menurut Adams

melingkupi dua aspek yaitu pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (man’s inward

experience and of his outward behavior).3

Dalam melihat dan mendefinisikan agama Islam, Adams menggunakan kerangka

teoretis dari Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradition dan faith4. Agama

apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek eksternal keagamaan, aspek

sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu

aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan

beragama. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk

memahami dan mengerti pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama

harus berupaya memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek

tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan5. Karena dua aspek

dalam keberagamaan ini (tradition and faith, inward experience and outward behavior,

hidden and manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

1 Charles J. Adams, Foreword dalam Richard C Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (USA: The Arizona Board of Regents, 1985), vii – x

2 Richard C. Martin, (Ed). Approaches to Islam in Religious Studies, 33 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle East: Research amd

Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 32 – 33.

4 Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek, dan lembaga. WC. Smith, “Comparative Religion, Whither and Why”, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa (Ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 35.

5 Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (Ed)., The Study of the Middle East, 33

5

Page 6: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek kehidupan-

dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi sarjana harus menggunakan tradisi atau

aspek luar keberagamaan sebagai landasan dalam memahami dan melakukan studi agama.

Sebagai tantangan dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama harus melampui dimensi

tradisi atau aspek luar agar mampu menjelaskan dimensi kehidupan-dalam dari masyarakat

Islam. Untuk menjawab tantangan dan tugas para pengkaji Islam, Adams

merekomendasikan dua pendekatan yang diletakkan pada sebuah garis kontinum yaitu

merentang dari pendekatan normatif sampai dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan

normatif adalah pendekatan yang dijiwai oleh motivasi dan tujuan keagamaan, sedangkan

pendekatan deskriptif muncul sebagai jawaban terhadap motivasi keingintahuan intelektual

atau akademis.

Pendekatan normatif dapat dilakukan dalam bentuk misionaris tradisional,

apologetik, maupun pendekatan irenic (simpatik). Sementara pendekatan deskriptif, Adams

mengelompokkan pada pendekatan-pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan ilmu-ilmu

sosial, dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif dan deskriptif dengan berbagai

varian tersebut dapat dipergunakan dalam mengkaji Islam yang memiliki 11 subject matter,

yaitu: (1) pre-Islamic Arabia, (2) studies of the Prophet, (3) Qur’anic studies, (4) prophetic

tradition (Hadis), (5) kalam, (6) Islamic law, (7) falsafah, (8) tasawuf, (9) the Islamic sects

—shi’ah—(10) worship and devotional life, dan (11) popular religion.

Pendekatan Normatif atau Keagamaan

1. Pendekatan Misionaris Tradisional

Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas

misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan

pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.

Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk

mempermudah meng-kristen-kan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang

digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang

senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai

konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.

2. Pendekatan Apologetik

6

Page 7: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik.

Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di

hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan

modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan

salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern

dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang

cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan

Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C.

Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).

Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah

melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan

terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat

menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat

terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan

karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.

Seperti halnya misionaris yang tertarik mengkaji Islam, gerakan apologetik ini

memiliki beberapa karakteristik. Oleh karena apologetik lebih concern pada bagaimana

menampilkan Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam

kesalahan yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering

menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan

pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi

romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan

analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius. Kegagalan para

apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk

mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah.

3. Pendekatan Irenic (Simpatik)

Sejak perang dunia II telah berkembang gerakan yang berbeda di dunia Barat yang

diwakili oleh kelompok agama dan universitas. Gerakan tersebut bertujuan memberikan

apresiasi yang besar terhadap keberagamaan Islam dan memelihara sikap baru terhadap

Islam. Upaya tersebut dalam rangka menghilangkan sikap negatif Kalangan Barat Kristen

seperti prasangka, perlawanan, dan merendahkan terhadap tradisi Islam. Pada waktu yang

7

Page 8: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

bersamaan terjadi dialog dengan orang Islam dengan harapan membangun jembatan bagi

terwujudnya sikap saling simpati antara tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini tetap

memperoleh kritikan dari kalangan intelektual, mereka menghadapi kesulitan luar biasa

dalam mempererat hubungan dengan orang Islam disebabkan kecurigaan di kalangan

Muslim pada masa lampau.

Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi Islam adalah karya Kenneth Cragg.

Melalui beberapa karya yang ditulis, Cragg menunjukkan kepada Kristen Barat beberapa

unsur keindahan dan nilai keberagamaan yang menjiwai tradisi Islam, dan kewajiban orang

Kristen adalah terbuka atau menerima hal tersebut. Cragg mampu menggambarkan bahwa

Islam memperhatikan banyak problem dan isu yang juga fundamental menurut umat

Kristen. Inti pesan Cragg adalah makna iman Islam adalah terealisasi dalam pengalaman

Kristiani. Namun, dalam analisis akhirnya, Cragg tetap terpengaruh keyakinan Kristennya,

bahkan ia mengatakan bahwa orang Islam harus menjadi Kristen dan hanya dengan cara

demikian, orang Islam menjadi Islam kaffah. Konstribusi karya Cragg adalah bermanfaat

untuk memberantas pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas di kalangan

Barat.

Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith, terutama dalam

karyanya The Faith of Other Men (1962) dan artikelnya berjudul “Comparative Religion,

Whither and Why?”(1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah

memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan keyakinan itu, atau

dengan motif penyebaran agama. Dengan memilih Cragg dan Smith sebagai contoh

penggunaan pendekatan irenic dalam studi Islam, Adams tidak bermaksud mengabaikan

akademisi lain yang dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt,

dan Geoffrey Parrinder.

Pendekatan Deskriptif

1. Pendekatan Filologi6 dan Sejarah

6 - Berasal dari bahasa Yunani, philologia, gabungan kata dari philos = ‘TEMAN’ dan logos = ‘PEMBICARAAN’ atau ‘ILMU’.

8

Page 9: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih

dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan

memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan

tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi

sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan

bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan

perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.

Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat

Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting

dalam dunia orang Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak

dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan

filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang

terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini

untuk melakukan revitalisasi Islam.

Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam

studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa

dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain

sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa,

sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.

Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa

lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan

terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk

mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer

terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam

sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan

kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di

- Dalam bahasa Yunani, philologia berarti ‘SENANG BERBICARA’. - Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi ‘SENANG BELAJAR’, ‘SENANG KEPADA ILMU’,

‘SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN’, dan kemudian ‘SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN YANG BERNILAI TINGGI’ seperti ‘karya-karya sastra’.

- Konsep filologi demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks yang tersimpan dalam karya tulis masa lampau.

9

Page 10: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok

digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi.

Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams

berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode

penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu

behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan

behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan

pendekatan filologi, bahkan antara mereka saling tidak mempercayai.

Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada

pendapat Max Muller—salah seorang dari tiga pencetus dan pendiri the study of religion7—

yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama. Sampai-sampai

ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows

none”8. Mudah dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri

secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan

kedua yang kemungkinan besar akan mengandung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman.

Apalagi jika penerjemah bukan pemeluk agama yang bersangkutan.

Bagi Joachim Wach, penguasaan bahasa bagi para pengkaji atau studi agama akan

memungkinkan untuk memperoleh the most extensive information, yaitu informasi yang

luas berkaitan dengan subject matter-nya sehingga akan memungkinkan pemahaman

terhadap fenomena agama9. Dengan penguasaan bahasa akan diperoleh kebenaran deskripsi

agama secara akademik dan juga kebenaran menurut perspektif atau pandangan

pemeluknya.

2. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial

Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang

mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah

tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika

Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi

Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis

7 Dua orang lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussaye yang dianggap sebagai three founders of the study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, Vol. I (Paris: Mouton – The Haque, 1973), 13 -17

8 Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, 93.9 Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, (New York and Columbia Univerity, 1966), 9

10

Page 11: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial

tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur

Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk

memperluas pemahaman kita.

Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam

sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial

sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan

ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka.

Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi.

Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas

manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai

dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan

menggunakan metode yang berlainan.

Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia

mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat

didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan

menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti

itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat

“dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian

dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan

dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan

menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan

dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama

adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak

diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan

ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma

sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan

manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial

memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-

akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.

11

Page 12: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah

kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam

bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat

ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial

dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut

dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek,

kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta

tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya

konsepsi tentang manusia. Kritikan Adams terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial paralel

dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat

diuji secara terpisah-pisah dan inilah kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa

waktu yang lalu, khususnya pada tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam

dirinya bukanlah agama10.

Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan pendekatan ilmu-ilmu

sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan

studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah

satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang

tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai

dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi

fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap

politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi

atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya

sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya. Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan

oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam

sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka

ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan

dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka

tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika

dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau

kekuatan sosial.

10 W.C. Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 77

12

Page 13: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk pendekatan antropologi.

Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah agama sangat erat. Hal ini

disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk mengkaji seluruh kehidupan

masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi karena

antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang dijadikan subjek

studi. Pendekatan antropologi tertarik untuk mengkaji fenomena agama dan seluruh aspek

ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan sosial yang melakukan kajian Islam dengan

pendekatan antropologi adalah Clifford Geertz. Pendekatan antropologi mampu

menghasilkan studi yang menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal menurut

tempat dan gaya hidup yang berlainan.

Seorang ilmuwan sosial yang tetap mempertahankan model studi dengan memilih

dan mengkotakkan aktivitas manusia ke dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut

pandang secara sempit tetapi masih sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh

C.A.O. van Nieuwenhuijze dalam sebuah tulisannya “The Next Phase of Islamic Studies:

Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode sosiologi dan ilmu sosial

lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang tradisi keberagamaan Islam.

3. Pendekatan Fenomenologi

Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat

mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk

Religionswissenschaft.11 Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal

memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir

abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap

agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika

Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan

agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi

Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi

sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit

mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut

fenomenologi agama.

11 Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 – 127

13

Page 14: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa

dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain

dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk

mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut.

Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha

menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain

tersebut.

Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi

Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci

atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah

membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang

lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya

norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama

itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk

penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala

pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang

akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang

dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta

bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi

adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi

dan dalam keberagamaan pelaku.

Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali

data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan

sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan

dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan

tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau

individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang

mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima

sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana

mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang

dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini,

14

Page 15: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan

tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama

tersebut mengatakan “ya” terhadap deskripsi tersebut12.

Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan

taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan

epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah

mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini

pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip

yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara

menyeluruh.

Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun

terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada

upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut

Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan

masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh

sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan

agama kuno.

B. Bidang Kajian Studi Islam

Adams membagi bidang kajian dalam studi Islam terdiri dari delapan bidang, yaitu

Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, studi al-Quran, studi Hadis, kalam,

tasawuf, aliran Islam khususnya Syi’ah, serta popular religion.

Pembagian bidang kajian yang menjadi subject matter studi Islam seperti di atas

dipengaruhi oleh definisi Adams tentang Islam dan Agama. Meski pun Adams pesimistis

untuk dapat menemukan kesepakatan umum tentang definisi Islam, namun dia akhirnya

mengatakan bahwa Islam bukan hanya terdiri dari satu hal (one thing), tetapi Islam

mempunyai banyak hal (many things) yang selalu berubah dan berkembang sehubungan

dengan kondisi sejarah. Apapun definisi ilmuwan tentang Islam, menurut Adams, Islam

dapat dijadikan objek kajian sebagai bagian dari sejarah.

1. Kajian Arab pra-Islam

12 Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190

15

Page 16: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Terdapat kesepakatan yang mesti diterima sebelum membicarakan apa yang

dimaksud Arab sebelum Islam dibatasi pada latarbelakang Islam saja untuk Arab pra-

Islam. Siapapun yang membicarakan tentang hal ini, khususnya mahasiswa studi agama

kuno Timur Dekat, akan menerima bahwa terdapat kesinambungan antara Islam dengan

agama bangsa Semit. Oleh sebab itu latarbelakang munculnya Islam adalah sejarah

agama Timur Dekat secara keseluruhan. Kita membatasi maksud Arab pra-Islam adalah

Arab menjelang kemunculan Islam.

Bagi Adams, yang penting digaris bawahi di sini adalah kesinambungan

pengalaman agama Islam dengan tradisi besar agama Timur Dekat, yang mempunyai

hubungan erat antara keduanya dan hal ini seringkali dilupakan.

Pengetahuan tentang agama dan kondisi kehidupan sosial lainnya pada Arab pra-Islam

dalam beberapa tahun tidak dapat diketahui disebabkan karena pemerintah Arab tidak

mengizinkan dilakukankanya arkeologi dan melarang orang asing bepergian ke sana.

Kajian interpretative mengenai Arab pra-Islam dilakukan oleh beberapa sarjana seperti

Goldziher, Wellhausen, Margoulioth, Noldoke, Lamments, Lyall dan Nicolson, semua

nama tersebut ini termasuk generasi masa lalu, yang karya mereka masih sangat penting

sampai dengan sekarang. Kebanyakan dari pendahulu ini menggambarkan materi untuk

karya mereka tentang Arab pra-Islam berasal dari sumber-sumber sastra: seperti Jahili,

sirah, dari peninggalan ahli sejarah Arab atau berupa kompilasi seperti Kitab al-Ghani

dan bahkan bersumber dari al-Quran. Mereka memberikan gambaran sikap bangsa Arab

pra-Islam di mana Muhammad meuncul dan dilahirkan yang karya tersebut tidak

dikritisi oleh karya-karya belakangan. Diantara yang paling signifikan konstribusi

dalam pencerahan pemahaman tentang Arab sebelum Islam adalah upaya Toshihiko

Izutsu yang menunjukkan secara tepat unsur moral dalam pandangan bangsa Arab yang

sesuai dengan ajaran al-Quran. Kajian Montgomery Watt tentang latar belakang

ekonomi dan sosial dari munculnya Islam dan peran hubungan antar suku dalam

bukunya tentang Muhammad, dan kajian antropologis RB. Serjeant berkaitan dengan

lembaga agama bangsa Arab sebelum Islam. Nama lain dapat disebut di sini adalah

Thaha Husayn, AJ. Arerry, Sezgin dan Brockelmann.

Salah satu cara mengkaji asal usul agama Bangsa Arab peninsula adalah melalui

karya archeology tentang sejarah kuno agama. Nama yang berjasa dalam bidang ini

16

Page 17: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

misalnya G. Ryckman, J. Pirenne, Ruth Stichl dan Hermann von Wissman.

Perkembangan yang sangat besar dalam bentuk deskripsi sistematis tentang aspek

kehidupan beragama pada Arab pra-Islam dibukukan oleh sarjana Perancis yang terdiri

dari tiga nama penting: Vishr Fares, Joseph Chelhod, dan Toufic Fahd.

2. Kajian Muhammad

Studi tentang kehidupan Muhammad menjadi semarak dalam beberapa tahun

sejak perang dunia II melalui beberapa karya penting yang bermunculan. Adams

memberikan contoh beberapa penulis dan pengkaji dalam bidang ini. Satu di antaranya

adalah Montgomery Watt yang menampilkan dimensi sosial dan ekonomi serta latar

belakang aktivitas kenabian Muhammad. Karya Watt lebih menekankan aspek moral

dari Nabi Muhammad dan belum menjelaskan bagaimana makna agama dari perspektif

umat Islam pada masa Muhammad.

Kajian berbeda yang memberi sumbangsih besar dalam karya tentang Nabi

adalah A. Guillaume yang menerjemahkan karya Ibn Hisham, Shirat al-Nabi. Biografi

dalam bahasa Arab ini merupakan sumber utama informasi tentang Muhammad,

aktivitasnya, sahabatnya, dan waktunya yang digunakan untuk kita. Dalam penilaian

Adams buku tersebut sangat tebal dan paling sulit digunakan, kecuali bagi mereka yang

berpendidikan Bahasa Arab dalam versi aslinya. Oleh sebab itu, terjemahan A.

Guillaume adalah karya berharga bagi orang Eropa di samping juga catatan kritisnya

terhadap buku tersebut. Karya lain yang dijadikan sampel oleh Adams antara lain

Marsden Jones, Regis Blachere, R.B. Serjeant, dan Harris Birkeland.

Satu bidang kajian yang masih perlu mendapat perhatian dan dikembangkan

menurut Adams adalah eksplorasi tentang kehidupan keberagamaan Muslim pada masa

Muhammad. Menurut Adams kita bisa merujuk pada peran Muhammad dalam

kesalihan Islam, fungsi keberagamaan bagi masyarakat dan posisi kenabian dalam

pemahaman Islam. Karya terakhir dalam bidang ini barulah tulisan Tor Andrae yang

berjudul Die Person Muhammads. Bagi Adams, sebenarnya posisi Muhammad dalam

perspektif dan pemikiran orang Islam lebih penting dari pada biografi dan

perkembangan kepribadian Muhammad. Pusat perhatian tulisan yang dibuat contoh

pada paragrap di atas lebih kepada Muhammad sebagai Nabi, dibandingkan

Muhammad sebagai manusia. Mestinya, kajian historis dan kritis tidak hanya berhenti

17

Page 18: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

pada persepsi keagamaan tentang Muhammad sebagai nabi, melainkan diarahkan pada

eksplorasi empiris bagaimana orang Islam berfikir mengenai Muhammad.

3. Kajian Al-Qur’an

Studi al-Quran yang dilakukan sarjana Barat pada dasarnya terfokus pada

persoalan-persoalan kritis yang mengelilingi kitab suci orang Islam ini. Persoalan-

persoalan tersebut seperti pembentukan teks al-Quran, kronologis turunnya al-Quran,

sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara al-Quran dengan kitab sebelumnya, dan

isu-isu lain seputar itu. Kebanyakan karya dalam problem itu dilakukan oleh sarjana

abad 19, yang paling penting adalah Theodor Noldeke.

Kajian kritis terhadap al-Quran adalah juga dilakukan oleh sekelompok sarjana

Jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Projek ini berhenti saat terjadi pengeboman

kota Munich dalam Perang Dunia II yang menghancurkan manuskrip dan bahan-bahan

lain. Terakhir adalah Arthur Jeffery yang mempublikasikan Material for the History of

the Text of the Quran. Menurut Adams, sangat sulit ditemukan karya kritis terhadap

teks al-Quran baik di dunia Islam sendiri maupun dunia Barat. Mungkin usaha yang

sangat impresif adalah karya Toshihiko Izutsu berjudul The Structure of the Ethical

Terms in the Koran, yang direvisi menjadi Ethico-Religious Concept in the Qur’an, dan

God and Man in the Koran. Izutsu menggunakan metode analisis semantik yang

canggih yang mengembangkan makna huruf-huruf dan konsep kunci dalam teks al-

Quran secara mendalam, dan mendemontrasikan hubungan struktural di antara konsep-

konsep tersebut dalam al-Quran sebagai satu kesatuan. Keragaman metode analisis

semantik terhadap al-Quran juga telah dikembangkan oleh sekelompok sarjana di

Universitas St. Joseph di Beirut. Teknik yang digunakan berupa sebuah indeks al-Quran

dan sekumpulan kartu, yang dapat dimanfaatkan dan dihubungkan satu dengan lainnya

untuk melakukan investigasi hubungan di antara ide dasar yang terdapat dalam al-

Quran. Perkembangan lain adalah digunakannya komputer dalam studi al-Quran.

4. Kajian Hadis

Adams menyebut empat nama orang yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat

studi hadis, yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Nabia Abbott, dan Fuaf Sezgin.

Juga dapat ditambahkan lagi adalah Fazlur Rahman. Karya Abbott yang diterbitkan

pada tahun 1967 dalam volume 2 Studies in Arabic Literary Papyrii, tidak secara

18

Page 19: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

langsung membahas dan mempertanyakan keaslian hadis sebagaimana dipertanyakan

oleh Goldzihier. Perhatian Abbott adalah pada hadis sohih seperti tulisan Schacht. Hal

lain yang dibahas Abbot adalah tentang keberadaan hadis dan sunnah pada abad

pertama, eksistensi pengumpulan dan penulisan hadis dari masa awal dan kelangsungan

periwayatan sampai dengan abad ketiga. Hal lain yang menjadi concern Abbot dalam

karyanya adalah perdebatan keaslian hadis dan studi tentang tadwin al-hadis atau

kodifikasi hadis. Pada tahun yang sama Abbott menerbitkan volume papyri yang

mengkaji tentang tafsir al-Quran dan hadis, yang juga muncul pada volume 1 karya

Sezgin Geschichle des Arabischen Schrifttums.

Salah satu persoalan dasar dalam studi hadis adalah masalah keaslian hadis,

disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk tulisan dari abad pertama

Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadis adalah tentang makna

hadis bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya ketertarikan dalam

perdebatan tentang otoritas hadis di kalangan Muslim, yang sudah mulai muncul dari

waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa sekarang.

Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadis dalam

pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadis.

Tulisan yang membahas persoalan ini adalah karya Mahmud Abu Rayyah

(1967)—penulis Mesir—berjudul Adwa ‘ala al-Sunnah al-Muhmmadiyah dan karya

penulis Pakistan: Ghulam Gilani Barq, Ghulam Ahmad Parvis dan Abu A’la al-

Maududi. Topik yang diangkat dalam karya-karya ini menimbulkan kontroversi antara

muslim (konservatif)13 dengan muslim liberal atau modern yang banyak mempersoalkan

masalah otentisitas hadis. Aspek kehidupan dan pemikiran muslim modern ini ternyata

memperoleah perhatian sarjana Barat, seperti GHA Juynboll melalui publikasi

penelitian doktornya “the Authenticity of the Tradition Literature: Discussions in

Modern Egypt, karya—tidak dipublikasikan—Barq dan Parvez dan karya yang

berkaitan dengan Maududi dan Shibli Nu’mani keduanya merupakan konstributor

penting di benua India. Bentuk lain studi hadis adalah karya William Paul McLean

berjudul Jesus in the Quran and Hadis Literature (tesis MA di McGill tahun 1970). Dia

13 Islam (Muslim) konservatif, kadang diartikan sebagai suatu pangaplikasian ajaran agama (islam) terlalu "berlebihan", hingga kadang gak sesuai ama jaman. Dalam http://heavans.multiply.com/journal/item/56/konservatif_hmm... (diakses kamis-31 maret 201-10.37wib)

19

Page 20: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

menyatakan bahwa Yesus digambarkan dalam hadis tidak hanya berbeda dari gambaran

al-Quran, tetapi sangat radikal.

5. Kajian Kalam

Kalam atau teologi Islam merupakan salah satu bidang kajian yang sulit karena

kompleksitas dan luasnya objek kajian. Teologi atau ekspresi intelektual secara

sistematis mengenai keyakinan beragama menjadi bidang yang menarik mahasiswa

agama. Kajian kalam pada masa-masa awal Islam menjadi bagian dari studi filsafat,

studi fiqh, studi tradisi dan bagian dari politik. Pada masa awal Islam teologi Islam

merupakan pemikiran yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat karena persoalan

teologi mempunyai relevansi dengan kehidupan sehari-hari.

Kajian bidang sejarah pemikiran teologi Islam dilakukan oleh sarjana pada abad

19 sampai dengan perang dunia I. Karya tersebut antara lain tulisan Goldziher

(Vorlesungen, 1910), Duncan Black MacDonald (the Development of Muslim Theology,

Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903) dan buku karangan Max Horten yang

masih menjadi sumber rujukan dalam bidang ini. Karya berjudul The Muslim Creed

karangan AJ. Wensinck lebih jauh mengeksplorasi beberapa tema dasar tentang

pemikiran teologis yang dijelaskan secara detail dan menarik. Di masa sekarang kajian

mendasar tentang sejarah awal adalah tulisan MM Anawati dan Louis Garde (1948)

berjudul Introduction a la Theologie Musulmane, yang mengadopsi model sistematis

aliran teologis di tradisi Islam yang diinformasikan oleh aliran-aliran yang menjadi latar

belakang kristennya.

Hampir semua karya tentang sejarah teologi Islam dari awal sampai sekarang

didasarkan pada karya heresiograpis dari negara Islam awal. Yang penting adalah karya

al-Shahrastani berjudul Kitab al-Milal wa al-Nihal, al-Bagdadi, al-Farq bayn al-Fiaq

dan al-Ashari, Maqalat al-Islamiyat. Buku-buku tersebut bertujuan mendeskripsikan

ajaran yang bervariasi dan kelompok aliran yang muncul pada abad awal dan membuat

klasifikasinya. Karya tersebut menjadi sumber utama bagi pengetahuan kita tentang

individu dan kelompok yang tidak meninggalkan tulisan atau bukti lain mengenai

pandangan mereka.

Sebagai tambahan terhadap karya dalam sejarah teologi, para sarjana juga

mengkaitkan dengan beberapa tokoh penting dari teologi Islam dalam bentuk

20

Page 21: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

penjelasan yang detail. Mungkin studi yang paling mendalam dan luas adalah karya

tentang al-Ghazali, yang sampai sekarang menjadi literature yang sangat

dipertimbangkan dalam bentuk teks, terjemahan, studi monograf, dan biografi. Al-

Ghazali sufi atau filosof daripada al-Ghazali sebagai penganut aliran Ash’ariah.

Perhatian yang detail juga diberikan kepada tokoh lain seperti Ahmad ibn Hanbal, Ibn

Taimiyah, Ibn Hazm, al-Ashariyah, dan Ibn Aqil. Karya di bidang ini sangat bernilai

dalam menyediakan data solid yang bisa kita gunakan untuk mengisi kesenjangan

dalam menggambarkan sejarah secara umum.

Perkembangan penting yang baru ketertarikan dalam bidang kajian kalam

dilakukan dengan sejarah teologi Islam masa awal dan perkembangan terakhir aliran

Sunni tradisional atau dikenal dengan Ashyariyah. Subjek studi yang dihidupkan

kembali dalam periode awal ini memiliki beberapa aspek. Salah satu di antaranya

adalah munculnya upaya untuk rekonstruksi dan pemahaman mendalam tentang

perkembangan pemikiran pada periode secara keseluruhan. Karya Montgomery Watt,

Free Will and Predestination in Early Islam mungkin merupakan karya pertama dan

yang diikuti dengan Islamic Philosophy and Theology, serta The Formative Period of

Islamic Thought (1948,1962, 1973). Karya lain yang menjelaskan sejarah umum

pemikiran termasuk pada periode awal adalah karya Majid Fakri berjudul A History of

Islamic Philosophy (1970).

Aspek baru yang kedua dalam studi teologi masa awal dapat dilihat dalam

munculnya beberapa studi teknik mengenai tokoh dan teks. Nama yang pertama dalam

aspek ini adalah Joseph van Ess dari Universitas of Tubingen yang mempublikasikan

seri edisi tentang aliran, terjemah dan monograp studi. Kajian Ess merentang sangat

luas, dia memberikan perhatian pada subjek yang beraneka ragam seperti masalah qada

dan qodar, dimana dia menulis beberapa artikel dan tentang Mu’tazilah yang

menampilkan beberapa tokoh individual seperti Hasan Basri, Dirar ibn Amr, al-

Daraqutni, Bashr al-Marisi dan Amr ibn Ubayd. Karya lain dalam bidang ini adlah

Richard Frank yang mengangkat Abu al-Hudhayl al-Allaf.

Aspek ketiga dalam studi kalam pada masa awal Islam adalah menghidupkan

kembali kajian/topik Mu’tazilah. Cabang studi ini menerima stimulus khusus melalui

penemuan di Yaman tahun 1951 beberapa karya besar oleh pemikir mu’tazilah, yaitu

21

Page 22: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Qadi Abd al-Jabbar. Buku berjudul al-Mughni merupakan kitab paling luas mengenai

teologi Mu’tazilah. Kitab ini menjawab kesulitan studi peran Mu’tazilah di masa awal

islam karena tidak adanya sumber pertama dan kebutuhan studi mengenai ajaran

mu’tazilah. Menurut Adams, belum adal karya yang lengkap dalam Mu’tazilah yang

telah dicapai oleh Baraty kecuali oleh Steiner.

Bidang lain dalam studi awal teologi adalah sejarah pemikiran aliran Asyariyah.

Dalam mayoritas tulisan tentang tradisi Islam, aliran ini diidentifikasikan dengan

muslim ortodoks. Meskipun asumsi ini sekarang bisa dipertanyakan kembali. Tulisan

mengenai ini adalah karangan Joseph Scacht (1945), dan George Makdisi. Meski sudah

banyak kajian tentang kalam, anjuran Adams adalah melalui pendekatan sejarah. Meski

demikian, adal dua hal penting yang masih merupakan kesenjangan dalam studi kalam.

Pertama, upaya untuk mengangkat tokoh tertentu. Kedua, adalah kekurangan Islamic

tahought.

6. Kajian Tasawuf

Menurt Adams di antara sekian banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf

merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak

dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang

muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan

beberapa sarjana yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel,

dengan bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975). Juga Louis Massignon. Hal

terpenting dari pendapat Adams adalah untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan

pendekatan fenonemologi.

7. Kajian Aliran Islam (Syi’ah)

Dengan sedikit sekali pengecualian tradisi sarjana Barat cenderung melihat Islam

sebagai agama yang monolitis, mempunyai norma yang terdefinisikan secara baik untuk

keimanan dan ibadah. Hal ini biasanya diidentifikasi dengan sikap di kalangan Muslim

Sunni dengan alasan dia dianggap sebagai ortodoks.

8. Kajian Populer Religion (agama rakyat)

Peribadatan, penyembahan dan agama rakyat merupakan wilayah kajian yang

utama dalam studi Islam. Penekanan lebih banyak pada asal mula kesalehan dalam

Islam dan kualitas pengalaman orang beriman perlu dikaji untuk menghindari kesalahan

22

Page 23: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

dalam memandang Islam adalah agama formalitas. Telah banyak buku atau literatur

terdahulu dalam populer religion dalam kehidupan orang Islam. Kebanyakan literatur

jenis ini dibuat oleh pengembara dan ditulis oleh seorang sebagai pejabat kolonial atau

dalam artikel sarjana. Materi tulisan ini serin tidak memiliki hubungan yang jelas

dengan tema besar tentang Islam tradisional atau klasik. Di antara karya sarjana pada

generasi awal yang berkaitan dengan popular religion dan masih memiliki nilai besar

adalah karya Duncan Black Macdonald berjudul The Religious Life and Attitude in

Islam dan buku Max Horten berjudul Die religiose Gedankenwell des Volkes im heutien

Islam. Karya senada juga ditampilkan oleh Rudolf Kriss dan hubert Kriss-Heinrich, E.

Dermenhem dan H. Granquist.

Adams menyebut satu karya yang menggunakan pendekatan antropologis

mengkaji Islam aktual dalam kehidupan dan pengalaman masyarakat Islam di berbagai

negara. Pendekatan seperti ini berbeda dan jauh dari kepentingan intrinsik. Salah satu

karya yang dikutip Adams adalah The Religion of Java karya Clifford Geertz yang

ditulis berdasarkan observasi yang hati-hati terhadap kehidupan beragama di sebuah

kota kecil di Jawa yang terjadi perbauran antara Islam klasik dengan non-Islam.

Termasuk dalam kategori pendekatan ini adalah karya Geertz lainnya yang berjudul

Islam Observed yang membandingkan etos atau spirit keyakinan Islam di Indonesia dan

di Marocco. Buku berjudul Saint of the Atlas yang ditulis oleh Ernest Gellner juga

disebut oleh Adams sebagai karya yang dihasilkan melalui pendekatan antropologi

dalam bidang popular religion.

C. Konstribusi Adams terhadap Studi Islam

Memperhatikan tulisan Adams dalam bentuk artikel “Islamic Religious Tradition”,

dapat dipahami bahwa Adams merupakan salah satu sarjana Barat yang mencurahkan

waktu dan pikirannya terhadap pengembangan studi agama dan studi Islam. Latarbelakang

pendidikan Magister dan Doktornya dalam bidang History of Religion semakin

meneguhkan dirinya sebagai salah seorang ahli dan expert dalam studi Islam.

23

Page 24: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

M. Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu sarjana Barat yang

berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu

keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara

pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi

keislaman14. Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan oleh Adams dalam studi

Islam, sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph

M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwisennschaft terletak di antara

disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat

dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek

deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan

perkembangan historis masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat,

filologi, dan hermeneutik.15

Konstribusi konkrit Adams adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan

yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian

yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan

tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas

bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel

tersebut, sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran

literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut.

Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekadar dilaporkan secara detail, tetapi

Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing-

masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh

para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat-pun yang

menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam.

Pendapat Adams tentang studi al-Quran yang bisa mempertanyakan hal-hal berikut

materi-materi sebagai pembentuk teks al-Quran, kronologi materi-materi yang tersusun

dalam teks, sejarah teks, varian bacaan, hubungan al-Quran dengan literatur sebelumnya,

dan isu-isu hangat lainnya yang sejenis telah diteliti sepenuhnya. Menurut Andrew Rippin

14 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 33

15 Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama, 128 -129

24

Page 25: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

pernyataan Adams tersebut mengusik kegelisahan akademik John Wansbrough, sehingga

dia tertarik melakukan analisis sastra terhadap al-Quran, tafsir dan Sirah16.

Richard C. Martin pun menempatkan Adams sebagai rujukan utama untuk

menguatkan beberapa pendapatnya. Misalnya ketika menulis buku Approaches to Islamic

in Religious Studies, Ricard Martin meminta Adams memberikan prakatanya17. Bahkan

Ricard Martin sempat memuja Adams bahwa Adams sebagai terdidik sebagai Islamis, ia

mempelajari sejarah agama bersama Joachim Wach di Universitas Chicago. Adams

memilih mengejar dua disiplin ini dengan tujuan untuk mendapatkan alat konseptual guna

mempertajam analisis terhadap tradisi islam dan pemahaman yang lebih tepat tentang

hubungan antara unsur-unsur berbeda sekaligus hubungan strukturalnya dengan tradisi

lain18.

Makalah Carl W. Ernst berjudul The Study of Religion and the Study of Islam19

banyak juga mengutip pemikiran Adams, meskipun juga memberikan kritik tajam terhadap

beberapa item yang menjadi kelemahan pemikiran Adams. Di indonesia, selain M. Amin

Abdullah adalah Qodri Azizi yang melihat bahwa Charles J. Adams menampilkan uraian

tersendiri dalam penjelasan tentang pendekatan yang ia lakukan dalam studi Islam20.

Dalam kaitannya dengan wilayah telaah dalam studi Islam, Adams memberikan

rekomendasi 6 wilayah telaah yang harus memperoleh perhatian para pengkaji Islam. Ke-

enam wilayah telaah tersebut adalah Pertama studi al-Quran terutama berkaitan dengan

ajaran, gagasan dan pandangan dunia tentang al-Quran. Kedua, sejarah teologi Islam masa-

masa permulaan dengan perhatian khusus pada Mu’tazilah. Ketiga, studi sufi dengan

penekanan pada karya-karya individual, teks dan tarikat. Ke-empat studi Syiah dengan

fokus kajian keunikan dan kekayaan konstribusinya terhadap ilmu keagamaan. Ke-lima

studi agama rakyat di kalangan muslim, dan ke-enam adalah kajian tentang sejarah agama

yang muncul di Eropa dan Amerika dengan menggunakan pendekatan ilmiah.

D. Pembacaan Kritis terhadap Pemikiran Charles J. Adams

16 Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 158

17 Chares J. Adams, “Foreword”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, vii – x18 Richard C. Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, 23519 Carl W. Ernst, The Study of Religion and the Study of Islam, Paper given at Workshop on “Integrating

Islamic Studies in Liberal Art Curricula” University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 199820 A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Dippertais, 2005), th.

25

Page 26: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Apabila dirunut ke belakang, sebenarnya pendekatan studi agama dan Islam yang

ditawarkan Adams dapat diperbandingkan dengan pendapat Joseph M. Kitagawa. Menurut

Joseph M. Kitagawa agama itu dapat dipelajari dengan tiga macam model disiplin

keilmuan, yaitu model normatif, model deskriptif, dan model religio-scientifical21. Dari tiga

pendekatan tersebut, menurut Joachim Wach pendekatan religio-scientifical merupakan

pendekatan sebenarnya dalam studi agama22.

Pendekatan yang ditawarkan oleh Adams jika dilihat dalam perspektif kekinian

menunjukkan beberapa item yang belum disentuh dari deskripsinya mengenai studi agama

padahal item tersebut sangat dibutuhkan sekarang. Adams tidak menyebutkan bagaimana

reaksi orang Islam kepada sarjana Eropa-Amerika, atau partisipasi mereka di dalamnya.

Pembahasan mengenai Studi Islam belum mempertimbangkan pengaruh mahasiswa Islam

di dalam kelas. Dia juga tidak mendiskusikan steretipe yang massif tentang hubungan Islam

dengan terorisme, kekerasan, pelecehan terhadap perempuan dan sebagainya. Dia juga

tidak menyebutkan sejarah kekinian, terutama kolonialisme Eropa, moderniasasi, dan

fundamentalisme. Lebih jauh lagi dia tidak merujuk pada peran media dan jurnalistik dalam

ikut mempengaruhi image tentang Islam sekarang. Dan tentu saja, fenomena terkini seperti

pos-strukturalisme, kritisisme, konstruktivisme, feminisme, gender, dan diskursus pos-

kolonial, termasuk juga kritis orientalisme sendiri.

Apapun kritikan terhadap Adams, pastinya bahwa sebagai objek studi, Islam harus

didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multi disiplin ilmu pengetahuan

untuk mengurai fenomena agama ini. Selama bertahun-tahun telah dikembangkan sistem

pendidikan Islam yang normatif, yang bisa dijumpai di pesantren, PTAI dan lembaga

pendidikan agama Islam lainnya. Pola tradisional yang dipakai dalam sistem pendidikan

lama itu tidak banyak membantu ketika harus berhadapan dengan tantangan zaman yang

menuntut banyak hal. Pesan dan provokasi akademik Adams tersebut mendapat penguatan

dan sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya pendekatan baru dalam studi Islam. Misalnya,

M. Amin Abdullah menawarkan paradigma keilmuan “interkoneksitas” untuk studi

keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. M. Amin Abdullah mengatakan, pendekatan

interkoneksitas berbeda sedikit dari paradigma “integrasi” keilmuan yang seolah-olah

21 Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 19

22 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, 14 dan Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions, 21

26

Page 27: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

berharap tidak akan ada lagi ketegangan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang

satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas

keberagamaan secara menyeluruh ke dalam wilayah “historisitas-profanitas”, atau

sebaliknya. Paradigma “interkoneksitas” mengasumsikan bahwa untuk memahami

kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan

keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang

lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun ke-alaman tidak dapat berdiri sendiri23.

E. Telaah Pemikiran Richard C. Martin tentang Islam dan Studi Agama

1. Pendahuluan

Sebelum Islam hadir ke dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW

sebagai utusan Allah, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh manusia. Dalam

pandangan para ahli perbandingan agama (comparative study of religion), agama secara

garis besar dibagi dalam dua bagian, yaitu pertama, agama yang diturunkan oleh Allah

melalui wahyu-Nya sebagaimana yang termaktub dalam al Qur'an. Agama yang

demikian biasa disebut sebagai agama samawi (agama langit). Yang termasuk dalam

kategori agama samawi antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam. Kedua, kelompok agama

yang didasarkan dari hasil renungan secara radikal dari tokoh yang membawanya

sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang

demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam

kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya. Agama-

agama tersebut hingga saat ini masih dianut oleh manusia di dunia, dan disampaikan

secara turun temurun oleh penganutnya.

Dalam mengkaji agama-agama, kita sering dihadapkan dengan model atau

karakteristik agama tersebut. Sebagian dari agama-agama tersebut ada yang bersifat

inklusif-pluralis, yakni mengakui keberadaan agama-agama lainnya, menghormati dan

membiarkannya untuk hidup secara berdampingan. Sebagian yang lain bersifat

eksklusif atau tertutup, yakni tidak mengakui keberadaan agama-gama lain dan

mengklaim agamanyalah yang paling benar dan harus diikuti.

23 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, vii – viii.

27

Page 28: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Pada abad pertengahan, studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa.

Kajian-kajian yang berkembang lebih diwarnai tujuan-tujuan polemik diskriminatif

yang menggambarkan wajah Islam dengan pemahaman dan pemaknaan distortif dan

peyoratif. Pemahaman akan Islam yang seperti ini menimbulkan kesan bahwa Islam

adalah agama yang diwarnai kekerasan, suka berperang, barbarian dan tuduhan-tuduhan

lainnya. Hal ini terjadi akibat polimek Kristen dan Muslim. Walaupun demikian kontak

dan ketegangan antara Islam dan Kristen lambat laun menemukan titik terang, di mana

studi Islam dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan metodologi dan kajian

Islam di Barat.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam tulisannya Islamic

Religiuos Tradition diatas, bahwa dalam perkembangan studi ketimuran, para orientalis

klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan normatif yang

dituangkan ke dalam tiga bentuk, yaitu traditional missionary approach, apologetic

approach, dan irenic approach. Ketiga bentuk pendekatan ini ini pada intinya masih

menaruh kesan ketidakrelaan akan keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan

bahwa agamanyalah yang paling benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif).

Oleh Adams ditawarkanlah pendekatan deskriftif yang di dalamnya mencakup

philological and historical approuch, social scientific approuch dan phenomenologal

approuch. Akan tetapi yang menjadi kendala kemudian Adam belum bisa menjabarkan

secara konkrit tentang pendekatan fenomenologi, ia hanya memberikan klasifikasi yang

dapat membantu untuk memahami pendekatan ini, yaitu pertama, fenomenologi

diartikan sebagai suatu metode untuk memahami agama orang lain dengan berupaya

masuk atau berinteraksi dengan agama yang dikaji dengan meninggalkan atribut

keagamaan yang dimiliki si peneliti, metode ini disebut epoch. Keistimewaan dari

model ini adalah kita dapat memahami secara mendalam hakikat dari suatu agama, akan

tetapi juga memiliki kelemahan yaitu dapat memunculkan sinkretisme pada diri si

peneliti. Kedua, Fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang mencoba mencari

struktur dasar dari fenomena-fenomena agama.

Berawal dari sinilah Richard C. Martin mencoba mengungkap kebiasaan yang

dialami oleh Adam terkait dengan pendekatan fenomenologi agama. Hal ini sangatlah

menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan menampilkan permasalahan bagaimana

28

Page 29: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

cara kerja dari pendekatan fenomenologi dalam perspektif Richard C. Martin? Dan

Apakah pendekatan fenomenologi ini dapat mendekati fenomena keagamaan?

2. Pembahasan

1. Studi Islam dan Sejarah Agama-agama

Ada hubungan disharmonis antara sejarah agama-agama dan studi Islam,

statement inilah yang dikemukakan oleh Adams di dalam bukunya kumpulan esai-esai

tentang sejarah agama. Setidaknya ada dua alasan tentang kesulitan melihat langsung

hubungan antara aktivitas Islamis dengan historians of religions (para sejarawan

agama-agama), yaitu pertama, adanya fakta bahwa historians of religions berinteraksi

dengan data Islam walaupun sedikit (snape shot) dan hanya relatif sedikit kontribusinya

terhadap pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi-tradisi yang terdapat di

dalamnya. Kedua, Belum dielaborasinya problem yang terdapat dalam keilmuan Islam

dalam tema besar yang mendominasi horizon para sejarawan agama-agama.

Ketidaksepakatan Adams ini tentunya menimbulkan sikap tidak menyenangkan bagi

studi akademik tentang Islam sebagai agama.

Sikap yang cenderung antipati telah diperlihatkan oleh para sejarawan agama-

agama yang dilatar belakangi oleh provinsialisme akademik dan distorsi pemahaman

tentang Islam. Tidak adanya atensi akan studi Islam dipicu oleh kecenderungan pada

kompartementalisasi (menggolong-golongkan) di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana

hanya mau mempelajari sebuah ilmu atau karya seseorang apabila karya itu berasal dari

disiplin atau departemen yang sama. Unsur perdebabatan lain dalam usaha menyusun

sebuah pendekatan terhadap studi lintas budaya (cross-cultural studies) datang dari

sejumlah masalah yang terdapat di antara peneliti dan yang diteliti. Imparsialitas dan

jarak sering kali kurang mendapat perhatian dalam tulisan-tulisan yang ada relevansinya

dengan budaya lain. Terdapat bukti yang kuat bahwa agama bisa berubah di bawah

pengaruh studi akademik. Di antara mereka yang meneorisasikan hal ini adalah para

sarjana yang berpendapat bahwa muatan kepercayaan orang lain selamanya tidak akan

tersingkap kecuali si peneliti simpati terhadap kepercayaan orang diteliti. Hal ini senada

dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa agama pada manusia adalah

hal yang sangat pribadi dan mendalam, sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-

hati. Seorang peneliti yang secara teknis dan dikatakan baik belum tentu dapat

29

Page 30: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti

kecuali dia sendiri beriman berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian

dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian, yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si

peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstantir ungkapan-

ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala keagamaan, tetapi bukan agama itu sendiri.

Dalam penelitian agama refleksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin

dilakukan kalau si peneliti tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu

peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama

dan berefleksi atas agamanya.

Perlu dibangun kesadaran, bahwa munculnya kesulitan dalam pendekatan

semacan ini dikarenakan hanya Muslimlah yang dapat mengkaji (mengajarkan) Islam

dengan tingkat pemahaman yang memadai. Namun demikian ada sisi kemudahannya

yang terletak pada keterbukaan dan empati terhadap kepercayaan dan keimanan orang

lain, dan ini merupakan prasyarat bagi tercapainya sebuah pemahaman.

Persoalan lainnya berkaitan dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh

weltanschauung (pandangan hidup) terkait dengan ruang dan waktu dari mana

mengawali sebuah pengamatan dan penilaian. Lebih lanjut ada keyakinan bahwa

sekaranglah saatnya untuk membatasi studi Islam pada sudut pandang yang bercorak

Barat, tetapi ilmiah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hal ini

mengimplikasikan bahwa hanya kategori-kategori dan istilah-istilah yang valid yang

digunakan untuk menganalisis fenomena agama Islam itu disediakan oleh Islam

sendiri? Atau apakah seluruh bidang kajian, katakanlah, dalam studi sejarah, ilmu

bahasa, ilmu sosial dan studi agama dapat menjelaskan fenomena kegamaan sehingga

menemukan koherensi diskursif, jika dianggap tidak sebangun di kalangan sarjana

Barat dan non-Barat? Inilah gambaran yang dipaparkan oleh Richard C. Martin seputar

permasalahan studi Islam dan sejarah agama-agama yang akan ia kupas secara

fenomenologik. Lebih lanjut akan dibahas secara elaboratif tentang studi Islam dan

sejarah agama-agama secara terpisah.

2. Sejarah Agama-agama

Studi terkait dengan agama-agama manusia yang terspesialisasi merupakan

dinamika akademik di abad ke-19. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah

30

Page 31: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

studi agama di Eropa, Inggris dan Amerika Utara. Sekolah yang didirikan tersebut

diberi nama religionswissenchaft, allgemeine religionsgeschichte, perbandingan agama

dan fenomenologi agama. Aktivitas akademik para sejarawan agama juga dikonversi

oleh studi sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, oriental, al-kitab, dan teologi. Akan

tetapi keduanya masih terdapat distingsi kualitas antara studi agama dengan disiplin

ilmu lainnya. Hal mendesak yang perlu ditempuh adalah agama sebagai yang menyusun

bidang koherens (bertalian) mudah untuk dijelaskan dan ditafsirkan. Oleh karenanya

dalam buku ini Richard ingin menjelaskan dan memberikan pemahaman lebih baik data

keagamaan dari tradisi Islam dalam konteks studi agama yang umumnya menghendaki

survey secara singkat terhadap perkembangan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama

masa lalu.

Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengutip penjelasan

Waardenburg setidaknya ada dua hal yang mendasari , pertama mengkaji berarti

melakukan objektivasi atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian

terhadap agama, tidak hanya kepada ‘pihak lain’ yang diteliti, akan tetapi diri sendiri

juga harus terlibat di dalamnya. Kedua, secara tradisional agama dipahami sebagai

sesuatu yang sacral, suci dan agung. Permasalahan yang akan muncul kemudian, ketika

kita mulai bersinggungan atau ingin mengkritisi terkait dengan hal ini, maka dianggap

sebagai sebuah bentuk pelecehan atau bahkan dianggap merusak nilai tradisional

agama.

Menurut Richard, barangkali satu-satunya peristiwa terpenting yang membawa

perubahan pandangan secara komprehensif adalah peristiwa perang dunia I yang

mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agama-agama. Hal ini

disebabkan oleh implikasi perang yang menimbulkan guncangan besar dan

mengakibatkan munculnya desakan akan kebutuhan untuk menemukan pendekatan

yang dapat membuka ekspresi otentik agama-agama lain agar dapat berbicara secara

independent, tanpa interpensi agama lainnya. Yang dibutuhkan kemudian adalah

penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia. Metode pendekatan

baru ini kemudian dikenal sebagai phenomenology of religion atau fenomenologi agama

yang muncul pertama kali di negara Belanda dan Skandanavia.

31

Page 32: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Para sarjana akhir abad ke-19 telah berusaha memahami esensi atau hakikat

agama menurut alur generik. Sebuah metode alternatif dicoba oleh para filosof,

terutama Hegel. (1770-1831) secara tandas pernah mengungkapkan bahwa tujuan utama

mempelajari agama-agama adalah untuk memahami adanya kesatuan (unity) di balik

keseragaman (diversity). Artinya, di balik aneka ragam manifestasi (perwujudan)

agama-agama, terdapat kesatuan serta keutuhan esensi. Esensi yang tunggal itulah yang

hendak dipelajari secara mendalam oleh para pemerhati agama. Sebelum Hegel, Kant

telah memakai istilah fenomena untuk mendeskripsikan data pengalaman.

Disekitar akhir abad ke-19, istilah fenomenologi mulai dipakai oleh Edmund

Husserl. Pernyataannya yang penting adalah bahwa filsafat harus menjauhkan diri dari

semua hal yang bersifat metafisik. Filsafat harus mempelajari apa sebenarnya yang

dihadapi, tidak membiarkan faktor apa pun yang membuatnya melakukan intervensi

dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi atau

struktur-struktur umum. Pengaruh Husserl dan pengaruh dari aliran yang didirikannya

sangat besar, akan tetapi pengaruhnya terhadap fenomenologi agama tidak banyak,

kecuali dalam bidang pendekatan secara umum. Hanya sedikit dari ahli sejarah agama

yang mau mengikuti pemikiran Husserl, walau demikian Husserl telah mewariskan bagi

para ahli fenomenologi agama tentang dua hal, yaitu epoche dan eidetic vision.

Jika para sarjana abad ke-19 menelurkan cara-cara bagaimana mengukur agama

dan budaya dengan menghindari segala sesuatu yang supranaturalistik, fenomenologi

abad ke-20 ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas

realitas terdalam. Jadi agama tidak lagi dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah

evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia.

Capaian fenomenologi sangatlah penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama,

tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Fenomenologi

melanjutkan karakter dan ensiklopedik dari allgemeine religionseschihte abad ke-19,

yang lebih mengupayakan perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna

umum dan lintas budaya. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan

terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi

objek (fenomena keagamaan). Metode historiko-filologis lama mencari niat historis

penulis teks dengan analisis tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga

32

Page 33: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

tujuan penjelasan terhadap teks sangtalah strukturalis, bukan merupakan makna historis,

diakronik sebagai makna holistik, sinkronik. Fenomenologi juga sangat membutuhkan

pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Salah satu

kecenderungan penting histografi abad ke-19 adalah distingsi yang dibuat oleh Wilhelm

Dilthey (1833-1911) dan tokoh lainnya antara ilmu alam dengan studi budaya. Dalam

studi budaya atau studi manusia, objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan

manusia secara historis yang melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual,

sosial, ekonomi, agama, politik. Dari studi manusia sekaligus studi fenomenologi,

pemahaman tentang budaya menghendaki pengetahuan luas termasuk di dalamnya

psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra, pendeknya semua disiplin yang

mengkaji, aktivitas intelektual dan sosialnya.

Oleh Dilthey, yang merupakan komponen metodologis penting dalam histografi

adalah das verstehen, suatu istilah yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan

perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam

kebudayaan. Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat

dan lingkungan sejarah akan mengalami kehidupan yang bermakna dan mereka

mengungkap makna-makna tersebut ke dalam pola-pola yang dapat dilihat, sehingga

dapat dianalisis dan dipahami.

Selanjutnya adalah pendekatan personalis atau dialogis yang dicetuskan oleh

Wilfred Cantwell Smith yang mengambil posisi nominalis terhadap istilah dan kategori

standar di mana komponen-komponen agama secara tradisional di uraikan. Smith

mengatakan bahwa objek pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu

Muslim (Hindu, Budha, Kristen, dll.) dalam konteks kehidupan nyata. Pemahaman akan

menjadi rancu jika penjelasan dan interpretasi tidak sesuai dengan apa yang

dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri. Pandangan Smith ini bersifat ekumene, yang

mengundang semua elemen manusia untuk berdialog dalam mencapai pemahaman atas

dasar kemanusiaan.

Menurut Richard, yang perlu dicatat adalah revivalisasi baru dalam studi tentang

agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam

karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai

salah satu bidang kajian.

33

Page 34: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

3. Studi Islam

Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh orang-orang non Islam terus dilakukan

bahkan semakin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir Barat.

Hanya kalau dahulu para peneliti Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak

suka disebut orientalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis.

Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis

muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme. Dalam buku

ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur

(oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia

mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang

keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Dengan demikian, secara sederhana

dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif Islam lebih merupakan

agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu

paradigma analitis, kritik metodologis, historis dan empiris, sedangkan jika dilihat dari

segi historis yakni Islam dalam artian diaktikkan oleh manusia serta tumbuh dan

berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai

sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu Keislaman atau Studi Islam. Perbedaan sudut pandang

akan Islam yang demikian itu dapat menimbulkan distingsi dalam menjabarkan Islam

itu sendiri. Manakala Islam dilihat dari sudut pandang normatif, Islam merupakan

agama yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam

dilihat dari sudut pandang historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat,

maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (studi Islam).

Implikasi dari distorsi informasi dan pemahaman akan Islam di antaranya dangkalnya

pengetahuan akan Islam atau dengan kata lain Islam tidak ditampilkan secara

komprehensif serta objektif. Hal ini dapat dilihat dari komentar Bernad Lewis dalam

esai berjudul The State of Middle Eastern Studies, yang mengatakan bahwa studi Timur

Tengah gersang dalam perspektif dengan menelaah kembali sejarah studi tentang Islam

di Barat sejak masa pertengahan. Yang memotivasi orang-orang Eropa untuk mengkaji

Islam adalah bersumber dari dua motif yaitu pertama, untuk belajar lebih banyak

warisam klasik yang masih terpelihara dalam bentuk terjemahan dan komentar-

komentar dalam bahasa Arab. Kedua, Menyokong polemik orang Kristen terpelajar

34

Page 35: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

melawan Islam. Ketika umat Kristen masih di bawah pengaruh (conversion) Muslim di

bidang ilmu pengetahuan dan politik yang berlangsung hingga abad pertengahan,

semakin nyata bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan konversi dalam skala

besar. Hal ini memudarkan dua hal yang dijadikan argumen di atas. Bahkan ketika masa

renaisans dimulai, muncul argumen-argumen baru, pertama adanya rasa ingin tahu akan

kebudayaan-kebudayaan asing (rasa ingin tahu yang dijumpai oleh Lewis yang juga

ditemukan oleh G.E. von Grunebaum).

Ada perdebatan menarik terkait dengan apakah studi Timur Tengah merupakan

program interdisipliner atau disiplin sendiri? Problem lain dimunculkan oleh Binder

yang dituangkan di dalam papernya yang berjudul Area Studies Versus The Disciplines,

ia menyatakan bahwa banyak disiplin ilmu menolak paham bahwa budaya itu unik, oleh

karenanya tidak dapat diperbandingkan. Yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini

adalah apakah materi studi kawasan (Timur Tengah yang didominasi oleh Islam)

penting dan membutuhkan metode studi yang diambil dari materi itu sendiri

(disebabkan menginginkan disiplin tersendiri, katakanlah studi Timur Tengah); atau

berbagai disiplin akademik dianggap penting (ilmu bahawa, studi sejarah, ilmu politik,

antropologi dan seterusnya) karenanya dapat menerapkan metode penelitian yang valid

pada studi Timur Tengah. Membandingkan studi ketimuran abad ke-19 dan studi Timur

Tengah abad ke-20, Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak

kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan

standar masuk yang rendah bagi manusia. Hal ini dibuktikan oleh Leonard Binder yang

telah melakukan analisis kritis yang menjumpai banyak kesalahan pada fakultas-

fakultas yang kurang persiapan dalam mengajarkan materi terkait.

Kritik atas studi Islam menurut Richard haruslah mengambil dimensi baru

dengan memperbaharui di mensi lama. Binder di bagian lain esainya membahas tentang

orientalism Versus Area Stuidies menyatakan bahwa tradisi studi ketimuran pada abad

ke-19 didasarkan pada paradigma sejarah dan filologi yang dibangun oleh studi tentang

masa klasik. Orientalisme telah banykak memberikan kontribusi bagi perkembangan

tentang studi agama, sejarah, dan masyarakat Islam yang belum terpikirkan dalam studi

Timur Tengah dan studi Islam sekarang.

35

Page 36: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Kebanyakan dari para sarjana sepakat akan dua hal yang dilontarkan oleh

Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah.

Kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar prasangka tersebut memotivasi dalam

mengkaji timur Muslim dan apakah pengaruhnya tetap berlanjut pada mereka yang

mengajar studi Timur Tengah sekarang? Pertanyaan ini dijawab oleh Edward W. Said

dalam bukunya Orientalism yang memberikan gambaran bahwa studi ketimuran

sebagai sebuah disiplin keilmuwan secara material dan intelektual berkaitan dengan

ambisis politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah telah menghasilkan gaya

pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologi antara Timur dan

Barat dalam banyak hal. Hal ini pula yang memapankan superioritas budaya Barat

terhadap atas budaya lain, ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Michael Foucoult.

Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk

memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode

disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan).

4. Islam di dalam Disiplin Studi Agama

Berbicara tentang studi agama, ada baiknya kita mengangkat kembali pemikiran

Jacob Neusner yang sempat menuliskan di artikelnya terkait dengan persoalan tentang

disiplin studi agama di tingkat keilmuwan. Ketiga hal itu adalah:

1. Apakah disiplin ilmu yang dibangun dapat melahirkan kurikulum yang

dibangun atas dasar konsensus mengenai apakah kita memikirkan suatu

lembaga kependidikan dan mensosialisasikannya di kalangan internal? dan

apakah teks mentransmisikan tradisi belajar pada tahapan selanjutnya?

2. Apakah program pendidikan ikut menentukan bobot keilmuwan dari disiplin

studi agama, sehingga dapat dilihat adanya kemajuan dari hasil penyelidikan

yang dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dalam

jangka panjang?

3. Apakah ada kriteria-kriteria spesifik untuk mengakui capaian dan menandai

kesepelean serta pretensi (dalih/tuntutan) secara layak?

Jawaban yang muncul kemudian dianggap memalukan, sebagaimana yang diungkapkan

oleh Neusner :

36

Page 37: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

Even though, through philology, we understand every word of a text, through history, we know just what happened Indonesia the event or time to which the text testifies, we still do not understand that text, a religious text serves not merely the purposes of philology or history. It demands its profer place as a statement of religion, read as anything but a statement of religion, it is misunderstood. Accordingly, despite the primitive condition of religious studies as presently practiced, the discipline in the making known as religious studies does promise for Jewish learning that what has not yet been attained.

Inti dari ungkapan ini adalah “kita belum mampu memahami teks itu sendiri,

kita belum bisa membahasakan teks tersebut, hingga dari agama lain pun dapat

mempelajarinya. Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri

sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya menjanjikan, dengan

mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari

tujuan yang akan dicapai.

F. Kesimpulan

Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Richard terkait dengan studi Islam dan

studi agama-agama, antara lain :

1. Pamahaman terhadap studi Islam dan studi agama-agama masih berkutat pada

pendekatan normative dan tidak menyentuh aspek deskriftifnya.

2. Titik tekan pendidikan hanya seputar believer atau pendidikan iman seharusnya

menyentuh aspek historians.

3. Di kembangkannya sikap Lidiest subjectivism (lawan dari scientific objectivism)

4. Kendala mencari format bagaimana menghubungkan antara studi Islam dengan

studi agama-agama.

Fenomenologi mempelajari manusia yang ditinjau dari aspek psikologi, sejarah,

ekonomi, filologi, kritik sastra. Adapu cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh

Richard adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan terbuka dan empatik

2. Epoche yaitu menghilangkan prasangka atau prejudice.

3. Eidetic vision

37

Page 38: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

4. Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia

bukan berasal dari evolusi.

5. Harus menemukan sikap universal.

Dilthey menawarkan metodologi yaitu das verstehen yang mengungkap pemahaman

manusia tentang gagasan, intensi, dan perasaan orang. Terkait dengan orientalisme bahwa

para sarjana agama-agama sepakat akan dua hal sebagaimana yang dilontarkan oleh Binder,

yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Di antara problem

yang dihadapi oleh studi Islam hingga kini belum dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu

lainnya antara lain Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak

kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan

standar masuk yang rendah bagi manusia. Walaupun studi agama dianggap masih gagal

dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya

menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah

dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.24

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

Charles J. Adam, " Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).

24 http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalampengkajian.html (diakses pada 30 Maret 2011)

38

Page 39: TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)

--------------------, "The History of Religions and the Study of Islam", in The History of Religions : Essays on the Problem of Understanding, ed., Joseph M. Kitagawa, Mircea Eliade dan Charles H. Long, Chicago and London : University of Chicago Press, 1967.

Djam'annuri, Studi Agama-agama : Sejarah dan Pemikiran, Pustaka Rihlah, 2003.

Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

http://www.uika-bogor.ac.id/jur01.htm.

Jacque Waardenburg, “Religion between Reality and Idea”, dalam Numen xix/2-3 (19720, PP. 168FF. Mengenai Husserl lebih jauh lihat Ricoeur, Husserl : An Analysis of his Pheno-menology 1967.

Majalah Islamia, Vol. II No. 3, Desember 2005.

Mircea aliade dkk., Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. Grasindo Persada, 2002.

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama ; Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989.

http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html

39