Teori Asma

67
TEORI ASMA BRONKHIALE Disusun Oleh : MEDIANTO TOAR SINABUTAR 1061050183 Penguji : dr. LOUISA A. LANGI, MS.MA KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA

description

asma bronkhi

Transcript of Teori Asma

TEORI ASMA BRONKHIALE

Disusun Oleh :

MEDIANTO TOAR SINABUTAR

1061050183

Penguji :

dr. LOUISA A. LANGI, MS.MA

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA

PERIODE 15 JUNI 2015 – 25 JULI 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2015

ASMA BRONKHIAL

A. Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak

sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan

napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada

terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut

berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat

reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1 Asma bronkial adalah salah satu penyakit

paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang

merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari

trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa

kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran

napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik

secara spontan maupun karena pemberian obat.2

B. Epidemiologi

Asma mempengaruhi 5-10% dari populasi atau sekitar 23,4 juta orang,

termasuk didalamnya 7 juta anak-anak. Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan

perempuan di segala usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan

perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi

asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami

penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan.3 Di Amerika,

kunjungan pasien asma dibagian gawat darurat pada pasien perempuan akan berakhir

dengan perawatan di rumah sakit.dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. 4

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah

penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka

ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.5

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma

meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5%

dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di

Indonesia.6

C. Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host

factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik

yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,

hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan obesitas.1 Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka

terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses

inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.

a. Genetik

Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.

Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan

untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran

subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau

keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma

dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara

objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut

tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa

kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28,

IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang

terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9,

CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan

sebagainya.

b. Alergik (atopi)

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai

keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat

mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

c. Hiperreaktivitas bronkus

Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun

iritan.

d. Jenis Kelamin

Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada

usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan

dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum

jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi

gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/

predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya

eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam

faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,

infeksi pernapasan (virus), diet, status sosio-ekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi

faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan : a)

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik

asma, b) baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko

penyakit asma.1

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi

inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang

sering menjadi pencetus serangan asma adalah :

1. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah

Contohnya seperti : tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain

Debu rumah Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu

alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran

nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi

hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3

mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda

yang banyak mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari

karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak

dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian

lama.

b. Alergen luar rumah

Contohnya seperti : Serbuk sari, dan spora jamur

2. Faktor Lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,

coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet dan pewarna makanan

b. Alergen obat – obat tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,

eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,

selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di

samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma

yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk

menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi,

maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Binatang peliharaan

Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster,

burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma

adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka

dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar

3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan

asma, terutama dari burung dan hewan menyusui. Untuk menghindari

alergen asma dari binatang peliharaan.

f. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan

asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek

berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala

serupa asma pada usia dini Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

g. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor

pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan

dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga

(serbuk sari beterbangan).

h. Aktivitas fisik

Saat melakukan gerak badan/aktivitas fisik, pernafasan terjadi

melalui mulut, nafasnya semakin cepat dan volume udara yang dihirup

bertambah banyak. Hal ini dapat menyebabkan otot yang peka di sekitar

saluran pernafasan mengencang sehingga saluran udara menjadi lebih

sempit, yang menyebabkan bernafas menjadi lebih sulit sehingga

terjadilah gejala-gejala asma (Muzayin, 2004). Sebagian besar penderita

asma akan mendapat serangan asma jika melakukan olah raga yang cukup

berat. Penyelidikan menunjukkan bahwa macam, lama, dan beratnya olah

raga menentukan timbulnya asma. Lari cepat paling mudah menimbulkan

asma, kemudian bersepeda, sedangkan renang dan jalan kaki yang paling

kecil resikonya (Sundaru, 2002). Olah raga juga dapat berlaku sebagai

suatu iritan karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah

besar dan cepat. Udara ini belum mendapatkan pelembaban

(humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan dari partikelpartikel debu

secara adekuat sehingga dapat mencetuskan serangan asma (Corwin,

2001).

D. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh

hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel

mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan

pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target

saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan

hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat

kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi

antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.7

Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran

napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada

malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu

penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.7

pemicu

Hiperreaktivitas

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

Gambar 1. Patogenesis Asma8

Gambar 2. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling1

Gambar 3. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling

dengan gejala klinis1

Tabel 1. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma9

MediatorPengaruh terhadap

asma

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin dan Thromboksan A2

Bradikinin

Platelet-activating factor (PAF)

Kontruksi otot polos

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin dan Thromboksan E2

Bradikinin

Platelet-activating factor (PAF)

Chymase

Radikal oksigen

Udema mukosa

Histamin

LTC4, D4,E4

Prostaglandin

Hidroxyeicosatetraenoic acid

Sekresi mukus

Radikal oksigen

Enzim proteolitik

Faktor inflamasi dan sitokin

Deskuamasi epitel

bronkial

E. Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat

inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk

mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak

ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu

penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan

klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam

penatalaksanaannya.10

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan

(akut)10 :

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)

Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat

(Tabel.1)

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada

orang dewasa (GINA,2012)11

Derajat Asma Gejala Gejala malam Fungsi faal paru

Intermiten Gejala <1x/minggu

Gejala selain eksaserbasi tidak ada

Eksaserbasi ringan

≤ 2x/ bulan

VEP atau APE > 80% prediksi

Variabilitas VEP atau APE < 20%

Persisten ringan Gejala 1x/ bulan hingga 1x/ minggu

Eksaserbasi mengganggu aktivitas

≤ 2x/ bulan

VEP atau APE ≥ 80% prediksi

Variabilitas VEP atau APE 20-30%

Persisten sedang Gejala setiap hari

Eksaserbasi

> 1x/ minggu VEP atau APE 60-80% prediksi

Variabilitas VEP

mengganggu aktivitas

Butuh reliever setiap hari

atau APE > 30%

Persisten berat Gejala setiap hari

Eksaserbasi sering dan mengganggu aktivitas

Aktvitas fisik terbatas

Sering

VEP atau APE ≤ 60% prediksi

Variabilitas VEP atau APE >30%

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global

Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan

gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat

serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma

serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan

antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh:

seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada

kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma

berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.10

Tabel 3. Derajat Asma Eksaserbasi (GINA, 2012)11

Ringan Sedang BeratHenti napas

iminenSulit bernapas Berjalan

Dapat berbaring

Berbicara

Pada bayi: menangis

pelan, sulit minum

Lebih memilih

dudukBerbicara Kalimat Frase Kata

KewaspadaanGelisah (+) /

(-)Gelisah Gelisah

Mengantuk / bingung

Laju pernafasan

Meningkat Meningkat >30x/menitGerakan paradoks

torakoabdominalOtot aksesorius

dan retriksi suprasternal

Tidak ada Ada Ada Tidak ada mengi

Mengi

Sedang, terkadang hanya saat

ekspirasi akhir

Keras Biasanya kerasMengantuk /

bingung

Denyut nadi <100 100-120 >120 Bradikardia

Pulsus paradoksus

Tidak ada <10mmHg

Mungkin ada 10-25 mmHg

Ada

>25mmHg (dewasa)

20-40 mmHg (anak)

Tidak ada, kelelahan otot

respirasi

APE setelah inisial

bronkodilator % predicted

atau % terbaik

>80% 60-80%

<60% predicted atau terbaik

(<100 x/menit)

atau

respons berakhir <2

jam

PaO2 (dalam udara)

dan/atau

PaCO2

Normal (tidak perlu tes)

<45 mmHg

>60mmHg

<45 mmHg

<60mmHg

Mungkin sianosis

<45mmHg: mungkin gagal

napasSaO2 > 95% 91-95% <90%

F. Diagnosis

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya

hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.

Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi,

batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat

keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur

status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala

konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis.

Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan

waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut

ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi

klinis serta pemeriksaan penunjang.12

Anamnesis

Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,

sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan

cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya

riwayat alergi.12

o Riwayat penyakit / gejala1 :

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa

pengobatan

Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan

berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator

o Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit1 :

Riwayat keluarga (atopi)

Riwayat alergi / atopi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi

saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan

denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.12

Pemeriksaan Laboratorium

Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,

kristal Charcot Leyden).12

Pemeriksaan Penunjang

o Spirometri

Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur

faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang

merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan

volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti

vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian

bronkodilator.12

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma1 :

- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai

rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%

nilai prediksi.

- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15%

secara spontan, atau setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau

setelah pemberian bronkodilator oral 10-14

hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibilitas ini

dapat membantu diagnosis asma

- Menilai derajat berat asma

o Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis

asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal

sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji

provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara

objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga

asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji

provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan

alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.

o Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan

penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung

kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum.

Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru

biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

o Analisa Gas Darah

Pemeriksaan analisis gas darah arteri (AGDA) sebaiknya

dilakukan pada1 :

- Serangan asma akut berat

- Membutuhkan perawatan rumah sakit

- Tidak respons dengan pengobatan / memburuk

- Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks,

dll

G. Diagnosis Banding

a. Bronkitis kronik

Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum

3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai

sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan

disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.

b. Emfisema paru

Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan

mengi jarang menyertainya.

c. Gagal jantung kiri

Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada

malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun

pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila

duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

d. Emboli paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.

Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

H. Penatalaksanaan.

1. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi

(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan

perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang

disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in

utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat

mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan

sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T

regulator masih merupakan hipotesis.

2. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai factor (trigger)

seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu,

kecoa dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus,

polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa

factor seperti menghentikan rokok, menghindari asap rokok,

lingkungan kerja, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki

control asma serta keperluan obat.

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.1

Tujuan penatalaksanaan asma1:

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

b. Mencegah eksaserbasi akut

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

e. Menghindari efek samping obat

f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

g. Mencegah kematian karena asma

Ciri-ciri asma terkontrol:

1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu

2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian

3. Tanpa gejala asma malam

4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu

5. Fungsi paru normal atau hampir normal

6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol

1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Pengendalian asma bertujuan

1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma

3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma

4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria

5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma

6. Menurunnya angka kematian akibat asma

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai

asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu

bulan.13 Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa

dan pengobatan medikamentosa

Pengobatan non-medikamentosa

Penyuluhan

Menghindari faktor pencetus

Pengendali emosi

Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan

napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.1

Pengontrol ( Controllers )

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol

pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat

pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Lain-lain

Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat

serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi

pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi1

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat

Beklometason

dipropionat

Budesonid

200-500 ug

200-400 ug

500-1000 ug

500-1000 ug

400-800 ug

1000-2000 ug

>1000 ug

>800 ug

>2000 ug

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

100-250 ug

400-1000 ug

250-500 ug

1000-2000 ug

>500 ug

>2000 ug

Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat

Beklometason

dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

100-400 ug

100-200 ug

500-750 ug

100-200 ug

400-800 ug

400-800 ug

200-400 ug

1000-1250 ug

200-500 ug

800-1200 ug

>800 ug

>400 ug

>1250 ug

>500 ug

>1200 ug

 Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi

(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral

jangka panjang.

 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten

ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai

obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif

mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.

  Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis

beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator

dari sel mast dan basofil.

Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-21

Onset Durasi (Lama kerja)

Singkat Lama

Cepat Fenoterol

Prokaterol

Salbutamol/ Albuterol

Terbutalin

Pirbuterol

Formoterol

Lambat Salmeterol

 

  Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang

beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

 Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki

dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,

rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau

menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah:1

Agonis beta2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol

yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.

Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,

meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan

modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan

akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

Kortikosteroid sistemik . (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,

penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek

penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan

bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga

menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam

golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Aminofillin

Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian

secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan

gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi

harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Cara pemberian pengobatan

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan

langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah:1

lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi

pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator

adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 1

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila

dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat

Asma

Medikasi

pengontrol

Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain

harian

Asma

Intermiten

Tidak perlu -------- -------

Asma

Persisten

Ringan

Glukokortiko

steroid

inhalasi (200-

400 ug

BD/hari atau

ekivalennya)

c. Teofilin

lepas lambat

c. Kromolin

c. Leukotriene

modifiers

------

Asma

Persisten

Sedang

Kombinasi

inhalasi

glukokortikos

teroid

(400-800 ug

BD/hari atau

ekivalennya)

dan

agonis beta-2

kerja lama

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya)

ditambah Teofilin lepas

lambat ,atau

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya)

ditambah agonis beta-2

kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid

inhalasi dosis tinggi

(>800 ug BD atau

ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya)

ditambah leukotriene

modifiers

Ditambah agonis

beta-2 kerja lama

oral, atau

Ditambah teofilin

lepas lambat

Asma

Persisten

Berat

Kombinasi

inhalasi

glukokortikos

Prednisolon/

metilprednisolon oral

selang sehari 10 mg

teroid (> 800

ug BD atau

ekivalennya)

dan agonis

beta-2 kerja

lama,

ditambah ³ 1

di bawah ini:

teofilin lepas

lambat

leukotriene

modifiers

glukokortikos

teroid oral

ditambah agonis beta-2

kerja lama oral, ditambah

teofilin lepas lambat

I. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah13 :

1. Status asmatikus

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Pneumothoraks

5. Emfisema

J. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang

berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka

kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan

bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau

serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan

yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam

pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan

mengalami serangan ulang.1

Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,

sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka

kematiannya 9%.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

Asma di Indonesia. 2003. h 3, 7, 16 – 20, 64, 73-5.

2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :

Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.

3. Morris MJ. Asthma. [ updated 2015 May 14; cited 2015 July 07]. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall

4. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 2220.

5. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur

Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72

6. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009

May 4th. Available from:

http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5

7. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal

Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.

8. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.

9. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G (Igg)

Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam

Malik Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.

10. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian

Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.

11. Wardhani DP, Uyainah A. Kapita Selekta Kedokteran : ASMA. Jilid II. Edisi ke – 4.

Jakarta : Media Aesculapius. 2014. h 805.

12. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.

13. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.

Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.

Teori Kesehatan Lingkungan

1) Definisi Rumah Sehat

Rumah bagi manusia memiliki arti sebagai tempat untuk melepas lelah,

beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari, sebagai tempat bergaul

dengan keluarga, sebagai tempat untuk melindungi diri dari bahaya, sebagai lambang

status sosial, tempat menyimpan kekayaan (Azwar, 1996). Rumah adalah struktur fisik

atau bangunan sebagai tempat berlindung, dimana lingkungan dari struktur tersebut

berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk

kesehatan keluarga dan individu (WHO dalam Keman, 2005). Rumah sehat merupakan

bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki

jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan

air limbah, ventilasi yang baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah

yang tidak terbuat dari tanah (Depkes RI, 2003).

Dapat dikatakan bahwa rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan

beristirahat yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial, sehingga

seluruh anggota keluarga dapat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar rumah (Azwar,

1996):

1) Lingkungan di mana masyarakat itu berada, baik fisik, biologis, sosial. Suatu

daerah dengan lingkungan fisik pegunungan, tentu saja perumahannya berbeda

dengan perumahan di daerah pantai. Selanjutnya masyarakat yang bertempat

tinggal di daerah lingkungan biologis yang banyak hewan buasnya tentu saja

mempunyai bentuk rumah yang lebih terlindung, dibanding dengan perumahan di

lingkungan biologis yang tidak ada hewan buasnya. Demikian pula lingkungan

sosial, seperti adat, kepercayaan dan lainnya, banyak memberikan pengaruh pada

bentuk rumah yang didirikan.

2) Tingkat sosial ekonomi masyarakat, ditandai dengan pendapatan yang dipunyai,

tersedianya bahan-bahan bangunan yang dapat dimanfaatkan dan atau dibeli dan

lain sebagainya. Jelaslah bahwa suatu masyarakat yang lebih makmur, secara

relatif akan mempunyai perumahan yang lebih baik, dibanding dengan masyarakat

miskin.

3) Tingkat kemajuan teknologi yang dimiliki, terutama teknologi bangunan.

Masyarakat yang telah maju teknologinya, mampu membangun perumahan yang

lebih komplek dibandingkan dengan masyarakat yang masih sederhana.

4) Kebijaksanaan pemerintah tentang perumahan menyangkut tata-guna tanah,

program pembangunan perumahan (RumahSederhana, Rumah Susun (Rusun),

Rumah Toko (Ruko), Rumah Kantor (Rukan))

2) Syarat Rumah Sehat

Rumah sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health Association)

harus memiliki syarat, antara lain:

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan (ventilasi),

ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan/suara yang mengganggu.

2) Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain cukup aman dan nyaman bagi masing-

masing penghuni rumah, privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota

keluarga dan penghuni rumah, lingkungan tempat tinggal yang memiliki tingkat

ekonomi yang relatif sama.

3) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah

dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga,

bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar

matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran. 4)

Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena

keadaan luar maupun dalam rumah. Termasuk dalam persyaratan ini antara lain

bangunan yang kokoh, terhindar dari bahaya kebakaran, tidak menyebabkan

keracunan gas, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya.

3) Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat

Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah sebagaimana

yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999

tentang Persyaratan kesehatan perumahan. meliputi 3 lingkup kelompok komponen

penilaian, yaitu :

1) Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, ventilasi,

sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.

2) Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, pembuangan kotoran,

pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.

3) Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela ruangan dirumah,

membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja ke jamban, membuang

sampah pada tempat sampah.

Adapun aspek komponen rumah yang memenuhi syarat rumah sehat adalah :

1) Langit-langit

Adapun persayaratan untuk langit-langit yang baik adalah dapat menahan debu

dan kotoran lain yang jatuh dari atap, harus menutup rata kerangka atap serta

mudah dibersihkan.

2) Dinding

Dinding harus tegak lurus agar dapat memikul berat dinding sendiri, beban

tekanan angin dan bila sebagai dinding pemikul harus dapat memikul beban

diatasnya, dinding harus terpisah dari pondasi oleh lapisan kedap air agar air

tanah tidak meresap naik sehingga dinding terhindar dari basah, lembab dan

tampak bersih tidak berlumut.

3) Lantai

Lantai harus kuat untuk menahan beban diatasnya, tidak licin, stabil waktu

dipijak, permukaan lantai mudah dibersihkan. Menurut Sanropie (1989), lantai

tanah sebaiknya tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab

sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Karena

itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel,

keramik. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai

ditinggikan ± 20 cm dari permukaan tanah.

4) Pembagian ruangan / tata ruang

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai dengan fungsinya.

Adapun syarat pembagian ruangan yang baik adalah :

a) Ruang untuk istirahat/tidur

Adanya pemisah yang baik antara ruangan kamar tidur orang tua dengan

kamar tidur anak, terutama anak usia dewasa. Tersedianya jumlah kamar yang

cukup dengan luas ruangan sekurangnya 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk

lebih dari 2 orang agar dapat memenuhi kebutuhan penghuninya untuk

melakukan kegiatan.

b) Ruang dapur

Dapur harus mempunyai ruangan tersendiri, karena asap dari hasil

pembakaran dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan. Ruang

dapur harus memiliki ventilasi yang baik agar udara/asap dari dapur dapat

teralirkan keluar.

c) Kamar mandi dan jamban keluarga

Setiap kamar mandi dan jamban paling sedikit memiliki satu lubang ventilasi

untuk berhubungan dengan udara luar.

5) Ventilasi

Ventilasi ialah proses penyediaan udara segar ke dalam suatu ruangan dan

pengeluaran udara kotor suatu ruangan baik alamiah maupun secara buatan.

Ventilasi harus lancar diperlukan untuk menghindari pengaruh buruk yang dapat

merugikan kesehatan. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai

syarat-syarat, diantaranya :

a) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan

luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5%.

Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas lantai ruangan.

b) Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap kendaraan,

dari pabrik, sampah, debu dan lainnya.

c) Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan dua lubang

jendela berhadapan antara dua dinding ruangan sehingga proses aliran udara

lebih lancar.

6) Pencahayaan

Cahaya yang cukup kuat untuk penerangan di dalam rumah merupakan kebutuhan

manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya alami dan

cahaya buatan. Yang perlu diperhatikan, pencahayaan jangan sampai

menimbulkan kesilauan.

a) Pencahayaan alamiah Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar

matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah maupun bagian lain dari

rumah yang terbuka, selain untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi

kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh

kuman penyebab penyakit tertentu (Azwar, 1996). Suatu cara sederhana

menilai baik tidaknya penerangan alam yang terdapat dalam sebuah rumah

adalah: baik, bila jelas membaca dengan huruf kecil, cukup; bila samar-samar

bila membaca huruf kecil, kurang; bila hanya huruf besar yang terbaca, buruk;

bila sukar membaca huruf besar.

b) Pencahayaan buatan Penerangan dengan menggunakan sumber cahaya buatan,

seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya. (Azwar, 1996).

7) Luas Bangunan Rumah

Luas bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya

luas bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan

yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya 16 akan menyebabkan

kepadatan penghuni (overcrowded). Hal ini tidak sehat, disamping menyebabkan

kurangnya konsumsi oksigen, bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit

infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Sesuai kriteria

Permenkes tentang rumah sehat, dikatakan memenuhi syarat jika ≥ 8 m2 / orang.

Dilihat dari aspek sarana sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang

berkaitan dengan perumahan sehat adalah sebagai berikut :

3) Sarana Air Bersih Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan

sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum

apabila telah dimasak. Di Indonesia standar untuk air bersih diatur dalam

Permenkes RI No. 01/Birhubmas/1/1975 (Chandra, 2009).

Dikatakan air bersih jika memenuhi 3 syarat utama, antara lain :

a) Syarat fisik Air tidak berwarna, tidak berbau, jernih dengan suhu di bawah

suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman.

b) Syarat kimia Air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat kimia,

terutama yang berbahaya bagi kesehatan.

c) Syarat bakteriologis Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme.

Misal sebagai petunjuk bahwa air telah dicemari oleh faces manusia adalah

adanya E. coli karena bakteri ini selalu terdapat dalam faces manusia baik

yang sakit, maupun orang sehat serta relatif lebih sukar dimatikan dengan

pemanasan air.

2) Jamban (sarana pembuangan kotoran)

Pembuangan kotoran yaitu suatu pembuangan yang digunakan oleh keluarga

atau sejumlah keluarga untuk buang air besar. Cara pembuangan tinja,

prinsipnya yaitu :

a) Kotoran manusia tidak mencemari permukaan tanah.

b) Kotoran manusia tidak mencemari air permukaan / air tanah.

c) Kotoran manusia tidak dijamah lalat.

d) Jamban tidak menimbulkan bau yang mengganggu.

e) Konstruksi jamban tidak menimbulkan kecelakaan.

Ada 4 cara pembuangan tinja (Azwar, 1996), yaitu :

a) Pembuangan tinja di atas tanah Pada cara ini tinja dibuang begitu saja

diatas permukaan tanah, halaman rumah, di kebun, di tepi sungai dan

sebagainya. Cara demikian tentunya sama sekali tidak dianjurkan, karena

dapat mengganggu kesehatan.

b) Kakus lubang gali (pit privy) Dengan cara ini tinja dikumpulkan kedalam

lubang dibawah tanah, umumnya langsung terletak dibawah tempat

jongkok. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi tinja sehingga tidak

memungkinkan penyebaran bakteri. Kakus semacam ini hanya baik

digunakan ditempat dimana air tanah letaknya dalam.

c) Kakus Air (Aqua pravy) Cara ini hampir mirip dengan kakus lubang gali,

hanya lubang kakus dibuat dari tangki yang kedap air yang berisi air,

terletak langsung dibawah tempat jongkok. Cara kerjanya merupakan

peralihan antara lubang kakus dengan septic tank. Fungsi dari tank adalah

untuk menerima, menyimpan, mencernakan tinja serta melindunginya dari

lalat dan serangga lainnya.

d) Septic Tank Septic Tank merupakan cara yang paling dianjurkan. Terdiri

dari tank sedimentasi yang kedap air dimana tinja dan air masuk dan

mengalami proses dekomposisi yaitu proses perubahan menjadi bentuk

yang lebih sederhana (penguraian).

3) Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga,

industri, dan tempat umum lainnya dan biasanya mengandung bahan atau zat

yang membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian

lingkungan (Chandra, 2007).

Menurut Azwar (1996) air limbah dipengaruhi oleh tingkat kehidupan

masyarakat, dapat dikatakan makin tinggi tingkat kehidupan masyarakat,

makin kompleks pula sumber serta macam air limbah yang ditemui. Air

limbah adalah air tidak bersih mengandung berbagai zat yang bersifat

membahayakan kehidupan manusia ataupun hewan, dan lazimnya karena hasil

perbuatan manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, sumber air limbah yang lazim dikenal

adalah :

a) Limbah rumah tangga, misalnya air dari kamar mandi dan dapur.

b) Limbah perusahaan, misalnya dari hotel, restoran, kolam renang.

c) Limbah industri.

4) Sampah

Sampah adalah semua produk sisa dalam bentuk padat, sebagai akibat

aktifitas manusia, yang dianggap sudah tidak bermanfaat. Entjang (2000)

berpendapat agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, maka

perlu pengaturan pembuangannya, seperti tempat sampah yaitu tempat

penyimpanan sementara sebelum sampah tersebut dikumpulkan untuk

dibuang (dimusnahkan).

Syarat tempat sampah adalah :

a) Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kuat sehingga tidak mudah

bocor, kedap air.

b) Harus ditutup rapat sehinga tidak menarik serangga atau binatangbinatang

lainnya seperti tikus, kucing dan sebagainya.

2. Karakteristik Keluarga

a. Tingkat Pendidikan Orangtua

Pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan

adalah suatu pembentukan watak yaitu sikap disertai kemampuan dalam bentuk

kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan.

Pendidikan formal yang ada di Indonesia adalah tingkat SD, SLTP, SLTA,

dan Perguruan tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang.

Tingkat pendidikan yang lebih baik memungkinkan seseorang dapat menyerap

informasi lebih baik dan juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi setiap

masalah yang dihadapi.

b. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui

pancaindera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Pengetahuan merupakan domain penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas dan tingkat

yang berbeda-beda, yang secara garis besar dapat dibagi dalam 6 tingkat

pengetahuan, yaitu :

1) Tahu (know) Termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali sesuatu

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Misal keluarga yang telah

mendapatkan penyuluhan rumah sehat dapat menyebutkan kembali komponen-

komponen rumah yang sehat.

2) Memahami (comprehension) Pada tingkatan ini orang paham dan dapat

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikannya. Misal dapat menjelaskan pentingnya kepemilikan jamban

sehat.

3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

4) Analisis (analysis) Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk menjabarkan

materi yang telah dipelajari dalam komponen-komponen yang berkaitan satu sama

lain. Misalnya membedakan, memisahkan, mengelompokkan.

5) Sintesis (synthetis) Sintesis merupakan kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi yang ada dengan meletakkan atau menghubungkan bagianbagian dalam

suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

c. Jenis Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan adalah rutinitas yang dilakukan yang dijadikan pokok

penghidupan seseorang yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Sering pekerja-

pekerja dari jenis pekerjaan tertentu bermukim dilokasi yang tertentu pula sehingga

sangat erat hubungannya dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Pekerjaan juga

mempunyai hubungan yang erat dengan status sosial ekonomi, sedangkan berbagai

jenis penyakit yang timbul dalam keluarga sering berkaitan dengan jenis pekerjaan

yang mempengaruhi pendapatan keluarga (Noor, 2008).

d. Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk

memperoleh yang lebih baik, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan,

pengembangan karir dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya jika pendapatan

lemah akan maka hambatan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Keadaan ekonomi

atau penghasilan memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan

keluarga.

Dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan

dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah

akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal

pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam

mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

3. Perilaku

a. Pengertian Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku dipandang dari segi biologis

adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia

pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Secara umum dapat

dikatakan faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu dari perilaku mahluk

hidup termasuk dari manusia.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus

yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa

tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2004).

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau

objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, minuman, serta lingkungan. Dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) Adalah perilaku atau usaha

seseorang untuk menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan

bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3

aspek :

a) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta

pemulihan kesehatan jika telah sembuh dari penyakit.

b) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.

Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun

perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal

mungkin.

c) Perilaku gizi, makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan

kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi

penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan

penyakit.

2) Perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan atau disebut

perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).

3) Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang berespons terhadap

lingkungannya sebagai determinan kesehatan manusia sehingga lingkungan tersebut

tidak mempengaruhi kesehatannya. Perilaku ini antara lain mencakup :

a) Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen,

manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.

b) Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-

segi higiene, pemeliharaan, teknik, dan penggunaannya.

c) Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair,

termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat,

serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.

d) Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,

pencahayaan, lantai, dan sebagainya.

e) Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk ( vektor ),

dan sebagainya.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok

yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pegetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan fisik

tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan misalnya

puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

3) Faktor-faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

4. Letak Rumah

Letak rumah adalah salah satu faktor yang penting artinya bagi kesehatan

penghuni. Sebagai contoh adalah, sebuah rumah seharusnya tidak didirikan di dekat

tempat dimana sampah dikumpulkan atau dibuang, dengan pertimbangan karena di

tempat pembuangan sampah tersebut akan banyak lalat, serangga maupun tikus yang

akan membawa kuman penyakit kedalam lingkungan rumah (WHO, 1995).

Perlu diperhatikan juga letak sebuah bangunan hendaknya menyerong dari arah

lintasan matahari yaitu arah utara–selatan untuk mencegah penyinaran yang terus-

menerus pada satu bagian rumah. Di bangun dengan lubang bukaan maksimal pada arah

utara, arah selatan, dan arah timur, serta seminimal mungkin pada arah barat. Lubang

bukaan pada arah utara-selatan diharapkan sebanyak mungkin memasukan sinar matahari

dari kubah langit. Sementara lubang pada arah timur untuk memasukan sinar matahari

pagi yang dapat meningkatkan kesehatan.

Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah. Rumah terasa sumpek,

pengap, panas, dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan penghuni. Selain berguna

untuk penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau

serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu, misalnya untuk

membunuh bakteri adalah cahaya pada panjang gelombang 4000 A sinar ultra violet

(Azwar, 1996).