Teori Arsitektur III

download Teori Arsitektur III

of 9

description

Teori Arsitektur III

Transcript of Teori Arsitektur III

SUKA atau tak suka, seni pop telah menjadi fenomena artistik dekade 1960-70an

TEORI ARSITEKTUR III

GOYANG NGEBOR DAN ARSITEKTUR

Juniatus Cornelis Tubulau

21.02.0940TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

2005Pada waktu yang lalu Dalam hal kasus Inul, Myra juga mengkritisi peran media massa, terutama televisi, yang dengan alat kamera di tangannya menyorot bagian-bagian tertentu tubuh sehingga menimbulkan sebuah citra tertentu di benak pemirsa. Padahal, sebelumnya, selama dua tahun ketika masih bernyanyi dari satu kampung ke kampung lain, tidak ada yang meributkan Inul.

Sisi lain dari kasus Inul, menurut Myra, adalah berlakunya hukum budaya popular, yaitu menjadi populernya seorang pelaku budaya pop ditentukan oleh masyarakat. Bila masyarakat tidak menghendaki lagi, dia akan segera berganti dengan pelaku lainnya.

Dalam salah satu pernyataan sikap para pekerja seni yang dibacakan Rieke Dyah Pitaloka dalam jumpa pers di Komnas Perempuan pada Jumat pekan lalu, munculnya Inul sebagai bintang industri hiburan karena ada dukungan dan apresiasi dari masyarakat luas. "Ini proses lazim dalam mekanisme pasar," kata Rieke.

DI dalam wacana kebudayaan, budaya pop dianggap bukan budaya adiluhung, budaya tingkat tinggi. Budaya pop juga dituduh sebagai mendorong konsumtivisme.

Wacana perempuan di dalam budaya pop telah menarik perhatian para feminis dan mereka yang terlibat di dalam kajian perempuan. Jender dianggap bisa menjelaskan mengapa timbul anggapan, misalnya, bahwa budaya pop meminggirkan perempuan.

Dominic Strinati mengutip pendapat L Gamman dan M Marshment dalam tulisan keduanya berjudul The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988), mendefinisikan budaya pop sebagai "lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus".

Definisi di atas menjadi menarik karena budaya pop terus- menerus menjadi tempat di mana makna tentang apa yang ditampilkan terus dipertandingkan dan kontrol atas makna-makna itu terus-menerus menjadi perebutan. Apalagi juga disebutkan bahwa ideologi yang dominan bisa diusik di dalam budaya pop.

Dalam kasus Inul, dengan berdasarkan definisi tersebut bisa disebutkan bahwa seorang penyanyi dari daerah pinggiran (Pasuruan) dengan gaya panggungnya yang berbeda dari arus utama yang dibangun oleh para elite penyanyi dangdut di pusat (Jakarta) telah mengusik pemahaman makna oleh pusat mengenai apa yang dianggap pantas dan apa yang dianggap tidak pantas, apa yang boleh berada di atas panggung dan apa yang tidak boleh muncul di panggung. Di sini jelas sekali terlihat sedang terjadi perebutan atas kontrol terhadap makna.

Dari sisi jender, juga bisa dilihat terjadinya pertarungan kontrol antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki mewakili patriarkhi yang tidak selalu identik berkelamin laki-laki karena perempuan pun bisa menjadi seorang patriarkh. Pertarungan ideologi itu sangat nyata ketika kepada Inul diminta agar dia menjaga moral bangsa dengan tidak melakukan goyangan khasnya.

Selain itu, dalam kasus Inul harus pula dilihat pengaruh media massa, terutama televisi yang mengangkat sosok Inul ke panggung nasional. Di dalam budaya pop, menurut pengajar sosiologi di Universitas Leicester, Inggris, televisi dengan sifatnya yang menyiarkan informasi dan citra secara reguler dan bisa dibilang terus-menerus selama 24 jam, membangun rangkaian programnya atas dasar kolase teknik dan simulasi yang bersifat permukaan.

Televisi telah pula menuai kritik dengan tuduhan tidak mengungkapkan keadaan yang riil. Hal ini tidak berlebihan karena televisi melalui citra yang ditampilkannya telah memilih gambar mana yang akan ditampilkan, bagian tubuh mana yang akan ditayangkan. Dalam kasus Inul, televisi dengan teknik kolasenya seringkali memilih daerah bagian belakang bawah Inul sebagai fokus pencitraan seperti yang dikritisi oleh Myra Diarsi sehingga perhatian penonton mau tidak mau terpusat pada apa yang tersaji di layar kaca tersebut.

Pilihan-pilihan pada bagian tubuh yang ditampilkan di layar kaca juga mengundang pertanyaan, gagasan apa yang berada di benak para produser televisi ataupun media cetak.

MESKIPUN budaya massa seperti budaya pop dipandang sebagai budaya yang "dangkal" di dalam wacana kebudayaan, tetapi wacana budaya pop dipengaruhi bukan hanya oleh kepentingan ekonomi dan kapitalisme.

Salah seorang peneliti budaya massa, Modleski, misalnya, melihat lebih dalam wacana budaya massa dengan menggunakan pisau analisis feminisme, sesuatu cara pendekatan yang relatif baru pada pertengahan tahun 1980-an.

Menurut Modleski, cara kita berpikir dan merasa tentang budaya massa terikat dengan sangat rumit pada gagasan mengenai sifat-sifat feminin. Dia sangat menaruh perhatian pada cara di mana perempuan dipandang sebagai penanggung jawab budaya massa dan efek-efek budaya massa yang merugikan, sementara laki-laki dipandang sebagai bertanggung jawab untuk kesenian adiluhung.

Pendapat Modleski itu bersamaan dengan pandangan bahwa bukan saja karya penulis perempuan pada abad ke-19 lebih rendah mutunya dibandingkan karya penulis laki-laki, tetapi juga perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap munculnya budaya massa.

Menurut Modleski, penggunaan istilah budaya massa serta meletakkannya dalam posisi lebih rendah dibandingkan seni tinggi, tidak terlepas dari konstruksi sosial yang bersifat eksis mengenai sifat-sifat feminin dan maskulin.

Budaya tinggi (kesenian) identik dengan sifat-sifat maskulin, produksi, kerja, intelektualitas, aktivitas, dan menulis. Sementara budaya massa (budaya popular) identik dengan sifat-sifat feminin, konsumsi, waktu luang, emosi, bersifat pasif, dan membaca (tidak menulis).

Pandangan Modleski tersebut bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Inul. Sebagai perempuan yang datang dari daerah pinggiran, Inul dipandang sebagai mengusik budaya ciptaan para lelaki yang dipandang sebagai kesenian yang bernilai tinggi. Tidak heran bila Inul menuai kecaman yang begitu keras dari pihak yang selama bertahun-tahun dipandang sebagai penentu dan pengontrol budaya tinggi.

Apa yang dialami Inul adalah kejadian yang kesekian kali yang dialami perempuan yang bekerja di bidang kesenian. Dalam jumpa pers di Komnas Perempuan Jumat pekan lalu, Yeni Rosa Damayanti dari lembaga masyarakat Institut Ungu yang mengonsentrasikan diri pada kesenian yang dihasilkan perempuan, menyebutkan lahirnya perempuan penulis di Indonesia pun bukannya tanpa tantangan

SUKA atau tak suka, seni pop telah menjadi fenomena artistik dekade 1960-70an. Di antara berbagai gerakan seni yang pernah ada, rasanya seni pop-lah yang di masa pertumbuhannya sempat membikin heboh berbagai kalangan, sebagian pihak menyebutnya sebagai skandal di dunia seni, bersamaan dengan itu bangkit gelombang protes dan diskusi-diskusi keras antara yang membela dan yang menentangnya.

Kiranya hanya seni pop pula yang pernah menjadi perebutan klaim antara Eropa dan Amerika. Beberapa buku yang bisa kita temukan memperlihatkan kecenderungan perang klaim ini; tergantung siapa dan di mana buku tersebut terbit maka ke arah itulah bandul klaim bergerak.

Kecenderungan utama pelaku Seni Pop berlandaskan pada individualistik yang ekstrem, baik dalam hal sikap atau pun penggayaan. Meski demikian, mereka tetap memiliki perhatian umum terhadap wacana sekitar gambaran (imagery) media massa, iklan-iklan barang-barang konsumtif keseharian, dsb., tapi dalam penggunaan gambaran (imagery) ini masing-masing sungguh sangat berbeda. Pada awalnya, dan terutama pada kasus Paolozzi dan Phillips, keduanya tampak menaruh minat terhadap gambaran populer kebudayaan massa yang kemudian diperlakukannya sebagai simbol romantik sekaligus nostalgik. Mereka pun memperhatikan berbagai barang bekas (second-hand), memperlihatkan rasa takjub terhadap keberhasilan dan perkembangan teknologi Amerika dan kemudian "memungut"nya pula sebagai medium. Sikap itulah yang mengilhami seni baru (the new art) yang kemudian berkembang lebih jauh menjadi semurni-murninya revolusi artistik.

Gerakan ini pada dasarnya menolak dua hal sekaligus yaitu seni tradisional dan seni yang ditujukan bagi kemapanan. Oleh kecenderungannya itu, maka lebih berjalin dengan jaringan yang berhasrat membongkar batas antara yang disebut kebudayaan 'tinggi' dan 'sub-culture' yang populer dan oleh sebagian orang dianggap rendahan. Cara yang dilakukannya yaitu dengan menyerap imaji-imaji mutakhir dunia 'sub-culture' tadi tanpa ada perasaan/perlakuan/sikap benci terhadap ke-sepele-an dan ke-banalitas-annya, sekaligus tanpa menghakiminya sebagai sampah melainkan menerimanya sebagai standar estetik. Penolakan terhadap seni Mapan (Establishment art) ditunjukannya secara besar-besaran dengan mengedepankan simbol-simbol generasi muda semisal film-film Hollywood, fiksi sains (science fiction), kartun/komik strip dan budaya Teddy-boy.

Di samping ketertarikan terhadap sosiologi primer seperti tersebut di atas, Popists (pelaku seni Pop) sebagai seniman-seniman tulen sekaligus profesional sesungguhnya dilandasi pula oleh pengetahuan yang lengkap tentang sikap artistik seniman terdahulu (generasi sebelumnya), maka mereka pun jadi begitu memperhatikan masalah-masalah piktoral murni (purely pictorial), baik sebagai representasi alamiah atau pun sebagai problema semantik komunikasi yang menggunakan sumbolisasi visual.

SENI pop di Amerika. Seni Pop di Amerika mulai muncul di pertengahan 1950-an sebagai matarantai reaksi terhadap abstrak ekspresionisme. Peletak dasar atau cikal-bakalnya adalah Jasper Johns dan Robert Rauschenberg. Keduanya menggunakan imaji-imaji umum dan benda-benda Kitsch, tapi mengombinasikannya dengan kecerdikan dan pemahaman teknis yang brilian sehingga kemudian justru melepas karya-karyanya dari kungkungan kekuasaan Kitsch sekaligus berontak. Seni Pop Amerika berakar pada "Dada" bahkan adakalanya dikenal sebagai "Neo-Dada." Juga memiliki kaitan dengan Seni Indian

Tubuh yang Mendua

Oleh Nuraini JuliastutiSaat ini tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri. Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan segala jenis bentuk identitas diri. Tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Ia terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran: didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu.Stephen Wearing dan Betsy Wearing (Jurnal Leisure Studies 19 [1], 2000) melihat merokok sebagai sebuah asesori fesyen pada budaya 1990-an dan dipakai sebagai sumber identitas serta penghargaan diri seseorang, meskipun efek jangka panjangnya berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai gangguan dan penyakit. Mereka menghubungkan merokok dengan konsumsi yang menyolok (conspicuous consumption), fesyen, dan identitas mengingat di masa pascamodern ini, representasi dan gambaran identitas berdasar pada simbol-simbol yang kita pakai, barang-barang yang kita kenakan, dan aktivitas-aktivitas yang kita lakukan, terutama aktivitas-aktivitas yang sedang populer pada suatu masa tertentu. Sementara itu, Simmel (1978) mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara waktu senggang, fesyen, dan identitas. Untuk mengejar fesyen dan gaya serta imej-imej yang mempesona, Simmel menangkap ketegangan antara pembedaan dan peniruan yang merupakan kebutuhan untuk masuk dalam satu grup sosial tertentu, sekaligus mengekspresikan individualitas seseorang. Dengan demikian merokok dapat dianggap sebagai asesori fesyen yang penuh daya pikat dan terkomodifikasi, dimana seseorang dapat merasakan penegasan ciri individualitas sekaligus dukungan penuh dari suatu grup sosial. Merokok adalah sebuah fesyen sekaligus sesuatu yang fashionable. Menurut Simmel, menjadi fashionable artinya menjadi seorang yang melebih-lebihkan dirinya dan dengan demikian membuat identitasnya tampak begitu menonjol. * * * Dari uraian di atas, kita bisa menarik sebuah sikap yang mendua terhadap tubuh. Resiko-resiko merokok yang berbahaya bagi kesehatan tubuh tidak pernah menjadi dasar pertimbangan utama untuk merokok. Contoh sikap-sikap yang mendua terhadap tubuh ini juga tampak dalam aktivitas-aktivitas dekorasi tubuh seperti tatto, tindik di puting susu (nipple piercing), atau tindik di bagian-bagian tubuh lain, seperti telinga atau hidung (safety pins). Semua aktivitas dekorasi tubuh atau penciptaan efek gaya tertentu pada tubuh itu dilakukan dengan melukai atau menyakiti bagian-bagian tubuh. Di Indonesia, baik nipple piercing maupun safety pins ini umumnya disebut dengan tindik saja. Tatto atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu dihias dengan pigmen berwarna-warni. Dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk membuat tatto. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk mengukir sebuah tatto. Kuil-kuil Shaolin malah memakai gentong tembaga yang panas untuk mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan simbol itu kemudian menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar naga yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas itu. Di Indonesia sendiri pernah ada suatu masa ketika tatto dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Orang-orang yang memakai tatto dianggap identik dengan penjahat, gali, dan orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat pengesahan ketika pada tahun 1980-an terjadi pembunuhan terhadap ribuan orang gali dan penjahat kambuhan di berbagai kota di Indonesia. Pembunuhan ini biasa disebut dengan Petrus, neologisme dari kata penembak dan misterius. Tanggapan negatif masyarakat tentang tatto dan larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan imej tatto sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai tatto dianggap sama dengan memberontak. Tetapi justru term pemberontakan yang melekat pada aktivitas dekorasi tubuh inilah yang membuat gaya pemberontak ini populer dan dicari-cari oleh anak muda. Hal ini juga terjadi dalam persoalan merokok. Sesuatu yang dianggap berbeda, lain, dan serba kontras dari sesuatu yang biasa-biasa saja, selalu punya kecenderungan besar untuk dilakukan banyak orang. Di situ terdapat ambivalensi antara pemberontakan dan gaya. Sesuatu yang dianggap berbahaya dan menyakitkan akan sekaligus dianggap sebagai gaya dan ciri fesyen tertentu justru karena sifat-sifatnya yang khas tersebut. Dan justru di sinilah pengotentikan identitas seseorang itu berasal. Setiap orang punya kebutuhan untuk mengambil jarak dan mengkonsumsi dirinya sendiri justru dari sisi-sisi yang dianggap berseberangan dari orang lain, dan dengan demikian berusaha membuat seragam diri yang otentik. Diatas semuanya, segala sikap mendua terhadap tubuh tidak hanya rute untuk menuju status tertentu dimata orang lain, tetapi juga pernyataan rasa subjektivitas seseorang.

Studi Tubuh

Oleh Luna Lazuardi Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki.Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan manusia.Antropologi: Titik Awal Studi Tubuh ModernKarena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.Sekarang tubuh tidak lihat secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.Studi Tubuh Modern"Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, ubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual.Tubuh dalam Kebudayaan KonsumenMike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture" [1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut.