file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an,...

30
PROGRAM KREDIT PERTANIAN DI INDONESIA, DAN PELUANG SKEMA KREDIT PERTANIAN SYARIAH Bintan Ulfatuz Zakiya Sebastian Herman FoSSEI Jabodetabek Jalan kesatuan No 44 kecamatan Beji, Depok [email protected] Reviewer : Banu Muhammad, S.E.I, M.S.E. Abstrak Program kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swasembada pangan. Pada tahun 1985 Indonesia akhirnya mencapai swasemabada pangan, salah satunya adalah berkat adanya kredit pertanian (Bimas). Namun akhirnya Bimas diganti dengan program Kredit Usaha Tani, karena dianggap tidak mampu mengakomodir petani miskin, dan juga berbagai penyebab lainnya. Program pertanian terus berganti, sampai saat ini program yang ada adalah KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Yang membedaan antara satu program dengan program yang lain adalah dari sumber dananya, penyalur, dan mekanisme pengajuan dana. Dana bersumber dari pemerintah, bank, dan juga ada yang gabungan antara bank dan pemerintah, penyalurnya adalah KUD (Koperasi Unit Desa) dan juga Bank penyalur, mekanisme bisa melalui kelompok tani ataupun individu. Namun walaupun program terus berganti, Indonesia masih belum bisa mencapai swasembada pangan lagi, dan banyak petani masih berada dibawah garis kemiskinan. Belajar dari program kredit pertanian yang pertanian yang pernah ada, dan juga dengan berdasar prinsip syariah, maka penyusun membuat kredit pertanian dengan skema syariah. Kredit pertanian dengan skema syariah ini berpeluang untuk diimplementasikan di Indonesia, karena adanya dukungan APBN, petani Indonesia yang familiar dengan sistem bagi hasil, dan dukungan infrastruktur bank penyalur yang mumpuni. Kata kunci : Bimas, KUT, KKP, musyarokah. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris. Pertanian merupakan seperempat bagian dari komponen pembentuk PDB, menyumbang sekitar 60% dari ekspor dan mempekerjakan 50% dari angkatan kerja. Sektor pertanian di Indonesia mempunyai kontribusi besar terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto. Namun kontribusi yang besar ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan bagi pelaku utama di sektor ini, yaitu petani. Data yang ada menunjukkan bahwa terdapat 42,47 juta petani atau 38,17 persen dari total angkatan kerja bulan Februari tahun 2011 (BPS, 2011). 1

Transcript of file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an,...

Page 1: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

PROGRAM KREDIT PERTANIAN DI INDONESIA, DAN PELUANG SKEMA KREDIT PERTANIAN SYARIAH

Bintan Ulfatuz Zakiya

Sebastian HermanFoSSEI Jabodetabek

Jalan kesatuan No 44 kecamatan Beji, [email protected]

Reviewer : Banu Muhammad, S.E.I, M.S.E.Abstrak

Program kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swasembada pangan. Pada tahun 1985 Indonesia akhirnya mencapai swasemabada pangan, salah satunya adalah berkat adanya kredit pertanian (Bimas). Namun akhirnya Bimas diganti dengan program Kredit Usaha Tani, karena dianggap tidak mampu mengakomodir petani miskin, dan juga berbagai penyebab lainnya. Program pertanian terus berganti, sampai saat ini program yang ada adalah KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Yang membedaan antara satu program dengan program yang lain adalah dari sumber dananya, penyalur, dan mekanisme pengajuan dana. Dana bersumber dari pemerintah, bank, dan juga ada yang gabungan antara bank dan pemerintah, penyalurnya adalah KUD (Koperasi Unit Desa) dan juga Bank penyalur, mekanisme bisa melalui kelompok tani ataupun individu. Namun walaupun program terus berganti, Indonesia masih belum bisa mencapai swasembada pangan lagi, dan banyak petani masih berada dibawah garis kemiskinan. Belajar dari program kredit pertanian yang pertanian yang pernah ada, dan juga dengan berdasar prinsip syariah, maka penyusun membuat kredit pertanian dengan skema syariah. Kredit pertanian dengan skema syariah ini berpeluang untuk diimplementasikan di Indonesia, karena adanya dukungan APBN, petani Indonesia yang familiar dengan sistem bagi hasil, dan dukungan infrastruktur bank penyalur yang mumpuni.

Kata kunci : Bimas, KUT, KKP, musyarokah.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris. Pertanian merupakan seperempat bagian dari komponen pembentuk PDB, menyumbang sekitar 60% dari ekspor dan mempekerjakan 50% dari angkatan kerja. Sektor pertanian di Indonesia mempunyai kontribusi besar terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto. Namun kontribusi yang besar ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan bagi pelaku utama di sektor ini, yaitu petani. Data yang ada menunjukkan bahwa terdapat 42,47 juta petani atau 38,17 persen dari total angkatan kerja bulan Februari tahun 2011 (BPS, 2011). Secara nasional, penduduk miskin pada tahun 2009 mencapai 32,5 juta orang (14,15%), sebagian besar tinggal di perdesaan (63,4%) dan 64,7 persen bekerja di sektor pertanian (Suharyanto, 2010). Dari data terbaru, 28,07 juta penduduk miskin pada bulan Mei 2013, sebanyak 63,20 persen(Badan Pusat Statistik - ST2013) merupakan penduduk pedesaan yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai petani atau buruh tani.Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani bisa dilakukan dengan meningkatkan penggunaan faktor produksi petani. Komponen dalam faktor produksi mencakup modal, sarana produksi, tenaga kerja, dan teknologi. Untuk meningkatkan komponen ini salah satunya diperlukan pembiayaan. Pembiayaan bisa berasal dari lembaga perbankan dan lembaga non perbankan.

1

Page 2: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Proposi penyaluran kredit lembaga perbankan nasional masih rendah ke sektor pertanian. Sebagai gambaran berdasarkan data dari bank Indonesia ditunjukan padakurun waktu 2004-2008 pangsa kredit unutk sektor pertaniaan berkisar 5,14-5,92 persen atau rata-rata 5,56 persen. Pangsa kredit sektor pertaniaan masih jauh dibawah sektor perindustrian, perdagangan dan sektor usaha lain.Jika kita melirik sejarah masa lampau, ternyata sejak orde lama (1945 – 1963) pertanian sudah mendapat perhatian khusus. Dimulai pada tahun 1947 dengan rencana mendirikan badan penyuluh pertanian yang disebut Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). Kemudian dilanjutkan dengan pendirian lembaga-lembaga lain yang mendukung perkembangan sektor pertanian.Pada zaman orde baru (1963 – 1998) sejumlah program pro-pertanian diluncurkan pemerintahan Soeharto dalam rangka mencapai swasembada pangan. Dengan program pembangun jangka panjang yang terstruktur (Pelita I – pelita V) terdapat beberapa program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang pertanian. Seperti, Program BIMAS, Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Ketahaan pangan (KKP). Pada era reformasi yang sedang kita lalui ini, beberapa program pro-pertanian juga sudah diluncurkan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Baik dengan melanjutkan program zaman orde baru maupun dengan merenovasi skema pembiayaannya. Seperti Kredit Ketahann Pangan (KKP) SMENRU dan Kredit Ketahann Pangan dan Energi (KKP-E). Namun walaupun program terus berganti, Indonesia masih belum bisa mencapai swasembada pangan lagi, dan banyak petani masih berada dibawah garis kemiskinan. Sehingga dapat dilihat bahwa program untuk mencapai swasembada pangan masih belum berjalan efektif. Makalah ini menganalisa semua kredit pertanian yang pernah ada di Indonesia, dengan tujuan untuk mengetahui mekanismenya, kekurangan dan kelebihannya, dan tentu saja hasilnya. Dalam sistem ekonomi islam, dikenal beberapa sistem pembiayaan pertanian, misalnya saja musaqoh dan muzaraah. Dengan berprinsip pada keadilan dan ekonomi syariah yang bertujuan untuk mensejahterakan masayarakat, maka penyusun mengajukan kredit pertanian syariah. Kredit pertanian dengan skema syariah ini dirancang dengan melihat pada program – progam pertanian yang telah ada sebelumnya, dan tentu saja berpegang pada prinsip syariah. Melalui makalah ini, diharapkan sektor pertanian di Indonesia terus mengalami peningkatan sehingga dapat mensejahterkan rakyat sebagai amanat Undang-undang Dasar 1945 yang sesuai dengan syariat islam.

METODE PENULISAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Strauss dan Corbin (1997): penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan temuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif bertujuan mengumpulkan data dalam setting alamiah, yang akan digunakan untuk menyusun teori melalui analisis data secara induktif.

2

Page 3: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

PEMBAHASAN

1. Analisa Program Pembiayaan Pertanian dari Waktu ke Waktu

1.1. Pra- Bimas (1945 – 1963)Sejak awal kemerdekaan (1945-1950) upaya peningkatan produksi perrtanian, utamanya pertanian tanaman pangan mendapat perhatian khusus. Hal ini terkait tentunya dengan peran pertanian sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sistem penyuluhan yang menitik beratkan pada tercapainya target produksi dalam waktu yang pendek. Mengingat situasi negara pada awal kemerdekaan, maka langkah-langkah awal yang ditempuh pemerintah adalah pembentukan dan pembenahan kelembagaan. Kelembagaan untuk mendukung upaya peningkatan produksi mulai direncanakan pada tahun 1947 dengan rencana mendirikan badan penyuluh pertanian yang disebut Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) yang selanjutnya rencana ini diberi nama ”Plan Kasimo”. Namun dengan kondisi stabilitas nasional yang belum stabil pada saat itu, gagasan tersebut baru dapat dilaksanakan pada tahun 1950. Dalam kurun waktu tersebut, sarana produksi, utamanya bibit, pupuk dan pestisida disiapkan oleh negara dalam hal ini menjadi beban dari program pemerintah. Oleh karena itu, karena keterbatasan dana akibat kondisi ekonomi yang sangat buruk, serta sistem sarana prooduksi yang tidak baik, program yang melaksakanan penyuluhan dengan sistem ”tetesan minyak” atau ”Olie vlek” tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan, produksi padi kecil dan lamban dan target swasembada pangan pada tahun 1961 tidak tercapai.Dengan kondisi tersebut, pemerintah kembali membentuk lembaga yang disebut Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung dipinpin oleh Presiden Soekarno. Juga dibentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) untuk mengatasi sarana pertanian yang buruk. Lembaga ini dibentuk dari pusat hingga desa dan dipinpin oleh Menteri Pertanian di tingkat pusat, masing-masing kepala daerah di masing-masing daerah dan Pamong Tani Desa (PTD) di desa. Dalam rangka penyiapan sarana produksi pertanian termasuk bibit, pupuk dan pestisida, pada tahun 1959 pemerintah membentuk lembaga yang disebut Badan Perusahaan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang memiliki dua anak perusahaan masing-masing Padi Centra dan Mekatani1. Tugas Padi centra adalah mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi sepertibibit unggul,pupuk dan obat-obatan. Padi Centra selanjutnya berubah nama menjadi Padi Sentra, PN. Pertani dan terakhir PT. Pertani. Sementara itu, Mekatani bertugas membuka lahan-lahan baru terutama di luar Pulau Jawa. Skema masa pra-BimasLangkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperkuat lembaga, dimulai dari

1. Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD), di tahun 1947, untuk mendukung upaya peningkatan produksi dengan mendirikan badan penyuluh pertanian.

1Suardi bakrie center, PERGESERAN KELEMBAGAAN PUPUK DI INDONESIA Masa Pra Bimas hingga Masa Reformasi, diakses dari http://sbcenter.blogspot.com/2009/07/pergeseran-kelembagaan-pupuk-di.html, pada tanggal 20 maret 2014 pukul 09.26

3

Page 4: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

2. Plan Kasimo, tahun 1950, pemerintah menyediakan sarana produksi, utamanya bibit, pupuk dan pestisida. Penyediaanya menjadi beban pemerintah.

3. Badan Perusahaan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT), pada tahun 1959 yang memiliki dua anak perusahaan masing-masing Padi Centra dan Mekatani. Tugas Padi centra adalah mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi sepertibibit unggul,pupuk dan obat-obatan. Mekatani bertugas membuka lahan-lahan baru terutama di luar Pulau Jawa.

Hasil masa pra-BimasDapat dilihat dalam fase ini, kelembagaan di bidang pertanian masih didominasi oleh pemerintah dalam hal ini pengadaan, penyaluran serta penyediaan dilakukan oleh Padi Centra yang dibentuk oleh pemerintah, lembaga masyarakat maupun lembaga privat belum tersentuh (Suadi, 2009)Pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui banyak kesulitan dan tantangan di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papua atau nasi jagung di Sulawesi (Kusuma, 2013).

1.2 Program Bimas (1964 – 1979) Dalam rangka mencapai swasembada pangan, melalui intensifikasi padi, pada tahun 1973 Pemerintah Republik Indonesia membuat program Bimbingan Masal (BIMAS) berdasarkan Instruksi Presiden No. 4/1973. Program ini didahului dengan uji coba Bimas di Yogyakarta pada tahun 1969, dan diperbaiki menjadi Bimas Nasional pada tahun 1970/1971 sebelum diberlakukan sebagai program nasional pada tahun 1973. Inti pendekatan BIMAS adalah program pelayanan dalam 4 (empat) bagian yang terdiri dari penyuluhan pertanian, kredit bersubsidi, pasokan input, dan jasa pemasaran output. Program ini diterapkan dalam blok-blok, dan setiap blok terdiri dari 2 sampai 7 desa dengan 600 sampai 1.000 hektar sawah. Setiap blok Bimas memiliki empat fasilitas dasar, yaitu:

1. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)2. Sebuah toko eceran, yang dijalankan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) atau

pedagang swasta untuk memasok pupuk dan input-input lainnya;3. Sebuah agen yang mengelola perolehan, penyimpanan, dan pemrosesan

beras;4. BRI Unit sebagai Bank Desa yang akan menyediakan kredit yang

disubsidi untuk petani secara langsung. Program Bimas, saat dibuat, memiliki dua sasaran utama, yakni:

1. Untuk memainkan peranan yang penting dalam sasaran program intensifikasi padi dalam meningkatkan produksi beras secara cepat.

4

Page 5: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Program Bimas menekankan pinjaman untuk pengolahan varietas padi yang meningkatkan hasil panen di sawah dengan sistem irigasi yang baik;

2. Untuk meningkatkan pendapatan para petani miskin. Diasumsikan bahwa tanpa kredit, para petani tidak akan mampu untuk membeli input yang dibutuhkan dalam perkembangan teknologi padi baru yang memungkinkan hasil panen yang lebih signifikan.

Pada priode Bimas ini terjadi pergeseran pada penyediaan sarana produksi secara umum. Jika pada fase Pra-Bimas seluruhnya dimonopoli oleh pemerintah (Padi Centra), mulai bergeser ke lembaga komunitas, yaitu Koperta dan BUUD. Pergeseran kelembagaan ini tentunya tidak terlepas dari kondisi ekonomi secara umum mulai membaik, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mulai terintegrasi dengan perguruan tinggi serta hubungan-hubungan dengan negara-negara atau lembaga-lembaga donor (Suardi, 2009)Dalam Program BIMAS, pemberian kredit kepada petani tidak berupa uang tunai melainkan dipasok dalam bentuk materi, seperti benih, pupuk, dan insektisida, oleh KUD. Namun pengembalian kredit berupa uang tunai. Jumlah pinjaman ditentukan sesuai dengan luas lahan yang akan diolah oleh seorang petani. Keputusan pemberian pinjaman bukan berada pada BRI Unit Desa selaku Bank Desa ataupun Cabang BRI selaku intermediary institution, tetapi ditentukan oleh para pejabat Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Komite yang ditugaskan untuk memenuhi sasaran pemerintah dalam pinjaman Bimas.Oleh karena keputusan pinjaman Bimas bukan pada lembaga keuangan yang mengelola kredit tersebut, maka kredit yang seharusnya dicairkan untuk setiap petani yang berpartisipasi pada sebelum musim tanam, seringkali diterima para peminjam tidak tepat pada waktunya. Dengan demikian, para petani terpaksa menanam tanpa pupuk atau input lainnya, atau harus membeli dengan dana dari sumber penghasilan lainnya. Sumber dana tersebut berasal dari tabungan atau pinjaman informal. Paket pinjaman yang datang setelah petani melakukan penanaman menimbulkan permasalahan sendiri bagi petani. Akibat dari hal tersebut, para petani harus menggunakan meskipun musim tanam telah lewat atau menjual dengan harga murah atau menyimpan input-input pinjaman Bimas yang telah diterima.Pinjaman untuk pengolahan padi disediakan secara terpisah untuk musim kemarau dan musim hujan. Untuk mayoritas periode Bimas, pinjaman jatuh tempo tepat setelah penuaian panen yang menggunakan input Bimas. Akibatnya, para petani yang membayar pinjaman mereka dari hasil penjualan beras harus menjual dari hasil panennya pada saat harga berada pada titik terendah. Program Bimas mencapai puncaknya pada musim hujan tahun 1975/1976 dengan jumlah sekitar Rp 55 miliar (setara USD 133 juta pada waktu itu) yang diberikan kepada lebih 2,5 juta peminjam mencakup 2,2 juta hektar sawah. Akan tetapi, setelah masa itu terjadi kegagalan panen yang meluas. Kegagalan yang disertai dengan kelemahan dalam perancangan program, paket input yang tidak cocok untuk tanah banyak petani, dan strategi implementasi yang salah bimbingan telah mengakibatkan tingkat kegagalan pembayaran yang lebih tinggi. Pinjaman mengalami keterlambatan pembayaran hingga 90 hari atau lebih. Partisipasi terhadap program BIMAS pun mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni tidak sampai 0,5 juta peminjam dengan luas lahan tidak sampai 0,5 juta hektar pada musim tanam 1983/1984. (Data BRI dalam Robinson, 2001).Pada masa 1974-1984, pelunasan tepat waktu kredit BIMAS hanya rata-rata 57%,

5

Page 6: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

dan yang menjadi peserta umumnya petani-petani yang lebih kaya dari periode sebelumnya. Hal itu terjadi karena besar kredit BIMAS rata-rata adalah untuk satu hektar lahan per petani. Padahal, hanya sebagian kecil petani yang memiliki sawah seluas satu hektar atau lebih. Di Pulau Jawa, rumah tangga petani kebanyakan mempunyai luas sawah di bawah 0,25 hektar, bahkan sebagian besar tidak mempunyai lahan. Akhirnya pada tahun 1985, program Bimas diberhentikan secara resmi oleh pemerintah karena dinilai tidak mampu menjangkau para petani miskin secara effektif maupun memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Akan tetapi, meskipun program Bimas gagal, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan beras pada tahun 1985 yang merupakan tahun berakhirnya program Bimas. Kegagalan program Bimas terjadi karena banyak faktor. Faktor-faktor kegagalan Bimas berbeda di tiap desa, namun dapat ditarik satu kesimpulan yang mendasari adalah sama (Robinson, 2001), yakni:1. Tingkat bunga yang disubsidi mencegah kelangsungan institusional;2. BRI tidak diperbolehkan memilih peminjamnya sendiri3. Pinjaman dikaitkan dengan paket yang sudah ditentukan dan seringkali tidak

cocok atau bahkan kadang-kadang merusak tananam padi;4. Di banyak daerah subsidi kredit diberikan kepada warga desa yang telah

kaya;5. Di beberapa daerah, peminjam dipilih oleh para pejabat pemerintah demi

memenuhi target, meskipun tanah peminjam tidak cocok dengan input yang disediakan atau bahkan untuk penanaman padi;

6. Dalam beberapa tahun terjadi kegagalan panen yang parah, seringkali sebagai akibat langsung dari insektisida yang didistribusikan dalam paket Bimas;

7. Kebijakan Pemerintah untuk penjadwalan ulang pinjaman direncanakan dengan buruk dan seringkali diimplementasikan dengan korup;

8. Staf BRI Unit tidak dilatih dengan baik, bergaji rendah, tidak termotivasi, dan umumnya tidak dipedulikan dan dipandang rendah oleh bagian BRI yang lain.

Peran BRIDalam pelaksanaan kredit Bimas dan inmas, BRI ditunjuk sebagai bank pelaksana. Untuk mendukung proyek ini BRI mendirikan BRI Unit Desa yang khusus untuk pelayanan jenis kredit ini. Dana untuk program Bimas ini berasal dari pemerintah atau lembaga luar negeri dimana BRI hanya berfungsi sebagai penyalur disebut kredit chanelling (Mubyarto, 1994). Kredit Bimas yang dikelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. memotivasi BRI untuk membangun BRI Unit Desa di banyak tempat. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 % pertahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12%. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai musim tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80%, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57%. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan diduga karena adanya kebijakan “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa pinjaman tersebut suatu hari tidak harus dibayar (Nurmanaf, et all, 2006).

Hasil Bimas

6

Page 7: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

pada 10 tahun awal penerapan Bimas (sekitar 1970 - 1980), kurang lebih 45% area sawah di Indonesia dicover oleh program intensifikasi. Hasilnya terjadi kenaikan produksi beras yang ajek yields (Sawit and Manwan 1991; Pearson et al. 1991; Tabor 1992; Piggott et al. 1993). Untuk pertama kalinya, produksi beras domestik bisa memenuhi kebutuhan beras Indonesia, dan Indonesia akhirnya dideklarasikan sebagai swasembada beras (Widodo, 1989). Secara keseluruhan, program Bimas terlihat efektif, terutama secara nasional, pendekataan ini bisa dibilang sukses, Indonesia bisa swasembada beras di tahun 1985, setelah menjadi importir beras terbesar dunia selama bertahun – tahun (resosudarmo dan Yamazaki, 2006). Gejolak politik yang bertepatan dengan bencana kelaparan pada 1960-an yang memastikan bahwa ketahanan pangan tetap menjadi prioritas nasional, harga dikelola dengan hati-hati sehingga sebagian besar petani terus membuat kehidupan yang layak, sementara beras tetap tersedia di harga yang wajar (Mariyono, 2005). 1.3. Kredit Usaha Tani (1985 - 2000)KUT pada dasarnya merupakn lanjutan dari program Bimas. Perbedaannya, jika Bimas hanya disalurkan melalui Bank Rayat Indonesia (BRI) yang sepenuhnya didukung oleh Kredit Likwiditas Bank Indonesia (KLBI). Di KUT bank penyalur KUT adalah bank umum yang telah ditunjuk pemerintah (BRI, Bank Danamon, Bank Pembangunan Daerah). KUT pertama kali disalurkan sebagai kredit executing yaitu kredit dimana sebagian dananya berasal dari bank pelaksana dan sebagian lagi berasal dari pemerintah. Dengan demikian BRI sebagai bank pelaksana juga menanggung resiko bila terjadi kegagalan atau kredit macet. Penyaluram kredit KUT telah mengalami beberapa kali perubahan baik dari segi pembiayaan maupun sistem dan prosedur penyaluranya. Salah satunya adalah perubahan dari kredit executing menjadi kredit channelling2.Berikut adalah mekanisme pengajuan KUT :

1. Permohonan diajukan oleh Kelompok Tani dalam bentuk RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani) kepada Koperasi atau LSM.

2. Koperasi atau LSM menyampaikan permohonan KUT kepada Kantor Bank setempat dalam bentuk rekapitulasi RDKK disertai dengan RDKK masing-masing Kelompok Tani.

3. Penarikan kredit dilakukan oleh Koperasi/LSM sesuai dengan rencana penarikan KUT yang diajukan berdasarkan RDKK.

4. Untuk penarikan KUT, Koperasi/LSM harus menyerahkan surat pengakuan utang (surat aksep) yang ditandatangani oleh pengurus Koperasi/LSM

Kendala Dalam Penyaluran KUT3

Dalam penyaluran KUT saat ini terdapat beberapa kendala yang dihadapi,yaitu :

2Hastuti, dkk, Pendanaan Usaha Tani Padi Paska KUT, Kredit Ketahanan Pangan, SMERU 2002, hal. 1. 3 Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, edisi ketiga. LP3ES, Jakarta, 1994

1. Birokrasi Dalam Penyaluran KUT

7

Page 8: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Penyaluran KUT melibatkan dua departemen pemerintah dan  perbankan. Departemen terkait adalah departemen Pertanian dan Koperasi. Proses penyaluran KUT dimulai dari penyusunan kelompok tani, pembuatan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), perijinan KUD sampai dengan proses pengajuan kredit ke bank, melalui birokrasi yang membutuhkan waktu cukup panjang. Penyaluran KUT melalui KUD juga menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para petani, karena kelompok tani yang belum memiliki KUD harus melalui KUD lain atau malah harus mendirikan KUD baru. KUD baru biasanya tidak memiliki pengurus yang benar-benar tahu perkoperasian dan memiliki kemampuan untuk mengelola.2. Waktu Penerimaan dan Jumlah Kredit Yang Diterima Petani.

Dengan adanya birokrasi, penyaluran kredit kepada para petani menjadi tidak tepat waktu. Sebagian petani telah melakukan penanaman dengan dana sendiri atau meminjam dari pihak ketiga, dimana bunganya relatif mahal. Petani yang belum melakukan penanaman menjadi terlambat penanamannya, sehingga tidak sesuai musim tanam. Akibatnya kemungkinan besar akan terjadi kegagalan panen. Keterlambatan kredit juga menyebabkan KUT tidak tepat sasaran lagi, karena sebagian besar KUT diterima petani dalam bentuk sarana produksi (saprodi) yaitu bibit, pupuk dan obat-obatan yang sudah tidak dapat dipakai lagi oleh petani karena telahlewat waktu.3. Penyaluran dan Penentuan Skim Kredit

Proses penetapan sistem penyaluran maupun skim kreditnya hanya dilakukan oleh depertemen terkait, tanpa melibatkan para petani. Sebagai contoh, penyaluran melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ternyata malah menimbulkan permasalahan baru karena sebenarnya LSM tidak mengetahui seluk-beluk pertanian. Kemudian penyaluran melalui KUD yang berbentuk saprodi ternyata tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh petani.4. Pembinaan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL).

Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dari departemen Pertanian mempunyai tugas untuk melakukan penyuluhan dan pembinaan kepada para petani. Namun kenyataan dilapangan petugas PPL, hanya aktif saat penyusunan RDKK untuk pengajuan kredit.5. Persyaratan, Prosedur dan Skim Kredit.

Penyaluran KUT dilakukan berdasarkan musim tanam. Persyaratan kredit, prosedur dan skimnya untuk tiap tahun tidak sama. Perubahan persyaratan biasanya dilakukan karena terdapat permasalahan yang ada pada koperasi atau debitur sendiri. Sebagai contoh adalah persyaratan KUD untuk dapat memperoleh kredit tidak memiliki tunggakan KUT atau maksimum tunggakan 10%. Mengingat banyaknya tunggakan pada tiap KUD, maka persyaratan tersebut dipermudah menjadi tunggakan dibawah 25%.Kemudian adanya perubahan kewenangan analisa dan pemutus kredit yang semula ada di pihak bank pelaksana menjadi wewenang Departemen Koperasi. Perubahan tersebut dapat memberikan image yang tidak baik bagi para petani, karena mereka menjadi kurang disiplin dalam pengembalian kreditnya.6. Keterbatasan Anggaran Pemerintah

Dengan kondisi ekonomi yang belum membaik dewasa ini, maka harus ada alternatif lain sebagai sumber pembiayaan, misalnya dari bank pelaksana sendiri. Pemberian KUT harus dianalisa kelayakannya seperti kredit pada umumnya. Jika

8

Page 9: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

pemerintah tetap akan memberikan subsidi dengan memberikan dana murah kepada para petani, maka pemberian dana tersebut tetap dapat dilakukan melalui bank pelaksana, sedangkan tehnis pemberian dan analisa kredit sepenuhnya diserahkan kepada bank pelaksana. Subsidi dapat pula diberikan kepada para petani melalui pemberian saprodi dengan harga murah.Sejak tahun 1990-an, kinerja kredit usaha tani mengalami penurunan baik dilihat dari aspek penyalurannya yang cenderung menurun maupun dari tingkat pengembaliaanya. Artinya terjadi peningkatan tunggakan yang signifikan, kecuali pada tahun 1998/1999, dimana terjadi peningkatan volume kredit pertanian hingga 2000 persen yang disebabkan perubahan kebijakan pemerintah dalam penetapan plafon dan mekanisme penyaluran. Pada periode sebelumnya penyaluran kredit menggunakan mekanisme executing, dimana bank penyalur berperan sebgi pemutus kredit, sementara pada tahun 1998/1999 pola yng digunkan adalah chanelling. Keputusan kredit berada di Dinas Koperasi, sedangkan bank hanya bertindak sebagai perantara pencairan dana saja. Kebijakan penyalurn kredit pertanian kemudian diubah kembali menjadi pola excecuting pada thun berikutnya, karena pola chanelling dinilai tidak efektif dalam seleksi calon nasabah (Ashari, 2009).

Hasil KUTFakta menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani yang ditargetkan, terutama petani miskin yang berakibat sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp 300 miliar pertahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp 8 triliun pada musim tanam 1998/99). Sejak program ini diaplikasikan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25%, walaupun tingkat bunga diturunkan dari 14% pada tahun 1985-1995 dan menjadi 10,5% pada tahun 1995-1998/99) (Nurmanaf, et all, 2006)

1.3 Kredit Ketahanan Pangan (2000 - 2007)

Kebijakan Kredit4

Mengacu pada UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara pemerintah Indonesia dan IMF, maka (i) Bank Indonesia (BI) tidak lagi menyalurkan kredit program; (ii) pola penyaluran kredit tidak lagi melalui pola chanelling tetapi melalui pola executing, dan (iii) tingkat suku bunga yang diberikan kepada petani adalah suku bunga pasar (komersial). Sebagai upaya pemerintah menyediakan kredit pertanian guna mendorong pembangunan sektor pertanian, namun tetap sejalan dengan ketentuan dimaksud, maka Departemen Pertanian dengan dukungan beberapa bank berinisiatif menyediakan skema kredit baru yang disebut Kredit Ketahanan Pangan (KKP).

4Hastuti, dkk, Pendanaan Usaha Tani Padi Paska KUT, Kredit Ketahanan Pangan, SMERU 2002, hal. 2.

9

Page 10: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Tujuan KKP adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan meningkatkan pendapatan petani, peternak, nelayan melalui penyediaan kredit investasi dan/atau modal kerja dengan tingkat bunga yang terjangkau. Meskipun dalam KKP bank bertindak sebagai executing agent, tetapi peran pemerintah masih diperlukan dalam rangka transisi, terutama dalam penyediaan subsidi bunga. Subsidi bunga ini direncanakan secara bertahap akan dikurangi dan akhimya dihapuskan mengingat keterbatasan dana pemerintah dan dalam rangka mendidik petani untuk mandiri. Pada tahun 2001, besarnya subsidi KKP-padi, jagung,kedelai, ubi kayu dan ubi jalar adalah 10%, berturut-turut dikurangi menjadi 6% (2002), dan 3% (2003), selanjutnya muIai 2004 tidak disubsidi lagi. Untuk KKP-ternak dan KKOP-Pangan subsidi tahun pertama hanya 6%. KKP sektor pertanian digunakan untuk membiayai (1) petani, dalam rangka intensifikasi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar; (2) peternak, dalam rangka peternakan sapi potong, ayam buras, itik; dan (3) petani ikan, dalam rangka usaha budidaya ikan dan atau bersama-sama dengan usaha budidaya peternakan ayam buras. Bagi komoditas yang tidak termasuk dalam KKP maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, mempersiapkan skema kredit agribisnis khususnya bagi komoditas unggulan yang layak dibiayai dan mempunyai prospek pasar yang cerah, misalnya tebu.Persyaratan Petani, Kelompok Tani, Koperasi, dan BankPersyaratan petani yang dapat memperoleh KKP adalah petani penggarap dan/ataupetani pemilik penggarap dengan luas garapan maksimal 2 (dua) ha. Petani tersebutberumur sekurang-kurangnya 18 tahun atau sudah menikah dan bersedia mengikuti petunjuk PPL atau Dinas Pertanian setempat, serta mematuhi ketentuan-ketentuan sebagai peserta KKP.Adapun persyaratan kelompok tani untuk dapat mengakses KKP antara lain mempunyai organisasi dengan pengurus aktif, minimal ketua dan bendahara, mempunyai anggota yang melaksanakan budidaya komoditas yang dibiayai KKP, dan bersedia mengadakan tabungan kelompok tani yang disimpan pada bank yangbersangkutan. Sementara itu, persyaratan koperasi dalam menyalurkan KKP adalah sudah berbadan hukum, mempunyai pengurus aktif, dan memenuhi persyaratan eligibilitas sesuai dengan ketentuan yang ada. Bank yang terlibat dalam menyediakan dan menyalurkan KKP adalah bank umum yang mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan (cq. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan) untuk ditunjuk sebagai bank pelaksana dan menyatakan kesediannya menyalurkan KKP dengan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.

Sumber Pendanaan dan Skema KreditDana KKP berasal dari beberapa bank yang telah menyatakan komitmennya sebagai penyedia dana dan pelaksana KKP. Setiap bank pelaksana akan mengajukan plafon dana yang dimilikinya untuk KKP. Tingkat suku bunga KKP yang dibebankan kepada penerima adalah sebesar suku bunga pasar yang berlaku pada bank pelaksana yang bersangkutan dikurangi dengan subsidi bunga yang diberikan pemerintah. Pada pelaksanaan tahun 2000/2001, suku bunga pasar ditentukanseragam secara nasional, yaitu 22% yang merupakan rata-rata suku bunga JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer Rate). Setelah dikurangi subsidi, suku bunga KKP tanaman pangan menjadi 12% per tahun. Sampai dengan Maret 2001

10

Page 11: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

tercatat 20 bank telah menyatakan komitmennya, antara lain BRI, BNI,Bank Mandiri, Bukopin, BCA, dan 9 BPD.Tahapan penyaluran KKP adalah sebagai berikut:

1. Kelompok tani beserta anggotanya menyusun RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani) untuk kebutuhan KKP, 1 (satu) bulan sebelum musim tanam;

2. PPL membantu penyusunan RDKK dan mengesahkan blanko RDKK;3. RDKK yang sudah ditandatangani oleh ketua kelompok tani dan PPL

disampaikan langsung ke bank pelaksana atau melalui koperasi. Dalam hal pengajuan KKP melalui koperasi, maka permohonan KKP disampaikan melalui koperasi kepada bank pelaksana dalam bentuk rekapitulasi RDKK disertai RDKK masing masing kelompok tani;

4. Bank pelaksana meneliti kelengkapan dokumen RDKK;5. Kelompok tani atau koperasi menandatangani akad kredit dengan bank

pelaksana;6. Bank pelaksana menyalurkan KKP kepada kelompok tani atau koperasi

yang selanjutnya disalurkan kepada anggota kelompok tani;7. Pengembalian KKP disampaikan langsung oleh kelompok tani kepada

bank pelaksana atau melalui koperasi setelah panen tanpa menunggu saat jatuh tempo;

8. Untuk mengantisipasi keselamatan petani dan resiko kredit, maka dianjurkan untuk mengikuti program asuransi orang maupun asuransi kerugian;

1.4. KPP-E

Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, mulai Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati. Energi alternatif dimaksud disini berbasis ubi kayu/singkong dan tebu diintegrasikan dengan Skim KKP yang telah ada sehingga berubah menjadi Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). KKP-E merupakan skim kredit yang ditetapkan Pemerintah dengan pola penyaluran executing5. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi yang selanjutnya disebut KKP-E, adalah kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar Nabati. Bank Pelaksana KKP-E meliputi 21 Bank yaitu 8 (delapan) Bank Umum : Bank BRI, Mandiri, BNI, Bukopin, CIMB Niaga, BRI Agroniaga, BCA, dan BII serta 14 (empat belas) Bank Pembangunan Daerah (BPD) yaitu : BPD Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua , Riau, Nusa Tenggara Barat dan Jambi.5Direkrorat pembiayaan pertanian, Pedoman Teknis Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, 2013

11

Page 12: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Besarnya tingkat suku bunga kredit ban, tingkat bunga kepada peserta KPP-E, dan subsidi bunga adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Tingkat bunga bank, ingkat bunga peserta KPP-E, dan subsidi bunga

No. Uraian Tingkat bunga bank

Tingkat bunga kepada peserta

Subsidi bunga

1 KPP-E tebu 10,5% 6,0% 4,5%2 KPP-E lainnya 11,5% 4,0% 7,5%Ketentuan tingkat bunga tersebut mulai berlaku tanggal 1 oktober 2012 - 31 maret 2013

Sumber dana dan resiko Kredit a. Sumber dana KKP-E berasal dari Bank Pelaksana; b. Risiko KKP-E ditanggung sepenuhnya oleh Bank Pelaksana; c. Pemerintah menyediakan subsidi suku bunga dan risk sharing untuk

komoditas tertentu, yang disepakati oleh Pemerintah dan Perusahaan Penjamin;

d. Keputusan akhir kredit ada pada Bank mengingat risiko kredit sepenuhnya ditanggung Bank.

2.dPerbandingan Program Kredit Pertanian

Berdasarkan program kredit pertanian yang pernah ada di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antar program kredit pertanian adalah sumber dana, siapa penyalurnya, dan mekanisme kreditnya.

Tabel 2 : Perbandingan sumber dana, penyalur, dan mekanisme antar kredit pertanian

No Program Sumber Dana Penyalur Mekanisme1 Bimas Pemerintah Bank (BRI) Pinjaman petani tidak

diterima secara tunai, tetapi dalam bentuk saprodi. Petani mengajukan kredit ke BRI langsung

2 KUT Sebagian pemerintah sebagian Bank, lalu Bank saja, lalu pemerintah.

Bank (BRI, Bank Danamon, Bank Pembangunan Daerah)

Kelompok Tani mengajukan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani) kepada Koperasi atau LSM. Koperasi atau LSM menyampaikan permohonan KUT kepada Kantor Bank setempat dalam bentuk rekapitulasi RDKK

12

Page 13: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

disertai dengan RDKK masing-masing Kelompok Tani. Penarikan kredit dilakukan oleh Koperasi/LSM sesuai dengan rencana penarikan KUT yang diajukan berdasarkan RDKK.

3 KPP Bank dengan bunga disubsidi sebagian oleh pemerintah

Bank (BRI, dan beberapa bank lain)

Kelompok tani membuat RDKK, kemudian RDKK tersebut diajukan ke Bank pelaksana atau koperasi (jika ke koperasi, koperasi tersebut akan memeberikan rekapitulasi RDKK ke Bank pelaksana). Bank Pelaksana menganalisa RDKK, jika disetujui, dana akan langsung diberikan oleh Bank ke kelompok tani atau ke koperasi.

4 KPP-E Bank dengan bunga disubsidi sebagian oleh pemerintah

Bank (BRI, dan beberapa bank lain)

Mirip dengan KKP

Dapat dilihat bahwa selama ini hanya Bimas yang menggunakan sumber dana keseluruhan dari pemerintah (dari dana KLBI), namun setelah itu, pada era KUT KKP, dana berasal dari bank pelaksana, sehingga jika ada gagal bayar maka penanggungnya adalah Bank, sehingga wajar saja jika bank sulit untuk mengucurkan dana untuk sektor yang beresiko seperti pertanian. Dari tabel dibawah dapat dilihat bahwa belum pernah tidak ada gagal bayar dalam kredit pertanian di Indonesia dari tahun 1971 sampai tahun 1999, dengan range gagal bayar antara 3,2% sampai 72,4%.

Tabel 3 : Jumlah kredit, jumlah yang dikembalikan, serta presentaseTahun fiskal Jumlah Kredit Jumlah yang

DikembalikanJumlah Gagal Bayar (dalam persentase)

1971/1972 9,81 9,5 3,21972/1973 15,2 14,5 4,61973/1974 36,5 33,6 7,91974/1975 53,1 48,4 8,8

13

Page 14: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

1975/1976 72,3 64,9 10,21976/1977 71,3 61,9 13,21977/1978 62,5 52,8 15,51978/1979 60,3 50,4 16,41979/1980 49,5 42,6 141980/1981 50,1 40,8 191981/1982 59,8 43,2 281982/1983 81,7 57,3 301983/1984 33,6 24,9 261984/1985 8,6 7 18,61985/1986 9,6 8,8 8,31986/1987 13,1 11,8 9,91987/1988 74,8 40,3 461988/1989 33,2 3 91

-- -- -- ---- -- -- --

1995/1996 207,5 177,4 14,51996/1997 229,4 180,6 21,31997/1998 374,6 307,8 17,81998/1999 8362,1 2304 72,4

Sumber : kementrian pertanian, 2006

Melihat tingginya angka gagal bayar diatas, maka wajar saja jika proporsi pembiayaan bank untuk sektor pertanian sangat kecil jika dibandingkan denga pmbiayaan untuk sektor lain.

Gambar 1 : Perbandingan sektor usaha yang dibiayai Bank

Sumber : Bank Indonesia, 2013

14

Page 15: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

3. Skema Kredit Pertanian Berdasarkan Ekonomi Syariah

Sumber dana

Dalam islam kesejateraan rakyat merupakan tanggungjawab pemerintah. Bukan tanggung jawab pihak swasta seperti perbankan, sehingga sumber dana kredit pertanian seharusnya berasal dari pemerintah. Allah berfirman dalam surat At-Taubah:60

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Penghapusan kemiskinan dari sebuah masyarakat merupakan salah satu tugas utama dari negara atau pemerintah. Islam mewajibkan kepada negara agar menjamin terjadinya distribusi kekayaan nasional yang merata. Diantaranya ialah dengan menegakkan dan menerapkan hukum zakat, memberdayakan baitul mal (bazis), `ushur, kharaj (pajak tanah), ghanaim (harta rampasan perang), ihsan, dan melarang riba. Hal-hal tersebut memainkan peran yang sangat penting dan efektif untuk menghapuskan kemiskinan dan kondisi sulit dalam masyarakat. Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41:

15

Page 16: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

"(Yaitu) orang-orang yang apabila kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan".Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tarmizi dijelaskan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas hajat hidup orang banyak. Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat).( H.R Abu Daud dan Tarmizi)

Ulama dan intelektual yang merupakan madhab pertama dalam ekonomi Islam, Muhammad Al-Baqir Ash-Shadar berpendapat bahwa negara bertanggungjawab atas tiga hal, ya i tu jaminan sos ial , kese imbangan sos ia l dan intervensi. Ketiga hal tersebut haruslah diwujudkan agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Dalam pembuakan Undang-undang dasar 1945 juga dijelaskan bahwa tujuan negara ini untuk menciptakan kesejahteraan umum “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,…”Berdasarkan dalil-dalil naqli tersebut, maka sudah seharusnya dana untuk kredit pertanian berasal dari pemerintah, karena sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.

PenyalurSama dengan program – program sebelumnya, penyalur dalam kredit pertanian dengan skema ini adalah Bank penyalur dan juga KUD.

Mekanisme 1. Sama seperti program kredit pertanian yang sebelumnya, mekanisme

penyaluran menggunakan sistem kelompok, sehingga jika ada salah satu anggota kelompok gagal, maka satu kelompok tidak akan bisa mendapatkan kreditnya kembali sampai tunggakannya dilunasi. Kelompok mengajukan RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok) ke Bank penyalur langsung. Bank yang akan memutuskan apakah akan memberikan kredit atau tidak.

2. RDKK diajukan ke Bank penyalur dalam jangka waktu 60 sampai 30 hari sebelum masa musim tanam.

3. Bank kemudian akan menilai apakah kelompok tani tersebut dan RDKKnya layak mendapatkan kredit.

4. Akad yang digunakan dari bank penyalur ke petani adalah musyarokah. Musyarokah adalah akad kerjasama natar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

16

Page 17: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Dengan akad musyarokah akan lebih menguntungkan bagi petani jika terjadi gagal panen, karena petani tidak menanggung keseluruhan kerugian. Sehingga akan memudahkan mereka di musim tanam selanjutnya.

Rate bagi hasilRate bagi hasil bisa disesuaikan per provinsi atau per kerasidenan, karena harga jual dan kondisi panen per wilayah akan cenderung mirip, sehingga rate bisa ditentukan. Tantangannya adalah data, penentuan rate bagi hasil menuntut data per wilayah yang perlu terus di update tiap tahunnya, untuk menentukan prediksi keuntungan, dan ataupun kemungkinan kerugian yang harus juga ditanggung pemerintah.Akan lebih baik jika pinjaman yang diberikan dalam bentuk saprodi (sarana produksi padi), untuk menghindari uang pinjaman yang diberikan digunakan untuk kegiatan yang konsumtif. Namun untuk ini perlu koordinasi yang lebih lanjut tentang penyediaanya dan lain – lain. Pinjaman dalam bentuk saprodi pernah dilakukan pada masa program Bimas.

5. Kelompok tani menandatangani akad musyarokah dengan pemerintah yang diwakili bank penyalur.

6. Bank penyalur menyalurkan dana kepada kelompok tani 7. Pengembalian dana disampaikan langsung oleh kelompok tani kepada bank

penyalur setelah panen tanpa menunggu saat jatuh tempo.

4. Potensi Pengimplementasian Kredit Pertanian Dengan Skema SyariahDari program kredit pertanian yang telah ada sampai sekarang, tentu saja semua program mengenakan tambahan bunga saat petani mengembalikan pinjamnnya. Di tengah sistem moneter konvensional yang seperti ini, bagaimanakah peluang diimplementasikannya sistem program kredit pertanian syariah ini?Mengenai sumber dana, yang menurut penyusun seharusnya berasal pemerintah, sebenarnya alokasi APBN untuk sektor pertanian sudah cukup besar, yaitu 15,4 Triliun (APBN 2014). Adanya alokasi dana APBN bisa dimanfatkan untuk membiayai program kredit pertanian ini. Apalagi selama ini sebagian besar alokasi dana APBN untuk pertanian digunakan untuk memberikan subsidi, baik pupuk, benih, dan juga program peningkatan produksi lain untuk mencapai swasembada pangan.

17

Page 18: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Gambar 2 : Alokasi APBN untuk sektor pertanian

Sehingga, pengalokasian APBN untuk program kredit pertanian sangat memungkinkan untuk dilakukan. Skema bagi hasil dengan pemerintah sebagai pemilik dana mungkin adalah hal yang baru bagi program kredit pertanian, namun tidak untuk petani. Petani, pada sistemnya yang masih tradisional telah biasa menggunakan sistem bagi hasil ini, di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema, 1985). Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk dibagi dua, di Sumatera barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan setrusnya, di sulawesi selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua, di bali dikenal nandu, telon, ngemepat-empat, dan ngelima-lima, sedangkan di jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya. Dengan familiarnya sistem bagi hasil di masyarakat Indonesia, maka pengimplementasian sistem ini akan semakin mudah. Sebagai Bank penyalur, yaitu BRI, telah mempunyai pengalaman menjadi bank penyalur kredit pertanian dari era Bimas di tahun 1971. Sehingga bukan hal yang baru lagi untuk BRI sebagai bank penyalur kredit petanian, apalagi jaringan BRI juga mendukung. Sampai kuarter 1 tahun 2013, jaringan kantor BRI telah mencakup 18 Kantor Wilayah, 446 Kantor Cabang, 545 Kantor Cabang Pembantu, 5.001 Unit BRI, 919 Kantor Kas, 1.804 Teras BRI dan 350 Teras Mobile. Dengan kuatnya pengalaman dan jaringan BRI, diharapkan bisa memudahkan petani untuk mengakses dana kreditnya.

KESIMPULAN

1. Program kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swasembada pangan. Pada tahun 1985 Indonesia akhirnya mencapai swasemabada pangan, salah satunya adalah berkat adanya kredit pertanian (Bimas). Namun akhirnya Bimas diganti dengan program Kredit Usaha Tani, karena dianggap tidak mampu mengakomodir petani miskin, dan juga berbagai penyebab lainnya. Program pertanian terus berganti, sampai saat ini program yang ada adalah KKP-E

18

Page 19: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

(Kredit Ketahanan Pangan dan Energi).Yang membedaan antara satu program dengan program yang lain adalah dari sumber dananya, penyalur, dan mekanisme pengajuan dana. Dana bersumber dari pemerintah, bank, dan juga ada yang gabungan antara bank dan pemerintah, penyalurnya adalah KUD (Koperasi Unit Desa) dan juga Bank penyalur, mekanisme bisa melalui kelompok tani ataupun individu. Kredit pertanian. Kredit pertanian dengan skema syariah ini berpeluang untuk diimplementasikan di Indonesia, karena adanya dukungan APBN, petani Indonesia yang familiar dengan sistem bagi hasil, dan dukungan infrastruktur bank penyalur yang mumpuni.

2. Kredit pertanian dengan skema syariah ini menggunakan akad musyarokah, dengan rate bagi hasil yang akan ditentukan per wilayah. Sumber dana untuk kredit berasal dari pemerintah, bukan dari bank penyelenggara. Kredit pertanian dengan skema syariah ini berpeluang untuk diimplementasikan di Indonesia, karena adanya dukungan APBN, petani Indonesia yang familiar dengan sistem bagi hasil, dan dukungan infrastruktur bank penyalur yang mumpuni.

Daftar Pustaka

Alquranul karim

Ade Supriatna, “Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani Di Tingkat Pedesaan”, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009

Ashari, dan Saptana, “Prospek Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian”, forum penelitian agroekonomi. Volume 23 No 2, Desember 2005, 132 – 147

Dibyo Prabowo dan Muyanja Ssenyonga, “A Critique of Rice Policy in Indonesia: from the New Era Regime to the Present day”, Universitas Gajah Mada

Direkrorat pembiayaan pertanian, Pedoman Teknis Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, 2013

Hastuti, dkk, “Pendanaan Usaha Tani Padi Paska KUT, Kredit Ketahanan Pangan” , SMERU 2002

Infobanknews.com, “BRI Antisipasi Persaingan Segmen Mikro Lewat Perluasan Jaringan”, www.infobanknews.com, diakses 25 maret 2014

Jatiharti, dkk, “The System of Rice Intensification in INDONESIA”, research institute for rice, agency for agricultural research and development

Kim, Juno, “A Credit Risk Model For Agricultural Loan Portofolios Under The New Basel Capital Accord”, disserttion for doctor of philosophy Taxas A&M University

Merza Gamal, “Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru”, http://merzagamal.blogspot.com, diakses tanggal 23 maret 2014 jam 14.23

19

Page 20: file · Web viewProgram kredit pertanian di Indonesia sudah dimulai dari tahun 1970an, dengan tujuan untuk Indonesia swa. sembada pangan. Pada tahun

Nurmanaf, dkk, “analisis sistem pembiayaan mikro dalam mendukung usaha pertanian di pedesaan”, pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian badan penelitian dan pengembangan pertanian departemen pertanian 2006

Surono Indro, “Menyoal Kredit Mikro Pertanian”, Wacana No 14, November – Desember 1998

Supandi dan Sumedi, “Tinjauan Umum Kredit Pertanian”, ICASERD working paper No.25, 2004

Syahyuti, “Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Strategi Prospektif Reforma Agraria”, pusat penelitian dan pengembangan sosial pertanian, AKP. Volume 2 No.2, juni 2004, 157 – 156

20