BAB 2. KIBLAT TEORITIS - UKSW...awal tahun 1970an (Sullivan dan Lussier 1995). Ada berbagai bentuk...
Transcript of BAB 2. KIBLAT TEORITIS - UKSW...awal tahun 1970an (Sullivan dan Lussier 1995). Ada berbagai bentuk...
9
BAB 2. KIBLAT TEORITIS
2.1. Definisi dan Nalar Konsep
2.1.1. Flextime
Flexible work arrangement mulai popular pada
awal tahun 1970an (Sullivan dan Lussier 1995). Ada
berbagai bentuk flexible work arrangement, seperti job
share, telecomutting, flextime dan sebagainya. Praktik-
praktik kerja yang fleksibel telah banyak diaplikasikan
dalam perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan
karyawan dalam mengelola kerja dan keluarga
sehingga diharapkan dapat menurunkan role conflict,
role overload, reduced personal accomplishment
kepuasan kerja dan meningkatkan intention to stay
with firm.
Hook dan Higgs (2000, dalam Yustrianthe, 2008)
menyebutkan bahwa jam kerja fleksibel (flextime)
mengarahkan karyawan untuk bekerja dengan jumlah
jam tertentu dengan fleksibilitas yang lebih besar atau
bekerja tidak sebanyak jam kerja yang telah
ditetapkan di kantor. Dengan demikian, jam kerja
fleksibel telah dinilai telah banyak membawa
perubahan dalam lingkungan kerja profesional saat
ini. Dilain pihak, profesional yang bekerja di
lingkungan yang menggunakan jam kerja standar
mensyaratkan agar mereka berkerja dalam waktu
tertentu dan sebanyak jam yang ditetapkan kantor.
Ketetapan jumlah jam kerja standar umumnya
mengacu pada aturan ketenagakerjaan yang
10
ditetapkan oleh pemerintah sebanyak 8 jam per hari
mulai jam 08:00 sampai 17:00 WIB. Akan tetapi,
aplikasi yang sesungguhnya sangat tergantung pada
kebijakan perusahaan. Fleksibilitas pada jam kerja
(flextime) dalam studi ini untuk selanjutnya disebut
jam kerja fleksibel.
Astuti (2010) menjelaskan flextime merupakan
jadwal kerja yang memberikan kebebasan tentang
pengaturan waktu kerjanya. Flextime dalam penelitian
ini mengukur kebebasan individu dalam menentukan
berbagai pilihan mengenai jam masuk dan pulang
kerja, waktu libur serta pilihan waktu istirahatnya.
Hal yang sama juga disebutkan pada Kamus Bisnis
(2014) menulis flextime (jadwal fleksibel) adalah
kebijakan yang memungkinkan pekerja untuk memilih
jam kerja mereka.
2.1.2. Total Returns
Pada sebuah survei, Career System International
meminta pegawai menyusun urutan faktor-faktor
kepuasan kerja yang paling penting bagi mereka (Hedg-
er, 2007). Lima faktor yang paling tinggi adalah :
• Lingkungan kerja yang menarik dan menantang
• Pembelajaran dan kesempatan berkembang
• Bekerja dengan orang-orang baik dan tepat
• Gaji yang adil
• Atasan yang mendukung
Hasil survey tersebut didukung oleh Ketter (2008)
melalui survey dengan 75 pertanyaan dalam kuesioner
yang disebar secara online (yang mencakup enam
11
kategori engagement yaitu : orang-orang yang bekerja
sama dengan mereka, apa yang mereka kerjakan,
ketersediaan kesempatan berkembang, penghargaan
dan pengakuan, perusahaan itu sendiri, dan
lingkungan kerja) diketahui bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi employee engagement sehingga
bertahan di dalam perusahaannya adalah
mengerjakan pekerjaan yang menarik dan menantang,
memiliki pertumbuhan karir dan pembelajaran serta
kesempatan berkembang, bekerja dengan orang-orang
yang tepat, mendapatkan gaji yang adil, adanya
manajemen yang supportif, dan adanya pengakuan
serta penghargaan. Sedangkan menurut paradise
(2008) yang melakukan penelitian dengan top man-
agement dari beragam sektor industri nasional
maupun multinasional, employee engagement
dihasilkan dari beberapa faktor antara lain
kompensasi, kualitas kerja, dan karakteristik
kepribadian.
Khan (1990, dalam Saks, 2006) melaporkan
bahwa seseorang memiliki tingkat engagement yang
berbeda-beda sebagai fungsi dari persepsi mereka
terhadap benefit yang mereka terima dari peran
mereka. Pegawai akan lebih engange terhadap
pekerjaannya apabila mereka mendapatkan
penghargaan dan pengakuan untuk performasi
mereka.
Total returns dapat diukur dari 3 variabel
independen yaitu kompensasi, status/ pengakuan,
kesempatan berkembang yang diteliti menggunakan
variabel moderator yaitu usia dan masa kerja
12
(Wulandari, 2011). Semua variabel tersebut telah
diteliti hubungannya dengan sebuah variabel
dependen. Hasil penelitian Wulandari adalah :
• Kompensasi tidak berpengaruh terhadap tingkat
engagement dosen ITB
• Status pengakuan sangat berpengaruh dan bersifat
positif terhadap tingkat engagement dosen ITB
• Kesempatan berkembang tidak berpengaruh
terhadap tingkat engagement dosen ITB
• Variabel moderator usia dan masa kerja hanya
berpengaruh terhadap hubungan antara
kompensasi dan tingkat engagement dosen ITB.
2.1.3. Employee Engagement
Employee engagement didefinisikan dalam
berbagai cara dan definisi. Paradigma employee en-
gagement merupakan alternatif yang kuat sebagai
pendekatan kepada perubahan organisasi. Paradigma
ini menghasilkan organisasi dengan orang-orang yang
mengerti tentang organisasinya dan berkeinginan
untuk beraksi. Orang yang memiliki engagement akan
bekerja dan mengekspresikan dirinya secara kognitif,
emosional, atau konatif dalam melaksanakan
perannya di organisasi (Khan, 1990, p.654). Jadi
menurut Khan (1990, 1992), employee engagement
berarti keberadaan secara psikologis ketika bekerja
dan menjalankan perannya di organisasi. Menurut
Maslach et al. (2001), employee engagement dicirikan
dengan energy, involvement, dan efficacy, berlawanan
dengan dimensi burnout yaitu exhaustion, cynicism,
13
dan inefficacy. Sedangkan menurut Macey dan
Schneider (2008), employee engagement dapat
didefinisikan melalui elemen-elemennya yaitu trait en-
gagement (pandangan positif mengenai kehidupan dan
pekerjaan), state engagement (perasaan memiliki
energi), dan behavior engagement (perilaku melebihi
tugas yang dibebankan).
Koscec (2007) melengkapi kategori employee en-
gagement menjadi empat kategori yaitu:
• Actively engaged. Pegawai secara emosional
berkomitmen terhadap pekerjaan dan organisasinya
pada setiap waktu (all the time). Mereka memiliki
motivasi diri yang tinggi dan benar-benar ingin
membuat perbedaan. Mereka selalu menunjukkan
performansi yang diharapkan.
• Engaged. Pegawai secara emosional berkomitmen
terhadap pekerjaan dan organisasinya pada waktu
yang seharusnya (most of their time). Mereka selalu
mencapai tetapi hanya sesekali menunjukkan
performansi yang diharapkan.
• Disenganged. Pegawai dalam kategori ini
menunjukkan bekerja secara rutin, tetapi hanya
sebatas itu. Mereka bekerja secara fisik, tetapi
pikirannya berada di tempat lain.
• Actively disengaged. Pegawai jenis ini tidak tertarik
dengan pekerjaan dan organisasinya, serta secara
aktif bekerja sekaligus menyebarkan rumor,
bergosip, menggerutu, dan performansinya buruk.
Beberapa percaya bahwa engagement adalah
sesuatu yang dibawa oleh seseorang ke dalam tempat
kerjanya (Harter, et.al., 2002 : Goddard, 1999).
14
Sementara beberapa peneliti lainnya percaya employee
engagement sebagai fenomena yang dihasilkan dari
beberapa kondisi dalam tempat kerja (McCashland,
1999 : Miles, 2001 ; Harter, Schmidt & Keyes, 2003).
Schaufeli, et al. (2002) mendefinisikan employee en-
gagement sebagai suatu pandangan yang positif,
perasaan terpenuhi, pernyataaan pikiran yang
berkaitan dengan pekerjaan, dicirikan oleh semangat
(vigor), dedikasi (dedication) dan perhatian penuh
(absoption). Vigor mengacu pada kemauan dan tekad
untuk mengerahkan energi dan usaha dalam pekerjaan
seseorang dan menjadi ulet serta gigih ketika
menghadapi rintangan. Dedication adalah sebuah
komponen-emosional dari employee engagement yang
mengacu kepada menemukan arti dan tujuan dalam
pekerjaan, menjadi antusias, terinspisari, dan bangga
dengan pekerjaannya. Absortion adalah komponen
kognitif dari employee engagement yang dimana orang
benar-benar tenggelam dan puas dengan pekerjaannya,
seperti waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk
melepaskan diri dari pekerjaan (salanova et al., 2005).
Akibatnya employee engagement dapat dicirikan
sebagai perasaan positif dan bersifat terus menerus
berkaitan dengan motivasi dalam penyelesaian
pekerjaan (Maslach, Scaufeli, & Leiter, 2001, p.417).
Dalam literatur akademik, employee engagement
berkaitan namun berbeda dengan beberapa istilah
dalam perilaku organisasi khususnya dengan organiza-
tional commitment, organizational citizenship behavior,
dan job involvement (Robinson et al, 2004). Organiza-
tional Citizenship Behavour (OCB) merupakan perilaku
15
sukarela dan informal untuk membantu rekan kerja
dan organisasi. Sedangkan fokus dari employee en-
gagement adalah keterlibatan yang bersifat formal
berkaitan dengan kinerja (role performance) seseorang
sesuai dengan perannya dalam organisasi. Employee
engagement juga berbeda dengan job involvement.
Menurut May et al. (2004), job involvement adalah hasil
dari penilaian kognitif tentang kemampuan dalam
menuaskan kebutuhan pekerjaan dan berkaitan
dengan citra diri seseorang. Job involvement ada
hubungannya dengan bagaimana individu dalam
melaksanakan pekerjaan mereka. Selanjutnya employ-
ee engagement melibatkan penggunaan secara aktif
emosi dan perilaku selain kognisi. May, et al (2004)
juga menyatakan bahwa engagement dapat dianggap
sebagai antecedent bagi job involvement.
Seorang karyawan yang engaged memiliki ciri-
ciri: antusias, energik, termotivasi, dan bergairah
dalam bekerja sedangkan pekerja tidak ter-engaged
bersikap apatis, seperti robot, terasingkan, dan
menarik diri dari pekerjaannya (Salanova, Agus, &
Peiro, 2005). Macey & Schneider (2008)
menggambarkan employee engagement sebagai
antusiasme dalam bekerja, sangat larut dalam
pekerjaan mereka, dan dengan tingkat energi yang
tinggi. Namun definisi paling umum digunakan untuk
employee engagement sebagai komitmen emosional dan
intelektual kepada organisasi (Baumruk, 2004 Rich-
man, 2006 ; Shaw, 2005). Rich dan tim (2010)
menunjukkan bahwa engagement mempengaruhi
16
kinerja secara positif sama kuatnya dengan mengontrol
job involvement, job satisfaction dan motivasi intrinsik.
2.2. Pengembangan Hipotesa
2.2.1. Pengaruh Flextime terhadap Employee En-
gagement
Penelitian-penelitian sebelumnya mengangkat
topik mengenai pekerjaan dan keluarga, di mana
sumber utama permasalahan tersebut dapat berasal
dari ketidakmampuan two income couples dalam
mengatur perannya di rumah karena keduanya sama-
sama bekerja di luar rumah. Hal tersebut pada
akhirnya juga akan menyebabkan permasalahan bagi
perusahaan, diantaranya tingginya tingkat role conflict
role overload, reduced personal accomplishment (Almer
dan Kaplan 2002) dan rendahnya tingkat job satisfac-
tion dan intention to stay (Mattis 1990).
Menurut Walls et al. (2001), hal tersebut dapat
dikurangi dengan meningkatkan pemahaman terhadap
penyebab timbulnya konflik dengan menawarkan suatu
bentuk kerja yang fleksibel (flexible work arrangement),
sehingga memungkinkan two income couples dalam
mengelola kerja dan keluarga. Flextime dapat berupa
bekerja dengan jam kerja per hari yang lebih sedikit
atau bekerja pada jumlah jam yang sama tetapi dengan
fleksibilitas yang lebih besar. Flextime membawa
perubahan di lingkungan kerja, dimana profesional
tidak perlu lama bekerja dalam jam yang sama dan
atau sebanyak jam yang ditetapkan kantor (Hooks dan
Higgs 2000). Pendukung jam kerja fleksibel
17
berpendapat bahwa jam kerja fleksibel dapat
meningkatkan kepuasan kerja dan keinginan kuat
untuk tetap tinggal di perusahaan (Mattis 1990).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa flexible
working hours berkorelasi positif dengan kepuasan
kerja dikarenakan mengurangi work family conflict dan
mengurangi turnover bagi yang menerapkannya. Studi
Almer dan Kaplan (2002) menguji pengaruh jenis jam
kerja, baik fleksibel maupun standar terhadap
beberapa variabel inti pekerjaan yaitu stressors, burn-
out dan behavioral job outcomes. Hasil riset
menunjukkan bahwa profesional lebih memilih jam
kerja fleksibel yang ternyata mengindikasikan
peningkatan secara signifikan dalam kepuasan kerja
dan keinginan untuk tetap bekerja pada perusahaan
serta menunjukkan penurunan pada reduced personal
accomplishment dan role conflict, role ambiguity dan role
overload. Studi Almer dan Kaplan (2002) menyebutkan
bahwa partisipan pada jam kerja fleksibel akan
mempunyai keinginan untuk tetap tinggal di perus-
ahaan yang lebih kuat daripada partisipan pada jam
kerja standar dan konflik yang dialami juga menjadi
lebih rendah.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Almer dan Kaplan, studi Cohen dan Single (2001)
secara khusus meneliti mengenai pengaruh negatif flex-
time terhadap kesempatan professional
mengembangkan diri. Partisipan studi adalah para sen-
ior dan manajer “the big five”. Hasilnya menunjukkan
bahwa karyawan pada flextime akan mempunyai
peluang pengembangan diri yang lebih rendah di masa
18
mendatang dan akan lebih tinggi jika meninggalkan pe-
rusahaan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas ,
maka dirumuskan hipotesis pertama sebagai berikut:
H1 : Flextime berpengaruh terhadap employee en-
gagement.
2.2.2. Pengaruh Total Returns terhadap Employee
Engagement
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka
mengenai pengaruh total returns terhadap tingkat em-
ployee engagement menunjukkan hubungan yang erat.
Dapat disimpulkan bahwa konsep dan teori yang ada
telah memberikan cukup informasi untuk menelusuri
variabel-variabel apa saja yang berpengaruh besar
terhadap employee engagement.
Pengaruh kompensasi terhadap employee en-
gagement. Secara teoritis, kompensasi total yang terdiri
atas kompensasi kas dan benefit (variabel independen)
yang ditawarkan organisasi kepada para pegawainya
dapat mempengaruhi tingkat employee engagement
(variabel dependen) terhadap perusahaannya. Ada
kemungkinan semakin tinggi kompensasi yang diterima
pekerja semakin besar pula kepuasan yang dicapai
pekerja sehingga lebih tinggi tingkat employee
engagementnya. Dari beberapa penelitian jelas
menyebutkan bahwa kompensasi berperan positif
dalam meningkatkan motivasi kerja karyawan
(Hermawan, 2008). Menurut Handoko, cara
19
meningkatkan prestasi, motivasi dan kepuasan kerja
adalah dengan memberikan kompensasi (1993: 156).
Pengaruh status/ pengakuan terhadap employee
engagement. Kompensasi bukan merupakan satu
satunya motivator yang membuat seseorang engaged.
Orang bekerja lebih dari sekedar untuk mendapatkan
uang. Status merupakan bagian dari relational return di
mana status merupakan kebutuhan psikologis
seseorang yang juga diharapkan terpenuhi dari
usahanya dalam bekerja. Rahman (2003, dalam
Hamdani, 2003) menyatakan bahwa gaji tidak terlalu
menarik dibandingkan dengan kehormatan dosen atau
penghargaan atas kontribusi yang diberikan. Dosen
merasa lebih nyaman dan berharga ketika mendapat
pengakuan yang tulus dari sesamanya.
Pengaruh kesempatan berkembang terhadap em-
ployee engagement. Pekerjaan selain diharapkan
menghasilkan sesuatu yang dapat mencukupi
kebutuhan finansial, juga merupakan media
aktualisasi diri yang selalu menjadi kebutuhan
manusia yang selalu ingin belajar, berkembang, dan
memiliki hidup yang harmonis. Milkovich & Newman
(2002) menyatakan bahwa kompensasi merupakan sa-
lah satu hal yang mempengaruhi perilaku seseorang
dalam bekerja tetapi selain itu pengakuan dan peluang
untuk maju juga turut berpengaruh.
Dari penjabaran di atas maka hipotesa yang
ingin diteliti penulis adalah kaitan antara total returns
yang meliputi (kompensasi, status/pengakuan dan
kesempatan berkembang) terhadap employee engage-
ment.
20
H2 : Total returns berpengaruh terhadap employee
engagement.
2.2.3. Gender dan status karyawan sebagai modera-
tor pada pengaruh flextime dan total returns
terhadap employee engagement
Dari pengamatan yang penulis lakukan,
ditemukan fenomena-fenomena pada pandangan status
sebagai karyawan tetap/permanen dan karyawan
kontrak. Terdapat beberapa jenis karyawan tidak
tertarik pada posisi kontrak. Selain itu, terdapat
dugaan karyawan kontrak bekerja lebih baik
dikarenakan kawatir akan status kontrak yang dapat
tidak diperpanjang, sedangkan karyawan
tetap/permanen merasa dengan status permanen maka
dapat bekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaan saja
karena resiko pemutusan hubungan kerja lebih kecil
kemungkinannya, sehingga hal ini berpengaruh pada
motivasi berprestasi.
Motivasi berprestasi menjadi komponen yang
sangat berperan penting dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Karyawan yang
mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan
mempunyai semangat, keinginan dan energi yang besar
dalam diri individu untuk bekerja seoptimal mungkin.
Herzberg (dalam Sarianto, jurnal ekonomi dan bisnis
2008) menjelaskan bahwa motivasi karyawan salah
satunya dipengaruhi oleh status pegawai (pegawai
tetap/ pegawai tidak tetap).
21
Seperti dijelaskan pada latar belakang perbedaan
jenis kelamin juga ditemukan berkontribusi terhadap
employee engagement. Laki-laki memilih memiliki
keterikatan lebih dengan pekerjaan karena posisinya
sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga,
sedangkan perempuan sebaliknya (Ferguson, 2006).
Dari penjelasan mengenai status kekaryawanan
dan gender, maka penulis ingin meneliti mengenai
pengaruhnya terhadap employee engagement.
H3a: Gender dapat berperan sebagai variabel mod-
erating dalam hubungan antara flextime dan
total returns terhadap employee engagement.
H3b: Status Kekaryawanan dapat berperan sebagai
variabel moderating dalam hubungan antara
flextime dan total returns terhadap employee
engagement.
2.3. Model Penelitian
Berdasarkan konsep-konsep dan komponen-
komponen pembangun konsep yang telah dikaji dalam
tinjauan pustaka dan penelitian sebelumnya, maka
dapat dirumuskan model konseptual.
22
Tabel 2.1 : Konsep dan definisi konseptual.
Konsep Definisi konseptual Penelitian sebelumnya
Flextime
Jam kerja fleksibel (flex time) mengarahkan karyawan untuk bekerja dengan jumlah jam tertentu dengan fleksibilitas yang lebih besar atau bekerja tidak sebanyak jam kerja yang telah ditetapkan di kantor (Hook dan Higgs, 2000).
Pendukung jam kerja fleksibel berpendapat bahwa jam kerja fleksibel dapat meningkatkan kepuasan kerja dan keinginan kuat untuk tetap tinggal di perus-ahaan (Mattis 1990). Studi Almer dan Kaplan (2002) menyebutkan bahwa partisipan pada jam kerja fleksibel akan mempunyai keinginan untuk tetap tinggal di perusahaan yang lebih kuat daripada partisipan pada jam kerja standar dan konflik yang dialami juga menjadi lebih rendah
Kompensasi
Milkovich dan Newman (2002) yang dikutip oleh Wulandari (2011) mengajukan beragam hal yang dapat diperoleh seseorang dari bekerja (total returns). Hal-hal tersebut dikategorisasikan sebagai kompensasi total dan relational returnss, yang kemudian total re-turns dapat dibatasi pada tiga varia-ble yaitu, kompensasi, status/ pengakuan, dan kesempatan berkembang. Kompensasi merupakan segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kontribusi yang telah diberikan kepada organisasi ( Davis & Werther,2002 )
Kompensasi berperan positif dalam meningkatkan motivasi kerja karyawan (Hermawan, 2008). Menurut Handoko, cara meningkatkan prestasi, motivasi dan kepuasan kerja adalah dengan memberikan kompensasi (1993: 156)
Status/ Pengakuan
Milkovich dan Newman (2002) yang dikutip oleh Wulandari (2011) mengajukan beragam hal yang dapat diperoleh seseorang dari bekerja (total returns). Hal-hal tersebut dikategorisasikan sebagai kompensasi total dan relational returnss, yang kemudian total re-turns dapat dibatasi pada tiga varia-ble yaitu, kompensasi, status/ pengakuan, dan kesempatan berkembang
Milkovich&Newman (2002) yang menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja tetapi selain itu pengakuan dan peluang untuk maju juga turut berpengaruh
Kesempatan
berkembang
Milkovich dan Newman (2002) yang dikutip oleh Wulandari (2011) mengajukan beragam hal yang dapat diperoleh seseorang dari bekerja (total returns). Hal-hal tersebut dikategorisasikan sebagai kompensasi total dan relational returnss, yang kemudian total re-turns dapat dibatasi pada tiga varia-
Milkovich&Newman (2002) yang menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja tetapi selain itu pengakuan dan peluang untuk maju juga turut berpengaruh
23
ble yaitu, kompensasi, status/ pengakuan, dan kesempatan berkembang
Gender
Perbedaan jenis kelamin juga ditemukan berkontribusi terhadap employee engagement. Laki-laki memilih memiliki keterikatan lebih dengan pekerjaan karena posisinya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga misalnya, sedangkan perempuan sebaliknya (Ferguson, 2006).
Status
Karyawan
Herzberg (dalam Sarianto, Jurnal ekonomi dan bisnis 2008) menjelaskan bahwa motivasi karyawan salah satunya dipengaruhi oleh status pegawai (pegawai tetap/ pegawai tidak tetap).
Gambar 2.1 : .Model konseptual (Hubungan Antar
Variabel)
24
Tabel 2.2 : Hipotesa Penelitian
H1 Terdapat pengaruh flextime terhadap employee engage-ment
H2 Terdapat pengaruh total returns terhadap employee en-gagement
H3a Gender adalah variabel yang dapat memoderating hubungan antara antara flextime dan total returns terhadap employee engagement
H3b Status Karyawan adalah variabel yang dapat memoderating hubungan antara antara flextime dan total returns terhadap employee engagement