Teknologi Pengolahan Batubara
-
Upload
eka-wulandari -
Category
Documents
-
view
149 -
download
4
description
Transcript of Teknologi Pengolahan Batubara
Teknologi Pengolahan Batubara
Penghilangan air (coal upgrading/dewatering)
Berbagai metode dan teknologi telah banyak digunakan untuk mengeringkan batubara baik itu buatan
asli indonesia maupun buatan asing dan dari semua teknologi yang ada memiliki satu tujuan yaitu
menciptakan teknologi batubara bersih, meningkatkan nilai kalori serta mengurangi kadar air ada yang
menggunakan cara pemanasan, dicampurkan dengan berbagai larutan, dibakar tanpa O2,dll. Berikut ini
akan dijelaskan berbagai teknologi pengeringan batubara serta penelitian-penelitian mengenai
pengeringan dan upgrading batubara yang sudah ada saat ini.
A. UBC (upgraded brown coal)
Kandungan air dalam batubara (air bebas maupun air bawaan) merupakan faktor penentu
tinggi rendahnya nilai kalori batubara. Kandungan air yang tinggi menyebabkan tingkat
pembakaran menjadi rendah akibatnya kandungan gas Co2 yang ditimbulkan menjadi tinggi yang
tentunya berdampak buruk terhadap lingkungan. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan
kalori dengan mengurangi kandungan air dalam batubara, salah satunya adalah Upgraded Brown
Coal (UBC). UBC merupakan salah satu cara penghilangan kadar air dalam batubara melalui
proses penguapan (evaporasi). Dibandingkan dengan teknologi peningkatan (upgrading) lainnya
seperti,hot water drying (HWD) atau steam drying (SD) yang dilakukan pada temperatur diatas
275°C dan tekanan yang cukup tinggi 5.500 kpa. Proses UBC relatif lebih sederhana dan dapat
dilakukan pada temperatur dan tekanan relatif rendah (temperatur antara 150° - 160° C, tekanan 2
-3 atm).
Proses UBC adalah sebagai berikut :Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas air
bebas (free moisture) dan air bawaan (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara
mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan
uap normal. Sedangkan air bawaan adalah air yang terikat secara fisik pada struktur pori-pori
bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan normal.
Kandungan air dalam batubara, baik air bebas maupun air bawaan, merupakan faktor yang
merugikan karena memberikan pengaruh yang negatip terhadap proses pembakarannya.
Penurunannya kadar air dalam batubara dapat dilakukan dengan cara mekanik atau
perlakuan panas. Pengeringan cara mekanik efektif untuk untuk mengurangi kadar air bebas
dalam batubara basah, sedangkan penurunan kadar air bawaan harus dilakukan dengan cara
pemanasan. Salah satu proses dengan cara ini adalah UBC (Upgraded brown coal) yang
diperkenalkan oleh Kobe Steel Ltd., Jepang. Bagan air proses UBC (Kobelco, Ltd., 2000) dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Air Proses UBC
Proses UBC dilakukan pada temperatur sekitar 150˚C sehingga pengeluaran tar dari
batubara belum sempurna. Untuk itu perlu ditambahkan zat aditif sebagai penutup permukaan
batubara, seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil), dan minyak residu. Untuk
proses UBC, sebagai aditif digunakan minyak residu yang merupakan senyawa organik yang
beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Dengan kesamaan sifat kimia
tersebut, minyak residu yang masuk ke dalam pori-pori batubara akan kering, kemudian bersatu
dengan batubara.
B. BCB (binderless coal briquetting)
C. Teknologi lainnya (Hot water drying, steam drying)
Teknologi Pemanfaatan Batubara
1. Pemanfaatan sebagai bahan bakar langsung
a. Pembakaran bata/kapur/genteng
b. Cyclo burner
2. Pemanfaatan sebagai bahan bakar tidak langsung
a. Gasifikasi Batubara
Gasifikasi batubara merupakan salah proses dalam industri pembuatan hidrogen.
Batubara direaksikan dengan uap air menjadi gas buatan yang terdiri dari gas karbon
monoksida (CO) dan hidrogen. Gas CO kemudian diubah menjadi hidrogen dan karbon
dioksida (CO2) dengan mereaksikannya lagi dengan uap air yang disebut proses water
gas shift (pergeseran gas-air). Untuk gasifikasi batubara diperlukan suhu tinggi (sekitar
1000 C) karena merupakan proses endoterm (reaksi yang memerlukan panas), sedang
proses pegeseran gas dengan air adalah proses eksoterm (reaksi yang mengeluarkan
panas), sehingga hanya membutuhkan suhu yang rendah untuk mengubah CO menjadi
hidrogen.
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi
batubara, yaitu tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang),
dan entrained flow (aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki
kelebihan dan kekurangan, maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh
karakteristik bahan bakar dan tujuan gasifikasi.
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak
besar, sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas,
sedangkan oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat.
Mekanisme ini akan menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga
waktu tinggal (residence time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta
menghasilkan produk sisa berupa abu. Karena penggas model ini beroperasi pada suhu
relatif rendah yaitu maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus
memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar
abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian bawah alat sehingga dapat
menyumbat bagian tersebut. Disamping produk utama yaitu gas hidrogen dan karbon
monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan persentase gas
metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai kalor gas
sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bedsesuai untuk produksi SNG (Synthetic
Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas Lurgi,
yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota
Gasification di AS untuk produksi SNG.
Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil
dibandingkan pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja.
Tipikal penggas ini memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan
oksidan dari bagian bawah. Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga
berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan
kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat
maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini
mengakibatkan tingkat konversi karbon pada tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja,
tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained flow yang dapat mencapai 99% atau
lebih. [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena penggas ini beroperasi pada suhu sekitar
600~10000C, maka batubara yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu
(softening temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang
dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan terganggunya kondisi
lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif rendah, penggas ini banyak
digunakan untuk memproses batubara peringkat rendah seperti lignit atau peat yang
memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang lain. Pengembangan lebih
lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat mengakomodasi secara
lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW
(Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler yang merupakan
pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler), dan KBR
(Kellog Brown Root) Transport Gasifier.
Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek –
proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat
ini, batubara yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau
kurang. Batubara serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan,
dapat berupa oksigen, udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara
1200~18000C, dengan waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi
sedemikian tinggi, pada dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan
karena abunya akan meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat
inert. Meski demikian, batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai
untuk penggas jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya
saja kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi
energi yang besar. Meskipun abu akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar
abu tinggi sebaiknya dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan panas
akibat proses pelelehan abu dalam jumlah banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi
biasanya dicampur dengan kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga
suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada penggas ini
menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik
berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara
mengumpan bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini
mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry
up. Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry upini juga dijumpai pada
penggas Shell dan Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat
bahan bakar dalam kondisi kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau
disebut slurry up. Tipikal jenis ini adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips.
Selain slurry up, terdapat pula metodeslurry down, yang dijumpai pada penggas Chevron
– Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa batubara kering mengkonsumsi energi yang
lebih sedikit dibandingkan dengan dalam keadaan basah (slurry) sehingga lebih
menguntungkan.
Gambar 3. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
b. Pencairan Batubara
Coal liquefaction adalah terminologi yang dipakai secara umum mencakup
pemrosesan batubara menjadi BBM sintetik (synthetic fuel). Pendekatan yang mungkin
dilakukan untuk proses ini adalah: pirolisis, pencairan batubara secara langsung (Direct
Coal Liquefaction-DCL) ataupun melalui gasifikasi terlebih dahulu (Indirect Coal
Liquefaction-ICL). Secara intuitiv aspek yang penting dalam pengolahan batubara
menjadi bahan bakar minyak sintetik adalah: efisiensi proses yang mencakup
keseimbangan energi dan masa, nilai investasi, kemudian apakah prosesnya ramah
lingkungan sehubungan dengan emisi gas buang, karena ini akan mempengaruhi nilai
insentiv menyangkut tema tentang lingkungan
Pencairan batubara metode langsung (DCL)
Pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct Coal
Liquefaction-DCL,
dikembangkan cukup banyak oleh negara Jerman dalam menyediakan bahan
bakar pesawat terbang. Proses ini dikenal dengan Bergius Process, baru mengalami
perkembangan lanjutan setelah perang dunia kedua.
DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari
DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur batubara agar rasio
perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa
hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70%
batubara (berat kering) menjadi sintetik cair. Pada tahun 1994 proses DCL kembali
dikembangkan sebagai komplementasi dari proses ICL terbesar setelah
dikomersialisasikan oleh Sasol Corp.
Proses Pencairan Batubara Muda rendah emisi (Low Emission Brown Coal
Liquefaction)
Tahapan proses pencairan batubara muda (Brown Coal Liquefacion):
1. Pengeringan/penurunan kadar air secara efficient
2. Reaksi pencairan dengan limonite katalisator
3. Tahapan hidrogenasi untuk menghasilkan produk oil mentah
4. Deashing Coal Liquid Bottom/heavy oil (CLB)
5. Fraksinasi/pemurnian light oil (desulfurisasi,pemurnian gas,destilasi produk)
c. Briket Batubara
Briket batubara adalah bahan bakar padat yang terbuat dari batubra dengan sedikit
campuran seperti tanah liat dan tapioca. Briket batubara mampu menggantikan sebagian
dari kegunaan minyak tanah seperti untuk pengolahan makanan, pengeringan,
pembakaran, dan pemanasan. Berikut adalah jenis-jenis briket batubara, antara lain:
1. Jenis berkabonisasi (super), jenis ini mengalami terlabih dahulu proses
dikarbonisasi sebalum menjadi briket. Dengan proses karbonisas zat-zat
terbang yang terkandung dalam briket batubara tersebutditurunkan
serendah mungkin sehingga produ akhirnya tidak berbau dan berasap,
namun biaya produksi menjadi meningkat karena pada batubara tersebut
terjadi rendemen sebesar 50%. Briket ini cocok untuk digunakan
keperluan rumah tangga serta lebih aman dalam penggunaannya.
2. Jenis Non Karbonisasi (biasa), jenis yang ini tidak dikarbonisasi sebelum
diproses menjadi briket dan harganya pun lebih mura. Karena zat
terbangnya masih terkadung dalam briket batubara maka pada
penggunaanya lebih baik mengunakan tungku sehingga akan
menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang
muncul dari briket akan habis terbakar oleh lidah api di permukaan
tungku. Briket ini umnya dugunakan untuk industry kecil.
Keunggualan dan kelmahan briket batubara, antara lain lebih murah, panas yang
tinggi dan kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran lama, tidak berisiko
meledak/terbakar, sumber batuabara melimpah, dan kekurangannya dalah briket meiliki
keterbatsan waktu penyalaan antara 5-10 menit dan diperlukan sedikit penyiraman
minyak tanah sebagai penyalaan api, briket batubara hanya efisien jika digunakan untuk
jangka waktu diatas 2 jam.
3. Pemanfaatan sebagai bahan bakar
a. Karbon aktif
b. Kokas Metalurgi