Teknik Standardisasi

74
TEKNIK STANDARDISASI DAN PERALATAN PENUNJANG PRODUKSI OBAT TRADISIONAL Prof. DR. Suwijiyo Pramono, DEA, Apt. Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta PENGANTAR OBAT TRADISIONAL HUBUNGAN KUALITAS DAN EFEK TERAPI TAHAPAN PROSES DAN PERALATAN PRODUKSI OBAT TRADISIONAL STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL APLIKASI PADA INDUSTRI TRADISIONAL JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2007

description

Teknik Standardisasi

Transcript of Teknik Standardisasi

Page 1: Teknik Standardisasi

TEKNIK STANDARDISASI DAN PERALATAN PENUNJANG PRODUKSI

OBAT TRADISIONAL

Prof. DR. Suwijiyo Pramono, DEA, Apt.

Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta

PENGANTAR OBAT TRADISIONAL

HUBUNGAN KUALITAS DAN EFEK TERAPI

TAHAPAN PROSES DAN PERALATAN PRODUKSI OBAT TRADISIONAL

STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL

APLIKASI PADA INDUSTRI TRADISIONAL

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2007

Page 2: Teknik Standardisasi

PENGANTAR OBAT TRADISIONAL

Kenyataan bahwa hampir 95% bahan baku obat sintetis saat ini masih diimpor

dari luar negeri menjadi penyebab utama mengapa harga obat di Indonesia dilaporkan

paling mahal dibanding negara Asean lainnya dan banyak masyarakat menengah ke

bawah mengeluh terhadap masalah penopang kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, saat ini

banyak anggota masyarakat yang mencari alternatif pengobatan, baik pada jenis

intervensi fisik seperti tusuk jarum, pijat refleksi, kompres, kerokan, olah pernafasan,

maupun melalui pendekatan psikis bernuansa agamis seperti ruqyah atau yang bersifat

mistik dan supra natural. Namun demikian, selain melalui pendekatan fisik dan psikis

tersebut banyak anggota masyarakat yang memang ingin kembali ke alam dengan

memilih obat alami sebagai alternatif pengobatan.

Jika dibandingkan dengan kedua jenis cara pengobatan yang lain, sesungguhnya

penerimaan masyarakat terhadap obat alami dapat dikatakan lebih mudah karena dapat

didekati secara ilmiah sehingga memiliki evident base yang mantab. Namun demikian

sampai saat ini banyak penggunaan obat alami di masyarakat yang tidak tepat sehingga

tidak memberikan daya guna yang baik bahkan sering menimbulkan efek samping yang

tidak dikehendaki. Oleh sebab itu perlu disosialisasikan bagaimana penggunaan obat

alami tersebut secara tepat dengan berdasarkan pendekatan ilmiah.

1. Ketepatan pemilihan obat alami untuk indikasi tertentu

Sebagaimana diketahui, masyarakat mempunyai banyak pilihan untuk

menggunakan obat alami. Selain membeli ramuan jadi dari perusahaan jamu, bakul

jamu gendong atau penjual jamu racikan di pasar, banyak anggota masyarakat yang

membuat dan meracik sendiri obat alami yang diminumnya. Pemilihan jenis obat alami

untuk mengobati penyakit tertentu harus dilakukan dengan tepat.

Page 3: Teknik Standardisasi

Daun tapak dara (Catharanthus roseus L.) banyak digunakan oleh masyarakat

Indonesia untuk mengobati diabetes. Hal ini bukan merupakan pilihan yang tepat sebab

daun ini mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah

sel darah putih atau leukosit (Ross, 1999). Daun tanaman ini lebih tepat digunakan

untuk pengobatan kanker darah (leukemia) bukan untuk penyakit lain. Jika digunakan

untuk penderita diabetes yang tentunya memiliki jumlah leukosit normal akan membuat

penderita tersebut rentan terhadap serangan penyakit terutama penyakit infeksi, karena

terjadi penurunan jumlah leukosit yang sangat diperlukan untuk pertahanan tubuh. Hasil

penelitian uji toksisitas subkronis suatu produk yang mengandung alkaloid tersebut

menunjukkan adanya penurunan jumlah leukosit tikus percobaan sampai 30%

(Ngatidjan dan Pramono, 1990).

2. Ketepatan dosis yang digunakan

Pada tahun 1985, para sejawat tenaga kesehatan di Rumah Sakit dr. Karyadi Semarang

menemukan bahwa banyak pasien rumah sakit tersebut yang sebelumnya telah

mengkonsumsi daun keji beling (Strobilanthus crispus L.) pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan adanya sel-sel darah merah di urin dalam jumlah yang tidak

normal (Surastri dkk, 1985). Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling

merupakan diuretika yang kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran

kandung kemih pasien. Dalam berbagai ramuan obat alami yang tercantum dalam buku-

buku acuan tentang obat tradisional tidak pernah digunakan lebih dari 4 lembar daun

atau seperlima genggam daun kering dalam ramuan (Mardisiswojo dan

Radjakmangunsudarso, 1965). Daun tanaman ini memiliki kandungan kalium yang

relatif tinggi yaitu mencapai 322 mg per 100 g daun segar sehingga dapat difahami jika

memiliki efek diuretika yang kuat. Bahkan dilaporkan lebih lanjut bahwa daun ini

Page 4: Teknik Standardisasi

memiliki kandungan asam silikat yang tinggi yaitu 12,4% dari sisa kering sehingga akan

memberikan beban terhadap kerja ginjal (Heyne, 1987). Lebih tepat kiranya jika mereka

menggunakan daun kumis kucing yang efek diuretiknya lebih kecil dan tidak

mengandung banyak asam silikat.

Penggunaan gambir yang merupakan getah kering dari tanaman Uncaria gambir

(Hunter) Roxb hanya disarankan dalam jumlah kecil karena kandungan tanin yang

cukup tinggi yaitu mencapai 50,6% (Heyne, 1987). Konsumsi gambir sebanyak lebih

dari satu ibu jari memang akan cepat menghentikan diare tetapi juga akan menimbulkan

kesulitan buang air selama berhari-hari karena terjadinya konstipasi Sebaliknya

penggunaan minyak jarak yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran

pencernaan dan kehilangan banyak elektrolit (Brinker, 1998).

3. Ketepatan waktu penggunaan

Pada tahun 1983, beberapa kasus menarik telah ditemukan oleh para dokter

kebidanan di Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta, yaitu adanya pasien-pasien yang

mengalami kesulitan persalinan karena banyak minum jamu cabe puyang. Mereka

menggunakan jamu cabe puyang sepanjang kehamilannya. Setelah diteliti secara ilmiah

di laboratorium, ternyata jamu cabe puyang memiliki efek menghambat kontraksi otot

pada binatang percobaan (Marwi dkk., 1983). Berdasarkan pustaka, di dalam cabe jawa

(Piper retrofractum Vahl.) terkandung alkaloid piperin yang berefek menghambat

kontraksi otot (Bruneton, 1997). Hasil uji dan informasi pustaka ini dapat menjelaskan

mengapa para ibu yang meminum jamu ini secara terus-menerus sampai mendekati

masa persalinan, mengalami kesulitan pada saat melahirkan. Kontraksi otot uterus yang

dihambat terus menerus akan memperkokoh otot tersebut dalam menjaga janin yang ada

di dalamnya. Hal ini sebenarnya sangat bermanfaat untuk menjaga resiko keguguran

Page 5: Teknik Standardisasi

jika diminum pada masa-masa awal kehamilan, tetapi akan berakibat jelek jika diminum

pada masa-masa menjelang persalinan (Marwi dkk, 1984).

Kebalikan dari jamu cabe puyang, jamu lain yang sangat populer dan selalu

dibawa oleh bakul jamu gendong adalah kunir asem. Jumlah kunyit (Curcuma

domestica Val.) yang dominan dalam ramuan terutama di dalam kunir asem yang

kental perlu diperhatikan waktu penggunaannya. Ekstrak kunyit dilaporkan memiliki

efek stimulan pada kontraksi uterus (Chang and But, 1987) dan berefek abortivum pada

tikus bunting (Sumastuti, 1988). Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kunyit

merupakan komponen yang selalu ada pada jamu pelancar haids dan tidak dianjurkan

untuk meminum jamu ini pada awal masa kehamilan karena akan meningkatkan resiko

keguguran.

4. Ketepatan cara penggunaan

Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui bersifat bronkhodilator karena

mengandung alkaloid turunan tropan seperti hiosiamin dan atropin. Alkaloid ini

menghambat secara kompetitif ikatan asetilkholin dengan reseptor sehingga

menghambat efek bronkhokonstriksi asetilkholin (Bruneton, 1997), dan memang secara

tradisional digunakan untuk pengobatan penderita asma. Namun demikian perlu dicatat

bahwa penggunaan daun ini secara tradisional adalah dengan dihisap seperti rokok

(Mardisiswojo dan Radjakmangunsudarso, 1965). Mungkin karena kesalahan informasi,

Tentu saja akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang

Jawa mengatakan bahwa orang yang keracunan daun tersebut mengalami “mendem

kecubung” dengan salah satu tandanya midriasis atau mata membelalak (Smet, 1992)

Page 6: Teknik Standardisasi

5.. Ketepatan pemilihan bahan secara benar.

Berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada tiga jenis yaitu lempuyang emprit

(Zingiber amaricans L.), lempuyang gajah (Zingiber zerumbet L.) dan lempuyang

wangi (Zingiber aromatikum L.). Dua jenis yang pertama berasa pahit, berwarna kuning

dan digunakan secara tradisional untuk menambah nafsu makan (Heyne, 1987;

Mardisiswojo dan Radjakmangunsudarso, 1965) sedangkan jenis ketiga yaitu

lempuyang wangi berasa sedikit pahit, agak pedas, berbau lebih harum, patahan

rimpang berwarna lebih putih dan bersama daun jati belanda dan bangle digunakan

sebagai komponen jamu pelangsing (Aliadi dkk., 1996). Dalam kenyataannya banyak

penjual simplisia yang tidak memperhatikan masalah ini. Jika ditanya jenisnya hanya

mengatakan bahwa yang dijualnya adalah lempuyang tanpa mengetahui apakah

lempuyang wangi, emprit atau gajah. Jika terjadi kekeliruan dalam membuat suatu

ramuan obat pelangsing, yang seharusnya menggunakan lempuyang wangi tetapi keliru

lempuyang emprit maka yang meminumnya tidak akan langsing tetapi malah menjadi

gemuk.

Kerancuan lain sering terjadi pada tanaman ngokilo yang disamakan dengan keji

beling dan daun dewa padahal ketiganya berlainan. Daun dewa sendiri ternyata rancu

dengan sambung nyawa. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang dalam

berbagai buku acuan disebut daun dewa ternyata memiliki nama latin Gynura

pseudocina DC, merupakan tanaman terna yang tegak, daun berbulu, tepi daun

berombak, digunakan untuk obat berbagai penyakit, sedangkan Gynura procumbens

(Lour) Merr merupakan terna yang merambat dengan tepi daun bergerigi, berbulu

sangat halus sehingga sering sulit teramati, digunakan untuk obat tumor atau kanker dan

disebut sambung nyawa atau panjang jiwa (Anonim, 1985).

Page 7: Teknik Standardisasi

Kombinasi efek kandungan kimia dalam obat alami

1. Efek komplementer

Jika suatu saat seorang penderita batuk datang kepada dokter untuk berobat,

kemungkinan dia akan diberi suatu resep yang terdiri dari berbagai obat, yaitu

antibiotika amoksisilin sebagai antiinfeksi, bromhexil sebagai ekspektoran atau peluruh

dahak, dan kodein sebagai penekan batuk. Jika ingin lebih praktis penderita dapat

meminta kepada apotek untuk mencampur ketiga obat tersebut, sehingga dapat

dijadikan dalam satu kapsul. Dalam kaitannya dengan obat alami, ternyata terdapat

suatu tanaman yang mengandung beberapa bahan aktif dan bersifat saling melengkapi.

Tanaman tersebut adalah herba timi (Thymus vulgaris L.), yang mengandung minyak

atsiri dengan komponen utamanya senyawa fenol yaitu timol dan karvakrol yang

berefek antimikroba sekaligus sebagai pengencer dahak (Bruneton, 1997). Selain itu,

tanaman ini mengandung zat aktif lain yang berupa flavon polimetoksi dan berefek

menekan batuk sehingga dapat mengurangi frekuensi batuk penderita (Wichtl, 1994) .

Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu tanaman dapat terkandung lebih dari satu

senyawa aktif dan memiliki efek kombinasi yang saling melengkapi untuk mengatasi

penyakit tertentu.

Contoh lain adalah daun seledri, yang biasa digunakan untuk menurunkan tekanan

darah dan telah terbukti melalui uji klinik (Chang and But, 1986). Daun tanaman ini

mengandung senyawa flavonoid yaitu glikosida apiin dan aglikon apigenin yang berefek

vasodilator (Chang and But, 1986), serta manitol yang berefek diuretika yang muaranya

juga akan menurunkan tekanan darah (Mills and Bone, 2000). Selain itu juga

mengandung minyak atsiri dengan komponen utama 3-n butil ftalida yang selain

berefek hipotensif (Murray and Pizzorno, 1998) juga bersifat sedativa sehingga

Page 8: Teknik Standardisasi

memberikan kesempatan kepada penderita hipertensi untuk dapat beristirahat (Ebadi,

2001).

Salah satu tanaman obat Indonesia yang tidak banyak diteliti oleh peneliti asing

adalah jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk). Daun tanaman ini secara tradisional

digunakan sebagai pelangsing dan pada uji praklinik dilaporkan memiliki efek penekan

nafsu makan yang disebabkan oleh kandungan musilago (Pramono dkk, 2000) serta

adanya hambatan aktivitas enzim lipase oleh ekstrak etanolik 70% yang mengandung

alkaloid (Rahardja, 2004). Selain itu adanya kandungan tanin dalam daun tanaman ini

memiliki kemungkinan menghambat absorpsi lemak, protein, dan karbohidrat (Anonim,

1985). Ketiga kandungan kimia aktif tersebut yaitu musilago, alkaloid, dan tanin

memiliki efek saling melengkapi sehingga disebut berefek komplementer.

2. Efek sinergisme

Daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus (Bl.) Miq.) memiliki kandungan

flavonoid polimetoksi seperti sinensetin dan eupatorin yang berefek diuretika, tetapi

juga mengandung saponin dan garam kalium yang berefek sama yaitu diuretika

(Tiktinkij, 1985). Adanya ketiga jenis kandungan kimia dalam daun kumis kucing yang

memiliki efek sama sehingga dikatakan saling mendukung efek diuretika daun tersebut,

maka dikatakan terjadi efek sinergisme. Namun perlu dicatat bahwa efek sinergisme

bukan berarti potensiasi. Contoh lain efek sinergisme dapat diketemukan dalam rimpang

jahe (Zingiber officinale Roscoe) dengan kandungan zingeron dari minyak atsiri dan

gingerol dari zat pedas yang keduanya memiliki efek anti mual dan telah dibuktikan

dengan uji klinik pada manusia (Ghazanfar, 1994). Karena keduanya berefek sama yaitu

anti mual maka dikategorikan sebagai efek sinergisme.

Page 9: Teknik Standardisasi

3. Efek kontraindikasi

Kelembak (Rheum officinale Bail.) mengandung senyawa golongan antrakinon

yaitu rein dan turunannya yang berefek sebagai laksansia, tetapi juga berasa kelat/sepet

dengan kandungan tanin tinggi yang berefek anti diare (Wichtl, 1994). Dalam hal ini

terjadi dua efek yang bertentangan yaitu antara laksansia yang memacu pengeluaran

feses dan anti diare yang menghambat pengeluaran feses. Berkaitan dengan hal itulah

dikatakan bahwa di dalam akar kelembak terkandung dua jenis kandungan kimia aktif

yang berefek kontraindikasi.

Contoh lain adalah pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang

digunakan sebagai penurun kholesterol. Pada uji praklinik, kandungan kurkumin

rimpang tersebut memang telah dibuktikan memiliki efek menurunkan kadar kholesterol

darah melalui peningkatan produksi cairan empedu (Babu and Srinivasan, 1997), namun

demikian di lain pihak kandungan minyak atsiri rimpang ini terbukti memiliki efek

memacu nafsu makan (Awalin, 1996). Dalam hal ini akan terjadi efek kontraindikasi

karena di satu sisi kurkumin menekan kadar kholesterol tetapi di sisi lain terjadi

peningkatan masukan kholesterol akibat adanya efek penambah nafsu makan dari

minyak atsiri.

4. Faktor hambatan absorpsi

Selain ketiga efek kombinasi kandungan kimia tersebut, terdapat fenomena dalam

khasanah obat alami yang disebut hambatan absorpsi. Semua orang dapat merasakan

bahwa kopi lebih kuat memacu susunan syaraf pusat dibanding teh, padahal dalam

pustaka disebutkan dan memang kenyataan menunjukkan bahwa kandungan kafein

yang ada di dalam teh jauh lebih besar dari pada di dalam kopi. Hal ini ternyata

berkaitan dengan adanya senyawa tanin yaitu epigalokatekin yang terkandung di dalam

Page 10: Teknik Standardisasi

teh dalam jumlah relatif besar dan tidak terkandung di dalam biji kopi. Tanin inilah

yang menghambat absorpsi kafein di usus sehingga efeknya sebagai stimulan susunan

syaraf pusat juga tidak seperti yang seharusnya (Paris et Moyse, 1981).

5. Peningkatan ketersediaan hayati

Kurkumin yang terkandung dalam temulawak, kunyit, bangle, dan temu-temuan

yang lain diketahui memiliki ketersediaan hayati yang jelek di dalam darah. Ternyata

dengan penambahan alkaloid piperin, ketersediaan hayatinya meningkat berlipat ganda

sehingga efeknyapun menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan

terhadap aktivitas enzim glutathion yaitu GST (Shoba et al, 1998).

Berbagai sifat kandungan kimia di dalam bahan tanaman seperti yang telah

diuraikan di atas, sering dijadikan dasar penyusunan formulasi obat alami. Evaluasi

berbagai ramuan obat alami baik yang tertulis dalam pustaka tradisional maupun

ramuan buatan perusahaan jamu menunjukkan keteraturan yang sangat menarik untuk

dipelajari. Formulasi obat alami Indonesia pada umumnya tersusun oleh bahan aktif

utama berkhasiat, bahan aktif pendukung khasiat, bahan penghantar yang meliputi

stabilisator dan pensuspensi, serta penyedap rasa, bau, atau warna. Suatu ramuan obat

alami penurun tekanan darah dapat tersusun oleh seledri (Apium graveolens L.) yang

memiliki efek vasodilator karena adanya kandungan apiin dan apigenin, disebut sebagai

bahan aktif utama berkhasiat. Demikian juga kumis kucing (Orthosiphon stamineus

Benth) yang memiliki efek diuretika. Sebagaimana diketahui bahwa efek diuretika

selalu diikuti dengan efek penurunan tekanan darah sehingga kumis kucing juga

termasuk bahan aktif utama berkhasiat. Selain kedua bahan tersebut, di dalam ramuan

penurun tekanan darah sering dijumpai adanya biji pala (Myristica fragrans Houtt) atau

akar valerian (Valeriana officinalis L.). Biji pala mengandung miristisin yang berefek

Page 11: Teknik Standardisasi

psikotropik (Bruneton, 1997), sedangkan akar valerian mengandung valepotriat yang

berefek sedativa (Anonim, 1999). Efek psikotropik dan sedativa tidak terkait langsung

dengan penurunan tekanan darah. Namun demikian sebagaimana diketahui bahwa salah

satu gejala hipertensi yang banyak dikeluhkan penderita adalah sulit tidur, sehingga

dapat dimengerti bahwa di dalam ramuan tersebut ditambahkan bahan yang berefek

menenangkan. Karena tidak terkait langsung dengan penurunan tekanan darah maka

kedua bahan tersebut tidak termasuk bahan aktif utama berkhasiat tetapi disebut sebagai

bahan aktif pendukung khasiat. Selain itu, karena salah satu gejala hipertensi adalah

pusing atau rasa sakit di belakang kepala, di dalam ramuan penurun tekanan darah

sering juga ditambahkan kunyit sebagai analgetika sehingga disebut juga sebagai bahan

aktif pendukung khasiat. Jika ditelaah, campuran keempat bahan yaitu seledri, kumis

kucing, biji pala, dan kunyit merupakan kombinasi yang bersifat komplementer atau

saling melengkapi. Ditinjau dari formulasinya, jika daun seledri, daun kumis kucing,

biji pala dan kunyit dikeringkan, diserbuk kemudian dicampur dalam bentuk sediaan

seduhan maka hampir dapat dipastikan bahwa penderita ataupun konsumen peminum

jamu tidak akan bersedia meminumnya karena berasa pahit, getir, dan langu. Oleh

sebab itu untuk menghilangkan atau mengurangi rasa pahit ditambahkan kayu legi

(Glycyrrhiza glabra L.) sebagai penyedap rasa (corrigen saporis), cengkeh (Eugenia

aromatica L.) sebagai penyedap bau (corrigen odoris), dan agar warnanya tidak pucat

ditambahkan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai penambah warna (corrigen

coloris). Pada berbagai perusahaan seringkali jenis masing-masing corrigen bisa lebih

dari satu sehingga berdasarkan uraian di atas, dapat dimengerti bahwa dalam satu

bungkus jamu serbuk dapat tersusun oleh lebih dari sepuluh bahan penyusun ramuan.

Adapun obat alami yang berupa sediaan farmasetis seperti kapsul dan tablet, tidak

Page 12: Teknik Standardisasi

dibutuhkan berbagai jenis corrigen di atas sehingga jumlah bahan penyusun ramuannya

lebih sedikit. Namun demikian pada sediaan sirup tetap dibutuhkan corrigen dan juga

bahan penghantar yaitu stabilisator dan pensuspensi. Zat warna kuning kurkuminoid

dari kunyit yang terdapat dalam ramuan di atas diketahui tidak stabil dalam suasana pH

>7 dan cukup stabil pada pH <7 (Tonnesen and Karlsen, 1985). Oleh sebab itu dalam

ramuan sering ditambahkan bahan yang bersifat asam yaitu jeruk nipis (Citrus

aurantifolia L.) atau asam jawa (Tamarindus indica L.). Lain dari pada itu,

kurkuminoid bersifat nonpolar dan sukar larut dalam air (Tonnesen and Karlsen, 1986)

sehingga dibutuhkan suatu bahan pensuspensi yang dalam hal ini dapat diperankan oleh

pektin yang terkandung di dalam asam jawa. Suatu indikasi penyakit yang

pengatasannya dengan cara didekati dari berbagai segi seperti di atas termasuk cara

pendekatan holistik (holistic approach) dalam arti sempit, sedangkan pendekatan

holistik secara luas meliputi pengatasan dengan intervensi fisik, psikis, diet, dan

penggunaan obat (Gottlieb, 1995). Jadi tidak sepenuhnya benar pernyataan bahwa obat

tradisional atau obat alami Indonesia tidak memiliki filosofi. Pendekatan holistik itulah

salah satu filosofi yang dianut oleh nenek moyang kita. Selain itu di Jawa masih banyak

orang tua kita yang pada saat terkena diare tidak minum obat apapun bahkan tidak

makan atau minum apapun kecuali air putih sampai terjadi pengosongan lambung dan

usus. Baru kemudian minum ramuan yang dimulai dari tepung ganyong atau tepung lain

yang lembut. Filosofi prihatin memang telah tertanam dalam kehidupan orang Jawa.

Walaupun demikian memang benar bahwa China memiliki filosofi pengobatan yang

spesifik dan terdokumentasi yaitu yin dan yang, sedangkan India memiliki Ayurveda.

Page 13: Teknik Standardisasi

HUBUNGAN KUALITAS BAHAN, KANDUNGAN KIMIA DAN EFEK TERAPI

OBAT ALAMI

Kesadaran manusia bahwa sesuatu yang dari alam lebih bersahabat untuk

dikonsumsi tubuhnya dibanding segala hasil karya sintetisnya telah melanda masyarakat

industri maju dan imbasnyapun melanda dunia ketiga termasuk penggunaan obat dari

bahan alam. Obat herbal menjadi semakin disukai dan berkembang dengan pesat. Di

Afrika persentase populasi yang menggunakan obat herbal mencapai 60-90 %

sedangkan di Australia 40-50 %, Eropa 40-80 %, Amerika 40 %, Kanada 50 % dengan

jumlah penjualan termasuk bahan baku, mencapai 43.000 miliar dolar. Pemasok

terbesar masih dipegang oleh Cina, disusul oleh Eropa kemudian Amerika Serikat

(Djamaluddin, 2002). Di Indonesia penggunaan obat herbal juga meningkat dengan

pesat. Lebih dari 100 industri obat tradisional dan 1000 industri kecil obat tradisional

melakukan produksi dengan segmen pasar sebagian besar dalam negeri, belum banyak

yang melangkah untuk ekspor, padahal peluang pasar sangat besar. Kualitas produk

sangat penting untuk ditangani secara serius agar mampu bersaing di pasar global. Jika

dilihat dari peningkatan industri bahan obat alam yang ada di dunia, pengembangan

bahan baku yang berbasis pada sumber alam nabati Indonesia perlu ditangani dengan

serius. Adapun jenis bahan baku yang harus dikembangkan bukan hanya berupa

simplisia, tetapi harus yang telah mengalami sentuhan teknologi sehingga mempunyai

nilai jual yang memadai. Sangat disesalkan adanya ekspor simplisia ke luar negeri untuk

kemudian perusahaan yang bersangkutan harus impor ekstrak dari bahan yang sama.

Guna menghindari berbagai hal yang tidak menyenangkan tersebut, kemampuan kita

untuk mengolah sumber alam yang melimpah di negara ini harus ditingkatkan, mulai

dari budidaya, pengolahan pasca panen, teknologi ekstraksi, dan teknologi produksi

Page 14: Teknik Standardisasi

sediaan. Jika bahan telah dipanen maka kondisi lingkungannya akan berbeda dibanding

ketika masih menjadi bagian dari pohonnya dan hal ini akan mempengaruhi kualitas

simplisia yang dihasilkan. Penanganan pasca panen yang baik akan menghasilkan

kualitas simplisia yang baik. Kualitas bahan baku yang berupa simplisia tersebbut

sangat berpengaruh terhadap kandungan kimia dan konsekuensinya pada efek terapi

sediaan yang diproduksi.

Budidaya merupakan faktor pertama yang berpengaruh pada kandungan kimia

simplisia yang dihasilkan, diikuti dengan teknologi pasca panen. Sesuai dengan

judulnya artikel ini lebih difokuskan pada faktor teknologi pasca panen yang meliputi

sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, dan

penyimpanan. Namun demikian terlebih dahulu akan ditelaah berbagai faktor yang

berpengaruh pada kemungkinan kerusakan kandungan kimia bahan secara umum

sehingga menjadi faktor kritis penanganan pasca panen tanaman obat.

Kandungan air bahan

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat bahan belum dipanen, masih berada

dalam satu sistem dengan tumbuhan yang hidup, di dalamnya berlangsung proses

metabolisme baik fotosintesis maupun biosintesis berbagai kandungan kimia yang

dikatalisir oleh enzim. Produk pertama dari dari fotosintesis adalah glukosa yang

kemudian akan mengalami berbagai jalur biosintesis membentuk berbagai kandungan

kimia. Pada tumbuhan hidup enzim bekerja sesuai dengan substrat yang tersedia dan

mulanya berasal dari glukosa. Setelah bahan dipetik, terpisah dari tumbuhan, tidak ada

lagi substrat yang biasa dikatalisir karena sudah tidak terjadi lagi proses fotosintesis

maupun biosintesis seperti pada tumbuhan hidup. Jika kadar air bahan masih tinggi

enzim tidak rusak, masih aktif, tetapi berhubung substrat tidak ada lagi, maka enzim

Page 15: Teknik Standardisasi

tersebut akan mengubah kandungan kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain

yang mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya. Hal ini

tidak akan terjadi jika bahan yang telah dipetik segera dikeringkan sehingga kadar

airnya rendah. Beberapa jenis enzim perusak kandungan kimia yang telah lama dikenal

antara lain hidrolase, oksidase, dan polimerase.

Enzim hidrolase, sesuai namanya bekerja untuk menghidrolisis kandungan kimia

yang mudah terhidrolisis seperti ester, glikosida, dan polisakharida. Berbagai

kandungan kimia tumbuhan memiliki struktur kimia berbentuk ester terutama

komponen minyak atsiri tertentu dan memberikan bau yang enak pada bahan yang

mengandungnya seperti metil salisilat pada daun gandapura (Gaultheria fragantissima

Wall.), etil p-metoksisinamat pada rimpang kencur (Kaempferia galanga L.), linalil

asetat pada selasih (Ocimum basilicum L.), bensil asetat pada melati (Jasminum

officinale L.). Apabila senyawa rster ini terhidrolisis maka akan terbentuk senyawa

alkohol dan asam yang tidak lagi memiliki bau maupun aktivitas biologis seperti ester

(D’Amelio, 1999). Selain senyawa ester, enzim hidrolase juga sering menyebabkan

terjadinya hidrolisis, memecah ikatan antara aglikon dan glikon pada glikosida. Apiin

merupakan kandungan aktif seledri sebagai penurun tekanan darah dan terdapat dalam

bentuk glikosida yaitu apigenin 7-O-apiosilglukosida. Senyawa ini lebih mudah larut

dalam air dan alkohol berderajad rendah dibanding alkohol 95 %. Itulah sebabnya

ekstraksi seledri yang paling baik untuk antihipertensi adalah dengan etanol 50 %

(Yuniarto dan Pramono, 2003). Namun demikian, jika glikosida flavonoid tersebut

terhidrolisis sewaktu berada dalam bahan baku, akan menghasilkan aglikon apigenin

yang tidak terlalu larut dalam etanol berderajad rendah. Jelas hal ini akan berpengaruh

pada kualitas ekstrak dan selanjutnya sediaan yang diproduksi. Aktivitas enzim

Page 16: Teknik Standardisasi

hidrolase sering juga diikuti oleh enzim polimerase seperti pada daun Aucuba japonica

yang cepat menjadi hitam karena terjadinya hidrolisis aukubosida dan polimerisasi

aglikonnya (Paris et Moyse, 1976). Senyawa ketiga yang memiliki kemungkinan

terhidrolisis adalah polisakharida. Musilago yang terkandung dalam daun jati blanda

(Guazuma ulmifolia Lamk.) memiliki efek sebagai penekan nafsu makan sehingga

banyak digunakan sebagai komponen obat pelangsing. Jika senyawa ini terhidrolisis

akan menjadi monosakharida yang tidak lagi memiliki efek penekan nafsu makan tetapi

sebaliknya akan menambah kalori dan sangat merugikan bagi orang yang

mengkonsumsi daun jati blanda dengan tujuan untuk langsing

Enzim oksidase banyak terdapat dalam bahan tumbuhan dan sering merugikan

terutama jika simplisia mengandung senyawa terpenoid dan polifenol (Paris et Moyse,

1976). Aktivitas enzim oksidase tersebut bersama dengan oksidasi karena sinar

ultraviolet, oksigen udara, dan pemanasan dilanjutkan dengan polimerisasi akan

membentuk resin yang sukar larut. Oleh sebab itu pengeringan bahan harus segera

dilakukan setelah bahan tumbuhan tersebut dipanen sehingga berbagai reaksi enzimatik

yang tidak dikehendaki dapat dicegah atau dihindari. Selain itu, kadar air yang rendah

tidak memungkinkan untuk tumbuhnya mikroba yang dapat merusak bahan baku

tersebut baik secara fisik maupun kimiawi.

Pengaruh sinar ultraviolet

Sinar ultra violet yang terdapat pada cahaya matahari dapat menimbulkan

kerusakan kandungan kimia bahan. Senyawa turunan azulen pada rimpang temuhitam

(Curcuma aeruginosa) dan chamazulen pada bunga kamomila (Matricaria chamomilla)

akan rusak oleh sinar ultraviolet sehingga warna biru kehitaman yang pada waktu segar

jelas kelihatan, pada waktu dikeringkan langsung di bawah sinar matahari akan

Page 17: Teknik Standardisasi

memucat dan menghilang (Paris et Moyse, 1976). Demikian pula senyawa antosian dan

flavonoid pada berbagai bunga akan memucat, sedangkan warna hijau klorofil yang ada

pada daun akan berubah menjadi abu-abu kotor jika bahan dikeringkan langsung di

bawah sinar matahari. Kurkuminoid pada temulawak, kunyit dan Curcuma yang lain

sangat peka terhadap sinar ultraviolet (Tonnesen and Karlsen, 1986), sehingga

disarankan untuk mengeringkan simplisia dengan ditutup kain hitam atau menggunakan

tenda pengering yang terbuat dari plastik atau kaca berwarna hitam. Selain pada

pengeringan, kerusakan kandungan kimia bahan oleh sinar ultraviolet dapat juga terjadi

jika dilakukan prosedur desinfeksi menggunakan sinar radiasi ultraviolet. Pada sejumlah

perusahaan jamu hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah cemaran mikroba.

Faktor pemanasan

Jenis kandungan kimia utama yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan

suhu yang relatif tinggi adalah minyak atsiri. Ada dua hal yang dapat terjadi jika suhu

pemanasan pada pengeringan bahan terlalu tinggi. Hal pertama adalah bahwa komponen

penyusunnya yang berupa terpenoid hidrokarbon memiliki titik didih relatif rendah

sehingga suatu bahan dikeringkan pada suhu di atas 70º C akan banyak kehilangan

kandungan kimia penyusun tersebut (Anonim, 1985). Selain hilangnya kandungan

kimia yang sangat mudah menguap tersebut, komponen penyusun yang berupa

seskuiterpen lakton juga tidak tahan pemanasan. Selain minyak atsiri, senyawa yang

banyak memiliki ikatan rangkap juga mudah rusak oleh pemanasan berlebih seperti

kurkuminoid. Selain faktor pemanasan, oksidasi udara dapat menyebabkan peruraian

kandungan kimia tertentu dan akan dipercepat jika di dalam bahan terdapat enzim

oksidase seperti telah diuraikan sebelumnya

Faktor pH

Page 18: Teknik Standardisasi

Pada buku Materia Medika Indonesia jilid III (Anonim, 1979) disebutkan bahwa

usaha untuk memperbaiki warna temulawak kering dapat dilakukan dengan tindakan

blanching yakni pendidiohan irisan temulawak segar dalam air selama beberapa jam.

Maksudnya adalah untuk mematikan enzim dan menghilangkan udara. Dengan

rusaknya enzim, proses biokimia berikutnya dapat dicegah. Demikian pula pati yang

dikandungnya akan mengalami gelatinisasi dan pada proses pengeringan akan

merupakan masa yang homogen keras. Hal ini memungkinkan perlindungan terhadap

perubahan kimia dan fitokimia. Warna yang diperoleh adalah coklat kuning menyala.

Sekilas hal ini kelihatannya baik, tetapi setelah dicoba ternyata banyak kerugian yang

ditemui. Kerugian pertama adalah hilangnya sebagian minyak atsiri karena pada

pendidihan selama 1 jam banyak komponen minyak atsiri yang terbawa menguap oleh

uap air. Kerugian kedua adalah turunnya kadar kurkuminoid karena termasuk senyawa

yang tidak tahan terhadap pemanasan. Bahkan pernah terjadi pada seorang eksportir

temulawak dari Yogyakarta yang mendidihkan rimpang temulawak tersebut dengan air

kapur. Memang warna yang diperoleh adalah oranye menyala, sangat menarik, tetapi

setelah tiga kali pengiriman ke Jerman segera berhenti karena pihak penerima di Jerman

tidak mau lagi membeli. Ternyata kadar kurkuminoid rimpang yang diperoleh dengan

cara tersebut sangat rendah. Hal ini dapat dimengerti karena air kapur bersifat basa,

padahal kurkuminoid sangat peka terhadap basa dan akan terurai menjadi asam ferulat

(Tonnesen and Karlsen, 1985).

Faktor yang berpengaruh pada kerusakan fisis simplisia

Walaupun ada juga yang berkaitan dengan kerusakan kandungan kimia, namun

faktor berikut lebih berpangaruh terhadap kualitas atau penampilan fisik simplisia.

Page 19: Teknik Standardisasi

Simplisia yang berupa agar-agar bersifat higroskopik, bila disimpan dalam wadah

terbuka akan menyerap lengas udara sehingga menjadi kempal, basah atau mencair.

Kebalikan dari hal itu, apabila kelembaban luar lebih rendah dari kelembaban simplisia,

maka simplisia secara perlahan akan kehilangan airnya sehingga makin lama akan

semakin mengecil (kisut). Hal ini sering terjadi pada simplisia yang diekspor ke luar

negeri seperti Timur Tengah dan Eropa, dengan tingkat kelembaban udara jauh lebih

rendah dari Indonesia. Hal ini harus diatasi dengan membuat wadah yang kedap udara.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas fisis simplisia adalah cemaran serangga,

jamur, dan bakteri. Penggunaan desinfektan dan fumigasi dapat diterapkan untuk

mengatasi hal itu (Anonim, 1985)

Berbeda dengan zat kimia murni, di dalam suatu simplisia terdapat banyak

kandungan kimia, baik yang memiliki efek terapi yaitu zat aktif maupun yang tidak

memiliki kaitan dengan efek terapi bahan yaitu zat ballast seperti karbohidrat, lemak,

protein, klorofil, resin, dan tanin. Walaupun tidak memiliki kaitan langsung dengan efek

terapi, zat ballast yang terkandung dalam simplisia memiliki pengaruh yang nyata pada

ekstraksi kandungan aktif. Jika zat ballast yang ada sesuaipolaritasnya dengan cairan

penyari yang digunakan, akan terjadi kejenuhan cairan penyari oleh zat ballast pada saat

ekstraksi. Akibatnya kandungan aktif yang tersari menjadi lebih kecil dari yang

seharusnya terlarut dalam cairan penyari jika dalam keadaan tunggal. Itulah sebabnya

seringkali diperlukan data standardisasi yang berupa sari larut ait atau sari larut alkohol.

Selain itu dengan semakin diketahuinya efek farmakologi setiap kandungan kimia

tumbuhan, semakin terungkap adanya kemungkinan efek kombinasi kandungan kimia

dalam satu bahan nabati. Diantara efek kombinasi yang ada, kontraindikasi merupakan

masalah yang merugikan dalam terapi dengan obat alami. Temulawak yang memiliki

Page 20: Teknik Standardisasi

kandungan minyak atsiri yang bersifat memacu nafsu makan bersifat kontraindikasi

terhadap kurkuminoid yang berefek penurun kadar kholesterol darah. Oleh sebab itu

jika simplisia temulawak akan diprogramkan sebagai penambah nafsu makan, kadar

minyak atsiri yang harus dijadikan sebagai parameter standardisasi, sedangkan jika

diprogramkan sebagai penurun kholesterol, simplisia yang dicari adalah yang memiliki

kadar kurkuminoid tinggi. Hal yang sama terjadi pada kelembak (Rheum sp.). Jika

kelembak akan digunakan sebagai laksansia maka kandungan antrakinon yang harus

tinggi. Sebaliknya, kelembak yang kadar taninnya tinggi lebih sesuai untuk

diprogramkan sebagai anti diare.

Lain dari pada itu saat ini ada usaha dalam bidang budidaya baik konvensional

maupun melalui kultur jaringan tanaman untuk menghasilkan rimpang jaringau atau

dlingo (Acorus calamus) yang tidak memiliki kandungan beta-asaron karena bersifat

karsinogenik (De Smet, 1992). Jika ingin digunakan sebagai obat dalam rimpang

jaringau harus bebas dari beta-asaron. Jika tidak maka hanya dapat digunakan sebagai

pilis atau obat luar lainnya. Untuk itu diperlukan kontrol kualitas atau standardisasi

simplisia.

Kualitas simplisia juga ada kaitannya dengan bentuk sediaan yang akan

diproduksi. Kulit kayu manis (Cinnamomi Cortex) yang berasal dari daerah Ambarawa

tidak sesuai untuk digunakan sebagai komponen sediaan serbuk sebab mengandung

banyak lendir yang jika diseduh akan menggumpal. Simplisia dari daerah Purwokerto

lebih sesuai untuk itu karena kandungan lendirnya sedikit. Temulawak yang kandungan

resinnya tinggi tidak terlalu disukai untuk membuat ekstrak walaupun kadar

kurkuminoid dan minyak atsirinya tinggi karena akan menyulitkan proses pembuatan

ekstrak. Standardisasi simplisia sangat diperlukan, bukan hanya menggunakan

Page 21: Teknik Standardisasi

parameter zat aktif tetapi juga parameter lain baik yang spesifik maupun non spesifik

seperti kadar air, kadar abu, dan berbagai batas cemaran yang sering mengganggu

seperti logam berat, mikroba, dan residu pestisida.

TAHAPAN PROSES DAN PERALATAN PRODUKSI OBAT TRADISIONAL

Page 22: Teknik Standardisasi

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan

tersebut, yang secara turun-menurun (tradisional) telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman

Obat Tradisional Empiris atau Jamu adalah obat asli Indonesia yang digunakan

berdasarkan pengalaman empirik dan sediaannya belum didasari oleh uji khasiat dan

keamanan secara ilmiah serta belum terstandarisasi.

Obat Herbal Terstandar adalah obat asli Indonesia yang telah dibuktikan khasiat

dan keamanannya melalui uji farmakologi dan uji toksisitas, dan bahan bakunya telah

terstandarisasi.

Fitofarmaka adalah obat asli Indonesia yang telah dibuktikan khasiat dan

keamanannya melalui uji farmakologi, uji toksisitas dan uji klinis, dan bahan baku

maupun sediaannya telah terstandarisasi

Memproduksi adalah membuat, mencampur, mengolah, mengubah bentuk,

mengisi, membungkus dan atau memberi penandaan obat tradisional untuk diedarkan.

Industri Obat Tradisional (IOT) adalah industri yang memproduksi obat

tradisional dengan total aset di atas Rp.600.000.000,- , tidak termasuk harga tanah dan

bangunan.

Industri Kecil Obat Tradisional adalah industri obat tradisional dengan total aset

tidak lebih dari Rp.600.000.000,- , tidak termasuk harga tanah dan bangunan.

Usaha Jamu Racikan adalah usaha peracikan, pencampuran, dan atau pengolahan

obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel, atau parem dengan

skala kecil, dijual di suatu tempat tanpa penandaan dan atau merk dagang.

Page 23: Teknik Standardisasi

Usaha Jamu Gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan

pengedaran obat tradisional dalam bentuk cairan, pilis, tapelatau parem, tanpa

penandaan dan atau merk dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan.

Mengedarkan obat tradisional adalah menyajikan, menyerahkan, memiliki atau

menguasai persediaan di tempat penjualan, dalam Industri Obat Tradisional atau di

tempat lain, termasuk di kendaraan dengan tujuan untuk dijual kecuali jika persediaan di

tempat tersebut patut diduga untuk dipergunakan sendiri.

Penandaan Obat Tradisional adalah tulisan atau gambar yang dicantumkan pada

pembungkus, wadah atau etiket dan brosur yang disertakan pada obat tradisional, yang

memberikan informasi tentang obat tradisional tersebut.

Persyaratan Pendaftaran Obat Tradisional diberlakukan untuk produk obat

tradisional yang akan diproduksi dan didaftarkan sehingga berhak untuk dipasarkan

dengan merk dagang, yaitu:

a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia

b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan

yang ditetapkan

c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai

obat

d, Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika

Pada proses produksi obat tradisional diperlukan Cara Produksi Obat Tradisional

yang Baik (CPOTB), yaitu seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional,

yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi

persyaratan yang berlaku.

Tahapan proses produksi obat tradisional meliputi penyiapan bahan baku yang

berupa simplisia atau ekstrak dan pembuatan sediaan. Tahap penyiapan bahan baku

Page 24: Teknik Standardisasi

yang berupa simplisia meliputi pengumpulan bahan, sortasi, pencucian, perajangan,

pengeringan, dan pengepakan.

STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL

Standardisasi obat bahan alam, obat tradisional, atau obat alami dapat diterapkan

terhadap bahan baku maupun terhadap sediaan. Standardsisasi bahan baku sendiri dapat

diterapkan terhadap simplisia maupun ekstrak yaitu meliputi parameter spesifik dan non

spesifik

Page 25: Teknik Standardisasi

1. PARAMETER NON SPESIFIK

1.1. SUSUT PENGERINGAN

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC

selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan

sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak

mengandung minyak menguap/ atsiri dan sisa pelarut organik

menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena

berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka

TUJUAN Memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya

senyawa yang hilang pada proses pengeringan.

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan.

Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi

PROSEDUR

Bahan uji ditimbang secara seksama sebanyak 1 g sampai 2 g dan dimasukkan ke dalam

botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC

selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, bahan diratakan dalam botol

timbang, dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang

5 mm hingga 10 mm. Jika bahan yang diuji berupa ekstrak kental, ratakan dengan

bantuan pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya,

keringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Sebelum setiap penimbangan, biarkan

botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar. Jika bahan

berupa ekstrak sulit kering dan mencair pada pemanasan, ditambahkan 1 g silika

pengering yang telah ditimbang seksama setelah dikeringkan dan disimpan dalam

eksikator pada suhu kamar. Campurkan silika tersebut secara merata dengan ekstrak

pada saat panas, kemudian keringkan kembali pada suhu penetapan hingga bobot tetap.

Page 26: Teknik Standardisasi

1.2. KADAR AIR

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan, dilakukan

dengan cara yang tepat diantarta cara titrasi, destilasi atau

gravimetri

TUJUAN Memberikan batasan maksimal atau rentang tentang besarnya

kandungan air di dalam bahan.

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan.

Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi

CARA DESTILASI

Alat

Sebuah labu 500 ml (A) dihubungkan dengan pendingin air balik (C) dengan

pertolongan alat penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskala 0,1 ml. Pemanas

yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat diatur atau tangas

minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya dibungkus dengan asbes.

Pereaksi

Toluen. Sejumlah toluen P kocok dengan sedikit air, biarkan memisah, buang lapisan air

suling.

Cara penetapan

Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan air,

keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah bahan

yang ditimbang seksama yangdiperkirakan mengandung 2 ml hingga 4 ml air. Jika

bahan berupa ekstrak kental, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran

Page 27: Teknik Standardisasi

yang sesuai dengan leher labu. Untuk bahan yang dapat menyebabkan gejolak

mendadak, tambahakan pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga mencukupi

dasar labu atau sejumlah tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm yang salah satu

ujungnya tertutup. Masukkan lebih kurang 200 ml toluen P kedalam labu, hubungkan

alat. Tuangkan toluen ke dalam tabung penerima (R)melalui alat pendingin. Panaskan

labu hati-hati selama 15 menit atau hingga destilasi sempurna.

1.3. PENETAPAN KADAR ABU

a. Penetapan Kadar Abu

Lebih kurang 2 g sampai 3 g bahan ditimbang seksama, dimasukkan kedalam krus

silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang

habis, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

b. Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam sulfat encer

P selam 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui kertas

saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan kertas saring bersama sisa abu dalam

krus yang sama hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam

asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

1.4. SISA PELARUT

Penetapan Kadar Etanol Cara Kromatografi Gas-Cair

Alat kromatografi gas dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala dan kolom kaca 1,8 m

x 4 mm berisi fase diam S3 dengan ukuran partikel 100 mesh hingga 120 mesh.

Gunakan gas nitrogen P atau helium P sebagai gas pembawa. Sebelum digunakan

Page 28: Teknik Standardisasi

kondisikan kolom semasam pada suhu 235oC, alirkan gas pembawa dengan laju aliran

lambat. Atur aliran gas pembawa dan suhu (lebih kurang 120oC) sehingga baku internal

asetonitril terelusi dalam waktu 5 menit sampai 10 menit.

Larutan

Larutan baku I. Encerkan 5,0 ml etanol mutlak P dengan air hingga 250,0 ml.

Larutan baku internal. Encerkan 5,0 ml asetonitril P dengan air hingga 250,0 mL.

Larutan uji I. Encerkan contoh secara bertahap dengan air hingga kadar etanol lebih

kurang 2% v/v.

Larutan uji II. Pipet masing-masing 10 ml larutan uji I dan larutan baku internal ke

dalam labu ukur 100 ml, encerkan dengan air sampai tanda.

Larutan baku II. Pipet masing-masing 10 ml larutan baku I dan larutan baku internal ke

dalam labu ukur 100ml, encerkan dengan air sampai tanda.

Prosedur. Suntikkan maning-masing 2 kali, lebih kurang 0,5 ml larutan uji II dan larutan

baku II ke dalam kromatograf, rekam kromatogram dan tetapkan

perbandingan respons puncak. Hitung persentase etanol dalam contoh dengan

rumus:

2Ru

RsD

D adalah faktor pengenceran larutan uji I; Ru dan Rs berturut-turut adalah perbandingan

respons puncak etanol dan asetonitril dalam larutan uji II dan larutan baku II.

Uji kesesuaian sistem. Pada kromatogram yang sesuai, faktor resolusi R, tidak kurang

dari 2, dan simpangan baku relatif perbandingan respons puncak etanol dan baku

internal pada enam kali penyuntikan larutan baku II tidak lebih dari 4,0%. Faktor ikutan

puncak etanol tidak lebih dari 1,5.

Page 29: Teknik Standardisasi

1.5. SENYAWA TERLARUT DALAM PELARUT TERTENTU

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air)

untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan

jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam

hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut

lain.

TUJUAN Memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

NILAI Nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu

a. Kadar senyawa yang larut dalam air

Maserasi sejumlah 1,5 g ekstrak selama 24 jam dengan 30 ml air kloroform LP

menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam

cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga

bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air,dihitung terhadap

ekstrak awal.

b. Kadar senyawa yang larut dalam etanol

Maserasi sejumlah 1,5 g ekstrak selama 24 jam dengan 30 ml etanol 95% menggunakan

labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian

dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol,

kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang

telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam

persen senyawa yang larut dalam etanol 95%,dihitung terhadap ekstrak awal.

Page 30: Teknik Standardisasi

1.6. CEMARAN LOGAM BERAT

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Menentukan kandungan logam berat secara

spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid

TUJUAN Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam

berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan

karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan

PROSEDUR

Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak ditimbang seksama, dimasukkan kedalam krus

silikat, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis. Tambahkan asam nitrat dan

panaskan dalam lemari asam hingga terdestruksi sempurna. Tetapkan kadar cemaran

logam berat dengan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy).

1.7. RESIDU PESTISIDA

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin

saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada

bahan simplisia pembuatan ekstrak.

TUJUAN Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida

melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi

kesehatan

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan

Terkait dengan kontaminasi sisa pertanian

Page 31: Teknik Standardisasi

PROSEDUR

Berdasarkan besarnya frekuensi penggunaan pestisida di Indonesia dan persyaratan

yang sering diminta oleh importir luar negri terhadap ekspor bahan obat tradisional,

maka metode analisis yang digunakan adalah untuk multiresidu pestisida organoklor

dan organofosfat menurut Metode Pengujian Residu Pestisida Dalam Hasil Pertanian

dari Komisi Pestisida Departemen Pertanian 1997 dengan modifikasi sebagai berikut:

Metode Multiresidu Pestisida Organoklor dan Organofosfat dalam Berbagai

Matriks Hasil Pertanian (Pestisida Tertentu dalam Matriks Sederhana)

Ruang Lingkup

Metode ini dapat digunakan untuk penetapan kadar residu pestisida: asetat, alfa-BHC,

klorpirifos, dieldrin, monokrotofos dan ametoat dalam daun salada, strawberi dan tomat.

Prinsip

Cuplikan analitik tak berlemak dilumatkan dalam aseton dan disaring, pestisida

dipindahkan dari fase air ke fase organik melalui pengocokan dengan petroleum eter

dan diklorometana. Setelah pengeringan, fase organik dipekatkan, ditambahkan

petroleum eter dan aseton untuk menghilangkan diklorometana. Fase organik

disuntikkan ke dalam berbagai sistem kromatografi gas (KG) untuk ditetapkan jenis

residu pestisida. Penetapan tanpa pembersihan memungkinkan pengujian terhadap

residu atau bahan kimia lain yang tidak dapat diperoleh kembali pada metode dangan

pembersihan kolom florisil atau kolom karbon

.

Peralatan

a. Blender

Page 32: Teknik Standardisasi

b. Pemekat Kuderna-Danish. Ukuran 500 ml dengan kolom Snyder dan dihubungkan

dengan tabung penampung berskala.

c. Corong pisah. Ukuran 1 L dilengkapi dengan penutup dan kran teflon.

d. Kromatografi gas untuk residu organoklor, yang dilengkapi dengan:

1. Kolom gelas: Ukuran 2 m x 2 mm, berisi metilsilikon yang sesuai seperti

2% V-101, pada penyangga Chromosorb W (HP) 80-100 mesh.

2. Detektor spesifik untuk halogen: Hall Electrolytic Conductive Detector

(HECD)

3. Suhu kolom: 200oC

4. Suhu detektor: 300oC

5. Gas pembawa: Helium, dengan laju alir 60 mL/menit.

6. Gas reaksi: Hidrogen, dengan laju alir 60-100 mL/menit

7. Pelarut; n-propanol, dengan laju alir 0,35 mL/menit.

e. Kromatografi gas untuk residu organofosfat

1. Kolom gelas tersilinasi, 1,2m x 2 mm, berisi 2% DEGS pada penyangga

Chromosorb W (HP) 80-100 mesh.

2. Detektor photometri nyala (FPD) yang mempunyai selsktifitas terhadap P (Filter

526 nm)

3. Suhu kolom: 180oC

4. Suhu detektor: 200oC

5. Gas pembawa: Helium, laju alir 60 mL/menit

6. Kolom dikondisikan (lepaskan dari detektor) dengan cara mengalirkan gas

pembawa selama 30 menit pada suhu tidak lebih atau sama dengan 80oC. Suhu

diprogram pada 1-2oC/menit sampai 230oC dan diamkan semalam. Nyalakan

detektor dan buat nyala yang stabil pada kondisi elektrometer yang

menghasilkan penyimpangan 50 % skala penuh terhadap 1,5 ng klorpirifos dan 6

Page 33: Teknik Standardisasi

ng monokrotofos. Jika perlu naikkan aliran udara sampai diperoleh respon lebih

besar atau sama dengan 50% dan gangguan pada garis dasar lebih kecil dari 2%.

Pereaksi

a. Aseton

b. Diklorometana

c. Petroleum eter

d. Natrium sulfat anhidrat granul

e. Wol kaca

f. Baku pembanding pestisida asetat, BHC, klorpirifos, pp-DDT, dieldrin,

metamidofos, monokrotofos, ametoat.

g. Baku campuran organoklor yang mengandung klorpirifos, dieldrin, p-DDT.

Untuk organofosfat harus mengandung metamidofos dan klorpirifos. (Jangan

gunakan baku campuran untuk penetapan kuantitatif zat yang tidak diketahui).

h. Larutan baku pembanding. Buat semua larutan baku pembanding induk dan

pengencerannya menggunakan aseton yang telah disuling dengan penyuling dari

kaca. Buat larutan baku pembanding untuk KG dengan konsentrasi yang

menghasilkan respon 30-70% dari skala penuh pada penyuntikan 4 L. Konsentrasi

yang dianjurkan dapat dilihat dalam tabel 5-2. Sebelum analisis dimulai , respons

dari larutan baku pembanding harus diperiksa. Simpan semua larutan pada wadah

tertutup dalam lemari pendingin. Biarkan selama 1 jam pada suhu kamar sebelum

digunakan.

Prosedur

a. Penyiapan cuplikan analitik

Page 34: Teknik Standardisasi

1. Cincang cuplikan analitik, aduk sampai homogen, timbang 100g dan masukkan

ke dalam blender.

2. Tambahkan 200 mL aseton, lumatkan dengan kecepatan tinggi selama 2 menit

(jangan tambah celite).

3. Saring melalui Buchner dengan kertas saring sharkskin (Bilas kertas saring

dengan aseton sebelum penyaringan utnuk menghilangkan zat-zat yang mungkin

mengganggu). Tampung saringan dalam labu 500 mL. Penyaringan biasanya

selesai dalam waktu kurang dari 1 menit. Pengurangan tekanan yang diteruskan

dalam jangka waktu berlebihan, dapat mengurangi wolume ekstrak, dan

menyebakan kesalahan pada perhitungan.

4. Masukkan 80 mL ekstrak ke dalam corong pisah 1 L. Tambahkan 100 mL

petroleum eter dan 100 mL diklorometana, kocok kuat-kuat selama 1 menit.

5. Pindahkan lapisan air ke dalam corong pisah 1 L yang kedua.

6. Keringkan lapisan organik melalui natrium sulfat anhidrat granultinggi 4 cm

yang ditahan dengan wol kaca dalam corong 10 cm tampung dalam labupenekat

Kuderna-Danish 500 mL yang dihubungkan dengan tabung penampung

berskala.

7. Pada corong pisah kedua, tambahkan 7 g natrium klorida kocok kuat-kuat

selama 30 detik sampai semua natrium klorida larut. Tambahkan 100 mL

diklorometana , kocok selama 1 menit dan keringkanlapisan organik melalui

natrium sulfat anhidrat granul. Ulangi ekstraksi fase air denga 100 mL

diklorometana danb keringkan seperti diatas. Bilas natrium sulfat dengan lebih

kurang 50 mL diklorometana.

Page 35: Teknik Standardisasi

8. Masukkan ke dalam pemekat Kuderna-Danish, pasang kolom Snyder, uapkan

perlahan-lahan dengan memasukkan labu ke dalam uap air. Setelah menguap

100-150 mL, pemanasan labu penampung pada uap air dapat ditingkatkan.

9. Bila cairan dalam labu penampung tinggal kira-kira 2 mL, tambahkan 100 mL

petroleum eter melalui kolom Snyder dan uapkan lagi hingga 2 mL. Tambahkan

50mL petroleum eter dan ulangi penguapan.

10. Tambahkan 20 mL aseton dan uapkan lagi hingga 2 mL. Pada waktu penguapan

harus dijaga jangan sampai kering. Atur volume ekstrak sampai volume yang

diinginkan dengan penambahan aseton.

b. Penetapan

Periksa kedua sistem KG dengan menyuntikkan larutan baku pembanding campuran.

Suntikkan pada setiap sistem KG sejumlah ekstrak yang setara denganlebih kurang 12

mg cuplikan analitik. Lakukan identifikasi tentatif pada respon KG berdasarkan waktu

tambat. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan membandingkan luas puncak pada

kromatogram cuplikan analitik dengan kromatogram larutan baku. Untuk menjamin

validitas pengukuran residu, perbedaan luas puncak residu dan baku pembanding tidak

boleh melebihi 25%.

Cara Menyatakan Hasil

Berat ekuivalen cuplikan analitik dihitung dengan rumus bahwa jumlah miligram

ekuivalen pestisida per mililiter ekstrak akhir adalah

Konsentrasi = (100 x 80)/200 + W-(10 x 1) mg ekuivalen per ml

1.8. CEMARAN MIKROBA

Page 36: Teknik Standardisasi

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang patogen

secara analisis mikrobiologis

TUJUAN Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung

mikroba non patogen melebihi nilai yang ditetapkan karena

berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi

kesehatan

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan

PROSEDUR

a. Uji Angka Lempeng Total

Pengertian dan prinsip

Pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah cuplikan diinokulasikan pada media

lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai.

Media dan Pereaksi

Media

Plate Count Agar (PCA)

Pereaksi:

Pepton Dilution Fluid (PDF)

Fluid Casein Digest Soy Lecithin Polysorbate (PCDSLP)

Minyak mineral (parafin cair)

Tween 80 dan 20

Peralatan Khusus

Stomacher atau blender

Alat hitung koloni

Page 37: Teknik Standardisasi

Prosedur

Disiapkan 5 buah tabung atau lebih yang masing-masing telah diisi dengan 9 ml

pengencer PDF. Dari hasil homogenisasi pada penyiapan contoh dipipet pengenceran

10-1 sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang berisi pengencer PDF pertama hingga

diperoleh pengenceran 10-2 dan dikocok sehingga homogen. Dibuat pengenceran

selanjutnya hingga 10-6 atau sesuai dengan yang diperlukan. Dari setiap pengenceran

dipipet 1 ml ke dalam cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan petri

dituangkan 15-20 ml media PCA (45 1o). segera cawan petri digoyang dan diputar

sedemikian rupa sehingga suspensi tersebar merata. Untuk mengetahui sterilitas media

dan pengencer dibuat uji kontrol (blanko). Pada satu cawan hanya diisi 1 ml pengencer

dan media agar, dan pda cawan lain diisi pengencer dan media. Setelah media memadat,

cawanpetri diinkubasi pada suhu 35 – 37oC selama 24-48 jam dengan posisi terbalik.

Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.

Perhitungan

Dipilih cawan petri dan satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 30-

300. Jumlah kloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan dengan faktor

pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai Angka Lempeng Total dalam tiap gram

contoh. Bila ditemui jumlah koloni kurang dari 30 atau lebih dari 300 maka diikuti

petunjuk sebagai berikut:

1. Bila hanya salah satu diantara kedua cawan yang menunjukkan jumlah antara 30-

300 koloni, dihitung rata-rata dari kedua cawan dan dikalikan dengan faktor

pengenceran.

Page 38: Teknik Standardisasi

2. Bila pada cawan petri dari dua tingkat pengenceran yang berurutan menunjukkan

jumlah antara 30-300 koloni, maka dihitung jumlah koloni dan dikalikan faktor

pengenceran kemudian diambil angka rata-rata. Jika pada tingkat pengenceran yang

lebih tinggi didapati jumlah koloni lebih besar dari dua kali jumlah kloni yang

seharusnya, maka dipilih tingkat pengenceran terendah (misalnya pada pengenceran

10-2 diperoleh 140 koloni dan pada pengenceran 10-3 diperoleh 32 koloni, maka

dipilih jumlah koloni pada tingkat pengenceran 10-2.

3. Bila dari seluruh cawan petri tidak ada satupun yang menunjukkan jumlah antara

30-300 koloni, maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah

dan dihitung sebagai Angka Lempeng Total Perkiraan.

4. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan karena faktor

inhibitor, maka Angka Lempeng Total dilaporkan sebagai kurang dari satu dikalikan

faktor pengenceran terendah.

5. Bila jumlah koloni per cawan lebih dari 3000, maka cawan dengan tingkat

pengenceran tertinggi dibagi dalam beberapa sektor (2, 4, atau 8). Jumlah koloni

dikalikan dengan faktor pembagi dan faktor pengenceran, hasil dilaporkan sebagai

Angka Lempeng Total Perkiraan.

6. Bila jumlah koloni lebih dari 200 pada 1/8 bagian cawan, maka jumlahkoloni adalah

200 x 8 x faktor pengenceran. Angko Lempeng Total Perkiraan dihitung sebagai

lebih besar dari jumlah koloni yang diperoleh.

b. Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) Coliform.

Pengertian dan Prinsip

Pertumbuhan bakteri coliform setelah cuplikan diinokulasikan pada media cair yang

sesuai, adanya reaksi fermentasi dan pembentukan gas di dalam tabung Durham.

Page 39: Teknik Standardisasi

Pereaksi Khusus

Pepton Dilution Fluid (PDF)

Mac Conkey Broth (MCB)

Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLB)

Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)

Violet Ted Bile Agar (VRBA)

Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP) Medium

Trypton Broth

Simmon’s Citrate Agar

Nutrient Agar

Peralatan Khusus

Stomacher atau Blender atau Cawan Mortir

Pipet Ukur

Tabung Durham

Prosedur

Disiapkan 5 tabung reaksi masing-masing berisi 9 ml PDF. Dari hasil homogenisasi

pada penyiapan contoh dipipet 1 ml pengenceran 10-1 ke dalam tabung PDF pertama

hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dikocok sehingga homogen. Dibuat pengenceran

selanjutnya hingga 10-6.

Uji Prakiraan

Untuk setiap pengenceran disiapkan 3 tabung berisi 9 ml MCB yang dilengkapi tabung

Durham. Kedalam tiap tabung dari masing-masing seri dimasukkan 1 ml suspensi

Page 40: Teknik Standardisasi

pengenceran. Diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Setelah 24 jam dicatat

dan diamati adanya gas yang terbentuk di dalam tiap tabung. Kemudian inkubasi

dilanjutkan hingga 48 jam dan dicatat tabung-tabung yang menunjukkan gas positif.

Uji Konfirmasi

Biakan dari tabung yang menunjukkan uji prakiraan positif dipindahkan 1 sengkelit ke

dalam tabung berisi 10 ml BGLB yang telah dilengkapi tabung Durham. Seluruh tabung

diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Dilakukan pengamatan terhadap

pembentukan gas. Jumlah tabung yang positif gas dicatat dan hasil pengamatan tersebut

dirujuk ke tabel Nilai Duga Terdekat (NDT) / Minimal Presumtif Number (MPN).

Angka yang diperoleh pada tabel MPN menyatakan jumlah bakteri coliform dalam tiap

gram contoh yang diuji.

Tabel : MPN (cara 3 tabung). Indeks MPN dan batas kepercayaan 95% limits bila

digunakan tiga tabung

Jumlah tabung positif MPN

Per g

atau

per ml

Batas kepercayaan

95%

1

:1

0

1

:

1

0

0

1

:

1

0

0

0

Ba

wa

h

At

as

0

0

0

1

1

0

0

1

0

0

0

1

0

0

1

< 3

3

3

4

7

<0,

5

<0,

5

9

13

20

21

Page 41: Teknik Standardisasi

1

1

1

2

2

2

2

2

2

3

3

3

3

3

3

3

3

3

3

3

3

3

1

1

2

0

0

1

1

2

2

0

0

0

1

1

1

2

2

2

3

3

3

3

0

1

0

0

1

0

1

0

1

0

1

2

0

1

2

0

1

2

0

1

2

3

7

11

11

9

14

15

20

21

28

23

39

64

4.

75

120

93

150

210

240

460

1100

>2400

<0,

5

1

1

3

3

1

3

3

7

4

10

4

7

15

7

14

30

15

30

35

36

71

150

23

36

36

36

37

44

89

47

150

120

130

380

210

230

380

380

440

470

130

0

240

0

480

0

1.9. CEMARAN KAPANG, KHAMIR DAN AFLATOKSIN

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Menentukan adanya jamur secara mikrobiologis dan

adanya aflatoksin dengan KLT

TUJUAN Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung jamur

melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas

ekstrak dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan

Page 42: Teknik Standardisasi

NILAI Maksimal atau rentang yang diperbolehkan

PROSEDUR

Uji Angka Kapang dan Khamir

Pengertian dan prinsip

Pertumbuhan kapang dan khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media yang

sesuai dan diinkubasikan pada suhu 20-25oC.

Pereaksi / Media Khusus

Media

Potato Dextrose Agar (PDA)

Czapek Dox Agar (CDA) atau

Malt Agar

Air Suling Agar 0,05% (ASA)

Kloramfenikol 100 mg/Liter media

Peralatan Khusus

Lemari aseptik

Stomacher atau blender

Pipet ukur mulut lebar

Prosedur

Disiapkan 3 tabung yang masing-masing telah diisi 9 ml ASA. Dari hasil homogenisasi

pada penyiapan contoh dipipet pengenceran 10-1 sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang

berisi pengencer ASA pertama hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dikocok sehingga

Page 43: Teknik Standardisasi

homogen. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10-6 atau sesuai dengan yang

diperlukan. Dari setiap pengenceran dipipet 0,5 ml dituangkan ke permukaan PDA ,

segera digoyang sambil diputar agar suspensi tersebar merata dan dibuat duplo. Untuk

mengetahui sterilitas media dan pengencer dibuat uji kontrol (blanko). Pada satu cawan

hanya diisi media dan dibiarkan memadat. Kedalam cawan lain dituangkan pengencer

dan media, kemudian dibiarkan memadat. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 20-

25oC selama 5-7 hari. Sesudah 5 hari inkubasi, dicatat jumlah koloni jamur yang

tumbuh, pengamatan terakhir pada inubasi 7 hari. Koloni ragi dibedakan karena

bentuknya bulat kecil-kecil putih hampir menyerupai bakteri. Lempeng agar yang

diamati adalah lempeng dimana terdapat 40-60 koloni kapang/khamir.

Perhitungan

Misalkan pada pengenceran 10-4 terdapat sebanyak 40 koloni maka angka

kapang/khamir (bila terdapat) adalah 40 x 104 = 40.104 koloni pergram contoh. Untuk

beberapa kemungkinan lain yang berbeda dari pernyataan diatas, maka diikuti petunjuk

sebagai berikut:

1. Bila hanya salah satu diantara kedua cawan petri dari pengenceran sama

menunjukkan jumlah antara 40-60 koloni, dihitung jumlah koloni dari kedua cawan

dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

2. Bila pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni lebih besar

dari dua kali jumlah koloni pada pengenceran di bawahnya maka dipilih tingkat

pengenceran terendah (misal pada pengenceran 10-2 diperoleh 60 koloni dan pada

pengenceran 10-3 diperoleh 20 koloni, maka dipilih jumlah koloni pada tingkat

pengenceran 10-2 yaitu 60 koloni).

Page 44: Teknik Standardisasi

3. Bila dari seluruh cawan petri tidak ada satupun yang menunjukkan jumlah antara

40-60 koloni, maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat pengenceran terendah dan

dihitung sebagai angka kapang/khamir perkiraan.

4. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan karena faktor

inhibitor, maka angka kapang/khamir dilaporkan sebagai kurang dari satu dikalikan

faktor pengenceran terendah.

Uji Cemaran Aflatoksin

Pengertian dan prinsip

Pemisahan isolat aflatoksin secara kromatografi lapis tipis.

Pereaksi khusus

Media dan pengenceran Media Yeast Extract Sucrose Broth (YES)

Peralatan khusus

Lemari aseptik

Lampu ultraviolet

Mikropipet 10 ml

Prosedur

Kultur Aspergillus flavus hasil isolat dan identifikasi dari ekstrak diinokulasikan pada

permukaan media YES. Tabung diinokulasi pada suhu 25oC selama satu minggu dalam

posisi miring untuk mendapatkan permukaan yang luas. Biakan diautoklaf pada suhu

121oC selama 15 menit, biakan dibiarkan sampai dingin. Sejumlah kecil media biakan

diambil dengan menggunakan pipet pasteur dan diamsukkan ke dalam tabung reaksi

kecil atau vial.

Page 45: Teknik Standardisasi

Identifikasi

Kromatografi Lapis Tipis

Terhadap biakan dan Baku Aflatoksin dilakukan Kromatografi Lapis Tipis sebagai

berikut:

Lempeng : silika gel (lempeng pralapis)

Baku aflatoksin : merupakan campuran siap pakai terdiri dari 5,0 g aflatoksin B1; 1,5

g aflatoksin B2; 5,0 g aflatoksin G1; 1,5 g aflatoksin G2 dalam larutan campuran

benzen : asetonitril (98:2) (Sigma Chemical Company).

Eluen : Campuran kloroform : aseton : n-heksan (85:15:20)

Jarak rambat : 10 cm

Penampak bercak : bercak berwarna biru atau hijau kebiruan pada UV 366 nm.

Hasil:

Mikrobiologi :

Angka lempeng total perkiraan < 10 koloni/gram

- Syarat kurang dari atau sama dengan 104 koloni/gram

- Kapang dan khamir < 10 koloni/gram

- Syarat kurang dari atau sama dengan 103 koloni/gram

- E. coli : negatif (syarat negatif)

- Salmonella : negatif (syarat negatif)

- E. aureus : negatif (syarat negatif)

- P.aeruginosa : negatif (syarat negatif)

-

2. PARAMETER SPESIFIK

2.1. IDENTITAS

PENGERTIAN I. Deskripsi tata nama:

Page 46: Teknik Standardisasi

DAN PRINSIP 1. Nama bahan (generik, dagang, paten)

2. Nama latin tumbuhan (sistematika botani)

3. Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb)

4. Nama Indonesia tumbuhan

II. Bahan dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa

tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode

tertentu.

TUJUAN Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari

senyawa identitas

2.2. KADAR KANDUNGAN KIMIA TERTENTU

PENGERTIAN

DAN PRINSIP

Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa

senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun

kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi

instrumental dapat dilakukan penetapan kadar

kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat

digunakan adalah Densitometer, Kromatografi gas,

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrumen lain

yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu

validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas,

ketelitian, ketepatan dan lain-lain.

TUJUAN Memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai

senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab

pada efek farmakologi.

NILAI Minimal atau rentang kadar yang telah ditetapkan

PROSEDUR

Penetapan kadar minyak atsiri

Page 47: Teknik Standardisasi

Letakkan labu alas bulat 1 L, berleher pendek dalam mantel pemanas. Hubungkan labu

dengan pendingin dan alat penampung berskala. Timbang secukupnya sejumlah ekstrak

hingga diperkirakan dapat menghasilkan volume minyak antara 20-80% dari kapasitas

penampung. Masukkan sejumlah ekstrak yang telah ditimbang seksama ke dalam labu.

Hubungkan dengan bagian pendingin dan penampung berskala. Tambahkan batu didih

dan 300 ml aquadest. Masukkan aquadest ke bagian penampung. Tambahkan 0,20 –

0,30 ml xilena pada bagian penampung. Didihkan isi labu dengan pemanasan yang

sesuai untuk menjaga agar pendidihan berlangsung tidak terlalu kuat selama 2 jam atau

sampai minyak atsiri terdestilasi sempurna dan tidak bertambah lagi dalam bagian

penampung. Amati dan catat volume minyak atsiri yang tertampung dan hitung sebagai

prosen volume (ml) setelah dikurangi volume xilena terhadap bobot sampel (g).

APLIKASI PADA INDUSTRI OBAT TRADISIONAL

Page 48: Teknik Standardisasi

Kombinasi efek komplementer, sinergisme dan kontraindikasi, serta hambatan

absorpsi, peningkatan ketersediaan hayati, stabilitas dan kelarutan kandungan kimia

jelas akan sangat berpengaruh terhadap efek suatu sediaan obat alami. Oleh sebab itu

bentuk sediaan yang digunakan sangat menentukan efeknya. Bahan segar berbeda

efeknya dengan bahan yang telah dikeringkan terkait dengan cara penggunaannya,

diseduh, direbus, atau diperas. Berbagai ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut

berbeda memiliki efek terapi yang berbeda pula. Itulah sebabnya pada saat ini

berkembang ilmu yang disebut teknologi fitofarmasetik (List and Schmidt, 1989) yang

dulu disebut galenika. Kecenderungan yang terjadi di luar negeri dan juga mulai terlihat

di Indonesia adalah usaha produksi ekstrak terpurifikasi. Hal ini sangat positif terutama

untuk mendukung program Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

yang menggolongkan obat bahan alam atau obat alami Indonesia menjadi tiga kategori

yaitu Obat Tradisional Empirik (Jamu), Obat Herbal Terstandar (OHT), dan

Fitofarmaka (Anonim, 2005). Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang

berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau

campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk

pengobatan berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat

Herbal Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi.

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk

jadinya telah distandarisasi.

Page 49: Teknik Standardisasi

Satu tahun setelah ditandatanganinya Surat Keputusan tentang kriteria obat bahan

alam tersebut ternyata telah memacu para pengusaha untuk meningkatkan produknya

dari jamu menjadi obat herbal terstandar bahkan menjadi fitofarmaka. Lebih dari 20

obat herbal terstandar dan 9 produk fitofarmaka saat ini telah terdaftar di Badan POM.

Seluruh produk tersebut menggunakan ekstrak sebagai bahan bakunya dan tidak lagi

berupa sediaan seduhan maupun rebusan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa akar kelembak memiliki dua

macam kandungan kimia yang memiliki efek kontraindikasi yaitu antrakinon yang

berefek laksansia dan tanin yang berefek antidiare. Akar kelembak yang diekstraksi

dengan etanol akan kaya dengan antrakinon sebab senyawa ini relatif tidak terlalu polar

(Evans, 1989) sehingga sesuai untuk diprogramkan sebagai bahan baku untuk sediaan

yang berefek laksansia. Sebaliknya jika diekstraksi dengan air panas akan menghasilkan

ekstrak dengan kadar tanin tinggi karena baik tanin terkondensasi maupun tanin

terhidrolisis merupakan senyawa yang bersifat polar (Bruneton, 1997) sehingga lebih

sesuai untuk sediaan anti diare.

Rimpang temulawak yang mengandung kurkuminoid dan minyak atsiri memiliki

efek kontraindikasi jika diprogramkan untuk obat penurun kholesterol. Oleh sebab itu

eliminasi minyak atsiri menjadi solusi yang tepat agar kontraindikasi tersebut dapat

dihindarkan. Eliminasi minyak atsiri dengan cara distilasi bukan merupakan cara yang

tepat karena terjadi pemanasan bahan secara berlebihan yang dapat merusak

kurkuminoid (Tonnesen and Karlsen, 1986). Cara yang lebih tepat adalah dengan

ekstraksi menggunakan pelarut yang memiliki polaritas selektif dalam melarutkan

kandungan kimia tanaman. Hal ini telah diterapkan dalam penelitian di laboratorium

dengan skala relatif besar dan hasilnya terbukti memiliki efek yang signifikan sebagai

Page 50: Teknik Standardisasi

penurun kholesterol pada uji praklinik dan uji klinik yang telah dilakukan (Pramono

dkk, 2005).

Ketepatan prosedur ekstraksi memang sangat menentukan efek suatu sediaan obat

alami yang dihasilkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa daun jati belanda

memiliki tiga jenis komponen aktif yang berperan dalam khasiatnya sebagai pelangsing

yaitu musilago, tanin, dan alkaloid. Musilago dan tanin merupakan kandungan kimia

yang polar, sedangkan alkaloid memiliki dua kemungkinan terdapatnya dalam tanaman

yaitu dalam bentuk bebas yang relatif bersifat nonpolar atau dalam bentuk garamnya

yang lebih larut dalam air. Pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa alkaloid

terdeteksi pada fraksi etil asetat dan fraksi air hasil pemisahan ekstrak daun jati belanda,

sehingga dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar terdapat kedua bentuk alkaloid

yaitu yang bebas dan dalam bentuk garam (Rujiati dkk., 2006). Berdasarkan hal itu

ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya akan melarutkan alkaloid bebas dan

sedikit tanin. Musilago sama sekali tidak larut dalam etanol 95%. Sebaliknya jika

ekstraksi dilakukan dengan air atau etanol derajat rendah misalnya etanol 30% maka

ketiga kandungan aktif daun jati belanda yaitu musilago, tanin, dan garam alkaloid akan

dapat tersari dengan sempurna.

PERSYARATAN OBAT TRADISIONAL EMPIRIS / JAMU

• Keseragaman bobot / volume

• Kadar air / susut pengeringan

• Batas cemaran mikroba

• Tidak mengandung bahan kimia obat dan bahan tanaman berbahaya

• Persyaratan lain sesuai bentuk sediaan spt waktu hancur, pengawet, pemanis, kadar

alkohol

Page 51: Teknik Standardisasi

• Klim indikasi sesuai dengan yang disetujui

PERSYARATAN OBAT HERBAL TERSTANDAR

• Keseragaman bobot/ volume, kadar air, batas cemaran mikroba dan persyaratan lain

spt pada OT Empiris

• Standardisasi kadar kandungan kimia aktif, golongan kandungan kimia, zat

identitas, atau profil kromatogram bahan baku

• Laporan hasil uji farmakologi dan uji toksisitas pd hewan oleh lembaga/institusi

independen yang diakui

PERSYARATAN FITOFARMAKA

• Keseragaman bobot/ volume, kadar air, batas cemaran mikroba dan persyaratan lain

spt pada OT Empiris

• Standardisasi kadar kandungan kimia aktif, golongan kandungan kimia, zat

identitas, atau profil kromatogram bahan baku dan sediaan

• Laporan hasil uji farmakologi dan uji toksisitas pd hewan serta uji klinis pd

manusia oleh lembaga/institusi independen yang diakui

CONTOH PERSYARATAN KAPSUL

• Waktu hancur < 15 menit

• Keseragaman bobot untuk 20 kapsul, tdk lbh 2 kapsul yg menyimpang >10% dan

tidak satupun yg > 20%

• Kadar air < 10%

• Angka lempeng total < 10000

• Angka kapang < 1000

• Mikroba patogen negatif

• Aflatoksin < 30 bagian per juta / bpj

Page 52: Teknik Standardisasi

• Pengawet < 0,1%

STANDARDISASI KANDUNGAN KIMIA

• KADAR KANDUNGAN KIMIA AKTIF

• Kurkumin-Curcuma, piperin-Cabe jawa, apiin-Seledri, gingerol-Ginger

• Metode penetapan kadar bisa Spektrofotometri, KLT-densitometri, KCKT,

Kromatografi gas, Titrimetri, Grafimetri

• Kadar dalam rentang nilai

STANDARDISASI KANDUNGAN KIMIA

• KADAR GOLONGAN KANDUNGAN KIMIA

• Minyak atsiri, saponin, tanin, antrakinon, fenol, flavonoid, kurkuminoid, steroid,

triterpen, karotenoid, alkaloid, iridoid, polisakarida

• Metode penetapan kadar distilasi Stahl, indeks hemolisis, spektrofotometri,

kolorimetri, titrimetri, gravimetri

• Untuk bahan baku ditetapkan masing-masing secara terpisah, sedangkan untuk

sediaan bisa dipilih salah satu yg berperan utama dalam mendukung khasiat

STANDARDISASI KANDUNGAN KIMIA

• KADAR ZAT IDENTITAS / PENANDA

• Zat identitas spesifik untuk bahan yang ditetapkan

• Diperlukan jika kandungan aktif tidak diketahui, dikandung oleh lebih dari satu

bahan penyusun formula

• Xanthorrhizol untuk Temulawak, Ar-turmeron untuk Kunyit, Sinensetin untuk

Kumis kucing

• Metode penetapan kadar sama dengan pd kandungan kimia aktif

Page 53: Teknik Standardisasi

STANDARDISASI KANDUNGAN KIMIA

• PROFIL KUANTITATIF KROMATOGRAM

• Dilakukan jika kandungan kimia aktif, golongan kandungan kimia aktif, dan zat

identitas belum diketahui

• Metode Kromatografi gas atau KLT-densitometri

• Ditetapkan nilai rentang setiap puncak kromatogram

HASIL UJI FARMAKOLOGI DAN TOKSISITAS PADA HEWAN

• Metode pengujian sesuai dengan pedoman pengujian Badan POM, WHO, atau buku

acuan yang diakui

• Tidak dilakukan oleh laboratorium perusahaan sendiri agar terjaga obyektivitasnya

• Telah dievaluasi oleh Komnas Penilai dan disetujui oleh Kepala Badan POM

HASIL UJI KLINIS

• Menggunakan protokol yang valid dan telah dievaluasi Komnas Penilai serta

disetujui oleh Kepala Badan POM

• Lolos Ethical Clearance pada Instansi yang berwenang di mana uji klinis dilakukan

• Ada inform consent dari pasien yang mengikuti uji klinis

KLIM INDIKASI DAN FORMULA

• Sesuai yang disetujui saat pendaftaran

• Rasional, sesuai tujuan pengobatan

• Tidak ada klim maupun bahan penyusun formula yang kontraindikasi

• Tidak mengandung bahan yang dilarang oleh Badan POM / Depkes

TINGKAT PEMBUKTIAN DAN JENIS KLIM

• UMUM

Terutama untuk produk Obat Tradisional Empiris, tetapi bisa juga untuk Obat Herbal

Terstandar

• MEDIUM

Page 54: Teknik Standardisasi

Pada umumnya untuk Obat Herbal Terstandar atau Fitofarmaka

• TINGGI

Hanya untuk Fitofarmaka

TINGKAT PEMBUKTIAN UMUM

TINGKAT PEMBUKTIAN MEDIUM

TINGKAT PEMBUKTIAN TINGGI

RASIONAL, SESUAI TUJUAN PENGOBATAN

CONTOH YANG TIDAK RASIONAL

• Diuretika untuk pelangsing

• Indikasi antiinfeksi dengan dosis sediaanterlalu kecil

• Indikasi rematik tidak didukung oleh analgesik dan antiinflamasi

TIDAK KONTRAINDIKASI

KLIM

Dapat menurunkan tekanan darah dan dapat meningkatkan tekanan darah

FORMULA

Mengandung klembak yang tidak diolah sehingga tubuh mengkonsumsi antrakuinon

sebagai laksansia tetapi sekaligus mengkonsumsi tanin yang berefek anti laxatif.

Mengandung temulawak yang tidak diolah sehingga kurkuminoidnya menurunkan

kadar kolesterol, tetapi minyak atsirinya menambah nafsu makan

TIDAK MENGANDUNG BAHAN YANG DILARANG

• Biji Saga – Abrus precatorius

• Biji Kecubung – Datura spesies

• Herba Patah tulang – Euphorbia tirucalli

• Daun Wati/Kava-kava-Piper methysticum

• Daun Oleander-Nerium oleander

Page 55: Teknik Standardisasi

• Daun Comfrey-Symphytum officinale

• Kodok kerok - Bufo vulgaris

• Lintah - Hyrudo nipponica

• Tembaga II sulfat penta hidrat - Chalcanthite

• Litharge - Pb

PENINGKATAN DAYA SAING

1. KONTINUITAS PENGADAAN BAHAN BAKU

Keterkaitan pengadaan bahan & pasar

2. MENJAGA DAN MENINGKATKAN MUTU

- Budidaya

- Standarisasi

- Improvisasi teknologi proses

3. INOVASI DAN DIVERSIFIKASI PRODUK

- Bentuk/penampilan produk

- Komposisi ramuan

4. SELEKSI KOMODITAS

SELEKSI KOMODITAS

1. MUDAH DIBUDIDAYAKAN

>< Pimpinella pruatjan

2. RAMAH LINGKUNGAN

>< Akar pohon besar

3. KANDUNGAN KIMIA AKTIF STABIL

>< Lakton, Rantai karbon tidak jenuh panjang

4. PASARAN LUAS, STABIL, DAN TREND

>< Malaria, Kaki gajah

Page 56: Teknik Standardisasi

5. RASIO MANFAAT DAN RESIKO BAIK

>< Tapak dara untuk anti diabetes

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Materia Medika Indonesia, Jilid III, DepartemenKesehatan Republik

Indonesia, Jakarta

Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, DepartemenKesehatan Republik Indonesia,

Jakarta

De Smet PAGM, 1992, Toxicological Outlook of the Quality Assurance of Herbal

Remedies, in De Smet (Ed.), Adverse Effects of Herbal Drugs 1, Springer Verlag,

Berlin

Djamaluddin M, 2002, Indonesian Pharmaceutical market Industry, National Agency of

Drug and Food–Control. Indonesia, Jakarta

Paris RR et Moyse H, 1976, Precis de Matiere Medicale, Tome I, Deuxieme edition

revisee, Masson, Paris

Tonnesen HH and Karlsen J, 1985, Studies on Curcumin and Curcuminoids, V,

Alkaline Degradation of Curcumin, Z.Lebenson-Unters-Forsch, 180. 132

Tonnesen HH and Karlsen J, 1986, Studies on Curcumin and Curcuminoids, VIII,

Photochemical Stability of Curcumin, Z.Lebenson-Unters-Forsch, 181

Yuniarto N dan Pramono S, 2004, Standardisasi Daun Seledri Berdasarkan Kandungan

Apiin, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada