TBC

11
TBC Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU No. 23 th. 1992). Menurut HL. Blum (Azwar, 1996) derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan. Kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam rumah di lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Dinas Perumahan DKI, 2006). Di Indonesia 400 orang meninggal setiap hari karena TBC Paru, sehingga penanganan masalah TBC Paru perlu mendapat perhatian serius. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa incident penyakit ini lebih tinggi pada rumah tangga miskin. Perhitungan dampak ekonomi akibat penyakit TBC Paru meliputi 2 hal, yaitu hilangnya waktu produktif karena sakit dan hilangnya waktu produktif karena mati (Bakri, 2006). Dengan demikian, masalah penyakit TBC Paru secara potensial akan menyebabkan terjadinya kemiskinan dan sekaligus memperdalam tingkat kemiskinan. (Pikas, 2006) PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kasus maupun pembanding sebagian besar rumahnya tidak sehat. Risiko untuk menderita TBC Paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang kondisinya tidak sehat.Hasil ini sesuai dengan penelitian Supriyono (2003) yang menyatakan bahwa risiko untuk mendapatkan TBC Paru 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Perumahan dan lingkungan pemukiman sehat menjadikan hidup

description

makalah

Transcript of TBC

TBCPembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudderajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU No. 23 th. 1992). MenurutHL. Blum (Azwar, 1996) derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktordiantaranya adalah faktor lingkungan. Kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologik di dalamrumah di lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkanpenghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal(Dinas Perumahan DKI, 2006). Di Indonesia 400 orang meninggal setiap harikarena TBC Paru, sehingga penanganan masalah TBC Paru perlu mendapatperhatian serius. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa incident penyakitini lebih tinggi pada rumah tangga miskin. Perhitungan dampak ekonomiakibat penyakit TBC Paru meliputi 2 hal, yaitu hilangnya waktu produktifkarena sakit dan hilangnya waktu produktif karena mati (Bakri, 2006). Dengandemikian, masalah penyakit TBC Paru secara potensial akan menyebabkanterjadinya kemiskinan dan sekaligus memperdalam tingkat kemiskinan.(Pikas, 2006)PEMBAHASANHasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kasus maupunpembanding sebagian besar rumahnya tidak sehat. Risiko untuk menderitaTBC Paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yangkondisinya tidak sehat.Hasil ini sesuai dengan penelitian Supriyono (2003)yang menyatakan bahwa risiko untuk mendapatkan TBC Paru 1,3 kali lebihtinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak memenuhi syaratkesehatan. Perumahan dan lingkungan pemukiman sehat menjadikan hidupmanusia nyaman, aman tertib dan teratur. Perumahan dan lingkunganpemukiman sehat akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupanmanusia untuk dapat bekerja dan berusaha secara layak. Kondisi rumah,perumahan dan pemukiman sangat mempengaruhi kondisi manusia (Dinasperumahan DKI, 2006). Hal ini sesuai dengan hasil survey seksi penyehatanlingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2004 yangmenyatakan bahwa kondisi perumahan yang belum memenuhi syaratmerupakan faktor risiko dari penyakit TBC Paru di Kabupaten Gunungkidul.Menurut Koesno (2001) lingkungan yang bersih dan sehat merupakan saranayang ampuh untuk mencegah penularan penyakit.Langit-langit rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBCParu. Risiko untuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada pendudukyang tinggal pada rumah yang langit-langit tidak memenuhi syaratkesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil survey seksi penyehatan lingkunganDinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2004 bahwa langit langit yang tidak memenuhi syarat di puskesmas Karangmojo IIsebesar 91,5%. Langit langit rumah berfungsi agar sinar matahari tidakdirasakan langsung. Tinggi langi-langit minimal 2,75 m. Langit langitberfungsi menyerap panas, harus mudah dibersihkan dan tidak rawankecelakaan. (Depkes RI, 1999).Dinding rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC. Risikountuk menderita TBC Paru 6 - 7 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggalpada rumah yang dindingnya tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal inisesuai dengan hasil survey kesehatan lingkungan Dinas KesehatanKabupaten Gunungkidul tahun 2004 yang menyatakan bahwa dinding rumahyang tidak memenuhi syarat 70,65%. Dinding rumah sebaiknya kering agarruangan tidak menjadi lembab (Depkes RI, 1991).Lantai rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru.Risiko untuk menderita TBC Paru 3 - 4 kali lebih tinggi pada penduduk yangtinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal inisesuai pendapat Fahmi (2005) yang menyatakan bahwa lantai tanahmemeliki peran terhadap proses kejadian TBC Paru melalui kelembabanruangan, karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Lantaidari tanah stabilisasi atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atastanah asli sehinga menjadi lembab. Maka perlu dilapisi dengan satu lapisansemen yang kedap air. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkankondisi lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas ataudaya tahan hidup kuman TBC dalam lingkungan. Pada akhirnya akanmeyebabkan potensi penularan TBC menjadi lebih besar. (Fahmi, 2005).Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkankira-kira 20 cm dari permukaan tanah (Dinas perumahan DKI, 2006).Jendela kamar tidur merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBCParu. Risiko untuk menderita TBC Paru 6 - 7 kali lebih tinggi pada pendudukyang tinggal pada rumah yang jendela kamar tidurnya tidak ada. Kamartidur sebaiknya diletakkan di sebelah timur untuk memberi kesempatanmasuknya sinar ultraviolet yang ada dalam sinar matahari pagi (Dinasperumahan DKI, 2006). Menurut Depkes RI (1999) fungsi jendela kamar tiduradalah : pertama, agar sinar matahari dapat masuk ke dalam kamar dandapat membunuh kuman penyakit. Kedua, agar kamar menjadi terangsehingga mudah dibersihkan. Ketiga, agar udara kotor dalam kamar dapatberganti dengan udara bersih dari luar.Keempat, agar kamar tidak menjadilembab dan berbau tidak enak.Jendela ruang keluarga merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBCParu. Risiko untuk menderita TBC Paru 7 - 8 kali lebih tinggi pada pendudukyang tinggal pada rumah yang jendela ruang keluarganya tidak ada.Sebagian besar waktu penderita dihabiskan di ruang keluarga sehingga bilatidak ada jendela maka ruangan tersebut akan lembab. Hal ini akan berakibatmemperpanjang masa viabilitas kuman TBC Paru dan akhirnya akanmenyebabkan potensi penularan TBC menjadi lebih besar (Fahmi,2005).Menurut penelitian Mulyadi (2003) penghuni rumah yang mempunyaikelembaban ruanng keluarga lebih besar dari 60% berisiko terkena TBC Paru10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memilikikelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.Ventilasi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru. Risikountuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggalpada rumah yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan. Halini sesuai dengan penelitian Supriyono (2003) yang menghitung risiko untukterkena TBC Paru 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi burukdibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Ventilasibermanfaat bagi sirkulasi/pergantian udara dalam rumah serta mengurangikelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban.Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi,khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat.Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusiadidalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban diluar ruangan.Ventilasi mengencerkan konsentrasi kuman TBC Paru dan kuman lain,terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga dapatmerupakan tempat untuk memasukkan sinar ultraviolet. (Fahmi, 2005).Menurut Depkes RI (1999) ventilasi yang tidak baik dapat meyebabkan udaratidak nyaman ( kepengapan, bronchitis ,asma kambuh, masuk angin) danudara kotor (penularan penyakit saluran pernafasan).Tersedianya udara yang segar dalam rumah sangat dibutuhkan olehsetiap manusia. Untuk mempertahankan kondisi suatu ruangan agar beradadalam batas kelembaban yang normal, harus dilengkapi dengan ventilasiyang memadai (Azwar, 1996). Suatu ruang dibangun tanpa memperhatikanaspek ventilasi, tentunya akan mempengaruhi sirkulasi udara dalam rumah.Udara segar juga diperlukan untuk menjaga kestabilan temperatur dankelembaban udara dalam sebuah ruangan. Untuk mencapai sirkulasi udara yang cukup dalam sebuah ruangan maka diperlukanpersyaratan ventilasi dengan ukuran 10% kali luas lantai (Suyono, 1985).Ruangan dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat, jika ditempatiseseorang, akan terjadi peningkatan kelembaban udara yang disebabkanpenguapan cairan tubuh dari kulit atau karena pernafasan. Pada kondisidimana tidak terjadi pertukaran udara secara baik maka akan terjadipeningkatan jumlah dan konsentrasi kuman, sehingga risiko terjadinyapenularan penyakit saluran pernafasan semakin tinggi. Penyakit TBC Parumerupakan salah satu penyakit menular yang dapat menyebar secara cepatpada kondisi sirkulasi udara yang tidak baik akibat ventilasi yang tidakmemenuhi syarat kesehatan . Menurut Winslow (Azwar, 1996) setiap gramdebu jalanan mengandung kira-kira 50 juta bakteri, sedangkan debu yangterdapat dalam ruangan diperkirakan mengandung 5 juta bakteri per gram.Jumlah bakteri akan bertambah, jika di dalam ruangan tersebut terdapatsumbernya, misalnya penderita TBC Paru. Penyakit TBC Paru akan mudahmenular pada kondisi perumahan dengan tingkat kelembaban yang tinggi,serta kondisi ventilasi yang kurang memudahkan terjadinya pertukaran udaradalam rumah.Lobang Asap dapur merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBCParu. Risiko untuk menderita TBC Paru 4 - 5 kali lebih tinggi pada pendudukyang tinggal pada rumah yang lobang asap dapurnya tidak memenuhi syaratkesehatan. Rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai bahanbakar maka sebaiknya dilengkapi dengan cerobong asap karena asap akanmempengaruhi pernafasan, terutama balita dan lansia (Dinas perumahanDKI, 2006). Lobang asap dapur yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan (Depkes RI, 1999) : mengganggu pernafasan dan mungkindapat merusak alat alat pernafasan, membuat lingkungan rumah menjadikotor, mata pedih,dan udara menjadi bau.Pencahayaan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru.Risiko untuk menderita TBC Paru 9 kali lebih tinggi pada penduduk yangtinggal pada rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syaratkesehatan. Hal ini sesuai penelitian Pertiwi (2004) yang mengatakan bahwapenghuni rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat akan 2,5 kaliterkena TBC Paru dibanding penghuni yang pencahayaan rumahnyamemenuhi persyaratan di Jakarta Timur. Rumah sehat memerlukan cahayacukup, khususnya cahaya matahari yang berisi antara lain ultraviolet (Fahmi,2005). Pencahayaan yang tidak cukup menyebabkan (Depkes RI, 1999):kelelahan mata, kecelakaan, sukar menjaga kebersihan, menurunkanproduktifitas kerja. Cara memperoleh pencahayaan yang baik di dalam rumah melalui(Depkes RI, 1999) : Pertama, memanfaatkan sinar matahari sebanyakmungkin untuk penerangan dalam rumah pada siang hari melalui jendela,lobang angin, pintu maupun atap rumah (genteng kaca).Kedua,mempergunakan warna-warna muda untuk lantai, dinding maupun langit langit rumah. Ketiga, mempergunakan lampu yang cukup terang sesuaidengan aktifitas pada malam hari.Dari segi kesehatan, kepadatan hunian mempunyai pengaruh sangatbesar terhadap kesehatan masyarakat, karena kepadatan mempengaruhitimbulnya suatu penyakit maupun kematian akibat penyakit menular.Kepadatan Penghuni merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru.Pada aspek kepadatan penghuni menunjukkan bahwa sebagian besar subjekpenelitian, baik pada kasus maupun pembanding tinggal pada kamar tiduryang tergolong tidak padat penghuni. Hasil uji statistik tidak bermakna,sehingga kepadatan penghuni bukan merupakan faktor risiko terjadinya TBCParu. Tidak bermaknanya variabel ini disebabkan karena sebagian besarkasus maupun pembanding rata-rata tinggal pada rumah yang ukurannyatidak jauh berbeda yaitu cukup luas. Standar ideal yang digunakan adalahluas lantai kamar tidur dengan ukuran 4,4 7,4 m dapat dihuni satu orangatau luas kamar tidur dengan ukuran >10m dapat dihuni maksimal dua orang(Lubis, 1989). Dengan demikian subjek kasus maupun pembandingmempunyai peluang yang sama untuk terpapar dan menderita TBC Paru.Namun jika melihat nilai 95% CI maka penelitian ini tidak bermakna danrisikonya hanya berlaku pada kelompok sampel. Hal ini sesuai denganpenelitian Dudeng yang menyatakan bahwa kepadatan penghuni tidak adahubungan dengan kejadian penyakit TBC Paru pada anak di KabupatenGunungkidul tahun 2005. Tidak bemaknanya variabel ini disebabkan karenasebagian besar kasus maupun pembanding rata rata tinggal pada rumahdengan ukuran yang tidak jauh berbeda. Adanya kesamaan keadaankepadatan penghuni antara kasus dan pembanding maka dengan demikianTBC Paru tidak dipengaruhi oleh kepadatan penghuni tapi karena faktor laindan tidak memberikan risiko terhadap TBC Paru.JURNAL KESEHATAN SURYA MEDIKA YOGYAKARTAKESIMPULANBerdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, ada Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun2003-2006. Kedua, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Parumaupun pembanding yang langit langit rumahnya tidak memenuhi syaratkesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 5 kali lebih tinggi jikadibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang langit langitrumahnya memenuhi syarat kesehatan. Ketiga, besarnya risiko penghunirumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang dinding rumahnyatidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Parusebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal padarumah yang dindingnya memenuhi syarat kesehatan. Keempat, besarnyarisiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lantairumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBCParu sebesar 3 - 4 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggalpada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan. Kelima, besarnyarisiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang jendelakamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkenaTBC Paru sebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yangtinggal pada rumah yang jendela kamar tidurnya memenuhi syaratkesehatan. Keenam, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Parumaupun pembanding yang jendela ruang keluarganya tidak memenuhi syaratkesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 7 - 8 kali lebih tinggijika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang jendela ruangkeluarganya memenuhi syarat kesehatan. Ketujuh, besarnya risiko penghunirumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang ventilasi rumahnyatidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Parusebesar 5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal padarumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan. Kedelapan, besarnyarisiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lobangasap dapurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkenaTBC Paru sebesar 4 -5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yangtinggal pada rumah yang lobang asap dapurnya memenuhi syaratkesehatan. Kesembilan, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Parumaupun pembanding yang pencahayaan rumahnya tidak memenuhi syaratkesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 9 kali lebih tinggi jikadibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaanrumahnya memenuhi syarat kesehatan. Kesepuluh, besarnya risiko penghunirumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang penguninya padatmempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 1 kali atau sebanding padapenduduk yang tinggal pada rumah yang penghuninya tidak padat.

PENDAHULUANTuberculosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan olehMycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini (WHO, 2005 : 15). Aditama (dalam Fahmi U, 2005) menyebutkan, setiap detik ada satu orang yang terinfeksi TBC baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. 1 % dari penduduk dunia akan terinfeksi TBC setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menular hingga 15 orang dalam 1 tahun (Achmadi, U.Fahmi, 2005 : 272).World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global control 2003menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap TBC, termasuk Aditama (dalam Fahmi U, 2005) menyebutkan, setiap detik ada satu orang yang terinfeksi TBC baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. Survai Kesehatan Rumah Tangga (2001) menunjukkan bahwa TBC menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4 % dari total kematian) setelah sistem sirkulasi darah dan sistem pernafasan. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan masalah kesehatan masyarakat (WHO, 2005: 51) .Sekitar 75 % penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secaraekonomis (15 50 tahun) (Itah Y.A and Michael Udofia, 2006:1-2). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan , hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 30 %. (Depkes RI, 2008 : 5 -10).Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspekkesehatan semata, tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh ( Depkes RI, 2008, 10-12).Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis antara lain adalahdisebabkan manajemen pengelolaan pendidikan kesehatan belum berjalan dengan efektif baik dalam rangka pencegahan maupun proses penyembuhan penyakit tuberkulosis paru . Hal ini didukung penelitian dari Samera, et all (2008 :1) disimpulkan total keterlambatan pengobatan tuberkulosis paru mencapai 90%, dan kesadaran penderita tentang pengobatan hanya 37 %. Cheuk-ming Tam (2006 :1-2) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan minum obat dan keberhasilan pengobatan penyakit tuberkulosis.

Salah satu permasalahan dalam penanggulangan TBC adalah pengobatan yang tidakteratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap di masa lalu yang diduga telahmenimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau Multi DrugResistance (MDR). Di BP4 Semarang, dari data yang diambil dari laboratorium BP4 dari 24 BTA positifyang dilakukan resistensi test ditemukan 6 pasien yang resistensi, ini artinya 25 % kasus MDR. TBCbukan hanya masalah bagi penderita tetapi juga masalah bagi masyarakat khususnya keluarga. Resiko penularan setiap tahun dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 - 3%,diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100.000penderita tuberkulosis setiap tahun dimana 50 penderita adalah BTA positif.Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC adalah daya tahan tubuhyang rendah diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.Penelitian ini untuk mengetahui peran PMO keluarga dalam keberhasilan pengobatan TBC di BP4Semarang, untuk mengetahui karakteristik PMO keluarga,hubungan antara pengetahuan PMO keluarga mengenai TB paru, hubungan antara sikap PMO keluargaterhadap kegiatan pendampingan minum obat, hubungan antarapraktek PMO keluarga dalam pengawasan penderita TB paru dan mengetahui hubungan ketiganyadengan keberhasilan pengobatan TBC.Metode yang digunakan adalah eksplanatori (penjelasan) dengan pendekatan rancangan CrossSectional. Sampel sebanyak 45 orang PMO keluarga penderita Tuberkulosis paru dengan BTA positifkasus baru yang diobati pada tahun 2004 di Kota Semarang dan sudah dievaluasi sampai bulan Junitahun 2005 dandiambil dengan metode simple random sampling.Pengetahuan responden sebagian besar baik (55,5%), sikap responden sebagianbesar kurang baik (46,6%), praktek responden sebagian besar baik (62,2%).Pengetahuan PMO keluarga mengenai TB paru kurang terhadap keberhasialan pengobatan yang tidakberhasil memiliki proporsi lebih besar (80%), sikap PMO keluarga terhadap kegiatan pendampinganminum obat yang setuju terhadapkeberhasilan pengobatan yang berhasil memiliki proporsi lebih besar (86,7%), Praktek PMO keluargadalam pengawasan penderita TB Paru yang tidakbaik terhadap keberhasilan pengobatan yang tidak berhasil memiliki proporsikurang dari dua pertiga (63,3%).Kesimpulan, hubungan antara pengetahuan dan sikap PMO keluarga mengenai TB Paru dengan